Professional Documents
Culture Documents
1
2.3.6. Tanda dan Gejala Klamidiasis ................................................................................ 22
2.3.7. Patogenesis Bakteri.................................................... Error! Bookmark not defined.
2.3.8. Diagnosis Klamidiasis ............................................................................................. 24
2.3.9. Terapi Farmakologi ................................................................................................ 25
2.3.10. Terapi Nonfarmakologi .......................................................................................... 26
2.3.11. Evaluasi dan Monitoring ........................................................................................ 26
2.4. CHANCROID ........................................................................................................... 27
2.4.1. Definisi Penyakit .................................................................................................... 27
2.4.2. Prevalensi Penyakit ................................................................................................ 27
2.4.3. Klasifikasi Penyakit Chancroid................................................................................ 29
2.4.4. Parasit Penyebab Chancroid .............................................................................. 29
2.4.5. Faktor Resiko.............................................................. Error! Bookmark not defined.
2.4.6. Tanda dan Gejala Chancroid .................................................................................. 30
2.4.7. Patogenesis Bakteri Chancroid .............................................................................. 31
2.4.8. Diagnosis Chancroid............................................................................................... 32
2.4.9. Terapi Farmakologi ................................................................................................ 33
2.4.10. Terapi Nonfarmakologi .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.4.11. Evaluasi dan Monitoring ........................................................................................ 34
2.5. PELVIC INFLAMATORY DISEASE ...................................... Error! Bookmark not defined.
2.5.1. Definisi Penyakit ........................................................ Error! Bookmark not defined.
2.5.2. Prevalensi Penyakit .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5.3. Klasifikasi Penyakit Sifilis ............................................ Error! Bookmark not defined.
2.5.4. Parasit Penyebab ..................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5.5. Faktor Resiko.............................................................. Error! Bookmark not defined.
2.5.6. Tanda dan Gejala Sifilis .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.5.7. Patogenesis Bakteri.................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5.8. Diagnosis Sifilis ........................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5.9. Terapi Farmakologi .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.5.10. Terapi Nonfarmakologi .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.5.11. Evaluasi dan Monitoringl ........................................... Error! Bookmark not defined.
2.6. PID ................................................................................ Error! Bookmark not defined.
2.6.1. Definisi Penyakit ........................................................ Error! Bookmark not defined.
2.6.2. Prevalensi Penyakit .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.6.3. Klasifikasi Penyakit Sifilis ............................................ Error! Bookmark not defined.
2
2.6.4. Parasit Penyebab ..................................................... Error! Bookmark not defined.
2.6.5. Faktor Resiko.............................................................. Error! Bookmark not defined.
2.6.6. Tanda dan Gejala Sifilis .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.6.7. Patogenesis Bakteri.................................................... Error! Bookmark not defined.
2.6.8. Diagnosis Sifilis ........................................................... Error! Bookmark not defined.
2.6.9. Terapi Farmakologi .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.6.10. Terapi Nonfarmakologi .............................................. Error! Bookmark not defined.
2.6.11. Evaluasi dan Monitoringl ........................................... Error! Bookmark not defined.
2.7. STUDI KASUS ................................................................. Error! Bookmark not defined.
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Infeksi menular seksual (IMS) yang disebut juga penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi
yang menular lewat hubungan seksual baik dengan pasangan yang sudah tertular, maupun
mereka yang sering berganti-ganti pasangan. Infeksi menular seksual merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang menonjol di sebagian besar wilayah dunia. Kasus dari infeksi
seksual di Indonesia sangat memprihatinkan, pasalnya hampir tujuh dari sepuluh remaja di
Indonesia pernah melakukan hubungan seksual yang menjadi faktor resiko terjadinya PMS.
Selain itu kasus prevalensi tertinggi di dunia PMS itu sendiri disebabkan oleh aktivitas seksual
yang menyimpang, seperti kaum homoseksual yang tidak memperhatikan kesehatan seksual
saat melakukan hubungan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Centre of Disease Control (CDC) pada tahun 2010 nilai
prevalensi kasus PMS itu sendiri ditempati oleh kebisaan hubungan seksual yang dilakukan
oleh pria dengan pria sebesar lebih dari 50 % jika dibandingkan dengan perilaku normal hanya
menyumbah kurang dari 30 % saja. Hal tersebut sangat memprihatinkan dunia kesehatan,
terutama para tenaga kesehatan yang saling bekerja sama dengan disiplin ilmu lain seperti
psikologi dan komunikasi untuk mengurangi kasus tersubut, dimana secara tak langsung
penyimpangan seksual tersebut menyumbang kasus tertinggi PMS.
Kasus infeksi menular seksual (IMS) terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Dari data
yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) tahun 2005, sebanyak 457 juta orang di
seluruh dunia terkena infeksi menular seksual (Schmid, 2009). Indonesia sendri merupakan
salah satu negara dengan kasus PMS tinggi, terutama kalangan remaja atau usia produktif di
kota-kota besar. Laporan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 yang dilakukan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan prevalensi gonoroe dan atau
klamida pada WPSL sebesar 56% mengalami kenaikan 10% dari tahun 2007 yang sebesar 46%
sedangkan pada WPSTL pada tahun 2011 sebesar 47% mengalami kenaikan 12%
dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 35%. (Depkes,2011).
