You are on page 1of 11

Surat Al-Fatihah

Al-Fatihah dinamai Fatihatul-Kitab karena ia sebagai pembuka tulisan Al-Kitab.


Dengan surat itu pula bacaan di dalam berbagai shalat dimulai.

Al-Fatihah dinamai Ummul-Kitab dan Ummul Qur’an karena makna-makna Al-


Qur’an merujuk makna yang dikandung Al-Fatihah. Al-Fatihah pun dinamai as-Sab’ul
Matsani dan al-Qur’anul ‘Adzhim. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dan
disahihkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, dia berkata (5) “Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam – adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, Sab’ul Matsani, dan Al-Qur’anul
‘Adzhim.” Al-Fatihah pun disebut al-hamdu dan shalat karena ada sabda Nabi saw. dari
Rabbnya (6), “Shalat dibagi dua antara Aku dan hamba-Ku. Apabila hamba-Ku mengatakan,
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ maka Allah berfirman, “Hamba-Ku memuji-
Ku.” Maka al-Fatihah dinamai shalat karena ia merupakan rukun dalam shalat.

Al-Fatihah juga dinamai asy-Syifa’ karena ada keterangan yang diriwayatkan secara
marfu’ oleh ad-Darimi dari Abu Said (7), “Fatihatul-Kitab merupakan obat dari segala
racun.” Al-Fatihah dinamai ar-Ruqyah berdasarkan hadits dari Abu Said al-Khudri, yaitu
tatkala dia menjampi orang yang sehat, maka Rasulullah bersabda kepadanya (8), “Dari mana
anda tahu bahwa Fatihah merupakan jampi?” Fatihah juga dinamai Asasul-Qur’an
berdasarkan keterangan yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi dan Ibnu Abbas bahwa dia
menamainya Asasul-Qur’an Ibnu Abbas berkata, “Dasar al-Fatihah adalah
bismillahirrahmaanirrahim.” Sufyan bin Uyainah menamai Al-Qur’an dengan al-Waqiyah
(penjagaan). Yahya bin Abi Katsir menamainya dengan al-Kafiyah (yang mencukupi)
berdasarkan keterangan dalam beberapa hadits mursal yang menyatakan (9), “Ummul-Qur’an
sebagai pengganti dari selain nama-nama al-Fatihah. Selain nama-nama al-Fatihah itu tidak
ada lagi nama sebagai penggantinya.”

Keutamaan Al-Fatihah

Imam Ahmad bin Hambal ra. meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata (10),
“Rasulullah saw. menemui Ubai bin Ka’ab, namun dia sedang shalat. Rasul berkata, “Hai
Ubai.’ Maka Ubai melirik, namun tidak menyahut. Nabi berkata, ‘Hai Ubai!’ Maka Ubai
melirik, namun tidak menyahut. Nabi berkata, ‘Hai Ubai!’ Lalu Ubai mempercepat shalatnya,
kemudian beranjak menemui Rasulullah saw. sambil berkata, ‘Assalamu’alaika, ya
Rasulullah.’ Rasul menjawab, ‘Wa’alaikumsalam. Hai Ubai, mengapa kamu tidak menjawab
ketika kupanggil?’ Ubai menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang shalat.’
Nabi bersabda, ‘Apakah kamu tidak menemukan dalam ayat yang di wahyukan Allah Ta’ala
kepadaku yang menyatakan, ‘Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (al-Anfal : 24) Ubai
menjawab, “Ya Rasulullah, saya menemukan dan saya tidak akan mengulangi hal itu.’ Rasul
bersabda, ‘Sukakah kamu bila kuajari sebuah surat yang tidak diturunkan surat lain yang
serupa dengannya di dalam Taurat, Injil, Zabur, dan al-Furqan.’ Ubai menjawab, “Saya suka,
wahai Rasulullah. ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku tidak mau keluar dari pintu
ini sebelum aku mengajarkannya.’ Ubai berkata, ‘Kemudian Rasulullah memegang tanganku
sambil bercerita kepadaku. Saya memperlambat jalan karena khawatir beliau akan sampai di
pintu sebelum menuntaskan pembicaraannya. Ketika kami sudah mendekati pintu, aku
berkata, ‘Ya Rasulullah, surat apakah yang engkau janjikan itu ?’ Beliau bertanya, ‘apa yang
kamu baca dalam shalat ?’ Ubai berkata, Maka aku membacakan Ummul Qur’an kepada
beliau.’ Beliau bersabda, ‘Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, Allah Tidak
menurunkan surat yang setara dengan itu baik dalam Taurat, Injil, Zabur, maupun al-Furqan.
Ia merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang.”

At-Tirmidzi meriwayatkan pula hadits tersebut. Menurut riwayatnya (11),

“Sesungguhnya Fatihah itu sebagai tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan sebagai Al-
Qur’an yang mulia yang diberikan kepadaku.” (HR. Tirmidzi)

Menurut at-Tirmidzi, hadits ini hasan dan sahih.

