You are on page 1of 29

DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN BAWAL PUTIH (Pampus

argenteus) BERDASARKAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN


KELIMPAHAN KLOROFIL A DI PANGANDARAN

USULAN RISET

VADHILAH SAVETRI
NPM 230110150181

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2018
DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN BAWAL PUTIH (Pampus
argenteus) BERDASARKAN SPL DAN KELIMPAHAN KLOROFIL A DI
PANGANDARAN

USULAN RISET

Diajukan untuk Memenuhi Sidang Seminar Usulan Riset

VADHILAH SAVETRI
NPM 230110150181

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan usulan
riset dengan judul “Daerah Penangkapan Potensial Ikan Bawal Putih (Pampus
argenteus) Berdasarkan Suhu Permukaan Laut dan Klorofil A di
Pangandaran”. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat riset pada program
studi Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.
Dalam penulisan laporan ini terdapat banyak hambatan yang dilalui,
namun berkat rahmat Yang Maha Kuasa serta bantuan dan dukungan pihak yang
membantu, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan ini. Oleh karena itu
penulis mengucapkan Syukur kepada Allah SWT serta terima kasih kepada :
1. Mega Laksmini Syamsuddin, S.Pi., MT., Ph. selaku Ketua Komisi
Pembimbing untuk segala dedikasinya yang telah membimbing, memberikan
masukan, dan arahan selama penyusunan usulan riset ini.
2. Iis Rostini, S.Pi., M.Si. selaku Dosen Wali dan Anggota Komisi Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan arahan selama penyusunan
usulan riset ini.
3. Izza Mahdiana Apriliani, S.Pi.,M.Si. selaku Dosen Penelaah yang telah
memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan dan penyempurnaan
usulan riset ini.
4. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Dr. sc.
agr Yudi Nurul Ihsan, S.Pi., M.Si.
5. Kepala Program studi Perikanan, Asep Agus Handaka, S.Pi., M.T.
6. Ibu, Bapak dan Kakak yang selalu mendoakan serta memberi dukungan
selama proses penulisan laporan usulan riset.
7. Teman-teman perikanan C 2015 atas bantuan serta dukungannya selama
proses penulisan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya
kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan Usulan
Riset ini. Akhirnya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi
kesempurnaan usulan riset ini.

Jatinangor, November 2018

Vadhilah Savetri
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumberdaya perikanan di wilayah Pangandaran memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat potensial, baik dalam jenis maupun habitatnya. Kekayaan alam
yang melimpah menjadi sumber mata pencaharian khususnya di bidang perikanan
tangkap masyarakat Pangandaran. Usaha perikanan tangkap sangat potensial
untuk dikembangkan mengingat Pangandaran merupakan wilayah Pantai Selatan
yang langsung terpapar dengan Samudera Hindia. Ikan bawal putih (Pampus
argenteus) merupakan komoditas ikan demersal yang cukup banyak
penyebarannya di perairan Pangandaran. S
Salah satu parameter penting yang berpengaruh terhadap keberadaan ikan
di suatu perairan adalah suhu. Suhu permukaan laut atau SPL merupakan
parameter yang penting dalam penentuan energi panas atau bahang (heat),
sedangkan suhu perairan mempengaruhi banyak siklus kehidupan di laut. Ikan-
ikan yang melakukan spawning, feeding, dan nursing juga dipengaruhi oleh suhu
yang ada disuatu perairan (Ali, 2014). Suhu perairan juga dapat mempengaruhi
fenomena-fenomena alam yang ada di laut dan mempengaruhi suatu iklim secara
global. Pengaruh suhu permukaan laut tersebut ada yang menjadikan lokasi
perairan tersebut menjadi subur dan ada juga menjadi tercemar. Manfaat suhu
permukaan laut untuk mengetahui gejala fisik, hubungan kehidupan hewan dan
tumbuhan, dan bahkan pengkajian meteorologi. Pengaruh suhu permukaan laut
berdampak pada kecepatan makan ikan, penyebaran ikan, arah ruaya,
metabolisme pertumbuhan serta kelimpahan ikan.
Selain hal tersebut, parameter yang sangat berpengaruh terhadap
keberadaan ikan di suatu perairan adalah ada tidaknya sumber makanan yang
dibutuhkan. Sumber makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur
atau dari keberadaan fitoplankton. Keberadaan fitoplankton tersebar luas di
perairan, namun penyebarannya sangat tergantung oleh ketersediaan nutrient dan
intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup
tersedia, maka kosentrasi klorofil akan tingggi dan sebaliknya bila nutrient dan
intensitas cahaya matahari tidak cukup tersedia, maka konsentrasi klorofil akan
rendah (Tubalawony, 2007). Oleh karena itu, setiap perairan memiliki sebaran
fitoplankton yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat membentuk sebuah pola
sebaran yang dapat diamati secara spasial (tempat) dan temporal (waktu).
Pengamatan pola sebaran dapat dilakukan dengan menggunakan data citra satelit
dan data posisi hasil tangkapan. Data klorofil-a hasil citra satelit dapat
menggambarkan penyebaran fitoplankton. Salah satu citra yang dapat digunakan
untuk mendeteksi penyebaran fitoplankton adalah citra satelit Aqua dengan sensor
MODerate resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) – (NASA 2014).
Pengamatan fitoplankton melalui satelit atau sering disebut dengan pengamatan
ex-situ (tidak langsung) tidak membutuhkan biaya terlalu besar untuk
pengamatan, tidak membutuhkan waktu yang lama dan hemat tenaga
dibandingkan dengan pengamatan in-situ (langsung).
Menurut Indrayani et. al. (2012), keberadaan ikan demersal lebih
ditentukan oleh habitat dengan posisi pertemuan klorofil-a dan suhu optimal,
dibandingkan dengan parameter oseanografi lainnya, sehingga faktor penentu
keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan adalah ketepatan dalam menentukan
suatu daerah penangkapan ikan (DPI) yang layak untuk dapat melakukan operasi
penangkapan ikan.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang pada Bab 1.1, maka permasalahan yang dapat
diidentifikasi adalah :