Tingginya angka PMS tersebut membuat penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut sisi
PMS atau IMS itu sendiri dasi segi disiplin ilmu farmakoterapi khususnya penanganan secara
farmakologi dari masing-masing penyakit tersebut.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Infeksi menular seksual adalah infeksi patogen yang ditularkan dengan manifestasi klinis
bervariasi menurut jenis kelamin dan umur, melalui hubungan seksual namun juga dapat
terjadi dari ibu kepada janin dalam kandungan saat kelahiran melalui produk darah atau
transfer jaringan yang telah tercemar, atau melalui alat kesehatan (Kemenkes, 2011). Berikut
beberapa jenis IMS yang disebabkan baik itu oleh bakteri, jamur maupun virus.
2.1. SIFILIS
2.1.1. Definisi Penyakit Sifilis
Sifilis merupakan penyakit menular seksual secara sistemik yang disebabkan oleh infeksi
Treponema pallidum yaitu parasit obligat yang mempunyai bentuk spiral. Infeksi dapat
diklasifikasikan sebagai bawaan (ditularkan dari ibu ke anak dalam kandungan) atau
didapat melalui hubungan seks atau transfusi darah (WHO 2018). Sifilis mudah ditularkan
dari satu orang pada orang lain melalui kontak seksual. Bahkan seseorang dapat
menularkan sifilis tanpa mengetahui dirinya mengidapnya sifilis, karena berdasarkan
gejalanya yang tidak terduga seperti halnya orang sehat biasa.
Menurut Centre of Disease Control (CDC) pada tahun 2010 mendefinisikan sifilis sebagai
penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Berdasarkan temuan klinis,
penyakit dibagi ke dalam serangkaian kumpulan staging yang digunakan untuk
membantu dalam panduan pengobatan dan tindak lanjut.
5
Gambar 1. Grafik penderita sifilis berdasarkan aktivitas kontak seksual (CDC 2017)
Prevalensi penderita sifilis tertinggi berdasarkan aktivitas kontak seksual terjadi pada
kasus aktivitas seksual yang dilakukan oleh pria dengan pria (gay) sebesar 52%, hal
tersebut dikarenakan aktivitas seksual yang tidak sehat (anal sex) dimana anus dijadikan
sebagai sasaran utama aktivitas seksual tersebut yang mana kebersihan pada area
tersebut sangat jarang diperhatikan dan sebagai tempat berkumpulnya berbagai jenis
bakteri dan parasit yang mendukung tingginya infeksi karena anal sex. Untuk prevalensi
terendah justru ditempati oleh kasus aktivitas seksual normal yang dilakukan oleh pria
dan wanita sebesar 6%, serta beberapa kasus yang tidak disebabkan oleh kegiatan
seksual juga bisa menyebabkan terjadinya infeksi seksual tersebut dengan prevalensi
sebesar 12%.
Jika dilihat prevalensi kenaikan jumlah penderita sifilis dari tahun ke tahun sebagian
besar mengalami peningkatan, meskipun ada beberapa yang tidak stabil, terkadang naik
atau turun. Penderita pria mengalami kenaikan dari tahun ketahun, hal tersebut sangat
6
berbanding terbalik dengan jumlah penderita wanita yang mengalami penurunan dari
tahun ke tahun.
Sifilis Sekunder
Sifilis sekunder timbul setelah 6-8 minggu sejak infeksi pertama pada siflis primer.
Pada beberapa kasus keadaan sifilis sekunder biasanya disertai dengan manifestasi
klinik sifilis primer. Gejala mulai ditandai dengan anoreksia, demam, arthralgia dan
angina. Pada stadium ini kelainan pada kulit, rambut, selaput lendir mulut dan
genitalia, kelenjar getah bening dan alat dalam. Selain itu juga, kelainan selaput
lendir berupa plak merah (mucous patch) yang disertai rasa sakit pada tenggorokan.
Pada area genitalia sering dijumpai adanya papul atau plak yang datar dan basah
yang disebut kondilomata lata. Untuk menegakkan diagnosis, disamping kelainan
fisik juga diperlukan pemeriksaan serologis.
Sifilis laten
Gejala klinis tidak tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positif.
Tes yang dilanjutkan adalah VDRL dan TPHA.
Sifilis tersier
Sering disebut sebagai sifilis lanjutan, biasanya pertama timbul dalam durasi 3-10
tahun setelah sifilis dini, dimana berupa gumma yang sirkumskrip. Gejala ditandai
7
dengan keluarnya cairan seropurulen dan kadang-kadang disertai jaringan nekrotik
sehingga terbentuk ulkus (CDC 2010). Gumma sering ditemukan pada area kulit,
mukosa mulut, dan organ dalam terutama hati. Manifestasi lain yang muncul berupa
keluhan pada tulang nyeri pada malam hari. Pada pemeriksaan radiologi terlihat
kelainan pada tibia, fibula, humerus, dan tengkorak berupa periostitis atau osteitis
gummatosa.
