You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang
sangat mengganggu yang melibatkan proses pikir, emosi, persepsi dan tingkah laku.
Skizofrenia merupakan golongan psikosa yang ditandai dengan tidak adanya pemahaman diri
(insight) dan ketidakmampuan menilai realitas (RTA). Pasien skizofrenia datang ke rumah
sakit karena adanya gejala waham, halusinasi dan gejala-gejala yang tidak bisa ditoleransi
oleh masyarakat.1
Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan, tetapi
laki-laki memiliki onset lebih awal daripada perempuan. Puncak insidensi antara usia 15-24
tahun pada laki-laki dan pada perempuan lebih terlambat. Antara 100000-200000 kasus
skizofrenia baru diobati di Amerika setiap tahunnya. Diperkirakan 2 juta orang Amerika
didiagnosis skizofrenia dan lebih dari 1 juta mendapatkan terapi psikiatrik setiap tahunnya.
Pada saat ini mulai dikenal skizofrenia anak (sekitar 8 tahun bahkan ada yang 6 tahun) dan
late onset skizofrenia (usia lebih dari 45 tahun). Berbagai hal lain yang bisa meningkatkan
seseorang mengidap skizofrenia, yaitu memiliki garis keturunan skizofrenia, terajangkit virus
dalam kandungan, kekurangan gizi saat dalam kandungan, stressor lingkungan yang tinggi,
memakai obat-obatan psikoaktif saat remaja dan lain-lain.1
Sementara menurut Kaplan, Sadock onset untuk laki-laki 15 sampai 25 tahun
sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki-laki daripada pada
wanita. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa pria lebih mungkin memunculkan gejala
negatif dibandingkan wanita, dan wanita memiliki fungsi sosial yang baik daripada pria. Pada
kesimpulannya individu pada umur berapapun rawan menderita skizofrenia bila faktor
biologis berinteraksi dengan faktor psikologis dan sosial.2
Studi Bank Dunia pada tahun 1995 di beberapa Negara menunjukkan bahwa hari-hari
produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) sebesar 8.1% dari Global
Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Status jiwa yang buruk akan
menurunkan produktifitas sehingga menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SKIZOFRENIA
1. Pengertian Skizofrenia
Kata skizofrenia pertama kali diidentifikasi pada 1908 oleh ahli psikiatri
Swiss, Eugen Bleuer, untuk mendeskripsikan sekumpulan gangguan mental yang
dikarakteristikkan sebagai pikiran (phrenia) yang pecah (schizo). Konsep skizofrenia
Bleuer didasarkan pada gambaran sekumpulan gangguan jiwa yang disebut demensia
prekoks oleh ahli psikiatri Jerman, Emil Kraepelin, pada 1896.1,2 PPDGJ III
(Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III)
menempatkan skizofrenia pada kode F20.4
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai dengan
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta
oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang
jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara.
Walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.4
Mengingat kompleksnya gangguan skizofrenia, untuk mendapatkan hasil
terapi yang optimal, klinikus perlu memperhatikan beberapa fase gangguan
skizofrenia yaitu fase prodromal, fase aktif, dan fase residual. Hasil akhir yang ingin
dicapai adalah penderita skizofrenia dapat kembali berfungsi dalam bidang pekerjaan,
sosial, dan keluarga.
Pada fase prodromal biasanya timbul gejala – gejala yang nonspesifik yang
lamanya bisa minggu, bulan, ataupun labih dari satu tahun sebelum onset psikotik
menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi
penggunaan waktu luang, dan fungsi perawatan diri. Perubahan – perubahan ini akan
mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan
mengatakan “orang ini tidak seperti dulu”. Semakin lama fase prodromal, semakin
buruk prognosisnya.
Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua
individu datang pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala – gejala tersebut
dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif
akan diikuti oleh fase residual dimana gejala – gejalanya sama dengan fase prodromal
tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala – gejala yang
terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan
kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan,
dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).
Seseorang dikatakan memasuki fase prodromal atau fase residual jika
memenuhi minimal dua dari kriteria berikut (1) isolasi sosial atau penarikan diri; (2)
perburukan fungsi sebagai pekerja, siswa, atau fungsi dalam rumah; (3) bertingkah
laku aneh (misalnya mengumpulkan sampah, berbicara sendiri di depan umum, atau
menimbun makanan); (4) perburukan dalam hal kebersihan dan perawatan diri; (5)
afek tumpul, datar atau tidak wajar; (6) bicara tidak agresif, tidak jelas, sangat rumit,
berputar – putar, atau metafora; (7) memunculkan ide yang aneh, berpikiran gaib
(seperti tembus pandang, telepati, “indera keenam”, “orang lain dapat merasakan
pikiran saya”), pemikiran sangat ingin dihargai, waham referensi; (8) persepsi
pengalaman yang tidak biasa, seperti merasakan kehadiran keuatan atau seseorang
yang sebenarnya tidak ada.5,6

2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia


Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III.
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): 4
1) - “thought echo”= isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isnya sama namun
kualitasnya berbeda
- “thought insertion or withdrawl” yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya
- “thought broadcasting” yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
2) - “delusion of control” yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu
kekuatan tertentu dari luar
- “ delusion of influence yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekutan tertentudari luar atau
- “ delusion of passivity” yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau pengindraan khusus)
- “delusional perception” yaitu pengalaman indrawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat).
3) Halusinasi Pendengaran
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien
atau;
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara) atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
4) Waham-waham menetap jenis lainnya menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

b. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
1) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-value ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu atau berbulan-bulan
terus menerus
2) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
3) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor
4) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan mennurunnya kinerja sosial; tetapi harus
jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan depresi atau neuroleptika
c. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)

d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dan dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.4

