Professional Documents
Culture Documents
1. Definisi/Pengertian
- Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang membesar,
memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urine, dapat mengakibatkan hidronefrosis dan
hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukkan
adanya keterlibatan hormonal. Kondisi ini yang umum terjadi pada
pria diatas usia 50 tahun (Pierce & Neil, 2006).
- BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat;
pertumbuhan tersebut di mulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa dan pembesaran bagian periuretral akan menyebakan
obstruksi leher kandung kemih dan urertra pars prostatika yang
mengakibatkankan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih
(Price & Wilson, 2006)
- BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat
jinak dan bukan kanker, dimana yang umumnya diderita oleh
kebanyakan pria pada waktu meningkatnya usia sehingga dinamakan
penyakit orang tua. Perbesaran dari kelenjar ini lambat laun akan
mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga menyulitkan
berkemih (Rahardja, 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi
pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada
leher kandung kemih dan menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini
umumnya terkait dengan proses penuaan dan terjadi pada pria di atas usia
50 tahun.
2. Epidemiologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai
dengan pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul
pada > 50% pria berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun
(Davey, 2002). BPH merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih
30% populasi kulit putih Amerika yang berusia di atas 50 tahun dengan
gejala sedang hingga berat (Mitchell et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada
pria berusia di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak
ditemukan adalah hipertrofi protat jinak (benign prostatic hypertrophy,
BPH). Setidaknya 70% pria beursia 70 tahun mengalami BPH, 40% di
antaranya mengalami beberapa gejala obstruksi aliran keluar kandung
kemih. Usia merupakan faktor risiko untuk BPH. Data menunjukkan
bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi
tampaknya berada pada status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan yang
buruk (Heffner, 2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50
tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan
menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5% pria Indonesia sudah masuk
ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat dari 200
juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah
pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka
dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia
menderita penyakit BPH (Heffner, 2005).
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan. beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim
5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat
dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan
berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor kompleks.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel
(Hardjowidjoto, 2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel
yang telah mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan
didegradasi oleh enzim lisosom. Hal ini, menyebabkan pertambahan
massa prostat.
4. Patofisiologi
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone testosterone
yang merupakan mediator pokok pertumbuhan kelenjar prostat. Hormone
ini disintesis di dalam kelenjar prostat dari hormone testosterone yang
beredar dalam darah, dimana proses tersebut terjadi melalui kerja enzim
5α-reduktase, tipe 2. Walaupun DHT terlihat sebagai factor trofik utama
yang memediasi hyperplasia kelenjar prostat, hormone estrogen juga ikut
terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh factor-faktor
pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis
obstruksi traktus urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar prostat
yang dimediasi oleh otot polos pada kelenjar tersebut. Tegangan otot polos
kelenjar prostat dimediasi oleh adenoreseptor α1 yang hanya terdapat di
dalam stroma kelenjar prostat (Mitchell et al, 2008).
Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena adanya
nodul-nodul dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi (daerah
periuretral) (Mitchell et al, 2008). Hiperplasia prostatika adalah
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat.
Pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi
uretra, dan pembesaran bagian peri uretral akan menyebabkan obstruksi
leher vesika urinaria dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan
berkurangnya aliran urine dari vesika urinaria. Penyebab BPH
kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan
hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun dan kadar
esterogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio
esterogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia
jaringan prostat (Price and Wilson, 2005).
Pathway
Proliferasi
Perubahan estrogen, Peranan growth Lama hidup sel abnormal sel stem
testosterone pada laki- hormon prostat
laki usia lanjut
BPH
- Nyeri akut
Resiko infeksi - Resiko infeksi - Resiko perdarahan
- Resiko - Resiko kekurangan cairan
inkontinensia - Penurunan pengetahuan post
pasca kateter operasi
- Resiko retensi urine pasca
operasi
- Resiko disfungsi seksual
5. Klasifikasi
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat
& De Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa
urine kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Gejala Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan
frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan,
abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus
menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong
dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada
dalam kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran
kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan volume residu
yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Smeltzer, 2001).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal
berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia,
urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia, tersendat-sendat,
mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan kemih, rasa tidak puas saat
berkemih, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah
berkemih. Kandung kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan
abdomen, dan tekanan suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan
menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan
rectal untuk menilai besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2005).