Sifilis kardiovaskular
Sifilis kardiovaskular dapat muncul dalam jangka waktu 10-40 tahun setelah infeksi
primer dengan prevalensi sebesar 10% pada keadaan sifilis lanjur dan 40% disertai
dengan neurosifilis (CDC 2010). Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan berdasar
gejala klinis yang muncul, melalui foto sinar X atau rongten. Sifilis kardiovaskuler
dapat dibagi dalam 3 tipe: Sifilis pada jantung, pembuluh darah, serta pembuluh
darah sedang. Sifilis pada jantung dapat menimbulkan miokarditis difuse atau
gumma namun kejadian tersebut sangat jarang terjadi. Pada pembuluh darah besar,
lesi tersebut bisa muncul pada aorta dan arteri pulmonalis. Pembuluh darah sedang,
sering menginfeksi area aorta serebralis dan aorta medulla spinalis (J. Todd 2001).
Gambar 3. Morfologi T. palliium hasil imunokimia pada area inflamasi (CDC 2015)
8
T. pallidum ini secara morfologi berupa bakteri yang berbentuk spiral halus yang memiliki
panjang 5-15 mikron dan diameter 0,01-0,5 mikron dengan masing-masing lekukan
gelombang berjarak 1 mikron, yang memliki 8- 14 gelombang lekukan yang bergerak
secara aktif. Bakteri tersebut bersifat anaerob dan diantaranya bersifat patogen pada
manusia (CDC 2010).
9
Bercak merah polimorfik biasanya di telapak
tangan dan telapak khaki, lesi kulit
Sekunder papuloskuamosa dan mukosa, demam, 2-12 minggu
malaise, limfadenopati generalisata,
kondiloma lata, patchy alopecia, meningitis,
uveitis, retinitis.
Laten Asimptomatik Dini < 1 tahun
Lanjut > 1 tahun
Tersier Guma Destruksi jaringan di organ dan lokasi yang 1-46 tahun
terinfeksi
Bervariasi dari asimtomatis sampai nyeri
Neurosifilitis kepala, vertigo, perubahan kepribadian, 2-20ahun
demensia, ataksia, pupil Argyll Robertson.
Gambar 3. Proses invasi T. pallidum pada sel host melalui faktor virulensi p/4/6//10/11
10
T. pallidum pertama menginfeksi akan melakukan adhesion/penempelan terlebih dahulu
pada sel inang dengan penggunakan protein permukaan p4/6/10/11 sebagai faktor
virulensi yang dapat berinteraksi dengan extramatrix cellular (ECM) pada membran sel,
kemudia invasi akan dimediasi oleh protein p10 (peptide tp0751) yang dikenali oleh
reseptor x pada membran sel sehingga mempermudah jalannya masuk bakteri menuju
ke dalam sel untuk melakukan infeksi yang berakhir dengan pembentukan lesi dan
pelepasan sitokin kimia yang menimbulkan rasa sakit/inflamasi.
Gram staining: pewarnaan Gram merupakan metode paling sederhana untuk deteksi
keberadaan T. pallidum, bakteri tersebut merupakan bakteri Gram negatif yang jelas
memberikan warna merah jika dilakukan pewarnaan Gram.
11
Dark-field microscopy: Metode ini masih tetap salah satu yang paling sederhana dan
paling dapat diandalkan untuk deteksi langsung T. pallidum. Eksudat dan cairan dari
lesi diperiksa sebagai pemasangan basah menggunakan mikroskop lapangan gelap.
Identifikasi pallidum didasarkan pada karakteristik morfologi dan motilitas
spirochete. Metode ini cocok ketika lesi lembab, dan pemeriksaan dapat dilakukan
segera setelah pengumpulan spesimen.
Direct-flourocent antibody: Tes antibodi fluoresen langsung untuk T. pallidum lebih
mudah dilakukan daripada mikroskop lapangan gelap. Mendeteksi antigen dan,
dengan demikian, tidak memerlukan kehadiran treponema motil. Ini adalah tes
paling spesifik untuk diagnosis sifilis ketika lesi hadir. Tes ini menggunakan antibodi
berlabel fluorescein isothiocyanate khusus untuk treponema patogen, dan cocok
untuk pemeriksaan spesimen dari lesi oral dan dubur. Namun, tes ini tidak
membedakan antara T. pallidum dan treponema patogen lainnya yang
menyebabkan frambusia, sifilis endemik.