Kita dapati hadits lain tentang keutamaan surat al-Fatihah. Muslim meriwayatkan
dalam sahihnya dan Nasa’i meriwayatkan dalam sunannya dengan sanad dari Ibnu Abbas, dia
berkata (13), “Suatu ketika Rasulullah saw. (sedang duduk) dan disisinya ada Jibril. Tiba-tiba
Jibril mendengar suara dari atas. Maka dia mengarahkan pandangannya ke langit, lalu
berkata, ‘Inilah pintu langit dibukakan, padahal sebelumnya tidak pernah.’ Ibnu Abbas
berkata seraya, ‘Dari pintu ini turun malaikat. Dia menemui Nabi saw. seraya berkata,
‘Gembirakanlah (umatmu) dengan dua cahaya. Sungguh keduanya diberikan kepadamu dan
tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelummu, yaitu Fatihatul-Kitab dan
beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah. Tidaklah anda membaca satu huruf pun darinya
melainkan anda akan diberi (pahala).” Lafazh hadits ini dari an-Nasa’i, dari Muslim pun
lafazhnya sama.

Juga didukung oleh hadits lain. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari
Nabi saw., beliau bersabda (14), “Barangsiapa yang mendirikan shalat tanpa membaca
Ummul-Qur’an, maka shalatnya tidak sempurna.” Beliau mengatakan hal itu tiga kali.
Kemudian, kata Abu Hurairah, “Kami tengah shalat di belakang imam. Kami katakan kepada
yang lain, “Bacalah al-Fatihah dalam hatimu karena sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah Ta’ala berfirman, ‘Shalat dibagi dua antara Aku dan hamba-
Ku. Bagi hamba-Ku ialah apa yang dia pinta. Bila seorang hamba mengatakan ‘Segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam, ‘maka Allah berfirman, ‘Hamb-Ku memuji-Ku.’ Bila hamba
mengatakan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-
Ku menyanjung-Ku.’ Apabila dia berkata, ‘Yang Menguasai hari pembalasan,’ maka Allah
berfirman, ‘Hamba-Ku memuliakan-Ku. Atau kali lain Dia berfirman, ‘Hamba-Ku berserah
diri kepada-Ku.’ Apabila dia berkata, ‘Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya
kepada Engkaulah kami memohon pertolongan,’maka Allah berfirman, ‘Bacaan itu
menyangkut Aku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku adalah apa yang dia minta. ‘Apabila dia
berkata, ;Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat,’ maka Allah berfirman, ‘Pahala ayat ini untuk hamba-Ku dan
bagi hamba-Ku pula apa yang dia minta.” “Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh an-
Nasa’i.

ِ‫الر ِح ِيم‬
ّ ِ‫ن‬ِِ ‫الرحْ َم‬ ِّ ِ‫بِس ِِْم‬
ّ ِِ‫َللا‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
Rasulullah saw. tidak mengetahui pemisah surat sehingga diturunkanlah
bismillahirrahmaanirrahiim. Para ulama sepakat bahwa ia merupakan bagian ayat dari surat
an-Naml, namun mereka ber-ikhtilaf apakah basmalah itu merupakan ayat yang tersendiri
pada awal setiap surat, ataukah kesendiriannya itu hanya dalam surat al-Fatihah dan tidak
pada surat lainnya, atau ia merupakan pemisah di antara surat. Pendapat yang paling sahih
menyatakan bahwa ia merupakan pemisah antarsurat, sebagaimana tadi dikemukakan oleh
Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Barangsiapa yang berpandangan bahwa ia
termasuk Fatihah, berarti ia berpendapat bahwa membacanya harus dhahir dalam shalat, dan
orang yang tidak berpendapat demikian, berarti membacanya secara sir (tidak keras). Masing-
masing pendapat itu dianut oleh para sahabat sesuai dengan pandangannya sendiri.
Keterangan yang menegaskan ihwal khalifah yang empat menyebutkan bahwa mereka
mensirkan basmalah, demikian pula beberapa kelompok tabi’in salaf dan khalaf. Mensirkan
basmalah juga merupakan madzhab Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan Ibnu Hambal. Menurut
Imam Malik basmalah itu tidak perlu dibaca, baik secara sir maupun dhahir. Kesimpulannya,
shalat orang yang membaca basmalah secara sir dan dzahir adalah sah. Hal ini berdasarkan
riwayat dari Nabi saw. dan kesepakatan para imam.

Keutamaan Basmalah

Dalam tafsirnya, Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah
meriwayatkan dengan sanadnya dari Utsman bin Affan, “Rasulullah saw. ditanya tentang
bismillahirrahmaanirrahiim, maka beliau menjawab, ‘Ia merupakan salah satu nama Allah.
Jarak antara Dia dan Nama Yang Agung itu hanyalah seperti jarak antara bagian hitam dan
putih pada mata, karena demikian dekatnya.”

