You are on page 1of 64

CASE REPORT

EPILEPSI
Preceptor:

Dr. Fitriyani, Sp. S., M. Kes.

disusun Oleh:

Adi Napanggala 1018011034

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
JULI-AGUSTUS 2015

1
KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “ Epilepsi” tepat
pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Abdul Moeloek.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Fitriyani, Sp.S, M.Kes yang telah
meluangkan waktunya untuk saya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya
menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, Juli 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. 2

DAFTAR ISI .................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 4

STATUS PASIEN ........................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 20

BAB III ANALISA KASUS ........................................................................ 62

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64

3
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada
neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.

Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian epidemiologi


tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang
dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini
sekitar 220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi dan
40% masih dalam usia reproduksi.

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit yang
timbul secara tiba-tiba.Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting
di masyarakat.Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.Dalam kehidupan sehari-
hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi
penderita epilepsi.

Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial
yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2

4
BAB II
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. NM
Umur : 51 tahun 4 bulan
Alamat : Panglima Polim, Tanjung Karang Barat
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Masuk : 23 Juli 2015
Tanggal pemeriksaan : 29 Juli 2015
Dirawat ke : Berkali-kali

B. Riwayat Perjalanan Penyakit

Anamnesis : Auto-Alloanamnesis
Keluhan Utama : Kejang-kejang
Keluhan Tambahan : Nyeri kepala

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RSUDAM dengan keluhan kejang. Kejang sudah
berlangsung selama 3 hari berturut-turut SMRS dan semakin lama semakin
memburuk. Kejang terjadi saat pasien sedang istirahat atau saat lelah, tiba-tiba kejang
selama 5-15 detik, kejang terjadi pada seluruh badan pasien, mata mendelik keatas,
gigi bertemu gigi, mulut tidak berbuih, lengan dan tungkai menekuk-nekuk. Saat
kejang berhenti, pasien langsung sadar dan ingat kejadian saat pasien kejang. Sejak 3
hari SMRS sampai 2 hari perawatan di RSUDAM kejang yang terjadi terus menerus

5
dan hilang-timbul selama 24 jam, saat ini kejang yang dialami pasien mengalami
perbaikan, tidak sesering saat pertama kali dirawat di RSDUAM. Sebelumnya pasien
tidak mengeluhkan demam, namun pasien merasakan nyeri kepala yang sangat
mengganggu.

Sebelumnya pasien sudah sering mengalami kejang, bila kejang yang dialami
pasien memburuk, keluarga pasien membawa pasien ke balai pengobatan terdekat
lalu membaik. Bentuk kejang yang dialami sama seperti saat dirawat di RSUDAM
saat ini. Saat ini pasien dapat mengenali bahwa ia akan terjadi kejang. Riwayat
trauma kepala, mual dan muntah disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pada tanggal 20 Juli 2012 pasien pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya,
dan pernah dirawat di RSUDAM. Kemudian pada pasien dilakukan CT-Scan
Brain dan didapatkan kesan SOL Regio Frontal Dextra dengan Edema Perifokal
disertai Herniasi Subfalcine Kekiri dan cenderung gambaran Pilocyctic
Astrocytoma. Kemudian pasien dirujuk ke semarang untuk dilakukan Craniostomi.
 Setelah dilakukan operasi tampak adanya perbaikan, namun beberapa minggu
kemudian kembali kejang, kejang yang terjadi tidak seburuk sebelum dioperasi.
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat DM (-).Asam urat (-), Hiperkolesterol (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat hipertensi (-), DM (+).Asam urat (-), Hiperkolesterol (-)

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang

6
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : E4V5M6= 15
- Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 26 x/menit
Suhu : 36,6o C
- Gizi : cukup

Status Generalis
- Kepala
Rambut : hitam, rata, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : Konjuntiva anemis (-/-), Sklera ikteri (-/-)
Telinga : liang lapang, simetris, sekret (-/-)
Hidung : septum tidak deviasi, sekret (-), pernafasan
cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering, tampak simetris, caries gigi (-)

- Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
JVP : 5+2 cm H2O
Trakhea : ditengah, deviasi trakea (-)

- Toraks
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : BJKi : ICS IV midclavicula sinistra
BJKa : ICS IV parasternal dextra

7
BJA : ICS II parasternal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : pergerakan simetris kiri = kanan, retraksi (-)
Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama, ekspansi dinding
dada simetris, nyeri tekan (-) pada seluruh
lapang paru
Perkusi : sonor /sonor, nyeri ketuk (-)
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

