You are on page 1of 13

CLINICAL SCIENCE SESSION

*Kepanitraan Klinik Senior/G1A215005

**Pembimbing/ dr. Umi Rahayu, Sp.THT-KL**

RHINOSINUSITIS KRONIK

Disusun Oleh:

Erwin K Sjah Alam, S.Ked*

G1A215005

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KL

RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018
TINJAUAN KLINIS

Seorang wanita 50 tahun dengan rinitis non-alergi, asma, dan intoleransi aspirin
menunjukkan dengan adanya gejala hidung yang semakin memburuk seperti nasal kongestif,
drainase purulen, dan anosmia. Polip hidung terlihat pada saat dilakukkan rhinoskopi
anterior, dan adanya bukti rinosinusitis kronis (CRS) pada gambaran studi selama
pemeriksaan untuk kondisi medis lain. Selama periode 2 tahun yang dia miliki banyak
serangan eksaserbasi akut CRS yang memerlukan beberapa program antibiotik; Namun, dia
tidak mau menjalani operasi untuk mengurangi beban polip. Dia berhasil menjalani
desensitisasi aspirin dan mengalami perbaikan gejala parsial dengan konsumsi aspirin harian.

Obstruksi nasal adalah gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh beberapa kausa, termasuk
gangguan mukosa (misalnya, alergi dan rinitis non-alergi, rinosinusitis, sarcoid), dan
gangguan struktural anatomi (mis. deviasi septum hidung, tumor, mucoceles). Berbagai
pembahasan mengenai penyebab dan pengerjaan untuk obstruksi nasal ditekankan di dalam
CRS, yang merupakan penyakit yang lazim ditandai dengan inflamasi nasal dan sinus
paranasal selama > 12 minggu. Perbedaan Subtipe dari CRS, termasuk CRS dengan dan
tanpa polip hidung, jamur alergika rinosinusitis, dan aspirin-exacerbated respiratory disease,
didiskusikan bersamaan dengan patogenesis, diagnosis, dan pengobatan pilihannya. 2013
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology ( J Allergy Clin Immunol: In Practice 2013;1:205-11)

2
KASUS
Seorang wanita kulit putih berusia 50 tahun datang ke klinik rawat jalan Alergi-Imunologi
untuk gejala-gejala hidung tersumbat yang memburuk. Dia telah diikuti selama 6 tahun;
dengan inisial diagnosis adalah rinitis non-alergi dan asma persisten. Dia juga memiliki
gambaran seperti hidung tersumbat yang parah dan rhinorrhea setelah pemberian aspirin atau
ibuprofen. Untuk 4 tahun pertama, dia telah melakukan denagn relatif baik dalam mengelola
gejala rhinitisnya dengan menggunakan intranasal steroid.

Pada saat itu, dia melakukan kunjungan darurat setelah sebulan gejala hidung tersumbat
semakin memberat, terdapat purulent discharge, dan anosmia. Gejala demam, nyeri wajah,
atau nyeri pada sinus tidak ada. Polip hidung (NPs) dan nanah pertama kali terlihat. Dia
diobati dengan azithromycin (Z-Pak 2) dan prednisone (30 mg setiap hari selama 5 hari)
dengan perbaikan, tetapi tidak menyelesaikan gejala.

Pada follow-up 5 bulan kemudian, dia melaporkan kekambuhan gejala sinusitis yang tidak
terkontrol, dengan polip yang membesar yang terlihat pada pemeriksaan. Dia diberi edukasi
pemeberian 3 minggu amoxicillin-klavulanat, dan evaluasi lebih lanjut dengan tomografi
komputer (CT) sinus yang direkomendasikan minimal dalam 2 kali pemeriksaan, tetapi
pasien tidak menurut. Dia tidak mengalami eksaserbasi asma dan dipertahankan dengan dosis
rendah fluticasone-salmeterol; spirometri nya masih dalam batas normal.

Dua bulan kemudian terjadi pembengkakan pada mata kanan selama periode 3 minggu dan
tercatat memiliki proptosis orbit yang baik. Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan
gambaran kelainan soft tissue pada aspek medial dari mata kanan (Gambar 1,A). Biopsi
massa orbital yang tepat diperoleh melalui superior nasal-anterior menunjukkan perubahan
granulomatosa yang tidak sempurna, konsisten dengan diagnosis ocular sarcoidosis.

