Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 2:
SEKOLAH FARMASI
2018
Beri Edukasi soal Obat-obatan, Malah Dianggap Mempersulit
Kamis, 22 Februari 2018 11:42
PROKAL.CO, Tanggung jawab besar harus diemban Meliana Kurniawaty. Sebagai seorang apoteker,
Meliana sudah disumpah agar menjalankan tugas kefarmasian dengan profesional karena sangat
berkaitan dengan persoalan kesehatan orang banyak.
Sebagai seorang spesialis dalam pengetahuan obat-obatan, Meliana harus selalu mengikuti
perkembangan riset tentang obat-obatan yang selalu berkembang. Bagi Meliana, menjalankan tugas
sebagai “peramu” obat yang disesuaikan dengan upaya penyembuhan penyakit, juga memiliki kesulitan
layaknya pekerjaan lainnya.
Perempuan yang akrab disapa Mely ini mengatakan, apoteker tidak melulu hanya bekerja di apotek.
Tapi jangkauannya lebih luas. Mulai dari pabrik obat, obat tradisional, rumah sakit, hingga puskesmas.
“Karena selama ini pikiran masyarakat apoteker adalah penjaga toko obat, padahal bukan,” katanya saat
ditemui usai menyelesaikan pekerjaannya sebagai apoteker di apotek swasta yang beralamat di Jalan
Durian II, Tanjung Redeb, Selasa (20/2).
Berbagai kendala sering dihadapinya. Terutama ketika masyarakat yang membeli obat di apotek, namun
tanpa resep dokter karena sudah merasa cocok dengan obat yang sebelumnya pernah dibeli. Padahal,
lanjut dia, penggunaan obat tanpa resep dokter, bisa saja tidak tepat yang kemudian menjadi pemicu
datangnya penyakit.
“Yang jadi masalah, ketika para apoteker di Berau kompak untuk mengedukasi dan membatasi
pembelian obat-obat keras tanpa resep, banyak pasien yang merasa dipersulit. Seperti obat antibiotik
yang sekarang tidak boleh dibeli bebas tanpa resep, dengan tujuan untuk mencegah resistensi
antibiotik pada masyarakat itu sendiri,” jelasnya.
Dikatakan perempuan kelahiran Berau, 19 November 1982 ini, apoteker yang selama ini identik dengan
penjaga apotek atau toko obat, mulai lebih aktif untuk tampil melayani masyarakat. Berkomunikasi
langsung untuk memberi informasi dan mengedukasi tentang permasalahan obat-obatan.
Dikatakan anak kedua dari tiga bersaudara ini, apoteker juga bertanggung jawab untuk memberikan
edukasi tentang kerugian-kerugian dan alasan mengapa masyarakat tidak boleh membeli obat tanpa
resep dokter. “Di sini kadang kami juga merasa kesulitan. Karena ada pasien yang bisa menerima, ada
juga yang malah marah-marah,” ungkapnya.
Salah satu pasien yang tertangkap kamera CCTV terekam menunjuk-nunjuk dan menggebrak meja di
depan apoteker yang sedang bertugas. “Banyak, mas, yang ngomel-ngomel kalau tidak dikasih obat,
apalagi golongan antibiotik. Kalau udah marah, gamau dengerin saya ngomong apa, pasti ditanggapi
ga baik” tambah Mely.
Tenaga apoteker ujar dia, perlu didukung tenaga teknis kefarmasian dengan standar pendidikan D3
farmasi atau S1 farmasi. Namun tenaga teknis kefarmasian di Bumi Batiwakkal saat ini, masih sangat
kurang. “Itu juga salah satu kendala yang dihadapi apoteker yang ada di Berau saat ini,” terang Mely.
Selain beratnya tanggung jawab untuk meracik obat-obatan sesuai resep dokter, Mely tidak pernah
meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dua peran dengan tanggung jawab besar
itu dijalaninya dengan penuh kesabaran. Agar pelayanan yang diberikan kepada pasien tetap maksimal,
dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu tidak ditinggalkan.
Ya, layaknya seorang ibu pada umumnya, perempuan yang berdomisili di Jalan SA Maulana, Tanjung
Redeb ini, selalu menomorsatukan kepentingan kedua buah hatinya. Setiap hari, Mely selalu
memperhatikan asupan gizi pada makanan yang diberikan kepada buah hatinya.