3. Klasifikasi skizofrenia
a. Skizofrenia paranoid: Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia, adanya
waham dan atau halusinasi yang menonjol, adanya gangguan afektif, dorongan
kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak
menonjol
b. Skizofrenia hebrefenik : memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia, onset
biasanya mulai 15-24 tahun, adanya gejala yang mencolok yaitu bicara kacau,
gangguan kebiasaan, afek yang datar dan tidak sesuai, kriteria tidak ditemukan pada
tipe katatonik
c. Skizofrenia katatonik : memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia, terdapat
satu atau lebih yang mendoinasi gambaran klinisnya yaitu stupor, gaduh gelisah,
menampilkan posisi tubuh tertentu , negativisme, rigiditas, flexibilitas cerea/ waxy
flexibility, dan gejala lain seperti command automatism.
d. Skizofrenia undifferented: tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
paranoid, hebrefenik, atau katatonik
e. Skizofrenia residual: Tidak adanya waham menetap, halusinasi,gangguan bicara,
gangguan yang nyata atau perilaku katatonik, adanya gejala negativ atau adanya
dua atau lebih gejala yang ada pada kriteria umum skizofrenia.
f. Skizofrenia Simplek: Diagnosis skizofrenia simplek sulit dibuat secara meyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, wahamatau manifestasi lain dari episode psikotik dan disertai
dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup
dan penarikan diri secara sosial. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya
dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.4

4. Etiologi skizofrenia
Penyebab pasti dari skizofrenia sebenarnya belum diketahui. Berikut ini adalah
beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun faktor-faktor
yang berpengaruh antara lain:
a. Faktor Genetik
Dalam studi terhadap keluarga menyebutkan pada orangtua 5.6%; saudara kandung
10.1 %; anak-anak 12.8 %; dan penduduk secara keseluruhan 0.9 %. Dalam studi
terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik (monozygote) 59.2
%, sedangkan kembar non identik atau fraternal (dizygote) adalah 15.2 %.1
Risiko berkembang menjadi skizofrenia pada masyarakat umum 1%, pada
orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8% dan pada anak 15%-20% apabila
salah satu orang tua menderita skizofrenia walaupun anak telah dipisahkan dari orang
tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 30%-40%, pada kembar
monozigot 40%-50%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar 5%-10%. Dari
penelitian epidemiologi keluarga terlihat bahwa resiko untuk keponakan adalah 3%,
masih lebih tinggi dari populasi umum yang hanya 1%. Demikian juga dari penelitian
anak yang diadopsi dikatakan, anak penderita skizofrenia yang diadopsi orang tua
normal, tetap mempunyai resiko 16.6%, sebaliknya anak sehat yang diadopsi
penderita skizofrenia resiko 1.6%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
semakin dekat hubungan keluarga biologis semakin tinggi resiko terkena
skizofrenia.1,2
b. Faktor Biokimia
Ada beberapa neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya
skizofrenia. Dua diantaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter dopamin dan
serotonin. Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan
adanya aktivitas berlebihan dari dopamin atau peningkatan jumlah hipersensitivitas
reseptor dopamin dalam otak.7,8 Peningkatan kadar dopamin ini ternyata
mempengaruhi fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor
(perilaku) yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif
skizofrenia.1
Menurut Mesholam gately et.al dalam jurnal neurocognition in first episode
schizophrenia: meta analytic review (2009), gangguan neurokognisi adalah fitur
utama episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat sistem
kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal. Penelitian juga menyebutkan
bahwa serotoin, norepinefrin, glutamat dan GABA juga berperan dalam menimbulkan
gejala-gejala skizofrenia.9
Pada study fMRI dimana efek glutamat dalam fungsi kognitif telah
diinvestigasi oleh manipulasi level dari transmisi glutamatergik selama penggunaaan
memantine. Memantine mengurangi aksi glutamat pada reseptor NMDA dan sering
digunakan untuk mengobati penyakit alzheimer, karena itu menguurangi efek
exsisitotoxik. Memantine mempunyai efek menurunkan aktivasi neuron di regio peri-
Sylvian, terutama di sisi kiri. Menurut cf. Bartha et al. (1999) dan Tritsch et al. (2007)
diperkirakan bahwa defisiensi transmisi glutametergik pada halusinasi pendengaran
yang akan memicu pengalaman mendengar suara.10
c. Faktor Biologis
Pada pasien skizofrenia ditemukan beberapa perubahan diantaranya perubahan
morfologi, imunologi, enzimatik, dan farmakologi. Adanya pelebaran ventrikel pada
pasien skizofrenia dihubungkan dengan kegagalan kognitif yang hebat, adanya gejala
negatif seperti anhedonia dan apatis, resisten terhadap pengobatan.7
d. Abnormalitas perkembangan otak janin
Faktor-faktor yang dapat mengganggu perkembangan otak janin antara lain adanya
infeksi virus atau infeksi lain selama kehamilan, menurunnya autoimun yang mungkin
disebabkan infeksi selama kehamilan, adanya berbagai macam komplikasi
kandungan, dan malnutrisi pada trimester pertama.1,9
e. Abnormalitas struktur dan aktivitas otak
Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, tekhnik pencitraan otak (CT, MRI
dan PET) telah menunjukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang meliputi
pelebaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal
penurunan aktivitas metabolik dibagian-bagian otak tertentu, atrofi serebri. Para
penderita skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai
penukar informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi mental jauh lebih tidak
aktif dibanding orang normal.1,2,7
f. Proses psikososial dan lingkungan
Stressor psikososial dalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut terpaksa mengadakan
penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stressor yang timbul. Namun tidak
semua oang mampu melakukan adaptasi sehingga timbullah keluhan kejiwaan.
Stressor psikososial dapat digolongkan sebagai berikut:
 Perkawinan
Permasalahan perkawinan menjadi sumber stress bagi seseorang misalnya
pertengkaran, perceraian dan kematian salah satu pasangan.
 Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua misalnya tidak memiliki anak, kebanyakan
anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan yang tidak baik antara anggota
keluarga. Permasalahan tersebut diatas bila tidak dapat diatasi oleh yang
bersangkutan maka seseorang akan jatuh sakit.1
 Hubungan interpersonal
Adanya konflik antarpribadi merupakan sumber stress bagi seseorang yang bila
tidak dapat diperbaiki maka seseorang akan jatuh sakit.1
 Pekerjaan
Stress pekerjaan misalnya seseorang yang kehilangan pekerjaan, pensiun,
pekerjaan yang terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi dan jabatan.1
 Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan sosial dimana seseorang itu hidup. Stressor lingkungan hidup
antara lain masalah perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran dan hidup
dalam lingkungan yang rawan kriminalitas. Rasa tidak aman dan tidak terlindungi
membuat jiwa seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenangan dan
ketentraman hidup yang lama-kelamaan daya tahan tubuh seseorang akan turun
dan pada akhirnya akan jatuh sakit.1
 Keuangan
Kondisi sosial ekonomi yang tidak sehat mislanya pendapatan jauh lebih rendah
daripada pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, warisan dan lain
sebagainya merupakan sumber stress.1
 Hukum
Keterlibatan seseorang terhadap hukum menjadi sumber stress bagi seseorang.1
 Perkembangan
Perkembangan fisik maupun perkembangan mental seseorang. Kondisi setiap
perubahan fase-fase perkembangan tidak selamanya dapat dilampaui dengan baik,
jadi dapat menjadi sumber stress.1
 Penyakit fisik atau cidera
Penyakit dapat menjadi sumber stres yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan
seseorang terutama penyakit kronis.1
 Faktor keluarga
Sumber stres bagi anak remaja yaitu hubungan kedua orangtua yang kurang baik,
orang tua yang jarng dirumah, komunikasi antara anak dan orang tua tidak baik,
perceraian kedua orang ua, salah satuorang tua menderita gangguan kejiwaan dan
orang tua yang pemarah.1
g. Sosioekonomi dan faktor kebudayaan
Prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada kelompok dengan sosioekonomi rendah dan
anak dari imigran generasi pertama.7
h. Rokok dan Penyalahgunaan NAPZA
Gangguan skizoid dapat dicetuskan atau disebabkan oleh pengguanaan kanabis
(ganja, gelek, marijuana). Hasil penelitian terhadap 152 subjek episode pertama
skizofrenia di West London didapatkan bahwa 60% subjek adalah perokok, 27% ada
riwayat penggunaan alkohol, 35% sedang terlibat NAPZA (tidak termasuk alkohol),
dan 68% adalah pengguna NAPZA selama hidupnya.6

