You are on page 1of 16

RA’YU SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Nur Arfiyah Febriani


Universitas Muhammadiyah Tanggerang (UMT)
Jl. Perintis Kemerdekaan I,No.33. Wilayah, Kota Tangerang
E-mail: royyana12@yahoo.com

Abstract: Ra’yu as a Source of Islamic Law. Ra’yu is one of methods for Muslim to establish laws for
contemporary issues which have not been found in the Alquran and Hadith. Human is capable to think
comprehensively by firmly hold on to Alquran and Hadith resulting the validity of Ra’yu’. However,
it should be considered that mind and ra’yu are different. Mind is the subject (individual who do the
thinking), while ra’yu is an outcome/ object from the thought process that aims to seek the truth or
solution for laws that do not exist in the Alquran and Hadith.
Keywords: al-‘aqlu, taklif Alquran and hadith,

Abstrak: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam. Ra’yu adalah salah satu cara umat Islam untuk
menetapkan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam
Alquran dan Hadis. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra’yu. Namun perlu digarisbawahi
bahwa akal dan ra’yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya. Akal adalah subjek (alat/pelaku yang
melakukan pemikiran), sedangkan ra’yu adalah, suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan
untuk mencari kebenaran/solusi dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis.
Kata Kunci: al-‘aqlu, taklif Alquran dan hadis,

Pendahuluan menempati posisi sentral dalam studi ke­


Dalam pembentukan hukum, fikih tidak islaman, sehinga seringkali disebut sebagai
akan dapat berdiri tanpa “ushûlnya”, berbeda “the queen of Islamic science”. Dari kaidah-
dengan ushûl yang dapat berdiri sendiri kaidah yang lahir yang dirumuskan oleh
tanpa fikih, karena ia adalah dasarnya. para mujahid Islam dalam disiplin ilmu
Oleh sebab itu, usul fikih adalah ilmu yang ini, membawa dampak hukum yang dapat
sangat penting dalam menghasilkan hukum mengakomodir, antara necessity of life dengan
Islam yang responsif dan adaptable terhadap tujuan hidup manusia di akhirat kelak.
permasalahan kontemporer, karena ilmu ini Oleh sebab itu, merupakan suatu ke­­
membahas tentang metode-metode, dasar- pastian bahwa formulasi ajaran dan hukum-
dasar, pendekatan-pendekatan, dan teori- hukum yang dibawa Islam selalu meng­
teori yang digunakan dalam memahami arahkan arah hidup manusia kepada jalan
ajaran Islam. Hal inilah yang menjadikannya kebenaran dan keselamatan, baik dalam

377
378|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

interaksi vertikalnya kepada Sang Pencipta otoritas dan kapasitas akal dalam mencoba
(habl ma‘a khâliqih) maupun interaksi mencari solusi/mencari ketetapan hukum
horizontalnya sebagai makhluk sosial (habl dari setiap permasalahan baru yang timbul,
ma‘a ikhwânih), bahkan dalam hubung­ namun tidak terdapat nas yang jelas
annya dengan sesama makhluk di alam untuk menjadi dalilnya, menjadikan ra’yu
raya (habl ma‘a bî’atih). Ini karena dalam sebagai salah satu solusi dalam menjawab
pembentukan dan penentuan hukum­nya problematika kontemporer umat Islam.
dengan berdasar kepada Alquran dan hadis, Namun, para ulama berbeda pen­dapat dalam
sudah melalui proses yang panjang dalam penggunaan ra’yu jenis ini sebagai dalil
diskusi argumentatif para ahlinya demi hukum, para ahlipun membuat klasifikasi
kemaslahatan umat manusia. ra’yu. Jumhur sepakat mendahulukan ra’yu
Islam sangat mengerti bahwa manusia yang tetap mengambil dalil dari premis
adalah makhluk sosial dinamis yang selalu mayor yang terdapat dalam teks-teks kitab
menciptakan perubahan dan perkembangan suci sebagai ra’yu yang dapat diterima. Lalu,
dalam segala aspek kehidupannya.1 Semua bagaimana dengan ra’yu dengan tanpa dalil
hal yang berhubungan dengan perkembangan syar’i?
kehidupan manusia tidak terlepas dari hasil
pemikiran akal. Karena kecerdasan akal Pemahaman Teks Hukum secara
manusialah yang menjadikannya makhluk Kontekstual
istimewa, karena dengan potensi akalnya, Pemahaman teks hukum secara kontekstual,
manusia dapat terus mengembangkan ide, berarti mencoba memahami ayat/kalimat
melakukan berbagai inovasi, kreasi dan lain- yang terdapat di dalam Alquran dan hadis
lain. terutama yang berhubungan dengan hukum
Dalam kajian ilmu usul fikih, masalah untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan
manusia sesuai pada zaman dimana Alquran
1
Islam adalah agama yang mengajarkan segala aspek yang itu berada. Pentingnya memahami teks
terdapat dalam kehidupan manusia. Islam menghendaki para hukum secara kontekstual karena segala
pemeluk agamanya adalah orang-orang yang selalu aktif dan
dinamis dalam kehidupannya. Karena dalam artinya sendiri
hukum yang tergantung di dalamnya, adalah
secara etimologi, kata Islam berasal dari kata: untuk kemaslahatan bagi umat manusia.
yang memiliki arti: proses menuju keselamatan. Islam memiliki Melanggarnya adalah petaka bagi manusia
arti: 1) melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin. 2)
kedamaian dan keamanan, dan, 3) ketaatan dan kepatuhan. itu sendiri.
Lihat. Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994 M), cet. I, vol. II, 246. Dari semua definisi di atas, Islam
Butuh pemahaman yang dalam, upaya
memiliki arti yang mengarah pada suatu proses, yaitu proses penafsiran yang komprehensif agar apa
menuju keselamatan. Suatu proses, menjadikan seseorang untuk yang dimaksud dalam suatu teks ayat dapat
selalu bertindak aktif dan dinamis demi cita-cita yang diinginkan.
Oleh sebab itu, agama Islam dengan semua ajarannya, adalah dipahami dengan lebih baik. Meskipun tidak
bertujuan agar manusia menjalani proses menuju keselamatan, akan ada yang dapat menafsirkan ayat dengan
baik untuk kehidupan di dunia dan diakhirat. Disarikan dari:
Fuad Jabali, dalam diskusi seminar kelas: Penelitian Metodologi author centre interpretation.2 Namun usaha
Studi Islam, Ciputat, Kamis, 22 Januari 2009. manusia “untuk dapat lebih mendekati”
Dalam kamus Lisan al-Arab, Islam adalah menyatakan
patuh dan menerima apa yang datang dari Nabi Muhammad
makna Alquran dalam arti memahami
SAW. Ungkapan indah dan ringkas diucapkan oleh Sa’labi, teks hukum dalam konteks kekinian tentu
“Islam itu dengan lisan dan Iman itu dengan hati”. Lihat: Abî sangat urgen, mengingat berbagai macam
al-Fadhl Jamal al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr
al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab (Bayrut: Dâr al-SHâdir, perubahan yang begitu derastis dari sejak
2000 M), juz. VII, 243. Islam adalah: pasrah, damai dan zaman Alquran diturunkan sampai pada
selamat. Lihat: Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta:
PT. Raja Grafndo Persada, 1999), cet. II, 174. Thomas Riggs
mendefinisikan Islam sebagai: Submission to the Will of God:
Peace. Artinya: Tunduk pada ketetapan Tuhan: Kedamaian. 2
Yusuf Rahman, seminar mata kuliah “Penelitian
Lihat: Thomas Riggs, ed., Worldmark Encyclopedia of Religious Metodologi Studi Islam”, Kamis, 13 November 2008. Universitas
Practices, vol. I (USA: Thomson Gale, 2006), h. 355. Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |379

zaman modern saat ini.3 Mahmud Hamid ‘Usman juga mengutip


Namun tidak ada yang perlu di­khawatir­ beberapa pendapat ulama yang menjelaskan
kan dalam menjawab tantangan globalisasi tentang makna ra’yu,8 diantaranya yaitu:
saat ini, karena Alquran adalah shâlihun fî 1. Al-Baji, yang memberikan penjelasan
kulli zamânin wa makânin. Oleh sebab itu, tentang perbedaan antara ra’yu dan
disinilah salah satu fungsi akal dan ra’yu ijihad. Menurut al-Baji:
dalam memerankan tugasnya. Permasalahan
kontemporer, tentu dapat terjawab melalui
analisis yang dilakukan oleh akal, dengan tetap
berdasarkan Alquran dan hadis.

Ra’yu sebagai dalil hukum.


1. Pengertian ra’yu 9
Secara etimologi kata (ra’yu) berasal
2. Ibn Khuwaiz Mandad berpendapat:
dari bahasa Arab yang berarti “melihat”. 4
Menurut Abû Hasan kata ra’yu memiliki 10
arti: pengelihatan dan pandangan dengan
mata atau hati, segala sesuatu yang dilihat 3. Ibn Qayyim berpendapat:
oleh manusia, jamaknya (al-Ara’).5 Secara
terminologi, ra’yu menurut Muhammad
Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan 11

manusia setelah melalui proses berfikir dan Dari beberapa definisi di atas dapat
merenung.6 Lebih spesifik lagi, apa yang diambil kesimpulan, bahwa ra’yu merupakan
diungkapkan oleh Mahmud Hamid ‘Usman, “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran
seorang pakar usul fikih, mendefinisikan yang bertujuan untuk memberikan solusi
makna dari kata ra’yu, sebagai berikut: terhadap suatu permasalahan hukum yang
belum pernah ada sebelumnya di dalam nas
7
untuk kemaslahatan hidup manusia dengan
menggunakan kaedah yang telah ditetapkan”.
Kata ra’yu adalah bentuk masdar dari
3
Dengan catatan, meskipun terjadi perbedaan pe­nafsiran,
bukan berarti satu mazhab dapat menyalahkan mazhab yang lain. kata (ra’â-yarâ-ru‘yan). Penggunaan
Karena setiap individu memiliki hak untuk mengungkapkan kata ra’yu bisa berubah arti sesuai dengan
pendapat dengan berpegang pada dalil yang sama-sama di­
dapat dari Alquran dan hadis, oleh sebab itu nalar manusia tempat penggunaannya. Jika seseorang
dipersilahkan untuk memilih jalan mana yang diyakininya lebih melihat bulan dalam keadaan sadar maka
mendekati kebenaran. Seperti ungkapan indah yang disampaikan
Abû Hanîfah: kami mengetahui ra’yu ini, dan ra’yu itu adalah
ketetapan terbaik yang dapat kami lakukan. Maka barang siapa
dapat membuat ra’yu yang selain itu, maka baginya ra’yu tersebut, 8
Mahmûd Hamîd ‘Utsman, al-Qâmûs al-Mubîn fi
dan bagi kami apa yang menjadi ra’yu kami. Lihat dalam kertas Ishthilâhât al-Usûliyyîn (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1421 M/2000
cover buku: Idris Jam‘ah Darar Bashîr, al-Ra’yu, wa Atharuh H), 127-128.
fi Fikih al-Islâmî fi ‘Ushûr Mâ Qabla Qiyâm al-Mazhâhib al- 9
Artinya: Perbedaan antara ra’yu dan ijtihad: ijtihad adalah
Fiqhiyyah (Qâhirah: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 78. mencari kebenaran, adapun ra’yu adalah menemukan/memahami
4
Ahmad Warson Munawar, Kamus al- Munawwir Arab suatu kebenaran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ra’yu
Indonesia Terlengkap (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku yang benar adalah apa yang telah kamu/kita lihat, ra’yu yang
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak benar tidak dapat tercapai kecuali dengan sempurnanya ijtihad
Yogyakarta, 1984), 495. dan menemukan (memahami) suatu masalah.
5
Abû al-Hasan Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu‘jam al- 10
Artinya: Ra’yu adalah menentukan dampak/akibat yang
Maqâyis fî al-Lughah (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994), 436. baik (yang dikehendaki ra’yu adalah suatu akibat yang paling
6
Muhammad Rawas Qal’ah Ji dan Hamid SHadiq Qanibi, baik).
Mu‘jam Lughat al-Fuqahâ (Bayrût: Dâr al-Naffas, 1985), h. 218. 11
Artinya: Keteguhan hati setelah berfikir, untuk men­
7
Artinya: Meyakini suatu kebenaran hukum yang tidak ada dapatkan suatu kebenaran bila terjadi pertentangan dalam suatu
nasnya perkara.
380|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

diungkapkan: ( ) pada kata ini yang diisyaratkan Allah dalam Q.s. al-An‘âm
bentuk masdarnya adalah ru’yah: tetapi [6]: 78, sebagai berikut:
kalau seseorang melihat bulan dalam ke­
adaan tidur atau bermimpi maka diucap­
kan ( ), masdar pada kata ra’a
disini adalah ru’ya: untuk sesuatu yang
tidak bisa dilihat dengan mata dan hanya
dapat dipahami dengan hati, maka bentuk
masdarnya adalah ra’yu: selanjutnya Kata ra’yu pada ayat di atas berarti
kata ini dihususkan untuk sesuatu yang melihat. Namun pada obyek yang abstrak,
dipandang hati setelah berfikir dan merenung kata ra’yu tidak mungkin diartikan “melihat
yang mendalam.12 dengan mata kepala”, tetapi harus diartikan
Kata al-ra’yu: juga memiliki arti “melihat dengan mata hati” atau dengan
“melihat dengan hati”, (1) pandangan hati; arti “memikirkan/memperhatikan”. Seperti
setelah upaya berfikir dan merenung dan firman Allah dalam Q.s. Luqmân [31]: 20,
mendapatkan ma‘rifah untuk menetapkan sebagai berikut:
sesuatu yang benar terhadap masalah yang
tanda-tandanya bertentangan, (2) berfikir,
yaitu menggunakan akal dengan aneka
sarana yang diarahkan oleh syara‘ untuk
sampai kepada petunjuk yang benar dalam
menetapkan hukum dimana tidak ditemui
dalil nas, (3) menetapkan hukum syariah
dengan menggunakan kaidah yang telah
ditetapkan.13 Kata ra’yu yang dimaksud dalam ayat
di atas adalah “memikirkan”, juga berarti
Kata ra’yu atau yang seakar dengan itu
“hasil pemikiran” atau “rasio”. Selain kata
terdapat pada 328 ayat dalam Alquran.14
(ra’a), untuk artian berfikir dalam
Dalam bukunya, Amir Syarifudin menyatakan
Alquran juga digunakan kata (fakara), atau
bahwa apa yang dimaksud dengan kata ra’yu
kata lain yang berakar pada kata itu. Kata
di dalam Alquran itu tergantung kepada apa
(fakara) ini terdapat 18 ayat di dalam
yang menjadi obyek dari perbuatan “melihat”
Alquran yang pada umumnya bersamaan
itu. Obyek yang dikenai dengan kata ra’yu
artinya dengan kata ra’yu. Seperti firman
di dalam Alquran secara garis besar dapat
Allah sebagai berikut:
dibagi menjadi dua macam, yaitu obyek yang
kongkrit (berupa) atau obyek yang abstrak
(tidak berupa). Untuk obyek yang kongkrit
kata ra’yu itu berarti melihat dengan mata
kepala atau memperhatikan. Sebagaimana

12
‘Ali Hasan ‘Abd al-Qadîr, Nazrat ‘Ammah fî al-Târîkh al-
Fikih al-Islâmî (al-Qâhirah: Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1991),
Selanjutnya, kata fikir mempunyai kaitan
218. Lihat Juga: Shams al-Dîn Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn yang erat dengan akal. Karenanya Allah
Abî Bakr (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah), I‘lâm al-Muwaqqi‘în menggunakan kata “berakal” dalam arti yang
‘an Rabb al-‘Âlamin, juz. I, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1996), h. 53. sama dengan “berfikir”. Kata (aqala) dan
13
Qutub Mustafa Sanu, Mu‘jam Mushthalahât Usul Fikih kata yang berakar kepadanya muncul dalam
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), h. 215.
14
Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu‘jam al-Mufahras 49 ayat Alquran, umpamanya dalam Q.s.
li al-Fazh Alquran al-Karîm (al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, 1992 al-Nahl [16]: 12, sebagai berikut:
M/1412 H), h. 56-362.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |381

2. al-Ra’yu dan al-‘Aqlu


Pembahasan tentang ra’yu telah diungkap
di atas. Sedangkan benang merah antara al-
ra’yu dan al-’aqlu tentu masih menjadi tanda
15 tanya. Namun sebelum menarik benang
Kata lain yang digunakan Allah di dalam merah antara al-ra’yu dan al-‘aqlu, terlebih
Alquran yang artinya berfikir adalah: dahulu dibahas sedikit tentang arti al-‘aqlu/
(nazhara), terjemahan kata ini dalam bahasa akal. Namun karena banyak sekali pengertian
Indonesia menjadi “nalar”, walaupun kata tentang akal, oleh sebab itu penting untuk
ini secara bahasa berarti memperlihatkan dibatasi apa yang dimaksud dengan akal
atau melihat, namun bisa digunakan pula dalam kajian ini.
untuk obyek yang abstrak artinya menjadi Akal secara etimologi juga berasal dari
memikirkan. Kata nazhara dalam arti berfikir kata bahasa Arab, kata ini adalah bentuk
ini terdapat dalam Alquran lebih dari 30 masdar dari kata , kata ini memiliki
kali. Umpamanya dalam Q.s. al-‘Ankabût banyak arti, diantaranya yaitu: (hati),19
[29]: 20, sebagai berikut: (tempat perlindungan), dan (kuat/
kokoh).20 Akal adalah keistimewan yang
membedakan antara manusia dan hewan,
sebagaimana yang dikatakan Ibn Manzhûr:

