You are on page 1of 15

MAKALAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN DASAR HUKUMNYA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dosen Pengampu:
Ramadhita, M.HI

Oleh:
Rizki Mutoharoh (16210030)
Abdul Aziz (16210051)
Hidayatus Shofiyana (16210152)

JURUSAN AL-AHWAL AS-SYAKHSHIYYAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dan kami berterimakasih kepada bapak
Ramadhita, M.HI. selaku Dosen mata kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa di
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan tugas ini kepada
kami. Dalam penyusunan makalah Alternatif Penyelesaian Sengketa ini tidak
sedikit hambatan yang penulis hadapi, namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan orang tua dan semua pihak yang ikut andil didalamnya sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Alternatif Penyelesaian Sengketa ini disusun agar pembaca mengetahui
penjelasan, pengertian, pembagian dan macam-macam alternatif penyelesaian
sengketa yang harus dipelajari. Alternatif Penyelesaian Sengketa ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari penyusun maupun
yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan
dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah Alternatif Penyelesaian Sengketa ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya khususnya para mahasiswa UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna untuk itu kami memohon kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan
datang dan mengharapkan kitik dan saran dari para pembaca.

Malang, 25 Februari 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN UTAMA .................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah......................................................................... 1
C. Tujuan Makalah ............................................................................ 1

BAB II: PEMBAHASAN

A. Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa ............................... 2


B. Dasar Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa .......................... 4
C. Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Sengketa ....................... 7

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................. 10
B. Saran ............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asal mula sengketa biasanya bermula pada suatu sisi dimana ada pihak
yang merasa dirugikan leh pihak lain. Biasanya ini diawali dengan perasaan
yang tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami
perorangan maupun kelompok hubungan konfliktual ini berkelanjutan,
perasaan tidak puas muncul ke permukaan. Jika hal ini berkelanjutan pihak
yang dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan
apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka
selesailah hubungan konfliktual tersebut. Sebaliknya jika reaksi dari pihak
kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau nilai-nilai yang berbeda, maka
terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.
Proses sengketa mulai karena tidak adanya titik temu antara pihak-
pihak yang bersangkutan. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai
pendirian/pendapat yang berbedaberanjak ke situasi sengketa. Secara umum
orang tidak akan memilih untuk mengutarakan pendapat yang mengakibatkan
konflik terbuka. Ini disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi
yang tidak menyenangkan, yaitu dimana (pribadi atau sebagai wakil
kelompoknya) harus menghadapi situasi yang rumit yang mengundang
ketidaktentuan sehingga dapat mengubah kedudukan yang stabil dan aman.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa?
2. Apa dasar hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa?
3. Apa saja macam-macam Alternatif Penyelesaian Sengketa?
C. Tujuan Makalah
1. Mendeskripsikan pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2. Menjabarkan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3. Memaparkan macam-macam Alternatif Penyelesaian Sengketa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa


Alternatif penyelesaian sengketa atau di istilah inggris dikenal dengan
ADR (Alternative Dispute Resolutions). ADR sendiri merupakan bahasa
asing yang dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berbagai istilah
dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh
berbagai pihak seperti Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS),1 Mekanisme
Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS),2 pilihan penyelesaian sengketa
diluar pengadilan dan mekanisme penyelesaian sengketa kooperatif.
Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to
litigation namun seringkali juga diartikan sebagai alternative to adjudication.
Pemilihan terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut menimbulkan
implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi acuan
(alternative to litigation), maka seluruh mekanisme penyelesaian sengketa
diluar pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Apabila
ADR (diluar litigasi dan arbitrase) merupakan bagian dari ADR, pengertian
ADR sebagai alternative to adjudication dapat meliputi mekanisme
penyelesaian sengketa yang bersifat konsensual atau kooperatif seperti halnya
negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
Bila kita mengikuti pengertian ADR sebagai Alternative to adjudication
maka padanan istilah MAPS, PPS atau mekanisme penyelesaian sengketa
secara kooperatif merupakan tida istilah untuk dipertimbangkan sebagai
padanan istilah bahasa Indonesia. Apabila ADR diartikan sebagai alternative
to litigation, mekanisme arbitrase dapat dimasukkan atau digolongkan ke
dalam kelompok ADR, sehingga MAPS dan PPS merupakan dua padanan
istilah yang dipertimbangkan.3

1
UU No.23 Tahun 1997
2
Hutapea, Mendayagunakan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan (MAPS) di
Indonesia, WALHI, Jakarta, 1992.
3
Mas Ahmad Santosa, makalah Pelembagaan ADR di Indonesia, pada Kuliah Umum ADR di
Fakultas Hukum Unika Atmajaya, Jakarta, 1997, h. 1-2.

