You are on page 1of 5

A.

Pengertian Adopsi dan Difusi Inovasi Dalam Penyuluhan


1. Adopsi Inovasi dalam Penyuluhan
Pada hakekatnya adopsi dalam proses penyuluhan, diartikan sebagai proses perubahan
perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan pada diri seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Pengertian adopsi
sering rancu dengan pengertian “adaptasi” yang berarti penyesuaian. Selain itu adopsi juga dapat
diartikan sebagai proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal-hal baru sampai
orang tersebut menerima, menerapkan, dan menggunakan hal baru tersebut.
Dalam proses adopsi ini petani sasaran dapat mengambil keputusan setelah melalui
beberapa tahapan. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan
yang berupa “inovasi”, maka proses adopsi itu dapat digambarkan sebagai suatu proses
komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan
perilaku.
2. Difusi Inovasi dalam Penyuluhan
Yang dimaksud dengan proses difusi inovasi adalah perembesan adopsi inovasi dari satu
individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam system sosial masyarakat sasaran
yang sama. Perubahan sosial yang direncanakan pada proses penyuluhan sangat rumit, pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap kegiatan, yaitu: invensi, difusi dan konsekuensi-
konsekuensi. Dan dalam perubahan sosial perlu diadakan perencanaan yang terencana, khususnya
dalam pembangunan pertanian karena adanya faktor-faktor tertentu.

B. Tahapan dan Faktor-faktor Adopsi dan Difusi Inovasi Dalam Penyuluhan Pertanian.
Di dalam proses adopsi dan difusi inovasi terdapat juga proses penyesuaian, tetapi adaptasi
itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian
terhadap kondisi lingkungan.
1. Tahapan Adopsi
Dalam proses adopsi terdapat tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima atau
menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antara tahapan satu dengan
yang lainnya tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan
dan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh). Tahapan-tahapan adopsi adalah:
a. Awareness atau kesadaran.
Setelah dilakukan penyuluhan dengan daya, gaya dan contoh yang menarik bagi para
petani, pada tahap ini para petani baru mengetahui dan menyadari bahwa ada cara-cara :
· Yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung kekeliruan.
· Yang baru serta dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatan.
· Yang baru serta efektif, dan dapat mengatasi kesulitan yang tengah atau sering dihadapinya.
Cara-cara yang kurang baik atau keliru harus ditingggalkan dan cara-cara yang baru perlu
dilakukan, tetapi benar-benar dapat membawa hasil atau tidak. Disini para petani akan menentukan
sikapnya, yaitu menaruh perhatian atau acuh tak acuh. Selain itu penyuluh dituntut kemampuan
komunikasinya agar dapat menimbulkan sikap petani yang kebanyakan akan menaruh perhatian
tarhadap apa yang akan ia suluhkan.
b. Interest atau adanya minat.
Petani yang telah tertarik dan sadar akan perlunya teknologi baru yang berkaitan dengan
usaha taninya mulai menaruh minat terhadap cara-cara itu. Karena sikapnya yang selalu hati-hati
sehingga mereka masih perlu bertanya-tanya.
c. Evalution atau penilaian.
Setelah petani mendapat penjelaan-penjelasan dari sesama petani yang tergolong mudah
mengadopsi, maka ia mengetahui sesuatu hal yang lebih banyak dan kebimbangannya mulai pudar.
Mulailah petani itu melakukan penilaian atau evaluasi terhadap teknologi baru. Pada tahap ini
peranan penyuluh dengan jalan memberikan penjelasan yang jelas dan terperinci adalah sangat
penting. Penyuluh harus dapat menghilangkan segala keraguan sehingga timbul keinginan petani
untuk mencoba inovasi tersebut.
d. Trial atau mencoba.
Pada tahap ini penyuluh membimbing dan memperagakan materi yang telah
disuluhkannya, kemudian penyuluh pertanian menuntun petani agar bisa mempraktekkan
teknologi secara mandiri. Penyuluh harus aktif melakukan pengawasan, karena apabila mengalami
kegagalan maka kepercayaan petani selanjutnya akan hilang atau sulit ditimbulkan kembali.
e. Adoption atau mau menerima
Tahap ini menjelaskan bahwa para petani akan menerapkan terus-menerus teknologi baru
itu dalam kegiatan usaha taninya. Perlakuan demi perlakuan dan keberhasilan demi keberhasilan
akan lebih menggairahkan petani, sehingga setiap dilakukan penyuluhan petani tidak pernah absen
(Kartasapoetra, 1987).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Adopsi
Kecepatan adopsi ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain;
a. Sifat inovasinya sendiri
Suatu inovasi mudah atau sulit diterima petani sasaran sangat dipengaruhi karakteristik inovasi itu
sendiri. Sedikitnya terdapat 5 karakteristik yang mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi inovasi
oleh petani sasaran yaitu:
· Keuntungan relative artinya suatu inovsai akan mudah diterima oleh petani sasaran apabila
inovasi tersebut secara ekonomi menguntungkan.
· Kompatibilitas artinya suatu inovasi akan lebih mudah diterima oleh petani sasaran apabila
sesuai dengan norma-norma sosial, pngalaman petani sebelumnya dan kebutuhan-kebuuhan
petani.
· Kompleksitas artinya suatu inovsai yang sulit dipahami dan digunakan petani sasaran relative
tidak mudah diadopsi petani dibandingkan inovasi yang mudah dipahami dan digunakan petani.
· Triabilitas menunjukkan kemampuan suatu inovasi untuk dapat dicoba dalam skala kecil.
· Observabilitas menunjukkan kemampuan suatu inovasi untuk menghasilkan output yang dapat
dilihat oleh orang lain.
b. Sifat sasarannya
Lionberger (1960) mengemukakan beberapa factor yang mempengaruhi kecepatan seseorang
untuk mengadopsi inovasi yang meliputi :
· Luas usaha tani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karena memiliki
kemampuan ekonomi yang lebih baik.
· Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usaha tani, petani dengan tingkat pendapatan
semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.
· Keberanian mengambil resiko, pada tahap awal biasaya tidak berhasil seprti yang diharapkan.
Karena itu, individu yang memiliki keberanian mengambil resiko biasanya lebih inovatif.
· Umur, semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan
cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga
masyarakat setempat.
· Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri. Warga
masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar system sosialnya sendiri, umumnya
lebih inovatif dibanding meraka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan warga masyarakat
setempat.
· Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru.orang-orang atau masyarakat yang aktif lebih
inoatif daripada orang-orang yang pasif.
· Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan orang-orang yang inovatif biasanya banyak
memanfaatkan beragam sumber informasi, sedangkan golongan yang kurang inovatif hanya
memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh setempat.
c. Cara pengambilan keputusan.
Cara pengambilan keputusan dalam mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi
kecepatan adopsi. Jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi relative lebih cepat
dbanding dengan pengambilan keputusan bersama. Perubahan dapat terjadi apabila terdapat
keputusan untuk melakukan perubahan.
d. Saluran komunikasi yang digunakan
Jika inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat disampaikan melalui media massa, atau
sebaliknya jika kelompok sasarannya dapat dengan mudah menerima inovasi yang disampaikan
maka proses adopsi akan berlangsung relative lebih cepat dibanding dengan inovasi yang harus
disampaikan lewat media massa antar pribadi. Kecepatan diterimanya suatu inovasi oleh
masyarakat, sangat dipengaruhi pula oleh saluran komunikasi yang digunakan. Ada beberapa
saluran komunikasi yang dapat dipilih yaitu:
· Melalui media masa seperti TV, koran, majalah dan sebagainya.
· Melalui saluran tatap muka (inter personal)
Pada kondisi masyarakat pedesaan yang ada pada saat ini, penyampaian inovasi pada masyarakat
pedesaan melalui media massa rasanya belum efektif, karena jangkauan masyarakat pedesaan pada
media massa masih relatif rendah. Oleh karena itu, akan lebih efektif apabila proses penyampaian
inovasi pada masyarakat pedesaan digunakan saluran interpersonal.
e. Keadaan penyuluh.
Kecepatan adopsi juga sangat ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan penyuluh, khususnya
tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk “mempromosikan” inovasinya. Semakin rajin
penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika
penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan terampil menggunakan saluran komunikasi
yang paling efektif, proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat dengan yang lainnya. Selain
itu, kondisi masyarakat yang akan menerima inovasi yang disampaikan ikut berpengaruh terhadap
kecepatan diterimanya inovasi tersebut. Secara teoritis masyarakat yang mempunyai ciri modern
akan lebih cepat menerima inovasi dibandingkan masyarakat yang berciri tradisional.

