You are on page 1of 23

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

OD PTERYGIUM GRADE III

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik di


Bagian Ilmu Kesehatan Mata di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo
Purwokerto

Oleh :

Faqih Alam Ruqmana G4A017017

Disetujui,
Pada tanggal Maret 2019

Pembimbing

dr. Teguh Anamani, Sp.M

1
I. KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 62 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Bantarkawung, Brebes
B. Anamnesis
Pasien datang ke poli mata RSMS dengan keluhan mata mengganjal dan
sering berair di mata kanan sejak 2 bulan yang lalu, pasien juga mengeluhkan
terdapat massa sejak 2 tahun yang lalu yang semakin melebar kea rah tengah bola
mata. Mata merah dan pandangan buram tidak dikeluhkan.
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari dirumah
melakukan pekerjaan mata seperti mencuci, beberes dan memasak. Pasien
memasak menggunakan tungku kayu bakar yang asapnya relatif seering memapar
mata tiap harinya
Pasien mengidap penyakit hipertensi sejak tahun yang lalu dan rutin meminum
obat anti hipertensi
Keluhan serupa tidak pernah dirasakan sebelum 2 tahun yang lalu, riwayat penyakit
mata sebelumnya juga disangkal.
C. Status Presen
Keadaan Umum : Baik, compos mentis
Tekanan darah : 127/80 mmHg
Nadi : 74 kali / menit
RR : 18 kali / menit
Suhu : 36.5 derajat celcius
Berat badan : 41 Kg
Tinggi badan : 154 cm

2
D. Status Oftalmologik :

Oculus Dextra Oculus Sinistra


0.3 Visus 0.2
Simetris, gerak ke Bola Mata Simetris, gerak ke segala
segala arah arah
Madarosis -, trikiasis -, Silia Madarosis -, trikiasis -,
distikiasis - distikiasis -
Lagoftalmus -, edema - Palpebra Superior Lagoftalmus -, edema -
Entropion -,ektropion - Palpebra inferior Entropion -,ektropion -
Folikel -, papil - Konjunctiva Folikel -, papil -
palpebral
Jar. Fibrovaskular + Konjunctiva Bulbi Inj. Konjunctiva -, inj.
Silier -
Ikterik - Sklera Ikterik -
Jar. Fibrovaskular + Kornea Keratik presipitat -, ker.
Klonus -, keratoglobus -
Oculus Dextra Oculus Sinistra

Normal, hifema -, Bilik Mata Depan Normal, hifema -,


hipopion - hipopion

Coklat, regular, nodul - Iris Coklat, regular, nodul -

3mm, bulat, sentral, Pupil 3mm, bulat, sentral, reflek


reflek cahaya + cahaya +

Jernih Lensa Jernih

normal Tekanan Intraokuli Normal

Edema -, hiperemis - Sistem Kanalis Edema -, hiperemis -


Lakrimalis

E. Ringkasan
a. Anamnesis
1) Rasa mengganjal pada mata kanan

3
2) Mata kanan lebih berair
3) Massa putih pada mata kanan
b. Pemeriksaan fisik
1) Oculi dextra didapatkan massa putih segitiga di Conjunctiva dan
kornea
F. Diagnosis Diferensial
Pseudooterygium
G. Diagnosis Kerja
Occuli Dextra pterygium derajat III
H. Terapi
1. Non – Medikamentosa
a. Edukasi tentang penyakit
b. Edukasi tentang rencana
c. Kacamata anti UV
2. Medikamentosa
a. Eye drops 15 ml 4x1 gtt ODS
b. Vitamin A Kaps 50.000 IU 1x1
I. Prognosis
1. Quo ad visam
OD dubia ad bonam, OS bonam
2. Quo ad sanam
OD dubia ad malam, OS bonam
3. Quo ad vitam
OD bonam, OS bonam
4. Quo ad cosmeticam
OD bonam, OS bonam
J. Usulan / Rencana
Rujuk ke spesialis mata untuk tindakan lebih lanjut yaitu pembuangan jaringan
pterygium

4
II. PENDAHULUAN

Struktur mata yang berlapis dengan. Konjugtiva sebagai lapisan terluar dari
bola mata mempunyai konsekuensi adanya kelainan karena yang paling sering
terpapar dengan ekosistem luar sehinggabeberapa kelainan pada konjungtiva adalah
karena konsekuensi panjangnya paparan dengan ekosistem luar tubuh, salah satu
kelainan yang paling sering terjadi pada konjungtiva adalah pterygium.

Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah
mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih
banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium
muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di
mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya
pterygium.

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium (berasal dari


bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan
subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva
bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan
kornea. Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan kecacatan,
dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada awalnya
pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai sejarah dan
pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah sepele,
hingga lesi mengganggu axis visual. 1,2

5
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari


bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi
jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya
menutupi permukaan kornea.2

B. Epidemiologi

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,


dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari
yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk pterigium'
dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa.
Pada populasi yang terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada
remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium
terlihat hampir dua kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita.6,7

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit


hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13°
utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%)
sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101
tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium
orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di
perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat
prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari
40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi
daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali
dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.8

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di


Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda dengan
beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.8

6
Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter mata
karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat
kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang mengancam pada
teknik bedah yang berbeda memprovokasi para spesialis mata untuk
mencari modalitas baru dan pengobatan yang lebih aman.6

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi


visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.9

C. Etiologi

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih


sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang
paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan
seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan
debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai
faktor etiologi.1,2

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal


pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini
mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis
dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan
yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru
telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga
terlibat dalam patogenesis pterigium.1,7

D. Anatomi

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi


permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama
konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini
karena fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan kelopak mata.
Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang
kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fissura
palpebral.10

7
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam


kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi
3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal
membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang
kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini
sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya.
Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular.
Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak
mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva
orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.10

Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih


erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel
kornea.10 Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral
dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva
bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.10

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal


dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara
longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra
superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar,
maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika
otot-otot tersebut berkontraksi.10

8
Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,
konjungtiva palpebralis.