5. Pengobatan Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit yang cenderung berlanjut (kronis atau menahun) maka
terapi yang diberikan memerlukan waktu relatif lama berbulan bahkan sampai bertahun,
hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relaps). Terapi yang
komperehensif dan holistik telah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi
mengalami diskriminasi dan lebih manusiawi dibandingkan dengan pengobatan
sebelumnya. Adapun terapi yang dimaksud adalah:
a. Psikofarmaka
Obat psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan ditujukan untuk menghilangkan
gejala skizofrenia. Golongan obat psikofarmaka yang sering digunakan di Indonesia
(2001) terbagi dua: golongan generasi pertama (typical) dan generasi kedua
(atypical). yang termasuk golongan typical antara lain chlorpromazine HCl ,
trifluoperazine, dan Haloperidol. Sedangkan golongan atypical antara lain:
risperidone, clozapine, quetiapine, olanzapine, zotetine dan aripriprazmidol. Menurut
Nemeroff (2001) dan Sharma (2001) obat atypical memiliki kelebihan antara lain:
Dapat menghilangkan gejala positif dan negatif, Efek samping Extra Piramidal
Symptoms (EPS) sangat minimal atau boleh dikatakan tidak ada, dan Memulihkan
fungsi kognitif.1
Sedangkan Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
pemakaian obat golongan typical 30% penderita tidak memperlihatkan perbaikan
klinis bermakna, diakui bahwa golongan obat typical hanya mampu mengatasi gejala
positif tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejala negative.1
b. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy (ECT) diberikan pada penderita skizofrenia kronik.
Tujuannya adalah memperpendek serangan skizofrenia, mempermudah kontak
dengan penderita, namun tidak dapat mencegah serangan ulang.2
c. Psikoterapi
Psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan
terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai
realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi diberikan
dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang
penderita sebelum sakit. Contohnya adalah: psikoterapi suportif dimaksudkan untuk
memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa.
Psikoterapi suportif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
mekasudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu yang lalu. Psikoterapi
rekonstruktif dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah
mengalami keretakan menjadi kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
Psikoterapi kognitif diamksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif rasional
sehingga penderita mampu membedakan nilai – nilai moral etika mana yang baik dan
buruk, mana yang boleh dan tidak dan sebagainya. Psikoterapi perilaku dimaksudkan
untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu
menyesuaikan diri. Psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk memulihkan penderita
dan keluarganya.1,6
d. Psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain. Selama menjalani terapi psikososial penderita hendaknya
masih menkonsumsi obat psikofarmaka. Penderita diusahakan untuk tidak
menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan, dan banyak bergaul.1,7
e. Psikoreligius
Dari penelitian yang dilakukan, secara umum memang menunjukkan bahwa
komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya di bidang klinik (religius
commitment is assosiated with clinical benefit). Dari hasil penelitian Larson, dkk
(1982) didapatkan bahwa terapi keagamaan mempercepat penyembuhan. Terapi
keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian tersebut berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.1
f. Rehabilitasi
Program rehabilitasi penting dilakukan sebagai persiapan penempatan kembali
penderita ke keluarga dan masyarakat. Program ini biasanya dilakukan di lembaga
(institusi) rehabilitasi misalnya di rumah sakit jiwa. Dalam program rehabilitasi
dilakukan berbagai kegiatan antara lain: terapi kelompok, menjalankan ibadah
keagamaan bersama, kegiatan kesenian, terapi fisik seperti olah raga, keterampilan
khusus/kursus, bercocok tanam, rekreasi dan lain – lain. Pada umumnya program
rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling
sedikit dua kali yaitu sebelum dan sesudah program rehabilitasi atau sebelum
penderita dikembalikan ke keluarga dan masyarakat.1

