Professional Documents
Culture Documents
MAXILLOFACIAL FRACTURE
Disusun oleh :
HALAMAN JUDUL
Pembimbing :
Disusun oleh :
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
Dipresentasikan dihadapan
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga,
kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi
penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
Tulang fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu sepertiga
bawah atau mandibula, sepertiga atas yang dibentuk oleh tulang dahi, dan sepertiga
tengah daerah yang membentang dari tulang dahi menuju kepermukaan gigi
geligi atas, bila pasien tidak mempunyai gigi pada alveolus atas.
Fraktur yang terjadi pada daerah sepertiga tengah disebut juga fraktur rahang
atas atau fraktur maksila, tetapi istilah ini tidak tepat benar oleh karena fraktur
sepertiga tengah juga diikuti dengan fraktur tulang didekatnya. Fraktur yang terjadi
pada sepertiga tengah dan atau mandibula, dikenal pula sebagai "maxillofascial
injury".
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu os
maksila, zigimatikus, dan etmoid.
Maksilla dibentuk oleh tulang maksilla dan palatum, merupakan tulang terbesar
setelah mandibula. Masing-masing maksila mempunyai bagian:
Facies anterior.
Proc. frontalis yang bersendi dengan os. frontale, nasal, dan lacrimale.
Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada mak sila dan termasuk
dalam golongan otot mimik yang mendapat persarafan motorik dari N.VIII. Secara
mikroskopis, maksilla merupakan tulang kanselous, dimana pada fraktur akan
terjadi penyebuhan primer.
2.2. Epidemiologi
2.3. Etiologi
Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses
patologis.
1) Fraktur Traumatik
Fraktur Traumatik adalah fraktur yang disebabkan oleh pukulan pada:
- Perkelahian
- Kecelakaan
- Tembakan
2) Fraktur Patologis
Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam
keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan
seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur. Terjadi
karena:
a) Penyakit tulang setempat
- Kista
- Tumor tulang jinak atau ganas
- Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau
tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis
b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah.
- Osteomalacia
- Osteoporosis
- Atrofi tulang secara umum
2.4. Klasifikasi Fraktur Maksilla
1. Dento Alveolar Fracture
Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le
Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus
alveolaris dan gigi-gigi.
Gejala klinik:
Extra oral :
a. Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering
disertai perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang
luka tersebut.
b. Bibir bengkak dan edematus
c. Echymosis dan hematoma pada muka
Intra oral :
a. Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan.
b. Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang
berpindah tempat.
c. Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya
d. Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya pulpa
2. Le Fort I:
Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan
dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas,
palatum durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang
rahang dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh
jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung
(floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan
fraktur pada palatal dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.
Fraktur Le Fort 1
Gejala Klinik
Extra oral :
a. Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum
b. Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris
c. Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang
terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis
d. Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan
rahang bawah telah kontak lebih dulu.
Intra oral :
a. Echymosis pada mucobucal rahang atas
b. Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai
goyangnya gigi dan lepasnya gigi.
c. Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi
fraktur atau lepas.
d. Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.
3. Le Fort II :
Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid
dan sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.
Fraktur Le Fort II
Gejala klinik
Extra oral :
a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa
sakit.
Intra oral:
e. Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian
hidung terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.
4. Le Fort III
Gejala klinik
Extra oral :
a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung
b. Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga.
c. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis.
d. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf
motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola
mata yang temporer.
e. Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.
f. Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah
g. paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan
Bell’s Palsy.
Intra oral :
a. Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.
b. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan
c. Perdarahan pada palatum dan pharynx.
d. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.
5. Zygomaticus Complex Fracture
Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami
fraktur. Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang
paling sering mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang.
Fraktur garis sutura rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan
zygomatic maxillaris.
Fraktur Zigoma
6. Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula dapat dibagi menjadi dua kelompok utama :
a. Anamnesis
Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk
mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau
penemuan korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga
yang mempengaruhi resusitasi pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan
hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang
mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
2) Palpasi
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
3) Manipulasi Digital
Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat
bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya, sedangkan
tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jika maksila
digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur.
5) Maloklusi Gigi
Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke
arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi
sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III
pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser
secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan
kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
c. Pemeriksaan Radiologi
Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan
radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi
digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa yang tepat
sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena tulang muka
kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk melihatnya
dari satu posisi saja. Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain :
1. PA position
2. Waters position
3. Lateral position
4. Occipito Mental Projection
5. Zygomaticus
6. Panoramic
7. Occlusal view dari maxilla
8. Intra oral dental
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan
pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos
diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi fraktur
maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto
polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan
pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film
lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan,
foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial.
Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila
dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan
kecurigaan adanya fraktur maksila.
Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le
Fort I, II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan
lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan putih). Perlu
dilakukan foto CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati
adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress pterigomaksilari.
Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat
klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam
mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.
Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan
potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan
bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort.
Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi.
Kedua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur
tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa
untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le
Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana
fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ketiga, jika
salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe
tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi
fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe
itu.
Fraktur fasial sekunder yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor
berkecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur servikal atau trauma
jaringa saraf. Karena itu, pemeriksaan servikal harus dilakukan. Pemeriksaan pada
seluruh nervus kranial juga harus dilakukan. Trauma lain yang juga biasa
ditemukan adalah trauma pada mata.
2.6. Tatalaksana
Prinsip penanganan fraktur maksila pada langkah awal penanganan pada hal
yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing),
sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penanganan luka
jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan
cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur. Fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi,
sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase
penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
a. Perawatan jalan nafas.