Studi pencitraan CT menunjukkan dekat dengan adanya opacification sinus ethmoid kanan
dan penebalan mukosa dari kedua sinus maksilaris (Gambar 1, B dan C). Selain itu, banyak
lesi polypoid di rongga hidung (Gambar 1, C). Fungsi sistem imun humoral telah dievaluasi.
Total jumlah imunoglobulin dalam batas normal, dan titer antibodi spesifik untuk
Streptococcus pneumoniae adekuat. Studi laboratorium tambahan (panel metabolik
komprehensif, sel darah lengkap, tingkat enzim angiotensin-converting, dan antibodi anti-
neutrofil sitoplasma) berada dalam batas normal.

Dia dirawat selama beberapa bulan dengan pemberian prednisone, yang mana menyelesaikan
permasalahan dari orbital sarcoid (dibuktikan pada perubahan abnormal pada studi MRI
berulang dan perubahan sempurna dari proptosis) dan mengendalikan gejala rinosinusitis
kronisnya (CRS). Namun, setelah penghentian prednisone, pasien kembali mengalami
eksaserbasi akut CRS yang membutuhkan antibiotik. Dia menolak pemberian prednison lebih
lanjut dan tindakan functional endoscopic sinus surgery (FESS).

Nasal congestinya menunjukkan adanya perbaikan dengan montelukast; Namun, dia tidak
bisa melanjutkan pengobatan karena dia percaya itu menyebabkan perubahan moodnya.
Zafirlukast tidak membantu; karena itu untuk kebutuhan tes fungsi hati, dia tidak mau
zileuton. Saat dia mengambil montelukast, desensitisasi aspirin dilakukan. Selama upaya

3
pertama dia menelan total 325 mg aspirin tetapi mengalami rinorea dan bersin; spirometrynya
tidak berubah dan dia tidak memiliki gejala kelainan saluran pernafasan bawah. Dia
dipertahankan pada pemberian 81 mg aspirin dua kali sehari, dan 2 minggu kemudian dia
semakin ditoleransi dosis tinggi dengan reaksi yang minimal. Dia mengambil 650 mg aspirin
dua kali setiap hari dengan peningkatan tetapi mengalami eksaserbasi lagi yang mana
membutuhkan pemberian antibiotik. Rencananya setelah itu dia akan menyetujui tindakan
FESS untuk mengurangi beban polipnya; dan terapi medis intensif akan terus berlanjut.

DIAGNOSIS BANDING UNTUK OBSTRUKSI NASAL

Diagnosis banding untuk obstruksi nasal sangat luas (Tabel I). Penyebab obstruksi hidung
dapat dibagi menjadi gangguan mukosa: rhinitis (alergi dan nonalergik), rhinosinusitis (akut
dan kronis, dengan beberapa subtipe), dan gangguan struktural anatomi seperti deviasi
septum hidung atau mucocele. Nasal congestion juga bisa disebabkan oleh efek obat (Tabel
I).

Mucosa Disorders

Rinitis alergi dan non-alergi. Awalnya, pasien sudah memiliki gejala rinitis persisten, yang
dicirikan oleh setidaknya salah satu dari berikut: hidung tersumbat, rhinorrhea, bersin, dan
pruritus.1 Komponen penting dari identifikasi riwayat pasien adalah mengidentifikasi pemicu
gejala, karena rinitis dapat disebabkan oleh alergi dan rangsangan nonalergi. Penting untuk
mengatasi rhinitis alergi (AR) pada seseorang dengan CRS, karena prevalensi AR
diperkirakan 60% dalam CRS.2 Namun, penting untuk diperhatikan bahwa asosiasi CRS
dengan AR tidak berarti sebuah sebab-akibat, karena penelitian menunjukkan secara kausa
tidak ada hubungan yang bermakna.3-5