5. Prognosis
Gejala premorbid merupakan gejala awal dari penyakit dan mulai pada masa remaja
diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa
bulan. Onset gejala yang mengganggu terlihat setelah tercetus oleh perubahan sosial atau
lingkungan. Sindrom prodromal dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum
onset gejala psikotik yang jelas. Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki
periode pemulihan yang bertahap diikuti periode fungsi yang relatif normal. Tetapi relaps
biasanya terjadi dalam lima tahun pertama setelah diagnosis, diikuti oleh pemburukan
lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah suatu
eksaserbasi dan remisi. Gejala positif dari skizofrenia cenderung lebih baik dibanding
dengan gejala negatif yang dapat menimbulkan ketidakmampuan secara sosial.
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronis, pasien secara berangsur –
angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi selama bertahun – tahun.
Beberapa penelitian telah menemukan lebih dari periode waktu 5 sampai 10 tahun
setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit jiwa, hanya 10%-20% memiliki
hasil yang baik. Lebih dari 50% memiliki hasil buruk dengan perawatan berulang di
rumah sakit, eksaserbasi gejala, gangguan mood berat dan ada usaha bunuh diri. Rentang
angka pemulihan berkisar 10%-60%, kira – kira 20%-30% dari penderita terus
mengalami gejala yang sedang dan 40%-60% dari penderita terus mengalami gangguan
secara bermakna seumur hidup.7

6. Komplikasi skizofrenia
Orang dengan gangguan jiwa khususnya depresi dan skizofrenia memiliki risiko tinggi
melakukan bunuh diri. Risiko bunuh diri pada penderita skizofrenia yaitu sebesar 46,3 %
sedangkan pada pasien depresi risiko bunuh diri sebesar 26,8 %.11,12 Apabila terdapat
gangguan pada perkembangan otak janin selama kehamilan (epigenetic factor), maka
interaksi antara gen yang abnormal yang sudah ada dengan faktor epigenetik tersebut
dapat memunculkan gejala skizofrenia.1

B. GANGGUAN WAHAM MENETAP


1. Definisi
Gangguan waham menetap adalah suatu gangguan psikiatrik dimana gejala
yang utama adalah waham.13

2. Epidemiologi
Pemeriksaan akurat tentang epidemiologi gangguan waham menetap dihalangi
oleh relatif jarangnya gangguan ini. Selain itu juga karena pasien dengan gangguan
waham menetap jarang mencari gangguan psikiater kecuali bila dipaksa oleh
keluarganya. Walaupun adanya keterbatasan tersebut, literatur mendukung pendapat
bahwa gangguan waham menetap, walaupun merupakan suatu gangguan yang jarang
namun memang ada dalam populasi dengan angka yang tidak tetap.13
Prevalensi terjadinya gangguan waham menetap di Amerika Serikat
berdasarkan DSM-IV-TR adalah sekitar 0,03%, dimana angka ini jauh dibawah angka
kejadian skizofrenia (1%) dan gangguan mood (5%).13,14 Insidensi tahunan gangguan
waham menetap adalah 1 sampai 3 kasus baru per 100.000 populasi, yaitu kira-kira 4%
dari semua perawatan pertama pasien psikiatrik. Usia rata-rata adalah kira-kira 40
tahun, tetapi rentang usia untuk onsetnya adalah berkisar antara 18 tahun sampai 90
tahun.4 Namun, studi lain yang dilakukan di Spanyol pada tahun 2008 berdasarkan
rekam medis di suatu rumah sakit, mendapati 370 pasien yang dirawat, didiagnosa
dengan gangguan waham menetap, dimana ditemukan rata-rata usia pesien-pasien
adalah 55 tahun. Wanita lebih sering menderita gangguan waham menetap dengan
rasio 3:1.14

3. Etiologi
Etiologi dari gangguan waham menetap masih belum dikathui secara pasti.13
Terdapat beberapa sangkaan mengenai terjadinya gangguan waham menetap. Data
yang paling mendukung berasal dari keluarga yang melaporkan suatu peningkatan
prevalensi terjadinya gangguan waham menetap (4,8%), dimana gangguan waham
menetap lebih sering terjadi pada seseorang dengan riwayat keluarga menderita
penyakit yang sama atau menderita skizofrenia. Selain itu juga terdapat teori
biologikal yang menghubungkan kejadian gangguan wahan menetap akibat adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter di otak.15,16

4. Gambaran Klinis
a. Status Mental
 Deskripsi Umum
Pasien biasanya berdandan dengan baik dan berpakian baik, tanpa bukti
adanya disintegritas nyata pada kepribadian atau aktifitas harian. Tetapi pasien
mungkin terlihat aneh, pencuriga atau bermusuhan.13
 Mood, Perasaan dan Afek
Mood pasien biasanya konsisten atau sejalan dengan isi waham. Misalnya
pasien dengan waham kejar akan curiga.13
 Gangguan Persepsi
Menurut DSM-IV-TR, halusinasi raba atau cium mungkin ditemukan jika hal
tersebut konsisten dengan waham.13
 Pikiran
Gangguan isi pikiran berupa waham merupakan gejala utama dari gangguan
ini. Waham biasanya bersifat sistematis dan karakteristiknya adalah dimungkinkan.13

b. Sensorium dan Kognisi


 Orientasi dan Daya Ingat
Pasien dengan gangguan waham menetap biasanya tidak memiliki kelainan
dalam orientasi, serta daya ingat dan proses kognitif lainnya tidak terganggu.13
 Pengendalian Impuls
Klinis harus memeriksa pasien dengan gangguan waham menetap untuk
menentukan ada atau tidak gagasan atau rencana melakukan material wahamnya
dengan bunuh diri, membunuh atau melakukan tindakan kekerasan. Insidensinya
tidak diketahui pada penyakit ini.13
 Pertimbangan dan Tilikan
Pasien dengan gangguan waham menetap hampir seluruhnya tudak memiliki
tilikan terhadap konsisi mereka dan hampir seluruhnya dibawa ke rumah sakit oleh
keluarga, perusahaan atau polisi.13
 Kejujuran
Pasien dengan gangguan waham menetap biasanya dapat dipercaya dalam
informasinya.13