Nucleic acid amplification method: metode berbasis PCR telah dikembangkan untuk
mendeteksi T. pallidum dalam spesimen klinis. Meskipun metode ini tidak
terstandarisasi, tetapi sangat sensitif, mampu mendeteksi organisme satu hingga 10
per spesimen dengan spesifisitas tinggi. Metode ini juga yang paling praktis dalam
pengaturan tertentu. PCR tidak diragukan lagi menjanjikan sebagai tes pilihan untuk
sifilis kongenital, neurosifilis dan sifilis primer awal ketika tes tradisional memiliki
sensitivitas terbatas. Metode ini dapat digunakan untuk memantau pengobatan, dan
ada juga potensi untuk menggunakannya untuk membedakan infeksi baru dari
infeksi lama.
Tes VDRL, RPR, TRUST dan USR : Tes VDRL dan USR adalah tes mikroflokulasi dan
dibaca di bawah mikroskop. Kelemahan dari tes VDRL adalah bahwa suspensi antigen
harus disiapkan setiap hari, sedangkan tes USR menggunakan antigen yang
distabilkan. Namun, tes VDRL adalah satu-satunya tes nontreponemal yang dapat
digunakan untuk menguji CSF karena sensitivitas dan spesifisitas yang terbatas dari
tes nontreponemal lainnya. Tes RPR dan TRUST adalah tes flokulasi makroskopis dan
tidak memerlukan mikroskop. Uji RPR menggunakan suspensi stabil antigen VDRL
yang ditambahkan partikel arang untuk membantu dalam visualisasi reaksi uji. Tes
12
RPR adalah salah satu tes nontreponemal yang paling umum digunakan, dan
merupakan versi sederhana dari tes VDRL.
TP-PA test: tes aglutinasi partikel Treponema pallidum (TP-PA) (Fujirebio Inc, Jepang)
adalah uji kualitatif untuk mendeteksi antibodi terhadap T pallidum dalam serum
atau plasma. Tes ini didasarkan pada aglutinasi pembawa partikel berwarna yang
peka dengan antigen T pallidum dan telah menggantikan pendahulunya, uji
microhemagglutination-Treponema pallidum (MHA-TP, Fujirebio Inc, Jepang). Tes
TP-PA menggunakan antigen treponema yang sama seperti tes MHA-TP tetapi
menawarkan keuntungan partikel gelatin dari pada eritrosit, sehingga
menghilangkan reaksi non-spesifik dengan sampel plasma. Tes TP-PA lebih murah
dan lebih rumit dari pada tes FTA-ABS, dan hasilnya dibaca dengan mata telanjang.
Ini adalah salah satu tes treponemal yang lebih umum digunakan. Tes TP-PA positif
dalam hubungannya dengan tes nontreponemal positif merupakan indikasi infeksi
saat ini atau sebelumnya dengan T. pallidum.
13
- Azitromisin 2 g dosis tunggal oral.
Sifilis laten (> 1 durasi tahun) atau sifilis laten yang tidak diketahui durasi , sifilis
tersier, retreatment
First line
Dewasa : Benzathine penicillin G 2.4 juta unit IM, satu kali seminggu untuk 3
minggu .
Anak-anak : Benzathine penicillin G 50,000 unit/kg IM satu kali seminggu untuk 3
minggu.
Second line
Penisilin prokain 600.000 unit IM setiap hari selama 17-21 hari, dosis untuk anak-
anak dapat dikonversi berdasarkan luas permukaan tubuh.
14
beresiko, serta rutin melakukan cek kesehatan terutama cek HIV enam bulan sekali.
Selain itu kebersihan diri seberti penggunaan sanitasi air di rumah atau sekitar juga
berpengaruh, karena bakteri tersebut pula bisa hidup dan menginfeksi melalui saluaran
air di lingkungan.
2.2. VAGINITIS
2.2.1. Definisi Penyakit
Vaginitis merupakan keadaan dimana terjadi peradangan pada vagina dengan gejala
yang tidak spesifik dan umumnya sering dirasakan dalam kondisi apapun seperti gatal-
gatal, rasa terbakar, iritasi dan keputihan abnormal. Vaginitis dapat terjadi karena
adanya infeksi baik oleh virus maupun bakteri atau parasit lainnya, namun infeksi yang
paling sering terjadi disebabkan oleh Bacterial vaginosis, Vulvovaginal candidiasis dan
Trichomonias vaginalis.
15
2.2.2. Prevalensi Kejadian
16
keputihan, disertai ada
beberapa bercak kemerahan.
Pada pria asimtomatik,
namum perlu penangan juga.
Vaginitis non- Reaksi alergi atau Gatal dan keputihan normal
infeksi iritasi
2.2.5. Patogenesis
Secara normal bakteri yang dapat menyebabkan infeksi vaginitis terdapat pada area
genital dalam jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah flora normal,
apabila pertumbuhan bakteri tersebut tidak normal dan banyak faktor resiko yang
menginduksi maka akan menyebabkan terjadinya infeksi pada area genital tersebut..
