You are on page 1of 31

A.

Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi/Pengertian
- Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang membesar,
memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan
hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukkan
adanya keterlibatan hormonal. Kondisi ini yang umum terjadi pada
pria diatas usia 50 tahun (Pierce & Neil, 2006).
- BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat;
pertumbuhan tersebut di mulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa dan pembesaran bagian periuretral akan menyebakan
obstruksi leher kandung kemih dan urertra pars prostatika yang
mengakibatkankan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih
(Price & Wilson, 2006)
- BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat
jinak dan bukan kanker, dimana yang umumnya diderita oleh
kebanyakan pria pada waktu meningkatnya usia sehingga dinamakan
penyakit orang tua. Perbesaran dari kelenjar ini lambat laun akan
mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga menyulitkan
berkemih (Rahardja, 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi
pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada
leher kandung kemih dan menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini
umumnya terkait dengan proses penuaan dan terjadi pada pria di atas usia
50 tahun.
2. Epidemiologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai
dengan pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul
pada > 50% pria berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun
(Davey, 2002). BPH merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih
30% populasi kulit putih Amerika yang berusia di atas 50 tahun dengan
gejala sedang hingga berat (Mitchell et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada
pria berusia di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak
ditemukan adalah hipertrofi protat jinak (benign prostatic hypertrophy,
BPH). Setidaknya 70% pria beursia 70 tahun mengalami BPH, 40% di
antaranya mengalami beberapa gejala obstruksi aliran keluar kandung
kemih. Usia merupakan faktor risiko untuk BPH. Data menunjukkan
bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi
tampaknya berada pada status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan yang
buruk (Heffner, 2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50
tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan
menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5% pria Indonesia sudah masuk
ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat dari 200
juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah
pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka
dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia
menderita penyakit BPH (Heffner, 2005).
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan. beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim
5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat
dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan
berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor kompleks.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel
(Hardjowidjoto, 2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel
yang telah mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan
didegradasi oleh enzim lisosom. Hal ini, menyebabkan pertambahan
massa prostat.
4. Patofisiologi
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone testosterone
yang merupakan mediator pokok pertumbuhan kelenjar prostat. Hormone
ini disintesis di dalam kelenjar prostat dari hormone testosterone yang
beredar dalam darah, dimana proses tersebut terjadi melalui kerja enzim
5α-reduktase, tipe 2. Walaupun DHT terlihat sebagai factor trofik utama
yang memediasi hyperplasia kelenjar prostat, hormone estrogen juga ikut
terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh factor-faktor
pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis
obstruksi traktus urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar prostat
yang dimediasi oleh otot polos pada kelenjar tersebut. Tegangan otot polos
kelenjar prostat dimediasi oleh adenoreseptor α1 yang hanya terdapat di
dalam stroma kelenjar prostat (Mitchell et al, 2008).
Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena adanya
nodul-nodul dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi (daerah
periuretral) (Mitchell et al, 2008). Hiperplasia prostatika adalah
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat.
Pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi
uretra, dan pembesaran bagian peri uretral akan menyebabkan obstruksi
leher vesika urinaria dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan
berkurangnya aliran urine dari vesika urinaria. Penyebab BPH
kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan
hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun dan kadar
esterogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio
esterogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia
jaringan prostat (Price and Wilson, 2005).
Pathway
Proliferasi
Perubahan estrogen, Peranan growth Lama hidup sel abnormal sel stem
testosterone pada laki- hormon prostat
laki usia lanjut

BPH

Penyempitan lumen uretra prostatik

Aliran urine terhambat

Perubahan sekunder kandung kemih

Stadium lanjut Stadium dini

Dinding vesika menurun Tekanan intravesika meningkat

Residu urine Kompensasi musculus destrusor

Tonus vesika urinaria menurun Penebalan vesika urinaria

Saraf parasimpatis melemah Sulit kencing

Kelemahan muscle destrusor

Keluhan LUTS Distensi vesika urinaria

(Lower Urinary Tract Symptom)