16
21

Kalau dianalisa, semua ayat Alquran Dalam kamus istilah ushûliyyîn,


yang berarti berfikir baik yang berakar Mahmûd Hamîd ‘Uthmân menulis dalam
pada kata dan terlihat kese­ kamusnya arti lain dari akal, yaitu:
luruhannya mendorong umat untuk meng­
gunakan pikirannya, baik dengan ungkapan 22

“berpikirlah” atau “kenapa tidak kamu Sedangkan secara terminologi, akal


pikirkan?”.17 diartikan:
Dari sini dapat kita pahami bahwa
semua kata di atas yang berarti berfikir,
memerintahkan kita untuk berfikir kritis,
kreatif, inovatif agar tercipta ide-ide yang otomatis perlu ketetapan hukum dari suatu permasalahan yang
sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu hukum yang dapat
dapat merubah kehidupan manusia kepada mengakomodir antara kebutuhan manusia dan aturan mainnya
kondisi yang lebih baik.18 di dalam syariah. Agar terjadi keselarasan yang harmonis di dalam
kehidupan manusia. Maka oleh sebab itu, ra’yu dibutuhkan
sebagai salah satu usaha para faqih di dalam menjawab problema
15
Artinya: Dan dia menundukkan malam dan siang, kontemporer.
matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu di­ 19
Abi al-Fadhl Jamal al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram
tundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya Ibn Manzhûr al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, juz. X, (Bayrût:
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Dâr al-SHâdir, 2000 M), 233.
Allah) bagi kaum yang memahami (nya). (Q.s. al-Nahl [16]: 12). 20
Abi al-Fadhl Jamal al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram
16
Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, Maka Ibn Manzhûr al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, h. 236.
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari 21
Artinya: suatu keistimewan manusia yang mem­bedakannya
permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. dengan seluruh hewan. Akal diartikan juga: memahami. Lihat: Abi
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.s. al- al-Fadhl Jamal al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr
‘Ankabût [29]: 20). al-Afriqî al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, h. 233.
17
Amir Syarifudin, Ushul Fikih Jilid I (Jakarta: Logos 22
Artinya: Akal adalah mencegah, yang mempunyai akal
Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005), h. 111-113. itu dapat membedakan antara benar dan salah (dengan akal
18
Seiring bergulirnya waktu, maka pemikiran manusia pasti mereka mengetahui apa yang bermanfaat bagi mereka dan
berkembang. Dengan demikian, permasalahan, kebutuhan dan dengan akal pula mereka mengatahui apa yang mem­bahayakan
tantangan kehidupan manusiapun ikut berkembang, maka secara bagi mereka).
382|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

yang sama dengan kajian usul fikih ini,


yaitu sama-sama bertujuan menggiring
23
manusia to the right way for savety and
Akal juga dikatakan: happiness in the world and here after.
24 Keterbatasan akal dan kecerdasannya
ramai diperbincangkan di kalangan para ahli
Akal dalam kamus ini terbagi menjadi kalam/teolog.27 Karena akal dinilai sebagai
dua bagian, yaitu: salah satu perangkat penting yang dapat
25 menangkap stimulus ilmu yang diberikan
Allah kepada manusia, baik pada dirinya
dan alam raya ini. Dengan hasil analisa akal,
26
manusia mampu menciptakan ide perubahan
dalam berbagai aspek dalam kehidupannya.
Dari definisi ushûliyyîn di atas dapat Sebagaimana Max Weber mengatakan,
dikatakan bahwa, akal merupakan daya fikir bahwa kehidupan di dunia ini berubah
yang menjadikan manusia berbeda dengan karena ide. 28 Oleh sebab itu, ide yang
makhluk yang lain. Dengan akal, manusia terdapat di dalam akal, harus memiliki
mampu mengetahui ilmu-ilmu baru, sehingga penyeimbang, yaitu iman dan taqwa (yang
dapat mengerti dan memahami persoalan ajarannya terdapat di dalam Alquran dan
yang dihadapi untuk dapat menentukan hadis). Karena ibarat dua sayap pesawat
solusi terbaik. terbang, pesawat tidak akan dapat terbang
Untuk pembahasan potensi al-‘aqlu/akal jika hanya menggunakan salah satu sayap­
lebih jauh bisa dilihat dari berbagai macam nya. Oleh sebab itu, dengan akal yang
disiplin ilmu, karena al-‘aqlu atau logika ada di sayap kiri dan iman serta taqwa
atau nalar, masuk dalam setiap pembahasan di sayap kanan, manusia baru akan bisa
tradisi keilmuan. Untuk memperkaya tulisan menerbangkan pesawatnya menuju tempat
ini, sebagai bahan komparasi akan disinggung yang diinginkan dengan selamat. 29
salah satu cabang ilmu, yaitu ilmu kalam/ Namun sebagaimana yang telah di­
teologi Islam. Karena bila bicara tentang ungkapkan, sehebat dan secerdas apapun
akal, tidak lengkap jika tidak menyinggung pemikiran akal tetap membutuhkan adanya
masalah kalam/teologi. Disiplin ilmu kalam tuntunan sebagai koridor yang dapat menjaga
diambil sebagai contoh, karena dalam ilmu agar akal/nalar tidak keluar batas dan dalam
kalam fungsi akal mengambil perhatian mengantisipasi keterbatasan akal sendiri,
tersendiri. Kajian kalam yang salah satunya yaitu Alquran dan hadis. Sehingga hasilnya
berorientasi untuk mengungkapkan potensi dapat lebih tepat dan obyektif. Sebagai
dan keterbatasan akal juga memiliki tujuan contoh pembahasan tentang kapasitas dan
keterbatasan akal dalam Alquran adalah:
23
Akal adalah kekuatan insting yang dapat diperoleh dan
dikembangkan oleh manusia melalui penalaran (yang men­
jadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan 27
Sama halnya dengan teologi dari agama lain, seperti
teoritis), dan akal pun seperti cahaya yang menyelinap ke lubuk Kristen, Hindu dan Budha. Kehebatan dari kecerdasan/in­
hati. telektualitas manusia mengambil perhatian tersendiri. Menurut
24
Artinya: Akal adalah pengetahuan yang diper­oleh oleh Weber: agama dan akal memiliki hubungan yang kuat dan mem­
semua manusia dan oleh para cendikia. berikan pengaruh yang besar dalam perjalanan intelektualitas
25
Artinya: Akal tajribi (eksperimen) adalah pengetahuan seseorang. Disarikan dari buku karangan: Max Weber, The
yang diperoleh akal melalui eksperimen/latihan. Sociology of Religion, (Boston: Beacon Press, 1992), h. 118.
26
Artinya: Akal Ghariziy (insting): akal yang diguna­kan 28
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of
manusia untuk mengetahui tentang berbagai macam teori (dengan Capitalism (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), h. 79.
menggunakan penalaran) dan memecahkan masalah pelik. 29
Disarikan dari: B.J. Habibi, dalam acara talkshow, Save
Mahmûd Hamîd ‘Utsmân, al-Qâmûs al-Mubîn fî Ishthilâhât al- Our Nation: Habibi Bicara Masalah Bangsa, Metro TV, Senin,
Ushûliyyîn (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1421 M/2000 H), h. 158. 16. 00., 13 April, 2009.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |383

