You are on page 1of 19

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN
HAK ASASI MANUSIA DAN RULE OF LAW

Disusun Oleh:
Kelompok 2

1. AVIVA RIADLUL JANNAH (1831330055)


2. EDO PRASTIAN DEVA (1831330035)
3. MOCHAMAD FADILLA (1831330007)
4. MUCHAMMAD ALI RAMADHAN (1831330040)
5. NUR HASANAH (1831330022)

PS. D3 TEKNOLOGI KONTRUKSI JALAN, JEMBATAN, DAN BANGUNAN AIR


JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kami panjatkan
karena anugerah-Nya makalah dengan judul "Hak Asasi Mansia dan
Rule of Law" ini dapat kami selesaikan dengan baik.

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi


persyaratan perkuliahan dan mata kuliah Kewarganegaraan.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada Dr.
Khrisna Hadiwirata SH., MH. selaku dosen pembimbing kami. Semoga
dengan dibuatnya makalah ini bisa berguna bagi pembaca dan mohon
maaf bila ada kesalahan dan salah kata dalam penulisan atau
penyusunan laporan ini.

Malang, 22-November-2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 1
1.3 Batasan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
BAB II DASAR TEORI 2
2.1 Hak Asasi Manusia dan Rule of Law 2
2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) 2
2.1.2 Pengertian Rule of Law 3
2.2 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Latar Belakang Rule of
Law 3
2.2.1 Konsep dasar Hak Asasi Manusia (HAM) 3
2.2.2 Latar belakang Rule of Law 4
2.3 Perkembangan Pemikiran HAM di Dunia 4
2.3.1 Magna charta 4
2.3.2 The American Declaration 7
2.3.3 The French Declaration 7
2.3.4 The Four Freedom 7
2.4 Perkembangan Pemikiran HAM dan Fungsi Rule of Law di Indonesia 7
2.5 Permasalahan dan Penegakan Ham di Indonesia 8
2.6 Fungsi Rule Of Law 8
2.7 Dinamika Pelaksanaan Rule Of Law 9
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kasus Pembunuhan Marsinah 11
3.1.1 Analisis Kasus 11
3.1.2 Hak Yang Dilanggar 12

3
3.1.3 Penyelesaian Kasus 12
3.2 Kasus Pembunuhan Munir 12
3.2.1 Analisis Kasus 12
3.2.2 Hak Yang Dilanggar 13
3.2.3 Penyelesaian Kasus 13
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 14
4.2 Saran 14
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.
Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu
hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini.
HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada
era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup
tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang
Dalam kehidupan sehari-hari hukum tidak lepas dari kita, mulai dari nilai,
tatakrama, norma hingga hukum perundang-undangan dalam peradilan.
Sayangnya hukum di Negara kita masih kurang dalam penegakannya, terutama
dikalangan pejabat bila dibandingkan dengan yang ada pada golongan menengah
ke bawah. Kenapa bisa begitu, karena hukum dinegara kita bisa dibeli dengan
uang.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Bagaimana upaya penegakkan HAM di Indonesia?
2. Bagaimana sikap pemerintah terhadap pelanggaran HAM pada kasus
Munir?
1.3 Batasan Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah
dan tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun
membatasi masalah hanya pada ruang lingkup HAM.
1.4 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui upaya penegakkan HAM di Indonesia.
2. Untuk mengetahui sikap pemerintah terhadap pelanggaran HAM pada
kasus Munir.

5
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Hak Asasi Manusia dan Rule of Law


Berbagai kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di Republik yang telah 65 tahun
merdeka ini ternyata masih marak di depan mata. Kasus Trisakti tahun 1998 yang
belum tuntas hingga kini, kasus Lumpur lapindo yang menyengsaran ribuan
rakyar tak berdosa masi berlarut-larut, penyerobotan lahan warga oleh aparat
militer, perilaku brutal oleh aparat kepolisian yang memasuki kampus UNAS
tahun 2008, dan sederetan kasus lainnya, menandakan masih sangat buruknya
penegakan HAM di Indonsesia.
Iklim penegakan HAM dan Rule of Law di indinesia setidaknya semakin baik
dalam 10 tahun terakhir (era reformasi). Yang harus diingat bahwa penegakan
HAM dan Rule of Law akan menjadi “PR” bagi setiap pemerintahan yang
berkuasa.
Hak Asasi Manusia (HAM) dan permasalahanya merupakan topik tertua dan
actual, yang selalu ada disetiap peradaban manusia. Penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM) masih terkendala dengan kesadaran dan kesungguhan para
penguasa serta pemahaman warga Negara akan hakikat HAM diberbagai Negara
di dunia termasuk di Indonesia.
Untuk mengawal penegkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia,
diperlukan pertuisipasi masyarakat, baik secara pribadi maupun secara institusi
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ), Lembaga Pendidikan, Media dan
Pers, dan lembaga-lembaga lainnya. Hal ini dirasakan sangat efektif dalam
membangun opini secara meluas akan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
yang terjadi disekitar kita. Transparasi dan perjuangan tanpa henti dalam
menegakan HAM sepatutnya menjadi budaya bangsa.
2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39

6
Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM).

