Professional Documents
Culture Documents
Abstract: Ra’yu as a Source of Islamic Law. Ra’yu is one of methods for Muslim to establish laws for
contemporary issues which have not been found in the Alquran and Hadith. Human is capable to think
comprehensively by firmly hold on to Alquran and Hadith resulting the validity of Ra’yu’. However,
it should be considered that mind and ra’yu are different. Mind is the subject (individual who do the
thinking), while ra’yu is an outcome/ object from the thought process that aims to seek the truth or
solution for laws that do not exist in the Alquran and Hadith.
Keywords: al-‘aqlu, taklif Alquran and hadith,
Abstrak: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam. Ra’yu adalah salah satu cara umat Islam untuk
menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam
Alquran dan Hadis. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra’yu. Namun perlu digarisbawahi
bahwa akal dan ra’yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya. Akal adalah subjek (alat/pelaku yang
melakukan pemikiran), sedangkan ra’yu adalah, suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan
untuk mencari kebenaran/solusi dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis.
Kata Kunci: al-‘aqlu, taklif Alquran dan hadis,
377
378| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012
interaksi vertikalnya kepada Sang Pencipta otoritas dan kapasitas akal dalam mencoba
(habl ma‘a khâliqih) maupun interaksi mencari solusi/mencari ketetapan hukum
horizontalnya sebagai makhluk sosial (habl dari setiap permasalahan baru yang timbul,
ma‘a ikhwânih), bahkan dalam hubung namun tidak terdapat nas yang jelas
annya dengan sesama makhluk di alam untuk menjadi dalilnya, menjadikan ra’yu
raya (habl ma‘a bî’atih). Ini karena dalam sebagai salah satu solusi dalam menjawab
pembentukan dan penentuan hukumnya problematika kontemporer umat Islam.
dengan berdasar kepada Alquran dan hadis, Namun, para ulama berbeda pendapat dalam
sudah melalui proses yang panjang dalam penggunaan ra’yu jenis ini sebagai dalil
diskusi argumentatif para ahlinya demi hukum, para ahlipun membuat klasifikasi
kemaslahatan umat manusia. ra’yu. Jumhur sepakat mendahulukan ra’yu
Islam sangat mengerti bahwa manusia yang tetap mengambil dalil dari premis
adalah makhluk sosial dinamis yang selalu mayor yang terdapat dalam teks-teks kitab
menciptakan perubahan dan perkembangan suci sebagai ra’yu yang dapat diterima. Lalu,
dalam segala aspek kehidupannya.1 Semua bagaimana dengan ra’yu dengan tanpa dalil
hal yang berhubungan dengan perkembangan syar’i?
kehidupan manusia tidak terlepas dari hasil
pemikiran akal. Karena kecerdasan akal Pemahaman Teks Hukum secara
manusialah yang menjadikannya makhluk Kontekstual
istimewa, karena dengan potensi akalnya, Pemahaman teks hukum secara kontekstual,
manusia dapat terus mengembangkan ide, berarti mencoba memahami ayat/kalimat
melakukan berbagai inovasi, kreasi dan lain- yang terdapat di dalam Alquran dan hadis
lain. terutama yang berhubungan dengan hukum
Dalam kajian ilmu usul fikih, masalah untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan
manusia sesuai pada zaman dimana Alquran
1
Islam adalah agama yang mengajarkan segala aspek yang itu berada. Pentingnya memahami teks
terdapat dalam kehidupan manusia. Islam menghendaki para hukum secara kontekstual karena segala
pemeluk agamanya adalah orang-orang yang selalu aktif dan
dinamis dalam kehidupannya. Karena dalam artinya sendiri
hukum yang tergantung di dalamnya, adalah
secara etimologi, kata Islam berasal dari kata: untuk kemaslahatan bagi umat manusia.
yang memiliki arti: proses menuju keselamatan. Islam memiliki Melanggarnya adalah petaka bagi manusia
arti: 1) melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin. 2)
kedamaian dan keamanan, dan, 3) ketaatan dan kepatuhan. itu sendiri.
Lihat. Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994 M), cet. I, vol. II, 246. Dari semua definisi di atas, Islam
Butuh pemahaman yang dalam, upaya
memiliki arti yang mengarah pada suatu proses, yaitu proses penafsiran yang komprehensif agar apa
menuju keselamatan. Suatu proses, menjadikan seseorang untuk yang dimaksud dalam suatu teks ayat dapat
selalu bertindak aktif dan dinamis demi cita-cita yang diinginkan.