a. Keterbatasan akal dalam mengetahui untuk mencapai sesuatu yang berada di luar
eksistensi Allah. dirinya, sekali lagi manusia membutuhkan
Badru Tamam dalam tesisnya meneliti petunjuk dan kali ini Allah menganugerahkan
tentang corak pemikiran kalam dalam patunjuk-Nya, kedua berupa panca indra.
tafsir al-Misbah, salah satu pembahasannya Namun betapapun tajam dan pekanya
adalah tentang akal manusia.30 Muhammad kemampuan indra manusia, seringkali hasil
Quraish Shihab pengarang kitab tafsir al- yang diperolehnya tidak menggambarkan
Misbah menyatakan bahwa, akal dapat hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajam­
mengetahui adanya zat yang menciptakan nya mata seseorang, ia akan melihat tongkat
alam raya, karena tidak mungkin ada se­ yang lurus menjadi bengkok di dalam air.
suatu tanpa ada yang menciptakan. Namun Oleh sebab itu Muhammad Quraish
siapa yang menciptakan, akal tentu mem­­ Shihab menjelaskan bahwa Allah meng­
butuh­kan petunjuk. Hal ini dapat di­ketahui anugerahkan petunjuk yang ketiga, yaitu akal
pada penafsirannya terhadap Q.s. al-Fâtihah yang akan mengkordinir semua informasi
[1]: 6, sebagai berikut: yang diperoleh oleh indra kemudian mem­
buat kesimpulan yang sedikit banyak dapat
berbeda dengan hasil informasi indra.
Dalam penafsiran Muhammad Quraish Sehingga penilaian indra yang tidak selalu
Shihab, beliau menjelaskan bahwa Allah akurat, dapat menjadi suatu penilaian yang
menganugerahkan petunjuk kepada manusia. lebih tepat, meskipun secara esensinya
Petunjuk-Nya bermacam-macam sesuai dengan akalpun memiliki keterbatasan. Muhammad
peranan yang diharapkannya dari makhluk. Quraish Shihab menuliskan penjelasannya
Selain ayat di atas, ayat yang menjelaskan dalam Tafsir al-Misbah:
tentang petunjuk yang diberikan Allah kepada Yang meluruskan kesalahan panca indra
hambanya juga terdapat dalam: Q.s. Thâhâ adalah petunjuk Allah, ketiga yakni akal.
[20]: 5031 dan Q.s. al-A‘lâ [87]: 1-3.32 Akal yang mengkoordinir semua informasi
Petunjuk Allah yang bermacam-macam, yang diperoleh indra kemudian membuat
dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan. Petunjuk kesimpulan-kesimpulan yang sedikit atau
tingkat pertama, yaitu: naluri. Namun naluri banyak dapat berbeda dengan hasil informasi
hanya terbatas pada penciptaan dorongan indra. Tetapi walau petunjuk akal sangat
untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. penting dan berharga, namun ternyata ia
Naluri tidak mampu mencapai apapun hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu
yang berada di luar tubuh pemilik naluri dan tidak mampu menuntun manusia keluar
itu. Nah, pada saat datang kebutuhannya jangkauan alam fisika. Bidang operasinya
adalah bidang alam nyata dan dalam bidang
30
Badru Tamam, Corak Pemikiran Kalam dalam Tafsir al-
ini pun tidak jarang manusia terperdaya
Mishbah, tesis, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah oleh kesimpulan-kesimpulan akal sehingga
Jakarta, 2007. akal tidak merupakan jaminan menyangkut
31
Ayatnya berbunyi:
seluruh kebenaran yang didambakan. Akal
dapat diibaratkan sebagai pelampung; ia
Musa berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang Telah memberikan
kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, Kemudian mem­
dapat menyelamatkan seseorang yang tidak
berinya petunjuk. Q.s. Thâhâ [20]: 50. pandai berenang dari kehanyutan di kolam
32
Ayatnya berbunyi: renang, atau bahkan di tengah laut yang
tenang. Tetapi jika ombak dan gelombang
1. Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, 2. Yang Mencipta­ telah membahana, atau datang bertubi-tubi
kan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), 3. Dan yang me­ setinggi gunung, maka ketika itu yang pandai
nentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. (Q.s. al-
A‘lâ [87]: 1-3). dan yang tidak pandai berenang keadaannya
384|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

akan sama. Ketika itu mereka semua tidak Dari Q.s. al-A‘râf [7]: 28 di atas kita
hanya membutuhkan pelampung, tetapi memahami bahwa, sikap manusia memang
sesuatu yang melebihi pelampung. Karena suka ingkar dan tidak mau mengakui kes­
itu, manusia memerlukan petunjuk yang alahannya, padahal, dia mengetahui persis
melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan hukum yang telah ditetapkan.
kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Menurut Muhammad Quraish Shihab,
Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah kata ( ) fahishah/kekejian dari segi bahasa
“hidayah agama”.33 terambil dari kata ( ) al-fuhsh, yaitu yang
Dari penjelasan Muhammad Quraish banyak dan kuat dalam hal yang tercela dan
Shihab di atas dapat diketahui bahwa akal buruk. Karena itu para ulama menyatakan
manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, bahwa kata ini sebenarnya berfungsi sebagai
dalam arti bahwa Tuhan itu ada, akal adjektif (sifat) dari satu pelaku/kata yang
manusia dapat mencapainya. Tetapi untuk tidak diucapkan yaitu “perbuatan”, dengan
mengetahui hakikat-Nya, akal manusia demikian kata fâhishah berarti perbuatan
tidak mampu. Disinilah fungsi nas untuk yang amat tercela dan buruk. Bukan hanya
menjelaskan kepada akal tentang existensi agama yang menolaknya tetapi juga pemilik
Tuhan yang sama sekali diluar jangkauan akal yang sehat. Manusia pun pada umumnya
kemampuan manusia. malu bila diketahui mengerjakannya. Zina,
homoseksual, pencurian, dan banyak lagi
lainnya dinilai sebagai fâhishah. Pakar-pakar
b. Kemampuan akal manusia untuk me­
hukum seringkali memberi batasan bahwa
ngetahui baik dan buruk serta ke­wajiban
fâhishah adalah perbuatan yang diancam oleh
mengerjakan yang baik dan menjauhi
Alquran dan atau hadis dengan siksa neraka,
yang buruk.
atau yang diancamnya dengan sanksi hâd.36
Kemampuan akal manusia pada masalah
Selanjutnya, pada sQ.s. al-A‘râf [7]:
ini dapat diketahui dari penjelasan Alquran
157, Allah menegaskan tentang perintah
yang terdapat pada Q.s. al-A‘râf [7]: 28,
Allah yang jika manusia mengerjakannya
157, sebagai berikut: akan mendapat hasil yang baik dan melarang
perbuatan buruk demi kemaslahatan manusia
itu sendiri. Menurut Muhammad Quraish
Shihab, karena keterbatasan akal manusia
Allah memberikan nas sebagai tuntunan
34 demi kemaslahatan manusia, di dalamnya
terdapat ketetapan hukum yang menjadi
koridor agar manusia tidak tenggelam di
dalam kebodohan, kebohong­ an dan ke­
35 sesatan. Dari hal inilah, nyata keterbatasan
akal manusia.
Dari penjelasan di atas kita dapat me­
33
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh Pesan, nge­tahui bahwa, manusia memang memiliki
Kesan dan Keserasian Alquran, jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, potensi akal yang sangat luar biasa dalam
2005), h. 63-64.
34
Artinya: Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji,
memecahkan persoalan-persoalan yang di­
mereka berkata: ‘Kami mendapati atas dasar itulah nenek moyang hadapi dalam proses perkembangan hidup­
kami dan juga Allah menyuruh kami mengerjakannya’. Kata­ nya. Namun tetap saja akal memiliki keter­
kanlah: ‘Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian’.
(QS. al-A‘râf [7]: 28). batasan, dalam hal ini nas yang berperan
35
Artinya: Dia menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan
mencagah mereka dari yang mungkar dan meng­halalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka segala 36
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh Pesan,
yang buruk. (QS. al-A‘râf [7]: 157). Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 68.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |385

sebagai penuntun akal untuk mendapatkan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban itu