2
Istilah ADR merupakan label atau merek yang diberikan untuk
mengelompokkan proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Masalah
pilihan istilah adalah salah satu hal yang perlu dipikirkan lebih jauh. Untuk
menjamin keberhasilan upaya menyebarluaskan penerapan ADR di
Indonesia, diperlukan istilah yang singkat dan mudah untuk dimengerti, dan
tidak menimbulkan kerancuan pengertian.
Secara teoritis, bidang tenaga kerja telah diatur jalur penyelesaian
sengketa yang bernafaskan suatu rangkaian kesatuan. Istilah bipatrit dan
tripatrit digunakan sesuai asas negosiasi, mediasi, konsiliasi. UU No. 22
Tahun 1957 mengatur penggunaan arbitrase, yaitu arbitrase wajib, melalui
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dan Daerah (P4P/P4D),
arbitrase sukarela yang melibatkan pihak diluar Depnaker. UU No. 25 Tahun
1997, Pasal 71 mengatur adanya lembaga banding setelah mediasi, yaitu
“Lembaga Penyelesaian Perselisihan Industrial” yang identik dengan lembaga
P4P/P4D.
Pilihan Penyelesaian Sengketa merupakan padanan istilah, setidaknya
dianggap baku secara nasional terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.4 Ada 3 faktor yang
mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu :
a. Kepentingan (interest)
b. Hak-hak (rights)
c. Status kekuasaan (power)

Para pihak bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya


dipenuhi serta ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan
dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang
bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor
tersebut.5

B. Dasar Hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa

4
Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), h. 31.
5
Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, h. 29.

3
Alternatif penyelesaian sengketa pada dasarnya adalah cara
penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui perdamaian. Penyelesaian
sengketa secara damai dilandasi adanya kesepakatan yang oleh para pihak
dianggap paling baik. Adapun landasan hukum alternatif penyelesaian
sengketa dapat dikemukakan sebagai berikut:6

1. Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang


dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuat-
nya. Ketentuan ini mengandung asas perjanjian bersifat terbuka. Artinya,
dalam menyelesaikan masalah, setiap orang bebas merumuskan dalam
bentuk perjanjian yang isinya dapat dijalankan dalam rangka
menyelesaikan masalah.
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 1340 KUHPerdata bahwa perjanjian
hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Untuk
menyelesaikan sengketa nonlitigasi ketentuan tersebut menjadi penting
dalam hal mengingatkan kepada para pihak yang bersengketa bahwa
kepadanya diberikan kebebasan oleh hukum untuk memilih jalan dalam
menyelesaikan masalahnya yang dapat dituangkan dalam bentuk
perjanjian, asalkan perjanjian tersebut dibuat secara sah, memenuhi syarat-
syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
2. Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan timbal balik, manakala salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Ketentuan tersebut penting untuk
mengingatkan para pihak yang membuat perjanjian dalam menyelesaikan
masalahnya bahwa perjanjian tersebut harus dilaksanakan secara
konsekuen oleh para pihak.
3. Pasal 1851 s/d 1864 KUHPerdata tentang Perdamaian.7 Bahwa
perdamaian adalah perjanjian, karenanya perjanjian perdamaian itu sah
kalau dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan dibuat secara

6
Dewi Tuti Muryati, “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang
Perdagangan,” Dinamika Sosbud, 13 (2011), h. 52.
7
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h.
457.