5. Tipe-Tipe
Terdapat beberapa tipe pada gangguan waham menetap, yaitu :
a. Tipe Kejar (Persecutory Type)
Tipe ini adalah tipe gangguan waham menetap yang paling sering dijumpai.14
Waham kejar mungkin sederhana atau terperinci dan biasanya berupa tema tunggal
atau sejumlah tema yang berhubungan, seperti disekongkoli, dicurangi, dimata-matai,
diikuti, diracuni, difitnah secara kejam, diusik atau dihalang-halangi dalam menggapai
tujuan jangka panjang. Hinaan kecil dapat menjadi besar dan menjadi pusat sistem
waham. Orang dengan waham kejar seringkali membenci, marah, dan mungkin
mereka melakukan kekerasan terhadap orang ain yang diyakininya akan menyerang
dirinya. Yang membedakannya dengan tipe kejar pada skizofrenia adalah waham pada
gangguan waham menetap umumnya tersistematisasi, koheren dan dapat dibenarkan
secara logika. Seringkali orang dengan waham kejar menolak untuk mencari
bantuan.13
b. Tipe Erotomania (Erotomanic Type)
Gangguan waham menetap tipe ini memiliki beberapa nama lain seperti
sindroma De Cleambault atau psychose passionelle. Pada tipe erotomanik, waham inti
adalah bahwa pasien dicintai mati-matian oleh seseorang, dimana orang yang
dibanyangkannya biasanya berasal dari strata status yang lebih tinggi darinya, seperti
bintang film atau atasan kerja, atau dapat pula seseorang yang sudah menikah atau
seseorang yang tidak mungkin digapai.14 Pasien dengan waham erotomanik adalah
sumber gangguan bermakna terhadap masyarakat.13
c. Tipe Kebesaran (Grandiose Type)
Gangguan waham menetap tipe ini juga disebut megalomania. Bentuk paling
umum dari waham kebesaran adalah keyakinan bahwa dirinya memiliki wawasan atau
bakat yang luar biasa tetapi tidak diketahui, atau membuat penemuan penting, dimana
pasien telah dibawa ke berbagai badan pemerintahan seperti FBI. Waham yang lebih
jarang adalah bahwa penderita memiliki hubungan khusus dengan seseorang yang
terkemuka atau isi waham religius, dimana penderita menjadi pemimpin sekte
religius.13
d. Tipe Cemburu (Jealous Type)
Gangguan waham menetap tipe ini juga dikenal dengan conjugal paranoia dan
sindroma Othello. Waham tipe ini lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita.
Waham ini jarang dijumpai, hanya sekitar kurang dari 0,2% dari semua pasien
psikiatrik. Onsetnya seringkali mendadak dan gejalanya akan menghilang hanya
setelah perpisahan atau kematian pasangannya. Waham cemburu dapat menyebabkan
penyiksaan verbal dan fisik yang bermakna terhadap pasangannya dan bahkan dapat
menyebabkan pembunuhan.13
e. Tipe Somatik (Somatic Type)
Waham tipe ini juga dikenal sebagai psikosis hipokondriakal
monosimptomatik. Perbedaan antara hipokondriasis dengan gangguan waham menetap
tipe somatik terletak pada derajat keyakinan yang dimiliki pasien tentang anggapan
adanya penyakit dalam dirinya.13
f. Tipe Campuran (Mixed Type)
Pasien menunjukkan lebih dari satu tipe waham diatas dan tidak ada satu tema
waham yang menonjol.14
g. Unspecified Type)
Pasien menunjukkan tema waham yang tidak memenuhi salah satu waham
diatas. Sebagai contoh misidentifikasi sindroma, seperti sindroma Capgras, yaitu
keadaan yang dikarakteristikan dimana pasien percaya bahwa anggota keluarganya
telah di gantikan dengan seorang penipu ulung.13

6. Diagnosis
Untuk mendiagnosa suatu gangguan waham menetap, dapat digunakan kriteria
berdasarkan DSM-IV-TR, yaitu15 :
A : Waham yang tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang terjadi didalam kehidupan
nyata, seperti sedang diikuti, diracuni, ditulari virus, dicintai dari jarak jauh atau
dikhianati oleh pasangan atau kekasih atau menderita suatu penyakit) selama
sekurangnya 1 bulan.
B : Kriteria A untuk skizofrenia tidak terpenuhi (pasein tidak menunjukkan gejala
halusinasi yang dominan, bicara terdisorganisasi, gejala negatif seperti afek datar).
Catatan : halusinasi taktil dan cium mungkin ditemukan pada gangguan delusional jika
berhubungan dengan waham.
C : Terleps dari gangguan waham (-waham) atau percabangannya, fungsi tidak
terganggu dengan jelas dan perilaku tidak jelas aneh atau kacau.
D : Jika episode mood telah terjadi secara bersama-sama dengan waham, lama totalnya
adalah relatif singkat dibandingkan lama periode waham.
E : Gangguan adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
From American Psychiatric Association : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disodred, 4th Ed. Washington, DC :
American Psychiatric Association; 1994, with permission.

7. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita
gangguan waham menetap, yaitu :
a. Perawatan di Rumah Sakit
Pada umumnya pasien dengan gangguan waham menetap dapat diobati
atas dasar rawat jalan. Tetapi klinis harus mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis pada diri pasien untuk
menentukan apakah terdapat kondisi medis nonpsikiatrik yang menyebabkan
penyakit ini. Kedua, pasien perlu diperiksa tentang kemampuannya
mengendalikan impuls kekerasan yang mungkin berhubungan dengan waham.
Ketiga, perilaku tentang waham mungkin secara bermakna telah memperngaruhi
kemampuannya untuk berfungsi didalam keluarga atau pekerjaannya.13
b. Farmakoterapi
Antipsikotik telah digunakan sejak tahun 1970 sebagai pengobatan
gangguan waham menetap. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa
Pimozide(Orap) mungkin efektif pada gangguan waham menetap tipe somatik.13
Terapi kombinasi sering dilakukan, termasuk mengkombinasi obat antipsikotik
dengan antidepresan. Secara keseluruhan, penderita gangguan waham menetap
sangat berespon terhadap pengobatan (antipsikosit) yang diberikan, dimana 50%
dilaporkan sembuh dari gejalanya, 90% menunjukkan adanya perubahan dari
klinisnya.14
c. Psikoterapi
Memberikan informasi dan edukasi yang benar mengenai penyakit
pasien, sehingga diharapkan keluarga dapat menerima pasien dan mendukungnya
ke arah penyembuhan. Memberitahukan kepada keluarga untuk tidak
memberikan tekanan emosional kepada pasien, Keluarga juga diharapkan mampu
mengawasi kepatuhan pasien untuk kontrol minum obat, dan meminta keluarga
untuk lebih mendengarkan dan berkomunikasi dengan pasien.1 Tanda terapi yang
berhasil mungkin adalah suatu kepuasan penyesuaian sosial.13