Evaluasi untuk pemicu alergi yang mungkin untuk gejala rhinitis termasuk riwayat
menyeluruh dan pemeriksaan fisik, dengan melakukan skin prick testing untuk diagnostik IgE
spesifik yang merupakan panel alergen yang relevan.1 Pasien sudah dilakukan skin prick
testing dengan hasil negatif untuk environmental allergens dan dengan demikian kondisinya
didiagnosis sebagai rinitis non-alergi, yang dapat meniru AR, karena gejala bisa serupa dan
menetap atau berkala.1

Rhinosinusitis akut. Rinosinusitis akut (ARS) didefinisikan sebagai onset mendadak dengan
gejala seperti hidung tersumbat / obstruksi / nasal congestion, bersama dengan nyeri / nyeri
tekan seperti ditekan pada wajah atau hyposmia / anosmia selama <12 minggu.5

Anak-anak dapat datang dengan demam dan batuk. Diagnosis ARS dibuat secara klinis
berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Dalam sebagian besar kasus, ARS disebabkan
oleh virus, dengan hanya sekitar 0,5% hingga 2% infeksi sekunder dari bakteri;

4
Pada kebanyakan kasus, ARS berasal dari inveksi virus, dengan kira-kira hanya 0,5% hingga
2% perkembangan infeksi dari bakteri. Acute bacterial Rhinosinusitis (ABRS) telah di curigai
bertahan pada kejadian infeksi saluran pernafasan atas melebihi 10 hingga 14 hari (Tabel II).5

5
Karena gejala-gejala pasien berlangsung selama >12 minggu, maka diagnosisnya bukanlah
ARS. Bagaimanapun, dia rutin mengalami eksaserbasi sinusitis dengan gejala yang semakin
memburuk yang mengarah ke ABRS.

Rhinosinusitis kronik. CRS didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada hidung dan
sinus-sinus paranasal yang berlangsung selama 12 minggu atau lebih. Prevalensi CRS
diperirakan rata-rata 5% hingga 15% terjadi pada populasi dewasa di Amerika serikat dan
Eropa.5 Prefalensi yang terdiagnosis oleh dokter dengan kriteria yang objektif diperkirakan
hanya 2%.5

4 karakteristik sign and symptom dari CRS yaitu nasal congestif, nyeri wajah/seperti ditekan,
anterior atau posterior nasal drainage, dan hyposmia atau anosmia.2,5 Kurang 2 dari gejala-
gejala yang seharusnya terlihat selama 12 minggu atau lebih, ketika mempertimbangkan
diagnosa dari CRS. Penilaian objektif, seperti pemeriksaan direct endoscopic atau CT
imaging, dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dari CRS.6,7 Bagaimanapun, hasil
imaging dan rhinoscopy hanya dapat digunakan setelah pemberian initial treatment
dinyatakan gagal atau gejala-gejala kembali kambuh.

CRS dapat dihubungkan dengan beberapa komplikasi. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan
bahwa adanya kemungkinan komplikasi seperti sakit kepala, pembengkakan pada wajah,
edemea pada orbital yang signifikan, perubahan penglihatan, proptosis, pergerakan abnormal
dari extraocular, ophthalmoplegia, dan gejala meningeal.8 pada dasarnya evaluasi kasus dapat
muncul indikasi untuk pencegahan terjadinya kerusakan pada penglihatan atau infeksi yang
progresif dari manigitis, thrbosis sinus cavernosus, atau abses otak. Pasien kami menunjukan
dengan gejala CRS dan sebuah masa pada orbital, yangmana diagnosis bandingnya ada pada
(Tabel III), tapi ditemukan juga sarcoidosis dari perbaikan yang sempurna.

6
Sisa dari CRS merupakan tantangan diagnosa karena gejala-gejalanya yang begitu banyak,
Onsetnya sering tersembunyi, para dokter tidak membutuhkan gejala yang spesifik seperti
anosmia, dan atau keahlian dari endoscopy nasi yang dilakukan oleh seorang dokter.5
Tantangan tambahan, yaitu perubahan gejala-gejala phenotypes multipel, setiap karakteristik
yang mengarah kearah CRS.9 Subtipe variasi dari CRS memiliki ciri khas dan pilihan
manajemen tindakan (Tabel II), walaaupun subtipe ini masih kontroversi.