Infeksi vaginitis dapat terjadi karena pertumbuhan tak terkendali dari flora yang ada
pada area genital yang ditambah dengan prilaku atau aktivitas hubungan seksual yang
tidak sehat sehingga akan meningkatkan kejadian infeksi tersebut. Aktibat terjadi
infeksi tersebut, respon imun tubuh akan bekerja melawan infeksi yang terjadi akibat
bakteri atau flora yang tak menguntukan melalui mekanisme reaksi inflamasi yang
dimediasi oleh komponen sel-sel imunitas, dimana reaksi inflamasi yang dihasilkan
akan memediasi rasa nyeri, gatal dan sebagian akan menyebabkan kerusakan sel pada
17
dinding vagina serta terjadi pembusukan sel yang telah dirusak sehingga menimbulkan
keputihan.
18
Miconazole 100 mg
supositoria vagina, 1
supositoria selama 7 hari
Metronidazole 2g P.O 1x1 -
selama 7 hari
Trichomoniasis
Tinidazole 2g P.O 1x1
selama 7 hari
2.3. KLAMIDIASIS
19
Prevalensi klamidia tertinggi terjadi pada Waria di Makassar (27,5%) dan terendah di
Pontianak (12%). Prevalensi klamidia mengalami penurunan di tiap kota dibandingkan
survei sebelumnya. Prevalensi IMS, antara lain sifilis, gonore, dan klamidia mengalami
kenaikan di Yogyakarta dan Tangerang pada tahun 2013 jika dibandingkan dengan
prevalensi pada tahun 2009. Di Yogyakarta, prevalens IMS tertinggi adalah klamidia, yaitu
sebesar 32%. Di Tangerang selain klamidia, prevalensi gonore juga tinggi, yaitu sebesar
32,8%.
20
• Pembesaran skrotum: skrotum membengkak, disertai kemerahan pada kulit di
atasnya dan disertai rasa nyeri yang umumnya di unilateral
• Konjungtivis neonatorum: radang pada mata bayi yang baru lahir. Terdapat
edema kelopak mata, konjungtiva kemerahan, keluar duh tubuh dari mata
sehingga kelopak mata seringkali melekat.
21
Gambar 7. Siklus hidup Chlamydia trachomatis (Sumber: CDC, 2015)
22
berupamucopurulent, akut”, Gejala: disuria dan frekuensi buang
mucoid, atau bening. air kecil.
Komplikasi Epididimitis
Gejala: Demam, Nyeri Pelvic Inflammatory Disease
skrotum unilateral, Gejala: nyeri perut bagian bawah;
Pembengkakan, kelembutan gerakan serviks; atau nyeri
Kelembutan massa uterus pada pemeriksaan panggul.
epididimis saat diuji
Artritis reaktif: lesi kulit Perihepatitis:
(keratoderma blenorrhagica Gejala: radang kapsul hati
dan circinate balanitis) Endometritis
Salpingtis
Artritis reaktif
Gejala pada • Konjungtivitis
wanita dan Gejala: ketidaknyamanan mata unilateral dengan hiperemia. Sekresi
laki-laki mungkin mukopurulen, tetapi biasanya lebih jelas untuk berawan.
• Infeksi Oropharyngeal
Gejala: tonsilitis akut, faringitis akut, atau sindrom sensasi faring
abnormal.
• Proktitis dan Proktokolitis
Gejala: nyeri dubur, keluarnya lendir atau hemoragik, demam, dan /
atau tenesmus.
• Lymphogranuloma venereum (LGV)
Gejala: multipel kelenjar getah bening inguinalis multipel, membesar,
kusut, mungkin supuratif dan biasanya bilateral. Tanda dan gejala
sistemik, seperti demam, kedinginan, dan mialgia.
23
C. trachomatis adalah parasit intraseluler obligat yang berbagi sifat baik virus dan bakteri.
Seperti virus, klamidia membutuhkan materi seluler dari sel inang untuk replikasi;
Namun, tidak seperti virus, klamidia mempertahankan identitas seluler mereka
sepanjang pengembangan. Meskipun C. trachomatis tidak memiliki peptidoglikan
dinding sel, membran terluarnya mirip dengan bakteri gram negatif. Setidaknya ada 18
serovar (subspesies) dari C. trachomatis, di mana hanya strain lymphogranuloma
venereum yang menghasilkan infeksi yang berpotensi invasif. (Dipiro, 2008)
Koinfeksi dengan klamidia terjadi pada sejumlah besar individu dengan gonore dan
semua orang yang didiagnosis dengan N. gonorrhoeae harus diasumsikan juga terinfeksi
C. trachomatis. Yang menjadi perhatian utama adalah infeksi klamidia terkait dengan
peningkatan risiko tertular infeksi HIV secara signifikan. Selain infeksi genital, C.
trachomatis dapat menginfeksi mata pada orang dewasa karena autoinokulasi dan pada
bayi karena persalinan melalui saluran lahir yang terinfeksi. Infeksi faring dan dubur
masing-masing dapat terjadi setelah hubungan seks anal orogenital, dengan individu
yang terinfeksi.