Kata Allah merupakan lambang untuk Rabb, yakni nama untuk Rabb Yang Mahasuci
lagi Maha Tinggi. Pendapat lain mengatakan bahwa Allah sebagai ismul a’zham karena Allah
disifati oleh seluruh sifat, sebagaimana terdapat dalam firman Allah

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain
Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang
Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala
Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna.
Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (al-Hasyr : 22-24)

Dalam shahihain disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu. Barangsiapa yang
menghitungnya (memahami) maka dia masuk surga.”

Ar-Rahman ar-Rahim merupakan dua nama yang diambil dari kata ar-rahmah, dan
bentuk kedua kata itu untuk menunjukkan makna “sangat”. Ar-Rahman lebih tegas daripada
ar-Rahim. Ar-Rahman merupakan isim musytaq, dan ini berbeda dengan orang yang
memandangnya bukan isim musytaq

َِ‫بِ ْالعَالَ ِمين‬ ِّ ِ ِِ‫ْال َح ْمد‬


ِِ ‫لِلِِ َر‬

Segala puji kepunyaan Allah, Rabb semesta alam

“Segala puji kepunyaan Allah,” yakni rasa syukur hanya dipersembahkan kepada
Allah semata, bukan kepada perkara yang diciptakan-Nya, karena Dia telah
menganugerahkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang tak terhingga jumlahnya dan tidak
ada seorang pun selain Dia, yang mengetahui jumlahnya, serta tidak seorang pun di antara
mereka yang berhak menerima rasa syukur. Oleh karena itu, bagi Rabb kitalah segala puji,
baik pada masa awal maupun akhir.

“Alif” dan “lam” pada al-hamdu digunakan untuk mencakup segala jenis dan ragam
pujian itu kepunyaan Allah Ta’ala, sebagaimana dikatakan dalam hadits,

)ِ‫ِواِلَيْكَ ِيَ ْر ِجعِاالَ ْمرِكلُّهِ(ِالحديث‬ ْ َ‫ِوبِيَدِك‬


َ ‫ِال َخيْرِكلُّه‬ َ ‫ِالم ْلكِكلُّه‬
ْ َ‫ِولَك‬ ْ َ‫اَلِلّه ّمِلَك‬
َ ‫ِال َح ْمدِكلُّه‬
“Ya Allah, kepunyaan Engkaulah seluruh puji, kepunyaan Engkaulah seluruh
kerajaan, dalam kekuasaan Engkaulah segala kebaikan, dan kepada Engkaulah segala
urusan itu kembali...” (Al Hadits)

“Rabb semesta alam. “Ar-Rabb artinya Zat yang Memiliki dan Mengelola. Kata Ar-
Rabb dengan dimakrifatkan oleh alif dan lam hanya dikatakan untuk Allah Ta’ala. Kata Rabb
tidak boleh digunakan untuk selain Allah kecuali dengan diizhafat-kan kepada kata lain,
misalnya rabbuddar (pemilik dan pengelola rumah) dan rabbusaif (orang yang memiliki dan
merawat pedang). Jadi, kata rabb hanya boleh digunakan untuk Allah yang Maha Mulia lagi
Maha Tinggi.

Al-‘aalamin adalah jamak dari ‘aalam yang berarti segala yang ada selain Allah yang
Maha Mulia lagi Maha Tinggi. ‘aalam merupakan jamak yang tidak memiliki bentuk tunggal
dari kata itu. Al-‘awaalim berarti jenis makhluk yang ada di langit dan bumi, di daratan dan di
lautan. Maka dikenallah istilah alam manusia, alam jin, dan alam malaikat.

Bisyir bin Imarah berkata dengan sanadnya dari Ibnu Abbas bahwa “Segala puji
kepunyaan Allah Rabb semesta alam” itu maksudnya segala puji kepunyaan Allah Yang
Kepunyaan-Nyalah seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada
diantara keduanya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.
ِ‫الر ِح ِيم‬
ّ ِ‫ن‬ِِ ‫الرحْ َم‬
ّ

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Ar-rahman ar-rahim merupakan dua nomina yang berasal dari kata ar-rahmah dan
ditujukan untuk menunjukkan makna “sangat”. Ar-Rahman lebih tegas daripada ar-Rahim.
Dikemukakan oleh Imam Tirmidzi dan disahihkannya, dari Abdurrahman bin Auf r.a. bahwa
dia mendengar Rasulullah saw. bersabda

َ َ‫طعَ َهاِق‬
ِ‫ط ْعتهِ(أخرجه‬ َ ‫ص ْلته‬
َ َ‫ِو َم ْنِق‬ َ ‫صلَ َه‬
َ ‫اِو‬ ِ ‫شقَ ْقتِلَ َهاِإِ ْس ًم‬
َ ‫اِم ْنِإِس ِْم ْيِفَ َم ْن‬
َ ‫ِو‬ َ ‫ِو‬
َ ‫ِالر ِح َم‬ ّ ‫ِأَن‬:ِ‫قالِهللاِتعالى‬
ّ ‫َاِالرحْ َمنِ َخلَ ْقت‬
)‫الترمذي‬

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Ar-Rahman Aku telah menciptakan rahim (kandungan)
dan Aku ambil dari nama-Ku menjadi namanya. Barangsiapa yang menyambungkannya,
maka Aku pun menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Aku pun
akan memutuskannya.” (HR.Tirmidzi)

At-Tirmidzi mengatakan bahwa teks hadits itu mengenai kata derivatif sehingga tiada
gunanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan.

Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Azrami, dia berkata “Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang”, menurutnya Maha Pemurah kepada seluruh makhluk dan
Maha Penyayang kepada kaum mukmin. Para ulama berkata, “Oleh karena itu, Allah
berfirman, ‘Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Yang Maha Pemurah’, Dia juga
berfirman, ‘Yang Maha Pemurah bersemayam diatas ‘Arsy.’ Dalam kedua ayat itu Allah
menuturkan nama Yang Maha Pemurah dalam bersemayam, agar Dia meliputi seluruh
makhluk dengan rahmatnya.” Allah berfirman, “Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-
orang yang beriman.” Dia menggunakan frase “Maha Penyayang” khusus bagi kaum
mukmin. Para ulama mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut menunjukkan kepada nama Maha
Pemurah itu lebih tegas dalam memberikan rahmat, sebab ar-Rahman mencakup pemberian
rahmat di dunia dan akhirat.

Al-Qurthubi berkata demikian, Allah menyifati diri-Nya dengan Yang Maha Pemurah
dan Maha Penyayang setelah kata “Rabb semesta alam”, tiada lain kecuali untuk
menyenangkan setelah Dia mempertakuti. “Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih”
merupakan ungkapan menyenangkan yang ditampilkan setelah ungkapan menakutkan, yaitu
“Rabb semesta alam”. Hal ini relevan dengan ayat, “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku
bahwa sesungguh-sungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (al-Hijr : 49-50)

Dikatakan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah saw.
bersabda, ‘Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada pada sisi Allah, niscaya
tidak akan ada seorang pun mendambakan surganya. Dan seandainya seorang kafir
mengetahui rahmat yang ada pada sisi Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang
berputus asa terhadap rahmat-Nya.’ “Ar-Rahman” adalah nama, yang manusia tidak boleh
menggunakannya dan tidak boleh seorang pun mengambilnya untuk nama, sebab ia
merupakan nama yang hanya dimiliki Allah. Tatkala Musailamah al-Kadzab bersikap
congkak dan menyebut dirinya dengan Rahmanul Yamamah, maka Allah memakaikan
mantel kebohongan kepadanya, dan ia pun menjadi terkenal dengan nama itu sehingga ia
disebut Musailamah al-Kadzab (pembohong). Kemudian kasus itu dijadikan peribahasa oleh
orang kota dan desa dalam ungkapan “lebih dusta daripada Musailamah”.

ِ‫ين‬
ِ ‫كِيَ ْو ِِمِال ِد‬
ِِ ‫َما ِل‬

Yang memiliki hari pembalasan

Pengkhususan kepemilikan hari akhirat tidaklah kepada hari akhirat saja, tanpa hari
dunia. Dia adalah Pemilik hari dunia dan akhirat, karena sebelumnya sudah dijelaskan bahwa
Dia adalah Rabb alam semesta yang berarti meliputi dunia dan akhirat. Penyandaran Dia
kepada hari akhirat disebabkan disana tidak ada siapa pun selain-Nya yang mengklaim
akhirat sebagai miliknya, dan tiada seorang pun yang dapat berbicara melainkan dengan izin-
Nya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri
bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh
Tuhan Yang Maha Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar” (an-Naba : 38). Adh-
Dhalak menceritakan dari Ibnu Abbas ihwal “yang memiliki hari akhirat”, katanya, “Pada
hari itu tidak ada seorang pun yang mempunyai kepemilikan seperti kepemilikan di dunia
yang memungkinkan seseorang untuk mengatakan, secara metaforik, bahwa ini adalah
milikku dan ini hartaku. Pada hari itu, yaitu hari kiamat, tiada kepemilikan dan harta bagi
seorang pun.”

Hari pembalasan, yaitu hari perhitungan bagi makhluk, yakni hari kiamat, mereka
dibalas menurut amalnya. Jika amalnya baik, maka balasannya pun baik. Jika amalnya buruk,
maka balasannya pun buruk kecuali orang yang dimaafkan. Ya Allah, sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun. Engkau mencintai ampunan, maka ampunilah kami.