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi
dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut,
dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok –
septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra
simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya
ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus,
striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya 20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya 40 gram.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan:
- Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk
menyingkirkan gagal ginjal
- Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih
b. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria
dengan hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana.
Pemeriksaan ini dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau
dicurigai mengidap hidronefrosis.
c. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna
BPH. Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran
dilakukan. Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL,
kemudian laju maksimal aliran urin dicatat.
d. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
e. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami
hematuria dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP
atau US atau praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan
TURP.
f. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen
spesifik-prostat dalam serum dapat membantu memperkirakan
perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala
seperti peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan
dimana urine terus menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih
tidak kosong dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine
tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih) (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
derajat I = beratnya 20 gram, derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram,
derajat III = beratnya 40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan
elevasi dasar kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi,
penebalan dan divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan
gangguan pengosongan kandung kemih. IVP atau US dapat
memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang. Pemeriksaan urodinamik
dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang dari 10 mL/detik,
pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung kemih yang
signifikan (McPhee &Ganong, 2010).
6 Defisiensi Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Teaching : Teaching : Disease Process S: pasien mengatakan
pengetahuan keperawatan selama .....x24 Disease Proces 1. Tingkat pengetahuan pasien sudah mengetahui
berhubungan jam pasien mengetahui 1. Berikan penilaian tentang akan mempengaruhi tentang penyakit yang
dengan kurang tentang proses penyakit tingkat pengetahuan perilaku sehat pasien dideritanya
pajanan ditandai dengan kriteria hasil: pasien tentang proses 2. Meningkatkan pengetahuan
dengan NOC Label: Knowledge : penyakit yang spesifik pasien mengenai penyakit O: pasien terlihat
pengungkapan Disease Process 2. Jelaskan patofisiologi dari yang dialaminya mampu menjalani
masalah a. Pasien dan keluarga penyakit dan bagaiman 3. Mengajarkan pasien untuk perawatan dengan
familiar dengan nama hal ini berhubungan mengenal tanda dan gejala disiplin
penyakit dengan anatomi dan yang mungkin terjadi
b. Pasien dan keluarga fisiologi 4. Meningkatkan pengetahuan A: tujuan tercapai
mampu 3. Gambarkan tanda dan pasien mengenai penyakit
mendeskripsikan proses gejala yang biasa muncul yang dialaminya P: pertahankan kondisi
penyakit, faktor pada penyakit 5. Mengetahui penyebab pasien
penyebab, faktor risiko, 4. Gambarkan proses penyakit sehingga
efek penyakit, tanda dan penyakit pengobatan yang diberikan
gejala, perjalanan 5. Identifikasi kemungkinan dapat tepat sasaran
penyakit. penyebab dengan cara 6. Agar pasien mengetahui
c. Pasien dan keluarga yang tepat kondisi penyakit yang
mampu 6. Sediakan informasi sedang dialaminya
mendeskripsikan tentang kondisi pasien 7. Agar keluarga mengetahui
tindakan untuk 7. Sediakan keluarga kemajuan pengobatan yang
menurunkan informasi tentang dijalani pasien
progresifitas penyakit. kemajuan pasien 8. Perubahan gaya hidup dapat
8. Diskusikan perubahan membantu mempercepat
gaya hidup yang mungkin proses penyembuhan
diperlukan untuk 9. Pilihan terapi yang tepat
mencegah komplikasi di akan mempercepat proses
masa yang akan datang penyembuhan pasien
dan atau proses 10. Meningkatkan pengetahuan
pengontrolan penyakit pasien dan keluarga
9. Diskusikan pilihan terapi mengenai intervensi yang
10. Gambarkan rasional diberikan sehingga mampu
rekomendasi manajemen menjalani intervensi dengan
terapi disiplin