You are on page 1of 19

Kimia Organik Bahan Alam

ALKALOID

KELOMPOK 6

HASWINA FEBRIANTI H311 16 505

MARISA ERNI WIDIYANA H311 16 507

INDRIANI H311 16 509

AMALIAH TASRIF H311 16 501

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

segala berkat, rahmat, karunia, kemudahan dan kelancaran-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Alkaloid”. Makalah ini telah dibuat

dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan

tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu,

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa

dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan adanya

kritik dan saran yang bisa menunjang untuk perbaikan makalah ini. Semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan juga penulis khususnya.

Makassar, 22 Oktober 2018

Kelompok VI
DAFTAR ISI

Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian senyawa Alkaloid


b. Sifat fisika dan Kimia
c. Struktur dan Klasifikasi Alkaloid

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keanekaragaman flora (biodiversity) berarti keanekaragaman senyawa

kimia (chemodiversity) yang kemungkinan terkandung di dalamnya baik yang

berupa metabolisme primer (metabolit primer0 seperti protein, karbohidrat, dan

lemak yang digunakan oleh tumbuhan itu sendiri untuk pertumbuhannya ataupun

senyawa kimia dari hasil metabolisme sekunder (metabolit sekunder) seperti

terpenoid, steroid, kumarin, flavonoid, dan alkaloid. Senyawa metabolit sekunder

merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas

dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk

tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Hal ini memacu dilakukannya

penelitian dan penelusuran senyawa kimia terutama metabolit sekunder yang

terkandung dalam tumbuh-tumbuhan.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti teknik

pemisahan, metode analisis, dan uji farmakologi. Senyawa hasil isolasi atau

senyawa semi sintetik yang diperoleh dari tumbuhan sebagai obat atau bahan baku

obat. Metabolisme sekunder juga disebut metabolisme khusus adalah istilah untuk

jalur dan molekul kecil produk dari metabolisme yang tidak mutlak diperlukan

untuk kelangsungan hidup organisme. Senyawa kimia sebagai hasil metabolit

sekunder telah banyak digunakan untuk zat warna, racun, aroma makanan, obat-

obatan dan sebagainya. Oleh karena itu, dibuatlah makalah tentang biosintesis

alkaloid.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses biosintesis dari alkaloid

1.3 Tujuan Percobaan

1. Mengetahui proses biosintesis dari alkaloid


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biosintesis Alkaloid

Biosintesis alkaloid pada umumnya menggunakan asam amino sebagai

prekursor, meskipun ditemukan pula alkaloid yang biosintesisnya tidak

menggunakan asam amino sebagai prekursor, dikenal sebagai kelompok

pseudoalkaloid. Isoprenoid menggunakan prekursor isopren, terbentuk melalui

jalur jalur asam mevalonat seperti alkaloid-terpen, alkaloid-steroid, selain itu

dikenal pula alkaloid purin yang biosintesisnya berasal dari purin. Mekanisme

biosintesis tidak semuanya dapat dipahami dengan pendekatan reaksi kimia secara

konvensional, karena transformasi molekul yang berlangsung dalam biosintesis

umumnya dijalankan oleh enzim dan dalam pengendalian biogenetik yang

kompleks.

2.1.1 Alkaloid Pirolisidin dan Biosintesisnya

Kerangka dasar molekul pirolisidin merupakan senyawa bisiklik yang

terbentuk dari dua cincin segilima terpadu melalui atom nitrogen sebagai fusi.

Biosintesis pirolisidin berasal dari dua molekul asam amino ornitin. Kelompok

senyawa ini tersebar luas pada tumbuahn marga boraginaceae, compositae, dan

leguminoceae. Retronesin ditemukan pada sinecio sp. Indisin-N-oksida dari

indicum heliotropium menunjukkan aktivitas anti-leukemia yang signifikan.

Pembentukan kerangka molekul pirolisidin bermula dari dua molekul ornitin

yang bergabung melalui putresin sebagai molekul membentuk homospermidin

selanjutnya dengan beberapa tahap transformasi menghasilkan retronesin.


NH2 NH2
NH3

COOH +
1
H2N
NH2
H2N
Ornitin Putresin NH2

NH2
CHO NH2

NH2 NH2
3 2 N

H H
N N

Homospermidin
4

H CHO

NH2 5 CHO
6

N N N

OH
HO
H

Retronesin

2.1.2 Alkaloid indolisidin

Indolisidin alkaloid merupakan salah satu senyawa yang merupakan

golongan dari alkaloid. Dalam tanaman, senyawa indolizidin alkoloid ini

mempunyai sifat racun dan dapat membahayakan bagi ternak, terutama bila

dikonsumsi secara berlebihan. Salah satu jenis keracunan dari indolizidin alkaloid

yang terjadi adalah locoisme.