As-Sajdah ayat 9-12

Kata ‫ سواه‬sawwahu/menyempurnakannya mengisyaratkan proses lebih lanjut dari


kejadian manusia setelah terbentuk organ-organnya. Ini serupa dengan ahsan taqwim. Dalam
Qs. Al-Infithar [82] : 7 disebut tiga proses pokok penciptaan. Dia yang telah menciptakan
kamu lalu menyempurnakan kejadianmu lalu menjadikanmu seimbang. Tahap pertama
mengisyaratkan pembentukan organ-organ tubuh secara umum, tahap kedua adalah tahap
penghalusan dan penyempurnaan organ-organ itu, dan tahap ketiga adalah tahapan peniupan
ruh Ilahi, yang menjadikan manusia memiliki potensi untuk tampil seimbang, memiliki
kecenderungan kepada keadilan atau dalam istilah surah al-Infithar diatas ‘adalaka yakni
menjadikanmu adil.

Kata min ruhihi secara harfia berarti dari ruh- Nya yakni ruh Allah Ini bukan berarti
ada “bagian” Ilahi yang dianugerahkan kepada manusia. Karena Allah tidak terbagi, tidak
juga terdiri dari unsur-unsur. Dia adalah shamad tidak terbagi dan tidak berbilang. Yang
dimaksud adalah ruh ciptaan-Nya. Penisbahan ruh itu kepada Allah adalah penisbahan
pemuliaan dan penghormatan. Ayat ini bagaikan berkata : Dia meniupkan ke dalamnya ruh
yang mulia dan terhormat dari (ciptaan) – Nya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dari tanah.
Menurut Sayid Kuthub, ini dapat juga dipahami dalam arti tanah adalah permulaan atau
tahapnya yang pertama. Ayat ini tidak menjelaskan berapa tahap yang dilalui manusia
sesudah tahap tanah itu, tidak juga dijelaskan berapa jauh dan berapa lamanya. Pintu terbuka
lebar untuk penelitian yang seksama, apalagi jika ayat ini dikaitkan dengan ayat surah al-
Mu’minun yang menyatakan bahwa manusia dari saripati tanah. Ini dapat merupakan

Iman dan kepribadian Mukmin dalam Al-Qur’an

Qs. Al-Mu’minun

Ayat 1-2

َ ِ‫ِالّذِينَِِه ِْمِفِي‬.َِِ‫حِ ْالمؤْ ِمنون‬


ِ.َِِ‫صالتِ ِه ِْمِخَا ِشعون‬ َِ َ‫قَدِِْأ َ ْفل‬

Sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah mendapat apa yang didambakannya orang-
orang mukmin, yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal
saleh yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya, yakni tenang, rendah hati lahir dan batin,
serta yang perhatiannya terarah kepada shalat yang sedang mereka kerjakan.

Kata (ِ‫ )أَ ْفلَ َح‬aflaha terambil dari kata (‫ )الفلح‬al-falh yang berarti membelah, dari sini petani
dinamai (‫ )الفالح‬al-fallah karena dia mencangkul untuk membelah tanah lalu menanam benih.
Benih yang ditanam petani menumbuhkan buah yang diharapkannya. Dari sini agaknya
sehingga memperoleh apa yang diharapkan dinamai falah dan hal tersebut tentu melahirkan
kebahagiaan yang juga menjadi salah satu makna falah. Selanjutnya rujuklah ke Qs. Al-Hajj
[22] : 77 untuk memperoleh informasi tambahan.

Kebahagiaan ada yang duniaawi dan ada pula yang ukhrawi. Kebahagiaan duniawi – menurut
ar-Raghib al-Ashfani adalah memperoleh hal-hal yang menjadikan hidup duniawi nyaman
antara lain berupa kelanggengan hidup, kekeayaan dan kemuliaan. Sedang yang ukhrawi
terdiri dari empat hal, yaitu wujud yang langgeng tanpa kepunahan, kekayaan tanpa
kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan.

Iman dari segi bahasa adalah pembenaran hati menyangkut apa yang didengar. Menurut
Thabathaba’i, iman adalah kepatuhan dan pembenaran yang disertai dengan pemenuhan
konsekuensinya. Dengan demikian keimanan kepada Allah dalam pengertian Al-Qur’an
adalah pembenaran tentang keesaan-Nya, para Rasul-Nya, hari kemudian, serta apa yang
disampaikan oleh para Rasul-Nya disertai dengan al-ittiba’ yakni mengikuti dan
melaksanakannya secara umum. Karena itu ditulis Thabatha’i setiap al-Qur’an menyebut
kaum mukminin dengan sifat yang indah, atau ganjaran yang melimpah – kita temukan pula –
ia digandengkan dengan menyebut amal saleh, seperti firman-Nya :

َِ‫نِ َماِكَانواِ َي ْع َملون‬ َ ْ‫طيِبَ ِةًِ َو َلنَجْ ِزيَ ّنه ِْمِأَجْ َره ِْمِبِأَح‬
ِِ ‫س‬ َ ًِ ‫نِذَكَرِِأ َ ِْوِأ ْنثَىِ َوه َِوِمؤْ ِمنِِفَلَنحْ ِييَنّهِِ َحيَا ِة‬
ِْ ‫صا ِل ًحاِ ِم‬
َ ِ‫ل‬ ِْ ‫َم‬
َِ ‫نِ َع ِم‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik [839] dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.