8. Prognosis
Gangguan waham menetap diperkirakan merupakan diagnosis yang cukup
stabil. Kurang dari 25% dari semua pasien gangguan waham menetap menjadi
skizofrenia. Kira-kira 50% psien pulih pada follow up jangka panjang, 20% lainnya
mengalami penurunan gejalanya dan 30% lainnya tidak mengalami perubahan pada
gejalanya.13
C. PSIKOTIK AKUT
1. Definisi
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan
individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau
perilaku kacau/aneh.4
Gangguan psikotik singkat/akut didefinisikan sebagai suatu gangguan kejiwaan
yang terjadi selama 1 hari sampai kurang dari 1 bulan, dengan gejala psikosis, dan
dapat kembali ke tingkat fungsional premorbid.2

Dalam PPDGJ-III Gangguan psikosis akut dan sementara adalah sekelompok


gangguan jiwa yang :
1. Onsetnya akut ( 2 minggu)
2. Sindrom polimorfik
3. Ada stresor yang jelas
4. Tidak memenuhi kriteria episode manik atau depresif
5. Tidak ada penyebab organik

2. Etiologi
Didalam DSM III faktor psikososial bermakna dianggap menyebabkan
psikosis reaktif singkat, tetapi kriteria tersebut telah dihilangkan dari DSM IV.
Perubahan dalam DSM IV menempatkan diagnosis gangguan psikotik singkat
didalam kategori yang sama dengan banyak diagnosis psikiatrik utama lainnya yang
penyebabnya tidak diketahui dan diagnosis kemungkinan termasuk gangguan yang
heterogen.2
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada
pasien dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau
psikologis terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat,
seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit
parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat memicu
psikosis reaktif singkat. Beberapa studi mendukung kerentanan genetik untuk
gangguan psikotik singkat.2
3. Patofisiologi
Hipotesis dopamine pada gangguan psikosis serupa dengan penderita
skizofrenia adalah yang paling berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan
dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Hipotesis ini menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Beberapa bukti
yang terkait hal tersebut yaitu: (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat
reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik
frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa
(suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis
reseptor dopamine langsung), baik yangdapat mengakibatkan skizofrenia atau
psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti,
postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan
obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan
peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau
yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang
yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien
skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit
dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine. Namun teori dasar tidak
menyebutkan hiperaktivitas dopaminergik apakah karena terlalu banyaknya pelepasan
dopaminergik, terlalu banyaknya reseptor dopaminergik atau kombinasi mekanisme
tersebut. Neuron dopaminergik di dalam jalur mesokortikal dan mesolimbik berjalan
dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan
korteks serebral.17

4. Gambaran klinis
Gambaran utama pada psikosis akut dapat diperlihatkan oleh pasien berupa:
1. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
2. Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
3. Kebingungan atau disorientasi
4. Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri,
kecurigaan berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara
dan tertawa serta marah-marah atau memukul tanpa alasan.2
Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurang-kurangnya satu
gejala psikosis utama, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu
memasukkan keseluruhan pola gejala yang ditemukan pada skizofrenia. Beberapa
klinisi telah mengamati bahwa gejala afektif, konfusi dan gangguan pemusatan
perhatian mungkin lebih sering ditemukan pada gangguan psikotik singkat daripada
gangguan psikotik kronis. Gejala karakteristik untuk gangguan psikotik singkat
adalah perubahan emosional, pakaian atau perilaku yang aneh, berteriak teriak atau
diam membisu dan gangguan daya ingat untuk peristiwa yang belum lama terjadi.
Beberapa gejala tersebut ditemukan pada gangguan yang mengarahkan diagnosis
delirium dan jelas memerlukan pemeriksaan organik yang lengkap, walaupun
hasilnya mungkin negatif.4
Pemeriksaan status mental biasanya hadir dengan agitasi psikotik parah yang
mungkin terkait dengan perilaku aneh, tidak kooperatif, agresif fisik atau verbal,
tidak teratur berbicara, berteriak atau kebisuan, suasana hati labil atau depresi, bunuh
diri, membunuh pikiran atau perilaku, kegelisahan, halusinasi, delusi, disorientasi,
perhatian terganggu, konsentrasi terganggu, gangguan memori, dan wawasan
miskin.18
Seperti pada pasien psikiatrik akut, riwayat yang diperlukan untuk membuat
diagnosis mungkin tidak dapat diperoleh hanya dari pasien. Walaupun adanya gejala
psikotik mungkin jelas, informasi mengenai gejala prodromal, episode suatu
gangguan mood sebelumnya, dan riwayat ingesti zat psikotomimetik yang belum
lama mungkin tidak dapat diperoleh dari wawancara klinis saja. Disamping itu, klinis
mungkin tidak mampu memperoleh informasi yang akurat tentang ada atau tidaknya
stressor pencetus.18
Contoh yang paling jelas dari stres pencetus adalah peristiwa kehidupan yang
besar yang dapat menyebabkan kemarahan emosional yang bermakna pada tiap
orang. Peristiwa tersebut adalah kematian anggota keluarga dekat dan kecelakaan
kendaraan yang berat. Beberapa klinis berpendapat bahwa keparahan peristiwa harus
dipertimbangkan didalam hubungan dengan kehidupan pasien. Walaupun pandangan
tersebut memiliki alasan, tetapi mungkin memperluas definisi stressor pencetus
dengan memasukkan peristiwa yang tidak berhubungan dengan episode psikotik.
Klinisi lain berpendapat bahwa stressor mungkin merupakan urutan peristiwa yang
menimbulkan stress sedang, bukannya peristiwa tunggal yang menimbulakan stress
dengan jelas. Tetapi penjumlahan derajat stress yang disebabkan oleh urutan
peristiwa memerlukan suatu derajat pertimbangan klinis yang hampir tidak
mungkin.18

