You are on page 1of 17

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI V

UJI ANTIINFLAMASI METODE VOLUME UDEM

Disusun oleh :
Ary Indrayuda Pratama (20111041031126)
Rizkie Zaqiyah (20111041031126)
Yulianita Purnamasari (20111041031126)
Ajeng Putri Bellatrix (20111041031126)
Apres Syahwalia (20111041031126)
Riza Bagus Setiaji (201110410311261)
Vita Rizki Firmanila (201110410311262)
Prima Windiana D. (201110410311263)
Aldila Ayu Widyastuti (201110410311264)
Virginia Rahardiyanti P. (201110410311268)
Rini Prayatni (201110410311270)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012 – 2013
I. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Memahami prinsip eksperimen terhadap efek antiinflamasi dengan
menggunakan alat plestimometer.

II. DASAR TEORI


A. Inflamasi
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera jaringan dan infeksi. Ketika
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-
elemen darah, sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada
tempat cedera jaringan atau infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme
perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen
yang berbahaya pada tempat cidera dan untuk mempersiapakan keadaan untuk
perbaikan jaringan.
Meskipun ada hubungan antara inflamasi dan infeksi, tetapi tidak boleh
dianggap sama. Infeksi disebabkan oleh mikroorganisme yang menyebabkan
inflamasi, tetapi tidak semua inflamasi disebabkan oleh infeksi. Inflamasi adalah
satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi
distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan
prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di
dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Terjadi inflamasi akibat dilepaskannya mediator-mediator kimia,
contohnya : histamin, kinin dan prostaglandin.
a. Histamin : mediator pertama dalam proses inflamasi menyebabkan dilatasi
arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga cairan dapat
meninggalkan kapiler dan mengalir ke daerah cedera.
b. Kinik (bradikinin) : meningkatkan permeabilitas kapiler dan rasa nyeri.
c. Prostaglandin : dilepaskannya prostaglandin menyebabkan bertambahnya
fasodilatasi permeabilitas kapiler, nyeri dan demam.
Radang mempunyai tiga peranan penting dalam perlawanan terhadap
infeksi:
1. Memungkinkan penambahan molekul dan sel elektron ke lokasi infeksi
untuk meningkatkan perfoma makrofag.
2. Menyediakan rintangan untuk mencegah penyebab infeksi.
3. Mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.
Tanda-tanda utama inflamasi:
1. Eritema (kemerahan)
Merupakan tahap pertama dari inflamasi. Darah berkumpul pada daerah
cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh.
2. Edema (pembengkakan)
Tahap ke dua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam jaringan interstial
pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol dengan meningkatkan
permeabilitas kapiler.
3. Kolor (panas)
Panas pada tempat inflamasi dapat disebabkan oleh bertambahnya
penggumpalan darah dan juga dikarenakan pirogen (substansi yang
menimbulkan demam) yang menggangu pusat pengaturan panas dan
hipotalamus.
4. Dolor (nyeri)
Disebabkan peningkatan dan pelepasan mediator-mediator kimia.
5. Function laesa (hilangnya fungsi)
Disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan
karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena.
Cedera jaringan

Vasakonstroksi (sementara)
Pelepasan Mediator – mediator kimia

Dilatasi arterial Bertambahnya Nyeri Demam


(vasodilatasi) permeabilitas kapiler

Kemerahan Pembengkakan Nyeri Panas


(Kogesti Darah) (penimbunan cairan 7 sel) (Ujung saraf (vasodilatasi)
Dan pembengkakan)

Hilangnya nyeri

Radang dapat dihentikan menurut reaksi pemula dengan meniadakan noksi


atau dengan menghentikan kerja yang merusak. Gejala inflamasi : reseptor suhu
dalam hipotalamus dan disampaikan ke pusat termoregulasi (pusat panas) yang
terletak dalam hipotalamus. Selanjutnya menerima implus dari reseptor dingin dan
reseptor panas dari kulit dan dengan demekian dalam kondisi untuk bereaksi
dengan cepat terhadap beban panas dan dingin. Pada keadaan beban panas (misal
pada kerja jasmani) banyak panas dikeluarkan melalui peningkatan pembentukan
keringat dan melalui peningkatan aliran darah kulit. Pada keadaan dingin, tidak
hanya pembebasan panas di tekan, tapi juga produksi panas ditingkatkan.
B. Obat Antiinflamasi
Obat-obat antiinflamasi contohnya obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan
steroid (preparat konstison) yang bekerjanya dengan cara menghambat mediator-mediator
kimia sehingga mengurangi proses inflamasi.