[839] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat
pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

Sekedar kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman. Iman menghasilkan
ketenangan. Karena itu pula dia berbeda dengan ilmu, walau salah satu yang mengukuhkan
iman adalah ilmu. Tetapi ilmu tidak jarang menghasilkan keresahan dalam hati pemiliknya,
berbeda dengan iman. Ilmu walau diibaratkan dengan air telaga tetapi tidak jarang ia keruh,
dan iman ketika diibaratkan dengan air bah dengan gemuruhnya, tetapi ia selalu jernih
sehingga menenangkan.

Kata ( ‫ )صالتهم‬shalatihim menisbahkan shalat itu kepada pelakunya, bukan kepada Allah,
walaupun pada hakikatnya shalat tersebut ditujukan kepada-Nya. Hal ini disebabkan karena
ayat ini bermaksud menggarisbawahi aktivitas pelaku, apalagi mereka itulah yang akan
memperoleh manfaat shalatnya, bukan Allah swt.

Kata (‫ )خاشعون‬khasyi’un terambil dari kata (‫ )خشع‬khasya’a yang dari segi bahasa berarti diam
dan tenang. Ia adalah kesan khusus dalam hati siapa yang khusyu’ terhadap siapa yang dia
khusyu’ kepadanya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepada siapa yang
dia khusyu’ kepadanya sambil mengabaikan selainnya. Patron kata yang digunakan ayat ini
menunjuk kepada pelaku yang mantap melakukan kekhusyu’an itu.

Sementara ulama menyatakan bahwa khusyu’ yang dimaksud ayat ini adalah rasa takut
jangan sampai shalat yang dilakukannya tertolak. Rasa takut ini antara lain ditandai dengan
ketundukan mata ke tempat sujud. Rasa takut itu bercampur dengan kesigapan dan
kerendahan hati. Ibn Katsir menulis bahwa khusyu’ dalam shalat baru terlaksana bagi yang
mengkonsentrasikan jiwanya bagi shalat itu dan mengabaikan segala sesuatu selain yang
berkaitan dengan shalat. Imam ar-Razi menulis bahwa apabila seorang sedang melaksanakan
shalat, maka terbukalah tabir antara dia dengan Tuhan, tetapi begitu dia menoleh, tabir itupun
tertutup.

Qs. Al-Isra, [17] : 9

ً ِ‫نِلَه ِْمِأَجْ ًراِ َكب‬


‫يرا‬ ِّ َ ‫تِأ‬ ّ ‫ِيِأ َ ْق َومِِ َويبَ ِشرِِ ْالمؤْ ِمنِينَِِالّذِينَِِيَ ْع َملونَِِال‬
ِِ ‫صا ِل َحا‬ َِ ‫نِ َهذَاِ ْالق ْرآنَِِيَ ْهدِيِ ِللّتِيِه‬
ِّ ِ‫إ‬

“Sesungguhnya Al Qur 'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu 'min yang mengerjakan amal saleh bahwa
bagi mereka ada pahala yang besar.”

Dalam konteks ini, Allah menganugerahkan manusia potensi untuk taat dan durhaka,
dan masing-masing akan memperleh sesuai pilihannya, jika baik maka kebaikannya untuk
dirinya sendiri, dan jika buruk pun demikian. Sebagai contoh dan penerapan dari sunnah
Ilahiah yang bersifat umum itu adalah apa yang dialami oleh Bani Israil. Nah, kini dijelaskan
bahwa sunnah Ilahiah itu berlaku untuk umat Nabi Muhammad saw. Karena itu, jika mereka
tidak ingin mengalami bencana serupa yang dialami oleh Bani Isra’il, mereka harus
menghindar dari sebab-sebabnya, yaitu kedurhakaan. Apalagi kaum muslimin telah
dianugerahi kitab al-Qur’an yang lebih jelas dan sempurna dari kitab suci yang
dianugerahkan kepada Bani Isra’il melalui Nabi Musa as., bahkan lebih jelas dan sempurna
dari segala runtunan dan syariat apa pun. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.

Apa pun hubungan yang anda pilih, yang jelas ayat diatas menyatakan bahwa :
sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk untuk manusia ke jalan yang lebih lurus dan
sempurna lagi menyelamatkan dan memberi juga kabar gembira kepada orang-orang
mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya lagi membuktikan keimanannya itu
senantiasa mengerjakan amal-amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar sebagai
imbalan iman dan apa yang diamalkannya itu.