1. Bagaimana hubungan Suhu Permukaan Laut (SPL) dan kandungan


klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan bawal putih di perairan
Pangandaran
2. Bagaimana mengetahui atau mendeteksi daerah tangkapan potensial di
perairan Pangandaran

1.3 Tujuan Riset


Tujuan dari riset ini adalah terungkapnya hubungan antara SPL dan
klorofil-a terhadap produksi hasil tangkapan Ikan bawal putih (Scomberomorus
commersoni) serta dapat menghasilkan pendeteksian daerah tangkapan potensial
di perairan Pangandaran.

1.4 Kegunaan Riset

Hasil riset ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam bentuk
informasi kepada para nelayan tentang penetapan daerah potensial penangkapan
ikan bawal putih di perairan Pangandaran. Selain hal tersebut, manfaat riset ini
secara teoritis dapat digunakan oleh peneliti dan pihak-pihak lain tentang
hubungan antara Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil-a dengan dugaan
Daerah Penangkapan Ikan bawal putih (DPI) potensial di perairan Pangandaran.

1.5 Kerangka Pemikiran

Keberadaan ikan di suatu perairan ditentukan oleh parameter SPL dan


parameter klorofil-a. Dengan memanfaatkan data citra satelit Aqua MODIS yang
ditenggarai dapat mendeteksi SPL dan sebaran klorofil-a maka hasil penelitian
akan diperoleh data berupa :

- Hasil tangkapan ikan bawal putih vs SPL


Disajikan dalam bentuk deskriptif dengan menampilkan grafik fluktuasi
atau trend hasil tangkapan.
- Hasil tangkapan ikan bawal putih vs klorofil-a
Digunakan analisis deskriptif menggunakan analisis korelasi untuk
mengetahui derajat keeratan hubungan antara hasil tangkapan dengan
klorofil-a
Berdasarkan data hasil pengolahan ke dua parameter tersebut serta pengukuran
indikator-indikator yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam penilaian bobot
(scoring), dibahas pada Bab III, apakah dapat diduga atau dideteksi daerah
penangkapan potensial ikan bawal putih di perairan Pangandaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Perairan Pangandaran


Kabupaten Pangandaran terletak pada titik koordinat 1080 18’ - 1080 47’
BT dan 70 30’ 20” - 70 50’ LS. Luas wilayah Kabupaten Pangandaran yaitu
168.509 Ha dengan luas laut 67.340 Ha. Kabupaten Pangandaran memiliki
panjang garis pantai 91 Km. Kabupaten Pangandaran merupakan daerah
pemekaran dari Kabupaten Ciamis, Menurut UU No. 21/2012 disebutkan,
Kabupaten Pangandaran berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis, yang
terdiri dari : Kecamatan Parigi, Kecamatan Cijulang, Kecamatan Cimerak,
Kecamatan Cigugur, Kecamatan Langkaplancar, Kecamatan Mangunjaya,
Kecamatan Padaherang, Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Pangandaran dan
Kecamatan Sidamulih. Ibu Kota Kabupaten Pangandaran berkedudukan di
Kecamatan Parigi. Kabupaten Pangandaran memiliki batas administrasif yaitu :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ciulu, Desa Pasawahan, Desa Cikupa
Kecamatan Banjarsari, Desa Sidarahayu Kecamatan Purwadadi, Desa
Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis dan Desa Citalahab
Kecamatan Karangjaya, Desa Cisarua Kecamatan Cineam Kabupaten
Tasikmalaya.
 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tambaksari, Desa Sidanegara, Desa
Rejamulya Kecamatan Kedungreja, Desa Sidamukti, Desa Patimuan, Desa
Rawaapu, Desa Cinyawang, Desa Purwodadi Kecamatan Patimuan
Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pasangrahan Kecamatan Cikatomas,
Desa Neglasari, Desa Tawang, Desa Panca Wangi, Desa Mekarsari
Kecamatan Pancatengah, Desa Cimanuk Kecamatan Cikalong, Desa
Mulyasari Kecamatan Salopa Kabupaten Tasikmalaya.
(Sumber : http://www.pangandarankab.go.id/profil-pangandaran/)
Kemiringan pantai relatif datar yaitu 0o - 3o, dan elevasi 0 – 3 meter di atas
permukaan laut. Tipe pantai di Pangandaran terdiri dari pantai berpasir, pantai
berkarang, dan pantai berbatu. Kabupaten Pangandaran beriklim tropis dengan 2
musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Kegiatan penangkapan ikan di
Pangandaran sangat di pengaruhi oleh iklim, dimana pada saat musim kemarau
(musim timur) yaitu pada bulai Mei – Oktober Perairan Pangandaran dalam kodisi
tenang dan aktivitas penangkapan ikan tidak terganggu. Musim hujan (musim
barat) terjadi pada bulan November – April dimana keadaan perairan dalam
kondisi berombak besar dan aktivitas penangkapan ikan sedikit terganggu.