5. Diagnosis
a. PPDGJ III
Pedoman diagnostik
1.) Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminkan urutan prioritas yang
diberikan untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas
yang digunakan adalah
a) Onset yang akut (dalam masa 2 minggu atau kurang sama dengan
jangka waktu gejala-gejala psikotik menjadi nyata dan mengganggu
sedikitnya beberapa aspek kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, tidak
termasuk periode prodormal yang gejalanya sering tidak jelas) sebagai
ciri khas yang menentukan seluruh kelompok.
b) Adanya sindrom yang khas (berupa polimorfik = beraneka ragam dan
berubah cepat, atau schizophrenia-like = gejala skizofrenik yang khas)
c) Adanya stress akut yang berkaitan
d) Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung
2.) Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi criteria episode
manic atau episode depresif, walaupun perubahan emosional dan gejala-gejala
afektif individual dapat menonjol dari waktu ke waktu
3.) Tidak ada penyebab organik, seperti trauma kapitis, delirium atau demensia.
Tidak merupakan intoksikasi akibat penggunaan alcohol atau obat-obatan

Gejala psikotik berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan.
Diagnosis dapat dibuat sebelum periode waktu satu bulan, tetapi harus diterima
sebagai diagnosis sementara. Jika gejala menetap lebih dari satu bulan, diagnosis
berubah menjadi gangguan psikotik lainnya, seperti gangguan skizofreniform.
b. Bentuk-bantuk psikosis akut (PPDGJ III)
1.) F 23.0 Gangguan psikotik polimorfik akut tanpa gejala skizofrenia
a) Onset harus akut (dari suatu keadaan nonpsikotik sampai keadaan psikotik
yang jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang);
b) Harus ada beberapa jenis halusinasi atau waham yang berubah dalam jenis
dan intensitasnya dari hari ke hari atau dalam hari yang sama.
c) Harus ada keadaan emosional yang sama beranekaragamnya;
d) Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala itu
ada secara cukup konsisten dapat memenuhi kriteria skizofrenia atau
episode manik atau episode depresif.
2.) F 23.1 Gangguan psikotik polimorfik akut dengan gejala skizofrenia
a) Memenuhi kriteria (a), (b), dan (c) yang khas untuk gangguan psikotik
polimorfik akut;
b) Disertai gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
yang harus sudah ada untuk sebagian besar waktu sejak munculnya
gambaran klinis psikotik itu secara jelas;
c) Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk lebih dari 1 bulan maka
diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia.
3.) F 23.2 Gangguan psikotik lir-skizofrenia (schizophrenia-like akut)
a) Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari nonpsikosis
psikosis);
b) Memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi lamanya kurang dari 1 bulan;
c) Tidak memenuhi kriteria psikosis polimorfik akut.
4.) F 23.3 Gangguan psikotik akut lainnya dengan predominan waham
a) Onset gejala psikotik harus akut (2 minggu atau kurang, dari nonpsikosis
psikosis);
b) Waham dan halusinasi;
c) Baik kriteria skizofrenia maupun gangguan psikotik polimorfik akut tidak
terpenuhi.
5.) F 23.8 Gangguan psikotik akut dan sementara lainnya
Gangguan psikotik akut lain yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kategori
manapun.
6.) F 23.9 Gangguan psikotik akut dan sementara YTT
c. DSM IV
DSM IV memiliki rangkaian diagnosis untuk gangguan psikotik, didasarkan terutama
atas lama gejala. Gangguan psikosis akut dan sementara adalah sekelompok gangguan
jiwa yang berlangsung kurang dari satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan tidak
disertai gangguan mood, gangguan berhubungan dengan zat, atau suatu suatu
gangguan psikotik karena kondisi medis umum.
Untuk gejala psikotik yang berlangsung lebih dari satu hari, diagnosis sesuai
yang harus dipertimbangkan adalah gangguan delusional (jika waham merupakan
gejala psikotik utama), gangguan skizofreniform (jika gejala berlangsung kurang dari
enam bulan) dan skizofrenia jika gejala telah berlangsung lebih dari enam bulan.
Gangguan psikotik singkat diklasifikasikan di dalam DSM IV sebagai suatu
gangguan pasikotik dengan durasi singkat. Kriteria diagnostik ditentukan dengan
sekurangnya ada satu gejala psikotik yang jelas yang berlansung selama satu hari
sampai satu bulan.2

Kriteria diagnostik untuk gangguan psikotik akut:


a. Adanya satu (atau lebih) gejala berikut:
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara disorganisasi ( menyimpang atau inkoheren)
4. Perilaku terdisorganisasi jelas atau katatonik
b. Lama suatu episode gangguan adalah sekurangnya satu hari sampai kurang
dari satu bulan.
c. Gangguan yang muncul bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau kondisi medis umum.
Sebutkan jika:
Dengan stressor nyata (psikosis reaktif singkat): jika gejala terjadi segera
setelah dan tampak sebagai respons dari suatu kejadian yang semdirian atau
bersama-sama akan menimbulkan stress yang cukup besar bagi hampir setiap
orang dalam keadaan yang sama dalam kultur orang tersebut.
Tanpa stressor nyata: jika gejala psikotik tidak terjadi segera setelah atau
tampaknya bukan sebagai respons terhadap kejadian yang, sendirian atau
bersama-sama, akan menimbulkan stress yang cukup besar bagi hampir setiap
orang dalam keadaan yang sama dalam kultur orang tersebut.
Dengan onset pascapersalinan: jika onset dalam waktu 4 minggu setelah
persalianan.