- Abdomen
Inspeksi : datar, simetris
Palpasi : massa teraba (-), nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : bising usus normal, ±8x/menit

Extremitas
Superior : edema (-/-),sianosis (-/-), CRT<2s
Inferior : edema (-/-),sianosis (-/-), CRT<2s

Status Neurologis
- Saraf Cranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung : normosmia

N.Opticus (N.II)
Tajam penglihatan : 2/60 2/60
Lapang penglihatan : sama dengan pemeriksa

8
Tes warna : normal
Fundus oculi : tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III – N.IV – N.VI)


Kelopak Mata
- Ptosis : (-/-)
- Endophtalmus : (-/-)
- Exopthalmus : (-/-)

Pupil
- Ukuran : Ø3mm/Ø3mm
- Bentuk : Bulat / Bulat
- Isokor/anisokor : isokor
- Posisi : Sentral / Sentral
- Refleks cahaya langsung : +/+
- Refleks cahaya tidak langsung : +/+

Gerakan Bola Mata


- Medial : normal
- Lateral : normal
- Superior : normal
- Inferior : normal
- Obliqus superior : normal
- Obliqus inferior : normal
- Refleks pupil akomodasi : normal
- Refleks pupil konvergensi : normal

N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus : Normal

9
- Ramus maksilaris : normal
- Ramus mandibularis : normal

Motorik
- M. masseter : normal
- M. temporalis : normal
- M. pterygoideus : normal

Refleks
- Refleks kornea : ( + / +)
- Refleks bersin : sulit dinilai

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam : normal
- Tertawa : sulit dinilai
- Meringis : sulit dinilai
- Bersiul : sulit dinilai
- Menutup mata : normal

Pasien disuruh untuk


- Mengerutkan dahi : normal
- Menutup mata kuat-kuat : normal
- Mengangkat alis : normal

Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah : sulit dinilai

N. Vestibulocochlearis/ N. Acusticus(N.VIII)

10
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran : normal
- Tinitus : sulit dinilai

N.vestibularis
- Test vertigo : sulit dinilai
- Nistagmus : tidak dilakuakan

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)


- Suara bindeng/nasal : sulit dinilai
- Posisi uvula : sulit dinilai
- Palatum mole : sulit dinilai
- Arcus palatoglossus : simetris
- Arcus palatoparingeus : sulit dinilai
- Refleks batuk : sulit dinilai
- Refleks muntah : tidak dilakukan
- Peristaltik usus : Normal
- Bradikardi : (-)
- Takikardi : (-)

N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus : sulit dinilai
- M.Trapezius : sulit dinilai

N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi : (-)
- Fasikulasi : (-)
- Deviasi : (-)

11
- Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : sulit dinilai
Kernig test : (-)
Laseque test : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinsky III : (-)
Brudzinsky IV : (-)

- Sistem Motorik Superior ka/ki Inferior ka/ki


Gerak Lateralisasi ke kiri Lateralisasi ke kiri
Kekuatan otot 4/1 4/1
Tonus Normotonus/Hipotonus Normotons /hipotonus
Klonus -/- -/-
Atropi -/- -/-
Refleks fisiologis Biceps (+/+) Pattela (+/+)
Triceps (+/+)Achiles(+/+)

Refleks patologis Hoffman Trommer (-/-) Babinsky(-/-)


Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gordon(-/-)
Gonda(-/-)
- Sensibilitas
Sulit Dinilai
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba : normal
- Rasa nyeri : normal
- Rasa suhu panas : normal

12
- Rasa suhu dingin : normal

Proprioseptif / rasa dalam


- Rasa sikap : Sulit dinilai
- Rasa getar : Sulit dinilai
- Rasa nyeri dalam : Sulit dinilai

Fungsi kortikal untuk sensibilitas


- Asteriognosis : Sulit dinilai

- Koordinasi
Tes telunjuk hidung : normal
Tes pronasi supinasi : sulit dinilai

- Susunan Saraf Otonom


Miksi : Terpasang Kateter
Defekasi : normal
Salivasi : normal

- Fungsi Luhur
Fungsi bahasa : normal
Fungsi orientasi : normal
Fungsi memori : normal
Fungsi emosi : sulit dinilai

- Laboratorium (23 Juli 2015)