2.2 Klasifikasi Ikan Bawal Putih


Menurut Saanin (1984), Bawal Putih (Pampus argenteus) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Stromatidea
Famili : Stomateidae
Genus : Pampus
Spesies : Pampus argenteus

Nontji (1993) menyatakan bahwa bawal putih mempunyai warna keperak–


perakan, memiliki sirip dada yang tidak runcing ujungnya dan sirip dubur lebih
panjang dari pada sirip punggung. Bawal putih sering dijumpai di muara - muara
sungai. Makanan bawal putih adalah zooplankton seperti udang rebon.

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1998), genus Pampus memiliki


badan sangat lebar, seperti belah ketupat, gepeng. Pada ikan dewasa tidak
ditemukan sirip perut. Ada 5 – 10 duri lepas yang berada di depan jari-jari sirip
punggung. Duri tersebut seperti mata pisau kecil, di bagian depan dan belakang
duri berbentuk runcing. Sirip punggung berjari-jari lemah 38 – 43 buah,
sedangkan di sirip dubur terdapat jari-jari lemah 38 – 43 buah. Sirip ekor bercagak
agak kuat dengan lembaran bawah lebih panjang. Berikut merupakan morfologi
ikan bawal putih :
Gambar 1. Ikan Bawal

Sumber : https://goo.gl/StrBY7

2.3 Klorofil-a
Klorofil-a adalah zat hijau daun yang terkandung dalam tumbuhan.
Menurut Nybakken (1992) klorofil-a merupakan pigmen yang mampu melakukan
fotosintesis dan terdapat pada seluruh organisme fitoplankton. Fitoplankton
sebagai produsen primer merupakan pangkal rantai makanan dan merupakan
dasar yang mendukung kehidupan seluruh biota lainnya (Nontji 2002).
Sebaran 4 klorofil-a di perairan sangat bergantung pada konsentrasi
nutrien. Sebagian besar tumbuhan laut terdapat pigmen-pigmen pelengkap sebagai
alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorpsi cahaya matahari. Jumlah
klorofil-a yang ada di perairan laut umumnya dapat dilihat dari jumlah
fitoplankton yang berada di perairan tersebut. Fitoplankton bisa ditemukan di
seluruh lapisan massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman
dengan intensitas cahaya tertentu dan masih memungkinkan terjadinya proses
fotosintesis (Nontji 2002).
Sebaran klorofil-a di perairan bervariasi, biasanya konsentrasi klorofil-a
lebih tinggi di daerah pesisir dan pantai karena di daerah ini asupan nutrien sangat
melimpah dari aliran sungai yang masuk ke arah laut, konsentrasi klorofil-a
rendah di daerah laut lepas terkecuali pada daerah upwelling karena zat hara dan
unsur nutrien lainnya terangkat dari permukaan perairan menuju ke permukaan.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi besar biomassa fitoplankton,
produktivitas fitoplankton, dan suksesi fitoplankton adalah suhu, cahaya, arus, dan
nutrien.
 Suhu Perairan
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis fitoplankton baik secara langsung
ataupun tidak langsung (Nontji 2006). Pengaruh suhu secara langsung terhadap
fotosintesis fitoplankton yaitu suhu dapat membuat reaksi kimia enzimatik yang
berperan dalam fotosintesis. pengaruh tidak langsung yaitu suhu dapat
menentukan struktur hidrologis suatu perairan. Suhu optimal untuk kehidupan
fitoplankton adalah 200 C - 300 C atau pada umumnya yaitu pada suhu 250 C
(Nontji 2002).
 Cahaya
Cahaya mempunyai pengaruh secara tidak langsung terhadap proses
fotosintesis, cahaya mempunyai peran sebagai sumber cahaya dalam proses
fotosintesis. Menurut Romimohtarto (2001) cahaya juga berperan dalam proses
perpindahan populasi hewan laut. Untuk dapat mempertahankan hidupnya
organisme harus berada di permukaan perairan (zona fotik), pada zona ini cahaya
masih dapat menjangkau untuk proses fotosintesis (Basmi 1995). Menurut
Nyabakken (1992) fitoplankton sangat berpengaruh pada cahaya untuk proses
fotosintesis. Proses fotosintesis tidak terjadi di permukaan perairan untuk daerah
perairan tropis tetapi terjadi pada kedalaman 5 m - 30 m (Tomascik et al, 1997).
Distribusi fitoplanton secara vertikal di laut disajikan pada Gambar 3.