C. Tanaman Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg) Rosc.)


a. Sistematika Tanaman
Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), tanaman rimpang temu putih dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberalis
Familia : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe.
(Backer and Van den Brink, 1968)

b. Nama Lain
Nama lain dari rimpang temu putih diantaranya adalah Curcuma zerumbet
Roxb., Costus nigricans Blanco, Amomum zedoaria Berg., Roscoea lutea Hassk.
Nama simplisianya adalah Zedoariae Rhizoma.

c. Deskripsi Tanaman
Temu putih ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada
tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembab. Tanaman ini mirip dengan temulawak
dan dapat dibedakan dari rimpangnya. Tanaman temu putih tingginya dapat mencapai
2 meter. Batang berupa rimpang yang bercabang di bawah tanah, berwarna coklat
muda -coklat tua, di dalamnya putih atau putih kebiruan, memiliki umbi bulat dan
aromatik. Daun tunggal, pelepah daun membentuk batang semu, berwarna hijau
coklat tua. Bentuk buah bundar, berserat, segitiga, kulitnya lunak dan tipis. Biji
bentuknya lonjong, berselaput, ujungnya berwarna putih.

d. Kandungan Kimia Utama


Rimpang temu putih mengandung zat warna kuning kurkumin
(diarilheptanoid), selain itu juga komponen minyak atsiri dari rimpang temu putih
terdiri dari turunan guaian (kurkumol, kurkumenol, isokurkumenol, prokurkumenol,
kurkumadiol) dan turunan germakran. Rimpang temu putih juga mengandung 1-2,5 %
minyak menguap dengan komposisi utama seskuiterpen. Minyak menguap tersebut
mengandung lebih dari 20 komponen seperti zedoarin yang merupakan komponen
terbesar, selain itu rimpang temu putih juga mengandung flavonoid, sulfur, gum,
resin, tepung, dan sedikit lemak.

e. Kegunaan Tanaman
Khasiat dari tanaman ini sangat banyak, di masyarakat biasanya digunakan
sebagai obat kudis, radang kulit, pencuci darah, perut kembung, dan gangguan lain
pada saluran pencernaan serta sebagai obat pembersih darah dan penguat (tonik)
sesudah nifas. Rimpang temu putih yang rasanya sangat pahit, pedas, sifatnya hangat
dan berbau aromatik ini mempunyai afinitas ke meridian hati dan limpa. Temu putih
termasuk tanaman obat yang menyehatkan darah dan menghilangkan sumbatan,
melancarkan sirkulasi vital energi dan menghilangkan nyeri. Selain itu juga berfungsi
sebagai antikanker dan antiinflamasi.
D. Infusa
Infusa adalah sediaan ca ir yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati
dengan air pada suhu 900C selama 15 menit. Untuk simplisia yang mengandung minyak
atsiri diserkai setelah dingin. Cara pembuatan : simplisia dibasahi dengan air sebanyak 2
kali berat bahan. Simplisia ditambah dengan air secukupnya dan dipanaskan di atas
penangas air selama 15 menit pada suhu 900C, sambil sesekali di aduk. Diserkai selagi
panas dengan kain flanel dan ditambah air panas secukupnya dengan dialirkan melalui
ampas sehingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki.
III. ALAT
 Plestimometer
 Spuit
 Sonde
 Spidol

IV. BAHAN
 Tikus
 Larutan Karagenin 1%
 Aquadest 2.5ml/20gBB (kontrol negatif)
 Na diklofenak 6.75 mg/kgBB (kontrol positif)
 Infus rimpang temu putih 5% (dosis 0.625 g/kgBB)
 Infus rimpang temu putih 10% (dosis 1.25 g/kgBB)
 Infus rimpang temu putih 20% (dosis 2.5 g/kgBB)