Indolisidin ditandai dengan keranka dasar yang terdiri dari cincin lima

terpadu dengan atom nitrogen sebagai fusi, terlihat sebagai hibrida antara

kerangka pirolisidin dengan kuinolisidin. Biosintesis kelompok indolisidin berasal

dari precursor lisin melalui senyawa antara asam pipekolit yang didukung oleh

asetilkoenzim-A. Alkaloid jenis indolisidin banyak ditemukan dalam tumbuhan

Leguminoceae, Fabaceae, antara lain kartasospermin dari Castanospermum


austral dan swainsonin dari Swainsona canescens (gambar 1). Kedua molekul

tersebut merupakan polihidroksilindolisidin yang terbukti menunjukkan aktivitas

terhadap virus HIV, karena dapat menghambat enzim glukosidase yang terlibat

dalam biosintesis glikoprotein yang memiliki peranan penting bagi perkembangan

virus AIDS. Ester 6-O-butanoilkastanospermin sedang dalam uji klinis sebagai

agen anti-HIV. Alkaloid ini juga beracun bagi hewan karena menyebabkan

gangguan gastrointestinal dan sangat mempengaruhi hidrolisis pada usus. Berikut

ini adalah struktur dasar dari indolisidin dan struktur swainsonin, kartanospermin,
OH OH
8 OH OH
1 H H
7 9 HO

2
N OH
6
4 N N
3
5
Indolisin Swainsonin HO
Kastanospermin

OH
OH
H
HO

N
O
6-O-butanoilkastanospermin

Jenis–jenis tanaman yang mengandung indolizidin alkaloid swainsonin

adalah Astragalus dan Oxytropis. Tanaman ini biasanya ditemukan di daerah

Australia Barat. Ternak yang biasanya mengkonsumsi tanaman ini adalah sapi,

kuda dan domba, namun kadang-kadang diberi

Gambar 1. Tanaman Swainsona canescens dan


Castanospermum australe
Tanaman ini telah dikenal lebih dari 75 tahun mempunyai kesamaan

fisiologi dengan Swainsona spp. yang pernah meracuni hewan ternak di Australia

Barat. Faktor-faktor yang menjadi penyebab keracunan pada ternak dari tanaman

tersebut sulit dipahami sampai tahun 1979 ketika diteliti di Universitas Murdoch

Australia Barat yang diidentifikasi sebagai indolizidin alkaloid. Tanaman

astragalus adsurgens dan bagannya dapat dilihat pada gambar 2 berikut:

Gambar 2. Tanama Astragalus adsurgens dan Oxytropis

Kastonosfermin merupakan indolizidin alkaloid yang serupa dalam

strukturnya dengan swainsonin. Racun ini terdapat pada daun-daunan, biji-bijian

kulit pohon pada Castonofermum australe. Hewan ternak mengalami keracunan

hingga periode/musim kering ketika makanan hijauan sudah tidak mencukupi dan

binatang ternak mengkonsumsi sejumlah besar biji-bijian. Diare yang berat adalah

tanda-tanda yang paling banyak dalam keracunan, disertai badan lemah. Radang

biasa dalam saluran pencernaan juga sering terjadi.

Biosintesis alkaloid indolisidin khususnya swainsonin menggunakan lisin

sebagai prekursor, selanjutnya melalui reaksi basa Schiff membentuk senyawa


antara pipekolat yang mengalami aktivasi oleh koenzim-A dan berlanjut dengan

kondensasi Claisen dengan asetil koenzim-A dan siklisasi membentuk cincin

indolisidin selanjutnya menghasilkan swainsonin. Adapun biosintesis swainsoni

sebagai berikut:

COOH COOH
COOH COOH
NH2 NH2

NH2 O N NH

HSCoA
Lisin Aminoadipat Piperadin asam karboksilat

Asetil CoA

O O
H OH H H

N N NH
O SCoA

OH
OH OH
H H

OH OH
N N

Swainsonin

Biosintesis Retronesia (Alkaloid Pirolisidin)

pembentukan kerangka molekul pirolisidin bermula dari dua molekul omitin

yang bergabung melalui putresin sebagai molekul membentuk homospermidin

selanjurnya dengan beberapa tahap transformasi menghasilkan retronesin.