4
tertulis. Perdamaian tersebut dapat dilakukan di dalam Pengadilan maupun
di luar Pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa nonlitigasi, perdamaian
tersebut dibuat di luar Pengadilan yang mana lebih menekankan pada cara
sengketa hukum dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian di luar
Pengadilan dan perdamaian tesebut mempunyai kekuatan untuk
dijalankan.
4. UU No. 30 Tahun 1999, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
kepada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis sebelum atau
sesudah sengketa dengan menunjuk seorang atau lebih arbiter untuk
memberi putusan atas sengketa. Selanjutnya yang dimaksud dengan
alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa melalui
prosedur yang telah disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Penyelesaian Sengketa


Alternatif ini dipertegas dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Adapun dasar-dasar hukum tersebut antara lain dapat
ditemukan dalam:8
1. Pancasila, sebagai dasar filosofi kehidupan masyarakat yang telah
mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa melalui musyawarah
mufakat lebih diutamakan (Sila ke-4).
2. UUD 1945, sebagai hukum dasar di Indonesia, juga menekankan pada
kebersamaan dan kegotongroyongan (Pasal 33).
3. Pasal 377 HIR/705 RBg, yang menyatakan:

“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki


perselisihan mereka diputuskan oleh Jurupisah (wasit), maka mereka
wajib menuruti pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.

4. Pasal 615 s/d 651 Rv, yang meliputi lima bagian pokok, yaitu:

8
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta:
Gama Media 2008), h. 24.

5
a. Bagian pertama (Ps. 615-623) tentang persetujuan arbritase dan
pengangkatan arbiter.
b. Bagian kedua (Ps. 624-630) tentang pemeriksaan di muka badan
arbitrase.
c. Bagian ketiga (Ps. 631-640) tentang putusan arbitrase.
d. Bagian keempat (Ps. 641-647) tentang upaya-upaya terhadap
putusan arbitrase.
e. Bagian kelima (Ps. 647-651) tentang berakhirnya cara-cara
arbitrase.
5. Undang-Undang No. 14 tahun 1970, yang termuat dalam Penjelasan
Pasal 3 dan Pasal 14 ayat (2).
a. Penjelasan pasal 3 menyebutkan: “Penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase)
tetap diperbolehkan”.
b. Pasal 14 ayat (2) menyatakan: “Ketentuan dalam ayat (1) tidak
menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata
secara perdamaian”.
c. UU No. 14 Tahun 1970 berdasarkan Pasal 48 UU No. 4 tahun
2004 secara resmi dinyatakan tidak berlaku..
6. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang termuat dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) dan pasal 16 ayat (1)
dan (2).
a. Penjelasan pasal 3 ayat (1) menyebutkan: “Ketentuan ini tidak
menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar
peradilan Negara melalui perdamaian ataupun arbitrase”.
b. Pasal 16 menyebutkan:
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.

6
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menutup usaha penyelesaian perkara perkara secara
perdamaian.
7. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dalam Pasal 81 UU No. 30 tahun 1999, ketentuan mengenai
arbitrase dalam HIR, RBg dan RV secara resmi dinyatakan tidak
berlaku.
8. Konvensi-konvensi Internasional tentang arbitrase internasional yang
telah diratifikasi, seperti Konvensi Washington dengan UU No. 5
Tahun 1968, Konvensi New York 1958 dengan Keppres No. 34 Tahun
1981.

C. Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Sengketa

Adapun mengenai macam-macam bentuk penyelesaian alternatif


sengketa antara lain:9

1. Konsultasi
`Mengenai konsultasi menurut Gunawan, Widjaya, dan Ahmad Yani
yang di kutip dari Black’s law Dictionary, mereka menguraikan bahwa
pada prinsipnya konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal”
antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain
yang merupakan “konsultasi”, yang memeberikan pendapatnya pada klien
tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.
Dalam hal ini konsultan hanya memberikan pendapat (hukum),
sebagaimana yang diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya
keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri
oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan
kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian yang
dikehendaki oleh pada pihak yang bersengketa tersebut.

9
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, h. 29-34.

