Kelembagaan menurut Wahyuni (2003) dikelompokkan ke dalam dua pengertian, yaitu institut dan institusi. Institut menunjuk pada kelembagaan formal, misalnya organisasi, badan, dan yayasan mulai dari tingkat keluarga, rukun keluarga, desa sampai pusat, sedangkan institusi merupakan suatu kumpulan norma-norma atau nilai-nilai yang mengatur perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga pengertian kelembagaan pertanian yang dimaksud adalah kelembagaan formal, seperti sebuah organisasi ataupun institusi norma-norma yang berkaitan dengan petani. Kelembagaan pertanian tumbuh dan dikembangkan dari, oleh, dan untuk pelaku utama. Pelaku utama yang dimaksud adalah masyarakat di dalam ataupun di sekitar kawasan pertanian. Kelembagaan usahatani memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pelaku usahatani (Aruchelvan dan Viswanathan, 2006). Selama ini pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan usahatani, terutama kelompok petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar (Wahyuni, 2003). Dalam hal ini lembaga dapat memiliki struktur yang tegas dan formal, dan lembaga dapat menjalankan satu fungsi kelembagaan atau lebih. Kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu 1) kelembagaan penyedia input, 2) kelembagaan penyedia modal, 3) kelembagaan penyedia tenaga kerja, 4) kelembagaan penyedia lahan dan air, 5) kelembagaan usaha tani, 6) kelembagaan pengolah hasil usaha tani, 7) kelembagaan pemasaran, 8) kelembagaan penyedia informasi. Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah kelembagaan rantai pasok yakni hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi antarpelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas maupun bagi peningkatan kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut. Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola perdagangan umum dan pola kemitraan. Ikatan antara petani dan pedagang umumnya ikatan langganan, tanpa adanya kontrak perjanjian yang mengikat antarkeduanya dan hanya mengandalkan kepercayaan. petani dan pedagang pada pola ini juga sering melakukan ikatan pinjaman modal. Sedangkan pola kemitraan rantai pasok pertanian adalah hubungan kerja di antara beberapa pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian atau kontrak tertulis dalam jangka waktu tertentu. Dalam kontrak tersebut dibuat kesepakatan-kesepakatan yang akan menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat (Marimin dan Maghfiroh, 2010).