Pembedahan (TUR-P) Gangguan rasa nyaman


Bertahan
nyeri
lama

Pemasangan Anastesi Resiko ketidak efektifan


Mikroorganisme kateter jalan nafas

- Nyeri akut
Resiko infeksi - Resiko infeksi - Resiko perdarahan
- Resiko - Resiko kekurangan cairan
inkontinensia - Penurunan pengetahuan post
pasca kateter operasi
- Resiko retensi urine pasca
operasi
- Resiko disfungsi seksual
5. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat
& De Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa
urine kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Gejala Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan
frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan,
abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus
menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong
dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada
dalam kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran
kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu
yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Smeltzer, 2001).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal
berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia,
urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat,
mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan kemih, rasa tidak puas saat
berkemih, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah
berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan
abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan
menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan
rectal untuk menilai besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2005).
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok –
septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus,
striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk
menyingkirkan gagal ginjal
- Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih
b. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria
dengan hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana.
Pemeriksaan ini dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau
dicurigai mengidap hidronefrosis.
c. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna
BPH. Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran
dilakukan. Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL,
kemudian laju maksimal aliran urin dicatat.
d. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
e. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami
hematuria dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP
atau US atau praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan
TURP.
f. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen
spesifik-prostat dalam serum dapat membantu memperkirakan
perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala
seperti peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan
dimana urine terus menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih
tidak kosong dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine
tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih) (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
derajat I = beratnya  20 gram, derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram,
derajat III = beratnya  40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan
elevasi dasar kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi,
penebalan dan divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan
gangguan pengosongan kandung kemih. IVP atau US dapat
memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang. Pemeriksaan urodinamik
dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang dari 10 mL/detik,
pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung kemih yang
signifikan (McPhee &Ganong, 2010).

10. Terapi/Tindakan Penanganan


Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2007)
adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi
konsumsi kafein; menggunakan Bloker α- adrenergic (misalnya
fenoksibenzamin, prazosin); antiandrogen yang bekerja selektif pada
tingkat seluler prostat (misalnya finasteride); kateterisasi intermiten
jika terdapat kegagalan otot detrusor; dan dilatasi balon dan stenting
pada prostat (pada pasien yang tidak siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi
urin akut.
2) Klien dengan residual urin  100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
2) Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy

Menurut Sjamsuhidjat (2005), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH


tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa
seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi
prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan
untuk pemakaian lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
11. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.
12. Prognosis
Sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sangat bagus setelah
prostatektomi (baik endoskopik maupun terbuka) (Grace and Borley,
2007). Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau
perbaikan dari gejala yang dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami
kekambuhan penyumbatan dalam 5 tahun (Schwartz, 2000).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan
pembesaran fokal atau difus prostat
2) Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat
memperlihatkan pembesaran kandung kemih
(McPhee & Ganong, 2010)
3) Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis
menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
4) Kandung kemih
- Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukan
adanya retensi urine
- Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan
menimbulkan pasien ingin buang air kecil yang menunjukan
adanya retensi urine
- Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain
misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan
posisi knee chest dengan syarat vesika urinaria
kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah untuk menentukan
konsistensi prostat dan besar prostat.
b. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua,
dan pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering
mengatakan bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang
sudah tua. Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui
penyakit apa yang dideritanya? Dan apa penyebab sakitnya saat
ini?
2. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena
efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun
efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala:
anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang
perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
3. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali
dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan
dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan
kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria
dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga
perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya
perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh,
gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH,
karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah
dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang
dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan, klien juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang.
Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya
terganggu, disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar
terus menerus dimana hal ini dapat mengganngu kenyamanan
klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama klien tidur dalam
sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama
sakit/ selama dirawat?
6. Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi
pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti
kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
7. Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien
biasanya terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak
semua pasien mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji
bagaimana alat indra klien, bagaimana status neurologis klien,
apakah ada gangguan?
8. Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit
yang diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya
sosialisasi klien dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu
mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan
masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran selama klien
sakit?
9. Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang
mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim,
penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau
nyeri tekan pada prostat.
10. Pola koping dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena
memikirkan pengobatan dan penyakit yang dideritanya
menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas seksual seperti
biasanya, bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan
kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien
menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan
obat-obatan untuk mengurangi stresnya?
11. Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti
gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa
melaksanakannya, karena BAK yang sering keluar tanpa disadari.
Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan dalam agama
klien untuk proses pengobatan?
2. Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaborasi
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien BPH yaitu:
a) Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruks anatomik
(BPH) ditandai dengan BAK frekuensi sering namun sedikit-sedikit,
nokturia, dysuria, retensi urine, urgensy (dorongan berkemih),
anyang-anyangan, dan dribling.
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (BPH) ditandai
dengan melaporkan nyeri secara verbal, peningkatan denyut nadi,
peningkatan frekuensi pernapasan, peningkatan tekanan darah,
meringis, melokalisasi nyeri.
c) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pemasangan
kateter).
d) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur
pembedahan ditandai dengan adanya luka insisi pembedahan.
e) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan
informasi ditandai dengan pengungkapan masalah.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional Evaluasi
Keperawatan
1 Gangguan Setelah diberikan asuhan NIC Label: Urinary Urinary Elimination S: pasien mengatakan
eleminasi urin keperawatan selama…. x 24 Elimination Management Management sudah bisa berkemih
berhubungan jam, diharapkan pasien 1. Monitor eleminasi urin 1. Memonitor adanya dengan lancar, tidak