Oleh sebab itu, agama Islam dengan semua ajarannya, adalah dipahami dengan lebih baik. Meskipun tidak
bertujuan agar manusia menjalani proses menuju keselamatan, akan ada yang dapat menafsirkan ayat dengan
baik untuk kehidupan di dunia dan diakhirat. Disarikan dari:
Fuad Jabali, dalam diskusi seminar kelas: Penelitian Metodologi author centre interpretation.2 Namun usaha
Studi Islam, Ciputat, Kamis, 22 Januari 2009. manusia “untuk dapat lebih mendekati”
Dalam kamus Lisan al-Arab, Islam adalah menyatakan
patuh dan menerima apa yang datang dari Nabi Muhammad
makna Alquran dalam arti memahami
SAW. Ungkapan indah dan ringkas diucapkan oleh Sa’labi, teks hukum dalam konteks kekinian tentu
“Islam itu dengan lisan dan Iman itu dengan hati”. Lihat: Abî sangat urgen, mengingat berbagai macam
al-Fadhl Jamal al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr
al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab (Bayrut: Dâr al-SHâdir, perubahan yang begitu derastis dari sejak
2000 M), juz. VII, 243. Islam adalah: pasrah, damai dan zaman Alquran diturunkan sampai pada
selamat. Lihat: Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta:
PT. Raja Grafndo Persada, 1999), cet. II, 174. Thomas Riggs
mendefinisikan Islam sebagai: Submission to the Will of God:
Peace. Artinya: Tunduk pada ketetapan Tuhan: Kedamaian. 2
Yusuf Rahman, seminar mata kuliah “Penelitian
Lihat: Thomas Riggs, ed., Worldmark Encyclopedia of Religious Metodologi Studi Islam”, Kamis, 13 November 2008. Universitas
Practices, vol. I (USA: Thomson Gale, 2006), h. 355. Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam |379
manusia setelah melalui proses berfikir dan Dari beberapa definisi di atas dapat
merenung.6 Lebih spesifik lagi, apa yang diambil kesimpulan, bahwa ra’yu merupakan
diungkapkan oleh Mahmud Hamid ‘Usman, “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran
seorang pakar usul fikih, mendefinisikan yang bertujuan untuk memberikan solusi
makna dari kata ra’yu, sebagai berikut: terhadap suatu permasalahan hukum yang
belum pernah ada sebelumnya di dalam nas
7
untuk kemaslahatan hidup manusia dengan
menggunakan kaedah yang telah ditetapkan”.
Kata ra’yu adalah bentuk masdar dari
3
Dengan catatan, meskipun terjadi perbedaan penafsiran,
bukan berarti satu mazhab dapat menyalahkan mazhab yang lain. kata (ra’â-yarâ-ru‘yan). Penggunaan
Karena setiap individu memiliki hak untuk mengungkapkan kata ra’yu bisa berubah arti sesuai dengan
pendapat dengan berpegang pada dalil yang sama-sama di
dapat dari Alquran dan hadis, oleh sebab itu nalar manusia tempat penggunaannya. Jika seseorang
dipersilahkan untuk memilih jalan mana yang diyakininya lebih melihat bulan dalam keadaan sadar maka
mendekati kebenaran. Seperti ungkapan indah yang disampaikan
Abû Hanîfah: kami mengetahui ra’yu ini, dan ra’yu itu adalah
ketetapan terbaik yang dapat kami lakukan. Maka barang siapa
dapat membuat ra’yu yang selain itu, maka baginya ra’yu tersebut, 8
Mahmûd Hamîd ‘Utsman, al-Qâmûs al-Mubîn fi
dan bagi kami apa yang menjadi ra’yu kami. Lihat dalam kertas Ishthilâhât al-Usûliyyîn (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1421 M/2000
cover buku: Idris Jam‘ah Darar Bashîr, al-Ra’yu, wa Atharuh H), 127-128.
fi Fikih al-Islâmî fi ‘Ushûr Mâ Qabla Qiyâm al-Mazhâhib al- 9
Artinya: Perbedaan antara ra’yu dan ijtihad: ijtihad adalah
Fiqhiyyah (Qâhirah: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 78. mencari kebenaran, adapun ra’yu adalah menemukan/memahami
4
Ahmad Warson Munawar, Kamus al- Munawwir Arab suatu kebenaran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ra’yu
Indonesia Terlengkap (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku yang benar adalah apa yang telah kamu/kita lihat, ra’yu yang
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak benar tidak dapat tercapai kecuali dengan sempurnanya ijtihad
Yogyakarta, 1984), 495. dan menemukan (memahami) suatu masalah.
5
Abû al-Hasan Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu‘jam al- 10
Artinya: Ra’yu adalah menentukan dampak/akibat yang
Maqâyis fî al-Lughah (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994), 436. baik (yang dikehendaki ra’yu adalah suatu akibat yang paling
6
Muhammad Rawas Qal’ah Ji dan Hamid SHadiq Qanibi, baik).
Mu‘jam Lughat al-Fuqahâ (Bayrût: Dâr al-Naffas, 1985), h. 218. 11
Artinya: Keteguhan hati setelah berfikir, untuk men
7
Artinya: Meyakini suatu kebenaran hukum yang tidak ada dapatkan suatu kebenaran bila terjadi pertentangan dalam suatu
nasnya perkara.
380| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012
diungkapkan: ( ) pada kata ini yang diisyaratkan Allah dalam Q.s. al-An‘âm
bentuk masdarnya adalah ru’yah: tetapi [6]: 78, sebagai berikut:
kalau seseorang melihat bulan dalam ke
adaan tidur atau bermimpi maka diucap
kan ( ), masdar pada kata ra’a
disini adalah ru’ya: untuk sesuatu yang
tidak bisa dilihat dengan mata dan hanya
dapat dipahami dengan hati, maka bentuk
masdarnya adalah ra’yu: selanjutnya Kata ra’yu pada ayat di atas berarti
kata ini dihususkan untuk sesuatu yang melihat. Namun pada obyek yang abstrak,
dipandang hati setelah berfikir dan merenung kata ra’yu tidak mungkin diartikan “melihat
yang mendalam.12 dengan mata kepala”, tetapi harus diartikan
Kata al-ra’yu: juga memiliki arti “melihat dengan mata hati” atau dengan
“melihat dengan hati”, (1) pandangan hati; arti “memikirkan/memperhatikan”. Seperti
setelah upaya berfikir dan merenung dan firman Allah dalam Q.s. Luqmân [31]: 20,
mendapatkan ma‘rifah untuk menetapkan sebagai berikut:
sesuatu yang benar terhadap masalah yang
tanda-tandanya bertentangan, (2) berfikir,
yaitu menggunakan akal dengan aneka
sarana yang diarahkan oleh syara‘ untuk
sampai kepada petunjuk yang benar dalam
menetapkan hukum dimana tidak ditemui
dalil nas, (3) menetapkan hukum syariah
dengan menggunakan kaidah yang telah
ditetapkan.13 Kata ra’yu yang dimaksud dalam ayat
di atas adalah “memikirkan”, juga berarti
Kata ra’yu atau yang seakar dengan itu
“hasil pemikiran” atau “rasio”. Selain kata
terdapat pada 328 ayat dalam Alquran.14
(ra’a), untuk artian berfikir dalam
Dalam bukunya, Amir Syarifudin menyatakan
Alquran juga digunakan kata (fakara), atau
bahwa apa yang dimaksud dengan kata ra’yu
kata lain yang berakar pada kata itu. Kata
di dalam Alquran itu tergantung kepada apa
(fakara) ini terdapat 18 ayat di dalam
yang menjadi obyek dari perbuatan “melihat”
Alquran yang pada umumnya bersamaan
itu. Obyek yang dikenai dengan kata ra’yu
artinya dengan kata ra’yu. Seperti firman
di dalam Alquran secara garis besar dapat
Allah sebagai berikut:
dibagi menjadi dua macam, yaitu obyek yang
kongkrit (berupa) atau obyek yang abstrak
(tidak berupa). Untuk obyek yang kongkrit
kata ra’yu itu berarti melihat dengan mata
kepala atau memperhatikan. Sebagaimana
12
‘Ali Hasan ‘Abd al-Qadîr, Nazrat ‘Ammah fî al-Târîkh al-
Fikih al-Islâmî (al-Qâhirah: Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1991),
Selanjutnya, kata fikir mempunyai kaitan
218. Lihat Juga: Shams al-Dîn Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn yang erat dengan akal. Karenanya Allah
Abî Bakr (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah), I‘lâm al-Muwaqqi‘în menggunakan kata “berakal” dalam arti yang
‘an Rabb al-‘Âlamin, juz. I, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1996), h. 53. sama dengan “berfikir”. Kata (aqala) dan
13
Qutub Mustafa Sanu, Mu‘jam Mushthalahât Usul Fikih kata yang berakar kepadanya muncul dalam
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), h. 215.
14
Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu‘jam al-Mufahras 49 ayat Alquran, umpamanya dalam Q.s.
li al-Fazh Alquran al-Karîm (al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, 1992 al-Nahl [16]: 12, sebagai berikut:
M/1412 H), h. 56-362.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam |381
16
21
a. Keterbatasan akal dalam mengetahui untuk mencapai sesuatu yang berada di luar
eksistensi Allah. dirinya, sekali lagi manusia membutuhkan
Badru Tamam dalam tesisnya meneliti petunjuk dan kali ini Allah menganugerahkan
tentang corak pemikiran kalam dalam patunjuk-Nya, kedua berupa panca indra.
tafsir al-Misbah, salah satu pembahasannya Namun betapapun tajam dan pekanya
adalah tentang akal manusia.30 Muhammad kemampuan indra manusia, seringkali hasil
Quraish Shihab pengarang kitab tafsir al- yang diperolehnya tidak menggambarkan
Misbah menyatakan bahwa, akal dapat hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajam
mengetahui adanya zat yang menciptakan nya mata seseorang, ia akan melihat tongkat
alam raya, karena tidak mungkin ada se yang lurus menjadi bengkok di dalam air.
suatu tanpa ada yang menciptakan. Namun Oleh sebab itu Muhammad Quraish
siapa yang menciptakan, akal tentu mem Shihab menjelaskan bahwa Allah meng
butuhkan petunjuk. Hal ini dapat diketahui anugerahkan petunjuk yang ketiga, yaitu akal
pada penafsirannya terhadap Q.s. al-Fâtihah yang akan mengkordinir semua informasi
[1]: 6, sebagai berikut: yang diperoleh oleh indra kemudian mem
buat kesimpulan yang sedikit banyak dapat
berbeda dengan hasil informasi indra.
Dalam penafsiran Muhammad Quraish Sehingga penilaian indra yang tidak selalu
Shihab, beliau menjelaskan bahwa Allah akurat, dapat menjadi suatu penilaian yang
menganugerahkan petunjuk kepada manusia. lebih tepat, meskipun secara esensinya
Petunjuk-Nya bermacam-macam sesuai dengan akalpun memiliki keterbatasan. Muhammad
peranan yang diharapkannya dari makhluk. Quraish Shihab menuliskan penjelasannya
Selain ayat di atas, ayat yang menjelaskan dalam Tafsir al-Misbah:
tentang petunjuk yang diberikan Allah kepada Yang meluruskan kesalahan panca indra
hambanya juga terdapat dalam: Q.s. Thâhâ adalah petunjuk Allah, ketiga yakni akal.