“Meskipun memiliki kesibukan, anak tetap harus nomor satu,” pungkas lulusan Program Studi Profesi
Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya (Ubaya) tahun 2004 itu. (*/udi)
Berdasarkan berita yang kami kutip di atas, berikut ini kami jabarkan beberapa teori juga pembahasan
sesuai analisa kami sesuai berita tersebut.
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain,
perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap)
maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat di rumuskan
sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut
pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak
tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk
perilaku ke dalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan
istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).
Menurut Prof. Onong Uchjana Effendy, MA dalam bukunya Ilmu, Teori, dan Filasafat
Komunikasi. Ada 4 jenis hambatan komunikasi, yaitu: gangguan, kepentingan, motivasi terpendam, dan
prasangka. Aspek gangguan dibagi kembali menjadi dua yaitu : gangguan mekanik dan semantik.
Gangguan mekanik adalah gangguan yang disebabkan oleh saluran komunikasi atau kegaduhan yang
bersifat fisik. Gangguan semantik adalah gangguan yang bersangkutan dengan pesan komunikasi yang
pengertiannya menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan
bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada
komunikator, akan lebih banyak gangguan semantik dalam pesannya. Gangguan ini terjadi dalam salah
pengertian. Hambatan yang kedua adalah kepentingan, hambatan ini akan membuat seseorang lebih
selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Hambatan yang ketiga adalah dmotivasi
terpendam yang akan membuat seseorang berbuat sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan
kekurangannya. Hambatan yang terakhir adalah prasangka yang membuat seseorang sudah curiga sejak
awal terhadap komunikator.
Pada kasus di atas, terdapat beberapa pasien yang ingin membeli antibiotik di apotek tanpa
resep dokter. Apoteker yang bertugas berusaha untuk memberikan edukasi mengenai ketentuan
penggunaan antibiotik. Namun, pasien merasa dipersulit sehingga menjadi marah. Peraturan
Penggunaan Antibiotik yang Rasional diatur Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik dalam Permenkes
Nomor 2406 tahun 2011. Peran apoteker diperlukan dalam mengontrol penggunaan obat yang diterima
oleh masyarakat. Terdapat banyak kasus resistensi antibiotik yang pada tahun 2014 sudah mencapai 700
ribu kasus, tahun 2050 diperkirakan kematian akan resistensi antibiotik lebih besar daripada kematian
akibat kanker. Apoteker perlu mengedukasi pasien untuk menggunakan antibiotik secara tepat. Prinsip
dasar penggunaan antibiotik yang rasional adalah Tepat Indikasi, Tepat penderita, Tepat pemilihan jenis
antibiotika, Tepat dosis, Efek samping yang minimal, bila diperlukan: kombinasi yang tepat dan
ekonomik. Pada kasus diatas sikap yang diambil oleh apoteker tepat yaitu dengan tidak memberikan
antibiotik tanpa resep. Hal ini seharusnya diterapkan oleh semua apoteker yang ada di apotik untuk
mengurangi kasus resistensi yang terjadi di Indonesia.
Dalam kasus tersebut terdapat tiga hambatan yang terlibat yaitu hambatan kepentingan,
motivasi terpendam, dan prasangka. Pasien memiliki kepentingan untuk memperoleh obat sehingga
pasien menyeleksi pesan sesuai dengan kepentingannya. Pasien juga memiliki motivasi terpendam
untuk memperoleh obat sehingga kemarahan pasien merupakan salah satu upaya untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhannya. Pasien juga sudah memiliki prasangka buruk bahwa apoteker ingin
mempersulit pasien dalam memperoleh obat sehingga pasien menjadi marah.
Menurut Dr. Erliana Hasan, Msi dalam bukunya Komunikasi Pemerintahan, terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan komunikasi yang terjalin menjadi tidak efektif, yaitu :
Dalam kasus ini apoteker memiliki latar belakang pengetahuan mengenai aturan penggunaan
antibiotik sementara pasien tidak memiliki latar belakang pengetahuan tersebut sehingga terjadi
kesalahpahaman antara pasien dan apoteker. Apoteker bermaksud baik untuk mencegah
terjadinya resistensi antibiotik, tetapi pasien merasa dipersulit untuk memperoleh obat.
2. Faktor Bahasa
Bahasa yang digunakan baik itu verbal maupun nonverbal akan mempengaruhi proses
komunikasi sehingga perlu memperhatikan perbedaan arti kata, penggunaan istilah atau bahasa
tertentu, dan juga komunikasi non verbal.
Dalam kasus ini tidak terdapat faktor bahasa yang menjadi hambatan dalam komunikasi.
4. Faktor lingkungan : Lingkungan dan kondisi tempat kita melakukan komunikasi juga ikut
menentukan proses maupun hasil komunikasi . Diantaranya faktor yang berpengaruh adalah
faktor tempat, situasi, dan waktu.
1. Gunakan umpan balik (feedback), setiap orang yang berbicara memperhatikan umpan balik yang
diberikan lawan bicaranya baik bahasa verbal maupun non verbal, kemudian memberikan
penafsiran terhadap umpan balik itu secara benar. Memberi tanggapan berupa anggukan tanda
mengerti, senyuman kesabaran, menjawab pertanyaan pasien dan tidak memaksakan
kehendak.
2. Pahami perbedaan individu atau kompleksitas individu dengan baik. Setiap individu merupakan
pribadi yang khas yang berbeda baik dari latar belakang psikologis, sosial, ekonomi, budaya dan
pendidikan. Dengan memahami, seseorang dapat menggunakan taktik yang tepat dalam
berkomunikasi. Dari kasus di atas, apoteker harus berusaha memahami latar belakang pasien
tersebut. Ada kemungkinan bahwa pasien tersebut berasal dari latar belakang pendidikan yang
kurang, sehingga pasien tersebut bersikeras untuk menebus antibiotik. Apoteker harus dengan
sabar meyakinkan pasien bahwa menebus antibiotik tanpa resep tidaklah tepat. Walaupun
pasien merespon dengan tindakan yang tidak tepat (mara-marah), apoteker harus tetap sabar,
tetap senyum, dan menunjukkan profesionalitas.
3. Gunakan komunikasi langsung (face to face), Komunikasi langsung dapat mengatasi hambatan
komunikasi karena sifatnya lebih persuasif. Komunikator dapat memadukan bahasa verbal dan
bahasa non verbal. Selain kata-kata yang selektif dapat pula digunakan kontak mata, mimik
wajah, bahasa tubuh lainnya dan juga meta-language (isyarat selain bahasa) yang membuat
komunikasi lebih berdaya guna.
4. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah. Kosa kata yang digunakan hendaknya dapat
dimengerti dan dipahami jangan menggunakan istilah-istilah yang sukar dimengerti pendengar.
Gunakan pola kalimat sederhana (kanonik) karena kalimat yang mengandung banyak anak
kalimat membuat pesan sulit dimengerti. Dari kasus tersebut apoteker dapat menggunakan
kata-kata sehari-hari, bukan menggunakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti pasien.
Contohnya saat menjelaskan bahwa penggunaan antibotik yang tidak tepat dapat menimbulkan
resistensi. Kata resistensi dapat diganti dengan kata-kata kumannya akan semakin kebal
terhadap antibotik.
Selain cara di atas, terdapat juga cara lain mengatasi hambatan komunikasi, seperti :
1. Membuat suatu pesan secara berhati-hati, tentukan maksud dan tujuan komunikasi serta
komunikan yang akan dituju.
2. Meminimalkan gangguan dalam proses komunikasi, komunikator harus berusaha dapat
membuat komunikan lebih mudah memusatkan perhatian pada pesan yang disampaikan
sehingga penyampaian pesan dapat berlangsung tanpa gangguan yang berarti.
3. Mempermudah upaya umpan balik antara si pengirim dan si penerima pesan, Cara dan waktu
penyampaian dalam komunikasi harus direncanakan dengan baik a5gar mengahasilkan umpan
balik dari komunikan sesuai harapan.
Secara garis besar, terdapat beberapa cara untuk mengatasi permasalahan komunikasi dalam
kasus tersebut yaitu: gunakan umpan balik, pahami perbedaan individu atau kompleksivitas individu,
gunakan bahasa yang dan mudah, membuat pesan secara hati, meminimalkan gangguan komunikasi,
dan mempermudah upaya umpan balik.
DAFTAR PUSTAKA