hasil (ra’yu) yang lebih komprehensif dan hanya secara umum dan tidak secara rinci
obyektif. Karena jika hanya berpegang pada dan detail, baik yang berkenaan dengan
akal, itu sangat berbahaya karena akal dapat kehidupan manusia di akhirat maupun
benar dan dapat salah. kehidupan di dunia.39
Oleh sebab itu, mengingat urgent-nya Oleh sebab itu, menurut Mu‘tazilah akal
kegunaan akal dalam hidup kita, Islam dapat mengetahui suatu perbuatan bernilai
mengajarkan bahwa kita harus menjaga akal baik atau buruk, namun bukan berarti wahyu
dari segala sesuatu yang akan merusaknya. tidak perlu. Karena akal manusia tidak dapat
Karena akal jualah yang akan dapat menge­ membuat suatu perbuatan bernilai baik
tahui baik buruknya akibat suatu larangan atau buruk. Karena itu, wahyu berfungsi
jika kita tetap mengerjakannya, seperti memberikan informasi (menjelaskan atau
larang­a n meminum khamr karena akan menerangkan apa-apa yang telah diketahui
me­mabukkan.37 oleh akal) tentang perbuatan mana yang
Selanjutnya, untuk mengetahui lebih baik dan yang buruk atau memberikan
jauh tentang argumen potensi yang dimiliki konfirmasi (memperkuat apa-apa yang telah
akal dan keterbatasannya, akan diurai diketahui oleh akal) apa saja yang telah
seputar perdebatan antara mutakalimin diketahui oleh akal, tetapi tidak sampai
tentang potensi akal dan keterbatasannya menetapkan perbuatan-perbuatan tersebut
pada empat hal, yaitu: 1) mengetahui baik atau buruk.40
adanya Tuhan, 2) mengetahui baik dan Terhadap hal yang tidak dapat diketahui
buruk, 3) menentukan kewajiban beramal oleh akal itulah wahyu menjelaskannya.
baik dan menjauhi perbuatan buruk, dan Misalnya, akal dapat mengetahui kewajiban
4). kewajiban bersyukur. Pendapat mereka manusia bersyukur kepada Allah Swt., namun
adalah sebagai berikut: tidak sanggup mengetahui rincian dan cara
pelaksanaannya, kemudian wahyu datang
a. Mu‘tazilah menjelaskannya. Misalnya, orang yang
Akal tidak hanya mempunyai kemampu­ beriman harus mendirikan shalat lima kali
an untuk memperoleh pengetahuan bagi sehari, berpuasa Ramadhan se­bulan penuh,
manusia tetapi juga dapat menentukan berzakat jika hartanya telah mencapai nisab,
dan menetapkan kewajiban-kewajiban bagi dan berhaji bagi yang mampu.41
manusia, atau dengan kata lain, akal dapat Untuk memastikan baik dan jahat me­
menjadi mujib bagi manusia. Tetapi, ke­ nurut Mu’tazilah juga diperlukan wahyu.
wajiban-kewajiban manusia berdasarkan Abû Ishâq mengatakan zina tidak dapat
atas akal (wajib ‘aqli) itu diakui Mu‘tazilah diketahui akal sebagai kejahatan kecuali
berubah menjadi wajib syar‘i setelah datang­ setelah datangnya wahyu.42 Abdu al-Jabbâr
nya wahyu (dalil dari ayat-ayat Alquran). mengatakan persoalan hari akhirat juga tidak
Di samping itu, Mu‘tazilah juga ber­ dapat diketahui akal. Dengan demikian
agumen bahwa akal juga dapat mengetahui
kewajiban beramal yang baik dan menjauhi
Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 58.
hal buruk yang telah diketahui, mengetahui 39
Al-Qâdhi ‘Abd al-Jabbâr, Al-Majmû‘ fî al-Muhîth bi al-
adanya Allah Swt. dan kewajiban bersyukur Taklîf (Bayrût: Institut des Letrea Orientales, 1965), h. 22.
40
Musthafa al-Shâwi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhsyari
kepada-Nya.38 Akan tetapi, kemampuan akal fi Tafsîr Alquran wa Bayân I`jâzihi, (Jakarta: Dinamika Berkat
Utama, t.th) h. 118. Lihat juga: Harun Nasution, Teologi Islam,
h. 99-100.
37
Disarikan dari buku karangan: ‘Abd al-Wahhâb al- 41
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:
Khalâf, ‘Ilm Ushûl al-Fikih (Dâr al-Quwaitiyyah, 1968 M/1388 Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986), h. 78.
H), h. 201. 42
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
38
Al-Shahrastâni, Al-Milal wa al-Nihal, jilid I, (Bayrût: Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h. 97.
386|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

wahyu­lah yang dapat menjelaskan persoalan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian
hari akhirat.43 tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan
Tokoh Mu‘tazilah yang bernama Abdul perbuatan baik dan menjauhi perbuatan
Jabbar (w. 415 H), menjelaskan bahwa meski buruk adalah wajib.46 Selanjutnya ia me­
akal dapat mengetahui kewajiban berbuat ngatakan bahwa akal dapat mengetahui
baik yang mendatangkan kemaslahatan dan adanya Tuhan, tetapi mengetahui kewajiban
menjauhi perbuatan yang mendatangkan terhadapat Tuhan diperoleh hanya melalui
kerugian, dalam keadaan tertentu akal tidak wahyu.47
dapat mengetahui apakah perbuatan tersebut Menurut Asy‘ariyyah, akal tidak me­miliki
membawa kebaikan ataukah menimbulkan kemampuan untuk mengetahui perbuatan
kerugian. Dalam keadaan seperti itu, wahyu baik dan buruk. Suatu perbuatan dapat
yang menjelaskan baik buruknya perbuatan diketahui baik atau buruknya hanya melalui
tersebut.44 Misalnya, akal mengatakan bahwa perintah dan larangan dari wahyu. Karena
menyembelih binatang adalah perbuatan itu, jika syara’ menyebut suatu perbuatan baik
buruk, namun wahyu kemudian turun men­ atau menyuruh orang untuk mengerjakannya,
jelaskan bahwa menyembelih binatang untuk berarti perbuatan itu baik. Sebaliknya, jika
keperluan-keperluan tertentu yang dibenarkan syara‘ menyebutnya buruk atau melarang
syara, seperti untuk mem­peringati hari-hari orang untuk melakukannya, berarti perbuatan
keagamaan yang bersejarah, memperkuat itu buruk. Misalnya, jika syara‘ menyuruh
tali silaturrahmi dengan tetangga, dan kita berbohong, berarti berbohong adalah
menunjukkan rasa kasih sayang kepada kaum perbuatan baik meski akal menganggapnya
fakir miskin adalah perbuatan baik. Selain buruk. Sebaliknya, jika syara‘ melarang kita
terhadap perbuatan-perbuatan tersebut, akal jujur, berarti jujur itu merupakan perbuatan
juga tidak dapat mengetahui rincian tentang buruk meski akal menganggapnya baik.48
besar kecilnya hukuman dan pahala yang Disamping itu, Asy‘ariyyah juga ber­
diterima manusia di akhirat kelak. Agar pendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui
manusia dapat mengetahui rincianya, maka kewajiban, seperti kewajiban berbuat baik dan
wahyu yang menjelaskannya.45 menjauhi perbuatan buruk atau kewajiban
Demikianlah kemampuan akal dan fungsi mengetahui adanya Allah dan bersyukur
wahyu dalam pandangan Mu‘tazilah, yang kepada-Nya meski akal dapat mengetahui
secara efektif telah membawa mereka, terutama keberadaan-Nya. Sebab, semua kewajiban itu
pemikir-pemikirnya mengembangkan teologi hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sesuai
Islam yang bercorak rasional. dengan pendirian mereka tersebut, maka
mereka juga berpendapat bahwa sebelum
b. Asy‘ariyah. rasul datang membawa wahyu, manusia
Menurut aliran Asy‘ariyyah yang dipelopori belum dibebani taklif. Karena itu, mereka
oleh Abû Hasan al-Asy‘ari (874-935 M) tidak dapat dihukum di akhirat lantaran
me­nyatakan bahwa, akal hanya dapat me­ perbuatan buruk yang dijalani atau tidak
ngetahui satu dari empat persoalan, yaitu berbuat baik.49
adanya Tuhan. Menurut Asy‘ari sendiri, Untuk memperkuat pendirian mereka
semua kewajiban dapat diketahui hanya
melalui wahyu. Akal tidak dapat menentukan 46
Al-Shahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, jilid 1, (Bayrut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h. 88.
47
Al-Shahrastânî, Al-Milal wa al-Nihal, h. 88.
48
Abû al-Hasan Ismâ‘îl al-Ash‘arî, Kitab al-Luma‘ fî al-
43
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 97. Radd ‘ala Ahl al-Zaig wa al-Bida`, (Bayrut: Dar al-Kutub al-
44
Al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbar, Sharh al-Ushûl al-Khamsah Islamiyyah, 2000), h. 234.
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), h. 564-565. 49
Mahmûd Qâsim, Manâhij al-Adillah fi ‘Aqâ’id al-Millah
45
Al-Qadhi Abdul Jabbar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, h. lî Ibn Rusyd mâ Muqaddimah fî Naqd Madâris ‘Ilm al-Kalâm
138-139. (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, 1993), h. 93.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |387