[20]: 5031 dan Q.s. al-A‘lâ [87]: 1-3.32 Akal yang mengkoordinir semua informasi
Petunjuk Allah yang bermacam-macam, yang diperoleh indra kemudian membuat
dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan. Petunjuk kesimpulan-kesimpulan yang sedikit atau
tingkat pertama, yaitu: naluri. Namun naluri banyak dapat berbeda dengan hasil informasi
hanya terbatas pada penciptaan dorongan indra. Tetapi walau petunjuk akal sangat
untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. penting dan berharga, namun ternyata ia
Naluri tidak mampu mencapai apapun hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu
yang berada di luar tubuh pemilik naluri dan tidak mampu menuntun manusia keluar
itu. Nah, pada saat datang kebutuhannya jangkauan alam fisika. Bidang operasinya
adalah bidang alam nyata dan dalam bidang
30
Badru Tamam, Corak Pemikiran Kalam dalam Tafsir al-
ini pun tidak jarang manusia terperdaya
Mishbah, tesis, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah oleh kesimpulan-kesimpulan akal sehingga
Jakarta, 2007. akal tidak merupakan jaminan menyangkut
31
Ayatnya berbunyi:
seluruh kebenaran yang didambakan. Akal
dapat diibaratkan sebagai pelampung; ia
Musa berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang Telah memberikan
kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, Kemudian mem
dapat menyelamatkan seseorang yang tidak
berinya petunjuk. Q.s. Thâhâ [20]: 50. pandai berenang dari kehanyutan di kolam
32
Ayatnya berbunyi: renang, atau bahkan di tengah laut yang
tenang. Tetapi jika ombak dan gelombang
1. Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, 2. Yang Mencipta telah membahana, atau datang bertubi-tubi
kan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), 3. Dan yang me setinggi gunung, maka ketika itu yang pandai
nentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. (Q.s. al-
A‘lâ [87]: 1-3). dan yang tidak pandai berenang keadaannya
384| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012
akan sama. Ketika itu mereka semua tidak Dari Q.s. al-A‘râf [7]: 28 di atas kita
hanya membutuhkan pelampung, tetapi memahami bahwa, sikap manusia memang
sesuatu yang melebihi pelampung. Karena suka ingkar dan tidak mau mengakui kes
itu, manusia memerlukan petunjuk yang alahannya, padahal, dia mengetahui persis
melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan hukum yang telah ditetapkan.
kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Menurut Muhammad Quraish Shihab,
Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah kata ( ) fahishah/kekejian dari segi bahasa
“hidayah agama”.33 terambil dari kata ( ) al-fuhsh, yaitu yang
Dari penjelasan Muhammad Quraish banyak dan kuat dalam hal yang tercela dan
Shihab di atas dapat diketahui bahwa akal buruk. Karena itu para ulama menyatakan
manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, bahwa kata ini sebenarnya berfungsi sebagai
dalam arti bahwa Tuhan itu ada, akal adjektif (sifat) dari satu pelaku/kata yang
manusia dapat mencapainya. Tetapi untuk tidak diucapkan yaitu “perbuatan”, dengan
mengetahui hakikat-Nya, akal manusia demikian kata fâhishah berarti perbuatan
tidak mampu. Disinilah fungsi nas untuk yang amat tercela dan buruk. Bukan hanya
menjelaskan kepada akal tentang existensi agama yang menolaknya tetapi juga pemilik
Tuhan yang sama sekali diluar jangkauan akal yang sehat. Manusia pun pada umumnya
kemampuan manusia. malu bila diketahui mengerjakannya. Zina,
homoseksual, pencurian, dan banyak lagi
lainnya dinilai sebagai fâhishah. Pakar-pakar
b. Kemampuan akal manusia untuk me
hukum seringkali memberi batasan bahwa
ngetahui baik dan buruk serta kewajiban
fâhishah adalah perbuatan yang diancam oleh
mengerjakan yang baik dan menjauhi
Alquran dan atau hadis dengan siksa neraka,
yang buruk.
atau yang diancamnya dengan sanksi hâd.36
Kemampuan akal manusia pada masalah
Selanjutnya, pada sQ.s. al-A‘râf [7]:
ini dapat diketahui dari penjelasan Alquran
157, Allah menegaskan tentang perintah
yang terdapat pada Q.s. al-A‘râf [7]: 28,
Allah yang jika manusia mengerjakannya
157, sebagai berikut: akan mendapat hasil yang baik dan melarang
perbuatan buruk demi kemaslahatan manusia
itu sendiri. Menurut Muhammad Quraish
Shihab, karena keterbatasan akal manusia
Allah memberikan nas sebagai tuntunan
34 demi kemaslahatan manusia, di dalamnya
terdapat ketetapan hukum yang menjadi
koridor agar manusia tidak tenggelam di
dalam kebodohan, kebohong an dan ke
35 sesatan. Dari hal inilah, nyata keterbatasan
akal manusia.
Dari penjelasan di atas kita dapat me
33
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh Pesan, ngetahui bahwa, manusia memang memiliki
Kesan dan Keserasian Alquran, jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, potensi akal yang sangat luar biasa dalam
2005), h. 63-64.
34
Artinya: Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji,
memecahkan persoalan-persoalan yang di
mereka berkata: ‘Kami mendapati atas dasar itulah nenek moyang hadapi dalam proses perkembangan hidup
kami dan juga Allah menyuruh kami mengerjakannya’. Kata nya. Namun tetap saja akal memiliki keter
kanlah: ‘Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian’.