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gam.2) yaitu epitel,
lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.10

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-


masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva
marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva
tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel
silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks
dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel
silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam
terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang
banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan


terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat
limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan
ini tidak di temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4
bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan
konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

9
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat
elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah
konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu
dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

E. Patofisiologi

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus


menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV
memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV
memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan
ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks
ekstraselular.11

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1-8 Pterigium ini
biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.12

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium.


Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan
mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal
limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan
pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid
kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan
biasanya menunjukkan dysplasia.10,11,12

10
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.12

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali


muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari.
Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah
dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah
nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu
mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah
temporal.10,11,12

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,


termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk
mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek
pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor
pertumbuhan.

F. Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,


stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera, yaitu: 13

Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:

- Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.

11
- Tipe II
disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak
kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm,
dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film
dan menimbulkan astigmat.
- Tipe III
pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic
membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >
4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada
kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan
bola mata serta kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:13

Stadium-I : belum mencapai limbus

Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil


Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil
Stadium-IV : melewati tepi pupil

Gbr 4. Pterigum stadium I. Gbr 5. Pterigium stadium II.

12
Gbr.6. Pterigium stadium III. Gbr 7. Pterigium stadium IV.

Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi:

- Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah


pada lesi < 5
- Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2


yaitu:12

- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan


beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari
pterigium).
- Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.
Tidak terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium


dan harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:8

- T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.


- T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
- T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

G. Gambaran Klinis

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di
luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini
muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea,
biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi

13
kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut “Stocker’s line”.
Pterigium terdiri dari tiga bagian :11

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

- Collum (bagian limbal),


- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada


intoleransi kosmetik.10 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian
kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan
tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea.
Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga
dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian
akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.10

H. Diagnosis

Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan,
gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari
konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.9

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada


intoleransi kosmetik.11 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian
kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan
tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea.
Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga
dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian
akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.10

Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling
sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,

14
tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi
lainnya.9

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah


topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat
seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan
oleh pterigium.9

I. Diagnosis Banding

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium


adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea
marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada
mata.11

a) Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal
limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan
terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.7

15
Gambar 9. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus
sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh
mencapai permukaan kornea.12

b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium


yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.
Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva
dan kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea


yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus
kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium
dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti
halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde
di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium
melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea
sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat
pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.7

Gambar 10. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior


nasal konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal12

c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

16
Gambar 11.OSSN yang searah dengan limbal14

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia,


pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spektrum
konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva
yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna
putih keabuan dengan karekteristk berkas dari pembuluh dara pada fissure
intrapalpebral. Biasanya pasien dating diikuti dengan gejala mata merah,
irigasi dan sensasi benda asing.14

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum OSSN

Reaksi tubuh Dispalsia epitel


Iritasi atau
penyembuhan dari sel squamous
Sebab Proses degeneratif kualitas higienitas
luka bakar, GO,
air yang kurang.
difteri,dll.

Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan - -
dibawahnya
dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak Tidak Tidak

Dewasa dan anak- Dewasa


Usia Dewasa Anak-anak
anak

17
Subkonjunctiva Di sekitar daerah
Bisa terjadi Terbatas pada
Lokasi yang dapat limbus
darimana saja konjuntiva bulbi
mencapai kornea

J. Penatalaksanaan

Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi


menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan
gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam
fungsi visual.9

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating


drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta
sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-
inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu,
penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan
radiasi ultraviolet lebih lanjut.9

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang


dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan


corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan
gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah
menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha
untuk mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan
pterigium sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang

18
mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan
dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan


pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.7

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan


pterigium:

K. Komplikasi

Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan


penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva
dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat
membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia.
Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi, jaringan parut dari otot
rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien
dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan
parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum
dari diplopia.9

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:


Sclera dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa
tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa
sangat sulit untuk ditangani.9

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.


Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%.
Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran
amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari
jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.9

L. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.


Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.

19
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.9

20
IV. KESIMPULAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva

yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak

pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas

ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian

sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi

iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini

lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan

yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor

lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin

tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan

sebagai faktor etiologi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics


Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-
13.
2. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From :
http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf. (Diakses Maret 2019).
3. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief
Review. Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal
Of The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.
5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder
With Premalignant Features. The American Journal Of Pathology.
2011;178(2):817-27.
6. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In
Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
7. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
8. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity,
And Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.
9. Fisher Pj. Pterigium. Updated : 2012. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall
(Diakses Maret 2019).
10. Khurana Ka. Diseases Of The Conjunctiva. In:, Khurana Ka, Editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. New Delhi: New Age International.
2007. P. 51 - 82.
11. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online].
2010. [Cited March 2015]. Availble From :
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt
erigium.pdf.
12. Detorakis T, Spandidos Demetrios. Pathogenetic mechanisms and treatment
options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives (Review).
Department Of Opthalmology, University Hospital of Heraklion,Crete,
Greece. 2009.

22
13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available From:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf
(Diakses Maret 2019)..
14. Radhakrishnan Anil. Ocular Surface Squamous Neoplasia [OSSN] – A
Brief Review. Amrita Institute Of Medical Sciences, Kochi. 2013

23

You might also like