Gambar 1. Distribusi vertikal fitoplankton di laut


(Barnes dan Hughes, 1988)
 Arus
Arus berperan dalam penyebaran parameter fisik dan kimia serta
merupakan faktor yang dapat menentukan keberadaan serta distribusi organisme
laut. Fitoplankton memiliki kemampuan gerak yang sangat terbatas,
keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya dan menyebabkan
fitoplankton selalu terbawa oleh arus. Arus dipengaruhi oleh angin yang
berhembus diatasnya, di perairan Indonesia khususnya arus dipengaruhi oleh
angin muson. Angin muson bergerak dengan arah tertentu dan memiliki pola
distribusi tersendiri, karena pengaruh angin ini Indonesia terbagi menjadi
beberapa musim yaitu : Musim barat terjadi pada Desember - Januari, Musim
Pancaroba Satu terjadi pada bulan Maret - Mei, Musim Timur terjadi pada bulan
Juni - Agustus, dan Musim Pancaroba Dua terjadi pada bulan September -
November (Wyrtki, 1961). Pola musim yang terjadi sangat mempengaruhi
sebaran serta konsentrasi klorofil-a di periaran.
 Nutrien
Menurut Nybakken (1992) nutrien mempunyai pengaruh besar dalam
penyebaran klorofil-a diperairan. Diketahui konsentrasi klorofil-a di daerah pesisir
dan pantai memiliki konsentrasi tinggi karena adanya suplai nutrien melauli
proses run-off sungai dari daratan, sedangkan konsentrasi klorofil-a di laut lepas
mempunyai konsentrasi lebih rendah karena kurangnya suplai nutrien dari daratan
secara langsung. Namun pada beberapa tempat di laut lepas masih ditemukan
konsentrasi klorofil-a yang tinggi, hal ini diakibatkan oleh adanya proses
upwelling. Upwelling atau penaikan massa air merupakan proses naiknya massa
air dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih atas atau menuju
permukaan (Svedrup et al., 1942 dalam Farita, 2006). Akibat penaikan massa air
permukaan laut yang memiliki suhu rendah dan dibarengi dengan nutrien yang
terangkut dari permukaan maka perairan tersebut mendapat asupan nutrien dan
konsentrasi klorofil-a menjadi cukup tinggi untuk daerah tersebut.
2.4 Suhu Permukaan Laut
Suhu adalah suatu besaran fisika dimana banyaknya bahang (energi panas)
terkandung dalam suatu benda (Weyl 1970). Suhu air laut pada daerah permukaan
sangat tergantung dari jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Suhu
perairan bervariasi baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal suhu
bervariasi sesuai dengan kedalaman perairan dan secara horizonatal sehu
bervariasi sesuai dengan garis lingtang. Variasi suhu secara vertikal di perairan
Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yitu lapisan
homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin dibagian tengah dan
lapisan dingin dibagian bawah. Lapisan homogeny berkisar sampai kedalaman
50-70 meter, pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu
lapisan menjadi homogen (sekitar 28°C), lapisan temoklin merupakan lapisan
dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada lapisan 100-200
meter, lapisan dingin biasanya kurang dari 5°C, terdapat pada kedalam lebih dari
200 meter (Nontji 2002).
Perubahan suhu secara menegak di laut dipengaruhi oleh kedalaman. Nilai
suhu mengalami perubahan terhadap kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh variasi
antara bahang yang diserap, efek konduksi dari bahang, permukaan air yang selalu
begerak oleh arus, dan gerak vertikal air laut. Suhu permukaan selain dipengaruhi
oleh panas matahari, juga dipengaruhi oleh arus permukaan, keadaan awan,
upwelling, divergensi dan konvergensi terutama pada daerah estuary dan
sepanjang garis pantai (Hela dan Laevatu, 1970). Menurut Nontji (2002) suhu air
dipermukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktir yang berperan
disini ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan
angina dan intensitas cahaya matahari.
Perubahan suhu bisa menyebabkan terjadinya sirkulasi dan startifikasi air
yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi,
organisme perairan. Suhu optimum berbagai jenis hewan air berbeda-beda
tergantung kepada spesies, daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor
fisika, kimia, dan biologi.hampir semua populasi ikan yang masih hidup di laut
mempunyai suhu optimum. Dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies
ikan maka kita dapat menduga keberadaan suatu kelompok ikan, yang kemudian
dapat digunakan untuk tujuan perikanan (Hela dan Laevastu, 1970).
Suhu merupakan faktor yang paling penting dan berpengaruh terhadap
kehidupan ikan di laut. Ikan menyukai hidup pada kisaran suhu tertentu, maka
suhu merupakan faktor yang menyebabkakn penyebaran ikan di laut. Perubahan
suhu dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan, seperti kelarutan gas-gas,
tekanan osmose, kepadatan (desnsitas) dan kecepatan suara. Adanya perubahan
suhu menyebabkan ikan bereaksi menjauhi atau mendekati.
Suhu juga sangat mempengaruhi kecepatan metabolisme di dalam tubuh
ikan, inilah faktor utama pentingnya suhu bagi kehidupan ikan. Biota laut yang
berdarah panas, pada umumnya akan memilihi suhu air yang sama dengan suhu
badannya. Hal ini penting guna menghemat tenaga untuk metabolismenya
(Soeriaatmadja 1957). Pengetahuan mengenai suhu sangat penting pula untuk
meramalkan kepadatan ikan. Beberapa penemuan menunjukan bahwa suhu
tertentu akan dihuni oleh spesies tertentu pula, sehingga bila ada perubahan suhu
musiman, maka ikan yang ada ditempat tersebut akan berubah pula. Selain itu
suhu juga berpengaruh pada migrasi ikan.

2.5 Alat Tangkap Jaring Insang (Gillnet)


Alat tangkap jaring insang (gillnet) merupakan jaring berbentuk persegi
panjang yang memiliki mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring,
ukuran lebar jaring ini lebih pendek dibandingkan ukuran panjangnya yang berarti
jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh lenght
pada arah panjang jaring (Ayodhyoa, 1981). Gambaran alat tangkap jaring insang
disajikan pada Gambar 5.

