Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
1. Nama : Fikri Farhan Arrasyid 6. Nama : Maulida Apriana
NPT : 41.16.0042 NPT : 41.16.0047
2. Nama : Grandhista Septya I.P 7. Nama : M. Fariz Arief Fadhilah
NPT : 41.16.0043 NPT : 41.16.0048
3. Nama : Hanif Cahyo Romadhon 8. Nama : M. Fahreza A.
NPT : 41.16.0044 NPT : 41.16.0049
4. Nama : Leo Gumalto Butar butar 9. Nama : M. Hidayaturrahmani
NPT : 41.16.0045 NPT : 41.16.0050
5. Nama : Martha Maranata P 10. Nama : Muhammad Nur Huda
NPT : 41.16.0046 NPT : 41.16.0051
(…………………………..) (…………………………..)
NIP. …………………....... NIP. ………………………
Mengetahui,
Ketua Program Studi
(…………………………)
NIP. ……………………..
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan kesehatan dan juga
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan Laporan Kerja Lapangan dengan baik dan tepat
waktu.
Laporan Kerja Lapangan ini disusun berdasarkan hasil yang diperoleh dari kesempatan yang kami
dapatkan untuk kerja praktek langsung di Stasiun Meteorologi Maritim Klas I Tanjung Priok.
Kerja praktek ini telah kami laksanakan dengan baik dan sesuai dengan arahan dari pihak – pihak
yang bekerja di Stasiun Meteorologi Maritim Klas I Tanjung Priok serta dosen penmbimbing
lapangan.
Laporan ini merupakan sebuah tugas yang wajib diselesaikan oleh Taruna/I Program Studi D4
Instrumentasi STMKG, Jakarta guna memantapkan teori dan praktek yang sebelumnya sudah
dipelajari di kampus, serta dapat diselesaikan aplikasi di lapangan.
Dalam pembuatan laporan praktek ini, kami mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang
telah memberikan dukungan dan doa sejak awal hingga penulis bisa menyelesaikan laporan
praktek ini. Tak lupa kami juga mengucapkan terimah kasih kepada rekan rekan Taruna STMKG.
Kami juga mengucapkan segala hormat dan terimah kasih kepada para dosen yang ada di STMKG,
Jakarta sehingga penulis dapat menerapkan ilmu yang telah diberikan dan menerapkannya di
lapangan.
Ucapan terimah kasih ini juga kami ucapkan kepada :
Bapak Agus Tri Sutanto, selaku Ketua Prodi Instrumentasi.
Ibu Astri selaku dosen pembimbing lapangan
Bapak Sugarin, selaku Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Klas I Tanjung Priok
Bapak Laksana, Mbak Nazaria, dan Mbak selaku pemateri
Kami menyadari bahwa di dalam penulisan laporan ini masih belum bisa dikatakan mencapai
kesempurnaan karena tentunya kesempurnaan hanya milik Tuhan YME. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar kami dapat memperbaikinya dikemudian
hari. Semoga laporan ini bisa dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberi wawasan baru
yang berkaitan dengan PKL atau Praktek Kerja Lapangan.
Tangerang Selatan, 11 Maret 2019
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 4
BAB I .............................................................................................................................................. 5
BAB II............................................................................................................................................. 7
BAB IV ......................................................................................................................................... 13
BAB V .......................................................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah pengamatan meteorologi dan geofisika di Indonesia dimulai pada tahun 1841 diawali
dengan pengamatan yang dilakukan secara perorangan oleh Dr. Onnen, Kepala Rumah Sakit di
Bogor. Tahun demi tahun kegiatannya berkembang sesuai dengan semakin diperlukannya data
hasil pengamatan cuaca dan geofisika.
Pada tahun 1866, kegiatan pengamatan perorangan tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda
diresmikan menjadi instansi pemerintah dengan nama Magnetisch en Meteorologisch
Observatorium atau Observatorium Magnetik dan Meteorologi dipimpin oleh Dr. Bergsma.
Pada tahun 1879 dibangun jaringan penakar hujan sebanyak 74 stasiun pengamatan di Jawa. Pada
tahun 1902 pengamatan medan magnet bumi dipindahkan dari Jakarta ke Bogor. Pengamatan
gempa bumi dimulai pada tahun 1908 dengan pemasangan komponen horisontal seismograf
Wiechert di Jakarta, sedangkan pemasangan komponen vertikal dilaksanakan pada tahun 1928.
Pada tahun 1912 dilakukan reorganisasi pengamatan meteorologi dengan menambah jaringan
sekunder. Sedangkan jasa meteorologi mulai digunakan untuk penerangan pada tahun 1930.
Pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai dengan 1945, nama instansi meteorologi
dan geofisika diganti menjadi Kisho Kauso Kusho.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, instansi tersebut dipecah menjadi
dua: Di Yogyakarta dibentuk Biro Meteorologi yang berada di lingkungan Markas Tertinggi
Tentara Rakyat Indonesia khusus untuk melayani kepentingan Angkatan Udara. Di Jakarta
dibentuk Jawatan Meteorologi dan Geofisika, dibawah Kementerian Pekerjaan Umum dan
Tenaga.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Jawatan Meteorologi dan Geofisika diambil alih oleh Pemerintah
Belanda dan namanya diganti menjadi Meteorologisch en Geofisiche Dienst. Sementara itu, ada
juga Jawatan Meteorologi dan Geofisika yang dipertahankan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
kedudukan instansi tersebut di Jl. Gondangdia, Jakarta.
Pada tahun 1949, setelah penyerahan kedaulatan negara Republik Indonesia dari Belanda,
Meteorologisch en Geofisiche Dienst diubah menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika dibawah
Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Selanjutnya, pada tahun 1950 Indonesia secara
resmi masuk sebagai anggota Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization
atau WMO) dan Kepala Jawatan Meteorologi dan Geofisika menjadi Permanent Representative of
Indonesia with WMO.
Pada tahun 1955 Jawatan Meteorologi dan Geofisika diubah namanya menjadi Lembaga
Meteorologi dan Geofisika di bawah Departemen Perhubungan, dan pada tahun 1960 namanya
dikembalikan menjadi Jawatan Meteorologi dan Geofisika di bawah Departemen Perhubungan
Udara.
Pada tahun 1965, namanya diubah menjadi Direktorat Meteorologi dan Geofisika, kedudukannya
tetap di bawah Departemen Perhubungan Udara.Pada tahun 1972, Direktorat Meteorologi dan
Geofisika diganti namanya menjadi Pusat Meteorologi dan Geofisika, suatu instansi setingkat
eselon II di bawah Departemen Perhubungan, dan pada tahun 1980 statusnya dinaikkan menjadi
suatu instansi setingkat eselon I dengan nama Badan Meteorologi dan Geofisika, dengan
kedudukan tetap berada di bawah Departemen Perhubungan.Pada tahun 2002, dengan keputusan
Presiden RI Nomor 46 dan 48 tahun 2002, struktur organisasinya diubah menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) dengan nama tetap Badan Meteorologi dan Geofisika.
Terakhir, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2008, Badan Meteorologi dan Geofisika
berganti nama menjadi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan status
tetap sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen.Pada tanggal 1 Oktober 2009 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. (unduh
Penjelasan UU RI Nomor 31 Tahun 2009)
2.2 Struktur Organisasi
Berdasarkan Lampiran Peraturan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Nomor
KEP.09 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja BMKG, Stasiun Meteorologi Maritim Klas
I Tanjung Priok mempunyai tugas dan fungsi sebagaimana di bawah ini.
a. Tugas
b. Fungsi
Menurut Peraturan Kepala Badan Meteorologi Dan Geofisika Nomor: KEP. 006
Tahun 2008 Tentang Standar Stasiun Meteorologi Pasal 1 Bahwa Taman alat meteorologi
yang selanjutnya disebut Taman alat adalah sebidang tanah pada dataran terbuka dan datar
yang merupakan tempat kedudukan sensor-sensor meteorologi.
Menurut Peraturan Kepala Badan Meteorologi Dan Geofisika Nomor: KEP. 006
Tahun 2008 Tentang Standar Stasiun Meteorologi Pasal 9, bahwa persyaratan taman alat
meteorologi meliputi :
a. Terletak di daerah terbuka dan datar, jarak antara taman dengan bangunan maupun
pepohonan disekitarnya paling sedikit 10 (sepuluh) kali tinggi bangunan atau
pepohonan disekitarnya.
b. Luas taman alat paling sedikit 20 m x 20 m (dua puluh meter kali dua puluh meter)
persegi.
c. Berpagar pembatas dengan tinggi 120 cm (seratus dua puluh sentimeter).
d. Tinggi rumput dalam taman alat dijaga tidak lebih dari 10 cm (sepuluh sentimeter).
e. Tidak berkedudukan di sebelah timur atau di sebelah barat dari bangunan atau
pepohonan disekitarnya.
f. Tidak berada di lokasi yang mudah tergenang.