V. PROSEDUR KERJA
1. Mula-mula semua hewan uji dipuasakan 6-8 jam. Pengosongan lambung bermanfaat
terhadap proses absorbs obat. Keberadaan makanan dalam gastric seringkali
mengganggu proses absorbsi, sehingga terjadi manipulasi efek obat.
2. Salah satu kaki belakang tikus diberi tanda dengan spidol, kemudian diukur
volumenya dengan cara mencelupkannya ke dalam tabug air raksa pada alat
plestimometer sampai dengan batas tanda tersebut.
3. Pemberian bahan uji
Semua kelompok diberikan masing-masing bahan uji secara per oral 2.5 ml/200gBB
4. Selang 10-15 menit , kemudian pada masing-masing tikus diberikan penginduksi
udem larutan karagenin 1% sebanyak 0.1 ml secara subkutan pada bagian dorsal
kaki yang sama.
5. Volume kaki tikus diukur kembali pada setiap interval waktu 5 menit sampai efek
udemnya hilang.
6. Data-data yang perlu dicatat adalah:
 Mula kerja dan durasi aksi bahan penginduksi
 Mula kerja dan durasi aksi obat antiinflamasi

VI. BAGAN ALIR PROSEDUR KERJA

Tikusdipuasakan 6-8 jam


(pengosonganlambug)

Salah satu kaki belakangtikusdiberispidol

Diukurvolumenya

Mencelupkakinyakedalam air raksa (pletismometer)


ad garistanda

Pemberianbahanuji

setelah 10-15 menitLarutankaragenin 1 % 0,1 ml subkutan

Volume kaki tikusdiukurtiap 5 menit


ad udemnyahilang

catat data percobaannya

Cara menghitung volume udem pada kaki tikus :

Volume Udem = Volume setelah diberi penginduksi – Volume kaki awal

Persen hambatan udem dihitung sebagai berikut :

% Hambatan = (x-y)/y x 100%


VII. PERHITUNGAN DOSIS
Berat tikus 1 : 120 gram
Berat tikus 2 : 144 gram
Berat tikus 3 : 112 gram
Berat tikus 4 : 151 gram
Berat tikus 5 : 119 gram

Tikus 1 dan Tikus 2 : 6,75 mg  1000 g


0,972 mg  144 g
Sediaan yang tersedia = 5 g 50 ml
0,972 mg  0,972 ml
Tikus 3 : X ~ 11,2 gram
0,625 gram ~ 1000 gram
Maka x = 0,07 gram ; sediaan yang tersedia = 5g ~ 100ml
0,07g~1,4 ml
Tikus 4 : x ~ 151 gram
1,25 g ~ 1000 gram
Maka x = 0,188 gram ; sediaan yang tersedia 10g~ 100ml
0,188g~ 1,88ml
Tikus 5 : x ~ 119 gram
2,5 g ~ 1000 gram
Maka x = 0,3 gram ; sediaan yang tersedia 20 g ~ 100 ml
0,3 g ~ 1,5ml
VIII. DATA DAN GRAFIK HASIL PENGAMATAN
volume udem pada kaki tikus
setelah di beri setelah di beri air suling + penginduksi
Penginduksi
Kelompok awal radang 5' 10' 15' 20' 25' 30' 35' 40' 45' 50' 55' 60'
Kontrol negatif 1,9 2.8 2,8 1,9 2,1 2 2,1 2,2 2,2 1,9 2 2,3 2,2 2,3
(Aquadest)
Kontrol positif 1,7 2,8 2,7 2,5 2,2 1,9 2 1,8 1,9 1,9 1,9 2 1,7 2,4
(Na.
diklofenak)
infus 5% 1,7 2,8 2,1 2,1 1,8 2,2 1,8 1,7 1,8 2,4 1,7 2 2,2 2,2
Infus 10% 1,8 2,3 2,1 2,7 2,2 2,4 2 2,1 2,6 2,4 2,1 2,2 2 2
Infus 20% 1,6 2,1 2,2 2,4 1,9 2,6 2,1 1,6 1,5 1,9 1,8 2,3 2,2 1,8

Volume Udem % Hambatan


15' 30' 45' 60' 15' 30' 45' 60'
0,2 0,2 0,1 0,4 0% 0% 0% 0%

0,5 0,1 0,2 0,7 150% 50% 100% 75%

0,1 0 0 0,5 50% 100% 100% 25%


0,4 0,3 0,3 0,2 100% 50% 200% 50%
0,3 0 0,2 0,2 50% 100% 100% 50%
Volume Udem Vs %Efektifitas
250