(QS. al-A‘râf [7]: 28). batasan, dalam hal ini nas yang berperan
35
Artinya: Dia menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan
mencagah mereka dari yang mungkar dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala 36
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh Pesan,
yang buruk. (QS. al-A‘râf [7]: 157). Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 68.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam |385
wahyulah yang dapat menjelaskan persoalan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian
hari akhirat.43 tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan
Tokoh Mu‘tazilah yang bernama Abdul perbuatan baik dan menjauhi perbuatan
Jabbar (w. 415 H), menjelaskan bahwa meski buruk adalah wajib.46 Selanjutnya ia me
akal dapat mengetahui kewajiban berbuat ngatakan bahwa akal dapat mengetahui
baik yang mendatangkan kemaslahatan dan adanya Tuhan, tetapi mengetahui kewajiban
menjauhi perbuatan yang mendatangkan terhadapat Tuhan diperoleh hanya melalui
kerugian, dalam keadaan tertentu akal tidak wahyu.47
dapat mengetahui apakah perbuatan tersebut Menurut Asy‘ariyyah, akal tidak memiliki
membawa kebaikan ataukah menimbulkan kemampuan untuk mengetahui perbuatan
kerugian. Dalam keadaan seperti itu, wahyu baik dan buruk. Suatu perbuatan dapat
yang menjelaskan baik buruknya perbuatan diketahui baik atau buruknya hanya melalui
tersebut.44 Misalnya, akal mengatakan bahwa perintah dan larangan dari wahyu. Karena
menyembelih binatang adalah perbuatan itu, jika syara’ menyebut suatu perbuatan baik
buruk, namun wahyu kemudian turun men atau menyuruh orang untuk mengerjakannya,
jelaskan bahwa menyembelih binatang untuk berarti perbuatan itu baik. Sebaliknya, jika
keperluan-keperluan tertentu yang dibenarkan syara‘ menyebutnya buruk atau melarang
syara, seperti untuk memperingati hari-hari orang untuk melakukannya, berarti perbuatan
keagamaan yang bersejarah, memperkuat itu buruk. Misalnya, jika syara‘ menyuruh
tali silaturrahmi dengan tetangga, dan kita berbohong, berarti berbohong adalah
menunjukkan rasa kasih sayang kepada kaum perbuatan baik meski akal menganggapnya
fakir miskin adalah perbuatan baik. Selain buruk. Sebaliknya, jika syara‘ melarang kita
terhadap perbuatan-perbuatan tersebut, akal jujur, berarti jujur itu merupakan perbuatan
juga tidak dapat mengetahui rincian tentang buruk meski akal menganggapnya baik.48
besar kecilnya hukuman dan pahala yang Disamping itu, Asy‘ariyyah juga ber
diterima manusia di akhirat kelak. Agar pendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui
manusia dapat mengetahui rincianya, maka kewajiban, seperti kewajiban berbuat baik dan
wahyu yang menjelaskannya.45 menjauhi perbuatan buruk atau kewajiban
Demikianlah kemampuan akal dan fungsi mengetahui adanya Allah dan bersyukur
wahyu dalam pandangan Mu‘tazilah, yang kepada-Nya meski akal dapat mengetahui
secara efektif telah membawa mereka, terutama keberadaan-Nya. Sebab, semua kewajiban itu
pemikir-pemikirnya mengembangkan teologi hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sesuai
Islam yang bercorak rasional. dengan pendirian mereka tersebut, maka
mereka juga berpendapat bahwa sebelum
b. Asy‘ariyah. rasul datang membawa wahyu, manusia
Menurut aliran Asy‘ariyyah yang dipelopori belum dibebani taklif. Karena itu, mereka
oleh Abû Hasan al-Asy‘ari (874-935 M) tidak dapat dihukum di akhirat lantaran
menyatakan bahwa, akal hanya dapat me perbuatan buruk yang dijalani atau tidak
ngetahui satu dari empat persoalan, yaitu berbuat baik.49
adanya Tuhan. Menurut Asy‘ari sendiri, Untuk memperkuat pendirian mereka
semua kewajiban dapat diketahui hanya
melalui wahyu. Akal tidak dapat menentukan 46
Al-Shahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, jilid 1, (Bayrut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h. 88.
47
Al-Shahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, h. 88.
48
Abû al-Hasan Ismâ‘îl al-Ash‘arî, Kitab al-Luma‘ fî al-
43
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 97. Radd ‘ala Ahl al-Zaig wa al-Bida`, (Bayrut: Dar al-Kutub al-
44
Al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbar, Sharh al-Ushûl al-Khamsah Islamiyyah, 2000), h. 234.
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), h. 564-565. 49
Mahmûd Qâsim, Manâhij al-Adillah fi ‘Aqâ’id al-Millah
45
Al-Qadhi Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, h. lî Ibn Rusyd mâ Muqaddimah fî Naqd Madâris ‘Ilm al-Kalâm
138-139. (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, 1993), h. 93.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam |387
pendirian Mu‘tazilah, hanya terdapat per tiga macam. Pertama, perbuatan yang dapat
bedaan yang mendasar. Mu‘tazilah ber diketahui kebaikannya dengan akal. Kedua,
pendirian bahwa mengetahui Allah wajib perbuatan yang dapat diketahui keburukannya
berdasarkan akal, sedangkan Maturidiyyah dengan akal. Ketiga, perbuatan yang tidak
tidak menetapkan demikian. Bahkan, jelas kebaikan dan keburukannya sehingga
mereka berpandangan bahwa kewajiban me akal tidak dapat mengetahui baik buruknya
ngetahui Allah tidak mungkin terjangkau perbuatan itu.60 Selain itu, meski akal dapat
oleh kemampuan akal. Kewajiban itu tidak mengetahui baik buruknya suatu perbuatan,
akan ada kecuali dari yang berhak untuk tidak berarti kemampuan tersebut dimiliki
mewajibkannya, yaitu Allah.56 oleh semua orang secara merata. Bahkan,
Selanjutnya menurut Abû Mansur al- dalam memperkirakan baik buruknya suatu
Maturidi (w. 333 H / 944 M), akal dapat perbuatan itupun banyak yang keliru dan
mengetahui adanya Allah dan kewajiban ber meleset dari realitas yang sebenarnya.