Dalam taman alat pada Stasiun Meteorologi Maritim Tanjung Priok terdapat beberapa
alat yang digunakan sebagai alat untuk pengamatan cuaca pada daerah tersebut, diantaranya
adalah :
4.2.1 Sangkar Meteorologi
Sangkar meteo merupakan bangunan berbentuk rumah yang terbuat dari kayu
yang berfungsi untuk menyimpan alat termometer maksimum, termometer
minimum, termometer bola kering dan termometer bola basah.Dalam pengukuran
suhu udara, suhu yang diukur bukanlah suhu yang disebabkan oleh radiasi matahari
secara langsung, melainkan suhu rata-rata permukaan tanpa terkena radiasi matahari
secara langsung. Oleh karena itu termometer diletakkan di dalam sangkar alat.
Sangkar alat ini memiliki ketentuan tersendiri untuk mendapatkan data yang valid.
Ketentuan dari sangkar alat :
Terbuat dari kayu yang di cat putih, warna putih akan memantulkan kembali
radiasi dari matahari sehingga tidak mengenai termometer secara langsung.
Pintu menghadap utara dan selatan. Hal ini dilakukan karena gerak semu matahari
adalah dari Timur-Barat, jadi saat dilakukan pengamatan cuaca, pintu yang
digunakan adalah bagian utara atau selatan. Sehingga radiasi cahaya matahari
tidak terkena langsung terhadap termometer.
Terdapat lubang-lubang di dalam sangkar. Hal ini bertujuan untuk melancarkan
aliran udara di sekitar sangkar, sehingga suhu yang diperoleh termometer di dalam
sangkar alat akan mewakili suhu daerah tersebut.
Memiliki tinggi + 1,2 meter.
Gambar 1
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Setelah mendapati berbagai masalah tersebut, maka kami pun juga merangkum
berbagai saran untuk mengatasi permasalahan tersebut di bawah ini.
1. Penambahan pegawai agar tugas lebih terarah.
Pada stasiun ini, jumlah pegawai yang tercatat tergolong sedikit. Belum lagi pergantian
shift pegawai untuk waktu pagi dan sore, yang notabene membutuhkan tenaga lebih. Selain
itu, tujuan lainnya agar tugas yang diberikan kepada pegawai sesuai dengan keahliannya
masing-masing. Contohnya seorang teknisi cukup fokus pada pekerjaanya sebagai teknisi,
tidak perlu menyambi pekerjaan pengamatan yang dilakukan oleh seorang pengamat.
2. Melakukan pemeliharaan alat secara berkala.
Seperti alat-alat pada umumnya, peralatan meteorology maritime pun juga perlu dirawat
secara berkala, misalnya dicek selama seminggu sekali, sebulan sekali, dsb. Hal ini
dilakukan agar standar pengukuran pada alat tersebut bisa terjaga.
3. Melakukan perbaikan kepada peralatan yang rusak.
Jika ada alat yang rusak, maka perlu dilakukan perbaikan atau bahkan pergantian.
Perbaikan hanya boleh dilakukan saat alat mengalami kerusakan ringan, sedangkan
pergantian alat dilakukan ketika alat mengalami kerusakan berat. Pergantian alat ini
dilakukan dengan cara mengindikasi masalahnya apa, lalu jika sudah diketahui segera
menghubungi teknisi BMKG Pusat agar segera diperbaiki.
4. Membangun kerja sama dengan TNI AL dalam menjaga keamanan peralatan yang
terpasang di tengah laut.
Peralatan meteorologi maritime yang dilepas di lautan perlu diberi penjagaan. Hal ini
dilakukan mengingat harga peralatan tersebut sangatlah mahal. Alat -alat seperti BUOY,
sea glider, wave glider, atau ADCP, ditaksir memiliki harga yang mencapai ratusan juta.
Tentu sangat disayangkan apabila barang-barang milik negara ini hilang dan
disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah peran TNI AL
dibutuhkan. Mereka bisa bertugas untuk mengawasi dan menjaga peralatan-peralatan
tersebut.
5. Mencari lokasi baru untuk taman alat yang bebas obstacle.
Kondisi lingkungan sekitar pada taman alat di stasiun ini cukup memprihatinkan. Hal ini
dilihat pada letak stasiun yang berdekatan dengan bangunan-bangunan tinggi, sehingga
tidak cocok untuk dilakukan pengamatan visibility. Sebaiknya, taman alat dipindah ke
lokasi yang terbuka dan jauh dari obstacle.
6. Penambahan alat yang memadai untuk pengamatan maritime.
Sejauh ini, peralatan yang digunakan pada stasiun terkait kebanyakan masih konvensional,
meskipun terdapat alat yang sudah digital. Dengan adanya alat pengamatan maritime yang
lebih modern, diharapkan hasil pengukuran tersebut bisa lebih akurat dan pengamat tidak
perlu bersusah payah lagi dalam mengoperasikannya.