200
Persen Efektifitas (%)

150 Aquadest
Na. Diklofenac
100 Infus 5%
Infus 10%
50 Infus 20%

0
15' 30' 45' 60'
Waktu (menit)

Efek ditunjukkan dengan semakin besarnya % efektivitas berarti sediaan mampu


menghambat udem yang terbentuk akibat induksi karagenin. Bahwa volume udem kontrol positif
mempunyai nilai paling kecil. Hasil penelitian menunjukkan infus rimpang temu putih
mempunyai kemampuan mengurangi udem. Efek yang paling besar ditunjukkan , pada dosis 2,5
mg/kgbb dan efek yang paling kecil ditunjukan pada dosis 0,625 mg/kgbb. Namun
kemampuannya masih lebih kecil dibanding kemampuan antiinflamasi Na diklofenak.
Kemampuan infus rimpang temu putih sebagai antiinflamasi kemungkinan dikarenakan adanya
flavanoid dalam sediaan itu.
IX. PEMBAHASAN
Peradangan merupakan gangguan yang sering dialami oleh manusia maupun
hewan yang menimbulkan rasa sakit di daerah sekitarnya. Sehingga perlu adanya
pencegahan ataupun pengobatan untuk mengurangi rasa sakit, melawan ataupun
mengendalikan rasa sakit akibat pembeng-kakan. Dalam penelitian ini yang
digunakan untuk mengiduksi inflamasi adalah karagenin karena ada beberapa
keuntungan yang didapat antara lain tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak
menimbulkan bekas, memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi
(Vogel, 2002).
Karagenin merupakan polimer suatu linear yang tersusun dari sekitar 25.000
turunan galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber dan kondisi ekstraksi.
Karagenin dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama yaitu kappa, iota, dan lambda
karagenin. Karagenin lambda (λ karagenin) adalah karagenin yang diisolasi dari
ganggang Gigartina pistillata atau Chondrus crispus, yang dapat larut dalam air
dingin (Chaplin, 2005). Karagenin dipilih untuk menguji obat antiinflamasi karena
tidak bersifat antigenic dan tidak menimbulkan efek sistemik (Chakraborty et al.,
2004). Pengukuran daya antiinflamasi dilakukan dengan cara melihat kemampuan Na
diklofenak dan infuse rimpang temu putih dalam mengurangi pembengkakan kaki
hewan percobaan akibat penyuntikan larutan karagenin 1%. Setelah disuntik
karagenin, tikus-tikus memperlihatkan adanya pembengkakan dan kemerahan pada
kaki serta tikus tidak dapat berjalan lincah seperti sebelum injeksi.
Karagenin sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui
pelepaskan mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada saat terjadi pele-pasan
mediator inflamasi terjadi udem maksimal dan bertahan beberapa jam. Udem yang
disebabkan induksi karagenin bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang
dalam waktu 24 jam.
Selain larutan karagenin 1 % ada beberapa penyebab inflamasi lain.
Diantaranya:
1. Mikroorganisme
2. Agen fisik seperti suhu yang ekstrem, cedera mekanis, sinar ultraviolet, dan
radiasi ion
3. Agen kimia misalnya asam dan basa kuat
4. Antigen yang menstimulasi respons imunologis