dengan obstruks dapat berkemih dengan termasuk frequensi, perubahan pola eliminasi mengalami nokturia,
anatomik (BPH) kriteria hasil: konsistensi, bau, volume, 2. Prevensi terjadinya retensi tidak nyeri saat
ditandai dengan NOC Label : Urinary dan warna jika urin yang berat berkemih, perasaan
BAK frekuensi Elimination diperlukan 3. Mengurangi kejadian puas saat berkemih
sering namun a. Pola eleminasi klien 2. Monitor tanda dan gejala ketidaknyamanan (pengosingan VU
sedikit-sedikit, teratur dari retensi urinary 4. Mengevaluasi sempurna)
nokturia, b. Jumlah urin dalam 3. Identifikasi factor keseimbangan input dan
dysuria, retensi rentang normal (0.5 – 1 kontribusi yang output cairan O: pola eliminasi pasien
urine, urgensy cc/kgBB/jam) menyebabkan 5. Untuk mengetahui pola teratur, jumlah output
(dorongan c. Tidak nyeri saat gangguaneliminasi urine berkemih klien urine dalam rentang
berkemih), berkemih 4. Instruksikan klien dan normal, tidak ada tanda-
anyang- d. Tidak mengalami keluarga mencatat tanda distensi abdomen,
anyangan, dan nokturia urinary output jika Urinary Retention Care karakteristik urine
dribling e. Tidak mengalami retensi diperlukan 1. Memberikan perawatan normal
urine 5. Catat waktu berkemih yang lebih spesifik untuk
f. Warna urine jernih Urinary Retention Care mengatasi inkontinensia A: tujuan tercapai
kekuningan 1. Rangsang refleks klien
g. Pengosongan kandung kandung kemih dengan 2. Membantu mengosongkan P: pertahankan kondisi
kemih yang sempurna mengaplikasikan kompres kandung kemih dengan pasien
h. Tidak ada darah ketika dingin di perut, mengelus teknik nonfarmakologis
berkemih paha bagian dalam atau 3. Membantu klien untuk
i. Pasien tidak merasa dengan air mengalir mengosongkan kandung
panas ketika berkemih 2. Minta klien dan keluarga kemih
memperhatikan input dan 4. Memandirikan klien dan
output cairan klien keluarga
3. Memonitor input dan 5. Memastikan apakah output
output cairan klien sesuai dengan input cairan
Urinary Catheterization klien
1. Jelaskan prosedur
pemasangan kateter Urinary Catheterization
2. Gunakan teknik sterile 1. Meningkatkan pengetahuan
ketika melakukan klien dan keluarga serta
pemasangan kateter menurunkan kecemasan
3. Gunakan selang kateter klien terhadap prosedur
dengan ukuran yg paling yang akan dilakukan
kecil, tidak memaksakan 2. Mencegah terjadinya
ukuran yang besar infeksi
4. Tunjukkan dan ajarkan 3. Menurunkan rasa nyeri
pasien untuk melakukan pada saat prosedur
perawatan kateter atau dilakukan, mencegah
pengosongan urin bag. terjadinya ruptur pembuluh
Medication Management darah pada saluran kemih.
1. Berikan obat apa yang 4. Mencegah terjadinya
dibutujkan dan infeksi akibat pemasangan
diadministrasikan kateter
menurut resep dan
prosedur Medication Management
2. Monitor efek therapeutik 1. Penanganan farmakologis
dari obat untuk penyebab gangguan
3. Monitor tanda dan gejala 2. Memantau keefektifan
adanya efek toksik pemberian medikasi
4. Monitor efek samping 3. Menghindari adanya
dari obat respon yang merugikan
5. Pantau ketaatan pasien 4. Menghindari efek yang
terhadap regiment tidak diinginkan
medication 5. Monitoring perbaikan
6. Kaji pengetahuan klien prilaku untuk mempercepat
tentang obat penyembuhan
7. Ajarkan klien dan 6. Meningkatkan
keluarga prosedur terapi pengetahuan klien tentang
obat medikasi yang diberikan
8. Ajarkan klien tanda dan 7. Meningkatkan pemahaman
gelaja dari efek terapi, klien dan keluarga
efek samping dan efek mengenai cara penggunaan
toksik dari regimen terapi obat
8. Agar klien paham tentang
Bladder Irrigation efek samping dan
penanganannya
1. Pastikan apakah irigasi
akan terus berkelanjutan
atau intermiten (sesuai Bladder Irrigation
kebutuhan)
1. Agar tindakan yang
2. Lakukan irigasi dengan
dilakukan benar dan tidak
teknik steril
membahayakan kondisi
3. Bersihkan tempat untuk
pasien
memasukan dan cairan
2. Untuk mencegah terjadinya
mengeluarkan cairan
infeksi
dengan alkohol
3. Tujuan membersihkannya
4. Monitor dan pertahankan
adalah agar tidak ada
kecepatan aliran yang
kontaminasi bakteri yang
sesuai
dapat menyebabkan infeksi
5. Catat cairan yang
apabila masuk ke tubuh
digunakan, karakteristik
pasien
output dan jumlahnya.
4. Agar cairan yang masuk
tidak kurang dan tidak lebih
serta sesuai dengan kondisi
bladder pasien.
5. Jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan
yang keluar sehingga tidak
ada cairan yang tertahan di
dalam tubuh pasien.
Karakteristik output
mencerminkan keadaan
bladder pasien
2 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Pain Pain Management S: pasien mengatakan
berhubungan keperawatan selama ...x 24 Management nyeri yang dialami
1 Nyeri merupakan
dengan agen jam diharapkan nyeri klien sudah berkurang sampai
1 Kaji nyeri secara pengalaman subjektif dan
cedera biologis dapat teratasi dengan hilang
koprehensif (lokasi, harus dijelaskan oleh pasien.
(BPH) ditandai kriteria hasil
karakteristik, durasi, Identifikasi karakteristik
dengan O: tidak ada respon
NOC Label : Pain Level frekuensi, kualitas dan nyeri dan factor yang
melaporkan nonverbal yang
factor presipitasi) berhubungan dengan nyeri
nyeri secara 1. Pasien melaporkan skala menunjukkan adanya
2 Eliminasi factor yang merupakan hal yang penting
verbal, nyeri berkurang nyeri pada pasien
memicu terjadinya nyeri untuk dikaji, untuk memilih
peningkatan 2. Pasien tidak tampak
3 Kalaborasi pemberian intervensi yang tepat dan
denyut nadi, melokalisasi nyeri dan A: tujuan tercapai
terapi analgetik secara mengevaluasi keefektifan
peningkatan tidak tampak meringis
frekuensi 3. Respiration rate pasien tepat dari terapi yang diberikan P: pertahankan kondisi
pernapasan, normal (16-20x /menit) 4 Anjurkan teknik 2 Faktor pencetus nyeri dapat pasien
peningkatan 4. Tekanan darah normal nonfarmakologi seperti meningkatkan nyeri pasien
tekanan darah, (120/80 mmHg) relaksasi, distraksi, napas 3 Agen- agen analgetik secara
meringis, 5. Nadi normal (60- dalam sebelum nyeri sistemik dapat menghasilkan
melokalisasi 100x/menit) terjadi atau meningkat relaksasi umum