Rhinosinusitis kronis tanpa polip nasal (CRSsNP). merupakan prevalensi subtype, 60%
hingga 65% dari kasus CRS. Secara umum, seseorang dengan CRSsNP memiliki gejala dari
nyeri wajah dan purulent discharge.7

7
Secara Histologi, lapisan mukosa menunjukan dasar membran yang menebal, adanya
hiperplasia sel goblet, batasan edama subepithelial, dan prominent fibrosis dan adanya
mononuclear sel infiltrat.7 Secara imunologis, lebih condong terjadi menuju TH1 fenotipe.7,10

Meskipun baik eosinofil maupun neutrofil merupakan bagian dari dalam bagian inflamasi,
eosinofil kurang terlihat dimukosa pasien dengan CRSsNP, gambaran subtipe ini dapat
ditandai dengan adanya lebih banyak neutrofil.5,7

CRSsNP pada populasi pediatrik memiliki tanda yang serupa dan gejala CRS dewasa, dengan
ditandai adanya batuk kronis yang sedikit lebih menonjol dibandingkan pada orang dewasa.5
Diagnosis CRS pada anak-anak lebih sulit, mengingat tumpang tindih gejala yang berkaitan
dengan penyakit hidung dan tingkat kesulitan saat melkukan pemeriksaan fisik.5 Perbedaan
penting lainnya dalam CRS pediatrik adalah peran utama dari adenoid, karena dihipotesiskan
menyimpan biofilms yang bertindak sebagai reservoir bakteri.11 Selain itu, biofilms juga
dapat berkontribusi untuk inflammasi kronis dan meningkatkan resistensi dengan melindungi
bakteri dari mekanisme pertahanan tubuh dan antibiotik.5

Kronik rhinosinusitis dengan polip nasal. Chronic rhinosinusitis dengan polip hidung
(CRSwNP) terjadi pada kira-kira 20% dengan orang dengan CRS. Secara umum, orang
dengan CRSwNP hadir dengan gejala obstruksi nasal yang menonjol dan hyposmia / anosmia
dan mengeluhkan lebih sedikit nyeri wajah.7 Ini merupakan subtipe yang cenderung lebih
keras terhadap pengobatan medis konvensional, membutuhkan lebih banyak intervensi bedah,
dan lebih besar morbiditasnya.7 Pada pemeriksaan fisik, polip yang besar kadang-kadang bisa
terlihat dengan rinoskopi anterior saja. Tampak translucent, memiliki warna abu-abu kuning,
kurang sensitif, dan biasanya timbul di sekitar kompleks ostiomeatal di meatus media.12
Beberapa polip hanya dapat dideteksi dengan hasil pencitraan CT.

Pada sekitar 80% hingga 90% pasien kulit putih dengan CRSwNP ada jaringan eosinofilia
yang menonjol.13 Pada ras kulit putih, CRSwNP terjadi hampir secara eksklusif pada orang
dewasa; pada anak-anak, fibrosis kistik harus dipertimbangkan. Secara histologi ada
kerusakan epitel, membran basal menebal, edematous dan jaringan stroma fibrosis, dan
mengurangi jumlah pembuluh darah dan kelenjar.7 Secara imunologis, ada lebih banyak TH2
miring; Namun, ini mungkin merupakan pengembangan peroses yang komplek.7,10 penanda
inflamasi alergi, seperti eosinophil cationic protein, IL-4, and IL-5, secara lokal ini tidak
berbeda di mukosa sinonasal antara orang atopik dan nonatopi dengan poliposis hidung.7

Allergic fungal rhinosinusitis. Kriteria secara histopatologi yang diperlukan untuk diagnosis
rinosinusitis alergi jamur (AFRS) adalah (1) alergi mucin yang terlihat pada gross dan atau
pemeriksaan histopatologis; (2) baik (a) methenamine silver stain alergi musin positif untuk
hifa jamur tetapi tidak ada hifa jamur yang terlihat di mukosa (dengan atau tanpa kultur jamur
positif) atau (b) silver stain kultur jamur negatif dan positif; (3) karakteristik sinus mukosa
H&E stain untuk AFRS; dan (4) pengecualian penyakit jamur histopatologi lainnya.14 Proses
akut penting yang harus dikecualikan adalah rhinosinusitis jamur akut yang invasif pada