Tes yang mendeteksi antigen klamidia dan asam nukleat bersifat lebih cepat, lebih
mudah, lebih murah, dan memiliki sensitivitas lebih besar daripada kultur. Tes nonkultur
yang biasa digunakan untuk mendeteksi C. trachomatis adalah enzim immunosorbent
assay (EIA), penyelidikan hibridisasi DNA, dan NAAT.
Kebanyakan tes yang tersedia secara komersial yang digunakan untuk mendeteksi C.
trachomatis menggunakan teknik AMDAL yang mendeteksi antigen klamidia
lipopolisakarida (LPS). Dari semua kemajuan dalam diagnosis infeksi C. trachomatis, yang
24
paling penting adalah pengembangan NAAT, yang dapat mendeteksi sejumlah kecil DNA
klamidia. Tes-tes ini sangat sensitif dan spesifik.
25
Bubo Inguinal Doksisiklin 2x100 Eritromisin 4x500 Tetrasiklin
Limfogranuloma mg/hari, per oral, mg/hari, per oral 4x500 mg/hari,
venereum selama 14 hari selama 14 hari per oral selama
14 hari
Pembengkakan Sefiksim 400mg/hari Seftriakson 250
skrotum (karena peroral selama 5 hari mg/hari IM selama 3
gonore dan klamidia) hari ditambah
doksisiklin 100 mg per
oral 2 x sehari selama
14 hari
Pembengkakan Sefiksim 400mg/hari Seftriakson 250
skrotum (karena peroral selama 5 hari mg/hari IM selama 3
gonore, klamidia, hari ditambah
dan organisme Levofloksasin 500 mg
enterik) per oral 1 x sehari
selama 10 hari
Keterangan: dosksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak
dibawah 12 tahun
26
2.4. CHANCROID
2.4.1. Definisi Penyakit Chancroid
Chancroid adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh infeksi Haemophilus
ducreyi. Penyakit ini ditandai dengan ulkus genital nekrotikans dan dapat disertai
limfadenopati inguinal. Chancroid adalah subkelas dari penyakit ulseratif genital yang
ditularkan secara seksual yang menjadi perhatian dunia karena peran penyakit ini sebagai
kofaktor dalam penularan HIV (Buensalido. 2018).
27
jumlah pasangan seksual yang tinggi. Penyakit ini masih memiliki prevalensi di daerah
tertinggal tertentu seperti Asia, Afrika, dan Karibia (Beiras, 2016).
28
2.4.3. Klasifikasi Chancroid
Klasifikasi chancroid dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dari jenis lesi:
(Buensalido. 2018)
Lesi chancroid chancre lunak tidak indurasi, berbeda dengan chancre sifilis yang
terndurasi. Lesi dimulai sebagai papula lunak eritematosa yang menjadi pustular
dan kemudian terkikis untuk membentuk ulkus yang sangat menyakitkan dan
dalam dengan margin yang kasar (berbeda dengan chancre sifilis). Basis ulkus
terdiri dari jaringan granulasi yang biasanya ditutupi dengan eksudat kuning-abu-
abu yang berbau busuk.
Chancroid transien menghasilkan ulkus / lesi yang sembuh dengan cepat dalam 4-
6 hari, diikuti 10-20 hari kemudian oleh limfadenitis supuratif.
Chancroid kerdil (dwarf) bermanifestasi sebagai satu atau beberapa ulserasi seperti
herpes, dengan atau tanpa limfadenopati inguinal.
Chancroid folikuler menghasilkan ulserasi aparatus pilar di area penahan rambut.
Chancroid raksasa (Giant) terdiri dari beberapa ulserasi kecil, yang bergabung
untuk membentuk lesi besar tunggal.
29
2.4.5. Faktor Resiko
Ras
Meskipun tidak ada predileksi rasial yang terbukti, prevalensi chancroid
tertinggi adalah pada orang yang bukan berkulit putih. Prevalensi penyakit
tertinggi pada Afrika, Asia, dan Karibia (Buensalido. 2018).
Seks
Prevalensi chancroid tertinggi terjadi pada pria non-kulit putih yang tidak
disunat. Sebuah meta-analisis 2006 menunjukkan bahwa sunat dapat
melindungi terhadap infeksi sifilis dan chancroid. Wanita hanya mewakili 10%
dari kasus yang diketahui karena wanita lebih cenderung menjadi pembawa
tanpa gejala (Buensalido. 2018).
Status sosial ekonomi
Chancroid lebih sering diidentifikasi pada individu dengan status sosial
ekonomi rendah, pekerja seks komersial, dan pelancong dari daerah endemis
(Buensalido. 2018).
Usia
Meskipun dapat memengaruhi orang-orang dari segala usia, chancroid secara
dominan mempengaruhi orang-orang muda yang aktif secara seksual.
Kelompok usia yang paling umum terkena adalah 21-30 tahun. Wanita
berusia 15-19 tahun memiliki prevalensi tertinggi di antara wanita di Amerika
Serikat, diikuti oleh mereka yang berusia 20-24 tahun. Pada pria, prevalensi
tertinggi adalah pada mereka yang berusia 20-24 tahun (Buensalido. 2018).