2.1.2 Pengertian Rule Of Law


Rule Of Law adalah sebuah konsep hokum yang sesungguhnya lahir dari
sebuah bentuk protes terhadap sebuah kekuasaan yang absolute disebuah
Negara. Dalam rangka membatasi kekuasaan yang absolute tersebut maka
diperlukan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan itu, sehingga
kekuasaan tersebut ditata agar tidak melanggar kepentingan Asasi dari
masyarakat, dengan demikian masyarakat terhindar dari tindakan-tindakan
melawan hokum yang dilakukan oleh penguasa.
2.2 Konsep Dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Latar Belakang Rule of
Law
2.2.1 Konsep dasar Hak Asasi Manusia ( HAM )
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diuraikan dengan pendekatan
bahasa (etimologi) maupun pendekatan istilah. Secara etimologi, kata “ hak
“ merupakan unsur normative yang berfingsi sebagai pedoman perilaku,
melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Sedangkan kata “asasi“ berarti yang
bersifat paling mendasar yang dimiliki oleh manusia sebagai fitrah, sehingga tak
satupun makhluk dapat mengintervensinya apalagi mencabutnya.
Menurut John Locke; hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati, yang terperinci :
a. Hak hidup ( the right of life )
b. Hak kemerdekaan ( right to liberty )
c. Hak memiliki ( right to property )
Hak asasi manusia pada dasarnya bersifat umum atau universal, karena diyakini
bahwa beberapa hak yang dimiliki manusia tidak memandang bangsa, ras atau
jenis kelamin. Hak asasi manusia juga bersifat supralegal, artinya tidak
tergantung pada Negara atau undang-undang dasar, dan kekuasaan pemerintah.
Bahkan HAM memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber

7
yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Di Indonesia tercantum dalam UU No. 39 / 1999
tentang Hak asai manusia.

2.2.2 Latar belakang Rule Of Law


Rule of Law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-
19, bersamaan dengan kelahiran Negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir
dengan sejalan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen
dalam penyelenggaraan Negara dan sebagai reaksi terhadap Negara absolute
yang berkembang sebelumnya. Rule of law adalah konsep tentang common law
yaitu seluruh aspek Negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun
diatas prinsip keadilan dan egalitarian.
Latar belakang kelahiran Rule of Law:
1. Diawali dengan adanya gagasan untuk melakukan pembatasan
kekuasaan pemerintahan Negara
2. Sarana yang dipilih untuk maksud tersebut yaitu demokrasi dan
konstitusi
3. Perumusan yuridis dan demokrasi konstitusional adalah konsepsi
Negara hukum
Di Indonesia, inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi
masyarakatnya. Khususnya keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat
prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara
formal terhadap “ rasa keadilan “ bagi rakyat Indonesia.
2.3 Perkembangan Pemikiran HAM di Dunia
Setiap manusia yang ada diseluruh dunia memiliki derajat dan martabat yang
sama. Dalam kaitan hak asasi, maka ada hal yang sangat wajar, rasional, serta perlu
mendapat dukungan yang nyata bagi setiap manusia yang berpikir dan berjuang untu
memperoleh hak asasinya dimana pun dia berada. Perkembangan pemikiran HAM
dunia bermula dari :

2.3.1 Magna charta


Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM
dikawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain
memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute,

8
menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung
jawabannya dimuka hukum.

2.3.2 The American Declaration


Perkembangan HAM selanjutnya ditndai dengan munculnya The
American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan
Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di
dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus
dibelenggu.

2.3.3 The French Declaration


Pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (deklarasi prancis),
dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam the
rule of law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan
yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya
orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan
tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia bersalah.

2.3.4 The Four Freedom


Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak
kebebasan hak memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa
berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi
penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan
persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan
untuk melakukan serangan terhadap Negara lain.
2.4 Perkembangan Pemikiran HAM dan Fungsi Rule of Law di Indonesia
Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dibagi dalam dua priode:
1. Periode Sebelum Kemerdekaan
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai
dalam organisasi pergerakan sebagai berikut:
1) Budi Oetomo, pemikiranya, “ hak kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat “.