nyeri 5 Gunakan strategi 4 Tindakan distraksi dan relaksasi


memungkinkan klien untuk
NOC Label : Pain contol komunikasi terapeutik
mengontrol rasa nyeri rasa
untuk memberikan terapi
1 Menggunakan analgetik nyeri yang muncul secara
Nonfarmakologi
seperti yang tidak mandiri
NIC Label : Vital Sign
direkomendasikan 5 Komunikasi terapeutik

2 Pasien dapat melaporkan 1. Pantau tanda-tanda vital diperlukan dalam menjalin


BHSP dan memudahkan
ketika tidak dapat pasien (tekanan darah,
perawat dalam memberikan
mengontrol nyeri nadi, suhu dan respirasi)
intervensi
Vital Sign

1. Tanda-tanda vital mampu


menentukan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam
tubuh pasien.
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Infection NIC Label : Infection Control S: pasien mengatakan
berhubungan keperawatan selama .....x24 Control 1. Mencegah terjadinya tidak mengalami tanda-
dengan prosedur jam status kekebalan pasien 1. Bersihkan lingkungan infeksi nosocomial yang tanda infeksi seperti
invasive meningkat dengan kriteria setelah dipakai pasien dapat memperburuk kondisi kemerahan, serta
(pemasangan hasil: lain pasien baru bengkak
kateter) NOC Label: 2. Batasi pengunjung bila 2. Mengurangi resiko infeksi
Risk Control : Infectious perlu yang mungkin ditularkan O: tidak ada
Process 3. Instruksikan pengunjung oleh pengunjung peningkatan WBC
a. Dapat mengidentifikasi untuk mencuci tangan 3. Mengurangi kuman yang
factor risiko infeksi saat berkunjung dan ditularkan melalui tangan A: tujuan tercapai
b. Mampu melaksanakan setelah berkunjung pengunjung
peningkatan waktu 4. Gunakan sabun anti 4. Membantu membunuh P: pertahankan kondisi
istirahat mikroba untuk cuci kuman yang ditularkan pasien
c. Mampu tangan melalui tangan
mempertahankan 5. Cuci tangan sebelum dan 5. Mencegah terjadinya
kebersihan lingkungan sesudah tindakan infeksi selama melakukan
d. Mengetahui risiko keperawatan intervensi keperawatan
infeksi personal 6. Gunakan universal 6. Mengurangi resiko
e. Mengetahui kebiasaan precaution dan gunakan terjadinya infeksi akibat
yang berhubungan sarung tangan selama kontak dengan kulit yang
dengan risiko infeksi kontak dengan kulit yang tidak utuh
tidak utuh 7. Nutrisi dan cairan dapat
7. Tingkatkan intake nutrisi meningkatkan imunitas
dan cairan pasien
8. Berikan terapi antibiotik 8. Mengurangi infeksi yang
bila perlu dialami pasien
9. Observasi dan laporkan 9. Agar dapat melakukan
tanda dan gejal infeksi penanganan infeksi dengan
seperti kemerahan, segera
panas, nyeri, tumor 10. Perubahan temperature
10. Kaji temperatur tiap 4 merupakan salah satu
jam indicator terjadinya infeksi
11. Catat dan laporkan hasil 11. Peningkatan WBC
laboratorium, WBC menunjukkan terjadinya
12. Istirahat yang adekuat infeksi pada pasien
13. Kaji warna kulit, turgor 12. Istirahat yang cukup dapat
dan tekstur, cuci kulit membantu meningkatkan
dengan hati-hati imunitas pasien
14. Ajarkan klien dan 13. Memantau adanya tanda-
anggota keluarga tanda infeksi
bagaimana mencegah 14. Karena mencegahan infeksi
infeksi harus dilakukan oleh semua
pihak
4 Kerusakan Setelah dilakukan asuhan NIC Label: Wound Care Wound Care S: klien mengatakan
integritas keperawatan selama ....x 24 1. Monitor karakteristik 1. Untuk mengetahui jenis lebih merasa nyaman
jaringan jam diharapkan terjadi luka termasuk drainase, luka dan keadaan luka
berhubungan perluasan regenerasi sel warna, ukuran, dan bau. pasien. O: tidak ada drainase
dengan prosedur dengan kriteria hasil : 2. Bersihkan luka dengan 2. Cairan normal saline purulen, tidak terjadi
pembedahan NOC Label: Wound normal saline merupakan cairan fisiologis peningkatan temperatur
ditandai dengan Healing: Primary Intention menggunakan teknik (mirip cairan tubuh) kulit, jaringan granulasi
adanya luka a. Pembentukan jaringan steril sehingga aman untuk mulai terbentuk, tidak
insisi granulasi (luka mulai 3. Rawat kulit di sekitar digunakan, teknik steril ada bau pada luka.
pembedahan menutup) luka digunakan untuk mencegah
b. Tidak ditemukan eksudat 4. Gunakan obat salep kulit terjadinya infeksi. A: tujuan tercapai
purulen dan serousa sesuai kebutuahan 3. Mencegah terjadinya iritasi P: pertahankan kondisi
c. Tidak ada pembekakan, apabila diindikasikan. pada kulit dan membantu pasien.
eritema, dan bau pada 5. Terapkan balutan yang mempercepat proses
luka disesuaikan dengan tipe penyembuhan luka.
luka 4. Untuk membantu proses
6. Ajarkan pasien dan penyembuhan luka dan
NOC Label: Tissue
keluarga tentang menjaga kelembaban kulit
Integrity
prosedur perawatan luka 5. Menjaga luka tetap tertutup
1. Perfusi jaringan normal 7. Monitor keadaan luka serta tidak terpapar
2. ketebalan dan tekstur mikroorganisme.
jaringan normal 6. Agar pasien dan keluarga
NIC Label: Infection
dapat melakukan secara
Protection
mandiri terutama saat
1. Monitor adanya tanda dirawat di rumah.
dan gejala sistemik atau 7. Mengetahui perkembangan
local dari infeksi luka
2. Anjurkan pemberian
antibiotic sesuai resep
Infection Protection
dokter bila diperlukan
3. Ajarkan pasien dan 1. Mengetahui terjadinya
keluarga tentang tanda infeksi
dan gejala infeksi 2. Pemberian antibiotic adalah
4. Ajarkan pasien untuk untuk membantu melawan
mencegah terjadinya mikroorganisme pathogen
infeksi penyebab infeksi
3. Agar dapat segera
melaporkan ke pelayanan
kesehatan serta mencegah
terjadinya komplikasi
4. Agar tidak terjadi infeksi.