Darah Rutin:
Hb : 14 gr/dl
Hematokrit : 41%
LED : 10 mm/jam

13
Leukosit : 16.900/ul
Hitung jenis : 0/1/0/86/7/6
Trombosit : 261.000/ul

Kimia darah:
SGOT : 54 U/L
SGPT : 53 U/L
Ureum : 49 mg/dL
Creatinine : 0,80 mg/dL
Natrium : 133 mmo/L
Kalium : 3,3 mmo/L
Calsium : 8,7 mmo/L
Clorida : 101 mmo/L

D. Resume
Pasien datang ke RSUDAM dengan keluhan kejang. Kejang sudah
berlangsung selama 3 hari berturut-turut SMRS dan semakin lama semakin
memburuk. Kejang terjadi saat pasien sedang istirahat atau saat lelah, tiba-tiba kejang
selama 5-15 detik, kejang terjadi pada seluruh badan pasien, mata mendelik keatas,
gigi bertemu gigi, mulut tidak berbuih, lengan dan tungkai menekuk-nekuk. Saat
kejang berhenti, pasien langsung sadar dan ingat kejadian saat pasien kejang. Sejak 3
hari SMRS sampai 2 hari perawatan di RSUDAM kejang yang terjadi terus menerus
dan hilang-timbul selama 24 jam, saat ini kejang yang dialami pasien mengalami
perbaikan, tidak sesering saat pertama kali dirawat di RSDUAM. Sebelumnya pasien
tidak mengeluhkan demam, namun pasien merasakan nyeri kepala yang sangat
mengganggu. Pada riwayat penyakit sebelumnya, didapat bahwa pasien pernah
menjalani opersai craniostomi di Semarang pada tahun 2012. Pada keluarga terdapat
penderita DM.

14
Pada pemeriksaan fisik, didapat keadaan umum Tampak sakit sedang,
Kesadaran Compos mentis, GCS E4V5M6= 15, Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi
90 x/menit, RR 26 x/menit, Suhu 36,6o C, Gizi cukup. Kepala, leher, thoraks, pulmo,
abdomen dan ekstremitas dalam batas normal.

Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan neurologis. Pada hasil


laboratorium 23 Juli 2015 Didapatkan hasil Hb 14 gr/dl, Hematokrit 41%, LED 10
mm/jam, Leukosit 16.900/ul, Hitung jenis 0/1/0/86/7/6, Trombosit 261.000/ul. Kimia
darah: SGOT 54 U/L, SGPT 53 U/L, Ureum 49 mg/dL, Creatinine 0,80 mg/dL,
Natrium 133 mmo/L, Kalium 3,3 mmo/L, Calsium 8,7 mmo/L, Clorida 101
mmo/L.

E. Diagnosis

Klinis : Epilepsi tonik-klonik


Topis :
Etiologi : Simtomatik

F. Diagnosis Banding

Sinkop

Brain Tumor

G. Penatalaksanaan

Non medikamentosa
 Penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien kepada orang tua
serta bagaimana pengobatannya
 Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk
mengetahui tanda-tanda awal kejang (aura), pencetus, dan mengetahui
bentuk dan durasi kejang

15
 Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien
kejang
 Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak berhenti
dengan pemberian diazepam rektal, kejang yang berulang dalam sehari
atau kejang yang tidak berhenti selama 15 menit.
Medikamentosa
 IVFD RL 30 tpm (mikro)
 Inj. Ceftriaxon 2x1gr
 Inj. Fenitoin 200mg/hari
 R/ konsul spesialis saraf

Saran Pemeriksaan Penunjang


1. DR untuk mengetahui status hematologi pasien dan jika pasien mengalami
infeksi.
2. Kadar Na, K dan Cluntuk melihat apakah adanya imbalans elektrolit
3. Cek SGOT/SGPT untuk melihat fungsi hati dan pemberian obat-obatan.
4. Cek Ureum, Creatinine untuk melihat fungsi ginjal. Hal ini dibutuhkan
untuk pemilihan obat yang tepat dan dosis yang harus diperhatikan.
5. EEG untuk mengetahui letak epileptikfokus pada pasien. (Pada EEG
pertama, sekitar 29%-38% pasien dengan epilepsi menunjukkan
gelombang abnormal.9 Maka dapat disarankan untuk EEG berulang atau
pada saat pasien sedang kekurangan tidur/lelah.)
6. MRI untuk mengetahui letak dari lesi struktural paska trauma jika ada.
MRI juga dapat melihat jika terdapat AVM (Arterio-Venous
Malformation), displasia kortikal ataupun tumor kecil. (21%-37% pasien
penderita epilepsi menunjukkan adanya lesistruktural9)