8
inang imunokompromais.15 berlangsung selama <4 minggu dan dianggap darurat karena
Invasi jamur ke vaskular lebih dominan terjadi.15

AFRS merupakan CRS yang disertai dengan opacifikasi setidaknya satu sinus dengan alergi
mucin. Apa yang membedakan kondisi ini dari subtipe CRS lainnya adalah hifa jamur yang
viabel diisolasi dari muskulus mucin dan jamur-spesifik IgE sering terdapat dalam serum.16
Selain itu, CT imaging sering menunjukkan hipersensitifitas dengan opasifikasi sinus,
sugestif akumulasi dari alergi mucin; pada MRI, gambaran T2-weighted ditandai sinyal yang
rendah atau bahkan hilang.17 Patogenesis dari AFRS diduga melibatkan sensitisasi terhadap
alergen jamur, menimbulakan IgE-mediated dalam respon inflamasi pada rongga sinonasal.
Pada pemaparan ulang terhadap lingkungan dengan jamur yang tinggi konten hyperresponsif
meningkat di bagian atas dan bawah saluran nafas pada orang yang peka.15 Pasien dalam studi
kasus ini tidak memenuhi kriteria untuk AFRS karena fungal stain negatif. Selain itu,
pewarnaan dan kultur basil tahan asam juga negatif.

Aspirin -exacerba ted re spiratory disease. (AERD) mengacu pada trias asma, CRSwNP, dan
sensitivitas aspirin. Prevalensi AERD tidak diketahui, dengan beberapa perkiraan yang
menunjukkan bahwa 15% menjadi 20% pasien dengan asma dan CRSwNP memiliki
AERD.18,19 Gejala setelah konsumsi aspirin bervariasi, mulai dari keluhan saluran pernafasan
bagian atas seperti hidung tersumbat, rhinorrhea, dan bersin-bersin, gejala saluran pernafasan
bawah yang lebih berat seperti bronkospasme. Bronkospasme yang diinduksi oleh aspirin
umumnya lebih banyak berat daripada bronkospasme yang disebabkan oleh inhalasi histamin,
berlangsung lebih lama, dan berespon buruk terhadap bronkodilator.20

Mekanisme yang menghasilkan perkembangan gejala pernapasan dengan aspirin tidak


sepenuhnya dipahami. Diteorikan bahwa pasien dengan AERD memiliki baseline meningkat
level leukotrien yang bersirkulasi, yang disintesis dari asam arakidonat melalui 5-
lipoxygenase (5-LO). 5-LO normalnya diatur oleh protein penghambat prostaglandin E2,
yang mana disintesis oleh enzim cyclo-oxygenase-1 (COX-1). Aspirin menghambat aktivitas
COX-1, dan pada orang dengan AERD, inhibition dari aktivitas COX-1 ini mengarah ke
penghambatan prostaglandin E yang mendalam. 2 sintesis, aktivitas yang tidak diatur dari 5-
LO, dan melanjutkan produksi leukotrien, dengan menghasilkan inflamasi.20 Namun,
mekanisme ini tidak menjelaskan mengapa hanya sekelompok orang terpilih dengan CRS
memiliki reaksi idiosynkratik setelah menelan aspirin atau obat anti-inflamasi nonsteroid
(NSAID).

Dalam hal keparahan penyakit, orang dengan AERD menjadi lebih buruk pada sinus dari
pada orang yang mentolerir NSAID. Mereka punya hasil signifikan yang buruk, termasuk
skor CT pra-operasi (Skor Lund-Mackay) dan nasal endoskopi (skor Lund-Kennedy)
dibandingkan dengan orang dengan CRSwNP toleran terhadap NSAID.21,22