Biosintesis Retronesin dari Omitin

2.1.3 Biosintesis Kuinin dan Kuinidin (alkaloid Kuinolin)

Kuinin, kuinidin, sinkonidin dan sinkonin adalah kelompok alkaloid

kuinolin yang ditemukan dalam tumbuhan. Biosintesis molekul tersebut

menggunakan triptofan dan sekologanin sebagai prekursor, selanjutnya

mengalami penataan ulang molekul, termodifikasi melalui kerangka indol

akhirnya membentuk kuinolin, terjadi transformasi indol ke kuinolin.

Biosintesis Kuinin dan Kuinidin dari Triptofan dan Sekologanin


2.1.4 Biosintesis Alkaloid Indol

Alkaloid indol merupakan jenis alkaloid yang melimpah, terbesar luas

dala, organism terutama tumbuhan. Kelompok alkaloid ini biosintesisnya

menggunakan asam amino triptopan sebagai prekursor. Biosintesis alkaloid


mula-mula didasarkan pada hasil analisa terhadap ciri struktur tertentu yang sama-

sama terdapat dalam berbagai molekul alkaloid. Sebagai contoh geramin. eleagnin

dan haran adalah tiga indol sederhana yang dihasilkan triptopan. Contoh reaksinya

adalah:

Biosintesis Gramin, Eleagin, dan Harman dari Triptopan

2.1.5 Biosintesi Alkaloid Purin

Biosintesis dimulai dari adenosine monofosfat mengalami transaminasi

membentuk inosin 5-monofosfat (IMP) dan XMP, metilasi menghasilkan 7-meli

XMP. Hidrolisis 7-metil XMP menghasilkan 7-metilxantin selanjunya

menghasilkan teobromin dan kafein setelah mengalami metilasi

Biosintesis Alkaloid Purin, Kafein dan Teobromin


Purin adalah inti heterostatik yang mengandung 6 cincin pirimidin yang

bergabung dengan 5 cincin imidazol. Purin sendiri tidak ada di alam, tetapi

derivatnya signifikan secara biologis. Alkaloid purin merupakan turunan dari

metabolit sekunder dan turunannya berupa xantin. Tiga contoh yang paling

dikenal antara lain kafein (1,3,7-trimetilxantin), teofillin (1,3-dimetilxantin) dan

teobromin (3,7-dimetilxantin).

Minuman seperti teh dan kopi sama-sama memiliki efek stimulan pada

bahannya. Kafein menstimulasi susunan saraf pusat dan memiliki efek diretik

lemah, sedangkan teobromin memiliki efek yang berkebalikan dengan kafein.

Teofillin pada umunya memiliki struktur yang sama dan sangat efektif untuk

merelaksasi otot tak sadar. Kafein merupakan alkaloid turunan xantin, yaitu

1,3,7-trimetilxantin bersifat basa lemah dan garamnya mudah terurai dalam air.

Teh (Camellia sp) merupakan tanaman yang sering dikonsumsi sebagai minuman

yang diperoleh dari seduhan serbuk teh. Serbuk teh diperoleh dari daun teh yang

telah mengalami pengolahan. Selain itu, teh juga memiliki kandungan

senyawa-senyawa bermanfaat seperti polifenol, teofilin, tanin, vitamin C dan E,

serta katekin, sehingga teh memiliki berbagai manfaat yang baik bagi tubuh,

seperti sebagai antioksidan, memperbaiki sel-sel yang rusak, menghaluskan kulit,

melangsingkan tubuh, mencegah kanker, mencegah penyakit jantung, mengurangi

kolesterol dalam darah, dan melancarkan sirkulasi darah. Teh juga mengandung

kafein dalam dosis kecil dapat meningkatkan kewaspadaan, menghilangkan

kantuk, mengurangi kelelahan dan sebagai diuretik. Bagian yang paling banyak

mengandung kafein pada tanaman the adalah daunnya. Kadar kafein yang

terkandung dalam daun teh yaitu sebesar 1-5 %. Isolasi kafein dalam teh dapat

dilakukan dengan cara kristalisasi.