2.4.6. Tanda dan Gejala chancroid
Tabel 6. Tanda dan gejala chancroid (Sumber: (Buensalido. 2018).)
Jenis Laki-laki Perempuan
Historis Gejala: ulkus supuratif yang nyeri yang bisa tunggal atau
beberapa. Infeksi dimulai sebagai papula, yang dengan
cepat berkembang menjadi pustula dan pembentukan
ulkus berikutnya.
Pembawa asimptomatik sering terjadi pada wanita.
Gejala pada wanita: lesi vulva, vagina, atau serviks, gejala
utamanya adalah disuria atau dispareunia.
Limfadenopati inguinal yang nyeri dengan ulserasi,
unilateral, pada 50% pasien dalam 1-2 minggu.
30
Lesi Ulkus bisa satu sampai sebanyak 10 ulkus pada satu pasien.
Masing-masing ulkus bervariasi dalam ukuran dari 1-20
mm, dengan 1-2 cm merupakan ukuran yang paling umum.
Pria: lesi tunggal Wanita: banyak lesi ketika salah
Pada pria yang disunat, satu lesi menyebarkan infeksi ke
lesi paling sering permukaan kulit yang
ditemukan pada sulkus berlawanan. Dapat terbentuk di
koronal. bibir labia majora.
Pada pria yang tidak Pada wanita, lesi paling sering
disunat, lesi biasanya ditemukan pada fourchette,
ditemukan pada kulit labia, vestibule, clitoris, serviks,
preputium. Lesi dapat dan anus.
tertutup oleh phimosis Gejala lain: disuria, dispareunia,
dan keluarnya cairan vaginal dan
rektal.
Limfadenopati Limfadenopati regional yang nyeri, biasanya unilateral,
terjadi pada sekitar 50% pasien dan lebih sering terjadi
pada pria. Dari pasien dengan limfadenitis, 25% mungkin
mengalami progresi menjadi supuratif bubo, yang dapat
pecah secara spontan dan mengalami ulserasi. Jika tidak
diobati, dapat terjadi sinus drainase kronis.
Pseudogranuloma Isolasi H ducreyi dari lesi membedakannya dari granuloma
inguinale inguinale.
H ducreyi menembus kulit melalui celah-celah pada mukosa dan mikro-abrasi pada
kulit. Haemophilus ducreyi menghasilkan toksin pembekuan sitosidal (HdCDT), yang
menyebabkan penghentian siklus sel dan apoptosis / nekrosis sel manusia dan
berkontribusi pada pemburukan lesi. Toksin tersebut dapat mengganggu fagositosis
oleh makrofag. Mekanisme virulensi lain yang dimiliki Haemophilus ducreyi adalah
protein LspA yang memiliki fungsi antiphagocytic, DsrA map yang memfasilitasi kontrol
transporter influx yang melindungi H ducreyi dari antimikroba.
31
H ducreyi ditularkan secara seksual melalui kontak langsung dengan lesi purulen dan
dengan autoinokulasi ke situs nonseksual, seperti mata dan kulit. Haemophilus ducreyi
memiliki masa inkubasi 1 hari hingga 2 minggu, dengan waktu rata-rata 5-7 hari.
Penyakit ini biasanya dimulai sebagai papula inflamasi kecil di lokasi inokulasi lalu dalam
beberapa hari, papula dapat terkikis untuk membentuk ulserasi yang sangat
menyakitkan. Tanpa pengobatan, lesi dapat berlangsung berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan, dan komplikasi seperti limfadenopati supuratif.
Lesi yang berdekatan dapat bergabung dan membentuk lesi konfluen. Superinfeksi
infeksi lesi, terutama fusospirochetal, dapat terjadi dan menyebabkan lesi yang dalam,
nekrotik, dan gangren. Infeksi ini dengan cepat menyebar ke jaringan subkutan dan
jaringan yang lebih dalam, menyebabkan kerusakan genitalia eksternal yang cepat, yang
dikenal sebagai chancroid phagedenic (Buensalido. 2018).
32
2.4.9. Terapi Farmakologi
Tabel 7. Terapi farmakologi chancroid (Depkes, 2015)
Keterangan: siprofloksasin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak
dibawah 12 tahun
Kondisi khusus
Kehamilan
penelitian menunjukkan ciprofloxacin menghadirkan risiko rendah bagi janin selama
kehamilan, dengan potensi toksisitas selama menyusui. Selain itu, pada wanita hamil
juga dapat diberikan terapi seftriakson.
Infeksi HIV
Orang dengan infeksi HIV yang memiliki chancroid harus dipantau secara ketat karena
mereka lebih mungkin mengalami kegagalan pengobatan dan memiliki ulkus/lesi yang
sembuh perlahan. Orang dengan infeksi HIV mungkin memerlukan terapi berulang atau
lebih lama, dan kegagalan pengobatan dapat terjadi dengan rejimen apa pun. Terapi
yang direkomendasikan adalah azitromisin dan ceftriaxone dosis tunggal pada orang
dengan infeksi HIV (CDC. 2015).