tersebut, Asy‘ariyyah mengemukakan be­ c. Maturidiyah Samarkhand


berapa argumen, yaitu pertama, jika baik Bagi Maturidiyyah Samarkand, tiga dari
buruknya perbuatan esensinya memang sudah empat persoalan itu dapat diketahui oleh
demikian, tentu sifat-sifat perbuatan itu tidak akal yaitu, mengetahui adanya Tuhan,
berubah-rubah. Padahal sebagaimana yang me­ n getahui kewajiban berterima kasih
sering kita saksikan bahwa pandangan orang kepada-Nya, mengetahui baik dan buruk.
tentang suatu perbuatan sering berubah-rubah Perbedaan golongan ini dengan golongan
sesuai dengan perubahan kondisi orang yang Mu‘tazilah adalah bahwa akal menurut
memandangnya. Misalnya, membunuh orang golongan Maturidiyyah Samarkand tidak
adalah perbuatan buruk perbuatan itu bisa dapat menetapkan kewajiban manusia untuk
berubah menjadi baik apabila pembunuhan mengerjakan yang baik dan meninggalkan
itu dilakukan dalam rangka melaksanakan yang buruk atau jahat, hal ini menurut
hukuman qisas. 50 Kedua, kaidah-kaidah mereka hanya ditentukan oleh wahyu.55
akhlak selalu berubah-rubah dan berbeda- Dalam penjelasan yang lain, Abû Mansur
beda sesuai dengan perubahan kondisi dan al-Maturidi (w. 333 H / 944 M) mengatakan
perbedaan agama. Kaidah itu bisa berubah bahwa penetapan kewajiban mengetahui Allah
dan berbeda karena itu buatan manusia.51 dapat diketahui berdasarkan penalaran akal,
Ketiga, di dalam Alquran terdapat beberapa sebagaimana Allah telah memerintahkan
ayat yang mengisyaratkan bahwa akal tidak untuk melakukan penalaran dalam sejumlah
dapat mengetahui baik buruknya suatu ayat Alquran Allah memerintahkan kepada
perbuatan selain melalui wahyu. Misalnya, manusia untuk berpikir mengenai kerajaan
Q.s. al-Nisâ [4]: 165,52 dan Q.s. al-Isra langit dan bumi dan memberikan pengarah­
[17]: 15.53 Menurut Asy‘ariyyah, dari kedua an kepada manusia bahwa sekiranya akal
ayat itu dapat diketahui bahwa Allah tidak pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas
menghukum seseorang kecuali setelah Dia dari pengaruh hawa nafsu dan taklid,
mengutus para rasul yang menjelaskan per­ niscaya ia akan sampai kepada iman dan
buatan mana yang baik yang harus dikerjakan mengetahui adanya Allah. Hal itu me­rupa­
dan yang harus dijauhi.54 kan pengamalan terhadap nas-nas Alquran.
Sebaliknya, meninggalkan berpikir me­rupa­­
50
Mahmûd Qâsim, Manâhij al-Adillah fi ‘Aqâ’id al-Millah kan pengabaian terhadap nas-nas ter­sebut.
lî Ibn Rusyd mâ Muqaddimah fî Naqd Madâris ‘Ilm al-Kalâm , 93. Tidak menggunakan akal sebagai sarana untuk
51
Mahmûd Qâsim, Manâhij al-Adillah fi ‘Aqâ’id al-Millah
lî Ibn Rusyd mâ Muqaddimah fî Naqd Madâris ‘Ilm al-Kalâm , 93.
mengetahui Allah merupakan pengabaian
52
Ayatnya berbunyi: terhadap berbagai ketetapan yang telah diatur
oleh Allah melalui penalaran. Sekiranya
pengetahuan tentang Allah itu tidak terkait
dengan penalaran, niscaya hal itu merupakan
Artinya: (mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi
pemutusan terhadap berbagai ketetapan yang
manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu dan telah ditegaskan oleh Allah sebagai hasil
adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nisa penalaran. Meski mungkin secara mandiri
[4]: 165).
53
Ayatnya berbunyi: dapat mengetahui Allah, dalam pandangan
al-Maturidi, akal tidak dapat mengetahui
berbagai hukum taklif.
Pendapat seperti ini juga mirip dengan
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat fî Alquran wa Makânatuh fî Masâ’il al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah
memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum (Umman: Dâr al-Nafâ’is, 1420 H/2000 M), h. 180.
kami mengutus seorang rasul. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 15). 55
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
54
‘Abd al-Karîm Naufan ‘Abidah, Al-Dilâlah al-‘Aqliyyah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h 91.
388|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

pendirian Mu‘tazilah, hanya terdapat per­ tiga macam. Pertama, perbuatan yang dapat
bedaan yang mendasar. Mu‘tazilah ber­ diketahui kebaikannya dengan akal. Kedua,
pendirian bahwa mengetahui Allah wajib perbuatan yang dapat diketahui keburukannya
berdasarkan akal, sedangkan Maturidiyyah dengan akal. Ketiga, perbuatan yang tidak
tidak menetapkan demikian. Bahkan, jelas kebaikan dan keburukannya sehingga
mereka berpandangan bahwa kewajiban me­ akal tidak dapat mengetahui baik buruknya
nge­tahui Allah tidak mungkin terjangkau perbuatan itu.60 Selain itu, meski akal dapat
oleh kemampuan akal. Kewajiban itu tidak mengetahui baik buruknya suatu perbuatan,
akan ada kecuali dari yang berhak untuk tidak berarti kemampuan tersebut dimiliki
mewajibkannya, yaitu Allah.56 oleh semua orang secara merata. Bahkan,
Selanjutnya menurut Abû Mansur al- dalam memperkirakan baik buruknya suatu
Maturidi (w. 333 H / 944 M), akal dapat perbuatan itupun banyak yang keliru dan
mengetahui adanya Allah dan kewajiban ber­ meleset dari realitas yang sebenarnya.
syukur kepada-Nya. Walaupun demikian, tidak
berarti akal juga dapat mengetahui kewajiban d. Maturidiyah Bukhara
berbuat baik dan kewajiban menjauhi per­ Pendirian Maturidiyyah Bukhara sedikit
buatan jahat. Oleh karena itu, sebelum ada berbeda dengan pemikiran Maturidiyyah
wahyu yang dibawa rasul, belum ada taklif Samarkand. Tokoh dari golongan Maturidiyyah
dari Allah untuk manusia. Dengan demikian, Bukhara adalah Abû al-Yusr Muhammad
mereka tidak akan diberi pahala kalau berbuat al-Bazdawi (412-493 H / 1029-1099 M),
baik dan tidak akan dihukum kalau berbuat yang berpendirian bahwa akal tidak dapat
buruk.57 Oleh karena itu kedatangan para mengetahui kewajiban-kewajiban, akal hanya
rasul membawa wahyu itu sangat diperlukan mampu mengetahui sebab kewajiban. Oleh
manusia, pengutusan mereka itu kepada umat sebab itu al-Bazdawi berpendapat bahwa
manusia merupakan suatu keharusan. Tetapi, “akal merupakan alat untuk mengetahui
keharusan di sini bukan merupakan suatu kewajiban”.61 Menurut golongan Maturidiyyah
kewajiban atas Allah seperti yang dikatakan Bukhara bahwa hanya pengetahuan-penge­
Mu‘tazilah, melainkan merupakan tuntunan tahuan yang dapat diketahui oleh akal.
kebijaksanaan, karena dalam pengutusan Adapun kewajiban-kewajiban, wahyulah
para rasul itu terdapat berbagai hikmah dan yang menentukannya. Oleh karena itu,
kemaslahatan untuk umat manusia.58 kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,
Selain itu, golongan Maturidiyyah sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib
Samarkand mengatakan bahwa sebelum rasul bagi manusia. Di samping itu, sebelum
datang membawa wahyu, akal sudah dapat adanya rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah
mengetahui mana perbuatan yang baik dan diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan
buruk sebab baik buruknya suatu perbuatan bukanlah merupakan dosa.62 Karena itulah
ada pada perbuatan itu sendiri. Meski dalam pandangan mereka akal hanya dapat
demikian, tidak berarti semua perbuatan mengetahui dua di antara empat persolan
dapat diketahui baik buruknya oleh akal.59 tersebut, yaitu mengetahui adanya Tuhan,
Sebabnya adalah apa yang disebut dengan serta mengetahui baik dan buruk.
perbuatan itu dapat diklasifikasikan menjadi Dari pendapat empat aliran kalam di
atas dapat kita ketahui bahwa akal manusia
56
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazhâhib al- memiliki potensi berfikir besar. Meskipun
Islâmiyyah, vol. I, h. 201.
57
Abû Manshûr al-Mâtûrîdi Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Mahmûd, Kitâb al-Tauhîd, (Ed), Fathullah Khalif (Istambul:
al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979), h. 178. 60
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazhâhib al-
58
Abû Manshûr al-Mâtûrîdi, Kitâb al-Tauhîd, h. 182. Islâmiyyah, vol. I, h. 202.
59
Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazhâhib al- 61
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 91.
Islâmiyyah, vol. I, h. 202. 62
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 92.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |389

