Professional Documents
Culture Documents
Penyebab sindrom antifosfolipid primer belum diketahui. Namun, beberapa faktor yang
terkait dengan pengembangan antibodi antifosfolipid diantaranya:
- Infeksi
Orang dengan infeksi sifilis, HIV, hepatitis C, dan malaria memiliki insiden lebih tinggi
mengalami antibodi antifosfolipid.
- Obat-obatan
Mengambil obat-obatan tertentu, seperti obat tekanan darah tinggi (hydralazine), obat yang
mengatur irama jantung (quinidine), obat anti-kejang fenitoin (Dilantin), dan antibiotik
amoksisilin diketahui bisa mempertinggi risiko.
- Kecenderungan genetik
Meskipun gangguan ini tidak dianggap sebagai penyakit turunan, penelitian menunjukkan
bahwa orang yang memiliki kerabat dengan sindrom antifosfolipid lebih cenderung memiliki
antibodi antifosfolipid.
INSIDENSI
Kejadian APS secara umum belum pasti diketahui. 1 dari 5% dari orang sehat mempunyai
antibodi aPL. Insidensi dari APS diperkirakan 5 kasus dari 100.000 orang per tahun dan
prevalensi mencapai 40 – 50 kasus per 100.000 orang per tahun. Antibodi aCL sering
ditemukan pada geriatri. Oleh karena itu, hasil titer positif harus diinterpretasikan dengan
penyebabnya. Antibodi aPL ditemukan pada 30 – 40% pasien dengan SLE, tetapi hanya 10
% dengan APS. Kira- kira setengah dari kasus APS tidak dihubungkan dengan Penyakit
Rheumatic. Pada 100 pasien yang menderita Venous Thrombosis dan tidak mempunyai
riwayat SLE, Antibodi aCL ditemukan sekitar 24%. Apl Syndrome menyebabkan 14%
stroke, 11% Infark Miokard, 10 % DVT, 6 % kematian pada kehamilan, dan 9 % keguguran.
DIAGNOSIS
Beberapa tes yang dilakukan untuk mendeteksi gejala APS antara lain adalah:
• Tes ACA (AntiCardiolipin Antibody).
• Tes LA (Lupus Anticoagulant).
Sindrom antifosfolipid menyebabkan terbentuknya gumpalan darah dalam arteri atau vena
serta komplikasi kehamilan seperti keguguran dan bayi lahir mati.
Sindrom antifosfolipid juga bisa memicu pembentukan bekuan darah di kaki, suatu kondisi
yang dikenal sebagai deep vein thrombosis (DVT).
Kondisi ini juga dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan darah di berbagai organ tubuh
seperti ginjal atau paru-paru.
Kerusakan tergantung pada lokasi terbentuknya bekuan darah. Gumpalan darah dalam otak,
misalnya, dapat menyebabkan stroke.
Tidak ada obat untuk sindrom antifosfolipid, tetapi obat-obatan efektif untuk mengurangi
risiko pembekuan darah.
GEJALA
a. Pembekuan darah di kaki (Deep Vein Thrombosis atau DVT) yang dapat berpindah
menuju paru-paru (emboli paru)
b. Keguguran atau bayi lahir mati saat dilahirkan dan komplikasi kehamilan lain seperti
kelahiran prematur dan tekanan darah tinggi selama kehamilan (preeklampsia)
c. Stroke
a. Gejala neurologis
Sakit kepala kronis, termasuk migrain, demensia, dan kejang yang terjadi ketika
bekuan darah menghalangi aliran darah ke otak.
b. Ruam
Sebagian penderita mengalami ruam merah dengan pola seperti jaring di pergelangan
tangan dan lutut.
c. Penyakit kardiovaskular
d. Pendarahan
Beberapa orang mengalami penurunan trombosit, sel darah yang diperlukan untuk
pembekuan darah normal. Trombosit yang terlalu rendah akan memicu perdarahan
terutama dari hidung dan gusi. Perdarahan juga bisa terjadi dalam kulit yang akan
muncul sebagai bercak kecil atau bintik-bintik merah (petechiae).
PENYEBAB
Pada kasus sindrom antifosfolipid, tubuh keliru menghasilkan antibodi terhadap protein yang
mengikat fosfolipid (jenis lemak yang hadir dalam darah) yang memainkan peran penting
dalam pembekuan darah (koagulasi).
Antibodi adalah protein khusus yang biasanya menyerang agen asing yang berbahaya bagi
tubuh seperti virus dan bakteri.
Ketika antibodi menyerang protein fosfolipid, maka darah akan membeku secara tidak
normal.
KLASIFIKASI
1. Primer
Jika pasien tidak memiliki gangguan autoimun lainnya, seperti Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE), maka kondisi ini disebut Sindrom Antifosfolipid Antibodi Primer.
2. Sekunder
Jika pasien juga menderita lupus atau gangguan autoimun lain, maka kondisi ini disebut
Sindrom Antifosfolipid Antibodi Sekunder.
Pada sindrom antifosfolipid sekunder, penyebabnya adalah lupus atau gangguan autoimun
lainnya.
FAKTOR RISIKO
- Memiliki kondisi autoimun, seperti Lupus atau sindrom Sjogren, yang meningkatkan risiko
mengembangkan antibodi antifosfolipid.
- Sindrom Antifosfolipid Antibodi terjadi paling sering pada wanita muda hingga paruh baya,
meskipun dapat terjadi pula pada semua usia dan juga mempengaruhi laki-laki
DAMPAK
Masalah-masalah yang dapat ditimbulkan oleh antibodi APS ini antara lain:
• Keguguran berulang pada kehamilan awal
• Keguguran setelah semester pertama (13 minggu)
• Pre-eclampsia dalam kehamilan
• Bayi berukuran kecil
• Thrombosis pada pembuluh darah balik (vena)
Antibodi ini ditemukan pada 2% wanita. Tidak semua orang yang dideteksi memiliki antibodi
ini akan mengalami masalah di atas. Kadar antibodi ini dapat meningkat ataupun menurun
dan bahkan menghilang, jadi untuk dapat mengatakan seseorang memiliki antibodi ini
diperlukan tes ulang dengan jangka waktu 8 minggu dari tes pertama dan tetap positif.
Salah satu masalah serius yang ditimbulkan oleh APS adalah keguguran berulang.
Pengobatan antara lain dilakukan dengan memberikan aspirin dosis rendah pada tahap awal
kehamilan. Kadang kala dikombinasikan dengan obat yang bernama heparin yang berbentuk
suntikan.
Antibodi antifosfolipid menekan kadar zat yang disebut annexin V dan mempercepat
pembekuan darah serta memicu bekuan darah (trombosis) sehingga terjadi keguguran.
Antibodi terhadap antifosfolipid juga mengganggu peran pengaturan berbagai faktor dalam
sistem pembekuan darah. Untuk mencegah terjadinya abortus akibat APS, maka Ibu hamil
diberikan suntikan obat antikoagulan yang disebut heparin, dengan atau tanpa kombinasi
dengan aspirin dosis rendah. Antikoagulan yang diberikan memang harus dengan pemberian
heparin yang disuntikkan dan pada kehamilan tidak boleh digunakan obat-obat antikoagulan
yang diminum seperti warfarin (Sintrom, Simarck-2) karena dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya.
• Kriteria Klinis
Vascular thrombosis
One or more clinical episodes of arterial, venous, or small-
vessel thrombosis in any tissue or organ confirmed by
findings from imaging studies, Doppler studies, or
histopathology (see Histologic Findings).
Thrombosis may involve the cerebral vascular system, coronary
arteries, pulmonary system (emboli or thromboses), arterial
or venous system in the extremities, hepatic veins, renal
veins, ocular arteries or veins, or adrenal glands.
Investigation is warranted if a history of DVT, PE, acute
ischemia, MI, or CVA (especially when recurrent) is present
in a younger individual (males < 55 y; females < 65 y) or in
the absence of other risk factors.
Pregnancy morbidity
One or more late-term (>10 weeks' gestation) spontaneous
abortions
One or more premature births of a morphologically healthy
neonate at or before 34 weeks’ gestation because of
severe preeclampsia or eclampsia or severe placental
insufficiency
Three or more unexplained, consecutive, spontaneous
abortions before 10 weeks’ gestation
•
• Laboratory criteria: Patients must have (1) medium to high levels of
immunoglobulin G (IgG) or immunoglobulin M (IgM) anticardiolipin
(aCL), (2) anti–beta-2 glycoprotein I, or (3) LA on at least 2 occasions at
least 12 weeks apart. (See also Lab Studies.)
Testing for novel antibodies not recognized in the 2006 criteria can be
considered if clinical suspicion is high, although in select cases they may not
be commercially available.
Thus, history of any of the following should raise the examiner's suspicion for
APS:
LAPORAN KASUS
Seorang perempuan usia 34 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak
nafas. Pasien telah dirawat di Rumah Sakit dengan diagnosa DVT dan diberikan pengencer
darah. Selain itu pasien mengeluh demam dan nyeri perut, riwayat kakai bengkak, batuk
berdarah, nafsu makan menurun, berat badan menurun 3 kg dalam waktu 3 bulan.
Pemeriksaan Fisik ditemukan Ronchi +/+, nyeri tekan perut kiri, Indeks Massa Tubuh
Normal, EKG normal sinus rhytm,. Pemeriksaan Penunjang : Chest X-Ray pada tanggal 9
Juni 2014 ditemukan kardiomegali, reaksi pleura bilateral, minimal infiltrat pada kedua
perihilier dan parakrdial kanan dan Chest X Ray pada tanggal 19 Juni 2014 ditemukan
minimal infiltrat pada kedua perihilier dan parakardial kanan. Pemeriksaan Hematologi D
dimer menunjukkan peningkatan, abnormalitas dari protein Cdan protein S. Pemeriksaan
Echo: Right heart failure e.c CTEPH ( Chronic Trombhoembolic Pulmonary Hypertention ) ,
Tricuspid Regurgitasi moderat , Strecth PFO + dan SEC di Right Atrium dan Right Ventricel.
Pemeriksaan CT Scan menunjukkan multiple trombus intrathoracal.
NAMA : NY ES
USIA : 34 TH
Keluhan utama : sesak nafas
RPS : sejak 2 minggu sebelum masuk RS penderita mengeluh sesak nafas, sesak nafas
memberat kurang lebih 2 hari sebelum masuk RS.
Pasien telah dirawat di RS Bhineka dengan diagnosa DVT dan riwayat diberikan pengencer
darah. Deman (+), mual muntah (-) nyeri perut (+).
Riwayat kaki bengkak (+).
Batuk (+) darah (+), nafsu makan menurun, BB turun 3 kg dalam waktu 3 bulan.
PEMERIKSAA FISIK :
Paru : Rh +/+ Whz -/-
Abdomen : nyeri tekan perut kiri.
BB : 40 kg TB : 144 cm
BMI : 19.2 kg/m2
EKG : NSR ( 8/6/2014 )
CXR 9 Juni 2014 :
kardiomegali
reaksi pleura bilateral.
Minimal infiltrat pada kedua perihiler dan parakardial kanan.
CXR tanggal 19 juni 2014 :
Kardiomegali
Minimal infiltrat pada kedua perihiler dan parakardial kanan.
Echo : RV/RA dilatasi, internal septal bulging ke kanan, stretch PFO (+), kontraktilitas LV
baik.
Fungsi LV baik, EF : 65 %
Fungsi RV menurun.
TAPSE 1.2 cm
TR moderat
TVG 47 mmHg
Katup lain normal.
Efusi pericard minimal.
SEC di RA & RV
Tidak tampak trombus.
K E S A N : Right heart failure e.c CTEPH
TR moderat Strecth PFO +
SEC di RA dan RV
Terapi :
Asering 500 ml/ 12 jam
Ceftriaxone 1 x 2 gr
As. Mefenamat 3 x 1
Vit K 3 x 1 amp
Codein 3 x 10 mg
Heparin IV drip 400 u/ jam - 550 750
Sildenofil 3.125 mg 2x
Lasix 30 mg x 2
Spironolactone 25 mg x 1
Lavenox 2 x 0.4 cc SC
Bisolvon nebul
Simarch 4 mg malam
Trental 2 x 1 tab