Firman-Nya : (‫ )هذا القران‬hadza al-Qur’an ini menunjuk kepada kitab suci umat Nabi
Muhammad saw. dengan isyarat dekat, yakni kata (‫ )هذا‬hadza/ini. Memang, ditemukan semua
ayat yang menunjuk kepada firman-firman Allah dengan nama Al-Qur’an (bukan al-Kitab)
ditunjuk dengan isyarat dekat, seperti ayat di atas. Di tempat lain, seperti pada awal surah al-
Baqarah, isyarat yang digunakan untuk menunjuk kitab suci yang dinamai dengan al-Kitab
(bukan al-Qur’an) ditunjuk dengan isyarat jauh (‫ )ذلك‬dzalika/itu pada ayat (‫ )ذلك الكتاب‬dzalika
al-Kitab/itulah al-Kitab. Penggunaan isyarat jauh bertujuan untuk memberi kesan bahwa
kitab suci yang turun kepada Nabi Muhammad saw. itu berada dalam kedudukan yang amat
tinggi, dan sangat jauh dari jangkauan makhluk, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha
Tinggi, sedang penggunaan kata (‫ )هذا‬hadza/ini pada ayat di atas dan semacamnya adalah
untuk menunjukkan betapa dekatnya tuntunan-tuntunannya pada fitrah manusia serta sesuai
dengan jati dirinya sehingga ia benar-benar dekat kepada setiap insan.

Kata (‫ )اقوم‬aqwam adalah bentuk superlatif dari kata (‫ )قويم‬qawim, yakni lurus lagi
sempurna memenuhi apa yang diharapkan darinya. Kata ini pada mulanya merupakan
antonim kata duduk. Dengan berdiri, manusia dapat melakukan banyak hal, jauh lebih mudah
daripada kalau dia duduk atau berbaring. Dari sini, kata tersebut digunakan untuk makna
melakukan sesuatu sebaik dan sesempurna mungkin. Dengan demikian, aqwam dapat
diartikan lebih lurus, lebih baik atau yang paling baik dan yang paling sempurna. Bahwa al-
Qur’an bersifat aqwam antara lain disebabkan karena redaksinya yang demikian sempurna
dan jelas serta kandungannya sesuai dengan fitrah manusia sehingga dengan mudah dapat
dipahami dan diamalkan. Kitab suci itu menempuh aneka cara untuk meyakinkan mitra
bicaranya sehingga, jika cara ini belum mempan, masih ada sekian banyak cara lain yang
ditempuhnya, paling tidak salah satu diantaranya akan mengena. Dengan demikian, jika anda
memahami kata aqwam dalam arti lebih lurus/lebih sempurna, itu bukan pada substansi
kandungan yang disampaikannya, karena haq yang disampaikan oleh kitab Taurat pun
sempurna. Yang dimaksud degan lebih sempurna dari hidayah kitab Taurat adalah pada
metode, cara, dan gaya-gaya penyampaiannya yang lebih menyentuh akal dan jiwa serta
dapat dipahami oleh orang kebanyakan atau cendekiawan.
Thabathaba’i mengemukakan bahwa Allah swt. menyifati agama Islam dengan kata
yang seakar dengan kata aqwam, yakni qayyim seperti dalam Qs. Ar-Rum [30] : 30 dan 43.
Penyifatan ini karena agama Islam mengatur segala hal yang membawa kebaikan dunia dan
akhirat serta kemaslahatan hidup sekarang dan masa yang akan datang. Itu tidak lain karena
tuntunannya sejalan dengan fitrah manusia. Karena itulah, maka (sumber ajaran) agama ini
disifati dengan (‫ )للّتي هي اقوم‬lillati hiya aqwam/ke (jalan) yang lebih lurus/sempurna.

Thabathaba’i mengemukakan lebih lanjut menulis bahwa manusia mengharapkan dari


tuntunan ajaran yang dianutnya kiranya dapat mengantar mereka kepada kebahagiaan dalam
segala persoalan hidup. Tetapi, pada hakikat dan kenyataannya, jika tuntunan itu bermanfaat
untuk sebagian persoalan hidup, maka ia mengakibatkan mudharat untuk sebagian lainnya.
Atau, kalau sebagiannya memenuhi keinginan nafsu manusia, sebagian besar lain
mengalihkan manusia dari kebaikan dan kemaslahatannya. Nah, kedudukan ajaran al-Qur’an
sebagai lebih lurus dan sempurna jika dibandingkan dengan ajaran dan isme-isme ciptaan
manusia itu adalah karena hanya ajaran Islam yang mampu memenuhi segala kepentingan
hidup duniawi dan ukhrawi manusia tanpa kehilangan satu hal pun yang mereka dambakan.
Selanjutnya, kalau ajaran al-Qur’an itu dibandingkan dengan semua syariat Ilahi – seperti
syariat Nuh, Musa, Isa as. – sebagaimana terkesan dengan penyebutan Taurat sebagai
hidayah bagi Bani Israil, maka kelebih sempurnaan itu dari sisi bahwa ajaran Islam lebih
sempurna dari syariat-syariat yang lalu yang dikandung oleh kitab-kitab mereka karena ajaran
syariat al-Qur’an mencakup semua ma’rifah Ilahiah sepanjang kemampuan potensi manusia
memikulnya. Tidak ada satu pun yang tertinggal dari kegiatan manusia secara perorangan
maupun kolektif. Dengan demikian, hidayah dan tuntunan al-Qur’an lebih sempurna daripada
tuntunan kitab-kitab yang lain, demikian Thabathaba’i.