6. Penatalaksanaan
 Perawatan di rumah sakit
Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan untuk pemeriksaan dan
perlindungan pasien. Pemeriksaan pasien membutuhkan monitoring ketat terhadap
gejala dan pemeriksaan tingkat bahaya pasien terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Lingkungan rumah sakit yang tenang dan terstruktur juga dapat membantu pasien
untuk memperoleh kembali rasa realitasnya.2
 Farmakoterapi
Dua kelas utama yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan
psikotik akut adalah obat antipsikotik antagonis reseptor dopamine dan
benzodiazepine. Khususnya pada pasien yang berada dalam risiko tinggi untuk
mengalami efek samping ekstrapiramidal, suatu antikolinergik kemungkinan harus
diberikan bersama-sama dengan antipsikotik. Pemakaian jangka panjang medikasi
harus dihindari dalam pengobatan gangguan ini, jika medikasi pemeliharaan
diperlukan, klinisi harus mempertimbangkan ulang diagnosis.2
 Psiokoterapi
Walaupun perawatan di rumah sakit dan farmakoterapi merupakan
kemungkinan untuk mengendalikan situasi jangka pendek, bagian yang sulit dari
terapi adalah integrasi psikologis ke dalam kehidupan pasien dan keluarganya.
Psikoterapi individual, keluarga dan kelompok mungkin diperlukan. Diskusi tentang
stressor, episode psikotik, dan perkembangan strategi untuk mengatasinya adalah
topik utama bagi terapi tersebut.2

7. Prognosis
Menurut definisinya, perjalanan penyakit gangguan psikotik singkat adalah kurang
dari satu bulan. Namun demikian, perkembangan gangguan psikiatrik bermakna tertentu
dapat menyatakan suatu kerentanan mental pada pasien. Sejumlah pasien dengan
persentasi yang tidak diketahui, yang pertama kali di klasifikasikan menderita gangguan
psikotik singkat selanjutnya menunjukkan sindroma psikiatrik kronis, seperti skizofrenia
dan gangguan mood. Tetapi, pada umumnya pasien dengan gangguan psikotik singkat
memiliki prognosis yang baik, dan penelitian di Eropa telah menyatakan bahwa 50 sampai
80 persen dari semua pasien tidak memilki masalah psikiatrik berat lebih lanjut.19
Lamanya gejala akut dan residual sering kali hanya beberapa hari. Kadang-kadang,
gejala depresif mengikuti resolusi gejala psikotik. Bunuh diri adalah suatu keprihatinan
pada fase psikotik maupun fase depresif pascapsikotik. Sejumlah indikator telah
dihubungkan dengan prognosis yang baik. Pasien dengan ciri-ciri tersebut memiliki
kemungkinan kecil untuk kemudian menderita skizofrenia atau suatu gangguan mood.20
DAFTAR PUSTAKA

1. Hawari, Dadang: Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Balai


Penerbit FKUI. Jakarta, 2006.
2. Kaplan, H. I and saddock BJ, Sinopsis Psikiatri: ed saddock BJ. Vol. 1. 6th
Edition.USA. William and Wilkins, 2010.
3. Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's). Available from:
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/estimates_country/en/index.ht
ml
4. Maslim, R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
5. King, Lucy J, et al: Psychiatry In Primary Care. The CV Mosby Company. Toronto
London, 1983.
6. Rose, DB. Nicholas. Essential Psychiatry. Blackwell science, USA; 1995.
7. M. David, John et.al. A lange Clinical Manual Psychiatry Diagnoseand Therapy
88189. Practice-Hall International Inc. USA; 1989
8. O, Guillin et.al. Neurobiology of Dopamine in Schizophrenia. Department of
psychiatry, columbia of Physicians and surgeons, new york State Psychiatric Institute,
Columbia University, New York 10032, USA. 2007; 78:1-39 diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17349856
9. I, Raquelle et.al. Neurocognition in First-Episode Schizophrenia: A Meta-Analytic
Review. American Psycological Association. 2009; Vol 23. No. 3, 315-336; diakses
dari http://www.apa.org/pubs/journals/release/neu233315.pdf
10. Hugdahl, Kenneth et al. Auditory Hallucinations in Schizophrenia: the Role of
Cognitive, brain structural and Genetic Disturbances in the Left Temporal lobe.
Department of Biological and Medical Psychology, University of Bergen, Bergen,
Norway. 2008; Diakses dari
http://frontiersin.org/human_neuroscience/10.3389/neuro.09.006.2007
11. Agus, Dharmady. Psikopatologi: Dasar di Dalam Memahami tanda dan Gejala dari
Suatu Gangguan Jiwa. Ed 1. Bagian ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku FK Ukrida.
Jakarta. 2003
12. Thong JY et.al. Suicide in Psychiatric Patients: Case-Control Study in Singapura.
Department of General Psychiatry, Institute of mental Health, Singapore. 2008;
42(6):509-19 diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18465378
13. Kaplan, Harorld I, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb. 2010. Gangguan
Delusional. Jakarta : Binapura Aksara.
14. Chopra, Shivani dan Raheel A. Khan. 2009. Delusional Disorder. Diunduh dari :
www.emedicine.com. Dibuka pada tanggal 13 September 2014.
15. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision.
2009. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
16. Lowenstein ,Daniel H dan Brian K. Alldredge . 2005. Mental Health and Delusional
Disorder. Diunduh dari : www.webmed.com/schizophrenia/delusional-disorder.
Dibuka pada tanggal 13 September 2014.
17. Trimble MR., George MS. 2010. Biological Psychiatry 3rd edition. Wiley-Blackwell.
18. Bora E., Yucel M., and Pantelis C. 2009. Cognitive functioning in schizophrenia,
schizoaffective disorder and affective psychoses: meta-analytic study. British Journal
of Psychiatry, 195:475-482
19. Kumar R., et al. 2011. Acute Psychosis as the Initial Presentation of MS: A Case
Report. The International MS Journal.17.2: 54–57.
20. Lee KY., et al. 2012. Acute psychosis related to use of
trimethoprim/sulfamethoxazole in the treatment of HIV-infected patients with
Pneumocystis jirovecii pneumonia: a multicentre, retrospective study. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy .

You might also like