Gambar 2. Jaring insang (gillnet)


(Sumber : http:// media1.britannica.com/)
Metode pengoprasian jaring insang dibedakan menjadi empat, yaitu
surface gillnet (jaring insang permukaan), bottom gillnet (jaring insang dasar),
drift gillnet (jaring insang hanyut), encircling gillnet atau surrounding gillnet
(jaring insang lingkar) (Ayodhya, 1981 dalam Dimas, 2008). Menurut Nimmi
Zulbainanrni (2009) ikan yang tertangkap oleh alat tangkap ini biasanya terjerat
dibagian belakang penutup insang (gilled) atau badan ikan terpuntal pada mata
jaring (entangled) sehingga ikan yang sudah tertangkap tidak akan mudah untuk
meloloskan diri dari jaring, cara tertangkap ikan tersebut berlaku untuk semua
jenis jaring insang baik pada jaring insang satu lapis, jaring insang dua lapis, dan
jaring insang tiga lapis (trammelnet).

2.6 Daerah Penangkapan Ikan


Daerah penangkapan ikan (fishing ground) merupakan suatu wilayah yang
digunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan penangkapan atau daerah yang
diduga terdapat kawanan ikan. Sulit meramalkan arah dan letak perpindahan dari
suatu daerah penangkapan ikan, karena ikan yang menjadi tujuan penangkapan
berada dalam air dan tidak terlihat dari permukaan air sedangkan kemampuan
mata manusia untuk melihat ke dalam air terbatas (Ayodhyoa 1981 dalam Sirait
2008).

Suatu wilayah perairan dapat menjadi daerah penangkapan ikan jika ikan
yang menjadi target utama dapat ditangkap dengan alat tangkap yang digunakan.
Menurut Simbolan (2009) komponen yang menjadi pertimbangan untuk
menentukan suatu perairan menjadi daerah penangkapan ikan adalah :

 Sumberdaya ikan yang menjadi target utama banyak.


 Perairan yang dijadikan daerah penangkapan ikan merupakan habitat ikan
yang menjadi target utama.
 Teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan memiliki kemampuan
tinggi sehingga efektivitas serta efesiensi penangkapan ikan dapat
terwujud.
Menurut Yusfiandayani (2004), penentuan daerah penangkapan ikan yang
umum dilakukan oleh nelayan sejauh ini masih menggunakan cara-cara
tradisional. Akibatnya tidak mampu mengatasi perubahan kondisi oseanografi dan
cuaca yang berkaitan erat dengan perubahan daerah penangkapan yang berubah
secara dinamis.

2.7 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)


Penginderaan jauh adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi
mengenai suatu objek, daerah, atau fenomena yang terjadi dengan cara analisis
data tanpa harus bersentuhan langsung dengan apa yang dijadikan kajian
(Lillesand dan Kiefer 1994 dalam Putra 2012). Biasanya Teknik penginderaan
jauh menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan
diinterpretasikan guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi
dibidang pertanian, perikanan, kelautan, arkeologi dan bidang-bidang lainnya
(Purbowaseso 1995). Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga
bagian utama yaitu: perolehan data, pemrosesan data dan interpretasi data.
Wahana yang dipergunakan adalah pesawat udara atau satelit buatan yang telah
dilengkapi dengan peralatan perekam data (sensor).Penginderaan jauh
memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang di pantulkan oleh suatu
objek di permukaan bumi, obyek - obyek ini memiliki karakteristik reflektansi
yang berbeda - beda (Kushardono 2003). Secara garis besar sistem penginderaan
jauh adalah sebagai berikut :
1. Pantulan objek - objek dipermukaan bumi ditangkap oleh sensor pada
satelit.
2. Pantulan objek tersebut dirubah dalam bentuk sinyal dan kemudian dikirm
ke stasiun penerima di bumi.
3. Data yang diterima di stasiun disimpan dalam bentuk citra analog atau
digital.
Data citra yang diperoleh selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian,
geologi, kelautan, kehutanan dan bidang-bidang lainnya (Kushardono, 2003).
Gambar 4. Sistem penginderaan jauh dalam bidang perikanan dan kelautan
(Kushardono, 2003)
Sensor adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi radasi
elektromagnetik yang dipantulkan oleh suatu benda dan mengubahnya menjadi
nilai nyata yang dapat di rekam atau diproses (Butler et al, 1989). Menurut
Kushardono (2003) sistem sensor satelit dibedakan menjadi 2 yaitu active sensor
dan passive sensor. Satelit dengan active sensor memiliki prinsip yaitu
memancarkan energi dengan menggunakan sistem yang dipasang langsung pada
satelit pada objek yang diamati, data diperoleh dari besarnya energi yang kembali,
satelit dengan active sensor memiliki kemampuan menembus awan sehingga
dapat diperoleh data dari seluruh permukaan bumi. Satelit dengan passive sensor
menggunakan sistem optik, satelit dengan sistem passive sensor ini memiliki
kelemahan benda yang diamati dapat terhalang awan. Sensor yang dapat
mendeteksi kandungan klorofil di perairan adalah sensor yang menggunakan
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS).