9
2) Perhimpunan Indonesia, pemikirannya, “ hak untuk menentukan nasib
sendiri “.
3) Serekat islam, pemikirannya, “ hak penghidupan yang layak dan bebas
dari penindasan dan diskriminasi rasial “.
4) Partai Komunis Indonesia, pemikirannya, “ hak sosial dan berkaitan
dengan alat-alat produksi “.
5) Indische Party, pemikirannya, “ hak untuk mendapatkan kemerdekaan
dan perlakuan yang sama “.
6) Partai Nasional Indonesia, pemikirannya, “ hak untuk memperoleh
kemerdekaan “.
7) Organisasi Pendidikan Indonesia, pemikiranya meliputi :
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri,
b. Hak untuk mengeluarkan pendapat,
c. Hak untuk berserikat dan berkumpul,
d. Hak persamaan di muka hukum,
e. Hak untuk turur dalam penyelenggaraan Negara.
2. Periode sesudah kemerdekaan
a. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode ini menekankan pada hak-hak
mengenai :
1. Hak untuk merdeka
2. Hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan
3. Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama
diparlemen
b. Periode 1950-1959
Implementasi pemikiran HAM pada periode ini lebih memberi
ruang hidup bagi tumbuhnya lembaga demokrasi yang antara lain:
1. Parpol dengan berbagai ideologinya.
2. Kebebasan pers yang bersifat liberal.
3. Pemilu dengan system multipartai.
4. Parlemen sebagai lembaga kontrol pemerintah.

10
5. Wacana pemikiran HAM yang kondusif karena pemerintah
memberi kebebasan.
c. Periode 1959-1966
Pada periode ini pemikiran HAM tidak mendapat ruang kebebasan
dari pemerintah atau denga kata lain pemerintah melakukan
pemasungan HAM, yaitu hak sipil, seperti hak untuk berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Hal ini
disebabkan karena periode ini sistem pemerintahan parlementer
berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin.
d. Periode 1966-1998
Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga
kurun waktu yang berbeda.
Pertama, tahun 1967 (awal pemerintahan presiden soeharto),
berusaha melindungi kebebasan dasar manusia yang ditandai dengan
adanya hak uji materiil yang diberikan kepada Mahkamah Agung.
Kedua, kurun waktu 1960-1970, pemerintah melakukan
pemasungan HAM dengan sifat defensif (bertahan), represif
(kekerasan) yang dicerminkan dengan produk hukum yang bersifat
restriktif (membatasi) terhadap HAM. Alasan pemerintah adalah
bahwa HAM adalah produk pemikiran berat dan tidak sesuai dengan
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam pancasila.
Ketiga, kurun waktu tahu 1990-an, pemikiran HAM tidak lagi
hanya bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk lembaga
penegakan HAM, seperti Komnas HAM berdasarkan Keppres No. 50
tahun 1993, tanggal 7 Juni 1993. Selain itu, pemerintah memberikan
kebebasan yang sangat besar menurut UUD 1945 amandemen,
piagam PBB, dan piagam mukadimah.
e. Periode 1998-sekarang
Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang resmi dari
pemerintah dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna
menjamin HAM dan menetapakan Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang hak asasi manusia. Artinya, pemerintah memberi

11
perlindungan yang signifikan terhadap kebebasan HAM dalam semua
aspek, yaitu aspek politik, social, ekonomi, budaya, keamanan,
hukum dan pemerintahan.
2.5 Permasalahan dan Penegakan Ham di Indonesia
Perlindungan HAM di Indonesia harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan, merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan baik dalam penerapan, pemantauan, maupun
pelaksanaanya. Hal ini sesuai dengan isi piagam PBB yaitu pasal 1 ayat 3, pasal 55
dan 56 yang berisi bahwa upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan
melalui suatu konsep kerja sama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling
menghormati, kesederajatan, dan hubungan antar Negara serta hukum internasional
yang berlaku.
Sesuai dengan amanat konstitusi, hak asasi manusia di Indonesia didasarkan
pada konstitusi NKRI, yaitu :
1. Pembukaan UUD 1945 ( alinea 1 )
2. Pancasila sila keempat
3. Batang tubuh UUD 1945 ( pasal 27, 29, dan 30 )
4. UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang
pengadilan HAM.
Hak asasi di Indonesia menjamin hak untuk hidup, hak berkeluarga, dan
melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak
atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.