7
Dengan demikian klien bebas untuk menentukan pilihan
keputusannya sendiri, walau tidak menutup kemungkinan untuk
mempergunakan pendapat yang dismapaikan pihak konslutan.
2. Negosiasi dan Perdamaian
Negosiasi berasal dari kata negotiation (Inggris) yang artinya
perundingan atau musyawarah. Orang yang mengadakan perundingan
disebut negosiator. Menurut Fisher dan Ulry negosiasi adalah proses
komunikasi dua arah yang bertujuan untuk mecapai kesepakatan pada saat
kedua belah pihak memiliki beberapa kepentingan yang sama maupun
berbeda, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
Jadi negosiasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh kedua belah pihak sendiri tanpa bantuan dari pihak lain
dengan cara musyawarah untuk mencari suatu kesepakatan yang adil oleh
para pihak.
3. Mediasi (Penegahan)
Mediasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan
bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (impartial) yang turut
aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian
masalah. Namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang
mengambil keputusan. Keputusan penyelesaian masalah tetap berada pada
tangan pihak yang bersengketa.
Apabila sudah mencapai kesepakatan, maka keputusan tersebut
wajib ditulis dan didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan
dalam waktu lama 30 hari sejak pendaftaran.
4. Konsiliasi (Permufakatan)
Konsiliansi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak
ketiga (konsiliator). Konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil
inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, dan
selanjutnya akan diajukkan dan ditawarkan kepada para pihak yang
bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu
kesepakatan maka pihak ketiga mengajukkan usulan jalan keluar dari

8
sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat
putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi yang
pelaksanaanya sangat tergantung dari i’tikad baik para pihak yang
bersengketa.
5. Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat dengan
melibatkan pihak ketiga yang diberi kewenangan penuh untuk oleh para
pihak untuk menyelesaikan sengketa, sehingga berwenang mengambil
keputusan yang bersifat final dan mengikat (binding). Para pihak
menyetujui untuk menyelesaikan sengketanyakeapda pihak ketiga yang
netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan.
Dalam Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3
ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan. Akan tetapi, putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari
Pengadilan.
Objek sengketa yang akan diselesaikan melalui arbitrase menurut
pasal 5 ayat 1 Undang-undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.

BAB III

9
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau brda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsilasi atau penilaian ahli. Faktor yang mempengaruhi proses
penyelesaian sengketa, yaitu kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan
status kekuasaan (power).

Dasar hukum alternatif penyelesaian sengketa di antara yaitu


Pancasila sila ke-4, Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33), Pasal 377
HIR/705 RBg, Pasal 615 s/d 651 Rv, UU No. 14 tahun 1970, UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, konvensi-
konvensi Internasional tentang arbitrase internasional yang telah
diratifikasi seperti Konvensi Washington dengan UU No. 5 Tahun 1968
dan Konvensi New York 1958 dengan Keppres No. 34 Tahun 1981, Pasal
1338 KUHPerdata, 1340 KUHPerdata, Pasal 1266 KUHPerdata dan Pasal
1851 s/d 1864 KUHPerdata.

Macam-macam bentuk penyelesaian alternatif sengketa yang


pertama adalah konsultasi, yaitu dalam hal ini konsultan hanya
memberikan pendapat (hukum) sebagaimana yang diminta oleh kliennya.
Kedua, negosiasi dan perdamaian yaitu bentuk penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh kedua belah pihak sendiri tanpa bantuan dari pihak lain
dengan cara musyawarah. Ketiga, mediasi (penegahan) yaitu penyelesaian
sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak
(impartial). Keempat, konsiliasi (permufakatan) yaitu penyelesaian
sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator). Kelima, arbitrase
yaitu salah satu bentuk adjudikasi privat dengan melibatkan pihak ketiga
yang diberi kewenangan penuh untuk oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa.

10
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, itu semua hanyalah keterbatasan ilmu pengetahuan yang kami
miliki dan hanyalah mengandalkan buku refensi. Oleh karena itu kami
sangat mengaharap kritik dan saran dari berbagai pihak. Jika pembaca
ingin lebih mendalami materi tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa,
kami menyarankan agar pembaca membaca sumber-sumber lainnya yang
lebih lengkap, bukan hanya dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

11
UU No.23 Tahun 1997

Hutapea. Mendayagunakan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan


(MAPS) di Indonesia. WALHI, Jakarta, 1992.

Margono, Suyud. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.

Muryati, Dewi Tuti. Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di


Bidang Perdagangan. Dinamika Sosbud, 13, 2011.

Santosa, Mas Ahmad. makalah Pelembagaan ADR di Indonesia, pada Kuliah Umum
ADR di Fakultas Hukum Unika Atmajaya. Jakarta, 1997.

Soimin, Soedharyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

Sutiyoso, Bambang. Hukum Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa.


Yogyakarta: Gama Media, 2008.

12

You might also like