dalam beberapa poin tertentu otak manusia mencakup segala hal yang tidak terdapat
masih membutuhkan guide yang dapat mem­ di dalam nas secara jelas. Idris berpendapat
berikan penjelasan dari ketidak­tahuannya, demikian dengan berdasarkan pendapat
yaitu guide yang terdapat dalam Alquran sahabat, yang mendefinisikan makna ra’yu
dan hadis. dalam artian yang luas, yaitu sesuatu
Dengan demikian, menurut hemat yang diputuskan/diambil dari selain nas.
penulis, berdasarkan definisi dan eksplanasi sedangkan ra’yu dalam definisi para sahabat
tentang ra’yu yang telah dibahas sebelumnya adalah: sesuatu yang diputuskan oleh hati
dan dari definisi dan eksplanasi tentang al- sesudah melalui proses pemikiran, penelitian
’aqlu di atas, maka benang merah antara dan pencarian kebenaran dari sesuatu yang
al-ra’yu dan al-’aqlu (akal) adalah “jika akal berlawanan dengan petunjuk/dalil yang ada.65
adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan Dari dafinisi di atas, maka dapat
pemikiran) sedangkan ra’yu adalah objek disimpulkan bahwa ra’yu secara umum adalah
(hasil dari pemikiran akal)”. “sesuatu yang diputuskan oleh hati sesudah
Akal adalah alat yang mampu meng­ melalui proses pemikiran, penelitian dan
kordinir semua informasi yang diperoleh oleh pencarian kebenaran dari suatu hukum yang
indra kemudian membuat kesimpulan yang tidak terdapat dalil nas yang jelas padanya”.
sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil
informasi indra. Sehingga penilaian indra b. al-’Aqlu/Akal
yang tidak selalu akurat, dapat menjadi suatu Di dalam karyanya dengan judul “Logika
penilaian yang lebih tepat, meskipun secara Agama”, Muhammad Quraish Shihab men­
esensinya akalpun memiliki keterbatasan. jelaskan secara garis besar tentang akal.
Sedangkan suatu hasil dari proses pemikiran Menurutnya, akal adalah sumber utama
yang bertujuan untuk mencari kebenaran/ yang dapat mengetahui sebagian besar dari
solusi dari suatu hukum yang tidak ada di kemaslahatan dan keburukan yang berkaitan
dalam nas, adalah ra’yu. dengan urusan duniawi. Namun akal tidak
dapat mandiri, karena membutuhkan dalil
Perbedaan antara al-Ra’yu dan al-’Aqlu syar’i demikian sebaliknya. Muhammad
1. al-Ra’yu Quraish Shihab menyatakan bahwa:
Ra’yu adalah pendapat. Sebuah prinsip Sebagian besar dari kemaslahatan dan
hukum Islam, yang merupakan pendapat keburukan dapat diketahui melalui akal,
pribadi seorang fakih (ahli hukum Islam), demikian juga sebagian besar ketetapan
ra’yu merupakan prinsip hukum yang berada syara. Memang para ahli hukum Islam
di bawah Alquran, sunnah, al-ijma’ dalam memandang akal sebagai sumber utama
menyelesaikan masalah permasalahan yang menyangkut hal yang tidak ditemukan
muncul.63 penjelasannya dari syariah. Tetapi, sekali
Idris Jam’ah Darar Basyir mengutip lagi bukan semua hal. Ia hanya sebagian
pendapat dari Ibn Hazm dalam menjelaskan besar. Kemaslahatan yang berkaitan dengan
arti ra’yu. Menurut Ibn Hazm, ra’yu adalah: urusan duniawi dapat diketahui melalui
suatu hukum yang diputuskan oleh seorang akal. Namun, akal dan syara harus selalu
hakim untuk mencari solusi yang terbaik dihubungkan, karena akal tidak dapat
bagi suatu situasi dan kondisi.64 Sedangkan mencapai arah yang benar kecuali dengan
menurut Idris Jam’ah sendiri, ra’yu adalah: bantuan syariah / wahyu dan syariah pun
tidak menjadi jelas tanpa bantuan akal.
63
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta: PT.
Raja Grafndo Persada, 1999), h. 341. 65
Disarikan dari buku karangan: Idris Jam‘ah Darar
64
Idris Jam‘ah Darar Bashîr, al-Ra’yu, wa Atharuh fi Fikih al- Bashîr, al-Ra’yu, wa Atharuh fi Fikih al-Islâmî fi ‘Ushûr Mâ
Islâmî fi ‘Ushûr Mâ Qabla Qiyâm al-Mazhâhib al-Fikihiyyah, h. 11. Qabla Qiyâm al-Mazhâhib al-Fikihiyyah, h. 11.
390|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

Akal bagaikan mata dan wahyu adalah


sinarnya. Mata tidak berfungsi tanpa
sinar, dan sinar pun tidak berfungsi
menampakkan sesuatu tanpa mata. Akal
dapat juga dipersamakan dengan sumbu Kata ( ) nûr/cahaya digunakan oleh
lampu atau bohlam, ia tidak dapat bahasa dalam arti “sesuatu yang menjelas­
memberi cahaya tanpa minyak/bahan kan/menghilangkan kegelapan sesuatu
bakar dan itu pun harus dihubungkan yang sifatnya gelap atau tidak jelas”. Ia di­
agar secara aktual ia menerangi.66 gunakan dalam pengertian hakiki untuk
Itu salah satu sebab Allah berfirman menunjuk sesuatu yang memungkinkan
dalam Q.s. al-Mâ’idah [5]: 15, sebagai berikut: mata menangkap bayangan benda-benda di
sekitarnya. Di sini nûr merupakan sesuatu
yang dapat ditangkap oleh mata, dan dalam
saat yang sama, mata pun dapat menangkap
apa yang disinari olehnya. Dengan demikian
dia adalah “terang” dan “menerangi”. Kata
tersebut kemudian digunakan dalam arti
67 majazi untuk menunjuk sesuatu yang men­
jelaskan hal-hal yang bersifat abstrak. Ini
Menurut Muhammad Quraish Shihab, bermula dari hal-hal yang bersifat konkret
ayat di atas menjelaskan bahwa “sesungguhnya dan indrawi, sehingga pancaindra pun
telah datang kepada kamu cahaya dari Allah”, secara majazi dinamai nûr. Dengannya
yakni Muhammad saw. dan telah datang terjangkau hal-hal yang bersifat indrawi,
pula kepada kamu kitab yakni Alquran seperti pendengaran dan rasa. Penggunaan
yang menerangkan segala yang musykil dan ini kemudian berkembang lagi sehingga akal
tersembunyi dari segala apa yang diperlukan yang dapat menganalisis dan menangkap
menyangkut kehidupan beragama manusia68. hal-hal yang bersifat abstrak dinamai juga
Cahaya dari Allah antara lain dapat nûr. Demikian juga “ilmu” yang bersifat
berarti akal,69 begitulah yang telah dijelaskan menghilangkan kekaburan dan kegelapan
dalam Q.s. al-Nûr [24]: 35, sebagai berikut: yang menyelubungi benak seseorang.70
Muhammad Quraish Shihab juga men­
jelaskan, akal manusia dapat mengetahui
Allah, mengetahui baik buruknya perbuatan
manusia meski tidak seluruhnya. Namun
akal manusia tidak dapat membuat sesuatu
menjadi wajib, oleh karena itu kewajiban-
kewajiban manusia tidak dapat ditentukan
oleh akal. Wahyulah yang menjelaskan dan
menetapkan kewajiban-kewajiban manusia
tersebut. Pengetahuan akal manusia itu
tidak sama kualitasnya dengan apa yang
dijelaskan oleh wahyu yang dibawa Rasul
66
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, h. 126.
67
Artinya: Hai Ahl al-Kitab, sesungguhnya telah datang
Allah. Karena itu, pengetahuan akal ma­
kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan kepada kamu banyak dari nusia tidak dapat dijadikan taklif yang
isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan dia membiarkan banyak mem­ b awa konsekuensi adanya balasan
lainnya. Sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya dari
Allah, dan kitab yang menerangkan. (QS. al-Mâ’idah [5]: 15).
68
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol. V,
h. 53. 70
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol IX,
69
Muhammad Quraish Shihab. Logika Agama, h. 127. h. 344.
Nur Arfiyah Febriani: Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam  |391