2.8 Satelit Aqua-Modis


Satelit Moderate Resolution Imaging Spectroradiom (MODIS) merupakan
sensor utama pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) yang merupakan
bagian dari program antariksa Amerika Serikat, yaitu NASA (National
Aeronautics and Space Administration). Sensor MODIS pertama kali diluncurkan
bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999 dengan spesifikasi lebih
fokus untuk daerah daratan. Pada tanggal 4 Mei 2002, diluncurkan satelit Aqua
yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua
mempunyai misi mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi termasuk
penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban
tanah, es yang ada di laut, es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan.
Variabel yang diukur oleh satelit Aqua MODIS antara lain aerosol, fitoplankton
dan bahan organic terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham
2005).
Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit near-polar sun-synchronus, yaitu:
orbit yang melewati daerah kutup dan satelit yang mengelilingi bumi dari kutub
utara ke kutub selatan atau sebaliknya. MODIS mengorbit bumi secara polar (arah
utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam
10:30 waktu lokal. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan
bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari, untuk
kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia. Satelit ini dapat mencakup
wilayah cakupan yang luas, yaitu sekitar 2.330 km setiap hari (Simbolon 2008).
Sensor MODIS memiliki 36 kanal. Kanal-kanal tersebut bekerja pada
kisaran panjang gelombang sinar tampak dan inframerah dengan selang Panjang
gelombang pada masing-masing kanal yang relatif sempit. Kisaran Panjang
gelombang kanal-kanal sensor MODIS spesifikasi satelit Aqua-Modis (Tabel 2).
Tabel 2. Spesifikasi Satelit Aqua-MODIS
Spesifikasi Keterangan
705 km, 1:30 p.m, node ascending (Aqua), sun
Orbit
synchronous, near-polar, sirkular
Rataan scan 20,3 rpm
2330 km (alur yang bersinanggungan) dengan
Luas sapuan
lintang 10 derajat lintasan pada nadir
Dimensi teleskop 17,78 cm
Ukuran satelit 1,0 x 1,6 x 1,0 m
Daya 162,5 watt (rata-rata satu orbit)
Data 10,6 Mbps (per hari); 6,1 Mbps (per orbit)
Resolusi radiometrik 12 bit = 4096
250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), 1000 m
Resolusi spasial
(band 8-36)
Umur 6 tahun
Sumber: http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov
Spesifikasi MODIS memiliki beberapa kelebihan, yaitu lebih banyaknya
spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih telitinya cakupan
lahan (resolusi spasial) serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (resolusi
temporal). Pengukuran konsentrasi klorofil dari citra satelit dilakukan dengan
membandingkan nilai kanal yang memilki daya absorbsi maksimum dengan kanal
yang memiliki daya absorbsi minimum. Pendugaan konsentrasi klorofil dengan
penginderaan jarak jauh menggunakan rasio antara dua atau tiga kanal. Pada
umumnya rasio yang digunakan adalah rasio antara kanal biru (450-520 nm) dan
kanal hijau (520-600).

Produk data MODIS bisa diperoleh dari beberapa sumber. MODIS level 1
dapat diperoleh pada situs http://ladsweb.nascom.nasa.gov/. Data MODIS level 1
terdiri dari 2 macam, yaitu level 1A Geolocation dan level 1B Calibrated
Radiances. Data MODIS level 1A Geolocation berisi informasi lintang dan bujur,
geodetik, serta penutupan daratan (landmask) atau lautan (seamask) untuk setiap 1
km. Pada level 1B belum dapat dibedakan antara darat dan laut karena data ini
masih mengandung hamburan cahaya dari komponen-komponen atmosfer yang
mengganggu proses interpretasi citra warna air laut (Kempler 2002 dalam Meliani
2006)

Data MODIS level 3 untuk produk warna perairan (ocean color) dan suhu
perairan laut dapat diperoleh pada situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/. Data
MODIS level 3 merupakan produk data yang sudah diproses. Data tersebut sudah
dikoreksi atmosferik, yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya
yang sangat tinggi yang disebabkan oleh komponen atmosfer. Komponen yang
dikoreksi yaitu hamburan Rayleigh dan hamburan aerosol. Selain itu digunakan
data klimatologi dan data ozon yang merupakan data lingkungan untuk
mempertajam hasil keluaran citra (Meliani 2006).

Data MODIS level 3 terdiri dari data suhu permukaan laut, konsentrasi
klorofil-a dan data parameter lainnya yang dapat digunakan oleh para peneliti dari
berbagai disiplin ilmu, termasuk oseanografi dan biologi. Dengan data MODIS
tersebut, akan meningkatkan kemampuan kita dalam memahami perubahan
dinamiak secara global yang terjadi didarat, laut dan atmosfir (NASA 2008).
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Riset


Riset ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tahap
pengumpulan data di perairan Pagandaran, fishing base Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI) Pangandaran yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2018. Tahap kedua
dilaksanakan pada September-November 2018 dengan mengunduh data citra satelit
suhu permukaan laut dan klorofil-a dari website (oceancolor.gsfc.nasa.gov).
Riset ini menggunakan metode survey (Nazir 1999; Arikunto 1997); data
primer yang diperoleh dengan cara mengikuti langsung operasi lapangan dan
pengambilan data pada saat hauling dilakukan (waktu hauling, jumlah hasil
tangkapan, ukuran panjang ikan). Data sekunder diperoleh dari data citra satelit yang
di unduh dan diolah menggunakan software dan pengambilan data pendukung dari
pelabuhan atau instansi terkait berupa data jumlah alat tangkap, jumlah kapal dan
jumlah nelayan yang ada di perairan Pangandaran.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat-alat Riset
Alat yang digunakan dalam riset ini adalah
1. Software-software pendukung
2. Penggaris / Meteran sebagai alat bantu pengukur panjang ikan.
3. Alat tulis digunakan untuk mencatat segala hal penting selama riset.
4. Kamera sebagai alat bantu untuk mengabadikan kegiatan riset.
5. Lembaran Kuisioner untuk memperoleh data primer dari para nelayan dan
abk.