Mekanisme Kerja Obat


Dalam praktikum tersebut didapatkan hasil bawha control positif yang berupa
pemberian Na Diklofenak didapatkan hasil yang paling efisien, ditunjukkan dengan %
efektivitasnya paling besar. Dalam hal ini Na Diklofenak mempunyai aktivitas analgesik,
antipiretik dan antiinflamasi. Diklofenak mempunyai kemampuan melawan COX-2 lebih
baik dibandingkan dengan indometasin, naproxen, atau beberapa NSAIA lainnya.
Sebagai tambahan, diklofenak terlihat/dapat mereduksi konsentrasi intraselular dari AA
bebas dalam leukosit, yang kemungkinan dengan merubah pelepasan atau
pengambilannya. (GG Ed.11, hal 698)
Mekanisme kerja farmakologi adalah menginhibisi sintesis prostaglandin.
Diklofenak menginhibisi sintesis prostaglandin di dalam jaringan tubuh dengan
menginhibisi siklooksigenase; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase-1 (COX-1) dan
siklooksigenase-2 (COX-2) (juga tertuju ke sebagai prostaglandin G/H sintase-1 [PGHS-
1] dan -2 [PGHS-2]), telah diidentifikasikan dengan mengkatalis/memecah
formasi/bentuk dari prostaglandin di dalam jalur asam arakidonat. Walaupun mekanisme
pastinya belum jelas, NSAIA berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik
yang pada dasarnya menginhibisi isoenzim COX-2; menginhibisi COX-1 kemungkinan
terhadap obat yang tidak dihendaki (drug’s unwanted) pada mukosa GI dan agregasi
platelet. (AHFS 2010,hal.2086).

Na Diklofenak Obat dalam Tubuh mengalami beberapa tahap yaitu :