di akhirat, berupa pahala bagi perbuatan merupakan alat untuk mengetahui kewajiban
baik yang dapat diketahui oleh akal dan dan kebenaran. Akal adalah sumber utama
berupa hukuman untuk perbuatan buruk yang dapat mengetahui sebagian besar dari
yang dapat diketahui oleh akal. Melakukan kemaslahatan dan keburukan yang berkaitan
per­buatan baik dan meninggalkan perbuatan dengan urusan duniawi dan ukhrawi.
buruk tersebut baru menjadi taklif yang
membawa konsekuensi kepada ganjaran di Pustaka Acuan
akhirat apabila wahyu yang dibawa oleh ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fu’âdh, al-Mu‘jam
utusan Allah sudah datang menjelaskannya. al-Mufahras li al-Fazh Alquran al-Karîm,
Dengan demikian, fungsi wahyu menurut al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, 1992 M/1412 H.
Muhammad Quraish Shihab tidak hanya
‘Abd al-Jabbâr, Al-Qâdhi, al-Majmû‘ fî al-
memberikan konfirmasi terhadap apa
Muhîth bi al-Taklîf, Beirût: Institut des
yang telah diketahui oleh akal, tetapi juga
Letrea Orientales.
informasi tentang baik buruk suatu per­
buatan meski penetapan dari wahyu itu _____, Sharh al-Ushûl al-Khamsah, Kairo:
tidak bertentangan dengan akal. 71 Maktabah Wahbah, 1996.
Dari penjelasan Muhammad Quraish ‘Abidah, ‘Abd al-Karîm Naufan, Al-Dilâlah
Shihab di atas dapat kita pahami bahwa al-‘Aqliyyah fî Alquran wa Makânatuh fî
sehebat apapun potensi akal yang dimiliki Masâ’il al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, Umman:
manusia, akal tetap memiliki keterbatasan Dâr al-Nafâ’is, 1420 H/2000 M.
dalam kapasitasnya pada hal-hal di luar ‘Uthmân, Mahmûd Hamîd, al-Qâmûs al-
kemampuan logikanya. Akal tetap mem­ Mubîn fî Ishthilâhât al-Ushûliyyîn, al-
butuhkan nas yang terdapat dalam ajaran Qâhirah: Dâr al-Hadîth, 1421 M/2000 H.
agama untuk dapat menopang keter­ al-Nabhan, Muhammad Farûq, al-Madkhal
batasannya. li al-Tashrî‘ al-Islâmî, Beirût: Dâr al-
Qalam, 1981.
Penutup Amîn, Ahmad, Fajr al-Islamî, t.tp: Shirk
Dalam menghadapi berbagai permasalahan al-Thibâ‘ah al-Fanniyah al-Muttahidah:
kon­ temporer yang tidak terdapat dalam 1975.
nas Alquran dan hadis, ra’yu dapat menjadi Ash‘ari, al-, Abû al-Hasan Ismâ‘îl, Kitab
salah satu sumber hukum Islam yang diakui al-Luma‘ fî al-Radd ‘ala Ahl al-Zaig
keabsahannya. Namun demikian, tentu saja wa al-Bida‘, Beirut: Dar al-Kutub al-
Alquran dan hadis harus tetap menjadi Islamiyyah, 2000.
acuan utama dalam mengatasi keterbatasan Bashîr, Idrîs Jam‘ah Darar, al-Ra’yu, wa Atharih
akal dalam istinbat hukum Islam. Terdapat fî Fikih al-Islâmî fî ‘Usur Mâ Qabl Qiyâm
perbedaan mendasar antara al-ra’yu dan al- al-Mazhâhib al-Fikihiyyah, Qâhirah: Dâr
‘aqlu. al-Ra’yu adalah sesuatu yang diputuskan Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.
oleh hati sesudah melalui proses pemikiran, Biqâ‘i, al-, Burhân al-Dîn Abî al-Hasan
penelitian dan pencarian kebenaran dari Ibrâhîm Ibn ‘Amr, Nazhm al-Durar fî
sesuatu yang bertentangan dengan dalil Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, Beirût: Dâr
yang ada/karena tidak didapati dalil yang al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1415 H/1995 M.
jelas dari nas. Sedangkan al-‘aqlu adalah
CD Room, Mausu‘ah al-Hadîth al-Sharîf,
edisi kedua.
71
Disarikan dari buku: Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Tafsir al-Misbâh, vol X, h. 360. Lihat juga pembahasan lebih
lengkap tentang kapasitas dan fungsi akal manusia dalam Van Hoeve, 1994 M.
tesis Badru Tamam, “Corak Pemikiran Kalam dalam Tafsir Faris, Abû al-Hasan Ahmad Ibn Zakariya
al-Mishbah,” Tesis di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007. Ibn, Mu‘jam al-Maqâyis fî al-Lughah,
392|  AL-‘ADALAH Vol. X, No. 4 Juli 2012

Beirut: Dâr al-Fikr, 1994. Qadîr, al-, ‘Ali Hasan ‘Abd, Nazrat ‘Ammah fî
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas, al-Târîkh al-Fikih al-Islâmî, al-Qâhirah:
Jakarta: PT. Raja Grafndo Persada, 1999. Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1991.
Habibi, B.J, dalam acara talkshow, Save Our Qal’ah, Muhammad Rawas Ji dan Hamid
Nation: Habibi Bicara Masalah Bangsa, SHadiq Qanibi, Mu‘jam Lughat al-
Metro TV, Senin, 16. 00., 13 April, 2009. Fuqahâ, Beirut: Dâr al-Naffas, 1985.
Ibn Abî Bakr, Shams al-Dîn Abû ‘Abdillah Qâsim, Mahmûd, Manâhij al-Adillah
Muhammad (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah), fi ‘Aqâ’id al-Millah lî Ibn Rusyd mâ
I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamin, Muqaddimah fî Naqd Madâris ‘Ilm al-
Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996. Kalâm, Kairo: Maktabah al-Anglo al-
Ismâ‘îl, Sya‘ban Muhammad, Ushûl al- Mishriyyah, 1993.
Fikih Târîkhuh wa Rijâluh, Makkah Qayyim, Shams al-Dîn Abû ‘Abdillah
al-Mukarramah: Dâr al-Islâm, 1419 Muhammad Ibn Abî Bakr al-Jauziyyah
H/1998 M. Ibn, I‘lam al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb
Jabali, Fuad, dalam diskusi seminar kelas: al-‘Âlamîn, Beirût: Dâr al-Kutub al-
Penelitian Metodologi Studi Islam, ‘Ilmiyyah, 1996 M.
Ciputat, Kamis, 22 Januari 2009. Rahman, Yusuf, seminar mata kuliah
Juwaini, al-, Musthafa al-Shâwi, Manhaj “Penelitian Metodologi Studi Islam”, Kamis,
al-Zamakhshari fi Tafsîr Alquran wa 13 November 2008. Universitas Islam
Bayân I`jâzihi, Jakarta: Dinamika Berkat Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Utama, t.th. Sanu, Quthub Musthafâ, Mu‘jam Mushthalâhât
Khalâf, al-, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilm Ushûl Usul Fikih, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000.
al-Fikih, Dâr al-Quwaitiyyah, 1968 Shahrastâni, Al-, Al-Milal wa al-Nihal,
M/1388 H. Beirût: Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, t.th.
Manzhûr, Abi al-Fadhl Jamal al-Dîn Shihab, Logika Agama: Batas-Batas Akal dan
Muhammad Ibn Mukarram al-Afriqî Kedudukan Wahyu dalam Islam, Jakarta:
al-Mishrî Ibn, Lisân al-‘Arab, Beirut: Lentera Hati, 2005, cet. II
Dâr al-Shâdir, 2000 M. _____, Muhammad Quraish, Tafsir Al-
Mâtûrîdi, al-, Abû Manshûr Muhammad Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian
Ibn Muhammad Ibn Mahmûd, Kitâb al- Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Tauhîd, (Ed), Fathullah Khalif, Istambul: Syarifudin, Amir, Ushul Fikih Jilid I, Jakarta:
al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979. Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005.
Munawar, Ahmad Warson, Kamus al- Tamam, Badru, Corak Pemikiran Kalam
Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, dalam Tafsir al-Mishbah, Tesis di
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Hidayatullah Jakarta, 2007.
al-Munawir Krapyak Yogyakarta, 1984. Thomas Riggs, ed., Worldmark Encyclopedia
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam of Religious Practices, USA: Thomson
Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Gale, 2006.
Indonesia (UI Press), 1986. Weber, Max, The Protestant Ethic and the
_____, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Spirit of Capitalism, New York: Charles
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Scribner’s Sons, 1958.
1986. _____, Max, The Sociology of Religion,
_____, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Boston: Beacon Press, 1992.
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, Zarqâ, al-, Mustafa Muhammad, al-Madkhal fi
1986. al-Fikih al-‘Âm, Damaskus: al-Adib, 1968.

You might also like