Kembali kepada Sayyid Quthub, ulama ini menulis bahwa hidayah al-Qur’an
mencakup semua kaum dan generasi tanpa batas waktu atau tempat dan mencakup segala
kebajikan yang diperoleh manusia di setiap waktu dan tempat. Ia memberi petunjuk yang
paling lurus dan sempurna dalam bidang nurani dan rasa, dalam bidang akidah yang sangat
jelas dan mudah dipahami, dalam menghubungkan antara lahir dan batin manusia, rasa dan
perbuatannya, serta akidah dan kegiatannya. Kitab suci itu juga memberi petunjuk yang
paling sempurna dalam hal ibadah, yang mengaitkan antara kewajiban dan kemampuan, tidak
memberatkan hingga membosankan, dan tidak juga mempermudah kemudahan yang
melahirkan sikap tak acuh. Ia juga memberi petunjuk yang paling lurus dan sempurna dalam
hal hubungan antar-sesama, perorangan, atau pasangan, pemerintah, masyarakat negara dan
jenis manusia. Hubungan yang didasarkan oleh dasar-dasar yang kukuh, yang tidak
dipengaruhi oleh hawa nafsu, tidak juga menggunakan tolak ukur senang dan tidak senang,
cinta dan benci. Sebagaimana al-Qur’an adalah petunjuk yang paling sempurna dalam hal
hubungan antar agama-agama samawi. Semua harus dihormati dan dipelihara kesuciannya,
yang mengantar semua manusia dengan aneka agamanya hidup harmonis dan damai.
Demikian secara singkat pandangann Sayyid Quthub.

Qs. Fathir [35] : 7


ِ‫تِلَه ِْمِ َم ْغ ِف َرةِِ َوأَجْ رِِ َك ِبير‬ ّ ‫شدِيدِِ َوالّذِينَِِآ َمنواِ َو َع ِملواِال‬
ِِ ‫صا ِل َحا‬ َ ِِ‫الّ ِِذينَِِ َكفَرواِلَه ِْمِ َعذَاب‬

Orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang keras. Dan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.

Ayat ini menjelaskan siapa saja yang termasuk golongan (yang menjadi penghuni
neraka) nya itu dan apa yang disiapkan Allah buat mereka. Ayat diatas menyatakan bahwa
orang-orang yang kafir yang menutupi kebenaran dan mengasingkan ajaran yang
disampaikan para Rasul, bagi mereka azab yang keras. Dan adapun lawan mereka serta yang
menjadikan setan sebagai musuhnya yaitu orang-orang yang beriman dan membuktikan
keimanan mereka dengan mengerjakan amal yang saleh, maka bagi mereka ampunan atas
segala kesalahan-kesalahan dan kekeliruan mereka dan pahala yang besar berupa ketenangan
hidup duniawi dan kenikmatan ukhrawi. Jelas kedua kelompok ini tidak sama dalam sikap
dan perbuatannya serta balasan dan ganjarannya. Maka jika demikian apakah orang yang
diperindah baginya oleh setan dan nafsu keburukan amalnya sehingga dia menganggapnya
baik, sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan atau diperdaya oleh nafsu ? Tentu saja
tidak sama. Mereka yang diperdaya setan itu memilih kesesatan, sedang selain mereka
memperoleh petunjuk Ilahi maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-
Nya berdasar kecenderungan yang bersangkutan sendiri dan memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya karena kesiapan jiwanya untuk menerima petunjuk; maka janganlah dirimu
wahai Nabi Muhammad binasa disebabkan disebabkan karena kesedihan hatimu terhadap
mereka yang sesat dan enggan beriman itu. Memang, mereka berusaha menyakitkan dan
mengganggu hatimu, tetapi bersabarlah karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang senantiasa mereka perbuat.

Ayat diatas menggambarkan dua kelompok yang bertolak belakang. Tentu saja
masing-masing kelompok memiliki peringkat yang berbeda-beda. Di antara keduanya ada
orang-orang beriman tetapi durhaka. Mereka itu terpengaruh oleh nafsu dan setan, namun
pada saat-saat tertentu keimanan mereka diharapkan mengantar kepada kesadaran – sesaat
atau lama – bahwa setan adalah musuh yang harus mereka hindari. Namun demikian, mereka
tidak tangguh melawan gejolak nafsu tidak juga bertahan menghadap rayuan setan, sehingga
mereka terjerumus. Dalam konteks ini Nabi saw. dalam khutbah beliau pada haji
Wada’/perpisahan menyampaikan bahwa “ Sesungguhnya setan telah berputus asa
menyangkut penyembahannya di negeri kamu ini (Negeri Haram, yakni Mekah dan
sekitarnya) tetapi dia merasa puas jika kamu melakukan apa yang lebih ringan dari itu dalam
hal-hal yang kamu remehkan dari amalan-amalan kamu.”

You might also like