9
Sarcoidosis dan CRS

Pasien kami memenuhi kriteria internasional untuk ocular sarcoid, yang didefinisikan sebagai
diagnosis yang didukung dengan biopsi dengan compatible uveitis.23 Gejala okular
sarcoidosis relatif umum dengan 25% hingga 50% pasien dengan sarkoid bermanifestasi
dengan gejala okular.24,25 CT dada pada saat itu diagnosis dengan bilateral hilar dan
mediastinum adenopati. Namun, pada tindak lanjut dengan bagian paru dia tidak merasa
memiliki sarcoid aktif karena proptosis teratasi dan dia tidak menunjukan memanifestasi
gejala paru sistemik dari kortikosteroid. Dia menolak tindak lanjut pencitraan dada. Istilah
dari rinosinusitis sarcoid, tidak ada kriteria diagnostik yang diterbitkan; Namun, itu harus di
diferensial dengan koeksistensi CRS dengan setidaknya 2 dari 3 tanda berikut: pengerasan
kulit hidung, anosmia, atau epistaksis.26-29 Pasien hanya memiliki kasus ansomia, yang
merupakann gejala umum CRSwNP.

Karena itu, meski sarkoidosis okular bersama dengan AERD (yang belum sebelumnya
dilaporkan), rinosinusitis sarkoid tidak mungkin penyebabnya. Selain itu, tidak ada laporan
mengimplikasikan sarkoidosis sebagai penyebab baik polip hidung atau AERD.

Gangguan struktur anatomi

Gangguan struktural sering terjadi unilateral. Septum hidung membentuk struktur pusat
pendukung untuk hidung; karena itu, deformitas struktur ini dapat menyebabkan gejala yang
signifikan pada obstruksi nasal.30

Penyebab struktural yang relatif tidak umum dari obstruksi nasal adalah mucoceles, yang
disebabkan oleh obstruksi sinus ostium. Secara histologis itu jinak, kantung berisi lendir
epitel yang berjajar. Namun, mucoceles perlahan-lahan berkembang seiring dengan
bertumpuknya lendir, yang mengarah ke gejala obstruksi atau komplikasi yang lebih buruk,
seperti infeksi atau ekspansi ke arah penghancuran struktur yang berdekatan.31 Diagnosisnya
melalui studi pencitraan CT dengan sinus dan pengobatan definitive dengan dekompresi
bedah ke dalam hidung.32

Penyebab struktural lain dari obstruksi hidung termasuk benda asing, hipertrofi adenoid,
concha bullosa, dan tumor.

PEMILIHAN TREATMENT

Rhinosinusitis bakteri akut

Meskipun sebagian besar kasus ARS berasal dari virus, pengobatan Infeksi bakteri harus
sangat dipertimbangkan dengan gejala yang berlangsung lebih lama dari 10 hingga 14 hari
atau dengan luapan gejala baru setelah perbaikan progresif. Yang paling umum bakteri
patogen pada ABRS adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, dan Staphylococcus aureus.33

10
Antibiotik yang saat ini disetujui oleh Administrasi Makanan dan Obat-obatan Amerika
Serikat untuk ABRS adalah amoxicillin-klavulanat, klaritromisin, cefprozil, cefuroxime
axetil, loracarbef, levofloxacin, azithromycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
moxifloxacin. Meski banyak penelitian telah membandingkan pilihan antibiotik untuk ABRS
dewasa, tidak satu pun ditemukan lebih unggul.5 Namun, kekhawatiran diberikan atas
resistensi bakteri, Lembaga Penyakit Infeksi Amerika tidak lagi merekomendasikan
penggunaan makrolida untuk pengobatan empiris ABRS.33

The Infectious Diseases Society of America merekomendasikan amoxicillin-klavulanat


sebagai terapi lini pertama dan agen lini kedua terdiri dari doxycycline, levo floxacin, dan
moxifloxacin.33 Intranasal corticosteroids (INCSs) bermanfaat bagi orang dewasa dengan
ABRS, sedangkan terapi tambahan lainnya, seperti dekongestan hidung dan antihistamin oral,
kurang bermanfaat.5 Pada anak-anak dengan ABRS tidak rumit, amoxicillin adalah pilihan
pertama yang baik, meskipun ada area di mana resistensi penisilin terhadap penyebab umum
organisme > 50%. Pilihan lain termasuk amoxicillin-klavulanat atau sefalosporin, dan bagi
mereka dengan alergi beta-laktam, makrolida atau trimethoprim-sulfamethoxazole bisa bekas.
Dalam populasi pediatrik INCS mungkin memiliki manfaat peran tambahan ketika digunakan
bersama dengan antibiotik.5