C. Model Difusi Inovasi Dalam Penyuluhan Pertanian


Proses penyebaran inovasi dari suatu sumber inovasi kepada anggota-anggota suatu system sosial
digambarkan dalam model difusi inovasi. Dengan menganggap bahwa sumber inovasi hanya
berasal dari lembaga penelitian, maka terdapat tiga model difusi inovasi, yaitu: Model Top Down,
Model Feed Back dan Model Farmer Back To Farmer.
1. Model Top Down
Model ini dikemukakan oleh A.H. Bunting (1979), mendeskripsikan model top down ini sebagai
model penyuluhan pertanian konvensional sebagai mana halnya proses komunikasi yang
melibatkan tenaga teknis dan administrasi penyuluhan, yang diwakili peneliti yang menghasilkan
teknologi yang ditransmisikan melalui penyuluhan kepada petani produsen atau sasaran yang
diharapkan.
2. Model Feedback
Model Feedback ini dikembangkan oleh Benor dan Horison (1977). Model feedback ini dikenal
sebagai training dan visit system atau di Indonesia disebut system latihan kunjungan (system
LAKU). Model ini dianggap sebagai perbaikan model Top-Down, yaitu dengan
mempertimbangkan mekanisme umpan balik antara peneliti- penyuluh pertanian. Dalam model
ini, peneliti bekerja di laboratrium dapat memahami dengan baik reaksi petani terhadap teknologi
yang dihasilkan peneliti, sehingga terjadi komunikasi langsung antara pakar agronomi, pakar ilmu-
ilmu sosial dan penyuluh yang bekerja dengan petani di lapang.
3. Model Farmer Back To Farmer
Model ini dikemukakan oleh Rhoades dan Booth (1982) yang mengasumsikan bahwa penelitian
harus dimulai dan diakhiri dari petani. Dengan demikian dalam model difusi ini terdapat informasi
yang lengkap dan akurat mengenai realitas usaha tani. Model juga mengasumsikan bahwa petani
memiliki masalah teknologi dan berusaha untuk memecahkanya. Kunci perbedaan dengan model
difusi lainnya adalah fleksibilitas dan penelitian ditingkat petani untuk mengidenfikasi sumber
daya yang ada ditingkat usaha tani.

You might also like