16
Saran Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa untuk penderita epilepsi adalah mengontrol
bangkitan kejang agar tidak berulang dengan konsumsi obat-obatan anti
kejang selama 2 tahun. Terapi non-medikamentosa meliputi edukasi kepada
keluarga pasienyang ditujukan untuk mempersiapkan tindakan yang harus
dilakukan jika mendapati pasien kejang dan mengetahui tanda-tanda jika
pasien harus segera ditangani di rumah sakit.
 Medikamentosa
o Obat anti kejang
 Carbamazepine: dosis 325mg/hari (PO). Dicoba dengan
obat tunggal anti-kejang. Evaluasi --.
 Asam Valproat: dosis
 Non-medikamentosa
o Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien
kejang
o Perubahan pola hidup agar pasien factor pencetus kejang
seperti kelelahan dapat dihindari
o Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak
berhenti dengan pemberian diazepam rektal, kejang yang
berulang dalam sehari atau kejang yang tidak berhenti selama
15 menit.

Prognosis
 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungtionam : dubia
 Ad sanationam : dubia

17
FOLLOW UP

23/7/2015 24/7/2015 25/7/2015


S : pasien kejang lagi, keluhan (-) S : kejang, keluhan lain (-) S: pasien kejang
.
O: O: O:
KU/KS : SS/CM KU/KS : SS/CM KU/KS : SS/CM
TD: 130/90 mmHg TD: 120/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
N: 90x/mnt N: 98x/mnt N: 90x/mnt
RR: 24x/mnt RR: 20x/mnt RR: 24x/mnt
o o
S: 36,2 C S: 36,4 C S: 36,2oC
Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan neurologis kesan neurologis kesan normal. pemeriksaan neurologis kesan
normal. normal.
Penunjang:
Hb: 14 gr/dl
Ht: 41%
Leukosit: 16.000/ul
Trombosit : 261.000/ul

A: Epilepsi A: Epilepsi A: epilepsy


P: P: P:
 IVFD RL 30 tpm (mikro)  IVFD RL 30 tpm (mikro)  IVFD RL 30 tpm
 Inj. Ceftriaxon 2x1gr  Inj. Ceftriaxon 2x1gr (mikro)
 Inj. Dexametason 3x1  Inj. Dexametason 3x1  Inj. Ceftriaxon 2x1gr
 Inj. Ranitidine 2x1  Inj. Ranitidine 2x1  Inj. Dexametason 3x1
 Inf. Manitol  Inf. Manitol  Inj. Ranitidine 2x1
 Inj. Kutoin 3x1  Inj. Kutoin 3x1  Inf. Manitol
 Kutoin cap 100mg 3x1  Kutoin cap 100mg 3x1  Inj. Kutoin 3x1
 As. Folat 1x1  As. Folat 1x1  Kutoin cap 100mg 3x1
 Oksigen 2ltr  Oksigen 2 ltr  As. Folat 1x1
 Obs. TTV  Obs. TTV  Oksigen 1 ltr
 Obs. TTV

18
26/7/2015 28/7/2015
S: kejang S: kejang (-)
O: O:
KU/KS : SS/CM KU/KS : SS/CM
TD: 120/80 mmHg TD: 120/80 mmHg
N: 98x/mnt N: 98x/mnt
RR: 20x/mnt RR: 20x/mnt
o
S: 36,4 C S: 36,4oC
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
kesan normal. neurologis kesan normal.

A: Epilepsi A: epilepsy
P: P:
 IVFD RL 30 tpm (mikro)  IVFD RL 30 tpm (mikro)
 Inj. Ceftriaxon 2x1gr  Inj. Ceftriaxon 2x1gr
 Inj. Dexametason 3x1  Inj. Dexametason 3x1
 Inj. Ranitidine 2x1  Inj. Ranitidine 2x1
 Inf. Manitol  Inf. Manitol
 Inj. Kutoin 3x1  Inj. Kutoin 3x1
 Kutoin cap 100mg 3x1  Kutoin cap 100mg 3x1
 As. Folat 1x1  As. Folat 1x1
 Oksigen 1 ltr  Obs. TTV
 Obs. TTV  Rencana konsul Sp. S.