33
2.4.10. Terapi Nonfarmakologi
Penanganan dengan sayatan untuk drainase pada penderita linfadenopati bila
diperlukan. Pasien harus dites untuk infeksi HIV pada saat pasien didiagnosis chancroid.
Jika hasil tes awal negatif, tes serologis untuk sifilis dan infeksi HIV harus dilakukan 3
bulan setelah diagnosis chancroid (CDC, 2015).
34
a. Data demografi dan subjektif
Nama: Suzy Jones
Umur: 17 Tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Pekerjaan: Mahasiswa
Menstruasi: Normal
Tidak mengalami: keputihan, dispareunia, lesi genital, atau luka
Gejala: pendarahan yang tidak pada masa menstruasi
b. Objektif
c. Assessment
Terdapat gejala pendarahan yang dirasakan Suzy ketika tidak pada periode
menstruasi. Hasil pemeriksaan labolatorium dan fisik menunjukan adanya peradangan
35
leher rahim dan juga mudah berdarah. Terdapat cairan purulen yang biasanya terjadi
akubat luka infeksi. Hal ini didukung oleh peningkatan jumlah leukosit yang
menandakan terjadinya infeksi. Suzy mengidap Endocervicitis yang disebabkan
Chlamydia trachomatis berdasarkan tes spesifik NAAT Chlamydia trachomatis yang
hasilnya positif
d. Planning
Terapi utama: Diberikan Azithromycin 1 gr oral dosis tunggal ditambang dengan
Seftriakso 250 mg IM dosis tunggal.
Terapi Alternatif: Doksisiklin 100 mg oral 2 kali sehari untuk 7 hari.
Azithromycin lebih cost-effective karena dapat diadministrasikan dengan dosis
tunggal
John dan Michael perlu pemeriksaan ke dokter dan dites NAAT. Penanganan untuk
semua partner seksual untuk mencegah reinfeksi.
36
DAFTAR PUSTAKA
AHFS, 2011, AHFS Drug Information, Bethesda: American Society of Health System
Pharmacists
Beiras, Camila González, Michael Marks, Cheng Y. Chen, Sally Roberts. 2016. Epidemiology of
Haemophilus ducreyi Infections.
https://reference.medscape.com/medline/abstract/26694983 diakses pada 25 Januari
2019 Pk. 18.19 WIB
Centers for Disease Control and Prevention. 1979. Haemophilus ducreyi bacteria - the
causative agent of en:chancroid - stained with en:Gentian Violet.
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Self-Study STD Modules for Clinicians –
Chlamydia. https://www2a.cdc.gov/stdtraining/self-study/chlamydia/default.htm
diakses pada 26 Januari 2019 pk. 15.07
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. https://www.cdc.gov/std/tg2015/chancroid.htm diaskes pada 26 Januari
2019 Pk. 23.09 WIB
Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Self-Study STD Modules for
Clinicians. https://www2a.cdc.gov/stdtraining/self-
study/chlamydia/chlamydia_pathogenesis_self_study_from_cdc.html diakses
pada 27 Januari 2019 Pk. 22.08 WIB
Joseph T. DiPiro, Robert L. Talbert, Gary C.Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells,L. Michael
Posey. Pharmacotherapy: A Pathopysiological Approach (Eds). 10 th edition. Chapter 117
Sexually Transmitted Diseases (halaman 5149-5198)
Hahn Andrew W., MD, William M. Geisler. 2018. Chlamydia.
https://www.std.uw.edu/go/pathogen-based/chlamydia/core-concept/all diaskes pada
26 Januari 2019 Pk. 21.09 WIB
Kemenkes RI. 2016. Pedoman Tata laksana sifilis untuk pengendalian sifilis di layanan
kesehatan dasar. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
M Janier, V Hegyi, N Dupin, M Unemo, GS Tiplica, M Potočnik, P French, R Patel. 2014.
European Guideline on the Management of Syphilis.
Michelle L. Parker , Simon Houston , Helena Pětrošová, Karen V. Lithgow, Rebecca Hof,
Charmaine Wetherell, Wei-Chien Kao, Yi-Pin Lin, Tara J. Moriarty, Rhodaba Ebady,
Caroline E. Cameron , Martin J. Boulanger. 2016. The Structure of Treponema
pallidum Tp0751 (Pallilysin) Reveals a Non-canonical Lipocalin Fold That Mediates
37
Adhesion to Extracellular Matrix Components and Interactions with Host Cells. Journal of
Plos Pathogens Antifungal Immunity
Navarro Christine, MSc,1 Anne Jolly. 2002
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2094865/
Public Health Agency of Canada. 2004 Canadian Sexually Transmitted Infections Surveillance
Report. Can Commun Dis Rep. 2007;33 Suppl 1:1–69.
S Ratnam. 2005. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med Microbiol
2005;16(1):45-51.
https://www.cdc.gov/std/syphilis/stats.htm
https://www.cdc.gov/std/stats17/syphilis.htm
38