Pada percobaan pembuatan kafein benzoat secara semisintetis dari serbuk teh

kayu aro, kafein diisolasi dari 25 gram sampel serbuk teh dengan cara difraksinasi

dan dikristalisasi sehingga diperoleh 102 mg kristal kafein. Kristal kafein hasil

isolasi sebanyak 50 mg direaksikan dengan 32 mg asam benzoat hasilnya adalah

30 mg kafein benzoat. Kafein benzoat dikarakterisasi dengan organoleptis yaitu

bentuk serbuk halus, warna putih kehijauan, rasa pahit, bau khas. Titik leleh yaitu

196 oC. Spektrum inframerah menunjukkan adanya gugus O-H asam pada

bilangan gelombang 2700-2500 cm-1, dimana gugus fungsi ini tidak ada pada

spektrum kristal kafein. Panjang gelombang serapan maksimum diperoleh 273,5

nm. Profil kromatografi lapis tipis dengan fase diam silika gel 60 F254 dan fase

gerak kloroform : etanol (99:1) menunjukan nilai Rf 0,35.

Dari hasil pemeriksaan pemeriksaan spektrum dengan spektrofotometer

inframerah kafein murni dan kafein hasil kristalisasi terlihat bahwa daerah sidik

jari dan gugus fungsi dari keduanya hampir sama dan menghasilkan jenis ikatan

yang hampir sama pula. Pada daerah bilangan gelombang 3000-2850 cm-1

menunjukkan adanya gugus C-H, gugus C=O pada daerah 1725-1675 cm-1,

ikatan C=C pada daerah 1680-1600 cm-1, dan gugus C=N pada daerah 1675-1500

cm-1 serta pada daerah sidik jari 1450-1375 cm-1 adanya ikatan CH3, sedangkan

spektrum inframerah kafein benzoat terlihat adanya perbedaan pada bilangan

gelombang dan gugus fungsinya. Pada bilangan gelombang 2700-2500 cm-1

terlihat adanya gugus O–H asam sedangkan pada kafein hasil kristalisasi tidak

ada.
Kemudian penentuan panjang gelombang serapan maksimum untuk kafein

murni, kafein hasil kristalisasi dan kafein benzoat dalam pelarut kloroform pada
konsentrasi 6 µg/mL. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 200-400

nm. Hasil pengamatan panjang gelombang serapan maksimum kafein murni,

kafein hasil kristalisasi, dan kafein benzoat dapat dilihat pada Gambar 7, 8, dan 9.

Hasil dari penentuan panjang gelombang serapan maksimum larutan kafein murni

dan kafein hasil kristalisasi dalam pelarut kloroform konsentrasi 6 µg/mL

memiliki panjang gelombang maksimum dan daerah serapan yang tidak jauh

berbeda yaitu panjang gelombang maksimum kafein murni adalah 275 nm,

absorban 0,333, sedangkan panjang gelombang maksimum kafein hasil kristalisasi

276 nm, absorban 0,278.


Pemeriksaan kemurnian juga dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis

(KLT). Menggunakan silika gel 60 F254 sebagai penjerap fase diam dan kloroform

dan etanol sebagai fase gerak dengan perbandingan 99:1. Pengamatan jarak

tempuh noda diamati dibawah lampu UV 254 nm.

Hasil pengamatan yang telah dilakukan terlihat perbedaan jarak tempuh

noda antara kafein murni dengan kafein hasil kristalisasi memiliki nilai Rf yang

sama yaitu 0,325 sedangkan kafein benzoat memiliki nilai Rf 0,35. Jadi dari

penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kafein benzoate

memiliki karakterisasi yang berbeda dengan kafein hasil kristalisasi dan kafein

benzoat telah berhasil dikarakterisasi.


Karakterisasi kafein benzoat yang tediri dari uji organoleptik berbentuk

serbuk halus, warna putih kehijauan, rasa pahit, bau khas. Titik leleh 196 oC,

pemeriksaan spektrumnya terlihat perbedaan pada bilangan gelombang 2700-

2500 cm-1 terlihat adanya gugus O–H asam dan pada bilangan gelombang 1725-

1700 cm-1 adanya gugus C=O sedangkan pada kafein hasil kristalisasi tidak ada,

panjang gelombang serapan maksimum 273,5 nm, absorban 0,247, dan

pemeriksaan kemurnian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) diperoleh nilai

Rf untuk kafein murni dan kafein hasil kristalisasi adalah 0,325, sedangkan nilai

Rf untuk kafein benzoat adalah 0,35.


DAFTAR PUSTAKA

Fauziah, F., Zulharmita., dan Ningsih, W., 2017, Pembuatan Kafein Benzoat
Secara Semisintesis Dari Serbuk The Kayu Aro, Jurnal Farmasi Higea,
9(1): 9-19.

You might also like