syukur kepada-Nya. Walaupun demikian, tidak
berarti akal juga dapat mengetahui kewajiban d. Maturidiyah Bukhara
berbuat baik dan kewajiban menjauhi per Pendirian Maturidiyyah Bukhara sedikit
buatan jahat. Oleh karena itu, sebelum ada berbeda dengan pemikiran Maturidiyyah
wahyu yang dibawa rasul, belum ada taklif Samarkand. Tokoh dari golongan Maturidiyyah
dari Allah untuk manusia. Dengan demikian, Bukhara adalah Abû al-Yusr Muhammad
mereka tidak akan diberi pahala kalau berbuat al-Bazdawi (412-493 H / 1029-1099 M),
baik dan tidak akan dihukum kalau berbuat yang berpendirian bahwa akal tidak dapat
buruk.57 Oleh karena itu kedatangan para mengetahui kewajiban-kewajiban, akal hanya
rasul membawa wahyu itu sangat diperlukan mampu mengetahui sebab kewajiban. Oleh
manusia, pengutusan mereka itu kepada umat sebab itu al-Bazdawi berpendapat bahwa
manusia merupakan suatu keharusan. Tetapi, “akal merupakan alat untuk mengetahui
keharusan di sini bukan merupakan suatu kewajiban”.61 Menurut golongan Maturidiyyah
kewajiban atas Allah seperti yang dikatakan Bukhara bahwa hanya pengetahuan-penge
Mu‘tazilah, melainkan merupakan tuntunan tahuan yang dapat diketahui oleh akal.
kebijaksanaan, karena dalam pengutusan Adapun kewajiban-kewajiban, wahyulah
para rasul itu terdapat berbagai hikmah dan yang menentukannya. Oleh karena itu,
kemaslahatan untuk umat manusia.58 kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,
Selain itu, golongan Maturidiyyah sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib
Samarkand mengatakan bahwa sebelum rasul bagi manusia. Di samping itu, sebelum
datang membawa wahyu, akal sudah dapat adanya rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah
mengetahui mana perbuatan yang baik dan diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan
buruk sebab baik buruknya suatu perbuatan bukanlah merupakan dosa.62 Karena itulah
ada pada perbuatan itu sendiri. Meski dalam pandangan mereka akal hanya dapat
demikian, tidak berarti semua perbuatan mengetahui dua di antara empat persolan
dapat diketahui baik buruknya oleh akal.59 tersebut, yaitu mengetahui adanya Tuhan,
Sebabnya adalah apa yang disebut dengan serta mengetahui baik dan buruk.
perbuatan itu dapat diklasifikasikan menjadi Dari pendapat empat aliran kalam di
atas dapat kita ketahui bahwa akal manusia
56
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazhâhib al- memiliki potensi berfikir besar. Meskipun
Islâmiyyah, vol. I, h. 201.
57
Abû Manshûr al-Mâtûrîdi Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Mahmûd, Kitâb al-Tauhîd, (Ed), Fathullah Khalif (Istambul:
al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979), h. 178. 60
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazhâhib al-
58
Abû Manshûr al-Mâtûrîdi, Kitâb al-Tauhîd, h. 182. Islâmiyyah, vol. I, h. 202.
59
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazhâhib al- 61
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 91.
Islâmiyyah, vol. I, h. 202. 62
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 92.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam |389
dalam beberapa poin tertentu otak manusia mencakup segala hal yang tidak terdapat
masih membutuhkan guide yang dapat mem di dalam nas secara jelas. Idris berpendapat
berikan penjelasan dari ketidaktahuannya, demikian dengan berdasarkan pendapat
yaitu guide yang terdapat dalam Alquran sahabat, yang mendefinisikan makna ra’yu
dan hadis. dalam artian yang luas, yaitu sesuatu
Dengan demikian, menurut hemat yang diputuskan/diambil dari selain nas.
penulis, berdasarkan definisi dan eksplanasi sedangkan ra’yu dalam definisi para sahabat
tentang ra’yu yang telah dibahas sebelumnya adalah: sesuatu yang diputuskan oleh hati
dan dari definisi dan eksplanasi tentang al- sesudah melalui proses pemikiran, penelitian
’aqlu di atas, maka benang merah antara dan pencarian kebenaran dari sesuatu yang
al-ra’yu dan al-’aqlu (akal) adalah “jika akal berlawanan dengan petunjuk/dalil yang ada.65
adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan Dari dafinisi di atas, maka dapat
pemikiran) sedangkan ra’yu adalah objek disimpulkan bahwa ra’yu secara umum adalah
(hasil dari pemikiran akal)”. “sesuatu yang diputuskan oleh hati sesudah
Akal adalah alat yang mampu meng melalui proses pemikiran, penelitian dan
kordinir semua informasi yang diperoleh oleh pencarian kebenaran dari suatu hukum yang
indra kemudian membuat kesimpulan yang tidak terdapat dalil nas yang jelas padanya”.
sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil
informasi indra. Sehingga penilaian indra b. al-’Aqlu/Akal
yang tidak selalu akurat, dapat menjadi suatu Di dalam karyanya dengan judul “Logika
penilaian yang lebih tepat, meskipun secara Agama”, Muhammad Quraish Shihab men
esensinya akalpun memiliki keterbatasan. jelaskan secara garis besar tentang akal.