2.6 Fungsi Rule Of Law


Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal
terhadap “ rasa keadilan “ bagi rakyat Indonesia dan juga “keadilan sosial”,
sehingga diatur pada pembukaan UUD 1945, bersifat tetap dan instruktif bagi
penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, inti dati rule of law adalah jaminan
adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial.

Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-


pasal UUD 1945, yaitu :

12
1. Negara Indonesia adalah Negara hukum (pasal 1 ayat 3)
2. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan kadilan (pasal
24 ayat 1)
3. Segenap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya ( pasal 27 ayat 1)
4. Dalam bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di dipen hukum
( pasal 28D ayat 1 )
5. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28D ayat 2).
2.7 Dinamika Pelaksanaan Rule Of Law
Pelaksanaan rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya Negara
hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rul of law harus
diartikan secara hakiki ( materiil ), yaitu dalam arti “pelaksanaan dari jus law”.
Perinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil), sangat erat kaitanya dengan
“ the enforcement of the rules of law “ dalam penyelenggaraan pemerintahan
terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of
law.
Rule of law juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di
dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia,
masyarakat, dan Negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan
memiliki struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan
bahwa keadilan dapat melayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur
yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara
kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rule of law telah
banyak dihasilkan di Negara kita, namun implementasi/penegakannya belum
mancapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan
pelaksanaan rule of law belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Hal-hal yang

13
mengemuka untuk dipertanyakan antara lain adalah bagaimana komitmen
pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip rule of law.
Proses penegakan hukum di Indonesia dilakukan oleh lembaga penegak
hukum yang terdiri dari :

1. Kepolsian
2. Kejaksaan
3. Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
4. Badan Peradilan :
a. Mahkamah Agung
b. Mahkamah Konstitusi
c. Pengadilan Negeri
d. Pengadilan Tinggi

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Pembunuhan Marsinah


3.1.1 Analisis Kasus
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang
bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur.
Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun.
Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya
menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh
yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Kasus pemogokan
dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat edaran
Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada
pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya
disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha
berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April
1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat
Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan
untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp
1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei 1993, tanpa Marsinah, 13 buruh yang
dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer
(Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari
CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan
masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak
Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai
tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

15
3.1.2 Hak Yang Dilanggar
Kasus pembunuhan Marsinah, jelas melanggar Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945. Dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan
tindakan pemogokan dan unjuk rasa pun telah mendapat perlindungan
hukum. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak
melakukan tindakan anarkis. Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan setiap orang berhak untuk
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat untuk maksud-maksud
yang damai. Selain itu, kasus pembunuhan Marsinah juga melanggar Pasal
28A UUD 1945. Dalam Pasal 28A dinyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dam kehidupannya. Kasus
pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran HAM berat. Karena,
ada unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang didalamnya.
Dalam UUD 1945, jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya
berlebihan dalam menyikapi tuntutan Marsinah dan kawan-kawan buruh.
3.1.3 Penyelesaian Kasus
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang
yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10
orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah
kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki putih
ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun,
namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya

16
telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan
bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional),
dikenal sebagai kasus 1713. Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi
misteri
3.2 Kasus Pembunuhan Munir
3.2.1 Analisis Kasus
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 –
meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur
38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM
Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga
Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Tiga jam setelah
pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada
pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang
duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet.
Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun
dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat,
pada 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol
Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi
Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa
arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia.
Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

3.2.2 Hak Yang Dilanggar


Kasus pembunuhan Munir, termasuk dalam pelanggaran terhadap
28A UUD 1945. Dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dari kehidupannya. Dalam kasus Munir,
terlihat adanya usaha dari pihak tertentu untuk menyingkirkan Munir
dengan cara menghilangkan nyawanya.

17
3.2.3 Penyelesaian Kasus
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi
vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim
menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti,
menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan
pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa
sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon
dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak
menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah
diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga
orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra,
ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir.
Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun demikian,
pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat
kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang
memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

18
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Dalam kasus pembunuhan Marsinah masih belum terselesaikan hingga kini
dan menjadi misteri. Untuk kasus pembunuhan munir tersangka telah ditangkap
dan dipenjarakan. Namun, 6 bulan setelahnya sudah divonis bebas dan ini menjadi
vonis kontroversial dan kasus ini ditinjau ulang.

4.2 Saran
Kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT harus menghargai dan menghormati
HAM orang lain.

19

You might also like