19
BAB III
TINJUAN PUSTAKA
EPILEPSI

DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak


terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat


cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih
luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis
yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode).3

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International


Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan
kejang epileptik,perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epileptik sebelumnya.Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron
yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-
ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-
neuronotak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

20
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsy lebih tinggi di negara berkembang.Insiden epilepsy di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000.sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5

Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan


pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan
usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama,
menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan
kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi
sebelum umur 18 tahun.6

ETIOLOGI

Etiologi Epilepsi kemungkinandisebabkan oleh:

A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi


otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia
waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi

21
D. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun  disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena
birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari


penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic,
awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini semakin
sedikit.
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsy mioklonik.7

KLASIFIKASI

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan


klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.

22
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3

1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal.Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura.Kesadaran hilangselama beberapa detik, di
tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan
kosong, atau mata berkedip dengan cepat.Hampir selalu pada anak-
anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan
serangan tonik-klonik.

23
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis.Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak.Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama
serangan.Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan
fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya
cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat
dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang
khas.Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit
terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan
ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan
otot dan terjatuh secara tiba-tiba.Bangkitan ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat.Keadaan ini diikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit
sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi
pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya,
seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.

24
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal.Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat.Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai
dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh
kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik
(gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :3

1. Fokal / Partial (localized related)


1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak
(Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

25
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di
atas

26
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non
ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

PATOFISIOLOGI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, di inhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion

27
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.

Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks
serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.

28
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel


piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik
tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka


tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

29
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi


pada penderita epilepsi yang kronis.Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan
ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini
memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi
karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola
yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang


optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )


berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

30
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron
saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak.Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan
epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh
karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron,
maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan
yang lebih luas.Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan
anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau

31
glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik.Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi.Akan tetapi anak tanpa brain
damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama.

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni
membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya
terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang
menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron
dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

32
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic.Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara


lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
“bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri.Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya
mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana
secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.

33
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkodeprotein kanal ion
(pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign
familial neonatal convulsions.

Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal Gen Sindroma


Voltage-gated
Kanal Natrium SCN1A, SCN1B Generalized epilepsies with febrile
SCN2A, GABRG2 seizures plus
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, Episodic ataxia tipe 2
CACNB4 Childhood absence epilepsy
ACNA1H
Kanal Klorida CLCN2 Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe
epilepsy
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi
mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile

34
seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks
tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.

Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.

Patofisiologi Anatomi Seluler

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,


stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.

Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi


(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan
otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut
pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.Keadaan ini
bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik
yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-
sinaptik.Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR)
disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.Secara farmakologik,
inhibisi terhadap NMDAR ini merupakan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub

35
unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium
dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada
hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa.Berbicara
mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion
yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.Masuk dan keluarnya
ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi
sesama neuron.

Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal epilepsi dikenal
beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih
tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

GEJALA

 Kejang parsial simplek

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.

 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi

36
 Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan.

Gejalanya meliputi :

 gerakan seperti mencucur atau mengunyah


 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

 Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura.

Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat


berupa : merasa sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.

Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan


keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik :
terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.

37
DIAGNOSIS

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan


melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena


pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami
penderita.Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis juga memunculkan informasi
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis,
gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

38
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekuensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :

Major :

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder.Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-
klonik.Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama,
perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu
didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada
permukaan otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium
bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang

39
dinamakan jeritan epilepsi.Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah.Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit.Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
berbuih dan sianosis.Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam
keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,
termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.

Minor :

Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..

Bangkitan mioklonus.Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya


anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang.Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau
tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)

Bangkitan akinetik.Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena


menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan
disebut trias Lennox-Gastaut.

Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan
otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan
gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,

40
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau
tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

Bangkitan motorik.Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.Bangkitan


kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari
seluruh kasus epilepsi).9

Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus


epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak
di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota
badan.Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan
dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.Epilepsi lobus
temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala
fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena
fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi
kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra
tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat
psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.

Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa


automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari
halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

41
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

-Pada orang dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,
dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose.Hemangioma pada muka
dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber.Pada toksoplasmosis, fundus
okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan,
asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,


natrium, bilirubin, ureum dalam darah yang memudahkan timbulnya kejang ialah
keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia,
hiperbilirubinemia, dan uremia.Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya
radang pada otak atau selaputnya,toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia
yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau
perdarahan subaraknoid.10,11

42
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy.Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.

c. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan

43
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik.Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,


misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai
gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang
paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai
gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).

a. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan.Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter.Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

44
Gambar Pembentukan EEG

45
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan
dan kematian.10

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar


pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi
efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat.
Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa
obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin
(Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol),

46
gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin
(Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine
(Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and
Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi
benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin.Fenitoin bekerja
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan
listrik.Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang.Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan menyebabkan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi
kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA
dan AMPA yakni glutamat dan GABA).Pada hewan percobaan ditemukan bahwa
potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan
SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.Dari data penelitian ditemukan
bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai
penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif,
karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.Salah satu
andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2.Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein

47
yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan.Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2
di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi


yakni:13,14

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan
keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan
efek samping dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap sampai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol


bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
dan neurotransmitter yang voltage dependen

48
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan eksitabilitas
glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan


kalsium (T) dan kalium.

5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N

7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi


aktivitas channel.

9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated


chloride, modulasi efek reseptor GABA.

10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi


glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat


dihentikan tanpa kekambuhan.Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan
ketika hendak menghentikan OAE yakni:

Jenis Obat Antiepilepsi


Berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa obat anti epilepsi yang sering
digunakan.
Asam valproat
Digunakan pada epilepsi motor minor (mioklonik), absens, tonik-klonik dan
serangan parsial maupun kompleks. Asam valproat dianggap meninggikan efek
inhibisi postsinaptik GABA, menghambat pembentukan gelombang paku dan

49
menghambat jaras neuronal eksitatorik. Dosis awal pada orang dewasa adalah 500-
1000 mg/hari, kemudiandosis rumatan 500-2500 mg/hari, waktu paruh dalam plasma
12-18 jam, waktu tercapainya steady state 2-4 jam.
Hubungan dosis dengan kadar serum cukup kompleks, karena masa paruh
yang pendek dan ikatan protein yang besar. Pada kadar plasma valproat yang rendah,
ikatan protein mencapai 90-95%, namun dengan meningkatkan dosis, maka ikatan
proteinnya menurun drastis, sehingga kadar serum tidak naik secara proporsional
dengan dosis. Interaksi dengan fenobarbital akan meningkatkan kadar fenobarbital
sehingga menimbulkan sedasi berat. Kombinasi dengan fenitoin dan karbamazepin
dapat meningkatkan kadar kedua otot, sedangkan kombinasi dengan aspirin akan
menyebabkan kenaikan kadarvalproat.
Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut, pankreatitis
akut dan diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan leukopenia). Gejala
intoksikasi berupa mengantuk, vertigo dan perubahan perilaku. Efek pemberian
kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, tremor, hiperamonia, bertambahnya
berat badan, rambut rontok, penyakit perdarahan dan gangguan lambung.
Karbamazepin
Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks) dan
epilepsi umum tonik-klonik. Dosis pada orang dewasa 400-600 mg/hari, kemudian
dosis rumatan 400-1600 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 15-35 jam, waktu
tercapainya steady state 2-7 hari. Efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia
darah. Gejala intoksikasi berupa diplopia, vertigo, pusing, inkoordinasi dan kadang-
kadang gejala distonik. Akibat pemberian kronik dapat menimbulkan hiponatremia,
gangguan fungsi hati dan leukopenia. Karena rumus kimianya serupa antidepresan
trisiklik, maka obat ini sering memberikan perasaan enak dan peningkatan kesadaran.
Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan epilepsi
minor lainnya akan memperberat serangan status absens atau miokonus nonepilepsi
yang terus menerus. Pemberian bersama obat lain misalnya Ca channel blocker, INH
dan erittromisin dapat mempercepat timbulnya toksisitas karena menghambat
metabolismenya.