Rhinosinusitis Kronik

Karena CRS merupakan penyakit inflamasi kronis, manajemen medis harus diarahkan untuk
mengendalikan inflmasi dan mengobati eksaserbasi. Penggunaan harian INCSs merupakan
andalan terapi untuk CRS, terutama untuk orang dengan nasal polyposis. INCSs berfungsi
untuk memodifikasi proses penyakit dengan mengurangi jumlah dalam sel inflammatory
(eosinofil, limfosit T, sel dendritik, dan sel mast) melalui penghambatan migrasi mereka
keluar dari sistem sirkulasi dan kelangsungan hidup di jaringan.34 Karena pasien dengan
CRSwNP cenderung lebih sulit dalam mengontrol penyakit mereka, dosis yang lebih tinggi
dari INCS sering dilaksanakan.35

Meskipun INCS harus menjadi perawatan medis standar di Indonesia CRSwNP,


kortikosteroid oral sering digunakan untuk gejala eksaserbasi karena hal tersebut
menghasilkan perbaikan di kedua hal (ukuran polip) dan ukuran subjektif (skor hyposmia).36
Menggunakan kortikosteroid sistemik pada CRS harus ditimbang terhadap sisi efeknya.

Penggunaan antibiotik pada CRS lebih kontroversial. Patogen bakteri yang paling umum
dalam eksaserbasi akut CRS sama dengan ARBS yang terislolasi dengan penambahan
Pseudomonas aeruginosa.37 Tidak ada antibiotik untuk CRS yang disetujui oleh Administrasi
Makanan dan Obat-obatan; edukasi pemberian antibiotik yang lebih lama yang digunakan
untuk ABR sering digunakan untuk eksaserbasi akut penyakit CRS. Bahkan lebih sedikit data
tentang penggunaan terapi antibiotik jangka panjang (profilaksis) pada CRS.

Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya manfaat pemberian antibiotik


jangka panjang pada pemnilaian subyektif dan obyektif; namun, manfaatnya tidak
berkelanjutan setelah penghentian terapi antibiotik.38 Selain itu, penggunaan jangka panjang
antibiotik meningkatkan risiko mengembangkan organ-organ yang resisten.5

11
Dalam hal keefisienan antibiotik topikal untuk terapi CRS, penelitian tidak menunjukkan
manfaat lebih dari dilakukannya irigasi salin.5 Penggunaan irigasi hidung dengan salin umum
dilakukan pada CRS, dan data menunjukkan hal tersebut meningkatkan gejala.39,40

Defisiensi sistem imun umumnya merupakan variabel defisiensi imunodefisiensi atau


defisiensi antibodi spesifik harus dipertimbangkan pada kasus CRS refraktori terhadap terapi
medis.41 Studi pada pasien kami memiliki imunitas yang normal. Akhirnya, jika manajemen
medis gagal mengendalikan penyakit, FESS mungkin perlu digunakan. Sebuah studi
prospektif terbaru yang membandingkan penanganan medis dengan penanganan bedah pada
CRS menunjukkan bahwa pasien yang menjalani FESS mengalami peningkatan kualitas
hidup yang lebih besar, mengurangi paparan antibiotik, dan lebih sedikit yang tidak masuk
kerja atau bersekolah (beraktivitas).42 Sedangkan penelitian tersebut tidak acak dan tidak
menemukan adanya perbedaan dalam penialaian obyektif dari penyakit sinus, hal itu
menunjukkan bahwa operasi mungkin diperlukan saat penanganan medis yang agresif gagal
untuk mengendalikan penyakit.