Sedangkan suatu hasil dari proses pemikiran Menurutnya, akal adalah sumber utama
yang bertujuan untuk mencari kebenaran/ yang dapat mengetahui sebagian besar dari
solusi dari suatu hukum yang tidak ada di kemaslahatan dan keburukan yang berkaitan
dalam nas, adalah ra’yu. dengan urusan duniawi. Namun akal tidak
dapat mandiri, karena membutuhkan dalil
Perbedaan antara al-Ra’yu dan al-’Aqlu syar’i demikian sebaliknya. Muhammad
1. al-Ra’yu Quraish Shihab menyatakan bahwa:
Ra’yu adalah pendapat. Sebuah prinsip Sebagian besar dari kemaslahatan dan
hukum Islam, yang merupakan pendapat keburukan dapat diketahui melalui akal,
pribadi seorang fakih (ahli hukum Islam), demikian juga sebagian besar ketetapan
ra’yu merupakan prinsip hukum yang berada syara. Memang para ahli hukum Islam
di bawah Alquran, sunnah, al-ijma’ dalam memandang akal sebagai sumber utama
menyelesaikan masalah permasalahan yang menyangkut hal yang tidak ditemukan
muncul.63 penjelasannya dari syariah. Tetapi, sekali
Idris Jam’ah Darar Basyir mengutip lagi bukan semua hal. Ia hanya sebagian
pendapat dari Ibn Hazm dalam menjelaskan besar. Kemaslahatan yang berkaitan dengan
arti ra’yu. Menurut Ibn Hazm, ra’yu adalah: urusan duniawi dapat diketahui melalui
suatu hukum yang diputuskan oleh seorang akal. Namun, akal dan syara harus selalu
hakim untuk mencari solusi yang terbaik dihubungkan, karena akal tidak dapat
bagi suatu situasi dan kondisi.64 Sedangkan mencapai arah yang benar kecuali dengan
menurut Idris Jam’ah sendiri, ra’yu adalah: bantuan syariah / wahyu dan syariah pun
tidak menjadi jelas tanpa bantuan akal.
63
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta: PT.
Raja Grafndo Persada, 1999), h. 341. 65
Disarikan dari buku karangan: Idris Jam‘ah Darar
64
Idris Jam‘ah Darar Bashîr, al-Ra’yu, wa Atharuh fi Fikih al- Bashîr, al-Ra’yu, wa Atharuh fi Fikih al-Islâmî fi ‘Ushûr Mâ
Islâmî fi ‘Ushûr Mâ Qabla Qiyâm al-Mazhâhib al-Fikihiyyah, h. 11. Qabla Qiyâm al-Mazhâhib al-Fikihiyyah, h. 11.
390| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012
di akhirat, berupa pahala bagi perbuatan merupakan alat untuk mengetahui kewajiban
baik yang dapat diketahui oleh akal dan dan kebenaran. Akal adalah sumber utama
berupa hukuman untuk perbuatan buruk yang dapat mengetahui sebagian besar dari
yang dapat diketahui oleh akal. Melakukan kemaslahatan dan keburukan yang berkaitan
perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan dengan urusan duniawi dan ukhrawi.
buruk tersebut baru menjadi taklif yang
membawa konsekuensi kepada ganjaran di Pustaka Acuan
akhirat apabila wahyu yang dibawa oleh ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fu’âdh, al-Mu‘jam
utusan Allah sudah datang menjelaskannya. al-Mufahras li al-Fazh Alquran al-Karîm,
Dengan demikian, fungsi wahyu menurut al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, 1992 M/1412 H.
Muhammad Quraish Shihab tidak hanya
‘Abd al-Jabbâr, Al-Qâdhi, al-Majmû‘ fî al-
memberikan konfirmasi terhadap apa
Muhîth bi al-Taklîf, Beirût: Institut des
yang telah diketahui oleh akal, tetapi juga
Letrea Orientales.
informasi tentang baik buruk suatu per
buatan meski penetapan dari wahyu itu _____, Sharh al-Ushûl al-Khamsah, Kairo:
tidak bertentangan dengan akal. 71 Maktabah Wahbah, 1996.
Dari penjelasan Muhammad Quraish ‘Abidah, ‘Abd al-Karîm Naufan, Al-Dilâlah
Shihab di atas dapat kita pahami bahwa al-‘Aqliyyah fî Alquran wa Makânatuh fî
sehebat apapun potensi akal yang dimiliki Masâ’il al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, Umman:
manusia, akal tetap memiliki keterbatasan Dâr al-Nafâ’is, 1420 H/2000 M.
dalam kapasitasnya pada hal-hal di luar ‘Uthmân, Mahmûd Hamîd, al-Qâmûs al-
kemampuan logikanya. Akal tetap mem Mubîn fî Ishthilâhât al-Ushûliyyîn, al-
butuhkan nas yang terdapat dalam ajaran Qâhirah: Dâr al-Hadîth, 1421 M/2000 H.
agama untuk dapat menopang keter al-Nabhan, Muhammad Farûq, al-Madkhal
batasannya. li al-Tashrî‘ al-Islâmî, Beirût: Dâr al-
Qalam, 1981.