50
Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah tepi lengkap dalam waktu 2
minggu, 1 bulan dan 2 bulan setelah dimulinya pengobatan, dan kemudian setiap 6
bulan.
Meskipun karbamazepin mempunyai banyak efek samping, tapi obat ini lebih
unggul dibanding fonobarbital dan fenitoin karena memperbaiki fungsi kognitif.
Fenobarbital
OAE ini berguna untuk mengatasi kejang tonik-klonik umum (grand mal),
serangan parsial sederhana-kompleks, sebagian besar kejang lain. Fenobarbital
diberikan dengan dosis awal 50-100mg/hari, dengan dosis rumatan 50-200 mg/hari,
waktu paruh dalam plasma 50-170 jam. Efek samping idiosinkratik fenobarbital
berupa ruam kulit dan diskrasia darah (jarang), sedangkan efek intoksikasi terbanyak
adalah mengantuk dan hiperaktivitas. Kadang-kadang terdapat mual, sakit kepala dan
gangguan keseimbangan. Akibat pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan
perilaku, perubahan perasaan, gangguan intelektual, penyakit tulang metabolik dan
gangguan jaringan ikat.
Pada PET Scan tampak adanya penurunan metabolisme glukosa lokal pada otak pada
37% kasus dan secara klinis ditemukan adanya depresi, gangguan tidur, konsentrasik
dan fungsi kognitif. Meskipun banyak efek sampingnya, kelebihan fenobarbital
adalah merupakan antikonvulsan yang aman dan murah. Substitusi karbanazepin
untuk fenobarbital atau fenitoin akan memperbaiki memori, konsentrasi dan
kecepatan mental-motor. Fenobarbital dapat merangsang metabolisme dan
mengurangi efektivitas antikonvulsan lain seperti karbamazepin dan fenitoin.
Pemberian bersamaan dengan asam valproat dapat menimbulkan somnolensi yang
nyata. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak diperlukan.
Fenitoin
Berguna untuk kejang tonik-klonik umum, serangan parsial (sederhana-
kompleks) dan beberapa jenis kejang lainnya. Fenitoin tidak boleh diberikan pada
serangan bangkitan atonik, karena dapat memperberat serangan bangkitan atonik.
Dosis awal adalah 200-300 mg/hari, kemudian dosis rumatan 400-1600
mg/hari, waktu paruh dalam plasma 10-80 jam, waktu tercapainya steady state 3-15

51
hari. Penggunaan bersama fenobarbital, karbamazepin, valproat, INH dan
kloramfenikol dapat meningkatkan kadar bebas fenitoin. Efek samping idiosinkratik
berupa ruam kulit, diskrasia darah dan reaksi imunologis. Efek intoksikasi berupa
vertigo, gerakan involunter, pusing, mual, nistagmus, sakit kepala, ataksia, letargi dan
perubahan perilaku. Efek samping pemberian kironik berupa hirsutisme, hipertrofi
ginggiva, gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Dapat terjadi peniggian SGOT-
SGPT yang secara klinis kurang berarti.
Efek samping yang berat adalah kelainan hematologis (trombositopenia,
leukopenia, anemia) dan sindrom Steven Jhonson. Untuk pemeriksaan rutin
diperlukan pemeriksaan darah tepi lengkap setiap tahun.

Penghentian OAE
Dalam hal penghentian OAE maka ada dua halpenting yang perlu diperhatikan, yaitu
syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan
setelah OAE dihentikan.
 Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun.
Gambaran EEG normal
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25 % dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Penghentian dimulaidari satu OAE yang bukan utama.
 Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinanya pada
keadaan sebagai berikut :
Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan semakintinggi.
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG normal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada
sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-

52
temporal, 5-25 % pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75 % epilepsi
partial kriptogenik / simtomatik, 85-95 % pada epilepsi mioklonik
pada anak.
Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapat satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
 Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali
Maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE) kemudian di
evaluasi kembali.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan.Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan
ketika hendak menghentikan OAE yakni:

1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana


penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

53
- Epilepsi simtomatik

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas


bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

STATUS EPILEPTIKUS

Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.11,12

Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena


penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu
dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)-

54
kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi
atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status


epileptikus.Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status
epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status
epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial
sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda
berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak,
anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:

1) Overt generalized convulsive status epilepticus


Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.

 Tonik klonik
 Tonik
 Klonik
 Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
 Simple motor status epilepticus
 Sensory status epilepticus
 Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
 Petit mal status epilepticus
 Complex partial status epilepticus.

55
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang


membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).Protokol
penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA).Lini pertama dalam penanganan
status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam
(Versed).Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric
acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien


yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada
tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang
berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.13,14

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan


Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi

56
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan


Benzodiazepin.Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus.Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang.Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah mencapai kadar


terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Hal ini diakibatkan oleh karena
kegagalan dari OAE untuk mengontrol fokus epileptik bukan karena dosis yang tidak
tepat, ketaatan minum OAE , ataupun kesalahan pemberian atau perubahan dalam
formulasi.

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60
menit.Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut
dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi,
hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis
kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang
epileptik.Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan
dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.

Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan


menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain
akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam,

57
Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada
kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis
awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

Gambar : Algoritma tatalaksana pada stasus epileptikus

58
Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubu

59
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah;
periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin


100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s
encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg)


intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10
mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena
dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang
berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT
jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan


kecepatan 100 mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus


intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1
mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan
apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.