6 Defisiensi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Teaching : Teaching : Disease Process S: pasien mengatakan
pengetahuan keperawatan selama .....x24 Disease Proces 1. Tingkat pengetahuan pasien sudah mengetahui
berhubungan jam pasien mengetahui 1. Berikan penilaian tentang akan mempengaruhi tentang penyakit yang
dengan kurang tentang proses penyakit tingkat pengetahuan perilaku sehat pasien dideritanya
pajanan ditandai dengan kriteria hasil: pasien tentang proses 2. Meningkatkan pengetahuan
dengan NOC Label: Knowledge : penyakit yang spesifik pasien mengenai penyakit O: pasien terlihat
pengungkapan Disease Process 2. Jelaskan patofisiologi dari yang dialaminya mampu menjalani
masalah a. Pasien dan keluarga penyakit dan bagaiman 3. Mengajarkan pasien untuk perawatan dengan
familiar dengan nama hal ini berhubungan mengenal tanda dan gejala disiplin
penyakit dengan anatomi dan yang mungkin terjadi
b. Pasien dan keluarga fisiologi 4. Meningkatkan pengetahuan A: tujuan tercapai
mampu 3. Gambarkan tanda dan pasien mengenai penyakit
mendeskripsikan proses gejala yang biasa muncul yang dialaminya P: pertahankan kondisi
penyakit, faktor pada penyakit 5. Mengetahui penyebab pasien
penyebab, faktor risiko, 4. Gambarkan proses penyakit sehingga
efek penyakit, tanda dan penyakit pengobatan yang diberikan
gejala, perjalanan 5. Identifikasi kemungkinan dapat tepat sasaran
penyakit. penyebab dengan cara 6. Agar pasien mengetahui
c. Pasien dan keluarga yang tepat kondisi penyakit yang
mampu 6. Sediakan informasi sedang dialaminya
mendeskripsikan tentang kondisi pasien 7. Agar keluarga mengetahui
tindakan untuk 7. Sediakan keluarga kemajuan pengobatan yang
menurunkan informasi tentang dijalani pasien
progresifitas penyakit. kemajuan pasien 8. Perubahan gaya hidup dapat
8. Diskusikan perubahan membantu mempercepat
gaya hidup yang mungkin proses penyembuhan
diperlukan untuk 9. Pilihan terapi yang tepat
mencegah komplikasi di akan mempercepat proses
masa yang akan datang penyembuhan pasien
dan atau proses 10. Meningkatkan pengetahuan
pengontrolan penyakit pasien dan keluarga
9. Diskusikan pilihan terapi mengenai intervensi yang
10. Gambarkan rasional diberikan sehingga mampu
rekomendasi manajemen menjalani intervensi dengan
terapi disiplin

You might also like