6. Laptop digunakan untuk mengolah data.

3.2.2 Bahan-bahan Riset


Bahan yang digunakan dalam riset ini adalah;
1. Data suhu permukaan laut dan klorofil-a (Satelit Aqua-MODIS) yang
didownload melalui website; http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms
2. Data posisi kapal saat kegiatan operasi penangkapan dengan koordinat
lokasi
3. Data produksi hasil tangkapan ikan bawal putih,yang meliputi panjang
serta bobot ikan.

3.3 Metode Riset


Metode riset yang digunakan yaitu dengan metode analisis spasial. Data
spasial primer di perairan Pangandaran berupa data suhu prmukaan laut dan klorofil-
a, dan data produksi penangkapan ikan bawal putih, Data klorofil-a diperoleh dari
citra satelit yang telah diunduh dari website; http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms,
sedangkan data produksi penangkapan ikan bawal putih didapat dari Pelabuhan
Pendaratan Ikan Pangandaran. Selain itu, untuk validasi data posisi penangkapan ikan
yang diperoleh, maka dilakukan wawancara dengan beberapa nelayan. Selanjutnya
data primer tersebut diolah dengan menggunakan software yang menghasilkan output
berupa profil secara horizontal dan dianalisis spasial secara deskriptif.

3.4 Prosedur Riset


3.4.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan pada riset ini adalah dengan mengikuti kegiatan operasi
penangkapan ikan.

3.4.2 Tahap Pengolahan Data


Tahap pertama, yaitu membuat peta dasar wilayah kajian riset dengan
menggunakan software untuk pemetaan, lalu mengunduh data yang diperlukan,
yaitu data SPL dan klorofil-a. Data SPL dan klorofil-a tersebut diunduh dalam
format .nc dan dikonversi ke dalam format .xls atau format .txt. Data SPL dan
klorofil-a yang telah diunduh dari website, selanjutnya diolah dengan
menggunakan software untuk mengambil wilayah yang akan diolah dan dianalisa.
Selanjutnya diolah menggunakan software pemetaan untuk memperoleh sebaran
spasial dari SPL dan klorofil-a. Kemudian dilakukan pembuatan grafik untuk
melihat daerah penangkapan ikan bawal putih potensial.
3.5 Analisis Data
3.5.1 Analisis Hubungan Hasil Tangkapan dengan Suhu Permukaan Laut
Analisis hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan bawal putih
dilakukan secara deskriptif, dengan menampilkan grafik fluktuasi atau trend hasil
tangkapan dan parameter SPL

3.5.2 Analisis Hubungan Hasil Tangkapan dengan Klorofil-a


Hubungan antara hasil tangkapan dengan konsentrasi klorofil-a diketahui
melalui analisis deskriptif antara klorofil-a dan hasil tangkapan. Untuk menentukan
derajat hubungan antara variabel hasil tangkapan dan variabel klorifl-a maka
dilakukan analisis korelasi. Semakin tinggi nilai korelasi maka hubungan antara
kedua koefisien semakin erat. Analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan suatu
perangkat lunak. Derajat hubungan dinyatakan dengan koefisien korelasi (r). Semakin
tinggi nilai r mengindikasikan bahwa hubungan yang semakin erat (Walpole 1995).
Kisaran nilai koefisien korelasi adalah: -1 ≤ r ≤ +1. Korelasi erat jika r ≥ 0,7 dan r ≤ -
0,7 dan korelasi tidak erat jika: -0,7 < r < 0,7.

3.5.3 Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Potensial


Penentuan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) potensial didasarkan pada tiga
indikator, yaitu hasil tangkapan ikan, ukuran, suhu permukaan laut, serta sebaran nilai
klorofil-a pada daerah penangkapan. Untuk menilai ukuran panjang ikan digunakan
metode scoring berdasarkan penilaian subyektif terhadap ukuran panjang ikan bawal
putih.
Penilaian dilakukan dengan menggunakan kriteria seperti disajikan pada
Tabel 3.1 menurut Collete and Naueun dalam Ismajaya (2006). Kriteria pada
tersebut berdasarkan sebaran umum ikan bawal putih untuk memijah di perairan
tropis, yaitu sebesar 40 cm (Collete and Naueun dalam Ismajaya 2006).
Tabel 3.1 Kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan
Ukuran Panjang Ikan (cm) Kriteria Penilaian

x < 30 cm; x > 40 cm Tidak layak 1


tangkap

30 cm ≤ x ≤ 40 cm Layak tangkap 2

Sumber: Collete and Naueun dalam Ismajaya, 2006

Suhu yang mempengaruhi aktivitas metabolisme, perubahan ekologi,


menentukan keberadaan serta penyebaran ikan akan diberi skor tinggi, dan yang
tidak mempengaruhi akan diberi skor rendah berdasarkan penilaian subyektif.
Penilaian DPI melalui indikator SPL ditunjukkan pada Tabel 3.2