60
-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg
per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam.Berikan dosis


pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

61
BAB III

Analisa Kasus

Keluhan pasien ketika datang ke RSUDAM adalah frekuensi kejang yang


meningkat dalam 3 hari SMRS. Pasien juga mengaku bahwa kejang tersebut mulai
muncul mendadak, perlahan 1 bulan sebelumnya. Sebelumnya, pasien tidak pernah
mengalami kejang.
Berdasarkan anamnesis ditemukan kejadian kejang biasanya diawali dengan Nn. NM
merasa rasa lemas pada seluruh badannya terdahulu. Pada saat kejang, keluarganya
menyatakan bahwa seluruh tubuhnya kaku selama ± 2-7 menit. Setelah kejang, Nn.
NM langsung menyadari apa yang telah terjadi. Hal-hal tersebut sesuai klasifikasi
dari kejang umum tonik-klonik yang diawali dengan aura (perasaan lemas) sebelum
masuk kepada fase iktal yaitu kejang tonik selama 5 menit dan diakhiri oleh fase
post-iktal yang menganggu kesadaran pasien sepintas.

CT-Scan menunjukkan Brain Tumor, anamnesis dari pasien sudah cukup


untuk menegakkan diagnosa Nn. NM. Frekuensi kejang yang berulang , tipe dari
kejang yaitu kejang umum Tonik-klonik yang diderita oleh Nn.NM. Epilepsi pada
Nn. N lebih tepat dibandingkan dengan penyakit infeksi ataupun tumor.

Oleh sebab itu, Nn. NM perlu mengkonsumsi obat-obatan anti kejang seperti
carbamazepine/fenitoin selama 2 tahun. Jika Ia tidak mengalami bangkitan kejang
dalam waktu tersebut, maka obat tersebut dapat diberhentikan secara perlahan dengan
cara ----.1
Salah satu aspek penting dalam kasus epilepsi pada pasien wanita usia
produktif adalah masalah kesuburan dan kehamilan. Konsumsi obat anti kejang
menginduksi enzim hati yang selanjutnya dapat menurunkan efektivitas kerja dari
hormon kontrasepsi. 5Oleh sebab itu, wanita yang mengkonsumsi obat-obatan anti
epilepsi harus diberikan edukasi mengenai pencegahan kehamilan dengan metode lain
selain dengan pil kontrasepsi. Jika memungkinkan, pemilihan obat anti-epilepsi juga

62
dapat disesuaikan sehingga obat tersebut tidak berhubungan dengan peningkatan
kerja enzim di hati yang dapat menganggu kerja pil kontrasepsi. Berikut adalah daftar
obat-obat tersebut:6

63
BAB IV

Referensi

1. PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Kejang dan Epilepsi.


Perhimpunan Dokter Saraf 2007.
2. S. William, WM. Chelsea, SE Joseph. Adult onset epilepsies, DW
Chadwick. From Cell to Community-A practical guide to epilepsy.
National Society for Epilepsy. 2007. pp 127-132.
3. GJ Tucker. Textbook Of Traumatic Brain Injury: Seizures. American
Psychiatric Publication. 2005. pp. 309–321
4. J Mani,E Barry. Posttraumatic epilepsy: The Treatment of Epilepsy:
Principles and Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins.
2006. pp. 521–524
5. Coulam CB, Annegers JF. Do anticonvulsants reduce the efficacy of the
oralcontraceptive? Epilepsia. 1979;20:519-25.
6. Shorvon SD, Tallis RC, Wallace HK. Antiepileptic drugs: coprescription
of proconvulsant drugs and oral contraceptives: a national study of
antiepileptic drug prescribing practice. Journal of Neurology,
Neurosurgery and Psychiatry. 2002;72:114-5.
7. Samren EB, van Duijn CM, Koch S, Hiilesmaa VK, Klepel H, Bardy AH,
et al. Maternal use of antiepileptic drugs and the risk of major congenital
malformations: a joint european prospective study of human teratogenesis
associated with maternal epilepsy. Epilepsia. 1997;38:981-90.
8. Kaneko S, Battino D, Andermann E, Wada K, Kan R, Takeda A, et al.
Congenital malformations due to antiepileptic drugs. Epilepsy Research.
1999;33:145-58.
9. Scottish Intercollegiates Guidelines Network. Diagnosis and Management
of Epilepsies in Adults. April 2003. Retrieved 18 April 2013.

64

You might also like