Penutup Amîn, Ahmad, Fajr al-Islamî, t.tp: Shirk
Dalam menghadapi berbagai permasalahan al-Thibâ‘ah al-Fanniyah al-Muttahidah:
kon temporer yang tidak terdapat dalam 1975.
nas Alquran dan hadis, ra’yu dapat menjadi Ash‘ari, al-, Abû al-Hasan Ismâ‘îl, Kitab
salah satu sumber hukum Islam yang diakui al-Luma‘ fî al-Radd ‘ala Ahl al-Zaig
keabsahannya. Namun demikian, tentu saja wa al-Bida‘, Beirut: Dar al-Kutub al-
Alquran dan hadis harus tetap menjadi Islamiyyah, 2000.
acuan utama dalam mengatasi keterbatasan Bashîr, Idrîs Jam‘ah Darar, al-Ra’yu, wa Atharih
akal dalam istinbat hukum Islam. Terdapat fî Fikih al-Islâmî fî ‘Usur Mâ Qabl Qiyâm
perbedaan mendasar antara al-ra’yu dan al- al-Mazhâhib al-Fikihiyyah, Qâhirah: Dâr
‘aqlu. al-Ra’yu adalah sesuatu yang diputuskan Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.
oleh hati sesudah melalui proses pemikiran, Biqâ‘i, al-, Burhân al-Dîn Abî al-Hasan
penelitian dan pencarian kebenaran dari Ibrâhîm Ibn ‘Amr, Nazhm al-Durar fî
sesuatu yang bertentangan dengan dalil Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, Beirût: Dâr
yang ada/karena tidak didapati dalil yang al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1415 H/1995 M.
jelas dari nas. Sedangkan al-‘aqlu adalah
CD Room, Mausu‘ah al-Hadîth al-Sharîf,
edisi kedua.
71
Disarikan dari buku: Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Tafsir al-Misbâh, vol X, h. 360. Lihat juga pembahasan lebih
lengkap tentang kapasitas dan fungsi akal manusia dalam Van Hoeve, 1994 M.
tesis Badru Tamam, “Corak Pemikiran Kalam dalam Tafsir Faris, Abû al-Hasan Ahmad Ibn Zakariya
al-Mishbah,” Tesis di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007. Ibn, Mu‘jam al-Maqâyis fî al-Lughah,
392| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012
Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Qadîr, al-, ‘Ali Hasan ‘Abd, Nazrat ‘Ammah fî
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas, al-Târîkh al-Fikih al-Islâmî, al-Qâhirah:
Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 1999. Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1991.
Habibi, B.J, dalam acara talkshow, Save Our Qal’ah, Muhammad Rawas Ji dan Hamid
Nation: Habibi Bicara Masalah Bangsa, SHadiq Qanibi, Mu‘jam Lughat al-
Metro TV, Senin, 16. 00., 13 April, 2009. Fuqahâ, Beirut: Dâr al-Naffas, 1985.
Ibn Abî Bakr, Shams al-Dîn Abû ‘Abdillah Qâsim, Mahmûd, Manâhij al-Adillah
Muhammad (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah), fi ‘Aqâ’id al-Millah lî Ibn Rusyd mâ
I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamin, Muqaddimah fî Naqd Madâris ‘Ilm al-
Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996. Kalâm, Kairo: Maktabah al-Anglo al-
Ismâ‘îl, Sya‘ban Muhammad, Ushûl al- Mishriyyah, 1993.
Fikih Târîkhuh wa Rijâluh, Makkah Qayyim, Shams al-Dîn Abû ‘Abdillah
al-Mukarramah: Dâr al-Islâm, 1419 Muhammad Ibn Abî Bakr al-Jauziyyah
H/1998 M. Ibn, I‘lam al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb
Jabali, Fuad, dalam diskusi seminar kelas: al-‘Âlamîn, Beirût: Dâr al-Kutub al-
Penelitian Metodologi Studi Islam, ‘Ilmiyyah, 1996 M.
Ciputat, Kamis, 22 Januari 2009. Rahman, Yusuf, seminar mata kuliah
Juwaini, al-, Musthafa al-Shâwi, Manhaj “Penelitian Metodologi Studi Islam”, Kamis,
al-Zamakhshari fi Tafsîr Alquran wa 13 November 2008. Universitas Islam
Bayân I`jâzihi, Jakarta: Dinamika Berkat Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Utama, t.th. Sanu, Quthub Musthafâ, Mu‘jam Mushthalâhât
Khalâf, al-, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilm Ushûl Usul Fikih, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000.
al-Fikih, Dâr al-Quwaitiyyah, 1968 Shahrastâni, Al-, Al-Milal wa al-Nihal,
M/1388 H. Beirût: Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, t.th.
Manzhûr, Abi al-Fadhl Jamal al-Dîn Shihab, Logika Agama: Batas-Batas Akal dan
Muhammad Ibn Mukarram al-Afriqî Kedudukan Wahyu dalam Islam, Jakarta:
al-Mishrî Ibn, Lisân al-‘Arab, Beirut: Lentera Hati, 2005, cet. II
Dâr al-Shâdir, 2000 M. _____, Muhammad Quraish, Tafsir Al-
Mâtûrîdi, al-, Abû Manshûr Muhammad Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian
Ibn Muhammad Ibn Mahmûd, Kitâb al- Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Tauhîd, (Ed), Fathullah Khalif, Istambul: Syarifudin, Amir, Ushul Fikih Jilid I, Jakarta:
al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979. Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005.
Munawar, Ahmad Warson, Kamus al- Tamam, Badru, Corak Pemikiran Kalam
Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, dalam Tafsir al-Mishbah, Tesis di
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Hidayatullah Jakarta, 2007.
al-Munawir Krapyak Yogyakarta, 1984. Thomas Riggs, ed., Worldmark Encyclopedia
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam of Religious Practices, USA: Thomson
Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Gale, 2006.
Indonesia (UI Press), 1986. Weber, Max, The Protestant Ethic and the
_____, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Spirit of Capitalism, New York: Charles
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Scribner’s Sons, 1958.
1986. _____, Max, The Sociology of Religion,
_____, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Boston: Beacon Press, 1992.
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Zarqâ, al-, Mustafa Muhammad, al-Madkhal fi
1986. al-Fikih al-‘Âm, Damaskus: al-Adib, 1968.