Tabel 3.2 Penilaian DPI Melalui Indikator SPL


No Kategori SPL Kriteria Skor/bobot Kategori DPI

1. Banyak 24◦ C - 27◦C 3 Potensial

2. Sedang 26◦C - 30◦C 2 Sedang

3. Sedikit < 24◦C - > 30◦C 1 Kurang


Potensial
Sumber: Laevastu, T. and Hela, I. (1993)

Hal yang sama juga dilakukan terhadap konsentrasi klorofil-a di perairan,


dimana penilaian secara subyektif dikategorikan pada Tabel 3.3 menurut Nontji
(1984).
Tabel 3.3 Klasifikasi konsentrasi klorofil-a

Konsentrasi Klorofil-a Kriteria Penilaian


mg/m3
˂ 0,3 mg/m3 Sedikit 1

0,31 mg/m3 – 1 mg/m3 Sedang 2

˃ 1 mg/m3 Banyak 3
Sumber: Nontji (1984)
Pengelompokan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa konsentrasi
klorofil-a diatas 1 mg/m3 menurut Nontji (1984), telah menunjukkan kehadiran
dari kehidupan fitoplankton yang memadai untuk menopang atau
mempertahankan kelangsungan hidup ikan.
Dari pengelompokan dan penilaian indikator-indikator tersebut (Tabel 3.1,
Tabel 3.2 dan Tabel 3.3), maka untuk penentuan pembobotan atau scoring
terhadap indikator tersebut diringkas dalam Tabel 3.4. seperti berikut :

Tabel 3.4 Pembobotan/Scoring Terhadap Indikator

Indikator Bobot

Banyak Sedang Kurang


Katagori Hasil
Tangkapan 3 2 1
Kandungan Klorofil-a
3 2 1

Potensial Sedang Kurang

Kandungan SPL 3 2 1

Layak - Tidak Layak


Kriteria Hasil
Tangkapan 2 - 1

Kemudian untuk data evaluasi Daerah Penangkapan Ikan (DPI) dikategorikan


dalam tiga kelas, yaitu; potensial, sedang dan kurang potensial. Adapun bobot
yang ditentukan untuk setiap indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Pengaruh ketiga indikator terhadap penentuan DPI diasumsikan sama. Langkah
selanjutnya untuk menentukan DPI adalah dengan mengelompokkan nilai bobot
gabungan yang merupakan penjumlahan dari ke tiga indikator.

Tabel 3.1 Penilaian Indikator DPI

Indikator DPI
DPI Kategori DPI
Jumlah o Klorofil-a
Ukuran (cm) SPL ( C)
Tangkapan (Kg) (mg/m)

Layak Tangkap
Banyak (n=3) (n=2) potensial (n=3) Banyak (n=3) potensial(n=8-7)
DPI
KE-i
Sedang (n=2) Sedang (n=2) Sedang (n=2) Sedang (n= 6-5)

Tidak
layak tangkap
Kurang (n=1) (n=1) Kurang (n=1) Sedikit (n=1) Kurang (n= 4-3)

Penjelasannya sebagai berikut :

 Apabila nilai bobot gabungan berada pada nilai tertinggi maka DPI
ditetapkan sebagai DPI potensial
 Apabila nilai bobot gabungan berada pada nilai menengah maka DPI
tersebut dikatategorik sebagai DPI sedang
 Apabila nilai bobot dikategorikan berada pada nilai terendah maka DPI
tersebult ditetapkan sebagai DPI kurang potensial
DAFTAR PUSTAKA

Adi Wahyu, Bukhari, dan Kurniawan. 2014. Pendugaan Daerah Penagkapan Ikan
Bawal putih Berdasarkan Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a di
Perairan Bangka. [Jurnal Riset]. Fakultas Pertanian, Universits Bangka
Belitung. Bangka Belitung
Ali, K. 2014. Pemetaan Suhu Permukaan Laut di Perairan Timur Aceh dengan
Menggunakan Citra Aqua MODIS. Pekanbaru: Universitas Riau.
Indrayani, A. Mallawa dan M. Zainuddin. 2012. Penentuan Karakteristik Habitat
Daerah Potensial Ikan Demersal Kecil dengan Pendekatan Spasial di
Perairan Sinjai. [Jurnal Riset]. Fakultas Ilmu Kelautan, Universitas
Hasanuddin, Makassar, 10 hlm.
Jumsurizal, Alfa Nelwan, Muh. Kurnia. 2014. Produktivitas Penangkapan Ikan
Bawal putih (Pampus argenteus)Menggunakan Pancing Ulur di Perariran
Kabupaten Bintan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin, Makassar
Mackie C M. Lewis D P. Gaughan J D. Newman J S. 2005. Variability in
spawning frequency and reproductive development of the narrow-barred
Spanish mackerel (Pampus argenteus)along the west coast of Australia.
Western Australian Marine Research Laboratories Department of
Fisheries.
Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani. 2017. Penetuan Daerah
Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Distribusi Suhu
Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan Ikan di Perairan Utara
Indramayu. [Jurnal Riset]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Padjadjaran. Sumedang.
Satriayanson Girsang, Harry. 2008. Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan
Tongkol Melalu Pemetaan Penyebaran Klorofil A dan Hasil Tangkapan di
Palabuhanratu, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

You might also like