Allergic fungal rhinosinusitis

Tidak ada guideline definitif yang tersedia untuk perawatan dan manajemen penanganan
AFRS. Secara umum disepakati bahwa sebagian besar langkah penting dalam perawatan
AFRS adalah operasi pengangkatan semua yang menghalangi alergi mucin dan mukosa yang
sakit, karena kegagalan penyakit yang cukup jelas dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih
besar untuk kambuh.43

Selain itu, penggunaan kortikosteroid oral telah ditunjukkan untuk meningkatkan hasil klinis
setelah operasi untuk AFRS dan memperpanjang waktu antara operasi selanjutnya untuk jika
suatusaat terjadi kekambuhan penyakit.44

Obat antijamur sistemik belum terbukti menjadi efektif pada AFRS dan tidak
direkomendasikan untuk pengelolaan penyakit.17,43 Efektivitas terapi anti-jamur sinonasal
topikal untuk AFRS belum dipelajari secara memadai.

Aspirin-exacerbated respiratory disease

Pendidikan pasien tentang identifikasi dan penghindaran NSAID adalah langkah pertama
yang kritis dalam pengobatan AERD dari pada bentuk CRS lainnya. Obat-obatan alternatif
yang aman seperti acet-aminophen dan selektif inhibitor COX-2, seperti celecoxib, harus
direkomendasikan.5 Antagonis reseptor leukotrien (LTRA), seperti montelukast, harus
digunakan karena punya tujuan untuk meningkatkan penilaian obyektif (forced expiratory
volume pada tingkat aliran puncak ekspirasi 1 detik) dan penilaian subjektif (kualitas hidup
penderita asma dengan benggunaan bronkodilator).45

Montelukast meningkatkan gejala pasien kami; namun, tidak ada studi yang ditinjau oleh
rekan sejawat yang menunjukkan bahwa LTRA memperbaiki gejala saluran napas bagian
atas pada AERD secara spesifik. Faktanya, penelitian telah menunjukkan pengguanaan

12
LTRA selama desensitisasi aspirin pada dasarnya perubahan gejala dari saluran pernafasan
bagian bawah (seperti bronkospasme) menuju ke saluran napas bagian atas.46,47

Terapi desensitisasi aspirin telah terbukti secara signifikan mengurangi jumlah infeksi sinus
pertahun, rawat inap untuk asma per tahun, penggunaan kortikosteroid sistemik, dan angka
operasi untuk penyakit sinus.48 Desensitisasi juga aman dilakukan pada pasien kontrol rawat
jalan, asma ringan sampai sedang, asalkan tepat pemantauan keamanan dan personil yang
siap siaga.49 Aspirin desensitisasi tampaknya membantu pada pasien kami.

Karena luasnya penyakit, pada titik tertentu, kebanyakan orang dengan AERD akan
memerlukan intervensi bedah untuk meredakan gejala-gejala dan untuk menghilangkan
jaringan polip. Namun, data menunjukkan bahwa tindakan operasi mungkin kurang efektif
dalam AERD, karena pasien-pasien ini umumnya memiliki lebih banyak operasi dan tingkat
kekambuhan gejala yang lebih tinggi dan penyakit polip dari orang dengan CRSwNP toleran
aspirin.5,50 Pasien kami, sayangnya, termasuk ke dalam kategori CRS dengan hasil yang
buruk.

KESIMPULAN

Ada banyak penyebab untuk gejala obstruksi hidung, mulai dari kelainan mukosa hingga
kelainan struktur anatomi. Pasien kami yang ada memiliki beberapa patologi unik yang
terjadi secara simultan. Dia memiliki isolated ocular sarkoidosis, diagnosis yang lebih lanjut
dari rinosinusitis kronis selama pemantauan terhadap sarcoid. Dia telah diklasifikasikan
sebagai seseorang dengan aspirin-exacerbated dari penyakit pernafasan, mengingat riwayat
asma, poliposis nasal, dan gejala saluran nafas bagian atas setelah konsumsi aspirin. AERD
terbukti sulit untuk diobati karena dia memiliki beberapa eksaserbasi yang membutuhkan
antibiotik dan dia menolak mengulangi rangsangan corticosteroid oral. Dia menunjukkan
perbaikan dengan desensitisasi aspirin tetapi terus menunjukkan beban polip yang signifikan
yang mungkin akan membutuhkan intervensi tindakan bedah. Manajemen medis CRS yang
agresif diperlukan untuk membatasi eksaserbasi dan kebutuhan untuk operasi dan
meningkatkan kualitas hidup.

13

You might also like