 Absorpsi
Diklofenak pemberian topikal terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik, tetapi
konsentrasi plasmanya sangat rendah jika dibandingkan dengan pemberian oral.
Pemberian 4 g Natrium diklofenak secara topikal (gel 1%) 4x sehari pada satu lutut,
konsentrasi mean peak plasma sebanyak 15 ng/ml terjadi setelah 14 jam. Pada
pemberian gel ke kedua lutut dan kedua tangan 4x sehari (48 g gel sehari),
konsentrasi mean peak plasma sebanyak 53,8 ng/ml terjadi setelah 10 jam.
Pemaparan sistemik 16 g atau 48 g sehari adalah sebanyak 6 atau 20% jika
dibandingkan dengan administrasi oral dosis 50 mg 3x sehari. Penggunaan heat patch
selama 15 menit sebelum pemakaian gel tidak berpengaruh terhadap absorpsi
sistemik.
 Distribusi (AHFS 2010, hal.2087)
Sediaan oral, diklofenak terdistribusi ke cairan sinovial. Mencapai puncak 60-
70% yang terdapat pada plasma. Namun, konsentrasi diklofenak dan metabolitnya
pada cairan sinovial melebihi konsentrasi dalam plasma setelah 3-6 jam. Diklofenak
terikat secara kuat dan reversibel pada protein plasma, terutama albumin.Pada
konsentrasi plasma 0,15-105 mcg/ml, diklofenak terikat 99-99,8% pada albumin.
Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami distribusi.
 Metabolisme (AHFS 2010, hal.2087; GG Ed.11, hal.698)
Metabolisme diklofenak secara jelas belum diketahui, namun dimetabolisme
secara cepat di hati. Diklofenak mengalami hidroksilasi, diikuti konjugasi dengan
asam glukoronat, amida taurin, asam sulfat dan ligan biogenik lain. Konjugasi dari
unchanged drug juga terjadi. Hidroksilasi dari cincin aromatik diklorofenil
menghasilkan 4′-hidroksidiklofenak dan 3′-hidroksidiklofenak. Konjugasi dengan
asam glukoronat dan taurin biasanya terjadi pada gugus karboksil dari cincin fenil
asetat dan konjugasi dengan asam sulfat terjadi pada gugus 4′ hidroksil dari cincin
aromatik diklorofenil. 3′ dan/atau 4′-hidroksi diklofenak dapat melalui 4′-0. Metilasi
membentuk 3′-hidroksi-4′-metoksi diklofenak.
 Eliminasi (AHFS 2010, hal.2087 dan GG Ed.11, hal.698)
Diklofenak dieksresikan melalui urin dan feses dengan jumlah minimal yang
dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Eksresi melalui feses melalui
eliminasi biliari. Konjugat dari diklofenak yang tidak berubah dieksresikan melalui
empedu (bile), sementara metabolit terhidroksilasi dieksresi melalui urin.
Selain Na Diklofenak ada obat-obat yang sudah terbukti dapat digunakan sebagai
sebagai antiinflamasi diantaranya : aspirin, diflunisal, etodolax, fenilbutazon, tolmetin,
peroksikam, ibuprofen, apazone.
Penggunaan Infus rimpang temu putih dalam praktikum didapatkan hasil bahwa
infus rimpang temu putih mempunyai aktivitas antiinflamasi. Semakin tingginya dosis
maka efek antiinflamasi juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari % efektivitas,
infus rimpang temu putih 5 % mempunyai % efektivitas sebesar 0,12%, sedangkan infuse
rimpang temu putih 10% didapatkan hasil % efektivitas sebesar 0,23% dan % efektivitas
yang paling tinggi didapatkan pada infuse rimpang temu putih 20%.
Secara tradisioal rimpang temu putih digunakan sebaagi antimikroba dan
antifungal (Witson et al., 2005). Shiobara et al. (1985) mengidentifikasi senyawa
cyclopropanosesquiterpene, curcumenone dan 2 spirolactones, curcumanolide A dan
curcumanolide B. Pada shoots muda dari C. zedoaria mengandung (+)-germacrone-4,5-
epoxide, sebuah intermediet kunci pada biogenesis a germacrone-type sesquiterpenoids.
Di negara Brazil, di gunakan sebagai obat penurun panas. Aktivitas ini dikarenakan
adanya senyawa yang bertanggung jawab yaitu curcumenol (Navvaro et al., 2002).
Kandungan kimia rimpang Curcuma zedoaria Rosc terdiri dari : kurkuminoid
(diarilheptanoid), minyak atsiri, polisakarida serta golongan lain. Diarilheptanoid yang
telah diketahui meliputi : kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, dan 1,7
bis (4-hidroksifenil)-1,4,6-heptatrien-3-on (Windono dkk, 2002).
Minyak atsiri berupa cairan kental kuning emas mengandung : monoterpen dan
sesquiterpen. Monoterpen terdiri dari : monoterpen hidrokarbon (alfa pinen, D-kamfen),
monoterpen alkohol (D-borneol), monoterpen keton (D-kamfer), monoterpen oksida
(sineol). Seskuiterpen pada Curcuma zedoaria terdiri dari berbagai golongan dan
berdasarkan penggolongan yang dilakukan terdiri dari : golongan bisabolen, elema,
germakran, eudesman, guaian dan golongan spironolakton. Kandungan lain meliputi :
etil-p-metoksisinamat, 3,7-dimetillindan-5-asam karboksilat (Windono dkk, 2002).
Singh et al (2002) melaporkan kandungan minyak atsiri pada Curcuma zedoaria
berupa 1,8 cineol (18.5%), cymene (18.42%), α-phellandrene (14.9%). Golongan
seskuiterpen yaitu β-Turmerone dan ar-turmeron yang diisolasi dari rhizoma Curcuma
zedoaria menghambat produksi prostaglandin E2 terinduksi lipopolisakarida (LPS) pada
kultur sel makrofag tikus RAW 264.7 dengan pola tergantung dosis (IC50 = 7.3 μM
untuk β-turmerone; IC50 = 24.0 μM untuk ar-turmerone). Senyawa ini juga menunjukkan
efek penghambatan produksi nitric oxide terinduksi LPS pada sistem sel (Hong et al.,
2002).
X. KESIMPULAN
Efek ditunjukkan dengan semakin besarnya nilai % efektivitas, yang berarti
suatu sediaan yang diujikan mampu menghambat udem yang terbentuk akibat induksi
karagenin. Bahwa volume udem kontrol positif mempunyai nilai paling kecil. Hasil
penelitian menunjukkan infus rimpang temu putih mempunyai kemampuan
mengurangi udem. Efek yang paling besar ditunjukkan , pada dosis 2,5 mg/kgbb dan
efek yang paling kecil ditunjukan pada dosis 0,625 mg/kgBB. Namun kemampuannya
masih lebih kecil dibanding kemampuan antiinflamasi Na diklofenak. Kemampuan
infus rimpang temu putih sebagai antiinflamasi kemungkinan dikarenakan adanya
flavanoid dalam sediaan itu.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Tan Hoan Tjay & Drs. Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting, Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta

Universitas Indonesia, 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Jakarta

M. J. Neal, 2005, At a Glace Farmakologi Medis, edisi v, Erlangga, Jakarta

Thomas B. Boulton & Colin E. Blogg, 1994, Anestesi edisi x, EGC, Jakarta

You might also like