Adanya pergeseran dan pecahan tulang akibat fraktur maksila, serta
jaringan lunak, bekuan darah, gigi/patahan gigi atau benda asing lain akan
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Jalan nafas harus dipastikan bersih dari benda
asing, dan di-lakukan perawatan perdarahan pada nasal dan oral. Jika terjadi
edema pharing atau terjadi gangguan jalan nafas akibat per geseran struktur tulang
maka harus segera dilakukan tracheostomi.
b. Perawatan perdarahan.
Pada umumnya fraktur maksilla akan disertai dengan laserasi mukosa
oral dan kulit sehingga timbul perdarahan hebat a. palatina mayor atau a.
maksilaris interna dapat mengalami ruptur akibat gaya geseran dari segmen
maksila. Perdarahan dapat terjadi karena robekan mukosa nasal dan sinus
maksila. Perdarahan dapat diatasi dengan melakukan penekanan, berupa tampon
pada tempat luka ataupun dengan melakukan tampon pada pharing posterior.
Jika perdarahan yang terjadi tidak dapat dihentikan, dapat dilakukan ligasi a.
karotis eksterna.
c. Perawatan Fraktur
Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang
fraktur pada hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut
bersentuhan dan dipertahankan pada posisi tersebut sampai penyembuhan
terjadi. Reposisi/reduksi fraktur ada 2 cara
1) Close reduction
Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi
tertutup yaitu manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah
kulit yang intact sampai fraktur berada pada posisi yang benar. Fraktur
yang dapat dilakukan reposisi tertutup, bila garis fraktur simpel, posisi
cukup baik dan terjadinya fraktur masih baru.
a) Reduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi.
Cara ini dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah
dikembalikan pada tempat semula. Caranya : raba permukaan tulang
yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu perhatikan oklusinya.
Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan yaitu dengan
manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai kedudukannya
seperti semula.
b) Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu
penarikan rahang bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila
displacement sukar dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan
yang mungkin oleh karena adanya spasmus otot dan fraktur yang sudah
lama sehingga terjadi malunion yang sukar dikembalikan ke keadaan
semula.
Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas
laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh
penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita
dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan
kawat pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di
a tas garis fraktur. Kawat suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch
bar pada mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan
kawat suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3.
Dengan demikian maksila terjepit di antara mandibula dan bagian tulang
muka yang stabil. Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa:
a) Circumzygomatic
b) Zygomatic-mandibula
Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan
Le Fort I dan sangat kurang stabil.
f) Nasal septum-mandibular
Fiksasi ini sangat tidak stabil. Pada beberapa keadaan, suspensi langsung
terhadap maksila dapat dilakukan yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang
tepat tidak mutlak diperlukan , misalnya pada :
a) Salah satu rahang tidak bergigi
b) Immobilisasi mandibula tidak diperlukan
c) Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan kontraindikasi,
misalnya pada obstruksi nasal yang berat.
4) Fraktur mandibula
Indikasi reduksi secara tertutup (close reduction) digunakan pada kondisi-
kondisi sebagai berikut:
a. Fracture non displace (fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran
tempat)
b. Fraktur kommunitif yang sangat nyata
c. Edentulous fraktur (menggunakan prosthesis mandibula)
d. Multiple fraktur
2.7. Komplikasi
Adapun komplikasi setelah perawatan fraktur antara lain:
1) Infeksi
2) Delayed Union
Sebab :
- Reduksi kurang baik
- Adanya interposisi dari serat-serat otot, fragmen
- tulang yang keci1-kecil atau adanya gigi pada garis fraktur
- Adanya fokal infeksi
- Reaksi penyembuhan dari tubuh yang rendah
- Penyakit -penyakit sistemik seperti sifilis, TBC, dan
- lain-lain.
- Fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik
Perawatan terhadap delayed union
- Hilangkan semua faktor penyebab
- Bila perlu lakukan operasi ulang
3) Malunion
Sebab :
- Reduksi yang tidak tepat
- Alat fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik Perawatan malunion :
- Refracturing, kemudian ulangi reduksi, immobilisasi dan fiksasi
- Bila union sudah kuat, perlu tindakan osteotomi melalui garis fraktur
semula
4) Non union
Sebab :
- Menangguhkan perawatan yang terlalu lama
- Reduksi yang buruk
- Fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik
- Alat fiksasi terlalu cepat dibuka
- Adanya benda asing di garis fraktur
5) Kerusakan saraf
Dapat terjadi paraesthesia karena kerusakan n.alveolaris inferior pada RB,
kerusakan n.infra orbitalis, n.alveolaris superior serta cabang-cabangnya
pada RA.
6) Trismus
Penderita sukar membuka mulut.
2.8. Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah
satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah
akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini
dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan
belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan
fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana
sudah mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk
direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit
untuk direduksi.
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup
sering terjadi dimana kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab
utama. Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah
fungsional tapi juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola
Le Fort I, II, maupun III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi
klasifikasi tersebut. Adapun beberapa hal mendasar mengenai fraktur maksila
diantaranya ;
1. Untuk terjadinya fraktur maksila baik itu Le Fort I, II, maupun III, prosesus
pterigoid harus mengalami disrupsi.
2. Adanya mobilitas dan maloklusi pada pemeriksaan fisik merupakan hallmark
dari fraktur maksila walaupun tidak semua fraktur maksila menimbulkan
mobilitas.
3. Pemerikasaan radiologi baik itu foto polos maupun CT scan diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis, namun CT scan merupakan pilihan utama.
4. Fraktur maksila umumnya memiliki prognosis yang cukup baik apabila
penanganan dilakukan dengan cepat dan tepat, namun dapat timbul komplikasi
yang dapat menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila tidak tertangani
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA