Professional Documents
Culture Documents
2009
ONKOLOGI
MEDIK
Racmat Sumantri
Pedoman diagnosis dan terapi
Iman Supandiman
T. Heri Fadjari
Pandji Irani Fianza
Amaylia Oehadian
Penerbit:
Sub Bagian Hematologi-Onkologi Medik
dan
Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian I Penyakit Dalam FK UNPAD
RS dr. Hasan Sadikin - Bandung
Judul
PEDOMAN DIAGNOSIS DAN TERAPI
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK 2008
Penyusun
Rachmat Sumantri
Iman Supandiman
Trinugroho Heri Fadjari
Pandji Irani Fianza
Amaylia Oehadian
Layout Isi
Dina Parlina
Design Cover
Trinugroho Heri Fadjari
Penerbit
Sub Bagian Hematologi – Onkologi Medik
dan
Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Dr. Hasan Sadikin – Bandung
Percetakan
Cetakan Pertama
Januari 1997
Cetakan Kedua
Februari 2003
ISBN 978-979-18705-0-4
KATA PENGANTAR
Buku pedoman yang terakhir kami terbitkan yaitu tahun 2003 secara garis besar
masih dapat dipakai, namun bagi para dokter yang ingin secara khusus mengikuti
perkembangan ilmu seyogyanya membaca buku ini.
Rachmat Sumantri
i
DAFTAR ISI
ii
22. Hemofili A .............................................................................. 134
23. Hemofili B .............................................................................. 139
24. Penyakit von Willebrand ........................................................... 142
25. Koagulasi Intravaskuler Diseminata ........................................... 146
26. Fibrinolisis Primer .................................................................... 155
27. Pendekatan Diagnosis Penderita Dengan Gangguan Perdarahan ... 158
28. Trombosis .............................................................................. 166
29. Sindroma Antifosfolipid ............................................................ 184
30. Limfoma Maligna ..................................................................... 190
31. Kanker Payudara ..................................................................... 219
32. Kanker Kolorektal .................................................................... 240
33. Kanker Kepala Dan Leher ......................................................... 247
34. Kanker Paru-paru .................................................................... 255
35. Kanker Ovarium ...................................................................... 271
36. Sarkoma Jaringan Lunak .......................................................... 278
37. Carcinoma Unknown Primary .................................................... 294
38. Kegawatdaruratan Onkologi : Sindroma Lisis Tumor .................... 298
39. Kegawatdaruratan Onkologi : Hiperkalsemia Dan SIADH .............. 307
40. Kegawatdaruratan Onkologi : Sindroma Vena Cava Superior ........ 320
41. Kegawatdaruratan Onkologi : Kompresi Spinal Cord .................... 323
42. Hiperkoagulabilitas Akibat Kanker .............................................. 327
43. Kemoterapi Dan Efek Sampingnya ............................................. 332
44. Reaksi Transfusi ...................................................................... 341
45. Daftar Pustaka ........................................................................ 349
iii
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Definisi :
Anemia yang disebabkan karena kurangnya zat besi (Fe).
Etiologi :
Adanya keseimbangan negatif Fe yang disebabkan :
1. Berkurangnya asupan Fe
Diet tidak adekuat (malnutrisi)
Gangguan absorpsi : aklorhidria, operasi lambung, penyakit celiac
2. Kehilangan Fe
Perdarahan traktus gastrointestinal
Perdarahan traktus urogenitalis
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik
Teleangiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
Gagal ginjal kronik dan hemodialisis
3. Meningkatnya kebutuhan Fe
Anak – anak
Kehamilan
Laktasi
Patofisiologi :
Defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung
lama.
Terdapat tiga stadium defisiensi Fe yaitu :
1. Defisiensi Fe pre laten / deplesi Fe
Berkurangnya cadangan Fe tanpa disertai berkurangnya kadar Fe serum
2. Defisiensi Fe laten
Cadangan Fe habis, tetapi kadar hemoglobin masih di atas batas terendah
kadar normal.
1
3. Anemia defisiensi Fe
Kadar hemoglobin di bawah batas terendah kadar normal
Riwayat Penyakit :
Keluhan anemi, lemah badan, mata berkunang-kunang, timbul secara perlahan-
lahan dan menahun, berdebar, dyspnoe d’effort, keluhan gagal jantung.
Laboratorium :
1. Apus darah tepi :
Eritrosit : hipokrom mikrositer
Lekosit : jumlah biasanya normal, kadang – kadang
granulositopenia ringan, pada perdarahan banyak dapat
ditemukan neutrofilik lekositosis, kadang kadang terdapat
mielosit
Trombosit : jumlah biasanya meningkat sampai 2 kali normal dan
menurun setelah pengobatan.
Pada defisiensi Fe yang berat dan lama yang disertai defisiensi
Folat atau sekuestrasi di limpa dapat ditemukan
trombositopenia ringan.
2. Apus sumsum tulang :
Hiperplasia eritropoiesis dengan kelompok – kelompok normoblast
basofil. Bentuk pro-normoblast, normoblast kecil – kecil dengan
sitoplasma ireguler, sideroblast negatif.
3. Nilai absolut menurun
4. Retikulosit menurun
5. Fe serum rendah
6. TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat
7. Feritin menurun
8. Feses : telur cacing Ankilostoma duadenale / Necator americanus
2
9. Pemeriksaan lain : endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in
loop, pemeriksaan ginekologi
Anemia defisiensi Fe
Pre laten Laten
Dini Lanjut
Fe sumsum - - -
tulang
Serum Feritin < 12 < 12 < 12
Saturasi N < 16% < 16% < 16%
transferin
FEP N
Hb N N 8 – 14 <8
MCV N N N atau
Ket : FEP : Free Erytrocyte Protoporphyrin
MCV : Mean Cospuscular Volume
N : Normal
Diagnosis :
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan
2. Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, Fe serum rendah, TIBC tinggi,
nilai absolut menurun ,saturasi transferin menurun
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast negatif)
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe
Diagnosis Banding :
1. Sindroma talasemia
2. Hemoglobinopati
3. Anemia penyakit kronis
4. Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
5. Sindroma mielodisplasia
6. Anemia sideroblastik herediter
Terapi :
1. Prinsip : Menentukan penyebab defisiensi Fe, eliminasi penyebab defisiensi
Fe, terapi Fe.
3
2. Terapi Fe
a. Oral :
Dosis : 200 mg Fe / hari, penyerapan lebih baik dalam keadaan
lambung kosong.
Efek samping : iritasi gastro intestinal : heart burn, nausea, diare.
Bermacam-macam Preparat Fe :
b. Parenteral :
Indikasi :
Tidak dapat mentoleransi Fe oral
Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat
dikompensasi dengan Fe oral
Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan
pemberian Fe oral (colitis ulserativa)
Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal
Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa
Dosis :
Fe yang diperlukan untuk mengembalikan defisit dan mengisi
cadangan Fe
Fe yang diperlukan =
(15 – Hb penderita (gr/dL)) x Berat badan (kg) x 3 (mg)
diberikan maksimum 100 mg / hari
4
IV : 2 mL Fe–dextran tanpa diencerkan diberikan dengan kecepatan
1 ml/menit
Atau
Dosis total yang diperlukan diencerkan dengan perbandingan 5 ml
Fe-dextran : 100 mL NaCl 0,9 % diberikan dengan kecepatan
20 tetes/menit selama 5 menit, bila tidak ada efek samping,
kecepatan dinaikkan menjadi 40 – 60 tetes/menit.
Efek samping :
Lokal : nyeri, perubahan warna kulit, pembesaran kelenjar getah
bening regional
Sistemik : Reaksi segera : hipotensi, nyeri kepala, malaise,
urtikaria, nausea reaksi anafilaktoid
Reaksi lambat : limfadenopati, mialgia, artralgia,
demam.
3. Respon terapi :
Respon hematologis yang paling dini adalah peningkatan retikulosit yang
mencapai maksimal (5 – 10%) pada hari ke 5 – 10 setelah terapi.
Pada hari ke 18 pengobatan, peningkatan hemoglobin diharapkan mencapai
setengah antara kadar hemoglobin awal dan kadar hemoglobin normal.
Setelah 3 minggu pengobatan, peningkatan kadar hemoglobin harus
mencapai 59%.
Prognosis :
Baik apabila sumber perdarahan dapat diatasi dan terapi Fe adekuat.
5
ANEMIA APLASTIK
Definisi :
Anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia/aplasia
sumsum tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau
menginfiltrasi jaringan hematopoietik.
Etiologi :
1. Didapat
a. Zat kimia dan fisika
Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit, antimitotik :
kolsisin, daunorubisin, adriamisin
Zat yang kadang-kadang menyebabkan hipoplasia : kloramfenikol,
kuinakrin, metilfenilhidantoin, trimetadion, fenilbutazon, senyawa
emas.
b. Infeksi virus : Hepatitis, Epstein – Barr, HIV, Dengue
c. Infeksi mikobakterium
d. Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
Patofisiologi :
Kegagalan produksi eritrosit, lekosit dan trombosit merupakan kelainan dasar
pada anemia aplastik yang dapat disebabkan oleh :
1. Defek kualitatif populasi stem cell
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang (microenvironment deficiency)
3. Gangguan produksi/efektivitas hematopoietik growth factors atau supresi
imun.
6
Riwayat Penyakit :
Riwayat terpapar zat kimia, obat-obatan, radiasi, virus
Gejalan anemi : pusing, lemah badan, berkunang-kunang, berdebar, pucat,
sesak nafas / gagal jantung
Gejala infeksi : demam, batuk dan lain-lain, terjadi akibat lekopeni
Perdarahan : akibat trombositopeni, dapat terjadi di semua organ
Diagnosis :
Pansitopenia perifer
Anemia normokrom normositer
Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak
Ham’s test perlu dilakukan karena PNH dapat memperlihatkan pansitopenia
perifer dengan sumsum tulang yang hipoplastik
Diagnosis Banding :
Pansitopenia dengan sebab lain :
Penyakit yang menginfiltrasi sumsum tulang :
Aleukemik leukemia, mieloma multipel, metastase karsinoma, limfoma,
mielofibrosis
Penyakit yang mengenai limpa :
Splenomegali kongestif, limfoma, penyakit infiltratif : penyakit Gaucher,
Niemann – Pick, infeksi : tuberkulosis, sifilis, kala azar
Defisiensi B12 atau folat
Lupus Eritematosus Sistemik
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
7
Terapi :
1. Menghindari kontak dengan toksin / obat penyebab
2. Umum : hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik,
sikat gigi lunak, obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi : obat
anovulatori
3. Transfusi :
PRC
Trombosit : profilaksis pada penderita dengan trombosit < 10.000 –
20.000 /mm3, bila didapatkan adanya infeksi, perdarahan, demam
diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
Granulosit : tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat
dipertimbangkan pemberian 1 x 1010 netrofil selama 4 – 7 hari pada
infeksi bakterial yang tidak berespon dengan pemberian antibiotik.
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang
Merupakan terapi terpilih untuk penderita usia muda (< 40 tahun) dengan
anemi aplastik berat dan HLA cocok.
6. Imunosupresif
a. ATG (Anti thymocyte globulin)
Dosis : 10 – 20 mg/kg BB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam
larutan NaCl dengan filter selama 8 – 14 hari, lakukan tes
subkutan sebelumnya. Untuk mencegah serum sickness, diberi
Prednison 40 mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian
tappering
Efek samping : demam, menggigil, rash, trombositopenia, serum
sickness, hipotensi
Catatan :
Jika trombosit < 50.000 /mm3 sebelum dan sesudah ATG, perlu
transfusi suspensi trombosit
Jika ada serum sickness : metilprednisolon 10 mg / kg BB / hari IV
atau kortikosteroid yang setara
Dapat dikombinasikan dengan GM – CSF
b. Cyclosporin A
Dosis : 3 – 7 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan
setiap minggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400 –
800 mg/ml.
Pengobatan diberikan minimal selama 3 bulan, bila ada respon,
diteruskan sampai respon maksimal, kemudian dosis diturunkan
dalam beberapa bulan.
c. Kombinasi ATG dan cyclosporin A
7. Simulasi hemotopoiesis dan regenerasi sumsum tulang
rh GM – CSF (recombinant human granulocyte – macrophage colony
stimulating factor)
8
Androgen :
Testosteron / metil testosteron : 1 – 2 mg/kg/hari PO
Fluoxymesterone
Diberikan selama 3 – 6 bulan
Kortikosteroid : prednison 1 – 2 mg/kg BB/hari PO
Diberikan maksimum 3 bulan
Prognosis :
Tergantung tingkat hipoplasia, makin berat prognosis makin jelek. Pada
umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdarahan atau akibat komplikasi
transfusi.
Anemi aplastik konstitusional biasanya fatal. Anemi aplastik karena virus hepatitis
mempunyai mortalitas > 60% dalam 2 bulan setelah diagnosis. Anemi aplastik
karena obat / toksin mempunyai prognosis lebih baik.
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,
25% selama 4 – 12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun dan 10 – 20%
penderita mengalami perbaikan spontan (parsial / komplit).
Dengan transplantasi sumsum tulang, kelangsungan hidup 6 tahun mencapai
72%, sedangkan dengan terapi imunosupresif mencapai 45%.
9
ANEMIA HEMOLITIK
Definisi :
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan adanya peningkatan destruksi
eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum tulang.
Etiologi :
1. Faktor intrinsik :
Kongenital :
Defek membran eritrosit : sferositosis, eliptositosis
Defisiensi enzim glikolitik eritrosit : piruvat kinase
Defisiensi enzim pentose phosphate pathway : G6PD (Glucose-6 –
phosphate dehydrogenase)
Defek struktur dan sintesis Hb : Unstable Hb disease, Talasemia,
anemi bulan sabit
Didapat : Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
2. Faktor ekstrinsik :
Anemia hemolitik autoimun (warm antibody) :
Idiopatik
Sekunder : infeksi virus, mikoplasma, limfoma, limfosarkoma,
lekemi limfositik kronik, lupus eritematosus sistemik, penyakit
autoimun lain.
Obat-obat : sefalosporin, penisilin, tetrasiklin, metildopa.
Anemia hemolitik autoimun (cold antibody) :
Cold hemagglutinin disease:
- Idiopatik
- Sekunder : mikoplasma pneumonia, Mononukleousus infeksiosa
Paroxysmal cold haemoglobinuria :
- Idiopatik
- Sekunder : sifilis, measles, mump
Traumatik dan anemia hemolitik mikroangiopatik :
Katup jantung buatan
10
HUS (Haemolytic Uremic Syndrome)
TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Koagulasi intravaskuler diseminata
Infeksi : malaria, toksoplasmosis, klostridium
Zat kimia dan obat oksidatif : sulfonamid, nitrofurantoin, nitrat, cisplatin,
arsine, propiltiourasil, copper inorganic
Zat fisika : termal : luka bakar, radiasi
Patofisiologi :
Pada stimulasi maksimal, sumsum tulang dapat mengalami hiperplasia sampai
6 – 8 kali. Apabila terjadi peningkatan destruksi ertirosit yang melebihi
kemampuan maksimal kompensasi eritropoiesis sumsum tulang (umur eritrosit
< 120/8 = < 15 hari) baru terjadi anemia.
Riwayat Penyakit :
Dapat asimptomatik maupun akut dan berat.
Pada bentuk yang berat dan akut, pada umumnya berupa :
Mendadak mual-mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut,
pinggang dan ekspemitas, lemah badan, sesak nafas, pucat.
Gangguan kardiovaskuler
Buang air kecil warna merah/gelap.
11
Bentuk kronis : keluhan lemah badan berlangsung dalam periode beberapa
minggu sampai bulan.
Laboratorium :
Tanda – tanda hemolisis :
Apus darah tepi : anisositosis, polikromasi dengan normoblast, lekosit
bergeser ke kiri
Apus sumsum tulang : hiperplasia eritropoiesis
Retikulosit meningkat
Masa hidup eritrosit memendek (Cr 51)
Peningkatan katabolisme heme :
Peningkatan LDH
Penurunan haptoglobin
Hemolisis intravaskuler : hemoglobinemia, hemoglobinuria,
hemosiderinuria, methemalbuminemia
Trombositopenia : sindroma Evan’s
Terhadap etiologi :
Coomb’s test : hemolitik autoimun
Ham’s test : PNH
G6PD : G6PD defisiensi
Piruvat Kinase : Piruvat kinase defisiensi
Donath Landsteiner test : Paroxysmal cold haemoglobinuria
Hb elektroforesa : Talasemia
Test fragilitas osmotik : Sferositosis herediter
DDR, apus darah tepi : Malaria
12
Diagnosis Banding :
1. Anemia pernisiosa
2. Anemia defisiensi Fe stadium awal
3. Anemia pasca perdarahan masif
4. Eritrolekemi
5. Anemia aplastik (pada krisis aplastik dari anemia hemolitik)
6. Myelofibrosis
Terapi :
1. Tergantung etiologi
a. Anemia Hemolitik autoimun :
Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubuh
(LPT)/hari respon biasanya terlihat setelah 7 hari, retikulosit
meningkat, Hb meningkat 2 – 3 gr% per minggu. Bila Hb sudah
mencapai 10 gr%, dosis steroid dapat diturunkan dalam 4 –
6 minggu sampai 20 mg/m2 LPT/hari ; kemudian diturunkan selama
3 – 4 bulan.
Beberapa kasus memerlukan prednison dosis pemeliharaan 5 –
10 mg selang sehari.
Splenektomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian
glukokortikoid.
Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi.
Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau
Siklofosfamid : 60 – 75 mg/m2/hari
Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian tappering
off, biasanya dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari.
Dosis prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan.
Imunoglobulin intravena : 0,4 gr/kg BB/hari sampai 1 gr/kg BB/hari
selama 5 hari.
Danazol : 600 – 800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan
menjadi 200 – 400 mg/hari. Diberikan bersama dengan prednison.
Plasmaferesis.
b. Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
c. Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab.
d. Kelainan kongenital.
Talasemia :
Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr %
Desferal (Deferoxamine) untuk mencegah penumpukan besi :
- Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 µg/dL,
biasanya setelah transfusi lagu ke 12 – 15
- Dosis inisial : 20 mg/kg BB, diberikan 8 – 12 jam infus sub
kutan di dinding anterior abdomen, selama 5 hari/minggu
13
- Diberikan bersama dengan 100 – 200 mg vitamin C per
oral untuk meningkatkan ekskresi Fe.
- Pada keadaan penumpukan Fe berat, terutama disertai
komplikasi jantung dan endokrin, deferoxamine diberikan
50 mg/kg BB secara infus kontinu intravena.
Sferositosis Herediter :
Splenektomi, umur optimal 6 – 7 tahun, kontraindikasi :
limfopeni, hipogamaglobulinemi
2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun),
packed red cell
3. Pada hemolisis kronik, diberikan Asam folat 0,15 – 0,3 mg / hari untuk
mencegah krisis megaloblastik.
4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :
Adanya triad : hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, gagal ginjal akut.
Terapi suportif, perhatikan balans cairan, transfusi (pertahankan
Hb 9 gr%) jangan beri suspensi trombosit
Dialisis
5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)
Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia,
gangguan fungsi ginjal, demam
Terapi : kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon
0,75 mg/kg IV tiap 12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan
plasmapheresis dengan FFP 3 – 4 L/hari.
Prognosis :
Tergantung penyakit dasar, dapat mengalami krisis aplastik, krisis hemolitik dan
krisis megaloblastik, yang ditandai penurunan kadar hemoglobin secara cepat
dan dramatis.
1. Krisis aplastik :
Merupakan krisis yang paling sering terjadi, disebabkan kegagalan
sementara produksi eritrosit. Pada sebagian besar kasus hal ini disebabkan
infeksi B19 human parvovirus (HPV). Terjadi penurunan kadar hemoglobin
disertai penurunan retikulosit (biasanya < 1 %)
2. Krisis hemolitik :
Terjadi penurunan kadar hemoglobin karena peningkatan destruksi eritrosit
yang kemungkinan disebabkan peningkatan aktivitas limpa. Pada keadaan
ini terdapat peningkatan retikulosit, ikterik bertambah dan lien membesar
3. Krisis megaloblastik :
Terjadi sebagai komplikasi defisiensi folat, onset biasanya lebih lambat daari
pada krisis aplastik dan krisis hemolisis dan tidak berhubungan dengan
infeksi.
14
Anemia hemolitik autoimun idiopatik (warm antibody) :
Perjalanan penyakit bervariasi, mengalami remisi dan relaps, mortalitas
mencapai 46%. Kelangsungan hidup 10 tahun sebesar 73%.
Talasemia
Transfusi adekuat dan terapi chelation desferoxamine memperbaiki
prognosis penderita ß-talasemia mayor.
15
TALASEMI
Definisi :
Talasemi adalah kelainan herediter akibat adanya mutasi gen globin yang
menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya sintesis 1 atau lebih rantai globin.
Klasifikasi :
1. Talasemi : berkurangnya (+ - talasemi) atau tidak adanya (0 – talasemi)
sintesis - globin.
Talasemi 1 : keadaan silent carrier, asimtomatik, adanya delesi
1 alel
Talasemi 2 : adanya delesi 2 bagian gen -globin pada kromosom
yang sama.
Didapatkan perubahan eritrosit menjadi hipokrom dan mikrositer ringan,
serta anemi ringan
Penyakit Hb-H : didapatkan dari orang tua dengan -talasemi 1 dan
talasemi 2 sehingga kehilangan 3 dari 4 alel - globin. Hanya sedikit
terbentuk Hb A, rantai yang berlebihan membentuk Hb H (4).
Hydrops fetalis dengan Hb Bart ( 4) :
Didapatkan dari kedua orang tua dengan talasemi 2 yang
menyebabkan tidak adanya total gen globin sehingga tidak terbentuk
sintesis hemoglobin fetal dan dewasa. Bayi bisanya mengalami gagal
jantung kongestif (hidrops) dan meninggal dalam kandungan.
16
Etiologi :
1. Talasemi : adanya delesi 1, 2, 3 atau ke empat lokus gen - globin dari 2
kopi kromosom 16
2. Talasemi : adanya mutasi pada kromosom 11
Patofisiologi :
Hemoglobin adalah elemen pembawa oksigen dalam tubuh, merupakan protein
yang dibentuk dalam normoblas. Setiap hemoglobin terdiri dari tetramer 2 rantai
globin dan 2 rantai globin non yang terikat dengan heme. Heme
mengandung 1 atom Fe (Fe2+) yang terikat pada cincin porfirin. Hemoglobin pada
dewasa terdiri dari :
Hb A ( 22) : 96 – 98% Hb total
Hb A2 ( 22) : 1,5 – 3% Hb total
Hb F / hemoglobin fetal ( 22) : 0,5 – 1% Hb total
17
Patofisiologi Talasemi :
2 2 Presipitasi
Hb F
Hemolisis Destruksi prekursor
Eritrosit
Anemi
Hipoksi jaringan
Eritropoietin
Gangguan endokrin
Sirosis
Gagal jantung
Riwayat Penyakit :
Bervariasi dari asimptomatik sampai keluhan-keluhan anemi yang jelas.
Adanya riwayat keluarga, keluhan lemah badan, pembesaran hati dan limpa,
gangguan pertumbuhan, gangguan maturitas seksual, gagal jantung.
18
Tanda dan Gejala Klinis :
Mongoloid facies/facies rodent karena ekspansi sumsum tulang pada tulang
maksila dan tengkorak
Tanda-tanda adanya hemolisis : anemi, sklera ikterik, hepatosplenomegali
Gangguan pertumbuhan
Gangguan maturitas seksual
Gagal jantung kongestif
Talasemi mayor
- thal + 10 – 90 1,5 – 4,0 10 – 90
- thal 0 0 1,5 - 4,0 98
HPFH 60-85 1,0 – 2,0 15 - 35
Ket : HPFH = hereditary persistence of fetal haemoglobins
Diagnosis :
Riwayat hemolisis kronis, gangguan pertumbuhan
Anemi, ikterik, Facies rodent, hepatosplenomegali
Gambaran eritosit hipokrom mikrositer, target sel, normoblas
Elektroforesis Hb
19
Gambaran Klinis Dan Hematologis Sindroma Talasemi :
Varian Hemoglobin
Gambaran
Fenotipe Genotipe Setelah tahun
Klinis Baru lahir
pertama
Hydrops (- - / - -) Kematian Hb Bart’s -
fetalis fetal/neonatal (80 – 90%),
Dengan Hb H, Hb
anemi berat Portland
20
Gambaran Klinik Dan Hematologis Sindroma Talasemi :
Klinis dan
Mayor Intermedia Minor Minimal
hematologis
Beratnya ++++ ++ +, + +, 0
manifestasi klinis
Genetik Homozigot, Homozigot, Heterozigot Heterozigot
heterozigot heterozigot
ganda ganda, jarang
heterozigot
Diagnosis Banding :
Anemi defisiensi Fe : terutama harus dibedakan dengan trait talasemi .
Pada trait talasemi kadar Fe. TIBC (total iron binding capacity) dan feritin
normal. Pada umunya penderita trait talasemi mempunyai MCV < 75 dan
hematokrit > 30, sebaliknya pada defisiensi Fe jarang didapatkan MCV < 75
sampai adanya penurunan hematokrit < 30. Bila didapatkan Mentzer index
(MCV/RBC) > 13, lebih cenderung suatu defisiensi Fe, sedangkan bila < 13
lebih cenderung suatu trait talasemi .
Terapi :
1. Talasemi minor dan :
Hindari suplemen Fe, kecuali bila terbukti adanya defisiensi Fe
21
Suplemen asam folat mungkin diperlukan bila asupan berkurang atau
selama kehamilan untuk menghindari terjadinya eritropoiesis
megaloblastik
Koreksi surgikal dan ortodontik untuk deformitas fasial
Terapi suplemen hormon untuk memperbaiki maturitas seksual dan
gangguan pertumbuhan
Vaksinasi hepatitis B sebelum tindakan transfusi
Vaksinasi pneumokokus polivalen bila direncanakan tindakan
splenektomi
2. Talasemi mayor :
Transfusi :
Pada talasemi intermedia dan talasemi lainnya dengan kadar
Hb > 7,5 gr% biasanya tidak diperlukan transfusi. Transfusi reguler
dimulai bila Hb < 7 gr% atu bila ada gangguan pertumbuhan. Transfusi
yang dimulai dini memberikan keuntungan :
Mencegah deformitas fasial
Memungkinkan pertumbuhan normal
Mencegah splenomegali kongestif, infeksi
Memperbaiki fungsi cadangan jantung
Program hipertransfusi yang bertujuan untuk mempertahankan
Hb > 10 gr% (rata-rata 12 gr%) dapat memperbaiki kualitas hidup
penderita tanpa meningkatkan komplikasi penimbunan Fe. Kadar
Hb > 10 gr% efektif menekan aktivitas eritroid dan mencegah ekspansi
sumsum tulang yang merupakan dasar patologi talasemi mayor.
Splenektomi :
Program transfusi yang baik dapat memperlambat timbulnya
splenomegali. Splenomegali akan memperbesar volume darah,
memperpendek masa hidup eritrosit, meningkatkan kebutuhan transfusi.
Adanya splenic trapping trombosit dan lekosit kadang-kadang
menyebabkan lekopeni dan trombositopeni.
Indikasi utama splenektomi adalah bila didapatkan peningkatan
kebutuhan transfusi (kebutuhan transfusi > 200 – 250 ml
PRC/kgBB/tahun). Bila memungkinkan splenektomi sebaiknya ditunda
sampai usia dewasa muda karena adanya peningkatan risiko sepsis yang
fatal pada penderita asplenia. Sebelum splenektomi harus dilakukan
vaksinasi pneumokokus.
Fe chelation
Penderita talasemi yang sudah mendapat transfusi PRC di atas 100 unit
memiliki kemungkinan mengalami penimbunan Fe yang dapat
menimbulkan gangguan organ serta kematian. Gangguan fungsi organ
terjadi bila total Fe tubuh 40 gram, sedangkan gagal jantung intraktabel
terjadi bila Fe tubuh ≥ 60 gram.
22
Desferoksamin dianjurkan mulai diberikan sebelum terjadi penimbunan
Fe, yaitu setelah transfusi 10 – 20 labu atau bila feritin mencapai
1000 ng/ml. Dosis desferoksamin : 20 mg/kgBB subkutan pada dinding
abdomen anterior dengan infusion pump selama 8 – 12 jam, 5 hari
dalam seminggu. Desferoksamin dapat diberikan secara drip IV dengan
dosis 50 mg/kg BB. Dianjurkan untuk mempertahankan kadar feritin
< 1500 ug/l. Ekskresi Fe meningkat 2 kali lipat dengan penambahan
asam askorbat 200 – 500 mg/hari. Penambahan asam askorbat dapat
meningkatkan toksisitas Fe pada jaringan, sehingga pemberiannya
hanya untuk penderita tanpa penimbunan Fe berat.
Pada saat ini masih diteliti pemberian iron chelating secara oral dengan
deferiprone.
Transplantasi sumsum tulang
Reaktivasi gen globin : pada penelitian pemberian 5 Azacytidine dapat
meningkatkan sintesis rantai globin sebanyak 4 – 7 kali dan
meningkatkan retikulosit dan Hb.
Prognosis :
Penderita talasemi yang mendapat transfusi adekuat dan iron chelation
mempunyai prognosis baik. Kelangsungan hidup penderita talasemi mayor
dengan terapi adekuat rata-rata 15 – 25 tahun. Tanpa terapi, kematian karena
anemi berat atau infeksi terjadi sebelum penderita berusia 5 tahun. Kematian
biasanya disebabkan karena gagal jantung kongestif, sirosis atau diabetes
(karena penimbunan Fe). Selama pemantauan 12 tahun, penderita dengan kadar
Fe < 2500 mg mempunyai kelangsungan hidup sebesar 91% tanpa disertai
kelainan jantung, sedangkan pada penderita dengan kadar Fe > 2500 mg,
kelangsungan hidup tersebut < 20%.
23
PAROKSISMAL NOKTURNAL
HEMOGLOBINURIA
Definisi :
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria (PNH) adalah anemi hemolitik
intravaskuler kronis yang didapat akibat adanya defek pada membran eritrosit
sehingga rentan terhadap komplemen.
Etiologi :
Mutasi gen PIG – A (phosphatidyl inositol glycan – class A) berupa missense,
nonsense atau frame – shift di kromosom X (Xp 22.1). PNH merupakan gangguan
clonal stem cell yang berhubungan dengan abnormalitas pembentukan eritrosit,
trombosit dan granulosit.
Patofisiologi :
Gen PIG – A berfungsi dalam sintesis protein GPI – anchored (glycosyl –
phosphotidyl inositol) yang penting dalam mempertahankan kestabilan membran
eritrosit terhadap komplemen. Protein GPI – anchored tersebut adalah DAF
(Decay Accelerating Factor, CD 55) dan MIRL (Membran Inhibitor of Reactive
Lysis, CD 59). Mutasi gen PIG – A menyebabkan defisiensi DAF dan MIRL yang
akan meningkatkan sensitifitas eritrosit terhadap komplemen sehingga terjadi
hemolisis intravaskuler.
24
Terdapat 3 Fenotipe PNH :
Riwayat Penyakit :
Merupakan hemolisis intravaskuler kronik
Didapatkan keluhan anemi, kadang-kadang disertai nyeri abdomen berulang,
muntah, sakit kepala.
Laboratorium :
Apus darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai
gambaran anemia defisiensi besi, dapat juga menyerupai anemia aplastik.
Apus sumsum tulang : hiperplasia eritropoiesis atau hipoplasia sumsum
tulang.
Retikulositosis
Flow sitometri : CD 48 CD 55 CD 59
Sitogenetika : abnormalitas kromosom Xp 22.1
Hemoglobinuria, hemosiderinuria
25
Test Ham : test lisis serum dalam suasana asam akan menunjukkan
kepekaan eritrosit yang abnormal terhadap lisis oleh komplemen. Defek yang
sama didapatkan pada trombosit dan granulosit.
Diagnosis :
Gejala : Anemia, hemoglobinuria
Apus darah tepi : gambaran anemia hemolitik, disertai gambaran anemia
defisiensi besi, dapat juga menyerupai anemia aplastik.
Apus sumsum tulang : hiperplasia eritropoiesis atau hipoplasia sumsum
tulang.
Hemoglobinuria
Test Ham positif
Manifestasi trombosis
Diagnosis Banding :
Anemia hemolitik lain
Anemia defisiensi besi
Anemia aplastik
Black water fever
Paroxysmal cold hemoglobinuria
Terapi :
Cangkok sumsum tulang : merupakan terapi definitif, dilanjutkan
imunosupresan.
Transfusi washed red cell
Asam folat 1 mg / hari
Preparat besi
Steroid : Prednison 20 – 60 mg selang sehari.
Androgen : Fluoxymesterone 5 – 30 mg/hari atau Oxymetholone 10 –
50 mg/hari, diberikan selama 6 – 8 mg dan dihentikan bila tidak ada respon.
Respon didapatkan pada 50% penderita.
Siklosporin dengan/tanpa rG – CSF (recombinant granulocyte colony-
stimulating factor) atau ATG (anti thymocyte globulin). Terapi ini masih
dalam penelitian.
Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat sebagai profilaksis trombosis.
Streptokinase, urokinase : bila ada trombosis.
26
Prognosis :
Penderita PNH rata-rata bertahan hidup 10 – 50 tahun. Enam puluh lima persen
penderita bertahan hidup 10 tahun, 48% bertahan hidup 15 tahun dan 28%
penderita bertahan hidup 25 tahun. Sepertiga penderita yang bertahan hidup 10
tahun mengalami remisi klinis spontan. Kematian biasanya disebabkan komplikasi
trombosis (28%), pansitopenia (15%).
PNH dapat mengalami perubahan menjadi leukemia akut (1%) dan sindroma
mielodisplasia (5%). Kelainan lain yang berhubungan dengan PNH adalah
mielofibrosis, lekemia limfositik kronik, lekemia mielositik kronik, polisitemia vera
dan eritrolekemia.
Prognosis yang buruk berhubungan dengan usia di atas 55 tahun pada waktu
diagnosis ditegakkan, adanya trombosis, perubahan menjadi pansitopenia,
sindroma mielodisplasia atau leukemia akut.
Penderita PNH yang didahului anemia aplastik mempunyai prognosis yang lebih
baik.
27
ANEMIA INFLAMASI
Definisi :
Anemia inflamasi, disebut juga anemia inflamasi kronik atau anemia penyakit
kronik merupakan anemia dengan jumlah cadangan besi ( iron stores) normal dan
jumlah zat besi yang beredar (circulating iron) rendah (< 60 ug/dL).
Etiologi :
Infeksi (akut dan kronik ) : prevalensi 18 – 95%
Virus
Bakteri
Parasit
Fungal
Keganasan : prevalensi 30 – 77%
Hematologis
Tumor solid
Autoimun : 8 – 71%
Artritis rematoid
Lupus eritematosus sistemik dan penyakit jaringan ikat lainnya
Vaskulitis
Sarkoidosis
Inflammatory bowel disease
Rejeksi kronik setelah transplantasi organ : prevalensi 8 – 70%
Gagal ginjal kronik dan inflamasi : prevalensi 23 – 50%
Variasi lain anemia inflamasi adalah anemia yang berkaitan dengan keadaan akut
(acute-event related anemia) atau anemia penyakit kritis (anemia of critical
illness). Keadaan ini ditemukan pada pasca operasi, trauma berat, infark miokard
dan sepsis.
28
Patofisiologi :
Terdapat 3 faktor utama yang berperan dalam hipoproliferasi pada anemia
inflamasi yaitu :
Hipoferemia, yaitu suatu keadaan dimana kadar serum besi rendah sebagai
akibat terperangkapnya zat besi di dalam makrofag, sehingga zat besi relatif
tidak cukup untuk sintesa hemoglobin
Respon prekursor eritroid yang kurang baik terhadap eritropoietin, serta
penurunan produksi eritropoetin relative
Masa hidup eritrosit yang memendek
Faktor-faktor yang berperan dalam anemia inflamasi dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :
29
Patofisiologi Anemia Inflamasi :
A. Invasi mikroorganisme, sel tumor, disregulasi autoimun menyebabkan
aktivasi sel T (CD3+) dan monosit. Sel-sel ini merangsang mekanisme imun
efektor dan produksi sitokin : interferon- (dari sel T), tumor necrosis factor
(TNF-), interleukin-1, interleukin-6 dan interleukin-10 (dari monosit dan
makrofag).
B. Interleukin-6 dan lipopolisakarida merangsang hepatosit menghasilkan
hepsidin, suatu protein fase akut yang menghambat absorpsi zat besi di
usus.
C. Interferon-, lipopolisakarida merangsang ekspresi divalent metal transporter
1 (DMT1) pada makrofag sehingga merangsang asupan zat besi yang terikat
transferin ke dalam monosit melalui reseptor transferin. Makrofag melakukan
fagositosis dan menghancurkan eritrosit untuk daur ulang zat besi, suatu
proses yang dipengaruhi TNF-. Interferon- dan lipopolisakarida
menghambat feroportin-1, suatu transporter zat besi pada makrofag,
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag, suatu proses yang juga
dipengaruhi hepsidin. Pada saat yang sama, TNF-, interleukin-1,
interleukin-6 dan interleukin-10 merangsang ekspresi feritin, serta
merangsang penyimpanan dan retensi zat besi dalam makrofag. Mekanisme
ini menyebabkan penurunan konsentrasi zat besi dalam sirkulasi dan
selanjutnya mengakibatkan berkurangnya zat besi untuk eritropoiesis.
D. TNF- dan interferon- menghambat produksi eritropoietin di ginjal.
E. TNF-, interferon- dan interlukin-1 secara langsung menghambat
diferensiasi dan proliferasi sel-sel progenitor eritroid. Keterbatasan zat besi
dan penurunan fungsi eritropoietin menghambat eritropoiesis dan
mengakibatkan anemia.
Riwayat Penyakit :
Tergantung kelainan dasar : adanya keluhan infeksi, inflamasi , hipermetabolisme
pada keganasan : lemah badan, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
mialgia, atralgia. Keluhan anemia berlangsung perlahan dalam beberapa minggu
atau bulan.
Laboratorium :
Anemia, biasanya jarang < 9 gr%, kecuali bila ada penyebab lain yang
memperberat, pada umumnya kadar hemoglobin antara 10 – 11 gr%. Kadar
hemoglobin < 8 gr% ditemukan pada sekitar 20% kasus.
30
Apus darah tepi :
Eritrosit : biasanya normokrom normositer, kadang-kadang hipokrom dan
mikrositer, anisositosis dan poikilositosis ringan
Lekosit : dapat normal, atau lekositosis
Trombosit : dapat normal, trombositosis atau trombositopeni
MCV biasanya normal atau sedikit mikrositer (MCV 70 – 80 fl)
MCH biasanya normal atau sedikit hipokrom (MCH 22 – 26 pg)
Fe serum menurun
TIBC (transferin iron binding capacity) menurun
Serum feritin normal atau meningkat
Fe di sumsum tulang (hemosiderin) normal atau meningkat
Sideroblas menurun karena berkurangnya asupan Fe ke dalam normoblas
Peningkatan free erythrocyte protoporphyrin
Soluble transferin receptor (sTfR) : membantu membedakan anemia
inflamasi dan anemia defisiensi besi. Pada anemia inflamasi, sTfR normal,
sedangkan pada anemia defisiensi besi, densitas membran sel reseptor
transferin meningkat sehingga kadar sTfR juga meningkat.
Diagnosis :
Adanya penyakit dasar, anemia normokrom normositer atau hipokrom mikrositer
ringan, hipoferemia dengan cadangan Fe (feritin ) normal.
Diagnosis Banding :
Anemia defisiensi besi
Algoritma diagnostik anemia inflamasi, anemia defisiensi besi data dilihat
pada skema di bawah ini :
Feritin < 30 ng/ml Feritin 30 - 100 ng/ml Feritin > 100 ng/ml
Anemia
defisiensi besi
31
Terapi :
Atasi kelainan dasar
Preparat Fe hanya diberikan bila didapatkan adanya defisiensi Fe
Rekombinan eritropoietin (EPO eksogen/epoetin alfa)
EPO merupakan hormon glikoprotein yang berperan sebagai regulator
humoral produksi eritrosit; sebagian besar diproduksi di ginjal dan dalam
jumlah minimal di hati. EPO bekerja pada reseptor spesifik di BFU-E late
(Burst forming unit- erytrocyte), CFU-E (colony forming unit-erytrocyte), pro-
eritroblas. EPO memicu proses fosforilasi tirosin yang akhirnya mengaktifkan
tirosin kinase untuk proses pematangan sel progenitor eritroid. Perlu diingat
pentingnya ketersediaan suplemen hematinik dalam proses pematangan
eritrosit pada terapi dengan EPO eksogen.
Indikasi : Anemia pada keganasan non-mieloid
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada infeksi HIV
Dosis :
Anemia pada keganasan non-mieloid :
4 minggu pertama : 3 kali 10000 IU/minggu, di akhir minggu ke
4 dilakukan evaluasi respon terapi. Jika kenaikan Hb 1 – 2 g/dl, teruskan
terapi sampai tercapai target Hb 12 gr%. Setelah itu dosis diturunkan
frekuensinya menjadi 1-2 kali 10000 IU/minggu.
Jika kenaikan Hb setelah 4 minggu < 1 gr%, periksa kadar feritin dan
saturasi transferin (Fe/TIBC) dan berikan preparat Fe jika hasil
pemeriksaan tersebut menunjukkan Fe rendah dan retikulosit
meningkat. Pertimbangkan kondisi lain yang menyertai seperti adanya
perdarahan, jika perlu naikkan dosis menjadi 3 kali 20000 IU/minggu.
Evaluasi dilakukan 4 minggu kemudian, jika respon baik (Hb naik
1 – 2 gr%) lanjutkan sampai target Hb tercapai ; jika respon kenaikan
Hb < 1 gr% dan retikulosit < 40000/ul, hentikan terapi karena
diperkirakan tidak ada ada respon.
Anemia pada gagal ginjal yang mengalami dialysis :
EPO diberikan bila Hb < 10 gr% dan penyebab anemia lainnya
disingkirkan. Syarat pemberian EPO adalah bila status besi cukup (feritin
serum > 100 ug/L dan saturasi transferin > 20 %). Untuk mencapai
terget Hb > 10 gr% atau Ht > 30% pada pasien hemodialisis diberikan
EPO fase koreksi 2000 – 4000 IU subkutan 2 – 3 kali seminggu selama
4 minggu. Dalam waktu 2-4 minggu diharapkan Hb naik 1 – 2 gr% atau
Ht naik 2 – 4%. Dosis EPO dapat dinaikkan atau diturunkan sesuai
repon kenaikan Hb dan Ht. Untuk menjaga kecukupan persediaan besi
selama terapi EPO, status besi harus dipantau secara berkala diberikan
terapi pemeliharaan besi.
Efek samping : flu-like syndrome, diare, hipertensi.
32
Darbepoietin
Merupakan formulasi baru eritropoietin dengan waktu paruh lebih panjang
dari eritropoietin. Darbepoetin disetujui FDA sebagai terapi anemia akibat
kemoterapi pada keganasan non mieloid. Dosis awal pada kedaan ini adalah
2,25 ug/kg subkutan 1 x setiap minggu. Untuk anemia pada gagal ginjal
kronis, dosis yang direkomendasikan adalah 0,45 ug/kg subkutan atau
intravena 1 x setiap minggu.
Prognosis :
Prognosis pada umumnya baik, tergantung kelainan dasar penyakit kronis.
33
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Definisi :
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan abnormalitas
hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel
mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
Etiologi :
1. Defisiensi asam folat :
a. Asupan kurang :
Gangguan nutrisi : alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
Malabsorbsi : alkoholisme, celiac dan tropical sprue, gastrektomi
parsial, reseksi usus halus, penyakit Crohn’s, skleroderma, obat
antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,
kolestiramine, limfoma intestinal, hipotiroidisme.
b. Peningkatan kebutuhan : kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoiesis yang tidak efektif
(anemia pernisiosa, anemia sideroblastik, lekemia, anemia hemolitik,
mielofibrosis).
c. Gangguan metabolisme folat : alkoholisme, antagonis folat (metotreksat,
pirimetamin, trimetoprim), defisiensi enzim.
d. Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkoholik,
hepatoma.
34
Anak-anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsik
lambung, gangguan fungsi faktor intrinsik lambung, Imerslund –
Grasbeck syndrome (gangguan reseptor cobalamin di ileum)
c. Gangguan metabolisme seluler : defisiensi enzim, abnormalitas protein
pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan nitrit oksida
yang berlangsung lama.
Patofisiologi :
Absorpsi B12 (kobalamin) di ileum memerlukan faktor intrinsik yaitu glikoprotein
yang disekresi lambung, faktor intrinsik akan mengikat 2 molekul kobalamin.
Pada orang dewasa, intrinsik faktor dapat berkurang karena adanya atropi
lambung (gastritis atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor
intrinsik lambung) yang mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin
menyebabkan defisiensi metionin intraseluler, kemudian menghambat
pembentukan folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang berkurang akan
menurunkan prekursor timidilat yang selanjutnya mengganggu sintesis DNA.
Model ini disebut Methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin
mengakibatkan penumpukan 5 metil tetrahidrofolat.
Methylene
Dihydrofolate PGA
THFA
Dihydrofolate reductase
THFA
Methionine
Vitamin B12
Homocysteine
Methyl THFA
35
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan proprionat
menjadi suksinil co A yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada
susunan saraf pusat. Proses demielinisasi ini menyebabkan kelainan medula
spinalis dan gangguan neurologis.
Sebelum diabsorbsi, asam folat (pteroylglutamic acid) harus diubah menjadi
bentuk monoglutamat. Bentuk folat tereduksi yaitu tetrahidrofolat (FH4)
merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat menyebabkan penurunan FH 4 intrasel
yang akan mengganggu sintesis timidilat dan selanjutnya mengganggu sintesis
DNA.
Riwayat Penyakit :
Biasanya penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan
epigastrik, diare dan bukan oleh keluhan aneminya. Penyakit biasanya berjalan,
secara perlahan-lahan. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih, lemah badan,
penurunan berat badan. Pada defisiensi B 12, diagnosis ditegakkan rata-rata
setelah 15 bulan dari onset gejala, biasanya didapatkan triad : lemah badan, sore
tongue, parestesi sampai gangguan berjalan.
36
Pada defisiensi B12 dapat ditemukan gangguan mental, depresi, gangguan
memori, gangguan kesadaran, delusi, halusinasi, paranoid, skizopren. Gejala
neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,
hipotensi ortostatik (neuropati otonom) dan neuritis retrobulbar.
b. Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama :
1. Anemia megaloblastik
2. Glositis
Pada anemia megaloblastik kadang-kadang ditemukan subikterus, petekhie
dan perdarahan retina, hepatomegali, dan splenomegali.
Laboratorium :
Anemia makrositer dengan peningkatan MCV
Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami
hipersegmentasi dengan granula kasar (Giant Stab – cell)
Trombositopenia ringan (rata-rata 100 – 150 x 103 /mm3)
Sumsum tulang dengan gambaran megaloblastik
Pada defisiensi B12 :
Serum cobalamin rendah (< 100 pg/mL)
Serum folat normal / tinggi
Antibodi faktor intrinsik
Schilling test : radiolabeled B12 absorption test akan menunjukkan
absorbsi cobalamin yang rendah yang menjadi normal dengan
pemberian faktor intrinsik lambung.
Cairan lambung : sekresi berkurang, rata-rata 15 ml/jam (kira-kira 10%
normal), aklorhidria, pH > 6.
Masa hidup eritrosit berkurang, rata-rata 20 – 75 hari
LDH meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit akibat
eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
MCV : pada anemia ringan berkisar antara 100 – 110 fl, pada anemia
berat berkisar antara 110 – 130 fl.
Pada defisiensi asam folat :
Penurunan kadar folat serum (3 – 5 ng/mL)
Biopsi jejenum
Diagnosis :
Gejala : anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati
Apus darah tepi : eritrosit yang besar dengan bentuk lonjong, trombosit dan
lekosit agak menurun, didapatkan hipersegmentasi neutrofil, Giant stab –
cell, retikulosit menurun
Sumsum tulang, hiperseluler dengan sel – sel eritroblast yang besar
(megaloblast), Giant stab – cell
Pada anemia pernisiosa : Schilling test (+)
37
Diagnosis Banding :
Lekemia akut
Anemia hemolitik (pada krisis hemolitik)
Anemia aplastik
Eritremik mielosis / eritroleukemia
Penyakit hati yang berat
Hipotiroidisme
Nefritis kronis
Terapi :
1. Suportif : transfusi bila ada hipoksia
Suspensi trombosit bila trombositopenia mengancam jiwa.
2. Defisiensi B12 :
Terdapat 2 bentuk vitamin B12 :
a. Sianokobalamin
Dosis : 100 µg IM / hari selama 6 – 7 hari, bila ada perbaikan klinis dan
ada respon retikulosit dalam 1 minggu, dosis diturunkan 100 µg IM
selang sehari sebanyak 7 dosis, kemudian tiap 3 – 4 hari selama 2 – 3
minggu (dosis total 1,8 – 2 mg B12 dalam 5 – 6 minggu). Pada saat ini
kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah kelainan
hematologis normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianokobalamin
100 µg IM / bulan seumur hidup.
b. Hidroksokobalamin :
Diretensi dalam tubuh lebih baik dari pada sianokobalamin, 28 hari
setelah injeksi, hidroksokobalamin diretensi 3 kali lebih banyak dari pada
sianokobalamin.
Preparat : 100 µg/mL, atau 1000 µg/mL
Dosis : 1000 µg IM setiap 5 minggu
atau
1000 µg setiap hari IM selama 1 – 2 minggu lalu tiap 3 bulan.
38
3. Defisiensi Asam Folat :
Untuk mengisi cadangan folat dalam tubuh, diperlukan dosis 1 mg/hari
selama 2 – 3 minggu, kemudian dosis pemeliharaan 0,25 – 0,5 mg/hari.
Apabila diperlukan pemakaian difenilhidantoin dalam waktu lama, diperlukan
asam folat 0,5 – 1 mg/hari.
Kontra indikasi pemberian asam folat adalah adanya defisiensi B 12 yang tidak
diterapi, karena akan memperburuk gejala neurologis.
4. Terapi penyakit dasar.
5. Menghentikan obat-obat penyebab anemia megaloblastik.
Prognosis :
Baik, kecuali bila ada komplikasi kardiovaskuler atau infeksi yang berat.
Sebelum adanya terapi efektif, anemia pernisiosa biasanya fatal dengan
mortalitas 53% dalam bulan pertama. Pada beberapa kasus, penyakit dapat
mengalami remisi dan relaps dengan jangka waktu dan berat penyakit bervariasi
selama 1 – 3 tahun. Setelah terapi, relaps terjadi bervariasi antara 21 – 213
bulan. Remisi didapatkan pada 86% penderita, beberapa penderita bertahan
hidup selama 14 – 20 tahun.
Komplikasi jangka panjang anemia pernisiosa adalah karsinoma lambung.
Peningkatan risiko terjadinya karsinoma kolorektal juga didapatkan pada
penderita anemia pernisiosa.
Progresi kelainan neurologis dapat dihambat dengan terapi vitamin B 12. semakin
singkat gejala neurologis berlangsung, semakin besar kemungkinan untuk
mengalami perbaikan. Gejala neurologis yang berlangsung kurang dari 3 bulan
biasanya reversibel. Perbaikan gejala neurologis berlangsung lambat, diperlukan
waktu 6 bulan atau lebih untuk mendapatkan respon maksimal. Manifestasi
gejala neurologis yang menetap setelah 1 tahun terapi optimal dianggap kelainan
yang irreversibel. Pada subacute combined degeneration, abnormalitas neurologis
membaik atau kembali normal pada 80 – 90% penderita.
39
LEKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
Definisi :
Lekemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan sel induk hematopoiesis seri
limfoid.
Klasifikasi :
1. Berdasarkan asal sel limfoid
LLA early pre-B-cell
LLA pre-B-cell
LLA sel B
LLA sel T
2. Berdasarkan morfologi (klasifikasi French-American-British / FAB) :
Gambaran L1 L2 L3
morfologi
Ukuran sel Kecil Besar, heterogen Besar, homogen
Kromatin inti Cukup homogen Heterogen Halus, homogen
Bentuk inti Reguler, kadang-kadang Ireguler, biasanya Reguler,
berlekuk atau indentasi berlekuk atau indentasi Oval – bulat
40
Etiologi :
Sesuai Lekemia mieloblastik akut (LMA).
Patofisiologi :
Adanya mutasi genetik sel progenitor limfoid (limfosit B atau T) menyebabkan
terganggunya proses diferensiasi dan proliferasi sel. Mutasi genetik dapat berupa
perubahan jumlah kromosom (ploidi) atau struktur kromosom (inversi, delesi,
mutasi, amplifikasi). Mutasi genetik menginduksi terjadinya lekemia melalui :
Aktivasi proto onkogen
Pembentukan gen baru yang bersifat onkogenik
Inaktivasi gen supresor tumor
Sel lekemia membelah lebih lambat dan membutuhkan waktu lebih lama untuk
mensintesis DNA sel hematopoiesis normal, tetapi cenderung tumbuh terus-
menerus. Sel lekemia berkompetitif dengan sel hematopoiesis normal sehingga
menimbulkan anemia, netropenia dan trombositopenia. Sel lekemia juga
menggantikan sel hemotopoiesis normal di sumsum tulang dan menyebar ke
jaringan ekstrameduler.
Riwayat Penyakit :
Keluhan anemia (lemah badan progresif), keluhan infeksi (demam), keluhan
perdarahan, keluhan nyeri-nyeri tulang.
41
Laboratorium :
Apus darah tepi : normokrom normositer, lekositosis, didominasi oleh
limfoblas, trombositopeni.
Apus sumsum tulang : hiperseluler dengan infiltrasi masif limfoblas.
Pemeriksaan immunophenotyping, sitokimia, sitogenetik.
Early
Pre – B cell B cell T cell
Pre – B cell
Gambaran imunologis
- Sitoplasmik
- Membran Ig
- CD10 (CALLA)
- Ia / HLA – DR
- CD19, CD24, CD20 CD22
- CD7, CD3, CD2 CD5
Sitokimia
- Nuclear TdT
- 5’ – Nucleotidase
- Acid phosphatase
Sitogenetik t (4;11) t (1 ; 19) t(9:22) t (8 ; 14) t (11 ; 14)
t(9:22) (Ph pos) (Ph pos) 6q- t (2 ; 8) del (9p)
t (8 ; 22) 6q-
6q-
Morfologi FAB
- L1 90% 90% 10% 95%
- L2 10% 10% 15% 5%
- L3 0 0 75% 0
Keterangan : TdT : deoksinukleotidil transferase
CALLA : Common Acute Lymphocytic Leukemia Antigen
Ph pos : Philadelphia chromosome positif
LLA LMA
M0, M1, M2 M3 M4 M5 M6 M7
Mieloperoksidase/Sudan Black B – + + + –
Kloroasetat esterase – + + + – –
Esterase non spesifik – – – + +
PAS + – – – – + –
Platelet peroxidase – – – – – – +
42
Diagnosis :
Anemi, trombositopeni, lekositosis, limfoblas di darah tepi dan sumsum
tulang
Limfodenopati, hepatosplenomegali
Pemeriksaan immunophenotyping, sitokimia, sitogenetik.
Diagnosis Banding :
Trombositopenia purpura imun
Anemia aplastik
Limfoma maligna non Hodgkin dengan infiltrasi ke sumsum tulang
Tumor padat dengan infiltrasi ke sumsum tulang
Infeksi :
Mononukleosis infeksiosa : limfosit atipik, bukan limfoblas, tidak ada
anemia atau trombositiopenia.
Toksoplasmosis
Sitomegalovirus
Histiositosis
Terapi :
Terdapat bermacam-macam terapi LLA yang disesuaikan dengan jenis LLA dan
faktor prognostik (risiko standar atau risiko tinggi). Pada LLA, sindroma lisis lebih
sering terjadi dari pada LMA, terutama pada LLA sel B. Hidrasi harus
dipertahankan agar urine minimal 100 ml/jam. Pemberian bikarbonat 50 mEq/L
cairan akan membuat alkalinisasi urine yang akan mempermudah larutnya asam
urat, disamping pemberian alopurinol 300 – 600 mg/hari. Dosis alopurinol harus
diturunkan bila diberikan bersama dengan 6 MP.
43
dan netrofil > 1000/mm3 untuk konfirmasi respon komplit. Selama
pemberian asparaginase harus diperiksa kadar fibrinogen. Bila fibrinogen
< 100 mg/dL berikan fresh frozen plasma.
Dosis pemeliharaan :
6 MP 70 – 90 mg/m2 PO tiap hari.
Metotreksat 15 mg/m2 PO tiap minggu.
Pemeliharaan diteruskan sampai 3 tahun, lalu periksa apus sumsum
tulang, cairan spinal, biopsi testis. Bila terdapat remisi, obat-obatan
distop. Dosis pemeliharaan disesuaikan dengan target lekosit 3000 –
3500/mm3, jika lekosit meninggi, dosis metotreksat dinaikkan.
44
Penderita dengan risiko :
Tinggi : 16 IT
Rendah : 4 IT
Tidak diketahui : 8 IT
4. Profilaksis antibiotik
Siprofloksasin atau 500 mg/hari PO
Levofloksasin 500 mg/hari PO
Flukonazol 200 mg/hari PO
Asiklovir atau 2 x 200 mg/hari PO
Valasiklovir 500 mg/hari PO
B. Terapi Pemeliharaan
Kromosom Philadelphia (+) transplantasi sumsum tulang alogenik
atau
IFN + ara – C selama 2 tahun
LLA sel B matur tanpa terapi pemeliharaan
Sub tipe lain terapi POMP selama 2 tahun
Modifikasi dosis :
Vinkristin 1 mg bila bilirubin > 2 mg%
Doksorubisin : dosis diturunkan : 25% bila bilirubin 2 – 3 mg%
50% bila bilirubin 3 – 4 mg%
75% bila bilirubin > 4 mg%
Metotreksat : dosis diturunkan : 25% bila kreatinin 1,5 – 2 mg%
50% bila kreatinin > 2 mg%
HIDAC 1 gram/m2 :
Bila :
Usia 60 tahun
Kreatinin > 2 mg%
Kadar metotreksat 20 mol/L
45
4. Protokol LALA 87 (Leucémie Aiguë Lymphoblastique de I’ Adulte)
Pemeliharaan :
Terapi A (siklus 1, 3, 5 dan 7)
Prednison 60 mg/m2 PO 1–8
Vinkristin 1,5 mg/m2 IV 1, 8
Daunorubisin atau 60 mg/m2 IV 15
Zorubisin 120 mg/m2 IV 15
6 MP 60 mg/m2 PO 28 – 54
Metotreksat 15 mg/m2 PO 35, 42, 49, 56
Doktinomisin 1000 / m2 IV 64
Terapi B (siklus 2, 4, 6, 8)
Prednison 60 mg/m2 PO 1–8
Vinkristin 1,5 mg/m2 IV 1, 8
Siklofosfamid 800 mg/m2 IV 15
Karmustin 80 mg/m2 IV 15
6 MP 60 mg/m2 PO 28 – 54
Metotreksat 15 mg/m2 PO 35, 42, 49, 56
Daktinomisin 1000 / m2 IV 64
46
5. Protokol CALGB (Cancer and Leukemia Group B – study)
47
6. Kemoterapi untuk B – ALL
B – ALL merupakan 70% LLA dewasa. Preterapi diberikan bila masa tumor
besar / lekosit > 100.000/mm3 diikuti 6 siklus blok A dan B (A, B, A, B, A, B)
masing-masing dengan interval 16 hari.
48
transcriptase polymerase chain reaction (PCR) kuantitatif untuk BCR-ABL
dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang mungkin mempunyai respon yang
baik terhadap imatinib.
Imatinib dengan prednison memberikan response rate 100%, median durasi
remisi 8 bulan, dan perkiraan 12 month disease-free survival 48%.
Imatinib dengan kemoterapi memberikan hasil yang lebih baik yaitu remisi
komplit 96% dan negative real time quantitative PCR rate untuk BCR/ABL
29%
Dasatinib (ABL kinase inhibitor) digunakan pada pasien-pasien LLA yang
resisten terhadap imatinib. Dasatinib mengikat konformasi domain ABL
kinase yang aktif dan inaktif. Juga menghambat spektrum kinase yang
berbeda yang tumpang tindih dengan array kinase yang dihambat imatinib.
Rituximab :
Pada studi the German Multicenter Group for Adult ALL (GMALL) untuk pasien-
pasien usia lebih dari 55 tahun dengan CD20+, Rituximab diberikan sebelum
siklus kemoterapi hyperCVAD. Respon komplit didapatkan 63% dengan survival
setelah 1 tahun 54%
49
Prognosis :
Faktor-faktor prognostik pada LLA menentukan Leukemic Free Survival (LFS), LFS
bervariasi di antara subgrup LLA, LFS > 50% pada T ALL dan mature B – ALL
dan < 10% untuk Ph / BCR – ABL positif ALL.
DFS (Disease – free survival) 3,5 tahun setelah diagnosis berkisar antara 20 –
35%. Penderita yang mengalami remisi mempunyai DFS lebih dari 50%.
Remisi jangka panjang pada kelompok dengan risiko standar mencapai 70%,
sedangkan pada kelompok risiko tinggi hanya 30% mencapai remisi jangka
panjang.
50
Sub grup Ph / BCR – ABL positif ALL mempunyai prognosis yang paling buruk.
Remisi komplit pada sub grup ini rata-rata 66%, dengan lama remisi sekitar
9 bulan dan angka kelangsungan hidup 0 – 16%.
Relaps dapat terjadi di sumsum tulang, susunan saraf pusat, testis hati, ginjal,
tulang, mata, ovarium. Remisi kedua setelah relaps bervariasi tergantung tempat
terjadinya relaps :
51
LEKEMIA GRANULOSITIK KRONIK
Definisi :
Lekemia granulositik kronik (LGK) adalah penyakit mieloproliferatif dengan
karakteristik adanya peningkatan proliferasi sel induk hematopoietik seri mieloid
pada berbagai stadium diferensiasi.
Etiologi :
Tidak diketahui, paparan radiasi berhubungan dengan meningkatnya insidensi
LGK, tetapi hanya didapatkan pada sebagian kecil kasus.
Patofisiologi :
Adanya translokasi proto onkogen ABL pada kromosom 9 dengan gen BCR pada
kromosom 22 mengakibatkan pembentukan protein BCR – ABL dengan berat
molekul 210.000 Da (p210). P210 mempunyai aktivitas tirosin kinase yang
diekspresikan pada sel-sel LGK. P210 bekerja melepaskan kontrol proliferasi sel
dan menghambat apoptosis (programmed cell death) sehingga terjadi proliferasi
sel abnormal.
Riwayat Penyakit :
Penyakit berjalan lambat, biasanya penderita terdiagnosis dalam fase kronik.
Keluhan akibat peningkatan hematopoiesis : demam, banyak keringat, nyeri
tulang, lemah badan, penurunan berat badan.
Keluhan akibat hematopoiesis ekstrameduler : pembesaran limpa (makan
cepat kenyang, perut terasa membesar).
Perdarahan pada stadium lanjut.
64
Tanda dan Gejala Klinik :
Febris
Splenomegali (dapat mengisi seluruh rongga abdomen)
Sternal tenderness, infiltrasi di kulit, kompresi medula spinalis, priapism
Pada fase lanjut : anemis, perdarahan : purpura, perdarahan retina.
Laboratorium :
Apus darah tepi : eritrosit normokrom normositer, terdapat normoblas,
lekosit terdiri dari semua stadia pertumbuhan granulosit, terbanyak
metamielosit, sehingga timbul istilah “pasar malam”. Eosinofil, basofil dan
monosit relatif meningkat. Trombosit pada umumnya meningkat, walaupun
dapat normal atau menurun, tergantung stadium penyakit.
Apus sumsum tulang : hiperseluler karena proliferasi prekursor granulosit
mulai mieloblas sampai segmen, mieloblas < 5%, peningkatan basofil dan
eosinofil megakariosit meningkat, kadang-kadang didapatkan
mikromegakariosit. Prekursor eritroid dapat meningkat, normal atau
menurun, ME rasio biasanya meningkat.
Alkali fosfatase lekosit menurun
Asam urat meninggi
Kariotipe : t(9 ; 22) (q 34 ; q 11) : kromosom Philadelphia atau BCR / ABL
positif
Pada 5 – 10% kasus didapatkan variasi translokasi :
Simpel : segmen dari 22q mengalami translokasi ke kromosom lain
(selain kromosom 9)
Kompleks : adanya translokasi yang melibatkan 3 atau lebih
kromosom
Pada fase akselerasi / krisis blas terjadi perubahan sitogenetik pada 70 –
80% kasus berupa trisomi, isokromosom 17, t19, bertambahnya
kromosom Ph.
Perjalanan Penyakit :
65
Definisi Fase Akselerasi dan Fase Krisis Blas :
Pada tahun 2001 WHO membuat definisi fase akselerasi dan fase blas pada
lekemi mielositik kronik sebagai berikut :
Fase akselerasi : bila didapatkan 1 atau lebih :
Blas 10 – 19 % dari lekosit pada darah perifer dan/atau sumsum tulang
Basofil ≥ 20 % pada darah perifer
Trombositopenia menetap (< 100.000/mm3) yang tidak berhubungan
dengan pengobatan atau trombositosis menetap (> 1.000.000/mm3)
yang tidak respon terhadap pengobatan
Peningkatan ukuran lien dan jumlah lekosit yang tidak berespon
terhadap terapi
Adanya evolusi klonal yang terbukti dengan pemeriksaan sitogenetik
Diagnosis :
Lekositosis, ‘pasar malam’, splenomegali
Kromosom Philadelphia
Diferensial Diagnosis :
Mielofibrosis
Polisitemia vera
Trombositosis primer
66
Penyulit :
Infeksi bakteri / virus : mieloblas bertambah, monosit bertambah, lekopeni
Perdarahan : akibat trombositopeni atau trombositosis
Infark limpa
Gout
Terapi :
1. Umum
Profilaksis peninggian asal urat : alopurinol 300 mg/hari
Profilaksis tromboemboli bila trombosit > 750.000/mm 3
2. Fase kronis
a. Sitostatika :
Hidroksiurea : suatu inhibitor ribonukleosida reduktase.
Dosis : 500 – 3000 mg/hari untuk mempertahankan lekosit 20.000 –
30.000 /mm3.
Lekosit 20.000 – 150.000 /mm3 : 50 mg/kg BB/hari PO dalam 2 dosis
sampai lekosit 20.000 /mm3.
Lekosit > 150.000 /mm3 : perlu lekoferesis dulu, kemudian
20 mg/kgBB/hari (15 – 25 mg/kg BB)
sampai lekosit 5000 – 15000 /mm3.
Selanjutnya dosis pemeliharaan sehingga lekosit tidak kurang dari
5000 /mm3 dan trombosit tidak kurang dari 75.000 /mm3.
Busulfan : 6 – 10mg/hari PO, diturunkan menjadi 2 – 4 mg/hari bila
lekosit mencapai 20.000 /mm3.
Bila lekosit < 20.000 /mm3 : obat di stop.
b. Interferon
Merupakan terapi inisial bila tidak didapatkan peningkatan lekosit yang
berlebihan atau terapi pilihan kedua pada keadaan lekositosis yang tidak
terkontrol dengan hidrea.
Remisi komplit hematologik didapatkan pada > 70% kasus.
(Remisi komplit hematologik : lekosit < 10.000/mm3, trombosit
< 450.000/mm3, tidak ada blas di apus darah tepi, hilangnya
tanda dan gejala klinik)
Remisi sitogenetik didapatkan pada < 5% kasus.
Dosis : 5 juta unit/m2/hari SC selama 6 – 12 bulan. Untuk mengurangi
efek samping, dosis dapat dimulai 1 – 3 juta unit SC, 3 – 7 hari
per minggu, dinaikkan bertahap sampai 5 – 10 juta unit/hari.
c. Radioterapi : bila splenomegali sangat besar dan tidak mengecil dengan
kemoterapi.
d. Cangkok sumsum tulang alogenik
67
e. Splenektomi :
Splenektomi pada fase kronik mungkin berguna bila didapatkan
hipersplenisme, tetapi tidak memperlambat timbulnya krisis blas atau
memperbaiki kelangsungan hidup. Komplikasi post splenektomi yang
sering didapatkan adalah infeksi dan tromboemboli.
Indikasi : LGK fase kronik yang belum pernah mendapat terapi, LGK yang
gagal dengan terapi interferon, LGK dalam fase akselerasi /
krisis blas.
Dosis : Fase kronik : 1 x 400 mg/hari PO (dapat dinaikkan sampai 600 mg)
Fase krisis blas / akselerasi : 1 x 600 mg/hari PO (dapat dinaikkan
sampai 800 mg dibagi dalam 2 dosis)
68
Penyesuaian Dosis Imatinib Mesylate pada Netropenia dan Trombositopenia :
5. Dasatinib 140mg/hari atau Nilotinib 400mg dua kali perhari: diberikan bila
terdapat intoleransi atau kegagalan dengan Imatinib.
69
Prognosis :
Prognosis LGK lebih baik dari pada lekemi lainnya. Faktor risiko yang
memperburuk prognosis adalah :
1. Usia 50 tahun atau lebih
2. Bertambahnya splenomegali
3. Peningkatan persentasi blas di darah tepi
4. Peningkatan persentasi eosinofil
5. Peningkatan persentasi basofil ( 3%)
6. Peningkatan trombosit ( 1.500.000 /mm3)
Kelangsungan hidup pada LGK dengan kromosom Philadelphia (-) berkisar antara
9 – 15 bulan. Setelah krisis blas, kelangsungan hidup berkisar 2 – 4 bulan.
Remisi setelah krisis limfoblastik berkisar 3 – 8 bulan, sedangkan remisi setelah
krisis mieloblastik berkisar 2 – 6 bulan.
Pemberian terapi imatinib mesylate memperbaiki respon hematologis dan
sitogenetik pada LGK fase kronis yang gagal dengan terapi interferon, juga pada
fase akselerasi dan krisis blas mieloid.
Keterangan :
Respon hematologis komplit :
Fase kronik :
Lekosit < 10.000 /mm3, Trombosit < 450.000 /mm3
70
Darah tepi : mielosit + metamielosit < 5%, tidak ada blas dan
promielosit
Tidak ada extramedullary involvement
Fase akselerasi / krisis blas :
Netrofil absolut 1500 /mm3, trombosit 100.000 /mm3
Darah tepi : tidak ada blas
Sumsum tulang : blas < 5%
Tidak ada extra medullary involvement
Tak ada lekemia : sama dengan respon hematologis komplit, tetapi netrofil
absolut 20.000 /mm3.
Kembali ke fase kronik :
Apus tepi dan sumsum tulang : blas < 15%, promielosit + blas < 30%,
basofil < 20% (di apus tepi)
Tidak ada extra medullary involvement kecuali hati dan limpa.
Respon sitogenetik :
Respon mayor : respon komplit + parsial
Respon komplit : 0% kromosom Philadelphia + metafase
Respon parsial : 1 – 35% kromosom Philadelphia
71
LEKEMIA LIMFOSITIK KRONIK
Definisi :
Lekemia limfositik kronik (LLK) adalah keganasan limfoid (chronic
lymphoproliferative disorders) yang ditandai dengan akumulasi limfosit matur di
darah, sumsum tulang, kelenjar getah bening dan limpa.
LLK sel-B identik dengan suatu bentuk limfoma maligna indolen yaitu limfoma
limfositik sel-B.
Merupakan 31% dari jenis lekemia yang dijumpai di negara barat, perbandingan
laki-laki : wanita = 7 : 1.
Etiologi :
Diduga :
Faktor genetik
Faktor imunologik
Patofisiologi :
Pada LLK didapatkan abnormalitas kromosom, yang terbanyak adalah trisomi 12,
del (13q14), del (11q) dan del (17p). Adanya gangguan kromosom menyebabkan
proliferasi sel-sel induk lekemik dan meningkatkan kepekaan terhadap
leukemogen.
Sitokin juga diduga berperan dalam patogenesis dan progresi LLK. Sel LLK
memproduksi :
TNF (Tumor Necrosis Factor ) dan TGF (Transforming Growth Factor )
yang akan menginduksi proliferasi sel lekemik dan menginhibisi proliferasi sel
limfoid normal dan sumsum tulang.
Interlekin 2, 4, 5, 6, 7, interferon dan yang akan menginduksi proliferasi
sel lekemik dan menghambat apoptosis.
72
ZAP-70 suatu protein intraseluler yang mengaktivasi signal yang diteruskan ke
limfosit T dan sel NK oleh reseptor permukaannya untuk antigen,ditemukan
hanya pada sel B dari LLK. Protein ini mempercepat transmisi signal melalui jalur
yang diawali oleh ikatan antigen dengan reseptor sel-B.
Kelainan lain yang berperan adalah CD38 dan mutasi gen V. Bila tidak terdapat
mutasi gen-V, sedangkan ZAP-70 dan CD38 banyak maka penyakitnya akan
berjalan agresif.
Riwayat Penyakit :
25% penderita asimptomatik, ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
darah rutin atau pada orang dengan pembesaran kelenjar getah bening atau
hepatosplenomegali.
5 - 10% dengan keluhan seperti limfoma seperti berat badan menurun
≥ 10% dalam 6 bulan terakhir, demam > 38 0 C tanpa tanda infeksi, keringat
malam dan kelelahan.
Pembesaran kelenjar daerah leher yang tidak nyeri.
Laboratorium :
Apus darah tepi : eritrosit normokrom normositer atau adanya hemolisis.
Lekosit didominasi limfosit kecil, banyak terdapat limfosit
yang ruptur (basket / smudge cell), trombosit normal
atau trombositopenia.
Sumsum tulang : > 30% sel berinti merupakan seri limfoid. Infiltrasi sel
lekemik dapat nodular, interstitial, campuran (nodular dan interstitial) atau
difus.
LLK sel-B dan Limfositik Limfoma sel kecil dianggap sebagai satu penyakit
dengan stadium berbeda.
73
Hemoglobin dapat normal atau anemia karena infiltrasi sumsum tulang,
hipersplenisme atau hemolisis autoimun.
Coomb’s test direk (+) pada 35% penderita, AIHA (Autoimmune Hemolyltic
Anemia) yang manifest terdapat pada 11% kasus.
ITP (Immune Thrombositopenic Purpura) terjadi pada 2 – 3% LLK.
Limfosit > 5000 – 10.000/mm3, kadang-kadang > 15.000/mm3.
Granulosit biasanya normal atau meningkat.
Trombosit : dapat terjadi trombositopenia karena infiltrasi sumsum tulang,
hipersplenisme atau trombositopenia imun.
Diagnosis :
Kriteria diagnostik menurut CLL Working Group, International CLL Workshop dan
the National Cancer Institute Working Group :
1. Peningkatan limfosit perifer yang menetap > 10.000 /mm 3, dengan dominasi
sel limfosit matur
2. Aspirasi sumsum tulang : limfosit > 30%
3. Limfosit darah perifer merupakan monoklonal sel B
1. Jumlah limfosit darah perifer > 5000 /mm 3 dengan < 55% sel atipik, sel
harus mempunyai antigen sel B spesifik (CD19, CD20 dan CD24) dan CD5+
2. Aspirasi sumsum tulang : > 30% sel berinti merupakan limfosit LLK.
Diferensial Diagnosis :
Infeksi : Tuberkulosis, mononukleosis infeksiosa, HMS ( Hyper-reactive
malarial splenomegaly)
Keganasan :
Sel B : Lekemia prolimfositik
Fase lekemia limfoma non Hodgkin :
Mantle cell lymphoma
Folicular small cleaved cell lymphoma
Large cell lymphoma
SLVL (Splenic lymphoma with circulating villous lymphocytes)
Marginal zone lymphomas
Hairy cell Leukemia
Waldenstorm macroglobulinemia
74
Sel T : Lekemia prolimfositik
Fase lekemia limfoma non Hodgkin :
Adult T cell leukemia / lymphoma
Sezary syndrome
Peripheral T cell lymphoma
Large cell lymphoma
Hairy cell leukemia
Large granular lymphocytic leukemia
Stadium Penyakit :
Menurut Rai :
Menurut Binet :
75
Terapi :
Tidak diperlukan terapi pada penderita yang asimptomatik / stabil (Binet stadium
A, B).
Indikasi memulai terapi pada LLK :
1) Gejala sistemik persisten atau progresif (demam, berkeringat, penurunan
berat badan)
2) Limfadenopati yang menyebabkan obstruksi mekanik atau deformitas yang
mengganggu (kosmetik)
3) Pembesaran kelenjar getah bening, atau yang progresif
4) Stadium III atau IV (risiko tinggi) yang disebabkan karena infiltrasi limfosit di
sumsum tulang
5) Doubling time limfosit yang cepat
6) AIHA atau trombositopeni yang tidak ada respon dengan pemberian steroid
7) ZAP-70 dan atau CD38 yang positif atau didapatkan Unmutated
immunoglobulin Vh
1. Kemoterapi
Kemoterapi diberikan sampai perbaikan klinis dan hematologis, tetapi tidak
selalu harus mencapai remisi komplit. Kemoterapi dihentikan setelah gejala
klinis terkontrol (setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan)
a. Obat-obat alkilating
Klorambusil : 0,1 – 0,2 mg/kg PO /hari (leukeran 5 mg) selama
3 – 6 minggu, kemudian dosis diturunkan sampai
2 mg/hari sampai respon yang diinginkan. Dapat juga
diberikan 15 – 30 mg/m2 PO (hari I) atau dibagi
dalam 4 hari, diberikan setiap 14 – 21 hari.
Dosis disesuaikan dengan toleransi penderita. Bila
lekosit menurun 50%, dosis diturunkan 50%. Obat di
stop bila lekosit < 15.000 /mm3
Siklofosfamid : 2 – 4 mg/kg PO /hari selama 10 hari, kemudian dosis
diturunkan sampai tercapai efek yang diinginkan
b. Nukleosida
Fludarabin :
Indikasi :
LLK yang resisten dengan obat-obat alkilating
Bila diperlukan remisi yang cepat dan menetap dalam jangka
panjang
Fludarabin memberikan remisi komplit yang lebih tinggi dan
berlangsung lebih lama, tetapi tidak berbeda dalam kelangsungan
hidup bila dibandingkan dengan obat-obat alkilating.
Dosis : 25 – 30 mg/m2 IV /hari (hari 1 – 5) setiap 4 minggu
Kladribine (2 – klorodeoksiadenosine, 2 – Cd A)
Dosis :
0,10 mg/kg/hari infus kontinu, hari 1 – 7, atau
0, 14 mg/kg/hari IV dalam 2 jam, hari 1 – 5 setiap 4 – 5 minggu
76
2. Prednison
Diberikan apabila didapatkan hemolisis atau trombositopenia imun.
Dosis : 60 mg PO / hari, kemudian dosis diturunkan setelah tercapai
perbaikan kadar hemoglobin dan trombosit (diturunkan 50% tiap 2 minggu).
Lama pengobatan 6 minggu, lalu prednison diteruskan 1 minggu tiap bulan
dengan dosis 0,5 mg/kg/4 – 6 bulan.
3. Terapi radiasi
Radiasi lokal direkomendasikan untuk mengurangi massa kelenjar getah
bening yang membahayakan fungsi organ vital dan tidak berespon dengan
kemoterapi.
Radiasi lien dapat memperbaiki gejala penyakit dan hipersplenisme.
4. Operasi
Splenektomi dilakukan pada LLK dengan anemia hemolitik autoimun atau
trombositopenia imun yang tidak berespon dengan pemberian kortikosteroid
atau memerlukan kortikosteroid terus-menerus.
Splenektomi dapat juga dilakukan pada keadaan hipersplenisme.
Remisi parsial :
A. Penurunan limfosit perifer > 50% dan pengurangan limfodenopati dan
atau splenomegali/ hepatomegali > 50%
B. Kriteria A harus berlangsung 2 bulan disertai 1 atau lebih :
Hb > 10 gr% atau peningkatan > 50% dari Hb awal
Netrofil > 1500 /mm3 atau peningkatan > 50% dari netrofil awal
Trombosit > 100.000 /mm3 atau peningkatan > 50% dari trombosit
awal.
77
Progresivitas Penyakit :
A. Peningkatan jumlah kelenjar getah bening > 50% pada > 2 kelenjar pada
minimal 2 kali pengukuran setiap 2 minggu, dan / atau : peningkatan ukuran
hepar, dan / atau lien > 50%, dan / atau peningkatan jumlah limfosit > 50%
menjadi minimal 5000/mm3 dan / atau transformasi menjadi kelainan
histologi yang lebih agresif.
Penyakit stabil
Penderita yang tidak memenuhi kriteria remisi komplit, remisi parsial atau
progresifitas penyakit.
Perjalanan Penyakit :
LLK dapat mengalami transformasi menjadi :
Diffuse large – cell lymphoma (Richter syndrome)
Penyakit Hodgkin
Lekemia prolimfositik
Mieloma multipel
Lekemia akut (mieloid, limfoid atau undifterentiated)
Prognosis :
Faktor-faktor yang merupakan petanda buruknya prognosis LLK adalah :
Stadium lanjut (Rai atau Binet)
Peripheral lymphocyte doubling time < 12 bulan
Histologi sumsum tulang : infiltrasi difus
Peningkatan jumlah prolimfosit atau cleaved cells
Respon yang tidak baik terhadap kemoterapi
Kadar 2 mikroglobulin yang tinggi
Tingginya I9M permukaan, CD23 - , CD 11b+ atau CD13+
Kariotipe abnormal
Mutasi p 53
ZAP 70, CD38 +
78
Rata-rata Kelangsungan Hidup Berdasarkan Stadium Rai :
79
SINDROMA MIELODISPLASI
Definisi:
Sindroma mielodisplasi adalah sekumpulan kelainan sel induk hematopoiesis
yang ganas dengan karakteristik hematopoiesis yang displasia, produksi sel darah
yang tidak efektif dan kecenderungan mengalami transformasi menjadi lekemi
akut.
Etiologi :
Kelainan ini dapat terjadi primer atau evolusi dari perjalanan penyakit sumsum
tulang lainnya seperti anemia aplastik dan paroksismal nokturnal hemoglobinuria
(PNH).
Etiologi lainnya:
Kemoterapi sitotoksik
Radiasi
Toksin lingkungan seperti benzene
Patofisiologi :
Kegagalan sumsum tulang pada sindroma mielodisplasia diperantarai oleh sistem
imun yaitu kelainan aktivitas dan protein tumor necrosis factor (TNF), ekspresi
TRAIL (TNF-apoptosis-inducing ligand), regulasi FLIP (FAS-associated death
domain-like interleukin-1 converting enzyme) yang berbeda, adanya sel T
sitotoksik, klonalitas klon sel T.
Mekanisme yang di duga berperan dalam terjadinya sindroma mielodisplasi
adalah :
Mutasi gen ras (didapatkan pada 30% penderita) akan menyebabkan
transformasi maligna sel induk hematopoiesis.
Onkogen ras juga mempengaruhi proses diferensiasi sel.
Mutasi gen C – fms yang menghasilkan reseptor M – CSF (Macrophage –
Colony Stimulating Factor) yang merupakan protein dengan aktivitas
80
tirosinkinase. Mutasi gen C–fms didapatkan pada 20% penderita. Mutasi gen
C–fms akan meningkatkan respon proliferasi sel terhadap hematopoietic
growth factor
Sitopenia diduga disebabkan karena :
Hematopoiesis inefektif
Kegagalan sel berdiferensiasi
Penurunan produksi hematopoietic Growth Factor :
GM – CSF (Granulocyte Macrophage – Colony Stimulating Factor)
M – CSF (Macrophage – Colony Stimulating Factor)
G – CSF (Granulocyte – Colony Stimulating Factor)
IL 3 & 6 (Interleukin 3 & 6)
Riwayat Penyakit :
Sebagian besar penderita berumur di atas 50 tahun (median umur
≥ 65 tahun), kurang dari 10% berusia di bawah 50 tahun.
Riwayat anemi dengan adanya infeksi rekuren atau infeksi yang sulit diobati
serta manifestasi perdarahan.
Kadang-kadang disertai artralgia / artritis, pleuritis dengan test ANA (+),
sehingga secara klinis mirip Lupus Eritematosus Sistemik
Adanya riwayat terapi radiasi, kemoterapi (biasanya pada kelompok umur
lebih muda)
Laboratorium :
Adanya Triad : Sitopenia kronik, hiperplasia sumsum tulang dan
dismielopoietik
Apus darah tepi :
Eritrosit : dapat makrositer atau normositer, ovalosit, eliptosit, teardrops,
81
akantosit, basophilic stippling, Höwel-Jolly bodies, normoblast
ditemukan pada 10% penderita.
Pada RARS (Refractory Anemia with Ringed Sideroblast)
terdapat anisositosis, hipokrom dan mikrositosis.
Talasemia alfa yang didapat (sindroma mielodisplasia talasemi
alfa/hemoglobin H yang didapat) dapat terjadi dan
menyebabkan spektrum morfologi eritrosit yang serupa dengan
talasemia alfa (hipokrom, mikrositosis, eritrosit yang
mengandung Hb H)
Lekosit : neutropenia, monositosis (terutama pada CMML), dapat
ditemukan sel muda (blast), abnormalitas nukleus dan
sitoplasma (abnormalitas Pelger – Hüet, nukleus berbentuk
ring, hipogranuler)
Trombosit : trombositopenia (25% kasus), giant platelet
Sumsum tulang :
Eritropoiesis : hiperplasia eritropoietik, maturasi megaloblastoid (maturasi
sitoplasma lebih dahulu daripada maturasi nukleus),
multinuklearitas, fragmentasi nuklear (Höwel – Jolly
bodies), vakuolisasi sitoplasma, pronormoblast dapat
meningkat.
Pada RARS (Refractory Anemia with Ringed Sideroblast)
didapatkan peningkatan granula siderotik, ringed
sideroblast (dengan pewarnaan biru Prussia). Aplasia
dan/atau hipoplasia jarang terjadi.
Granulopoiesis : dismaturasi antara inti dan sitoplasma pada seri
granulosit dan monosit sehingga memberikan gambaran
megaloblastik, anomali Pelger–Hüet, hipogranulasi.
Trombopoiesis : megakariosit dapat normal atau meningkat, kadang-
kadang dijumpai mikromegakariosit, morfologi
abnormal: inti 1 atau 2 lobi, atau hipernuklearitas (Pawn
ball), megakariosit yang hipogranuler. Megakariosit
mononuklear terutama ditemukan pada sindrom 5q-.
Kombinasi sitopenia :
Anemia : 90%
Pansitopenia : 50%
Anemia + trombositopenia : 20 – 25%
Anemia + netropenia : 5 – 10%
Sitopenia / monositosis tanpa anemia : < 5%
Retikulosit berkurang
Limfopenia karena jumlah CD4+ yang berkurang berhubungan dengan
jumlah transfusi yang didapat
Penurunan jumlah sel natural killer, CD8+ normal atau sedikit meningkat
Hb F meningkat, enzim piruvat kinase menurun
Aktifitas alkali fosfatase lekosit meningkat
Peningkatan Fe, saturasi transferin, feritin : pada RARS
82
Muramidase serum dan urine meningkat : pada CMML
Pewarnaan PAS eritroblas untuk menilai diseritropoiesis
Pewarnaan peroksidase atau Sudan black B untuk konfirmasi sel blast dari
seri mieloid
Pewarnaan esterase ganda atau nonspesifik untuk mengenal bentuk
granulosit dan monosit yang abnormal
Imunositokimia dapat membantu untuk:
Eksklusi asal limfoid dari sel blas yang primitif
Membedakan prekursor eritroid melalui antibodi glycophorin-A-reactive
Menghitung progenitor mieloid menggunakan antibodi terhadap CD13,
CD14, dan CD33
Deteksi megakariosit imatur atau displasi melalui antibodi yang spesifik
untuk faktor von Willebrand, faktor VIII, CD41
Deteksi ketidaksesuaian seri sel darah (contoh: seri mieloid
mengekspresikan antigen nonmieloid) dan konfirmasi adanya displasi
dua atau tiga seri sel darah
Waktu perdarahan memanjang
LDH dan asam urat meningkat
Abnormalitas limfosit B :
Hipogamaglobulinemia (13%)
Poliklonal hipergamaglobulinemia (30%)
Monoklonal gamopati (12%)
Poliklonal gamopati (50%)
Autoantibodi (22%)
Antiglobulin test direk (+) (80%)
Kelainan sitogenetik ditemukan pada 60 – 65% penderita :
83
Diagnosis :
Diagnosis tipe-tipe sindroma mielodisplasi berdasarkan klasifikasi tahun 2000 :
84
Blas di perifer < 5%, blas di sumsum tulang antara 5 – 20.
Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
Monositosis perifer > 1000/mm3.
Blas di perifer < 5%, blas di sumsum tulang 20%.
Refractory anemia with excess blasts in transformation (RAEB-T).
Gambaran hematologis sama dengan RAEB.
Blas di perifer > 5% atau blas di sumsum tulang antara 20 – 30% atau
adanya Auer rods pada blas.
85
Pada klasifikasi WHO, kelompok sindroma mielodisplasia dibagi menjadi :
refractory anemia, refractory cytopenia with multilineage dysplasia,
refractory anemia with excess blast, 5q- syndrome, unclassifiable MDS.
Pada kalsifikasi WHO, CMML (Chronic myelomonocytic leukemia)
dikelompokkan dalam kategori myelodysplastic/myeloproliferative diseases,
termasuk juga juvenile myelomonocytic leukemia dan atypical (non t (9;22)-
related) chronic myelogenous leukemia.
Klasifikasi WHO menggambarkan kemajuan dibandingkan kalsifikasi FAB,
merupakan gabungan antara kelainan patogenetik dan klasifikasi morfologi.
Terapi :
1. Terapi definitif : transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang alogenik dilakukan pada pasien < 60 tahun
dan mempunyai donor saudara yang sesuai HLA-nya (HLA-matched sibing
donor).
Waktu yang optimal untuk transplantasi sumsum tulang adalah :
Pasien kelompok resiko IPSS rendah dan intermediet-1 :
Pada saat terjadi kelainan sitogenetik yang baru, adanya sitopenia
yang secara klinis penting, atau progresi menjadi kelompok resiko
yang lebih tinggi.
Pasien kelompok resiko IPSS intermediet-2 dan tinggi :
Pada saat diagnosis ditegakkan.
Untuk pasien-pasien usia 70 – 75 tahun atau pasien muda dengan penyakit
komorbid dapat dilakukan transplantasi sumsum tulang alogenik dengan
intensitas yang dikurangi.
2. Suportif : transfusi PRC dan trombosit.
3. Jika pasien membutuhkan transfusi jangka panjang (lebih dari 20 – 30
transfusi, feritin serum > 1000 mikrogram/L), terapi atau profilaktik iron
chelation diberikan, terutama pada pasien dengan IPSS yang rendah atau
intermediet-1
4. Obat sitotoksik :
Sitarabin dosis rendah : respon komplit dibawah 20% dan tidak
mempunyai manfaat klinis yang berarti
5 – azacitidine (analog pirimidin), menyebabkan hipometilasi
(demetilasi) DNA dan sitotoksik direk pada sel hematopoietik sumsum
tulang abnormal. Dosis minimun 4 siklus tiap 28 hari (75 mg/m 2/hari SC
selama 7 hari), dilanjutkan selama ada manfaatnya.
Decitabine (analog pirimidin): dosis 15 mg/m2 IV selama 4 jam setiap 8
jam selama 3 hari. Siklus diulangi tiap 6 minggu
5. Hematopoietic Growth Factors
Eritropoietin :
Duapuluh sampai 55% pasien berespon dengan pemberian eritropoietin,
biasanya dengan dosis yang relatif tinggi yaitu 150 U/kgBB tiga kali
86
seminggu, 40.000 U sekali seminggu, atau 75 – 300 mikrogram
darbepoetin alfa sekali seminggu. Respon terutama pada pasien dengan
kadar eritropoietin < 100 atau < 200 mU/mL. Efek samping adalah
iritasi lokal pada tempat injeksi, hipertensi, dan ruam kulit.
G – CSF (Granulocyte – Colony Stimulating Factor) dan GM – CSF
(Granulocyte – Macrophage – Colony Stimulating Factor): Responnya
kurang baik dan tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin pada pasien
dengan sindroma mielodisplasi. Penggunaannya mungkin bermanfaat
pada keadaan:
Neutropeni dengan infeksi atau demam yang resisten terhadap
antibiotik
Kombinasi dengan eritropoietin (G-CSF dosis inisial 1 mikrogram/kg
BB perhari SC dan eritropoietin 150 – 300 U/kgBB/hari SC)
mengurangi kebutuhan transfusi dan meningkatkan kadar
hemoglobin pada 40 – 45% pasien, dan hampir semua pasien yang
mendapat kombinasi ini memberikan respon netrofil.
Respon terhadap GM-CSF kurang baik dibandingkan dengan G-CSF.
6. Sitokin :
IL – 3 (interleukin – 3) : meningkatkan jumlah netrofil (60% penderita)
dan trombosit (40% penderita)
IL-11 10 mikrogram/kgBB/hari subkutan selama 2 minggu, diikuti periode
istirahat 2 minggu. Berdasarkan pengalaman klinik, peningkatan trombosit
pada pemberikan IL-11 kurang baik.
7. Obat imunosupresif untuk sindroma mielodisplasi yang hiposeluler :
Pasien muda dengan sitogenetik yang normal, hipoplasi sumsumtulang,
stadium dini dan adanya HLA-DR115 (DR2) memberikan respon
terhadap pemberian antithymocyte globulin (ATG, 40 mg/kgBB/hari IV
selama 4 hari)
Siklosporin 5 – 6 mg/kgBB/hari dua kali sehari memberikan respon
hematologi pada pasien RA dengan sumsum tulang hiperseluler,
normoseluler, atau hiposeluler. Respon bertahan 5 – 30 bulan. Dosis
dimodifikasi sesuai kebutuhan untuk mencapai kadar terapeutik dalam
darah antara 100 – 300ng/mL.
Pasien-pasien dengan sel paroxysmal nocturnal hemoglobinuria positif
merupakan petanda kegagalan sumsum tulang yang dimediasi imun pada
pasien dengan sindroma mielodisplasia dan merupakan prediktor untuk
perbaikan hematologi setelah terapi ATG dan/atau siklosporin.
8. Lenalidomide: anti-sitokin, derivat thalidomide.
Digunakan pada sindroma 5q- 10 mg/hari peroral selama 21 hari setiap
bulan, atau 10 mg/hari, dosis dikurangi sesuai kebutuhan. Transfusi tidak
dibutuhkan lagi pada 67% penderita.
9. Hydroxyurea dosis inisial 15 mg/kgB/hari dengan terapi suportif pada pasien
dengan CMML.
87
Prognosis :
Faktor-faktor prognostik pada Sindroma mielodisplasia ditentukan berdasarkan
International Prognostic Scoring System (IPSS).
Skor
Variabel
0 0.5 1.0 1.5 2.0
Blas sumsum <5 5 – 10 – 11 – 20 21 – 30
tulang (%)
Kariotipe Baik (normal, Intermediet Buruk
5q- , 20q- , -y) (abnormalitas
> 3 atau
monosomi 7)
Sitopenia * 0 atau 1 2 atau 3
Keterangan : * Sitopenia : Hb < 10 gr%
Netrofil absolut < 1800 /mm3
Trombosit < 100.000 /mm3
IPPS :
88
MIELOFIBROSIS DENGAN
MIELOID METAPLASIA
Definisi :
Mielofibrosis dengan mieloid metaplasia (MMM) adalah suatu sindroma yang
ditandai dengan fibrosis sumsum tulang, metaplasia mieloid organ hemopoietik
ekstrameduler dan gambaran lekemoid dalam darah tepi.
MMM merupakan gangguan klonal sel induk hematopoietik yang ditandai dengan
fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstrameduler.
Sinonim :
Alekemik mielosis, Alekemik megakariositik mielosis, Agnogenik mieloid
metaplasia, Mielosklerosis, Mielofibrosis idiopatik primer, Mielosis nonlekemik
kronis.
Etiologi :
Idiopatik
Sekunder :
Obat – obatan
Zat kimia : benzene
Radiasi
Metastase karsinoma
Patofisiologi :
MMM termasuk penyakit mieloproliferatif dengan karakteristik proliferasi
abnormal sel progenitor eritroid, mieloid dan megakariosit.
Sel megakariosit neoplastik akan melepaskan beberapa sitokin yang merangsang
fibroblas dan sintesis kolagen.
89
Proliferasi fibroblas menyebabkan peningkatan deposit retikulin dan jaringan
fibrotik.
Sitokin – sitokin tersebut adalah :
TGF (Tumor Growth Factor ) : mediator utama sintesis dan akumulasi
kolagen
PDGF (Platelet Derived Growth Factor)
PF4 (Plateler Factor 4) : merupakan inhibitor kolagenase yang menghambat
degradasi kolagen
EGF (Epidermal Growth Factor)
ECGF (Endotel Cell Growth Factor)
Interleukin 1
Calmodulin
Riwayat Penyakit :
Penyakit berjalan lambat, dengan keluhan rasa penuh di perut, cepat kenyang,
anoreksia, nyeri tulang. Keluhan gout, penurunan berat badan dan keluhan
anemi (lemah badan, berkunang-kunang, cepat lelah, berdebar-debar). Kadang-
kadang didapatkan perdarahan kulit dan mukosa, dan gejala anemi hemolitik.
Riwayat kontak dengan zat kimia, obat, atau adanya tumor ganas (tiroid,
mammae, prostat, pankreas, ginjal, paru-paru dan gaster).
Laboratorium :
Apus darah tepi : gambaran LEB (leukoeritroblastik)
Eritrosit : normokrom normositer, dapat anisositosis, poikilositosis,
polikromasi, terdapat normoblas.
Hipokrom mikrositer (bila disertai defisiensi Fe)
Makrositosis (bila disertai defisiensi asam folat)
Karakteristik : banyak eritrosit berbentuk tear drops
Lekosit : lekositosis, terdiri dari seri granulosit muda sampai tua,
metamielosit dan mielosit (10 – 20%), sedikit promielosit dan
mieloblas, eosinofil dan basofil agak meningkat.
Trombosit : normal, kecuali bila terjadi hipersplenisme dapat menjadi
trombositopeni.
Aspirasi sumsum tulang : dry tap
90
Trephine biopsy : proliferasi fibroblas, peningkatan serabut retikulin difus,
(dengan pewarnaan retikulin) deposit kolagen penebalan
trabekula, megakariosit meningkat.
Lekosit : normal atau meningkat (25.000 – 50.000 /mm3), kadang-kadang
> 100.000 /mm3
Trombosit : normal, meningkat (kadang-kadang > 1.000.000 /mm3) atau
menurun (pada stadium lanjut)
Alkali fosfatase lekosit meninggi
Bilirubin meninggi (3 – 5 mg%), terutama bilirubin indirek
LDH meningkat
Hiperurikemi
Sering didapati defisiensi asam folat, besi dan anemia hemolitik autoimun
Radiologi : patchy sclerosis bagian medula dengan trabekula kasar terutama
pada proksimal tulang panjang (femur dan humerus), vertebra,
pelvis
Hematopoiesis pada pulpa rubra limpa
Diagnosis :
Kriteria diagnostik MMM menurut Polycythemia Vera Study Group :
1. Splenomegali
2. Gambaran LEB pada darah tepi
3. Massa eritrosit normal
4. Gambaran fibrosis > 1/3 area pada sumsum tulang tanpa ada penyebab lain.
5. Tidak ada kromosom Philadelphia dan diseritropoiesis
Diagnosis Banding :
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan mielofibrosis, LEB :
Keganasan :
LGK, polisitemia vera
Mielodisplasia
Lekemi : LMA, LLA, ‘Hairy cell leukemia’
Mieloma multipel
Karsinoma
Limfoma
Non keganasan :
Penyakit granulomatosis, tuberkulosis, sifilis, penyakit Paget,
hiperparatiroid, hipoparatiroid, osteodistrofi ginjal, lupus eritematosus
sistemik, sklerosis sistemik, zat toksik : benzene, radiasi, obat
sitotoksik.
91
Anemia hemolitik
Infeksi piogenik
Anemia megaloblastik
Terapi :
Suportif : transfusi PRC
Pada anemia yang tidak dapat dikoreksi dengan transfusi :
Oxymetholone 2 – 4 mg/kg/hari PO (100 – 200 mg/hari), biasanya
respon terlihat dalam 6 minggu, bila tidak ada perbaikan dalam 3 – 6
bulan, obat dihentikan.
Metenalon asetat 2 – 3 mg/kg 2 kali sehari PO (maksimal 3 bulan)
Testosteron enanthate 600 mg/minggu IM, selama 6 minggu, kemudian
dosis diturunkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin.
Danazol 3 x 200 mg/hari PO
Bila disertai hemolisis, ditambahkan prednison 25 – 75 mg/hari selama 2 – 3
minggu, kemudian diturunkan bertahap (maksimal 6 minggu)
Kemoterapi : diberikan pada penderita dengan lekosit / trombosit yang
tinggi, splenomegali yang besar dengan keluhan mekanis,
hiperkatabolisme (demam, banyak keringat, penurunan berat
badan).
Hidroksiurea 15 – 25 mg/kg 2 kali sehari PO
Busulfan 0,05 mg/kg PO selama 4 – 6 minggu
Asam folat 1 mg/hari PO
Radiasi lien :
Atas indikasi mekanik karena splenomegali, diberikan 20 – 300 cGy dalam
fraksi kecil 20 cGy/hari.
Radiasi paliatif untuk periostitis, tumor hematopoietik, ekstrameduler, asites
karena MMM di peritoneum.
Splenektomi : atas indikasi : Hipersplenisme
Kebutuhan transfusi darah sangat meningkat.
Mekanik
Transplantasi sumsum tulang : pada penderita dengan usia < 40 tahun dan
tersedia donor.
92
tumor di permukaan serosa dapat menyebabkan efusi masif yang
mengandung sel-sel hematopoiesis imatur.
4. Neutrophilic dermatoses: lesi kulit dengan infiltrasi netrofil polimorfonuklear,
dapat mengalami perubahan menjadi bula atau pioderma gangrenosum.
Prognosis :
Kelangsungan hidup penderita MMM rata-rata 1 – 5 tahun (berkisar antara
< 2 tahun pada penderita dengan risiko tinggi dan > 10 tahun pada penderita
dengan risiko rendah).
93
POLISITEMIA VERA
Definisi :
Polisitemia vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk
hematopoietik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan
volume darah total, biasanya disertai lekositosis, trombositosis dalam proporsi
normal dan splenomegali.
Sinonim :
Polisitemia vera rubra
Eritremia
Splenomegalik Polisitemia
Vaques’s disease
Osler’s disease
Polisitemia dengan sianosis kronik
Polisitemia mielopatik
Megalosplenik eritrositosis
Polisitemia kriptogenik
Etiologi :
Tidak diketahui
Patofisiologi :
Mekanisme yang diduga menyebabkan peningkatan proliferasi sel induk
hematopoietik adalah :
Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk hematopoietik yang bersifat
neoplastik
94
Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang mempengaruhi proliferasi sel
induk hematopoietik normal.
Peningkatan sensitivitas sel induk hematopoietik terhadap eritropoietin,
interlekin 1,3, GMCSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor),
stem cell factor.
Riwayat Penyakit :
Banyak keluhan-keluhan yang tidak khas : cepat lelah, sakit kepala, cepat
lupa, vertigo, tinitus, skotoma, baal-baal, banyak keringat, perasaan panas,
gatal-gatal terutama setelah mandi air hangat.
Biasanya penderita datang karena sesak, palpitasi, angina atau stroke
Keluhan lain : perdarahan setelah operasi kecil/cabut gigi, keluhan
gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum, serangan gout.
Laboratorium :
Apus darah tepi :
Eritrosit : normokrom normositer (pada awal penyakit) anisositosis,
poikilositosis (pada transisi menjadi mielofibrosis)
Lekosit : lekositosis dengan pergeseran ke kiri, basofilia (2/3 penderita)
Trombosit : trombositosis, kadang-kadang disertai morfologi abnormal
Sumsum tulang :
Biasanya hiperseluler, dengan hiperplasia semua elemen sumsum tulang.
95
Mielogram tidak jauh berbeda dari normal :
Persentasi normoblas agak meningkat
Mieloblas dan mielosit dapat meningkat
Eosinofil dan basofil dapat meningkat
Peningkatan jumlah dan ukuran megakariosit. Tidak ada pigmen besi (90%
penderita). Peningkatan retikulin dan atau fibrosis (11 – 15% pada awal
penyakit).
Sumsum tulang dapat memberikan gambaran normal pada 13% penderita.
Peningkatan Hb, berkisar 18 – 24 gr%
Peningkatan hematokrit, dapat mencapai 60%
Peningkatan eritrosit : 7 – 10 juta /mm3, kadang-kadang mencapai 12 –
15 juta /mm3
Viskositas darah meningkat (5 – 8 kali normal)
Lekositosis, antara 12.000 – 25.000 /mm3 (pada 75% kasus) basofilia (pada
75% kasus)
Trombositosis : 450.000 – 800.000 /mm3
Skor NAP (Neutrophil Alkaline Phosphatase) meningkat (70% penderita) atau
normal
Volume darah total meningkat (diperiksa dengan metode 51Cr)
Serum B12 meningkat (35% penderita)
UBBC (Unsaturated B12 Binding Capacity) meningkat (75% penderita),
terbanyak transkobalamin III
Hiperurikemi (70% penderita)
Kelainan sitogenetik : trisomi 9, trisomi 8, 5q –, 6q–, 7q–, 11q–, 13q–, 20q–,
delesi Y.
Diagnosis :
Kriteria Diagnostik Menurut Polycythemia Vera Study Group :
96
Beberapa kriteria (alkali fosfatase lekosit, B 12 serum, UBBC) dianggap tidak cukup
sensitif, sehingga dilakukan revisi kriteria diagnostik polisitemia vera sebagai
berikut :
Kriteria kategori A :
A1 : peningkatan massa eritrosit (diukur dengan eritrosit yang dilabel 51Cr)
lebih dari 25% diatas rata-rata angka normal
A2 : tidak ada penyebab polisitemia sekunder
A3 : splenomegali yang teraba
A4 : petanda klon abnormal (Kariotipe abnormal)
Kriteria kategori B :
B1 : trombositosis : > 400.000 /mm3
B2 : netrofilia : > 10.000 /mm3
B3 : splenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi
B4 : penurunan serum eritropoietin atau BFU – E growth yang karakteristik
Diagnosis Banding :
Penyakit mieloproliferatif lain : lekemi granulositik stadium awal, mielofibrosis
Polisitemia sekunder :
Hipoksia kronik : penyakit paru-paru, right – to left intracardiac shunts,
high altitudes, hipoventilasi alveolar (tumor otak, sindroma Pickwickian)
Perokok (karena peningkatan afinitas oksigen dan Hb terhadap karbon
monoksida)
Kelainan kongenital : hemoglobinopati dengan afinitas oksigen yang
tinggi (disosiasi oksihemoglobin abnormal), produksi eritropoietin yang
berlebihan
Terapi androgen
Kelainan ginjal : adenokarsinoma ginjal, kista, hidronefrosis,
transplantasi ginjal
Karsinoma hepatoseluler
Hemangioblastoma serebeler
Leiomioma uterus yang besar, karsinoma ovarium, feokromositoma,
aldosteronomas
Polisitemia relatif : karena penurunan volume plasma
Dehidrasi, diuretik, luka bakar, kebocoran kapiler, penurunan tekanan
onkotik, hipertensi
Stres (sindroma Gaisböck’s)
97
Perjalanan Penyakit :
1. Fase eritrositik : eritrositosis menetap dan memerlukan flebotomi reguler,
berlangsung 5 – 25 tahun
2. Fase burned – out : kebutuhan flebotomi sangat berkurang, dapat terjadi
anemia, lien bertambah besar, fibrosis ringan di sumsum
tulang
3. Fase mielofibrosis : terjadi pada 10% penderita, sitopenia, progresif
splenomegali
4. Fase terminal : kematian karena komplikasi perdarahan/trombosis (35 – 50%
penderita), mielofibrosis (15% penderita), transformasi
menjadi lekemi akut
Terapi :
Prinsip terapi : mempertimbangkan risiko trombosis, perdarahan dan transformasi
menjadi lekemi.
Mengurangi hematokrit dan kontrol eritropoiesis dengan flebotomi
Menghindari operasi elektif
Menghindari overtreatment
Menghindari terapi mielosupresif pada penderita usia < 65 tahun bila
memungkinkan
Kontrol panmielosis dengan hidroksiurea pada penderita dengan salah satu
karakteristik :
Riwayat trombosis, risiko tinggi untuk komplikasi trombosis atau
kebutuhan flebotomi yang sangat tinggi (lebih sering dari setiap 2 bulan)
Splenomegali yang sangat mengganggu
Gejala sistemik yang tidak terkontrol (pruritus, penurunan berat badan)
atau adanya kesulitan tindakan flebotomi karena vena-vena yang kurang
baik.
Perdarahan patologis disertai trombositosis
Pengobatan Umum :
Pencegahan hiperurikemia : alopurinol 300 mg/hari
Pruritus : (karena peningkatan histamin)
Siproheptadin 3 – 4 x 4 mg/hari
Simetidin 3 x 300 mg/hari
Kolestiramin
Pencegahan tromboemboli bila trombosit > 750.000 /mm 3 : aspirin 80 –
325 mg/hari
98
Pengobatan Khusus :
1. Flebotomi :
Dapat mengurangi gejala vertigo, rasa penuh di kepala, tinitus, nyeri tulang,
otot dan sendi dengan segera.
Tidak dapat mengurangi lekositosis dan trombositosis.
Flebotomi 500 ml dengan interval 1 – 3 hari (biasanya sebanyak 6 – 8 unit)
sampai hematokrit < 55%, kemudian flebotomi 250 – 500 ml/minggu.
hematokrit dipertahankan 40 – 45%.
Pada penderita usia 65 tahun atau dengan kelainan kardiovaskuler,
flebotomi 100 – 150 ml tiap hari / selah sehari atau flebotomi 500 ml disertai
penggantian cairan / plasma untuk mempertahankan volume intravaskuler.
Penyakit yang terkontrol memerlukan flebotomi 1 – 2 kali 500 ml setiap 3 –
4 bulan. Bila flebotomi diperlukan lebih dari 1 kali / 3 bulan, sebaiknya dipilih
terapi yang lain.
Flebotomi disertai diet miskin besi, bila kadar besi sudah rendah, kembali
diet biasa, atau diberi preparat besi.
2. 32P :
32P ditangkap lebih banyak oleh sel yang membelah cepat dari pada sel
normal.
32P terkonsentrasi di sumsum tulang dan efektif untuk terapi Polisitemia vera.
99
5. Anagrelide : 2 – 2,5 mg/hari dibagi dalam 2 – 4 dosis
Merupakan inhibitor produksi trombosit, tidak mensupresi
produksi eritrosit dan granulosit. Digunakan pada keadaan
trombositosis yang tidak berespon dengan terapi lain.
Anagrelide dapat menurunkan trombosit pada 80% penderita
penyakit mieloproliferatif.
6. Pipobroman : 1 mg/kg/hari, dapat mengatasi panmielosis, efek lekemogenik
lebih sedikit daripada hidroksiurea
7. Splenektomi : pada stadium akhir penyakit dengan splenomegali masif yang
menyebabkan gangguan mekanik, penurunan berat badan,
anemia berat dan trombositopenia.
Rekomendasi :
Rekomendasi penatalaksanaan Polisitemia vera menurut Polycythemia Vera Study
Group.
1. Penderita Polisitemia vera yang baru terdiagnosis harus menjalani flebotomi
untuk mengontrol gejala.
Frekuensi dan volume flebotomi ditentukan berdasarkan status klinis.
Hematokrit harus diturunkan sampai batas atas normal (kira-kira 45%)
2. Terapi jangka panjang ditentukan dengan mempertimbangkan status klinis
penderita :
Penderita usia muda (< 50 tahun), tanpa trombositosis hebat
(> 1.000.000/mm3) dianjurkan flebotomi untuk mempertahankan
hemotokrit 45%. Penambahan aspirin, 325 mg/hari atau kurang dapat
dipertimbangkan walaupun manfaatnya belum terbukti.
Penderita dengan riwayat trombosis, usia > 70 tahun atau dengan
trombositosis hebat harus diterapi dengan obat-obat mielosupresif.
Penderita dengan usia antara 50 – 70 tahun tanpa riwayat trombosis atau
trombositosis hebat dapat dipilih terapi obat-obat mielosupresif atau
flebotomi. Flebotomi dapat meningkatkan risiko kejadian trombosis.
3. Hidroksi urea merupakan obat mielosupresif pilihan.
32P dapat diberikan pada penderita tertentu dengan pertimbangan manfaat
Penyulit :
Trombosis
Perdarahan
Gagal jantung
Transformasi menjadi lekemi akut (terutama yang mendapat terapi 32P)
Gout, nefrolithiasis
Mielofibrosis pada penderita yang mendapat kemoterapi
100
Prognosis :
Tanpa pengobatan, kelangsungan hidup penderita Polisitemia vera rata-rata 18
bulan. Dengan flebotomi, rata-rata kelangsungan hidup 13,9 tahun, dengan
terapi 32P rata-rata kelangsungan hidup 11,8 tahun dan 8,9 tahun pada penderita
dengan terapi klorombusil.
25% penderita berlanjut menjadi mielofibrosis dan 14 – 20% mengalami
transformasi menjadi lekemi akut.
Risiko trombosis terutama terjadi pada 3 tahun pertama setelah diagnosis
ditegakkan.
101
TROMBOSITOSIS PRIMER
Definisi :
Trombositosis primer merupakan diagnosa par exclusionum dari trombositosis
reaktif atau kelainan Mieloproliferatif kronik lain seperti Polisitemia vera atau
Mielofibrosis idiopatik.
Sinonim :
Trombositemia primer
Trombositemia esensial
Trombositemia hemoragik
Trombositemia idiopatik
Etiologi :
Abnormalitas sitogenetik kromosom X yang memberikan ekspresi isoenzim
G – 6 – PD (Glucose – 6 – Phosphate Dehydrogenase) di sel induk trombopoietik,
granulopoietik dan eritropoietik menimbulkan dugaan suatu kelainan di sel induk.
Tidak didapat hubungan antara trombopoetin atau reseptornya (c-Mpl) dalam
patogenesis Trombositosis primer.
Pada Autosomal dominant familial essential thrombocythemia terdapat mutasi
gen untuk trombopoetin atau c-Mpl .
Patofisiologi :
Kelainan sitogenetik didapatkan pada < 25% penderita Trombositosis primer,
berupa trisomi 8, mutasi gen P 53. Proliferasi megakariosit dan trombositosis
diduga disebabkan oleh :
Produksi megakariosit otonom
Peningkatan sensitivitas terhadap colony stimulating activity seperti interlekin
3
Penurunan efek inhibisi platelet inhibiting factor (TGF - 1)
Defek microenvironment
102
Pada trombositosis primer terjadi peningkatan massa dan volume megakariosit
dan peningkatan produksi trombosit sampai 15 kali normal. Masa hidup trombosit
biasanya normal, kadang-kadang terjadi pemendekan masa hidup trombosit
karena adanya destruksi trombosit di lien. Mekanisme terjadinya trombosis /
perdarahan masih belum jelas. Trombosis diduga disebabkan karena peningkatan
massa trombosit disertai hiperagregabilitas trombosit.
Perdarahan diduga disebabkan abnormalitas fungsi trombosit (defek kualitatif)
dan inhibisi koagulasi karena trombositosis.
Riwayat Penyakit :
Lebih dari 50% kasus bersifat asimptomatik, keluhan berupa gejala vasomotor
atau fenomena trombohemoragik.
Laboratorium :
Apus darah tepi :
Eritrosit : normokrom normositer, dapat hipokrom mikrositer (pada
perdarahan kronik).
Lekosit : dapat lekositosis, bergeser ke kiri sampai metamielosit,
eosinofilia, basofilia ringan.
103
Trombosit : bergumpal-gumpal, abnormalitas bentuk, ukuran dan
struktur (heavy granulation), giant platelet, kadang-
kadang didapatkan fragmen megakariosit.
Sumsum tulang : hiperplasia megakariosit, kadang-kadang disertai
hiperplasia granulosit atau eritrosit, retikulin meningkat.
Lekosit : meningkat, 15.000 – 40.000 /mm3
LAP (Leucocyte Alkaline Phosphatase) meningkat pada 40% penderita
LDH dan asam urat meningkat (pada 25% penderita)
Pseudohiperkalemia (karena trombositosis)
Diagnosis :
Kriteria diagnosis Trombositosis primer (menurut Polycythemia Study Group) :
1. Trombosit 600.000 /mm3
2. Hemoglobin 13 gr% atau massa eritrosit normal (♂ < 36 ml/kg, ♀
< 32 ml/kg)
3. Fe di sumsum tulang normal atau tidak respon terhadap terapi Fe
(peningkatan hemoglobin < 1 gr% setelah 1 bulan terapi Fe)
4. Tidak ada kromosom Philadelphia (t 9 ; 22)
5. Tidak ada fibrosis kologen di sumsum tulang atau fibrosis < 1/3 area, tanpa
splenomegali dan reaksi LEB (lekoeritroblastik)
6. Tidak ada penyebab trombositosis reaktif
Diferensial Diagnosis :
Penyebab trombositosis lain :
Fisiologik : latihan fisik, post partum, epinefrin
Penyakit mieloproliferatif lain : Polisitemia vera, Lekemi mielositik kronik,
Mielofibrosis
Trombositosis sekunder : infeksi, inflamasi, neoplasma, post perdarahan,
asplenia (anatomik / fungsional), Fe defisiensi, post operasi.
Terapi :
1. Observasi (tanpa terapi) : tidak ada penelitian yang menyokong penggunaan
obat-obat mielosupresif jika hanya didapatkan peningkatan trombosit.
Observasi diindikasikan terutama pada penderita muda dan penderita usia
lanjut dengan risiko trombosis rendah.
Penderita dengan risiko rendah tidak perlu mendapat obat mielosupresif atau
obat sitoreduksi trombosit.
Penderita harus berhenti merokok dan obesitas harus dikontrol.
104
2. Terapi mielosupresif
Indikasi :
Usia > 70 tahun
Riwayat komplikasi trombosis
Perokok
Adanya faktor risiko kardiovaskuler (hipertensi, obesitas)
Terapi diberikan untuk mencapai trombosit < 600.000 /mm 3, bila
trombosis masih terjadi, dosis disesuaikan untuk mempertahankan
jumlah trombosit dalam batas normal.
a. Hidroksiurea :
Efektif terhadap trombositosis dan mengurangi komplikasi
trombosis.
Dosis : 15 – 30 mg/kg/hari, biasanya mengurangi trombositosis
dalam waktu 2 – 6 minggu.
b. Anagrelide :
Efektif terhadap trombositosis pada > 80% penderita, diindikasikan
pada penderita yang tidak dapat mentolerir efek samping
hidroksiurea. Anagrelide diduga menghambat maturasi
megakariosit. Dosis dimulai 4 kali 0,5 mg/hari atau 2 kali 1 mg/hari.
Penyesuaian dosis dilakukan setiap minggu, biasanya memerlukan
rata-rata 2 – 3 mg/hari dibagi dalam 2 – 4 dosis. Penurunan jumlah
trombosit sebanyak 50% biasanya dicapai dalam waktu 11 hari.
c. – Interferon : menurunkan trombosit melalui efek antiproliferatif.
Dosis : 21 – 35 juta unit/minggu sub kutan selama 4 – 6 minggu
(fase induksi) kemudian dosis pemeliharaan terkecil untuk
mempertahankan remisi komplit (trombosit < 450.000 /mm3) atau
remisi parsial (trombosit < 600.000/mm3). Dosis pemeliharaan
biasanya berkisar antara 3 juta unit 3 kali seminggu, sampai 3 juta
unit/hari.
d. 32P : diindikasikan pada penderita usia lanjut yang sulit
mendapatkan pengobatan rutin.
e. Obat-obat alkilating : melfalan, busulfan, klorambusil, tiotepa.
Meskipun obat-obat tersebut efektif menurunkan trombosit, tetapi
tidak dianjurkan karena efek karsinogenik.
3. Splenektomi : tidak direkomendasikan sebagai terapi trombositosis primer.
4. Obat anti trombosit :
Aspirin 81 mg/hari : efektif pada eritromelalgia, iskemi serebral. Manfaat
aspirin dosis rendah pada pencegahan primer trombosis masih diragukan.
5. ‘Plateletpheresis’
Indikasi : bila didapatkan komplikasi yang membahayakan jiwa disertai
trombositosis berat.
105
6. Mengurangi risiko kardiovaskuler lain : hipertensi, merokok
7. Trombositosis primer pada kehamilan :
Pilihan terapi dapat berupa :
Observasi saja
Aspirin / plateletpheresis/ hidroksiurea / – interferon
Tidak ada bukti perbedaan hasil pengobatan antara terapi-terapi tersebut.
55% – 57% kehamilan berlangsung normal dengan bayi lahir cukup bulan
dan sehat. 35% mengalami abortus spontan pada trimester pertama
kehamilan, dan 5% mengalami komplikasi maternal.
Prognosis :
Kelangsungan hidup penderita trombositosis primer tidak berbeda dengan
populasi normal. Penyebab kematian utama adalah trombosis dan perdarahan.
Trombosis Perdarahan
Faktor yang Riwayat trombosis Penggunaan aspirin dan
berhubungan dengan sebelumnya obat anti inflamasi non
peningkatan risiko Adanya risiko kardiovaskuler steroid
(terutama merokok) Trombositosis hebat
Usia lanjut ( > 60 tahun) (trombosit > 2 juta/mm3)
Kontrol trombositosis
inadekuat (pada penderita
risiko tinggi)
Tidak berhubungan Derajat trombositosis Pemanjangan waktu per-
dengan peningkatan Fungsi trombosit (invitro) darahan
risiko Fungsi trombosit (in vitro)
106
PURPURA TROMBOSITOPENI IMUN
Definisi :
Purpura trombositopeni imun adalah trombositopeni dengan penyebab proses
imun yaitu adanya antibodi terhadap trombosit.
Etiologi
1. Primer
Purpura trombositopeni otoimun idiopatik
2. Sekunder
a. Penyakit otoimun : lupus eritematosus sistemik, sindroma
antifosfolipid, hepatitis otoimun, tiroiditis otoimun
b. Penyakit limfoproliferatif : lekemi limfositik kronik, limfoma Hodgkin,
large granular lymphocytic leukemia
c. Infeksi : human immunodeficiency virus, hepatitis C, Helicobacter
pylori
d. Sindroma mielodisplasi
e. Agamaglobulinemia, hipogamaglobulinemia, defisiensi
immunoglobulin A
f. Obat – obatan : kuinidin, emas, penisilin, prokainamid, metildopa,
sulfametoksazole
118
IgG, sedangkan yang lainnya berupa IgM dan IgA. Trombosit yang diliputi
antibodi akan berikatan dengan antigen-presenting cell melalui reseptor Fc,
terutama di limpa, tetapi dapat juga di organ-organ lain dalam sistem fagosit
dan dihancurkan oleh makrofag di limpa, hati dan sumsum tulang. Proses
penghancuran trombosit juga akan meningkatkan respon imun. Mekanisme yang
terjadi adalah presentasi antigen trombosit oleh antigen-presenting cell yang
selanjutnya akan mengaktivasi klon sel T CD4+ dan sel T antigen spesifik. Klon
sel T dengan spesifisitas antigen yang berbeda akan menginduksi klon sel B
untuk memproduksi antibodi terhadap antigen trombosit tertentu.
119
Patogenesis Purpura Trombositopeni Imun dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :
Keterangan gambar :
1. Trombosit yang diliputi antibodi berikatan dengan antigen-presenting cells
(sel makrofag atau sel dendritik)
2. Antigen-presenting cells mendegradasi glikoprotein IIb/IIIa sehingga
meningkatkan respon imun. Antigen-presenting cells ini juga membentuk
epitop kriptik dari glikoprotein yang lain
3. Aktivasi antigen-presenting cells
4. Antigen-presenting cells yang teraktivasi mengekspresikan peptida pada
permukaan sel. Dengan bantuan CD 154, CD40 dan sitokin akan terjadi
proliferasi klon sel T CD4-positip (T-cell clone 1) dan T cell clone 2.
5. Reseptor imunoglobulin pada sel B yang mengenali antigen trombosit ( B-cell
clone 2) akan menginduksi proliferasi dan sintesa antibodi anti-glikoprotein
Ib/IX. B-cell clone 2 juga akan merangsang B–cell clone 1 untuk
memproduksi antibodi anti-glikoprotein IIb/IIIa
120
Gejala dan Tanda Klinis :
Pada dewasa, purpura trombositopeni imun biasanya berlangsung kronik
(trombosit < 150.000/mm3, berlangsung lebih dari 6 bulan).
Penyulit :
Perdarahan intraserebral, jarang terjadi dan biasanya didapatkan pada
penderita dengan trombosit < 10.000/mm3.
Anak Dewasa
Insidensi
Usia (tahun) 2–4 15 – 40
Sex (wanita : pria) 1:1 1,2 – 1,7
Presentasi klinik
Onset akut (< 1 minggu) insidious (> 2 bulan)
Simptom purpura purpura
Jumlah trombosit < 20.000/mm3 < 20.000/mm3
Perjalanan penyakit
Remisi spontan 83 % 2%
Kronisitas 24 % 43 %
Respon terhadap splenektomi 71 % 66 %
Rekoveri komplit 89 % 64 %
121
Pemeriksaan Penunjang :
Jumlah trombosit menurun
Hemoglobin dan hematokrit biasanya normal
Jumlah lekosit dan hitung jenis biasanya normal
Apus darah tepi : trombositopeni, ukuran dapat besar atau kecil
Pemanjangan waktu perdarahan
Sumsum tulang : jumlah megakariosit meningkat atau normal dengan
morfologi normal, eritropoiesis dan mielopoiesis normal. Pedoman American
Society of Hematology (ASH) menyatakan bahwa pemeriksaan sumsum
tulang tidak diperlukan pada evaluasi trombositopeni purpura imun pada
keadaan :
Usia < 60 tahun
Presentasi klinis tipikal
Respon baik terhadap terapi inisial
Tidak ada rencana splenektomi
Antibodi anti trombosit
Pengobatan :
Adanya manifestasi perdarahan merupakan pertimbangan dalam terapi.
Penderita tanpa perdarahan, trombosit > 50.000/mm 3 tidak memerlukan
pengobatan dan dapat dilakukan observasi secara periodik.
Penderita dengan trombosit 30.000 – 50.000/mm3 pada umumnya tidak
mengalami perdarahan berat, tetapi dapat bermanifestasi sebagai purpura.
Pada keadaan ini biasanya tidak memerlukan pengobatan, dapat dilakukan
observasi periodik.
Pengobatan direkomendasikan pada penderita dengan trombosit kurang dari
20.000/mm3 dan antara 20.000 – 50.000/mm3 dengan perdarahan mukosa
yang signifikan atau pada penderita dengan risiko perdarahan (hipertensi
tidak terkontrol, ulkus peptikum).
Simptomatis/suportif
Suspensi trombosit bila didapatkan perdarahan yang mengancam jiwa,
perdarahan intraserebral atau adanya tindakan invasif yang bersifat darurat,
disertai pemberian steroid dan/atau gamma globulin.
Kausal
Kortikosteroid
Prednison 1,0 – 1,5 mg/kg BB/hari per oral. Respon didapatkan antara
50 – 75% kasus, pada umumnya dalam 3 minggu pengobatan. Remisi
yang menetap berkisar antara kurang dari 5% sampai lebih dari 30%.
122
Metilprednisolon 30 mg/kg/hari, maksimal 1 gram/hari selama 2 – 3 hari,
diberikan secara intravena dalam 20 – 30 menit. Diberikan bila terdapat
gejala nerologi, perdarahan internal atau adanya tindakan operasi
emergensi. Pada keadaan emergensi, diberikan bersama
immunoglobulin intravena dan transfusi suspensi trombosit dalam
jumlah 2 – 3 kali yang dibutuhkan.
Deksametason dosis tinggi :
Pada penderita yang belum pernah mendapat terapi, diberikan
deksametason 40 mg/hari dosis tunggal PO atau IV selama 4 hari,
diulang setiap 14 hari, sebanyak 4 siklus berdasarkan penelitian
multisenter The Gruppo Italiano Malattie EMatologiche dell’Adulto
(GIMEMA) ITP Working Party. Terapi ini memberikan respon
sebesar 85,6%.
Deksametason dosis tinggi (40 mg/hari PO/IV) sebanyak 3 siklus
sedang dibandingkan efektivitasnya dengan standar terapi
prednison 1 mg/kg pada penderita ITP yang belum mendapat terapi
Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena bekerja menghambat reseptor Fc makrofag
yang akan memperlambat penghancuran trombosit yang diliputi antibodi
dan menghambat netralisasi otoantibodi antitrombosit
Dosis 1 gram/kg BB/ hari selama 2 – 3 hari atau 0,4 gram/kg/hari
selama 5 hari. Untuk pemeliharaan, dapat diberikan 0,5 – 1 gram/kg
sebagai dosis tunggal
Digunakan untuk terapi perdarahan internal , dengan trombosit yang
menetap di bawah 5000/mm3 meskipun telah diberikan kortikosteroid
untuk beberapa hari
Respon didapatkan pada kira-kira 80% pasien
Jarang didapatkan respon yang menetap
Anti-(Rh)D
Merupakan -globulin yang mengandung titer tinggi antibodi terhadap
antigen Rho (D) eritrosit. Anti-(Rh)D berikatan dengan eritrosit Rh-
positip dan mengakibatkan destruksi di limpa. Karena terjadi
penghambatan reseptor Fc di lien, maka trombosit yang diliputi antibodi
akan lebih banyak bertahan di dalam sirkulasi.
Diberikan sebagai dosis tunggal 50 – 100 ug/kg intravena, 3 – 5 menit.
Peningkatan jumlah trombosit didapatkan pada 70% pasien dengan Rh
positif dan tidak displenektomi
Splenektomi
Direkomendasikan bila dalam 3 – 6 bulan pasien memerlukan lebih dari
10 – 20 mg prednison per hari untuk mempertahankan trombosit di atas
30.000/mm3
123
Pada penderita dengan trombosit dibawah 50.000/mm3, pada umumnya
memerlukan pemberian kortikosteroid dan immunoglobulin intravena
sebelum tindakan operasi
Radiasi limpa dapat dipertimbangkan pada penderita dengan keadaan
yang tidak memungkinkan untuk splenektomi
124
Danazol
Dosis 10 – 15 mg/kg/hari, memberikan respon pada 20 – 40% kasus
Diberikan selama 3 – 6 bulan
Dengan pemberian Danazol antara 400 – 800 mg/hari, minimal selama 6
bulan, dilaporkan memberikan respon antara 10 – 80% kasus. Danazol
diduga menurunkan jumlah reseptor Fc pada sel fagosit dengan
memberikan efek antiestrogen.
Dapson
Dosis 75 mg/hari, memberikan respon pada 40 – 50% kasus.
Vinka alkaloid
Jarang digunakan karena hanya berespon 3 – 30%. Vinkristin 1 – 2 mg
dan vinblastin 0,1 mg/kg (maksimum 10 mg), diberikan secara bolus
intravena dengan interval 1 minggu, minimal 3 kali pemberian. Vinka
alkaloid diduga berikatan dengan mikrotubul trombosit, ditransport ke
lien, yang akan menghambat fungsi fagosit makrofag di lien. Vinka
alkaloid juga diduga dapat merangsang megakariopoiesis. Vinkristin dan
vinblastin meningkatkan sementara jumlah trombosit pada sekitar 70%
kasus dalam 5 – 21 hari, tetapi hanya memberikan remisi yang menetap
pada 10% kasus
Imunosupresan
Direkomendasikan pada penderita dengan trombosit < 20.000/mm3
yang tidak berespon dengan terapi di atas.
- Azatioprine 1 – 4 mg/kg/hari, selama 2 – 6 bulan, memberikan
respon pada 20 – 40% pasien. Dosis pada umumnya berkisar
antara 50 – 250 mg/hari, diberikan minimal selama 4 bulan untuk
menilai efektivitasnya.
- Siklofosfamid 1 – 2 mg/kg/hari (50 – 200 mg/hari) per oral atau
1 – 1,5 gr/m2 luas permukaan tubuh secara intravena, diberikan
tiap 4 minggu, sebanyak 1 – 5 dosis. Siklofosfamid meningkatkan
jumlah trombosit pada 60 – 80% kasus dan 20 – 40% di antaranya
tetap dalam keadaan remisi selama 2 – 3 tahun, setelah diberikan
terapi 2 – 3 bulan.
- Kombinasi azatioprine, danazol dan prednisone
- Siklosporin
Siklosporin 1,25 – 2,5 mg/kg/kali per oral setiap 12 jam. Siklosporin
dapat dikombinasikan dengan prednison 0,5 – 2 mg/kg /hari selama
tidak lebih dari 4 – 6 minggu (biasanya 2 – 4 minggu), diikuti
penurunan dosis dan diteruskan dengan dosis efektif terkecil sampai
4 – 6 minggu.
125
- Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil 750 – 1000 mg per oral, 2 kali sehari selama
minimum 12 minggu. Respon didapatkan pada 62% kasus,
termasuk 24% respon komplit. Respon didapatkan setelah terapi 4
– 10 minggu, rata-rata 8 minggu. Meskipun demikian, repon hanya
bertahan sebesar 14% kasus setelah penghentian terapi.
- Interferon alpha 2b
Interferon alpha 2b 3 juta unit sub kutan, diberikan 3 kali seminggu,
selama 4 minggu. Remisi komplit didapatkan pada 8% kasus.
Saat ini Interferon sudah banyak ditinggalkan.
- Rituximab
Merupakan antibodi monoklonal terhadap CD 20, diduga
mengurangi klon otoreaktif sel B. Beberapa penelitian melaporkan
pemberian rituximab efektif pada kasus ITP refrakter.
Cara pemberian rituximab :
Premedikasi : asetaminofen 650 – 100 mg
Diphenhydramine 50 – 100 mg per oral, diberikan
30 menit – 1 jam sebelum rituximab.
Rituximab 375 mg/m2 IV dalam NaCl 0,9% atau D5% dengan
konsentrasi 1 – 4 mg/ml, 1 kali perminggu selama 4 minggu.
Kecepatan infus :
Mula-mula 50 mg/jam, bila tidak terjadi hipersensitifitas atau
reaksi infus pada 30 menit pertama, kecepatan infus dinaikkan
50 mg/jam setiap 30 menit sampai maksimal 400 mg/jam.
Bila pada pemberian pertama tidak terjadi efek samping,
pemberian berikutnya dapat dimulai dengan kecepatan
100 mg/jam dan dinaikkan 100 mg/jam setiap 30 menit sampai
maksimal 400 mg/jam.
126
Kehamilan dan Trombositopeni Neonatal :
Otoantibodi trombosit pada penderita Purpura Trombositopeni Imun yang hamil
dapat melewati plasenta dan menimbulkan trombositopeni pada bayi.
Insidensi terjadinya trombositopeni pada fetus dengan trombosit
< 50.000/mm3 ditemukan kira-kira 10 – 15%, sedangkan trombosit
< 20.000/mm3 ditemukan kira-kira 5%.
Jumlah trombosit ibu sering tidak berkorelasi dengan trombosit fetus.
Pengobatan ibu dengan menggunakan gamma globulin intravena dan
kortikosteroid tidak mengubah insidensi terjadinya trombositopeni pada fetus.
Karakteristik yang berhubungan dengan trombositopeni pada fetus adalah
riwayat splenektomi dan trombositopeni berat selama kehamilan. Pada 64
kasus purpura trombositopeni imun dengan kehamilan, insidensi
trombositopeni neonatus berat (< 50.000/mm3) didapatkan pada 57% ibu
dengan riwayat splenektomi dan trombosit < 50.000/mm3 dan tidak
didapatkan pada ibu tanpa splenektomi dan trombosit >
50.000/mm3.
Jumlah trombosit terendah pada bayi terjadi beberapa hari setelah kelahiran,
sehingga diperlukan pemantauan jumlah trombosit setiap hari.
Insidensi perdarahan intraserebral pada neonatus < 1%. Tidak ada
perbedaan komplikasi ini antara kelahiran dengan sectio caesarea dan
kelahiran per vaginam. Kematian fetus terjadi kira-kira 1 – 2 %.
Tidak direkomendasikan memodifikasi pengelolaan purpura trombositopeni
imun pada ibu berdasarkan kemungkinan adanya trombositopeni neonatal.
Tidak terdapat bukti yang mendukung penentuan cara kelahiran berdasarkan
jumlah trombosit ibu atau fetal scalp vein.
Pengelolaan purpura trombositopeni imun pada ibu adalah mempertahankan
jumlah trombosit yang diperlukan pada proses hemostasis selama
melahirkan, pada umumnya di atas 25.000 – 50.000/mm3.
127
Algoritme Pengelolaan Purpura Trombositopeni Imun :
Presentasi Klinis
Transfusi trombosit
IV IG 1 gr/kg per Prednison 1 - 1,5 mg/kg Prednison / Tanpa
hari, 2 - 3 hari Anti D-Imunoglobulin tanpa terapi terapi
Metilprednisolon 75 ug/kg
1 gr, 3 hari
Trombosit Trombosit
30.000 - 50.000/mm3 < 30.000/mm3
Purpura
Prednison /
Trombositopeni
tanpa terapi Perdarahan aktif Tanpa perdarahan aktif
Imun Kronik
IV IG Metilprednisolon
Splenektomi
Prednison
Danazol 10 - 15 mg/kg/hari
Dapson 75 - 100 mg
Trombosit Trombosit
< 30.000/mm3 > 30.000/mm3
Purpura
Trombositopeni Trombosit Trombosit
Imun Kronik > 30.000/mm3 < 30.000/mm3
Refrakter
128
Prognosis :
Penyebab utama perdarahan fatal pada purpura trombositopeni imun adalah
perdarahan intrakranial. Risiko ini meningkat pada orang tua dengan riwayat
perdarahan sebelumnya dan pada mereka yang tidak berespon dengan terapi
yang diberikan.
Pada kelompok penderita dengan trombositopeni berat, mortalitas dalam
5 tahun karena perdarahan berkisar antara 2,2% pada usia kurang dari 40 tahun
sampai 47,8% pada penderita usia di atas 60 tahun.
129
PURPURA HENOCH SCHÖNLEIN
Definisi :
Purpura Henoch Schönlein merupakan sindroma dengan karakteristik erupsi
purpura pada lokasi tertentu yang disertai gejala lokal dan konstitusional.
Sinonim :
Purpura alergi
Purpura anafilaktoid
Purpura vaskuler alergika
Etiologi :
Proses autoimun
Infeksi :
Bakteri (meningokokus, demam tifoid, demam skarlet, difteri,
tuberkulosis, leptospirosis),
Virus (small pox, influenza, campak)
Riketsia (Rocky Mountain Spotted Fever, demam tifus)
Protozoa (malaria, toksoplasma)
Makanan : susu, telur, tomat, kacang-kacangan, kepiting, ikan
Gigitan serangga
Obat-obatan : iodium, atropin, kina, penisilin prokain, fenasetin, aspirin,
kloralhidrat, sulfonamid, kumarin.
130
Patofisiologi :
Adanya stimulus antigenik menyebabkan terbentuknya kompleks imun dengan
Imunoglobulin A yang mengakibatkan inflamasi akut kapiler dan arteriol.
Inflamasi kapiler, arteriol menyebabkan peningkatan permeabilitas,
infiltrasi perivaskuler, efusi serosanguinous ke jaringan subkutan, sub mukosa
dan sub serosa, yang memberikan manifestasi gejala lokal dan generalisata.
Riwayat Penyakit :
Riwayat alergi (urtikaria, asma bronkhiale, rinitis alergika)
Riwayat infeksi saluran pernafasan atas, nyeri tenggorokan 1 – 3 minggu
sebelumnya
Keluhan purpura, sendi, nyeri abdomen, ginjal (bengkak seluruh tubuh)
131
Manifestasi klinik yang lain : edema terlokalisir pada kulit kepala, dorsum monus,
sekitar mata, pleuritis, perikarditis, iritis, perdarahan serebral, limfadenopati
Laboratorium :
Jumlah trombosit normal, eosinofilia, lekositosis ringan
Laju endap darah normal / meningkat
Waktu perdarahan, waktu koagulasi normal
Uji torniket positif (25%)
Biopsi kulit / ginjal : Imunoglobulin A, fibrin, C3
Diagnosis :
Purpura dengan jumlah trombosit normal atau sedikit meninggi, didahului
riwayat infeksi saluran pernafasan atas
Manifestasi kulit, sendi, ginjal, abdomen
Uji torniket (+)
Diagnosis Banding :
Purpura trombositopenia (Purpura trombositopenia imun, Amegakariositik
Trombosito-penia Purpura)
Nefritis
Penyakit yang menyebabkan akut abdomen
Penyakit sendi
Terapi :
Simptomatik
Antihistamin : untuk mengurangi eksudasi
Kortikosteroid :
Tidak bermanfaat untuk manifestasi kulit
Mengurangi pembengkakan, nyeri sendi dan nyeri abdomen
Diberikan bila terdapat kelainan ginjal
Dosis : prednison 2 mg/kg/hari
Imunosupresif : diberikan bila ada kelainan ginjal progresif
Prognosis :
132
Penyakit biasanya self limiting, berlangsung 1 – 6 minggu. Dapat terjadi rekurensi
dalam waktu beberapa hari, kadang-kadang beberapa minggu dan bulan (rata-
rata 1 bulan). Prognosis baik, kecuali bila terjadi komplikasi perforasi intestinal,
intususepsi, gagal ginjal, perdarahan otak.
5 – 10% penyakit berlanjut menjadi glomerulonefritis kronik.
133
HEMOFILI – A
Definisi :
Hemofili A adalah kelainan herediter X – linked resesif dengan karakteristik
adanya defisiensi faktor VIII atau defek aktivitas F VIII koagulan.
Insidensi : 1 dari 10.000 laki-laki.
Etiologi :
Beberapa mutasi pada gen faktor VIII di kromosom X :
Substitusi asam amino tunggal
Delesi beberapa ribu nukleotida
Substitusi oleh G pada T pada dinukleotida CpG
Inversi bagian dari ujung lengan panjang kromosom X
Polimorfisme genetik
Mutasi missense pada domain A2
Patofisiologi :
Dasar abnormalitas pada hemofili A adalah defisiensi/abnormalitas protein plasma
yaitu faktor anti hemofili (AHF = Antihemophilic factor / VIII). Dalam keadaan
normal, dalam plasma f VIII bersirkulasi dalam bentuk ikatan dengan faktor von
Willebrand (vWF). Faktor von Willebrand disebut juga f VIII ag (f VIII antigen)
berfungsi sebagai pembawa f VIII. Fungsi f VIII dalam proses koagulasi
dinamakan f VIII C. Produksi vWF di kode oleh gen otosomal. Pada hemofili A,
vWF diproduksi dalam kualitas normal dengan jumlah normal atau meningkat.
Pada hemofili A didapatkan gangguan pada proses stabilisasi sumbat trombosit
oleh fibrin. Mutasi genetik yang ditemukan pada hemofili A :
Transposisi basa tunggal : codon arginin menjadi stop codon yang
menghentikan sintesis f VIII yang menyebabkan hemofili berat.
Substitusi asam amino tunggal : menyebabkan hemofili ringan
Delesi beberapa ribu nukleotida : menyebabkan hemofili berat
134
Riwayat Penyakit :
Manifestasi perdarahan tergantung kadar (%) faktor VIII.
Kadar f VIII : 50 – 100% : tidak ada perdarahan
25 – 50% : perdarahan setelah trauma besar
5 – 25% : perdarahan setelah operasi, trauma
kecil, tidak ada perdarahan spontan
1 – 3% : perdarahan pada trauma kecil, kadang-
kadang perdarahan spontan
0% : perdarahan spontan ke dalam sendi,
otot, hematom
Laboratorium :
Test pembekuan :
APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) memanjang
BT (Bleeding Time) normal
PT (Prothrombin Time) normal
TT (Thrombin Time) normal
Kadar f VIII menurun (normal : 52 – 100%)
Deteksi karier hemofili A :
Immunoassay : rasio f VIII C : vWF, normal ; 0,74 – 2,2 pada karier
hemofili A rasio menurun 0,18 – 0,9
Polymorphic DNA probes
Diagnosis :
135
Laki-laki dengan riwayat perdarahan spontan atau setelah trauma, APTT
memanjang, kadar faktor VIII menurun.
Diagnosis Banding :
Penyakit von Willebrand
Hemofili B
Terapi :
Terapi pengganti dengan pilihan preparat dan dosis tergantung beratnya hemofili
dan jenis perdarahan. Kadar faktor VIII efektif minimum untuk hemostasis pada
hemofili A : 25 – 30%.
1. Faktor VIII
Dosis : 1 unit faktor VIII c / kg BB akan menaikkan faktor VIII sebesar 2%.
Preparat :
Kriopresipitat : 1 unit kriopresipitat mengandung 70 – 80 unit F VIII
Faktor VIII konsentrat : 1 Fl mengandung 250 unit F VIII (Koate ®,
Profilate ® )
136
Dosis dan Kadar Faktor VIII yang Diharapkan :
137
Dosis DDAVP 0,3 g / kg dilarutkan dalam 30 – 50 cc NaCl 0,9%, infus
selama 15 – 30 menit.
3. Anti fibrinolitik
Digunakan bersama faktor VIII pada tindakan gigi dan perdarahan mulut :
EACA (Epsilon aminocaproic acid) 50 – 100 mg/kg setiap 4 – 6 jam
dimulai 24 jam sebelum tindakan, selama 7 – 10 hari (maksimum
24 gram/24 jam)
Asam traneksamik 25 mg/kg PO setiap 8 jam selama 10 hari.
Timbulnya inhibitor faktor VIII (I9G) harus dicurigai bila setelah pemberian faktor
VIII tidak terjadi respon klinis (terjadi pada 20% kasus).
Untuk mengatasi inhibitor faktor VIII dapat diberikan prednisone, siklofosfamid,
DDAVP 0,3 gr/kg (untuk kadar inhibitor faktor VIII rendah : < 3 u
Bethesda).
Prognosis :
Dengan terapi pengganti faktor VIII, morbiditas dan mortalitas penderita hemofili
menurun dengan signifikan. Komplikasi terapi pengganti adalah infeksi HIV,
hepatitis B dan C dan terbentuknya inhibitor. Faktor VIII konsentrat
terkontaminasi HIV sejak tahun 1978 – 1985.
Penderita hemofili yang mendapat terapi pengganti faktor VIII setelah tahun
1985 memiliki masa hidup yang sama dengan orang normal.
138
HEMOFILI B
Definisi :
Hemofili B adalah suatu kelainan X – linked herediter yang bersifat resesif yang
menyebabkan defisiensi faktor IX (Christmas factor = Plasma thromboplastin
component).
Etiologi :
Beberapa mutasi pada gen faktor IX :
Mutasi pada sistein 206 serin
Fenotipe Leiden
Disfungsi protein mutan
Patofisiologi :
Lebih dari 30% mutasi gen faktor IX menyebabkan terminasi kodon atau
substitusi asam amino (transisi C T). Mutasi tersebut menyebabkan
abnormalitas kuantitas dan kualitas faktor IX.
Fenotipe Leiden dan disfungsi protein mutan merupakan salah satu penyebab
adanya inhibitor terhadap faktor IX
Riwayat Penyakit :
Sama dengan Hemofili A
139
Laboratorium :
Tes pembekuan :
APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) memanjang
BT (Bleeding Time) normal
PT (Prothrombin Time) normal
TT (Thrombin Time) normal
Kadar faktor IX menurun.
Diagnosis :
Riwayat perdarahan spontan atau setelah trauma, APTT memanjang, kadar
faktor IX menurun.
Diagnosis Banding :
Hemofili A
Penyakit von Willebrand
Terapi :
Prinsip pengobatan sama dengan Hemofili A
1 unit faktor IX / kg BB akan menaikkan kadar faktor IX sebesar 1%
Rumus : Berat badan (kg) x kadar faktor IX yang dikehendaki (%) = ....... unit faktor IX
Darah simpan masih mengandung faktor IX, dapat dipakai untuk mengatasi
kekurangan darah akibat perdarahan.
Sediaan lain :
Prothrombin Complex concentrate : mengandung protrombin, faktor VII,
IX, X (faktor-faktor yang Vitamin K dependent).
Konsentrat faktor IX : Konine ®, Profilnine ® (1 Fl = 250 unit faktor IX)
140
Dosis Faktor IX dan Kadar Dalam Plasma yang Dikehendaki :
Faktor IX
Tipe perdarahan Kadar Dosis Lama
(unit/kg)
Sendi 40% 40 1 – 2 hari
Otot (kecuali iliopsoas) 40% 40 1 – 2 hari
Iliopsoas
Sampai
Inisial 60 – 80% 60 – 80
30 – 60% 30 – 60 perbaikan
Pemeliharaan
Susunan saraf pusat / kepala
Sampai
Inisial 60 – 80% 60 – 80
30% 30 perbaikan
Pemeliharaan
Faring dan leher
Sampai
Inisial 60 – 80% 60 – 80
30% 30 perbaikan
Pemeliharaan
Gastrointestinal
Inisial 60 – 80% 60 – 80 7 – 10 hari
Pemeliharaan 30% 30
Optalmik 60 – 80% 60 – 80 Sampai
perbaikan
Renal 40% 40 Sampai
perbaikan
Laserasi dalam 40% 40 Sampai
perbaikan
Operasi
Sampai
Inisial 60 – 80% 60 – 80
30% 30 perbaikan
Pemeliharaan
Pencabutan gigi 20 – 40% 20 – 40 1 – 2 hari
Prognosis :
Sama dengan penderita Hemofili A.
141
PENYAKIT VON WILLEBRAND
Definisi :
Penyakit von Willebrand merupakan suatu penyakit perdarahan kongenital
(autosomal dominan trait) akibat defisiensi faktor von Willebrand, suatu faktor
yang diperlukan untuk melekatkan trombosit ke endotel.
Etiologi :
Sintesis vWF dikode oleh gen pada lengan pendek kromosom 12 (12p 13.3) yang
terdiri dari 51 introns, 178 kb. Mutasi pada domain tertentu menyebabkan
timbulnya varian tertentu penyakit vWF.
Patofisiologi :
Kelainan dasar Penyakit von Willebrand adalah adanya abnormalitas atau
defisiensi faktor von Willebrand. Sintesis faktor von Willebrand dikode oleh gen
pada kromosom 12.
Faktor von Willebrand dihasilkan oleh endotel dan megakariosit, diperlukan pada
proses adesi trombosit dan berperan sebagai pembawa faktor VIII. Pada
defisiensi/abnormalitas faktor von Willebrand, terjadi ’defisiensi’ faktor VIII dan
abnormalitas pada hemostasis primer.
Riwayat Penyakit :
Manifestasi perdarahan berupa epistaksis, ptekie, hematom, menoragi,
perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna. Perdarahan dapat didahului trauma,
post operasi, post partum, dapat juga terjadi spontan.
142
Tanda dan Gejala Klinik :
Tipe ringan : perdarahan kutis dan mukosa (perdarahan gastrointestinal,
epistaksis, menoragi).
Tipe berat : hemartrosis, hematom intra muskuler (karena rendahnya kadar
faktor VIII).
Laboratorium :
Waktu perdarahan memanjang, APTT dapat memanjang, PT normal
Faktor VIII menurun
Faktor von Willebrand (vWF) menurun / normal
Kofaktor ristosetin menurun / normal
Ristocetin – induced platelet aggregation: normal, menurun atau meningkat
Klasifikasi :
Terdapat beberapa tipe penyakit von Willebrand, yaitu :
Tipe I (70%) : defek kuantitatif, kualitatif baik
Tipe II : defek kualitatif, kuantitas baik
Tipe III : defek campuran
Platelet type (pseudo – von Willebrand’s disease) : karena defek glikoprotein
Ib (reseptor vWF pada trombosit)
143
Gambaran Klinis dan Laboratorium Penyakit von Willebrand :
Karakteristik Tipe I Tipe IIa Tipe IIb Tipe IIc Tipe III Platelet type
Herediter Otosomal Otosomal Otosomal Otosomal Otosomal Otosomal
dominan dominan dominan dominan dominan dominan
Waktu Meman- Meman- Meman- Meman- Meman- Memanjang
perdarahan jang jang jang jang jang
Analisis vWF Normal Tidak ada Tidak ada Penurunan Kelainan Penurunan
Multimer multimer multimer multimer variabel multimer
(elektrofore- ukuran ukuran ukuran ukuran besar
sis) sedang besar besar, pe- (konsumsi
dan besar ningkatan oleh
multimer trombosit)
ukuran
kecil
144
Catatan : terdapat tambahan variasi vWf yaitu IIM dan IIN
Tipe IIM jarang, kelainanotosomal dominan yang ditandai dengan
menurunnya kemampuan ikatan vWF terhadap GP Ib. Mutasi terletak di
loop A1 dari faktor vWF pada regio yang berbeda dari mutasi yang
menyebabkan tipe IIB, perdarahan lebih hebat.
Tipe IIN (N=Normandy), jarang, otosomal resesif trait, mutasi terletak di
terminal N dari faktor vWF monomer matur ditempat pengikatan dengan
F VIII, menyebabkan penurunan ikatan F VIII, dapat salah diagnosa
sebagai Hemofili A, tipe ini perlu dicurigai pada pasien wanita yang
menunjukkan defisiensi F VIII.
Diagnosis :
Riwayat perdarahan, waktu perdarahan memanjang, faktor VIII menurun.
Terapi :
Tergantung tipe penyakit :
Tipe I : DDAVP
Tipe II A : DDAVP
Tipe II B : DDAVP tidak diberikan karena dapat menimbulkan agregasi
trombosit, maka diberikan konsentrat faktor VIII yang
banyak mengandung vWF.
Tipe III : tidak memberikan respon terhadap DDAVP, maka diberikan
konsentrat faktor VIII yang banyak mengandung vWF.
DDAVP (Desmopressin = 1 – deamino 8 D – arginin vasopressin) :
0,3 ug/kg dalam NaCl 50cc selama 20 menit atau nasal spray 300 ug
perlubang hidung, bila BB <50 kg cukup 150 ug pada satu lubang
hidung saja.
Efek samping : hiponatremi dan takhipilaksis (berkurangnya respon
terhadap peningkatan dosis pada pemberian berikutnya)
Humate P : sediaan faktor VIII yang mengandung banyak vWF
Alphanate, Koate HP : sediaan faktor VIII yang mengandung vWF dalam
jumlah sedang
Kriopresipitat : mengandung faktor VIII, fibrinogen dan faktor von
Willebrand (40 – 70% kadar vWF plasma)
Terapi lain :
Antifibrinolitik : Asam traneksamat 3 x 10 mg/iv
Epsilon amino caproic acid (EACA) 4 x 25-50 mg/kg po
IVIG (immune acquired inhibitors of vWF) 1 gr/kg selama 2 hari diinfus 8 –
12 jam.
145
KOAGULASI INTRAVASKULER
DISEMINATA (KID)
Definisi :
Koagulasi intravaskuler diseminata adalah sindroma dengan karakteristik adanya
aktivasi koagulasi intravaskuler yang bersifat sistemik, mengakibatkan deposisi
fibrin yang luas di dalam sirkulasi dan trombosis pada pembuluh darah kecil dan
sedang.
146
Kelainan hati akut :
Ikterus obstruktif
Gagal hati akut
Prosthetic devices :
Leveen atau Denver shunts
Aortic balloon assist devices
Reaksi terhadap toksin : bisa ular
Kelainan vaskuler :
Giant hemangioma (Kasabach – Merritt syndrome)
Aneurisma aorta
Kelainan obstetrik :
Emboli cairan amnion
Abruptio plasenta
Retained fetus syndrome
Eklampsia
Abortus
147
Patogenesis dan Patofisiologi :
SIRS
Jalur koagulasi TF
Pembentukan trombin
Konsumsi trombosit
Konsumsi AT, Faktor V dan VIII
KID
protein C Fibrinogen
Faktor koagulasi lain
MOD Iskemi
MAHA
Inhibisi trombin,
FDP
Fibrinolisis agregasi trombosit,
D-dimer
polimerisasi fibrin
Keutuhan vaskuler
Deposisi fibrin
Perdarahan
Trombosis
mikrovaskuler
PRESENTASI KLINIS
149
Pemeriksaan Penunjang :
1. Aktivasi prokoagulan.
Peningkatan fragmen protrombin 1 dan 2
Peningkatan fibrinopeptide A
Peningkatan kompleks trombin-antitrombin
Peningkatan D-dimer
Peningkatan fibrin monomer solubel
2. Aktivasi fibrinolisis.
Peningkatan D-dimer
Peningkatan produk degradasi fibrin
Peningkatan plasmin
Peningkatan kompleks plasmin-antiplasmin
Peningkatan fibrin monomer solubel
3. Konsumsi inhibitor.
Penurunan AT III
Penurunan -2-antiplasmin
Penurunan heparin kofaktor II
Penurunan protein C atau S
Peningkatan kompleks trombin-antitrombin
Peningkatan kompleks plasmin-antiplasmin
4. Kerusakan organ.
Peningkatan LDH
Peningkatan kreatinin
Penurunan pH
Penurunan pAO2
150
Algoritme Diagnostik :
Tidak Ya
Skor KID :
Trombosit (/mm3) :
> 100.000 =0
< 100.000 =1
< 50.000 =2
D-dimer :
tidak meningkat =0
meningkat sedang =2
meningkat tinggi =3
Pemanjangan waktu
protrombin :
< 3 detik =0
> 3 detik, < 6 detik =1
> 6 detik =2
Kadar fibrinogen :
> 1 gr/L =0
< 1 gr/L =1
151
Program Pengobatan :
Keputusan terapi KID harus bersifat individual setelah mempertimbangkan semua
aspek klinik yang penting. Di bawah ini merupakan pedoman umum dalam
pengelolaan KID.
KID
152
2. Komponen darah
Penggantian faktor-faktor koagulasi :
FFP (fresh frozen plasma) 1 – 2 unit, tergantung beratnya
kekurangan faktor koagulasi dan berat badan penderita.
Kriopresipitat 8 – 10 unit. Kriopresipitat digunakan untuk menaikkan
kadar fibrinogen dan faktor VIII secara cepat, terutama bila terjadi
perdarahan dan kadar fibrinogen < 100 mg/dl.
Suspensi trombosit :
Ambang jumlah trombosit sebagai indikasi diberikannya suspensi trombosit
tergantung keadaan dan penyakit dasar penderita. Pemberian 6 – 10 unit
konsentrat trombosit atau aferesis akan menaikkan trombosit menjadi
50.000 – 100.000/ml.
3. Activated protein-C
Pemberian activated protein C (APC) terbukti bermanfaat dalam menurunkan
mortalitas sebesar 6,1% dalam penelitian uji acak tersamar ganda, kontrol
plasebo pada 1690 penderita KID karena sepsis. Dengan pemberian APC
terdapat penurunan risiko relatif kematian dalam 28 hari sebesar 19,4% .
4. Heparin
Pemberian heparin pada KID masih kontroversial. Tidak ada laporan
penelitian yang menunjukkan adanya manfaat heparin dalam menurunkan
mortalitas pada KID. Pada KID efek antikoagulan heparin berkurang karena
pada umumnya terjadi penurunan AT dan adanya fibrin monomer yang
melindungi trombin dari proses inaktivasi oleh kompleks heparin-AT.
Heparin bermanfaat pada keadaan :
KID kronik (seperti metastase karsinoma), purpura fulminan, aneurisma
aorta (sebelum reseksi), dan pada keadaan tromboemboli. Pada
keadaan-keadaaan ini infus kontinu heparin 500 – 750U/jam tanpa bolus
mungkin cukup adekuat.
Heparin mungkin bermanfaat pada KID akut bila setelah terapi
komponen darah secara intensif gagal memperbaiki perdarahan masif
atau adanya trombosis yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Pada keadaan ini heparin diberikan bolus 5000 – 10000 U bersamaan
dengan komponen darah, diikuti 500 – 1000 U/jam infus kontinu.
5. Fibrinolisis inhibitor
Fibrinolisis inhibitor (seperti asam aminokaproat / asam traneksamat) tidak
boleh diberikan pada KID karena akan menghambat fibrinolisis yang akan
mengganggu perfusi jaringan. Pemberian fibrinolisis inhibitor pada KID akan
menyebabkan trombosis.
Pada keadaan-keadaan di mana KID disertai fibrinogenolisis primer (APL,
giant hemangioma, heat stroke, emboli air ketuban, beberapa penyakit hati,
metastasis karsinoma prostat), pemberian fibrinolisis inhibitor dapat
dipertimbangkan pada keadaan :
Perdarahan masif yang tidak berespon dengan terapi pengganti
komponen darah
153
Terbukti adanya fibrinogenolisis (pemendekan waktu lisis euglobulin)
Pada keadaan-keadaan tersebut, pemberian fibrinolisis inhibitor harus
didahului dengan pemberian komponen darah dan heparin.
6. Terapi yang terbukti tidak/belum bermanfaat
Antitrombin (AT)
AT memperbaiki skor KID, tetapi tidak memperbaiki kelangsungan hidup.
Pemberian AT III direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila
aktivitas AT III < 70 % dengan tujuan memperbaiki keadaan KID dan
disfungsi organ.
Dosis pemberian : 3000 IU (50 IU/kg BB) diikuti 1500 IU setiap 8 jam
dengan infus kontinu selama 3-5 hari . Substitusi AT III dapat diberikan
berdasarkan rumus :
1 IU x berat badan (kg) x defisit AT III (%), dengan target AT III > 120 %
154
FIBRINOLISIS PRIMER
Definisi :
Fibrinolisis primer (fibrinolisis sistemik) adalah kelainan klinis yang diakibatkan
adanya enzim fibrinolitik yang bersirkulasi dalam bentuk aktif dan mempengaruhi
protein koagulasi dan sumbat hemostasis dalam vaskuler.
Etiologi :
Herediter : defisiensi 2- antiplasmin
Didapat : terapi trombolisis, keganasan (lekemi promielositik akut, karsinoma
prostat), bypass, kardiopulmonal, penyakit hati, amiloidosis, transplantasi
hati ortotopik, heat stroke, hipoksi, hipotensi.
Patofisiologi :
Fibrinolisis sistemik terjadi bila :
Bertambahnya aktivator plasminogen
Defisiensi inhibitor fibrinolisis
Berkurangnya hepatic clearance aktivator plasminogen, plasmin.
155
Mekanisme Fibrinolisis Primer :
Mekanisme Contoh
Aktivator plasminogen dalam Terapi trombolisis, keganasan,
sirkulasi bypass kardio pulmonal
Berkurangnya inhibitor ( 2 – Penyakit hati, amiloidosis, kelainan
antiplasmin, plasminogen herediter
aktivator inhibitor –1)
Berkurangnya hepatic clearance Transplantasi hati ortotopik,
plasmin, aktivator plasminogen penyakit hati lanjut dengan
hipertensi portal
Penyebab Mekanisme
Lisis sumbat hemostasis Aktivator plasminogen atau plasmin dalam
sirkulasi
156
Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium pada fibrinolisis primer :
Terapi :
Terapi penyakit dasar : terapi lekemi promielositik akut
Perdarahan pada terapi trombolisis : penghentian terapi fibrinolisis, karena
half life yang singkat (5 – 30 menit), obat-obat tersebut akan cepat
diekskresi.
Pada fibrinolisis primer yang berlangsung kronik dan ringan tidak diperlukan
terapi antifbrinolisis
Pada fibrinolisis primer yang berat disertai menifestasi perdarahan dapat
diberikan transfusi komponen darah untuk memperbaiki koagulasi dan fungsi
trombosit. Transfusi yang dapat diberikan antara lain : fresh frozen plasma,
2 – antiplasmin, kriopresipitat dan transfusi trombosit.
Antifibrinolitik :
157
PENDEKATAN DIAGNOSIS PENDERITA
DENGAN GANGGUAN PERDARAHAN
Anamnesis :
Onset perdarahan :
Perdarahan pada neonatus : hemofilia, hemorrhagic disease of the newborn,
hipofibrinogenemi,disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII
Perdarahan segera setelah trauma : gangguan vaskuler
Perdarahan yang timbul beberapa saat setelah trauma atau berulang
merupakan karakteristik gangguan koagulasi
Manifestasi perdarahan : perdarahan kulit, selaput lendir, sendi
Pada satu lokasi : kemungkinan karena defek lokal
Pada beberapa lokasi : gangguan hemostatik
Perdarahan berat yang tidak sesuai dengan trauma menunjukkan adanya
gangguan hemostasis
Riwayat perdarahan sebelumnya
Riwayat keluarga :
Kelainan perdarahan yang diturunkan secara :
Otosomal dominan : teleangiektasi herediter hemoragik
X-linked recessive : hemofili A, hemofili B
158
Perdarahan traumatik
Pada penderita dengan gangguan koagulasi, onset perdarahan biasanya
terjadi beberapa jam setelah tindakan yang disebabkan karena adanya
mekanisme hemostatik sementara dari sumbat trombosit. Pada penderita
dengan trombositopeni, perdarahan post trauma/operasi terjadi segera
setelah tindakan tersebut.
Penyakit-penyakit dasar / keadaan yang dapat menyebabkan gangguan
koagulasi : lekemi promielositik akut, koagulasi intravaskuler diseminata,
gangguan faal hati, terapi antibiotika, defisiensi vitamin K.
Riwayat obat-obatan : obat-obat dapat menyebabkan trombositopeni atau
purpura vaskuler, gangguan fungsi trombosit, anemi aplastik, gangguan
koagulasi.
Obat-obat penyebab trombositopeni : acetazolamide, alopurinaol,
amiodaron,ampisilin, aspirin, karbamazepin, klorokuin, klorfeniramin,
klorpromazin, simetidin, sefalosporin, kodein, digitalis, eritromisin,
furosemid, gentamisin, indometasin, isoniazid, lidokain, nitrofurantoin,
nitroprusid, fenasetin, fenobarbital, fenitoin, prednison, propiltiourasil,
reserpin, spironolakton, tetrasiklin, trimetoprim, heparin, metildopa,
estrogen, rifampisin, kinin, diazepam, heparin, sefaleksin, sefalotin,
difenilhidantoin, diazepam, bleomisin.
Obat-obat penyebab purpura vaskuler : iodida, beladona, atropin, kinin,
penisilin prokain, fenasetin, aspirin, kloralhidrat, sulfonamid, kumarin.
Pemeriksaan Fisik :
Manifestasi pedarahan :
Petekie : disebabkan karena abnormalitas pembuluh darah dan
trombosit, jarang terjadi pada gangguan koagulasi, berupa perdarahan
kapiler sebesar ujung jarum.
Ekimosis : dapat disebabkan karena gangguan koagulasi
Hemartrosis : merupakan karakteristik gangguan koagulasi herediter
(hemofili A dan B), jarang pada gangguan trombosit, vaskuler atau
kelainan koagulasi didapat.
Perdarahan subperiosteal : sering didapatkan pada anak-anak dengan
Scurvy
Pembengkakan sendi disertai nyeri sering didapatkan pada purpura
alergi, kadang-kadang sulit dibedakan dengan hemartrosis.
menoragi, metoragi, hematuri, hematemesis, melena, epistaksis,
perdarahan gusi :
Manifestasi perdarahan tersebut sering didapatkan pada gangguan
vaskuler dan koagulasi.
Menoragi dapat merupakan manifestasi utama perdarahan pada
penderita penyakit von Willebrand, trombositopeni atau gangguan
koagulasi herediter. Perdarahan gastrointestinal berulang atau epistaksis
159
tanpa disertai manifestasi perdarahan lainnya sering didapatkan pada
Teleangiektasi hemoragik herediter. Gangguan koagulasi atau gangguan
trombosit harus dipertimbangkan bila hanya didapatkan hematuri yang
masif.
Perdarahan kavitas serosa dan fasia interna :
Perdarahan retroperitoneal atau psoas sheat pada hemofili dapat
menimbulkan gejala menyerupai apendisitis, sedangkan perdarahan
usus dapat menimbulkan gejala menyerupai obstuksi usus. Purpura
alergi dapat memberikan gejala menyerupai akut abdomen.
Perdarahan susunan saraf pusat :
Didapatkan pada keadaan trombositopeni dan dapat terjadi setelah
trauma pada penderita dengan gangguan koagulasi.
Perdarahan retina :
Sering didapatkan pada keadaan trombositopeni dan gangguan
vaskuler, jarang pada penderita dengan gangguan koagulasi.
Hematoma di orbita : sering didapatkan pada penderita dengan
gangguan koagulasi.
Hemoptisis : jarang disebabkan karena gangguan perdarahan.
Adanya manifestasi perdarahan yang disertai fenomena trombosis atau
perdarahan dari tempat pengambilan darah yang semula intak menunjukkan
adanya koagulasi intravaskuler diseminata.
Gangguan penyembuhan luka, dehihensi, pembentukan jaringan parut yang
abnormal dapat ditemukan pada afibriogenemi herediter, disfibrinogenemi
dan defisiensi faktor XIII.
Gangguan Trombosit /
Gangguan
Gambaran Klinis Vaskuler (Purpuric
Koagulasi
Disorders)
Petekhi Jarang Karakteristik
Hematom Karakteristik Jarang
Ekimosis superfisial Sering, biasanya Karakteristik, biasanya kecil dan
besar dan soliter multipel
Hemartrosis Karakteristik Jarang
Perdarahan dengan Sering Jarang
onset lambat
Perdarahan dari Minimal Persisten, sering perdarahan
luka superfisial/ hebat
goresan
Jenis kelamin 80 – 90% laki-laki Relatif lebih sering pada wanita
Riwayat keluarga Sering Jarang
160
Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium untuk faal hemostasis dapat digolongkan ke dalam :
Pemeriksaan penyaring :
Test pembendungan (Rumpel Leede)
Masa perdarahan
Hitung trombosit
Masa protrombin (prothrombin time,PT)
Masa tromboplastin parsial teraktivasi (Activated partial thromboplastin
time, APTT)
Masa trombin (Thrombin time, TT)
Pemeriksaan penyaring untuk faktor XIII
Pemeriksaan khusus :
Fibrinogen
Test agregasi trombosit
Faktor pembekuan
Inhibitor koagulasi
Waktu lisis euglobulin
Fibrinogen/fibrin degradation product
Pemeriksaan Penyaring :
1. Test bendungan (Rumpel Leede)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji ketahanan dinding kapiler darah
dengan cara pembendungan vena sehingga tekanan darah di dalam kapiler
meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah
keluar dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga timbul peteki.
Dilakukan pembendungan pada tekanan antara sistolik dan diastolik selama
10 menit, jika test ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup
dipertahankan selama 5 menit. Diperiksa adanya peteki di kulit lengan
bawah bagian voler pada daerah dengan garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm
dari lipat siku. Pada orang normal tidak atau sedikit sekali didapatkan peteki.
Hasil positif bila terdapat lebih dari 10 peteki. Hasil positif juga didapatkan
pada keadaan trombositopeni.
2. Masa perdarahan
Pemeriksaan ini terutama menilai faktor-faktor hemostasis yang letaknya
ekstravaskuler, tetapi pemeriksaan ini juga dipengaruhi keadaan dinding
kapiler dan trombosit. Prinsip pemeriksaan adalah menentukan lamanya
perdarahan pada luka yang mengenai kapiler. Terdapat 2 cara yaitu :
Cara Ivy : dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg pada lengan
atas, kulit lengan bawah voler diregangkan lalu dilakukan tusukan
dengan lanset sedalam 3 mm. Stopwatch dijalankan waktu darah keluar.
Setiap 30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Setelah darah tidak
keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkisar antara 1 –
6 menit.
161
Cara Duke : dilakukan tusukan pada tepi anak daun telinga, darah
dihisap dengan kertas saring seperti pada cara Ivy. Nilai normal berkisar
antara 1 – 3 menit.
3. Hitung trombosit :
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung.
Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik dan
otomatik. Pada cara manual, darah diencerkan dengan larutan Rees Ecker
atau ammonium oksalat 1%, diisikan ke dalam kamar hitung dan jumlah
trombosit dihitung di bawah mikroskop. Cara manual mempunyai ketelitian
dan ketepatan yang kurang baik,karena trombosit kecil sekali sehingga sukar
dibedakan dengan kotoran. Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai
alat electronic particle counter sehingga ketelitiannya lebih baik dari pada
cara manual, akan tetapi sel-sel yang besar (giant thrombocyte) tidak ikut
terhitung sehingga jumlah trombosit yang dihitung menjadi lebih rendah.
Pada cara tidak langusng, jumlah trombosit pada sediaaan hapus
dibandingkan dengan jumlah eritrosit, kemudian jumlah mutlaknya dapat
diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit.
4. Masa protrombin plasma (prothrombin time, PT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur
ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin
dan fibrinogen. Selain itu dapat juga dipakai untuk memantau efek
antikoagulan oral karena obat tersebut menghambat pembentukan
protrombin, faktor VII, IX dan X. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur
lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma yang diinkubasi pada suhu
370 C ditambahkan reagen tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Hasil
pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yang dipakai. Nilai
normal berkisar antara 11 – 15 detik. Hasil PT yang memanjang dapat
disebabkan kekurangan faktor-faktor pembekuan di jalur ekstrinsik dan
bersama atau adanya inhibitor. Untuk membedakan hal ini, pemeriksaan
diulang dengan menggunakan campuran plasma pnederita dan plasma
kontrol dengan perbandingan 1 : 1. Bila ada inhibitor, PT akan tetap
memanjang. PT sebaiknya dilaporkan dengan menggunakan INR
(International Normalized Ratio). Tromboplastin jaringan yang digunakan
harus dikalibrasi dahulu terhadap tromboplastin rujukan untuk mendapatkan
ISI (International Sensitivity Index).
PT penderita
= rasio PT
PT kontrol
162
5. Masa tromboplastin parsial teraktivasi (Activated parsial thromboplastin time,
APTT).
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur
intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor XII, prekalikrein, kininogen, faktor XI,
IX, VIII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Prinsip pemeriksaan ini adalah
mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma ditambahkan
reagen tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium pada suhu
370 C. Reagen tromboplastin parsial adalah fosfolipid sebagai pengganti
platelet factor 3. Nilai normal berkisar antara 20 – 40 detik. APTT akan
memanjang bila terdapat kekurangan factor pembekuan di jalur intrinsik dan
bersama atau bila terdapat inhibitor. Sama seperti PT, untuk membedakan
hal ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap campuran plasma penderita
dan plasma kontrol dengan perbandingan 1 : 1. Bila hasilnya tetap
memanjang, berarti ada inhibitor. Pada hemofili A dan B, APTT akan
memanjang. Pemeriksaan ini dapat juga dipakai untuk memantau pemberian
heparin.
6. Masa trombin (Thrombin time, TT)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi
fibrin. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan
pada suhu 370 C bila di dalam plasma ditambahkan reagen trombin. Nilai
normal tergantung kadar trombin yang dipakai dan berkisar antara 16 – 20
detik. Hasil TT dipengaruhi oleh kadar dan fungsi fibrinogen serta ada
tidaknya inhibitor. Hasil TT memanjang bila kadar fibrinogen < 100 mg/ml
atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor trombin seperti
heparin atau FDP (fibrinogen degradation product).
7. Pemeriksaan penyaring untuk faktor XIII
Pemeriksaan ini dimasukkan dalam pemeriksaan penyaring, karena baik PT,
APTT maupun TT tidak menguji faktor XIII. Pemeriksaan ini digunakan untuk
menilai kemampuan faktor XIII dalam menstabilkan fibrin. Prinsipnya faktor
XIII mengubah fibrin solubel menjadi fibrin stabil karena terbentuknya ikatan
cross link. Bila tidak ada faktor XIII, ikatan dalam molekul fibrin akan
dihancurkan oleh urea 5 M atau monokhlorasetat 1%. Cara pemeriksaannya
adalah dengan memasukkan bekuan fibrin ke dalam larutan urea atau asam
monokhloroasetat 1%, kemudian setelah 24 jam dilakukan penilaian
stabilitas bekuan. Bila faktor XIII cukup, setelah 24 jam bekuan fibrin tetap
stabil dalam larutan urea 5 M. Jika terdapat defisiensi faktor XIII bekuan
akan larut kembali dalam waktu 2 – 3 jam.
Pemeriksaan Khusus :
1. Fibrinogen
Kadar fibrinogen dapat menurun pada keadaan :
Koagulopati didapat : koagulasi intravaskuler diseminata, gangguan
fungsi hati, keadaan fibrinolitik
163
Koagulopati herediter : afibrinogenemi, disfibrinogenemi,
hipofobronogenemi.
Kadar normal berkisar antara 175 – 400 mg/dl. Kadar minimal untuk
hemostasis normal berkisar antara 75 – 100 mg%.
2. Waktu lisis euglobulin
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui aktivitas fibrinolitik. Fraksi
euglobulin dalam plasma yang mengandung sitrat akan membentuk bekuan
darah, kemudian dicatat waktu terjadinya lisis spontan pada suhu 370 C.
Pada keadaan normal, waktu lisis euglobulin berkisar antara 60 – 300 menit.
Pemendekan waktu lisis euglobulin didapatkan pada stres berat, setelah
pemberian infus DDAVP (1-desamino-8-D-arginine vasopressin) pada orang
normal atau pada keadaan hiperfibrinolitik (penyakit hati, defisiensi - 2
antiplasminogen, defisiensi PAI –1 (Plasminogen activator inhibitor-1), juga
pada fibrinolisis sistemik.
Pemanjangan waktu lisis euglobulin didapatkan pada trombosis vena dan
kelainan ginjal.
3. Fibrinogen-fibrin degradation products (FDP)
Pemeriksaan ini digunakan untuk konfirmasi adanya koagulasi intravaskuler
diseminata dan fibrinogenolisis.
FDP merupakan fragmen protein yang dihasilkan oleh aktivitas proteolitik
plasmin terhadap fibrin atau fibrinogen.
Kompleks fibrin monomer dengan fragmen X, Y atau fibrin soluble (test
protamin sulfat atau etanol)
D-dimer : mendeteksi cross-linked fibrin dengan menggunakan antibodi
monoklonal.
4. Test agregasi trombosit
Untuk menilai fungsi trombosit. Adanya gangguan agregasi trombosit
didapatkan pada : Trombasteni, penyakit von Willebrand. Dapat digunakan
test agregasi dengan menggunakan ADP (adenosin diphosphat), epinefrin,
kolagen, ristosetin atau asam arakhidonat.
5. Pemeriksaan bioassay faktor koagulasi
Pemeriksaan faktor koagulasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan penyaring
PT, aPTT.
Prinsip pemeriksaan adalah menilai seberapa besar koreksi abnormalitas
koagulasi yang dapat dilakukan sampel darah yang diperiksa terhadap
plasma yang sudah diketahui defisiensi faktor koagulasinya. Besarnya koreksi
ini diasumsikan sebanding dengan kadar faktor yang mengalami defisiensi
pada sampel darah. Kadar faktor-faktor koagulasi normal pada plasma
berkisar antara 50 – 200 U/dl.
6. Test inhibitor koagulasi
Adanya inhibitor koagulasi dapat ditentukan dengan adanya pemanjangan
test penyaring pembekuan (misalnya aPTT) yang tidak menjadi normal pada
pemeriksaan ulangan setelah pencampuran plasma penderita dan plasma
kontrol dengan perbandingan 50 : 50.
164
Penggunaan Test Penyaring Koagulasi :
Penderita rawat jalan dengan riwayat perdarahan : trombosit, waktu
perdarahan, APTT, PT, TCT dan fibrinogen
Penderita rawat inap dengan penyakit dasar : trombosit, waktu perdarahan,
APTT, PT, TCT, fibrinogen, FDP, dan waktu lisis euglobulin (bila diperlukan)
Perdarahan pada bayi baru lahir : trombosit, PT, fibrinogen, FDP
165
TROMBOSIS
Definisi :
Trombosis adalah pembentukan dan perluasan bekuan darah abnormal dalam
pembuluh darah .
Trombosis melibatkan faktor aliran darah, pembuluh darah, perlekatan trombosit
ke endotel vaskuler dan sistem koagulasi.
Klasifikasi :
Berdasarkan komposisi trombus :
Komposisi trombus dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah di tempat
trombus terbentuk. Pada umumnya trombus yang banyak mengandung
trombosit terbentuk pada daerah dengan aliran darah yang cepat,
sedangkan trombus yang banyak mengandung eritrosit dan fibrin terbentuk
di daerah stasis.
White thrombus : biasanya terdapat di arteri, terutama terdiri dari
trombosit
Red thrombus : ditemukan di vena, terutama terdiri dari fibrin dan
eritrosit
Mixed thrombus : komposisinya merupakan gabungan white thrombus
dan red thrombus
166
Etiologi dan Faktor Predisposisi :
Faktor predisposisi tromboembolisme arteri dan vena terbagi menjadi keadaan-
keadaan yang didapat dan herediter.
Didapat Herediter
Usia (> 40 tahun) Activated protein C resistance
Riwayat tromboembolism Prothrombin G20210A
Operasi Defisiensi Antithrombin
Trauma Defisiensi Protein C
Stroke iskemik Defisiensi Protein S
Penyakit paru kronik Disfibrinogenemi
Gagal nafas
Pneumonia
Infeksi
Penyakit kolagen vaskuler aktif
Penggunaan kateter vena sentral
Imobilisasi lama
Kanker tertentu
Penyakit jantung kongestif
Miokardial infark yang baru terjadi
Paralisis tungkai
Penggunaan estrogen/kontrasepsi oral
Sindroma nefrotik
Kehamilan atau masa postpartum
Varises vena
Obesitas
Sindroma antifosfolipid antibodi
Hiperhomosisteinemi
167
Faktor Risiko Berdasarkan Tempat Terjadinya Trombosis :
168
Pembersihan faktor-faktor koagulasi aktif dan kompleks fibrin polimer solubel
oleh fagosit mononuklear dan hati
Lisis fibrin oleh enzim fibrinolitik yang berasal dari plasma dan sel endotel
169
Pada vena aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada
vena tungkai yang mengalami imobilisasi. Stasis menyebabkan gangguan
mekanisme pembersihan sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor
pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya dimulai di tempat yang
mengalami stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katup
(valve-pocket thrombi).
Kecepatan aliran darah dipengaruhi viskositas darah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi viskositas darah adalah :
Nilai hematokrit : bila hematokrit naik dari 40% menjadi 50%, maka
viskositas naik 2 kali
Kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk : untuk melewati pembuluh
darah yang kecil, eritrosit harus mampu merubah bentuknya.
Kemampuan merubah bentuk ini tergantung dari sifat membran eritrosit.
Protein dengan berat molekul besar : fibrinogen, makroglobulin.
Interaksi eritrosit dengan protein-protein tersebut mengakibatkan
pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan viskositas darah.
Perubahan daya beku darah :
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara sistem pembekuan
darah dan system fibrinolisis. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas
sistem pembekuan darah meningkat dan atau sistem fibrinolisis menurun.
Patofisiologi Trombosis :
Trombosis Trombosis
Arteri Vena
Hiperkoagulabilitas
Abnormalitas Abnormalitas
komponen trombosit Aktivasi Koagulasi
darah
Fibrinogen
Aktivasi abnormal
trombosit Trombositosis
Defisiensi
fibrinolisis
Defisiensi inhibitor
fisiologik
Hipertensi Stasis
Abnormalitas
Atero Trauma Hipotoni vena
dinding
sklerosis erosi (kehamilan)
pembuluh
darah
Defisiensi
fibrinolisis
170
Presentasi Klinis :
Tromboemboli vena terdiri dari trombosis vena dalam dan emboli paru. Pada
90% kasus emboli paru, thrombus berasal dari vena-vena dalam di tungkai.
171
Emboli paru
Gambaran klinis Nilai
gambaran klinis DVT 3
Diagnosis selain emboli paru kurang mungkin 3
Denyut jantung > 100 kali/menit 1,5
Imobilisasi dan pembedahan (dalam 4 minggu 1,5
sebelumnya)
DVT atau emboli paru sebelumnya 1,5
Hemoptisis 1
Keganasan 1
Pemeriksaan Penunjang :
D-dimer
USG : kompresi vena
Venografi
Sidik ventilasi dan perfusi paru
Spiral CT
Angiografi pulmonal
MRI
Ankle-brachial index (ABI)
172
Algoritme Diagnosis Trombosis Vena Dalam :
Kecurigaan klinis
trombosis vena dalam
D-dimer dan/atau
USG kompresi tungkai
D-dimer (-) dan USG D-dimer (+) atau tidak USG kompresi (+)
kompresi (-) / tidak dapat dilakukan dan
dilakukan USG kompresi (-)
Kecurigaan klinis
emboli paru
D-dimer (-) dan Spiral CT (-) D-dimer (+) atau tidak D-dimer (+) atau tidak dilakukan
atau tidak dilakukan dan dilakukan dan Spiral CT (+) dan Spiral CT (-) dan
USG kompresi (-) atau tidak atau USG kompresi (+) USG kompresi (-)
dilakukan
173
Evaluasi Kedaan Hiperkogulabel Berdasarkan Kondisi Klinis :
Penderita asimptomatik tanpa riwayat keluarga Tidak ada rekomendasi yang pasti untuk
dengan paparan faktor risiko : kehamilan, pemeriksaan skrining
kontrasepsi oral, operasi mayor atau imobilisasi
174
Pengobatan :
Tujuan pengobatan :
1. Mencegah kematian akibat emboli paru
2. Mencegah morbiditas dari terjadinya rekuren trombosis vena atau emboli
paru
3. Mencegah atau mengurangi sindroma pasca trombosis
4. Mencegah disfungsi organ
1. Terapi antikoagulan
Merupakan terapi terpilih untuk sebagian besar penderita dengan trombosis
vena proksimal atau emboli paru.
Kontraindikasi absolut :
Perdarahan intrakranial
Perdarahan aktif yang berat
Operasi otak, mata atau medula spinalis yang baru dilakukan
Hipertensi maligna
Kontraindikasi relatif :
Operasi mayor yang baru dilakukan
Cerebrovascular accident yang baru terjadi
Perdarahan aktif traktus gastrointestinal
Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat
Hipertensi berat
Trombositopeni berat ( < 50.000/mm3)
Obat Regimen
Enoxaparin 1,0 mg/kg dua kali sehari
Dalteparin 200 IU/kg sekali sehari
Tinzaparin 175 IU/kg sekali sehari
Nadroparin 6150 IU dua kali sehari (untuk 50-70 kg)
Reviparin 4200 IU dua kali sehari (untuk 46-60 kg)
Fondaparinux 7,5 mg sekali sehari (untuk 50-100 kg)
175
b. Antikoagulan oral :
Pemberian jangka panjang antikoagulan oral diperlukan untuk
mencegah tingginya frekwensi (15 – 25%) ekstensi trombosis
simtomatik dan atau berulangnya tromboemboli vena.
Vitamin K antagonis (misalnya warfarin) merupakan antikoagulan
terpilih.
Pemberian antikoagulan oral dimulai bersamaan dengan heparin
atau LMWH dengan overlap selama 4 – 5 hari.
Dosis disesuaikan untuk mempertahankan INR antara 2 – 3.
Lama pemberian terapi antikoagulan :
Minimal 3 bulan
Diberikan pada penderita trombosis vena proksimal atau emboli paru
yang pertama kali yang terjadi sekunder karena faktor risiko yang
sementara dan reversibel.
Minimal 6 – 12 bulan
Diberikan pada penderita trombosis vena proksimal atau emboli paru
yang pertama kali yang terjadi idiopatik. Dapat dipertimbangkan
pemberian antikoagulan dalam waktu tidak terbatas (seumur hidup).
Pada penderita sindroma antifosfolipid atau ≥ 2 keadaan trombofilik
(misalnya kombinasi faktor V Leiden dan mutasi gen prothrombin
20210A) direkomendasikan pemberian antikoagulan minimal selama
12 bulan dengan pertimbangan pemberian terapi antikoagulan seumur
hidup.
Pada penderita episode pertama tromboemboli dengan defisiensi
antitrombin, protein C atau protein S atau faktor V Leiden atau mutasi
gen prothrombin 20210A, hiperhomosisteinemia atau tingginya faktor
VIII (> 90th persentil), lamanya pemberian antikoagulan bersifat
individual, setelah minimum diberikan selama 6 – 12 bulan.
Dalam waktu tidak terbatas (indefinite)
Oral antikoagulan diberikan seumur hidup pada sebagian besar pasien
dengan tromboemboli vena episode kedua, trombosis yang
mengancam jiwa : emboli paru masif, trombosis serebral, mesenterik,
porta atau hepatik, antibodi antifosfolipid, defisiensi antitrombin.
c. Inhibitor trombin langsung :
Ximelagatran 24 mg diberikan 2 kali sehari per oral
Tidak memerlukan pemantauan dan titrasi dosis
Diberikan sebagai pengobatan jangka panjang setelah terapi
antikoagulan standar selama 6 bulan
176
Kejadian perdarahan mayor pada pemberian heparin intravena, LMWH
atau fondaparinux adalah 1 – 2%. Perdarahan mayor terjadi pada kira-
kira 2% penderita dengan terapi antikoagulan oral (antagonis vitamin K)
pada 3 bulan pertama pengobatan.
Heparin-induced thrombocytopenia
Heparin atau LMWH dapat menyebabkan trombositopenia. Kejadian
trombositopeni < 1 % pada terapi heparin atau LMWH.
Bila dicurigai terjadi heparin-induced thrombocytopenia, heparin harus
dihentikan dan diberikan terapi antikoagulan danaparoid, lepirudin atau
argatroban.
Terdapat 2 tipe HIT:
HIT tipe I (non imun, non idiosinkrasi) :
Episode trombositopeni terjadi dalam waktu dini setelah
paparan, biasanya dalam beberapa hari pertama pada
penderita yang belum pernah mendapat heparin atau dalam
beberapa jam pada penderita yang pernah mendapat heparin
sebelumnya
Trombositopeni ringan : penurunan jumlah trombosit 10 – 20%
Tidak ada manifestasi klinik
Mekanisme : agregasi trombosit yang diinduksi oleh heparin
Terjadi sementara, jumlah trombosit akan kembali normal
walaupun pemberian heparin diteruskan
Tidak diperlukan terapi
HIT tipe II (imun) :
Onset antara hari ke 3 – 14 (median 10 hari)
Jumlah trombosit terendah biasanya 30.000 – 60.000/mm3,
dapat sampai 5000/mm3
Definisi yang paling tepat adalah didapatkannya penurunan
jumlah trombosit sebesar 50% dari jumlah trombosit awal
Terbanyak ditemukan pada pemberian unfractionated heparin
secara infus kontinu. Dapat terjadi pada heparin flush
500 U/jam, heparin-coated catheher 3U/jam. Kejadian lebih
banyak ditemukan pada pemberian heparin IV dibandingkan
subkutan
Kejadian terbanyak ditemukan pada unfractionated heparin
bovine, diikuti porcine, kemudian LMWH
Dapat terjadi dalam beberapa jam pada penderita yang pernah
mendapat heparin sebelumnya
Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan heparin-associated
antibody assay
Jumlah trombosit kembali normal bila heparin dihentikan
177
Pengelolaan HIT tipe II :
Hentikan heparin
Terapi antitrombotik :
Lepirudin 0.4 mg/kg bolus diikuti infus 0.15 m/kg dan
disesuaikan untuk mempertahankan aPTT 1.5 – 3 kali median
aPTT normal
Argatroban 2 unit/kg/menit, kemudian disesuaikan untuk
mempertahankan aPTT 1.5 – 3 kali median aPTT normal
Bila heparin/LMWH diperlukan sebagai profilaksis, dapat diberikan
lepirudin 20 – 30 mg subkutan setiap 12 jam.
Heparin-induced osteoporosis
Osteoporosis dapat terjadi setelah pemberian heparin jangka panjang
(biasanya lebih dari 3 bulan).
Efek samping lain
Peningkatan kadar transaminase
Hipersensitivitas dan reaksi kulit (nekrosis)
Alopecia
Hiperkalemi karena terjadi hipoaldosteronism
2. Terapi trombolitik
Indikasi :
Emboli paru dengan kolaps vaskuler (hipotensi dan atau sinkope)
Emboli paru dengan gagal jantung kanan atau adanya hipokinesi
ventrikel kanan pada pemeriksaan echokardiografi
Pemberian :
Recombinant tissue plasminogen activator IV 50 mg/jam selama 2 jam,
kemudian diberikan heparin dimulai dengan dosis 1000 U/jam
178
Regimen Trombolitik :
Tissue plasmi Infark miokardial 15 mg bolus, diikuti 0,75 mg/kg dalam 30 menit (tidak
Nogen melebihi 50 mg),diikuti 0,5 mg/kg dalam waktu
activator (t-PA) 60 menit (tidak melebihi 35 mg), dosis maksimal
100 mg
Emboli paru 100 mg infus dalam waktu 2 jam atau
0,6 mg/kg dalam waktu 15 menit (maksimum 50 mg)
Trombosis vena 0,05 mg/kg/jam dalam 24 jam (maksimum 150 mg)
dalam
179
Skrining pasien dan
pertimbangan profilaksis
tromboemboli vena
Ya
Pedoman
profilaksis DVT
Catatan :
Faktor risiko : usia > 40 tahun, perawatan ICU, riwayat trombosis vena dalam,
obesitas, stroke iskemi, gagal jantung, penyakit paru kronik, gagal nafas,
pneumonia, infeksi, keganasan, trombofilia, penyakit kolagen–vaskuler yang aktif,
kateter vena sentral, varises vena, penggunaan pil KB, terapi penganti estrogen,
sindroma nefrotik.
180
Kemungkinan kriteria eksklusi untuk pemberian profilaksis tromboemboli vena
secara farmakologis :
Perdarahan aktif
Hipersensitif terhadap UFH atau LMWH
Hipertensi yang tidak terkontrol
Insufisiensi renal ( kreatinin klirens < 30 ml/menit)
Koagulopati
Heparin-induced thrombocytopenia
Operasi intraokular atau intraserebral yang baru
Punksi lumbal atau epidural anestesi dalam 12 jam
Tindakan operasi dengan risiko tinggi perdarahan
181
Rekomendasi ASCO 2007 :
Terapi tromboemboli vena pada LMWH merupakan terapi terpilih untuk 5 – 10 hari
penderita kanker untuk mencegah pertama LMWH selama minimal 6 bulan merupakan
rekuren antikoagulan jangka panjang terpilih. Antagonis vitamin K
dengan target INR 2-3 dapat digunakan bila LMWH tidak
tersedia. Dalteparin sodium telah disetujui FDA pada
tahun 2007 untuk terapi jangka panjang tromboemboli
vena untuk mencegah rekurensi.
Pemberian antikoagulan untuk jangka waktu tidak
terbatas harus dipertimbangkan pada penderita dengan
kanker aktif (metastase, pemberian kemoterapi)
Filter vena kava inferior dapat dipertimbangkan pada
penderita dengan kontraindikasi antikoagulan atau
adanya emboli paru meskipun telah mendapat LMWH
jangka panjang dengan adekuat.
182
Regimen Profilaksis dan Terapi Tromboemboli Vena pada Penderita Kanker :
Trombosis arteri :
Penggunaan aktivator plasminogen yang telah disetujui FDA pada trombosis
arteri adalah :
183
SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
Definisi :
Sindroma antifosfolipid merupakan sindroma dengan karakteristik adanya
trombosis vaskuler (arterial atau vena) dan/atau morbiditas kehamilan yang
berhubungan dengan tingginya antibodi terhadap plasma protein yang berikatan
dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid – aPL)
Diagnosis :
Kriteria diagnosis sindroma antifosfolipid (tahun 2006) :
Sindroma antifosfolipid definite adalah bila didapatkan minimal 1 kriteria klinis
dan minimal 1 kriteria laboratorium.
Kriteria klinis :
1 atau lebih episode trombosis vena, arterial atau pembuluh darah kecil dan/atau
morbiditas kehamilan :
Trombosis : dibuktikan dengan pemeriksaan imaging atau histologi
Morbiditas kehamilan : satu atau lebih kematian fetus dengan morfologi
normal pada usia ≥ 10 minggu kehamilan, atau satu atau lebih kelahiran
prematur sebelum usia 34 minggu karena eklampsi, preeklamsi atau
insufisiensi plasenta, atau tiga atau lebih kematian embrio
(< 10 minggu), tanpa adanya kelainan kromosom ayah dan ibu atau kelainan
anatomi ibu atau penyebab hormonal.
Kriteria laboratorium :
Adanya aPL pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan jarak minimal 12 minggu dan
tidak lebih dari 5 tahun sebelum terjadinya manifestasi klinis.
IgG dan/atau IgM anticardiolipin antibodi dengan titer moderat atau tinggi
(>40 unit GPL atau MPL atau >99 persentil)
Antibodi 2- glikoprotein 1 IgG atau IgM isotipe dengan titer > 99 persentil
Adanya aktivitas lupus antikoagulan
184
Patogenesis dan Patofisiologi :
Antibodi antifosfolipid mempunyai aktivitas prokoagulan terhadap protein C,
annexin V dan trombosit , dan menginhibisi fibrinolisis.
B2-glikoprotein akan berikatan dengan fosfolipid yang bermuatan negatif dan
menghambat aktivitas kontak kaskade koagulasi dan konversi protrombin-trombin.
-2 glikoprotein-1 berfungsi sebagai antikoagulan plasma natural, sehingga
adanya antibodi terhadap protein ini dapat merangsang terjadinya trombosis.
Mekanisme-mekanisme yang berperan dalam terjadinya hypercoagulable state
pada sindroma antifosfolipid adalah :
Antibodi antikardiolipin dan antibodi 2-glikoprotein akan meningkatkan
aktivasi dan adhesi trombosit ke endotel.
Adanya aktivasi endotel vaskuler yang akan meningkatkan adhesi monosit
dan trombosis.
Peningkatan ekspresi tissue factor pada permukaan monosit.
Inhibisi aktivitas protein C, protein S dan faktor-faktor koagulasi lain. Pada
penderita dengan antibodi antifosfolipid dapat ditemukan juga antibodi
terhadap heparin/heparan sulfat, protrombin, platelet-activating factor,
tissue-type plasminogen activator, protein S, annexin (2, IV dan V),
tromboplastin, oxidized low density lipoprotein, trombomodulin, kininogen,
factor VII, VIIa dan XII.
Antibodi terhadap heparan/heparan sulfat pada tempat ikatan dengan
antitrombin III dapat mengaktivasi koagulasi dengan cara menghambat
pembentukan kompleks heparin-antitrombin-trombin.
Antibodi terhadap oxidized low density lipoprotein merupakan faktor yang
berperan dalam terjadinya aterosklerosis.
Aktivasi komplemen melalui perlekatan aPL ke permukaan endotel dapat
menimbulkan kerusakan endotel dan merangsang trombosis yang berperan
dalam terjadinya kematian fetus.
Presentasi Klinis :
Trombosis vena dalam (32%)
Trombositopenia (22%)
Livido retikularis (20%)
Stroke (13%)
Tromboflebitis superfisialis (9%)
Emboli pulmonal (9%)
Kematian fetus (8%)
Transient ischemic attack (7%)
Anemi hemolitik (7%)
185
Sindroma trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid.
1. Sindroma tipe I
Trombosis vena dalam dengan atau tanpa emboli paru
2. Sindroma tipe II
Trombosis arteri koroner
Trombosis arteri perifer
Trombosis aorta
Trombosis arteri karotis
3. Sindroma tipe III
Trombosis arteri retina
Trombosis vena retina
Trombosis serebrovaskuler
Transient cerebral ischemic attacks
4. Sindroma tipe IV
Campuran sindroma tipe I, II dan III
5. Sindroma tipe V (Fetal wastage síndrome)
Trombosis vaskuler plasenta
Fetal wastage ( sering pada trimester1, dapat pada trimester 2 dan 3)
Trombositopeni maternal
6. Sindroma tipe VI
Antibodi antifosfolipid tanpa manifestasi klinis
Pemeriksaan Penunjang :
IgG dan IgM antikardiolipin antibodi
IgG dan IgM anti- 2-glikoprotein1
Tes lupus antikoagulan
Diagnosis Banding :
Keguguran, kelahiran prematur karena sebab lain (hormonal, kelainan
kromosom, kelainan anatomi)
Oklusi vena karena sebab lain (kelainan koagulasi, kanker, penyakit
mieloproliferatif, sindroma nefrotik)
Oklusi arterial karena sebab lain (aterosklerosis, emboli karena fibrilasi atrial,
myxoma, endokarditis)
Trombotik trombositopeni purpura
Sindroma hemolitik uremik
186
Lupus antikoagulan dan antikardiolipin antibodi dapat ditemukan pada
penyakit-penyakit autoimun dan rematik lainnya yaitu. :
Anemi hemolitik
Trombositopeni purpura imun (30%)
Artritis juvenile
Artritis rematoid (7 – 50%)
Artritis psoriatik (28%)
Skleroderma (25%)
Sindroma Behcet (7 – 20%)
Sindroma Sjogren (25 – 42%)
Mixed connective tissue disease (22%)
Polimiositis dan dermatomiositis
Polimialgia rematika (20%)
Osteoartritis (< 14%)
Gout
Múltipel sklerosis
Vaskulitis
Penyakit tiroid autoimun
Infeksi
Pada infeksi tertentu dapat ditemukan antifosfolipid antibodi, biasanya IgM
aCL dan kadang-kadang menyebabkan trombosis.
Bakteri : septikemi, leptospirosis, sífilis, Lyme disease (Borreliosis),
tuberkulosis, lepra, endokarditis infektif, demam rematik post infeksi
streptokokus, infeksi klebsiella
Virus : hepatitis A, B dan C, mumps, HIV, HTLV-1, virus sitomegalo,
varicella-zoster, Epstein-Barr, adenovirus, Parvovirus B 19, Rubela.
Parasit : malaria, pneumocystic carinii, leishmaniasis.
Neoplasma
Antibodi antibodi dilaporkan ditemukan pada kanker paru, kolon, serviks,
prostat, ginjal, ovarium, payudara, tulang, limfoma Hodgkin dan non
Hodgkin, mielofibrosis, polisitemia vera, lekemi mieloid dan limfositik.
Keadaan-keadaan lain
Antibodi antifosfolipid juga ditemukan pada sickle cell anemia, anemia
pernisiosa, diabetes melitus, inflammatory bowel disease, terapi pengganti
ginjal dialisis dan sindroma Klinefelter.
Terapi :
Terapi untuk trombosis pada sindroma antifosfolipid adalah :
Heparin
Warfarin
Pada umumnya warfarin saja cukup untuk terapi trombosis vena. Meskipun
demikian, penambahan aspirin atau dipiridamol pada terapi warfarin dapat
mencegah rekurensi trombosis arteri.
187
Antiplatelet : aspirin, dipiridamol, klopidrogel
Klopidogrel diduga mempunyai peranan dalam terapi dan profilaksis primer
dan sekunder APS pada penderita alergi aspirin.
Hidroksiklorokuin
Data penelitian pemberian hidroksiklorokuin dalam pencegahan
tromboemboli pada sindroma antifosfolipid masih terbatas. Hidroksiklorokuin
lebih sering digunakan pada penderita tanpa tromboemboli arterial.
188
Profilaksis :
Terapi profilaksis diberikan pada penderita asimtomatik dengan aPL tanpa riwayat
trombosis. Insidensi terjadinya trombosis pada keadaan ini berkisar antara 10 –
75% bila kadar antibodi sangat tinggi. Terapi profilaksis yang direkomendasikan:
Aspirin 81 mg/hari direkomendasikan pada penderita simptomatik dan tidak
hamil.
Kombinasi aspirin dan hidroksiklorokuin (≤ 6.5 mg/kg/hari)
Catastrophic APS.
Terapi faktor presipitasi (misalnya infeksi)
Heparin, diikuti warfarin (target INR 2 – 3)
Metilprednisolon 1 gram IV /hari selama 3 hari, diikuti steroid parenteral atau
oral ekivalen dengan prednison 1 – 2 mg/kg
Plasma exchange dan/atau IVIG 400 mg/kg per hari selama 5 hari bila
didapatkan adanya mikroangiopati (trombositopenia, anemi hemolitik
mikroangiopati)
Siklofosfamid (diberikan pada sindroma antifosfolipid yang berhubungan
dengan lupus eritematosus sistemik dengan komplikasi yang mengancam
jiwa.
Terapi eksperimental : fibrinolitik, prostasiklin, ancrod, defibrotide, antisitokin,
immunoadsorptioin, anti sel B antibodi (rituximab).
189
LIMFOMA MALIGNA
Definisi :
Limfoma maligna adalah kelompok keganasan klonal sel T limfosit dan sel B
limfosit dan sel natural killer (NK) yang biasanya berasal dari kelenjar getah
bening , tetapi dapat berasal dari setiap organ tubuh lainnya.
190
Patogenesis dan Patofisiologi :
Terjadinya limfoma merupakan proses yang melibatkan terjadinya akumulasi dan
progresifitas klon dengan kelainan genetik.
Lesi genetik pada limfoma berupa :
Aktivasi onkogen yang disebabkan adanya translokasi kromosom
Inaktivasi gen supresor tumor yang disebabkan adanya delesi dan mutasi
kromosom
Pada limfoma maligna non Hodgkin, translokasi kromosom yang paling sering
ditemukan adalah t (14;18) (q32;q31) yang mengakibatkan terjadinya juxtaposisi
antara gen bcl-2 yang merupakan inhibitor apoptosis di 18q21 ke lokus
imunoglobulin di 14q32. Translokasi ini ditemukan pada 85% follicular lymphoma
dan 28% high grade lymphoma.
Translokasi lainnya yaitu t (11;14) (q13;q32) yang menyebabkan ekspresi
berlebihan gen bcl-1 (cyclin-D1) di 11q13 yang berfungsi mengatur siklus sel.
Translokasi ini merupakan ciri khas mantle cell lymphoma.
Translokasi pada 8q24 menyebabkan disregulasi gen c-myc, sering ditekmukan
pada high grade lymphoma (Burkitt’s dan Non-Burkitts’s).
Pada limfoma maligna Hodgkin, analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed
Stenberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur pada Ig
(imunoglobulin). Sel Reed Stenberg juga mengandung suatu faktor transkripsi inti
sel (NF-kB). Kedua hal tersebut menyebabkan gangguan pada apoptosis.
191
Protoonkogen dan Gen Supresor Tumor pada Limfoma Maligna Non Hodgkin :
Tipe
Gen Lokasi Fungsi biologis Mekanisme lesi
limfoma
Protoonkogen
BCL-2 18q11 Regulasi apoptosis Deregulasi transkripsi FL,DLCL
BCL-1/CCND1 11q13 Faktor transkripsi, Deregulasi transkripsi MCL
regulasi siklus sel
BCL-6 3q27 Faktor transkripsi Deregulasi transkripsi DLCL
c-MYC 8q24 Faktor transkripsi Deregulasi transkripsi BL
PAX-5 9p13 Faktor transkripsi Deregulasi transkripsi LPL
NPM/ALK 5q35 NPM:nukleolar Protein fusi, deregulasi CD 30+T cell-
(NPM) fosfoprotein heterotopik ALCL
Klasifikasi :
1. Limfoma Hodgkin :
Klasifikasi Rye :
Lymphocyte predominant
Nodular sclerosis
Mixed cellularity
Lymphocyte depletion
192
Perbandingan Klasifikasi Hodgkin’s Disease (HD) :
193
Hairy cell leukemia
Plasma cell neoplasms
Plasma cell myeloma
Plasmacytoma
Monoclonal immunoglobulin deposition disease
Heavy chain disease
Primary extranodal neoplasm
Extranodal marginal zone B cell lymphoma (MALT lymphoma)
Mediastinal (thymic) large B cell lymphoma
Intravascular large B cell lymphoma
Primary effusion lymphoma
Lymphomatoid grabulomatosis
Predominantly nodal neoplasm
Nodal marginal zone B cell lymphoma
Follicular lymphoma
Mantle cell lymphoma
Diffuse large B cell lymphoma
Burkitt lymphoma/leukemia
T Cell Neoplasms :
Precursor T cell neoplasm
Precursor T lymphoblastic leukemia/lymphoma
Mature T cell neoplasm
Predominantly disseminated/leukemic neoplasms
T cell prolymphocytic leukemia
T cell large granular lymohocytic leukemia
Aggressive NK cell leukemia
Adult T cell leukemia/lymphoma
Primary extranodal neoplasms
Extranodal NK/T cell lymphoma, nasal type
Enteropathy-type T cell lymphoma
Hepatosplenic T cell lymphoma
Subcutaneous panniculitis-like T cell lymphoms
Blastic NK cell lymphoma
Mycosis Fungoides/Sezary syndrome
Primary cutaneous CD-30 positice T cell lymphoproliferative disorders
Predominantly nodal neoplasms
Angioimmunoblastic T cell lymphoma
Peripheral T cell lymphoma, unspecified
Anaplastic large cell lymphoma
Hodgkin Lymphoma :
Nodular lymphocyte predominance Hodgkin Lymphoma.
Classic Hodgkin Lymphoma :
Nodular sclerosis Hodgkin Lymphoma
194
Mixed cellularity Hodgkin Lymphoma
Lymphocyte-rich classic Hodgkin lymphoma
Lymphocyte-depleted Hodgkin lymphoma
PRESENTASI KLINIK
Gejala dan Tanda :
Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri , konsistensi rubbery
Gejala sistemik : demam, keringat malam, penurunan berat badan, lemah
badan
Pruritus (terutama pada limfoma maligna Hodgkin tipe nodular sclerosis)
Demam Pel-Ebstein
Nyeri : alcohol-induced pain pada daerah yang terkena
Daerah abdomen (karena splenomegali)
Tulang (destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang)
Daerah punggung (karena pembesaran kelenjar getah bening
R etroperitoneal yang masif)
Hepatosplenomegali
Neuropati
Tanda-tanda obstruksi : edema ekstremitas, sindroma vena cava superior,
kompresi medula spinalis, disfungsi hollow viscera.
195
Pemeriksaan Penunjang :
Hematologi : anemi, eosinofilia
Peningkatan laju endap darah
Flow cytometry : deteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi
Faal hati : gangguan faal hati tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma
pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya ikterus kolestatik dapat
merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati. Dapat terjadi
obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening
porta hepatis.
Faal ginjal : peningkatan urea N dan kreatinin dapat diakibatkan obstruksi
ureter atau keterlibatan ginjal (jarang). Adanya nefropati urat dan
hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai
fenomena paraneoplastik dapat terjadi terutama pada linfoma Hodgkin.
Hiperurikemi : merupakan manifestasi peningkatan turn over rate agresif
limfoma, dapat juga pada low grade lymphoma yang ekstensif.
Hiperkalsemi : dapat disebabkan sekunder karena produksi osteoclast –
activating factor yaitu : limfotoksin atau aktivasi vitamin D oleh jaringan
limfoma
LDH (laktat dehidrogenase) : kadar LDH dapat menggambarkan massa
tumor dan turnover, terutama pada agresif limfoma.
Serum imunoglobulin : poliklonal hipergamaglobulinemi sering didapatkan
pada limfoma Hodgkin dan non Hodgkin. Hipogamaglobulinemi terutama
didapatkan pada small lymphocytic lymphoma. Monoclonal spike kadang-
kadang didapatkan pada limfoma non Hodgkin.
Foto toraks : limfadenopati hilar dan mediastinal, efusi pleura, lesi parenkim
paru
CT scan : Toraks : abnormalitas parenkhim paru dan mediastinal
Abdomen : limfadenopati retroperitoneal, mesenterik, portal,
hepatosplenomegali, lesi di ginjal
Torakosintesis dan biopsi pleura : direct lymphomatous involvement pleura.
Obstruksi aliran limfatik mediastinal dapat menyebabkan efusi chylous.
USG abdomen : kurang sensitif dalam mendiagnosis adanya limfadenopati
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang pada krista iliaka bilateral (kecuali pada
stadium IA sampai IIA tanpa anemi atau sitopeni lain). Pada limfoma
Hodgkin harus dilakukan biopsi sumsum tulang karena keterlibatan sumsum
tulang pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum
tulang.
Evaluasi traktus gastrointestinal : Keterlibatan traktus gastrointestinal sering
didapatkan pada limfoma non Hodgkin. Dapat dilakukan pemeriksaan barium
enema dan endoskopi.
196
Evaluasi keterlibatan susunan syaraf pusat : pemeriksaan cairan
serebrospinal rutin dilakukan pada penderita Burkitt lymphoma atau
lymphoblastic lymphoma untuk menyingkirkan keterlibatan meningen.
Pemeriksaan ini juga sering dilakukan pada intermediate atau high-grade
lymphoma yang melibatkan sumsum tulang, testes atau sinus paranasal
Nuclear scan :
67 Ga scan : terutama digunakan untuk menilai sisa tumor pada
mediastinal dan retroperitonal setelah terapi. Penangkapan radioaktif
persisten pada daerah tersebut menunjukkan adanya sisa tumor.
99m Tc diphosphonate bone scan : sensitif untuk deteksi dini lesi tulang,
dilakukan bila didapatkan nyeri tulang, peningkatan alkali fosfatase atau
kalsium .
Biopsi kelenjar getah bening
Limfoma Maligna Hodgkin : sel Reed-Sternberg : sel raksasa dengan
nukleus lebih dari satu dan besar, eosinofilik, inclusion-like nucleoli.
Staging :
Staging Limfoma Maligna : Klasifikasi Ann Arbor dengan Modifikasi Cotswolds :
Stadium I keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur
jaringan limfoid (limpa, timus, cincin Waldeyer) atau
keterlibatan 1 organ ekstralimfatik
Stadium II Keterlibatan >2 regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma
yang sama (kelenjar hilus bila terkena pada kedua sisi
termasuk stadium II); keterlibatan lokal 1 organ ekstranodal
atau 1 tempat dan kelenjar getah bening pada sisi diafragma
yang sama (IIE). Jumlah regio anatomik yang terlibat ditulis
dengan angka (contoh :II3)
Stadium III Keterlibatan regio kelenjar getah bening pada kedua sisi
diafragma (III), dapat disertai lien (IIIs), atau keterlibatan 1
organ ekstranodal (IIIE) atau keduanya (IIISE)
III1 Dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening splenik,
hilar,seliak atau portal
III2 Dengan keterlibatan kelenjar getah bening paraaorta, iliaka dan
mesenterika
Stadium IV Keterlibatan difus /diseminata pada1 atau lebih organ
ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan
kelenjar getah bening
197
X Bulky disease (pembesaran mediastium > 1/3 , adanya massa kelenjar
dengan diameter maskimal 10 cm)
E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal
terhadap regio kelenjar getak bening
CS Clinical stage
PS Pathologic stage (misalnya ditentukan pada laparotomi)
Terapi :
Rekomendasi terapi menurut NCCN tahun 2006.
Stadium Terapi
I, II Lokoregional RT atau observasi
Rai high risk :terapi (regimen = terapi Rai good dan intermediate risk)
Klasifikasi Rai :
198
Follicular lymphoma (grade 1, 2) :
Stadium Terapi
I, II Lokoregional RT atau
CT diikuti RT atau
Extended field RT
atau Observasi
Stadium Terapi
I,II non bulky
Adverse risk (+) (peningkatan LDH, st II, CHOP 6-8 siklus + Rituximab + lokoregional RT
usia > 60 tahun, PS>2) atau
CHOP + Rituximab 3 siklus + lokoregional RT
(30-36 Gy)
Adverse risk (-) CHOP + Rituximab 3 siklus + lokoregional RT
atau
CHOP + Rituximab 6-8 siklus
III, IV
Low / Low intermediate (aaIPI 0-1) CHOP 6-8 siklus + Rituximab
High-intermediate/high risk Clinical trial atau CHOP 6-8 siklus + Rituximab
(aaIPI ≥ 2)
Keterangan : aaIPI : age adjusted International Prognostic Index (lihat bagian prognosis)
199
Regimen Kemoterapi yang Direkomendasikan untuk DLBCL :
Lymphoblastic Lymphoma :
Stadium Terapi
I – IV Clinical trial atau
ALL-like regimen
Dosis
Regimen Hari Pemberian Frekuensi
(mg/m2)
CHOP :
- Cyclophosphamide 750 IV 1 Tiap 21 hari
- Doxorubicin 50 IV 1
- Vincristin 1,4 IV 1
- Prednison 100 PO (total 1–5
dosis)
CNOP :
- Cyclophosphamide 750 IV 1 Tiap 21 hari
- Mitoxantrone 12 IV 1
- Vincristin 1,4 IV 1
- Prednison 100 PO 1–5
200
m-BACOD :
- Methotrexate 200 IV 8 dan 15 Tiap 21 hari
- Bleomycin 4 IV 1
- Doxorubicin 45 IV 1
- Cyclophosphamide 600 IV 1
- Vincristin 1,4 IV 1
- Dexamethazone 6 PO 1–5
- Leucovorin 10 PO 24 jam setelah
MTX, kemudian
tiap 6 jam
sebanyak 5 dosis
ProMace/CytaBOM :
- Prednison 60 PO 1 – 14 Tiap 28 hari
- Doxorubicin 25 IV 1
- Cyclophosphamide 650 IV 1
- Etoposide 120 IV 1
- Cytarabine 300 IV 8
- Bleomycin 5 IV 8
- Vincristin 1,4 IV 8
- Methotrexate 120 IV 8
- Leucovorin 25 IV 24 jam setelah
MTX, kemudian
tiap 6 jam
sebanyak 8 dosis
MACOP-B :
- Methotrexate 400 IV 8 Tiap 28 hari
- Doxorubicin 50 IV 1 dan 15 sebanyak 3
- Cyclophosphamide 350 IV 1 dan 15 siklus
- Vincristin 1,4 IV 8 dan 22
- Prednison fixed dose 75 PO tiap minggu selama
12 minggu
- Bleomycin 10 IV 28
- Leucovorin 15 PO 24 jam setelah
MTX, kemudian
tiap 6 jam
sebanyak 6 dosis
ACVB :
- Cyclophosphamide 1200 IV 1 Tiap 14 hari
- Doxorubicin 75 IV 1 sebanyak 4
- Vindesine 2 IV 1 siklus, diikuti
- Bleomycin 10 IV 1 konsolidasi
- Methylprednisone 60 IV 1–5
- Methotrexate 15 mg IT 1
201
Penelitian yang membandingkan efektivitas regimen-regimen kemoterapi pada
limfoma maligna menyimpulkan sampai saat ini regimen CHOP yang lebih murah
dan lebih sederhana dibandingkan regimen-regimen yang lain merupakan terapi
terpilih.
202
Monoclonal antibody : Rituximab (Rituxan, Mabtera)
Merupakan anti CD20 monoclonal antibody dengan efek sitotoksik melalui
aktivasi komplemen, antibody-dependent cytotoxic cells dan efek langsung
terhadap signal intraselular.
Indikasi : penderita low grade atau follicular CD20 positif Limfoma non-
Hodgkin yang relaps atau refrakter.
Dosis : 375 mg/m2 IV, hari 1, 8, 15 dan 22.
Interferon
Indikasi : follicular lymphoma (respon 40-60 %)
Dosis : 2 – 3 juta unit 3 kali seminggu
Radioterapi :
Indikasi : Paliatif : bulky disease dan untuk mengatasi nyeri atau
obstruksi limited’ stadium III (asimtomatik, < 5 lokasi yang
terlibat, tanpa bulky disease)
203
Kemoterapi Limfoma Maligna Non Hodgkin Relaps :
Hari
Regimen Dosis Frekuensi
Pemberian
Dexa-BEAM
(dengan G-CSF)
- Dexamethazone 3 x 8 mg PO 1 – 10 Pemberian
- BCNU 60 mg/m2 infus 2 diulang setelah
(30 menit) rekoveri
- Etoposide 75-150 mg/m2 infus 4–7 hematologis
(30 menit)
- Ara –C 2x100 mg/m2 (infus 4–7
30 menit, tiap 12 jam)
- Melphalan 20 mg/m2 3
(infus 5 menit)
IMVP-16
- Ifosfamide(+ mesna) 1000 mg/m2 IV 1–5 Tiap 21 hari
- Methotrexate 30 mg/m2 IV 3, 10
- Etoposide 100 mg/m2 infus 1–3
(60 menit)
DIZE
- Dexamethazone 20 mg IV 1–4 Tiap 28 hari
- Ifosfamide (+mesna) 1000 mg/m2 infus 1–4
kontinu
- Idarubicin 8 mg/m2 infus 1, 2
(15 menit)
- Etoposide 60 mg/m2 infus kontinu 1–4
DICE
- Dexamethazone 10 mg IV tiap 6 jam 1–4 Tiap 28 hari
- Ifosfamide 1 gram/m2 IV 15 menit 1–4
- Cisplatin 25 mg/m2 IV 60 menit 1–4
- Etoposide 100 mg/m2 IV 60 mwnit 1–4
- Mesna 200 mg/m2 IV 1–4
5 – 10 menit sebelum
ifosfamide
300 mg/m2 IV 15 menit, 1 – 4, sampai
tiap 8 jam hari 5
CEPP-Bleo
- Cyclophosphamide 600 mg/m2 IV 1, 8 Tiap 28 hari
- Etoposide 70 mg/m2 IV 1, 2, 3
- Prednison 60 mg/m2 PO 1 – 10
- Procarbazine 60 mg/m2 PO 1 – 10
- Bleomycin 15 mg/m2 IV 1, 15
204
Terapi Tipe Khusus Limfoma Maligna Non Hodgkin :
1. Agressif MCL (Mantle cell lymphoma)
Merupakan B-cell lymphoma yang mempunyai prognosis buruk, berasal dari
limfosit CD 5+, CD 20 +, CD 23 -. Tipe ini berhubungan dengan translokasi t
(11;14) yang mengakibatkan gangguan regulasi cyclin D1 (promotor siklus
sel). Terapi Agresif MCL dengan kemoterapi standar pada umumnya tidak
efektif dalam memberikan remisi jangka panjang.
Regimen terapi yang direkomendasikan : HyperCVAD, high dose
methotrexate plus cytarabine setiap 21 hari, diikuti transplantasi setelah
2 atau 4 siklus kemoterapi (terutama pada penderita berusia < 65 tahun)
2. Lymphoblastic lymphoma
Penderita lymphoblastic lymphoma dengan faktor prognosis buruk
(keterlibatan sumsum tulang, susunan syaraf pusat, peningkatan LDH)
direkomendasikan untuk transplantasi otologus atau alogenik atau
kemoterapi dengan regimen yang lebih intensif. Pada penderita tanpa faktor
prognosis buruk direkomendasika regimen : 1 bulan induksi, 1 bulan
profilaksis susunan syaraf pusat, 3 bulan konsolidasi dan 7 bulan terapi
205
pemeliharaan sebagai berikut :
206
b. Kemoterapi sistemik :
Sistemik kemoterapi direkomendasikan pada penderita yang disertai
manifestasi ekstrakutaneus, dapat diberikan kemoterapi tunggal
(doxorubicin, cyclophosphamide, methotrexate atau bleomycin)
atau kombinasi
c. Purine analogues :2-deoxycoformycin (pentostatin), cladibrine,
fludarabine
d. Interferon - : 12 juta unit 3 kali/minggu (kombinasi dengan
PUVA)
e. Denilukin diftitox
f. Terapi antibody
207
Eradikasi Helicobacter pylori : pada gastric MALToma :
Regimen : diberikan selama 2 minggu
Clarithromycin 2 x 250 mg, Metronidazole 2 x 500 mg,
omeprazole 2 x 20 mg
Atau
Tetracycline 4 x 500 mg, Metronidazole 4 x 250 mg, Pepto-Bismol
4 x 2 sendok makan
Metronidazole atau tetracycline dapat diganti dengan amoksisilin
6. Burkitt lymphoma
Merupakan subtipe dari small noncleaved cell high grade NHL. Terdiri dari
tipe endemik (Afrika) dan sporadik.
Klinis Terapi
Low risk Clinical trial atau
- LDH normal Kemoterapi kombinasi + Rituximab
- Reseksi komplit lesi abdominal (termasuk intensive alkylating
atau satu lokasi ekstraabdominal agents, anthacycline, kemoterpi
intratekal, High dose methotrexate)
High risk Clinical trial atau
Kemoterapi kombinasi + Rituximab
208
Regimen Kemoterapi Yang Direkomendasikan Untuk Burkitt’s Lymphoma :
209
Rekomendasi terapi untuk limfoma maligna Hodgkin (Classical Hodgkin disease :
nodular sclerosis, mixed cellularity, lymphocyte depletion, lymphocyte rich)
menurut NCCN 2006 :
Stadium IB-IIB
- non bulky Kemoterapi + RT (involved nodal region) atau kemoterapi
- bulky Kemoterapi + IFRT
Stadium IIIA,IIIB,IV
- non bulky Kemoterapi (ABVD) atau kemoterapi/radioterapi (Stanvord V)
- bulky Kemoterapi + Radioterapi pada daerah bulky
210
Kriteria Respon Untuk Limfoma II : Limfoma Maligna Hodgkin
Rekomendasi Terapi :
211
Regimen Kemoterapi Limfoma Maligna Hodgkin :
212
BEACOPP (escalated) : 21
- Bleomycin 10 IV 8
- Etoposide 200 IV 1–3
- Adriamycin 35 IV 1
- Cyclophosphamide 1250 IV 1
- Oncovin 1,4 IV 8
- Procarbazine 100 PO 1–7
- Prednisone 40 PO 1 – 14
- G-CSF + SC 8+
ChIVPP/EVA : 21
- Chlorambucil 10 (total) PO 1–7
- Vinblastine 10 (total) IV 1
- Procarbazine 150 (total) PO 1–7
- Prednisolone 50 (total) PO 1–7
- Etoposide 200 IV 8
- Vincristine 2 (total) IV 8
- Adriamycin 50 IV 8
ChIVPP/PABIOE : 50
- Chlorambucil 6 PO 1 – 14
- Vinblastine 6 IV 1, 8
- Procarbazine 100 PO 1 – 14, 29 – 43
- Prednisolone 30 PO 1 – 14
- Adriamycin 40 IV 29
- Bleomycin 10 IV 29, 36
- Vincristine 1,4 IV 29, 36
- Etoposide 200 PO 30 – 32
Stanford V : 12
- Mechlorethamine 6 IV Minggu 1, 5, 9 minggu
- Adriamycin 25 IV Minggu 1, 3, 5, 9, 11
- Vinblastine 6 IV Minggu 1, 3, 5, 9, 11
- Vincristine 1,4 IV Minggu 2, 4, 6, 8, 10, 12
- Bleomycin 5 IV Minggu 2, 4, 6, 8, 10, 12
- Etoposide 60 x 2 IV Minggu 3, 7, 11
- Prednisone 40 IV Minggu 1 – 10
- G-CSF - SC Reduksi dosis/penundaan
VAPEC-B : 11
- Vincristine 1,4 IV Minggu 2, 4, 6, 8, 10 minggu
- Adriamycin 35 IV Minggu 1, 3, 5, 7, 9, 11
- Prednisolone 50 PO Minggu 1 – 6
- Etoposide 75 – 100 x 5 PO Minggu 3, 7, 11
- Cyclophosphamide 350 IV Minggu 1, 5, 9
- Bleomycin 10 IV Minggu 2, 4, 6, 8, 10
213
Rekomendasi Terapi untuk Limfoma Maligna Hodgkin Relaps
dan Progresif Primer :
Relaps Terapi
Relaps setelah radioterapi Kemoterapi konvensional
Nodal relaps (CS I + II) Salvage radioterapi
g. tanpa symptom B
h. tanpa radioterapi sebelumnya
Progresif primer HDCT + ASCT
Relaps dini HDCT + ASCT
Relaps lanjut HDCT + ASCT
Ket : ASCT : autologous stem cell transplantation ;
CS : clinical stage
HDCT : high-dose chemotherapy
High dose chemotherapy (HDCT) diikuti PBSCT (Peripheral blood stem cell
transplantation) :
Regimen : CVB : Cyclophosphamide, BCNU, VP 16 (etoposide)
BEAM : BCNU, Etoposide, Cytarabine (arabinoside), Melphalan.
214
Regimen Kemoterapi Salvage untuk Limfoma Maligna Hodgkin
dan Non-Hodgkin Relaps :
215
MINE :
- Ifosfamide 1330 IV, 1 jam 1–3 21 – 28
- Etoposide 65 IV 1–3
- Mitoxantrone 8 IV 1
- Mesna 1330 IV, 1 jam (dengan 1–3
ifosfamide)
500 PO, 4 jam setelah
ifosfamide
ICE :
- Etoposide 100 IV 1–3 Tiap
- Carboplatin AUC 5, IV 2 14 hari
max 800 mg sebanyak
- Ifosfamide 5000 IV, 24 jam dengan 2 3 siklus,
mesna dengan
G-CSF
Rituximab :
- Rituximab 375 IV 1 Tiap
7 hari,
sebanyak
8 kali
R-ICE :
- Rituximab 375 IV d-2 Tiap
(siklus 1), d1 14 hari,
- Ifosfamide 5000 IV, 24 jam dengan 4 dengan
mesna G-CSF
- Carboplatin AUC = 5, IV 4
max 800 mg
- Etoposide 100 IV 3–5
216
Prognosis :
Faktor-faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis :
1. Limfoma maligna non Hodgkin :
IPI (international prognosis index) untuk semua pasien
Faktor (masing-masing diberi nilai 1) :
Usia > 60 tahun
Karnofsky indeks < 80 %
Stadium > II
Peningkatan LDH
> 1 ekstranodal
Skor :
0–1 : low risk
2 : low-intermediate risk
3 : high-intermediate risk
4–5 : high risk
217
Kelompok Risiko Berdasarkan Skor FLIPI :
218
KANKER PAYUDARA
Kanker payudara merupakan kanker kedua terbanyak setelah kanker leher rahim
pada wanita Indonesia. Berbeda dengan di negara barat, sebagian besar
penderita datang dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan antara lain karema
mamografi belum menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk penapisan.
Data dari Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada tahun 2007, sekitar 178.480
wanita akan menderita kanker payudara, dan 40.460 akan meninggal karena
penyakit ini. Data ini sangat berbeda dengan populasi di Asia, dimana insidensi
kanker payudara tidak sebanyak di Amerika dan Eropa. Walaupun demikian di
Indonesia ada kecenderungan peningkatan prevalensi kanker payudara.
Sekitar 50% kasus kanker payudara dapat diketahui faktor risikonya, antara lain :
usia saat menarche, menopause, paritas, riwayat keluarga dan genetik, pola
hidup, etnis, riwayat menyusui, serta penggunaan obat-obat hormon (kontrasepsi
dan terapi sulih hormon) dan pernah menderita tumor jinak payudara
sebelumnya. Dengan diketahuinya faktor-faktor risiko ini, sebenarnya dapat
diidentifikasi wanita berisiko tinggi terkena kanker payudara, sehingga upaya
deteksi dini dapat lebih ditingkatkan. (Lihat Tabel 1. Variabel Faktor Risiko pada
Kanker Payudara)
Disamping faktor risiko diatas, beberapa faktor lain diduga turut berperan dalam
terjadinya kanker payudara, walaupun bukti klinis masih diperdebatkan. Faktor-
faktor tersebut, antara lain: diet tinggi lemak, asupan kalsium yang rendah,
rokok, abortus, paparan radiasi, obat anti inflamasi non-steroid, penggunaan
antibiotik jangka lama.
219
Diagnosis :
Ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, pencitraan dan histopatologi.
Walaupun lebih dari 80% benjolan di payudara merupakan tumor jinak, tetap
diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan di bawah ini untuk memastikan apakah
benjolan tersebut ganas atau jinak.
1. Mamografi
Dari studi terhadap 41.427 wanita yang dicurigai menderita kanker
payudara, 6279 diantaranya terdeteksi menderita kanker (nilai prediksi
positif 21.8%, sensitifitas 85.8%, Spesifisitas 87.7%)
Sensitivitas berkurang sesuai dengan bertambahnya densitas kelenjar
payudara
Hasil mamografi dibuat berdasarkan kriteria dari American College of
Radiology (ACR) yang dikenal sebagai BIRADS (Breast Imaging reporting
and Data Systems) kategori 1 sampai dengan 6, seperti tercamtum
dalam tabel dibawah ini:
2. Ultrasonografi payudara
Dapat menentukan apakah massa yang tampak pada mamografi berupa
kistik atau hanya fibroadenoma, walaupun tidak rutin dilakukan setelah
mamografi.
Sebaiknya dilakukan pada payudara yang densitas kelenjarnya padat
Berguna sebagai tuntunan saat biopsi core
Nilai prediksi positif 39,2%, sensitifitas 96,9%, spesifisitas 94,8%
3. MRI payudara
Harus dengan kontras gadolinium, tidak dapat dengan kontras biasa
Akhir-akhir ini peranannya semakin menonjol dalam mendiagnosa
kanker payudara
Dapat mendeteksi ada tidaknya lesi multisentrik, lesi di payudara
kontralateral
Harus dilakukan bila penderita memilih untuk breast conserving therapy
220
Sensitivitas dan spesifisitas sangat bervariasi, karena belum ada
penelitian yang berskala besar dan sangat tergantung dengan teknik
pemeriksaan.
Sebagai catatan, biopsi jarum halus sudah mulai ditinggalkan sebagai teknik
untuk mendiagnosa kanker payudara, karena seringkali sampel jaringan tidak
adekuat serta sering hasilnya negatif palsu (sampai dengan 32%), kecuali pada
tumor yang besar dan terfiksasi pada dinding dada.
LCIS :
Istilah yang lebih tepat : lobular neoplasia, karena berasal dari lobulus
sampai ductus terminalis kelenjar payudara.
Sebagian besar kasus tidak teraba adanya massa sehingga tidak memberikan
gambaran yang konsisten pada mamografi
Sering ditemukan saat biopsi atas indikasi lainnya
Insidensi puncak pada usia 45 tahun ,menurun setelah menopause
90% ditemukan pada pre menopause
Jenis ini 60 – 80% bersifat multisentrik, 23 – 35% ditemukan pada payudara
kontralateral
Biasanya estrogen reseptor (ER)
Kemungkinan menjadi ganas sekitar 7 – 18x populasi normal, 20 – 37%
kasus menjadi ganas setelah 15 tahun
Pengelolaan LCIS belum seragam, ada yang mengatakan cukup observasi
saja, mastektomi profilaktik, atau kemoterapi pencegahan menggunakan
modulator reseptor estrogen selektif (SERM = Selective estrogen receptor
modulator).
221
Dari penelitian NSABP P-1 (National Surgical Adjuvant Breast and Bowel
Project), MORE (Multiple Outcomes of Raloxifene Evaluation), dan STAR
(Study of Tamoxifen And Raloxifen) ternyata penggunaan SERM - baik
tamoksifen 20mg/hari maupun raloksifen 60mg/hari - dapat menurunkan
kejadian kanker payudara secara signifikan, antara 56 – 64%.
Mastektomi profilaktik harus dilakukan pada kedua payudara, mengingat
risiko LCIS pada payudara kontralateral. Data yang ada belum dapat
meyakinkan para ahli mengenai hal ini. Satu studi metaanalisis
menyimpulkan mastektomi profilaktik tidak menurunkan mortalitas secara
bermakna. Cara ini hanya boleh digunakan sebagai alternatif bila penderita
tidak mau minum tamoksifen atau raloksifen.
Penderita LCIS tidak perlu diberi adjuvan kemoterapi maupun radioterapi.
Tabel Gail model pada apendiks 1 dapat digunakan untuk menilai risiko
perubahan dari LCIS menjadi kanker payudara dalam waktu 5 tahun yang
akan datang, walaupun belum tentu dapat digunakan untuk populasi
Indonesia.
DCIS :
Per definisi DCIS merupakan kelainan yang terbatas pada duktuli kelenjar
payudara, baik intralobular maupun ekstralobuler, dengan tingkatan invasi
yang berbeda-beda tergantung dari : derajat histopatologi, ukuran tumor,
dan usia.
Insidensinya 10 tahun lebih tua daripada LCIS, yakni sekitar 54 – 56 tahun
Penderita sering meraba massa, nyeri, atau nipple dischange yang
kemerahan
Sekitar 25 – 50% akan menjadi kanker payudara duktal invasif. Timbul
sekitar 10 tahun setelah diagnosis DCIS.
Faktor risiko untuk DCIS tidak berbeda dengan kanker payudara pada
umumnya, yakni mutasi gen BRCA-1, BRCA-2, dan familial cancer
Diagnosis:
Sebaiknya dengan MRI payudara, mengingat pada mamografi
konvensional sering tidak terdeteksi ciri-ciri keganasan, yakni
ditemukannya mikrokalsifikasi yang membentuk kluster pleoformik
berbentuk linier atau segmental. MRI juga berguna untuk melihat ada
tidaknya tumor mltisentrik dan lesi kontralateral.
Biopsi jarum halus tidak boleh digunakan untuk mendiagnosa DCIS,
karena tidak dapat membedakan antara invasif duktal dengan DCIS.
Demikian juga core-biopsy, kecuali dengan teknik stereotaktik biopsi
vakum menggunakan MAMMOTOME®
Histopatologi sangat bervariasi dari solid, cribriformis, papiler dan komedo.
Sehingga ada yang membagi menjadi komedo dan non-komedo karsinoma.
Bentuk komedo mempunyai karakteristik yang lebih ganas, dengan tingkat
proliferasi cepat. Pembagian ini mulai banyak ditinggalkan, karena BCT
(breast conserving treatment/therapy) sudah menggantikan mastektomi
radikal dalam pengelolaan DCIS.
222
Sampai saat ini terdapat 3 kalsifikasi DCIS berdasarkan histopatologinya,
walaupun belum disepakati klasifikasi mana yang dipakai.
223
Untuk memudahkan pilihan terapi, sering digunakan indeks prognostik dari
Van Nuys, seperti tampak pada tabel dibawah ini:
Batas
Ukuran Patologi Usia
sayatan
1 = < 15 mm 1 => 10 mm 1 = Derajat 1 atau 2 tanpa 1 = > 60 tahun
komedonekrosis
2 = 16 – 40 mm 2 = 1 – 9 mm 2 = Derajat 1 atau 2 dengan 2 = 40 – 60 tahun
komedonekrosis
3 = > 41 mm 3 = < 1 mm 3 = Derajat 3 dengan atau 3 = < 40 tahun
tanpa nekrosis
Indeks prognostik ini tidak dapat diterapkan pada setiap kasus, keputusan
klinikus dan penderita masih tetap menjadi dasar pertimbangan untuk
pengelolaan DCIS
Absolut :
Tumor multisentrik
Mikrokalsifikasi difus
Hamil
Margin positif dan persisten
Pernah diradiasi sebelumnya
Relatif :
Ukuran tumor cukup besar dibandingkan ukuran payudara
Lokasi tumor di tengah atau sub areoler
Terdapat penyakit kolagen, kecuali artritis rematoid
224
KANKER PAYUDARA STADIUM I
225
Akhir-akhir ini mulai banyak digunakan pemeriksaan Oncotype DX dari blok
parafin. Data yang ada menunjukkan bahwa pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk stratifikasi penderita kanker payudara ER positif tanpa keterlibatan kelenjar
sebagai berikut :
Skor rekurensi rendah : Cukup dengan terapi hormonal
Skor rekurensi sedang : peranan kemoterapi belum jelas manfaatnya
Skor rekurensi tinggi : Memerlukan kemoterapi disamping terapi hormonal,
baik konkuren maupun sekuensial.
Pilihan Terapi :
1. Pembedahan
Disamping mastektomi radikal, BCT dapat dilakukan pada penderita
stadium I bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
Setelah eksisi luas atau kuadranektomi, tepi sayatan harus bebas tumor,
disertai diseksi kelenjar pada level I & II. (NCI, 2000). Setelah itu
penderita harus di radioterapi.
Diseksi kelenjar aksila masih kontroversi.
Penderita harus diseleksi dengan cermat, seperti pada tabel 1.
Dosis radioterapi sebaiknya 180 – 200 cGy/hr sampai mencapai
4500 – 5000 cGy.
Dari literatur disebutkan bahwa penderita-penderita yang dilakukan
tambahan radioterapi 1000 – 1600 cGy (sebagai booster) ternyata dapat
mengurangi rekurensi lokal secara signifikan.
Apabila kelenjarnya positip, radiasi harus mengenai fossa supra klavikula
dan atau kelenjar mammaria interna.
226
2. Terapi ajuvan sistemik
Untuk Penderita dengan ER Positif :
Kelompok
Premenopause Postmenopause
risiko
Rendah Tam, atau Tam saja, atau
GnRHa AI saja
Sedang Tam ± AO, atau Tam saja, atau
Tam saja, atau AI saja
AO saja, atau CMF/AC/FAC Tam AI,
Tam ± CMF/AC ± AO, atau atau
CMF/AC/FAC Tam CMF/AC/FAC AI
Tinggi CMF/AC/FAC Tam, atau CMF/AC/FAC Tam AI,
CMF/AC/FAC Tam ± AO, atau atau
CMF/AC/FAC (AI = AO) CMF/AC/FAC AI
Kelompok
Premenopause Postmenopause
risiko
Rendah Tam, atau Tam saja, atau
GnRHa AI saja
Sedang CMF/AC/FAC Tam ± AO, atau CMF/AC/FAC Tam AI,
Tam ± AO ± CMF/AC/FAC, atau atau
CMF/AC/FAC (AI + AO), atau CMF/AC/FAC AI
AO saja
Tinggi CMF/AC/FAC Tam, atau CMF/AC/FAC Tam AI,
CMF/AC/FAC Tam ± AO, atau atau
CMF/AC/FAC (AI = AO) CMF/AC/FAC AI
227
CMF = Cycloosphamide, Methotrexate, 5-Fluorouracil
FAC = 5-Fluorouracil, Anthracyclin, Cyclophosphamide
FEC = 5Fluorouracyl, Epirubicin, Cyclophosphamide
TAC = Taxane, anthracycline, cyclophosphamide.
3. Traztuzumab
Sejak konferensi St Gallen 2005, HER-2/neu merupakan variable bebas yang
eat hubungannya dengan masa bebas penyakit dan kelangsungan hidup
penderita. Beberapa uji klinis yang dilakukan dengan seleksi ketat,
membuktikan bahwa trastuzmab efektif sebagai terapi target pada penderita
dengan HER-2/neu positif. Bahkan semua uji klinis ini telah memperlihatkan
hasilnya sebelum waktu yan ditentukan saat awal penelitian, sehingga pada
konsensus St Gallen 2007 semua kelompok risiko sedang dan risko tinggi
dianjurkan menggunakan trastuzumab disamping kemoterapi ajuvan.
Untuk lebih teliti memilih penderita yang akan diberikan trastuzumab,
dianjurkan untuk mengakses Adjuvant! Online (www.adjuvantonline.com),
dapat juga menggunakan pemeriksaan dengan MammaPrint atau
OncotypeDX.
Dosis :
Pemberian tiap minggu:
Dosis awal 4 mg/kg infus minimal 90 menit, mulai dengan tetesan lambat.
Dosis peliharaan 2 mg/kg/minggu infus 90 menit (boleh menjadi
30 menit bila pemberian pertama ditoleransi dengan baik) sebanyak
51 kali pemberian
Pemberian tiap 3 minggu
Dosis awal 8 mg/kg infus minimal 90 menit, mulai dengan tetesan lambat
Dosis pemeliharaan 6 mg/kg infus 90 menit (boleh menjadi 30 menit bila
pemberian pertama ditoleransi dengan baik) selama 13 kali pemberian
228
KANKER PAYUDARA STADIUM II
Seperti halnya kanker payudara stadium I, pilhan terapi pada stadium II-pun
hampir sama. Berikut ini adalah hal-hal prinsip dalam pengelolaan kanker
payudara stadium II :
1. Pembedahan mutlak diperlukan, pilhan mastektomi radikal atau BCT
tergantung biologi tumor, pilihan penderita, dan atau dokternya.
2. Pada beberapa senter onkologi, diseksi kelenjar aksila dapat diminimalisir
dengan tektik sentinel lymph-node dissection. Keberhasilan sangat
tergantung ahli bedah onkologi yang mengerjakannya.
3. Terapi ajuvan sistemik, baik hormonal, kemoterapi maupun trastuzumab,
direkomendasikan pada semua penderita kanker payudara dengan
keterlibatan kelenjar, tumor > 1cm, walaupun ER positif atau PR positif
4. Terapi hormonal hanya diberikan pada penderita dengan ER positif dan atau
PR positif. Penggunaan aromatase inhibitor dapat dipertimbangkan pada
penderita postmenopause saja.
5. Terapi hormonal sekuensial pada penderita postmenopause :
Tamoksifen 10 mg b.i.d selama 5 tahun lalu letrozole 2.5 mg o.d
Tamoksifen 10 mg b.i.d selama 2-3 tahun lalu anastrozole 1 mg o.d
sampai 5 tahun
Tamoksifen 10 mg b.i.d selama 2-3 tahun lalu exemestane 1 mg o.d
sampai 5 tahun
Letrozole 2.5 mg o.d, exemestane 25 mg o.d atau anastrozole 1 mg o.d
selama 5 tahun
6. Penderita premenopause dengan ER negatif tidak perlu diterapi hormonal
7. Penderita dengan ER negatif direkomendasikan pemberian kemoterapi, bila
dengan keterlibatan kelenjar maka sebaiknya digunakan kombinasi taksan
dan antrasiklin.
8. Pemberian Trastuzumab bersama taksan dan antrasiklin direkomendasikan
pada penderita dengan keterlibatan kelenjar atau golongan risiko tinggi
walaupun tanpa keterlibatan kelenjar.
9. Pada stadium II dapat dilakukan kemoterapi neo-adjuvant, terutama pada
penderita yang memilih BCT.
Dua penelitian yang dilakukan oleh Danish Cancer Cooperative Group dan
British Columbia Trial menyimpulkan bahwa kemoterapi neo ajuvan
meningkatkan masa bebas penyakit dan kelangsungan hidup pasien secara
bermakna.
Penelitian lain yang menggunakan tamoxifen sebelum mastektomi juga
menyimpulkan hal yang sama.
10. BCT hanya dilakukan pada penderita-penderita kanker payudara stadium II
yang memenuhi kriteria seperti pada tabel 1., ukuran tumor harus < 4 –
5 cm. Dosis radioterapi sama dengan pada stadium I.
Para ahli masih belum sepakat melakukan BCT pada penderita dengan
metastase pada kelenjar getah bening (N1).
229
Jadi sebaiknya BCT hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan yang cermat,
berdasarkan keadaan pasien secara keseluruhan dan faktor-faktor risiko
yang ada pada masing-masing individu.
Termasuk didalam golongan ini adalah ukuran tumor > 5cm, keterlibatan kelenjar
yang ekstensif, tumor sudah mengenai dinding dada atau kulit disertai edem,
ulserarasi, atau sudah terdapat nodul satelit, inflammatory breast cancer (1 –
3%), rekurensi lokoregional (10 – 50%) dan adanya metastasis jauh. Organ yang
paling sering terkena adalah paru, hati dan tulang.
Terapi optimal untuk stadium III terus berkembang. Dari beberapa uji klinik,
tampaknya pemberian terapi neoadjuvant menjadi pilihan untuk penderita kanker
payudara stadium III, kecuali kanker payudara terinflamasi
Diagnosis :
Locally advanced Breast Cancer
Secara klinis mudah diketahui, hanya sebagian kecil yang masa tumornya
difus. Penderita dengan inflamatomy BC biasanya disertai eritema, edema
dan peau d’orange disekitar tumor
Biopsi insisi
Mamografi dilakukan bila diduga sudah terjadi penyebaran tumor ke kontra
lateral
CT scan merupakan sarana terpilih untuk menentukan ada tidaknya
metastasis jauh. Bila tak memungkinkan, dapat dilakukan foto toraks, dan
ultrasonografi abdomen.
MRI digunakan untuk mencari metastasis di otak dan tulang.
Menurut pedoman dari ASCO (American Society of Clinical Oncology), ESMO
(European society of Medical Oncology), dan RTOG (Radiation Therapist
Oncology Group), sidik tulang tidak lagi digunakan untuk mendeteksi
metastasis tulang, karena terlalu sensitif tetapi tidak spesifik.
Rekurensi lokoregional
Biopsi
Harus selalu diperiksa status reseptor hormon karena hanya 80% kasus yang
status reseptornya sama dengan tumor primernya.
Sebelum menentukan terapi, harus dicari ada tidaknya metastasis seperti
pada Locally advanced Breast Cancer
230
Terapi :
Locally advanced Breast Cancer :
Sekitar 60 – 90% penderita kanker payudara stadium III telah terjadi
metastasis ke kelenjar getah bening regional
Pada umumnya terjadi setelah 2 tahun dari kemoterapi untuk tumor
primernya.
Pilihan terapi :
1. Neoajuvan Sistemik
Keuntungan neoajuvan adalah kita dapat menentukan efikasi regimen
yang diberikan secara invivo, serta memudahkan operasi.
Kerugian : tidak dapat menentukkan pathologic staging secara akurat.
Pilihan regimen dapat dilihat pada tabel berikut ini :
231
Contoh:
CAF 4x
Taksan 4x Operasi
Radioterapi Kemoterapi
Dengan cara di atas, kelangsungan hidup 5 tahun dapat mencapai 84% untuk
stadium III A dan 44% untuk stadium III B, terutama penderita dengan
Inflammatory Breast Cancer.
Teknik pembedahan yang tadinya mastektomi saat ini telah bergeser menjadi
breast conservation therapy pada subpopulasi tertentu.
Radiasi primer dengan dosis antara 5000 – 6000 cGy mulai ditinggalkan sebagai
pilihan pertama sebelum kemoterapi. Karena penelitian telah membuktikan
bahwa :
Kanker payudara adalah penyakit sistemik walaupun masih pada stadium
awal.
Penundaan radioterapi sampai selesai pemberian kemoterapi tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan pada kelangsungan hidup dan
progresivitas penyakit.
232
Pilihan terapi :
1. Mastektomi : biasanya dilakukan pada kasus-kasus rekurensi
lokoregional yang sebelumnya dilakukan BCT (Breast conserving
therapy). Sebagian kecil ahli bedah masih melakukan re-eksisi luas.
Tetapi cara ini tidak didukung oleh penelitian dengan pemantauan yang
lama.
2. Rekurensi pada dinding dada :
Bila masa bebas penyakit di atas 10 tahun, maka dapat dilakukan
eksisi saja. Hasilnya akan lebih baik bila ditambah radioterapi untuk
kontrol lokalnya.
Pilihan lain adalah:
Reseksi radikal dinding dada yang meliputi reseksi kulit, jaringan
lunak dan tulang. Kemudian dibuat flap atau rekonstruksi dengan
protese.
Bila rekurensi ini terjadi < 4 tahun maka pilihannya adalah
kemoterapi seperti yang telah dibuktikan oleh peneliti dari NSABP.
Walaupun demikian, data lain yang menunjang hal diatas masih
sedikit, sehingga pilihan terapi harus berdasarkan individual.
Bila rekurensi pada dinding dada disertai dengan rekurensi kelenjar
getah bening, maka pilihannya adalah kemoterapi atau terapi
hormonal pada penderita dengan status reseptor hormon
estrogen (+).
3. Rekurensi pada kelenjar supraklavikula ipsilateral.
Pilihan utama adalah kemoterapi, kecuali terbukti tidak ada metastasis
ditempat lain. Dalam hal ini boleh dilakukan ektirpasi kelenjar +
radioterapi
4. Trastuzumab
Uji klinik pada rekurensi lokoregional masih berjalan. Penggunaan
antibodi monoklonal terhadap HER2/neu pada keadaan ini belum
disepakati oleh semua pakar. Bila melihat data pada kanker payudara
dini maka trastuzumab dapat dipertimbangkan penggunaannya
terutama pada kasus lokoregional dengan ekspresi HER2/neu yang
berlebihan dan pada pemeriksaan histopatologi tepi sayatan bebas
tumor.
Penderita sdengan stadiun IV sebagian besar tidak dapat disembuhkan. Data dari
penelitian CALGB (Cancer and Leukemia Group B) menyimpulkan bahwa hanya
5 – 10% yang bertahan sampai 5 tahun, 2 – 5% hidup lebih dari 10 tahun.
Dengan ditemukannya obat-obat baru, maka rerata kelangsungan hidup
penderita stadium IV menjadi sekitar 24 bulan, yang tadinya 17 bulan pada era
delapan puluhan.
233
Oleh karena itu tujuan terapi pada kelompok ini adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup, menghilangkan/mengurangi gejala akibat kankernya, mencegah
progresivitas penyakitnya, sekaligus memperpanjang masa progresivitas dan jika
mungkin, memperpanjang kelang-sungan hidup penderita.
Diagnosis :
Biopsi sangat berperan pada penderita kanker payudara stadium IV, karena bisa
saja lesinya merupakan tumor jinak atau malignansi sekunder. Hal ini terbukti
bahwa nodul pada paru yang semula diduga metastasis ternyata hanya 50%
yang benar-benar metastasis, sisanya adalah kanker sekunder, terutama
penderita yang tadinya perokok berat.
Terapi :
Pilihan terapi pada kanker payudara stadium IV sangat kompleks dan individual.
Berdasarkan beberapa penelitian fase II dan fase III, para ahli sepakat bahwa
suatu obat dapat dikatakan aktif pada stadium IV bila dapat menghasilkan respon
objectif > 20%.
234
Disamping respon terhadap terapi, hal-hal berikut dapat dijadikan faktor prediksi
keberhasilan terapi, yakni:
1. Secara klinis mempunyai masa bebas penyakit yang lama, hanya metastasis
pada tulang atau jaringan lunak lain. Kelompok ini umumnya akan responsif
terhadap terapi endokrin, walaupun sebelumnya sudah diterapi hormonal.
2. Status reseptor hormon:
Bila ER+/PR+ maka kemungkinan respon terhadap terapi hormonal
mencapai 70%
Bila ER+/PR- atau ER-/PR+, maka respon terapi hormonal sekitar 40%
Bila ER-/PR-, maka respon terapi hormonal < 10%
3. Pada kemoterapi naif, respon terhadap kemoterapi sekitar 50 – 75%
Beberapa faktor prediktif lain, seperti fraksi fase S, Ki67, p53, Pgp170 masih
diperdebatkan peranannya pada kanker payudara stadium IV.
Dari beberapa panduan, dapat disimpulkan bahwa terapi golongan risiko rendah
adalah sebagai berikut:
1. Pada kasus dengan oligometastasis atau cenderung terjadi kompresi fraktur,
maka terapi lokal harus diutamakan. Pada kasus dengan ER +, maka terapi
sistemik hormonal lebih diutamakan dari pada kemoterapi
2. Pada kasus yang progresif, metastasis ke organ viseral, atau dengan gejala
yang berat akibat tumornya, pilihannya adalah kemoterapi.
3. Pada kasus dengan HER2/neu +, apabila pilihannya kemoterapi, sebaiknya
diberikan bersamaan dengan trastuzumab. Data fase II menunjukkan bahwa
lapatinib (Tykerb) lebih baik dibandingkan dengan trastuzumab, terutama
pada kasus dengan metastasis ke otak.
4. Pemberian kemoterapi dosis tinggi dengan cangkok sel induk dari darah tepi
ternyata tidak menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan dosis lazim.
5. Pada penderita dengan keadaan umum yang tidak baik (Karnofsky 50 – 70)
dapat dipertimbangkan pemberian kemoterapi mingguan dengan dosis kecil.
6. Penderita dengan lesi litik atau mungkin lesi blastik pada tulang, maka
pembrian bisfosfonat bersamman dengan kemoterapi atau terapi hormonal,
terbukti dapat mencegah komplikasi yang disebabkan oleh metastasis tulang.
235
Contoh terapi golongan risiko rendah:
Tamoxifen
10 mg b.i.d
Aromatase inhibitor,
atau Megestrol acetate sampai progresif
Post menopause :
Tamoxifen 20 mg qd. p.o. atau 10 mg b.i.d
Toremifene 60 mg qd. p.o.
Anaztrozole 1 mg qd. p.o.
Letrozole 2.5 mg qd. p.o.
Exemestane 25 mg qd. p.o.
Megestrol Acelnte 40 mg q.i.d. p.o.
Fluoxymesterone 10 mg q.i.d. p.o.
Aminoglutetimide 250 gr q.i.d. p.o.
Pre menopause :
Tamoxifen 20 mg qd. p.o. atau 10 mg b.i.d
LHRH analog 3,6 mg q28d atau 10.8 mg q72d s.c.
Anastrozole 1 mg qd. p.o.
Letrozole 2.5 mg qd. p.o.
236
Terapi Golongan Risiko Tinggi :
Yaitu penderita dengan masa bebas penyakit yang singkat, refrakter terhadap
terapi hormon dan terdapat metastasis organ-organ dalam.
Tahapan terapi pada golongan ini adalah sebagai berikut :
Progresif
237
Secara ringkas, pilhan terapi hormonal atau kemoterapi pada kanker payudara
stadium IV adalah seperti algoritme dibawah ini :
238
Variabel Resiko relatif
239
KANKER KOLOREKTAL
Insidensi :
Di USA merupakan penyebab kematian nomor dua akibat kanker sesudah kanker
paru-paru. Usia merupakan faktor terpenting pada kanker kolorektal sporadik,
insidensi mulai meningkat setelah usia 40 – 50 tahun.
Faktor Resiko :
Riwayat keluarga yang menderita polip usus atau kanker usus
Diabetes mellitus dan hiperinsuliemia, meningkatkan insidensi kanker kolon
sampai 30%
Kolesistektomi, dapat meningkatkan risiko kanker kolon kanan sebesar 10%
Obesitas, meningkatkan insidensi kanker kolon sebanyak 15%
Lain-lain : radiasi daerah pelvis, mutasi gen BRCA
Etiologi :
1. Polip tipe villous, atau polip > 1 cm
2. Diet tinggi lemak, tinggi kalori dan rendah serat
3. Kolitis ulseratif, penyakit Crohn
4. Genetik : familial, d17p, d5q
5. Merokok
Patologi :
98% adenocarcinoma
Daerah anal : squamous cell, basaloid carcinoma
2/3 letak di kolon kiri, 1/3 di kolon kanan
20% di rektum
240
Riwayat Penyakit :
Tergantung lokasi dan besar tumor
Sebelah kanan : nyeri-nyeri perut, perdarahan, anemia, berat badan turun,
jarang obstruksi.
Sebelah kiri : perubahan bowel habits, perdarahan, kaliber feses berubah,
konstipasi, obstruksi.
40 – 70% metastase ke kelenjar getah bening regional saat dilakukan
reseksi, 15 – 20% metastasis jauh
Karena drainase vena dan limfatik dari saluran cerna melalui sistem porta,
maka metastase ke hati paling sering ditemukan, disusul metastasis ke
rongga peritoneum, paru-paru, tulang adrenal, tulang, ovarium, jarang ke
otak. Walaupun demikian tumor yang terletak di sigmoid dan rektum bagian
distal dapat langsung ke paru, karena drainasenya ke vena cava inferior
selain sistem porta.
Manifestasi klinik yang tidak biasa dapat berupa : demam lama, abses
retroperitoneal, abses dinding perut.
Diagnosis :
Staging :
0 T1S N0 M0 100
I T1 N0 M0 A 95
T2 N0 M0 A 90
II T3 N0 M0 B 80
T4 N0 M0 B 75
III Any T N1 M0 C 72
Any T N2 M0 C 60
Any T N3 M0 C 40
IV Any T any N M1 D 5
Keterangan :
TIS : Ca in situ
T1 : invasi ke submukosa
T2 : invasi ke muskularis propria
241
T3 : invasi sampai ke subserosa atau ke nonperitonealized pericolic atau
jaringan perirekttal
T4 : perforasi peritoneum viseralis atau invasi langsung ke jaringan/organ
terdekat
N0 : tidak ada metastase ke kelenjar getah bening regional
N1 : metastase ke 1 3 kelenjar getah bening perikolik/perirektal
N2 : metastase ke 4 atau lebih kelenjar getah bening
N3 : metastase ke kelenjar getah bening sepanjang vaskuler atau invasi ke
organ-organ sekitar
M0 : tidak ada metastase jauh
M1 : metastase jauh
Faktor-Faktor Prognostik :
1. Stadium
2. Histologis, karsinoma diferensiasi baik lebih baik dari karsinoma diferensiasi
buruk
3. Lokasi anatomis, untuk stadium yang sama lesi di rektum mempunyai
prognosis lebih buruk, lesi di kolon desenden mempunyai prognosis lebih
buruk dari lesi di kolon asenden dan rektosigmoid
4. Gejala klinis : penderita dengan obstruksi atau perforasi mempunyai
prognosis lebih buruk
5. Kelainan kromosom
Prognosis lebih buruk jika ada kelainan pada kromosom 18
Pengobatan :
1. Pembedahan
2. Radioterapi
Terbukti efektif menurunkan rekurensi lokal dibandingkan operasi saja
17 vs 28%) tetapi tidak memperpanjang kelangsungan hidup penderita
(58 vs 59%)
3. Kemoradioterapi
Menurut beberapa uji klinik, antara lain NCCTG (North Central Cancer
Treatment Group), NSABP R01, INT 0144 kemoradioterapi
menggunakan 5-FU dapat menurunkan rekurensi lokal sampai 48%
sekaligus memperpanjang kelangsungan hidup sampai 70%
4. Kemoterapi ajuvan
Untuk stadium II (Duke B), dimana tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening masih kontroversi karena hasil penelitian memperlihatkan
kelangsungan hidup 5 tahun yang tidak beda bermakna.
Stadium III
Standard : 5 FU + leucovorin 3 – 5 minggu setelah operasi
242
a. Mayo Clinic :
Leucovorin 20 mg/m2 IV 30 menit (hari 1 – 5)
5 FU 425 mg/m2 IV bolus (hari 1 – 5 )
6 siklus tiap 28 hari
b. Mayo Clinic ( modifikasi )
Leucovorin 20 mg/m2 IV 30 menit ( hari 1 – 5)
5 FU 425 mg/m2 IV 2 jam, kemudian 5FU 600 mg/m2 drip
22 jam (hari 1 – 5)
6 siklus tiap 28 hari
c. De Gramont :
Leucovorin 200 mg/m2 IV 2 jam (hari 1, 2)
5FU 400 mg/m2 IV bolus, dilanjutkan 600 mg/m2 IV kontinu
selama 22 jam (hari 1, 2)
6 siklus tiap 14 hari
d. Roswell Park Memorial Institute (RPMI)
Leucovorin 500 mg/m2/IV 30 menit dilanjutkan dengan 5 FU
500 mg/m2/IV bolus, keduanya diberikan tiap minggu selama
6 minggu, diberikan dalam 3 siklus dengan istirahat antara siklus
2 bulan.
Toksisitas regimen di atas hampir sama.
Regimen lain belum ada yang lebih superior dari regimen diatas.
Kemoterapi oral :
Capecitabine (R/xeloda) 2500 mg/m2/hari selama 2 minggu setiap
3 minggu untuk 6 siklus, tanpa pemberian leucovorin.
Terapi oral dilaporkan tahun 1999 (Amerika Society of Clinical
Oncologists) dengan hasil angka respon dan kelangsungan hidup yang
setara dengan kemoterapi standard.
Efek samping yang sering terjadi : adalah hand – foot syndrome (Palmar
– Plantar Erythrodysesthesia)
5. Advanced Colorectal Cancer
Advanced colorectal cancer yaitu kanker kolorektal yang pada saat diagnosis
atau rekurensi dengan penyebaran luas atau metastatik sehingga tidak
mungkin dapat dilakukan terapi kuratif dengan pembedahan.
Beberapa uji klinis telah membuktikan bahwa bila hanya dengan terapi
suportif, maka kelangsungan hidup berkisar antara 5 – 6 bulan saja.
Sedangkan pemberian kemoterapi terbukti memperbaiki kualitas hidup dan
memperpanjang kelangsungan hidup dengan signifikan, terutama dengan
pemberian regimen yang mengandung irinotecan atau oxaliplatin dengan
5-FU.
Regimen :
FOLFIRI
5 FU + Leucovorin Irinotecan (CPT – 11)
Kemoterapi standard dengan irinotecan dipakai sebagai first line
therapy.
243
Siklus 8 minggu,diberikan setiap minggu, sebanyak 6 kali dengan
interval 2 minggu.
CPT – II 180 mg/m2/IV 90 menit (minggu 1 – 6)
LV 200 mg/m2/IV 2 jam (minggu 1 – 6)
5 FU 400 mg/m2/IV bolus (minggu 1 – 6)
5 FU 600 mg/m2/IV 22 jam (minggu 1 – 6)
SALTZ, siklus 6 minggu, diberikan tiap minggu
CPT – II 125 mg/m2/V 90 menit
LV 20 mg/IV bolus
5 FU 500 mg/m2/IV bolus
Pada saat ini regimen SALTZ sudah banyak ditinggalkan karena
toksisitasnya tinggi.
Folfox 2 :
Oxaliplatin 100 mg/m2 IV 2 jam (hari 1)
LV 500 mg/m2 IV 2 jam (hari 1, 2 )
5 FU 1500 – 2000 mg/m2 IV 22 jam ( hari 1, 2)
Siklus diulang tiap 2 minggu
Regimen ini sudah banyak ditinggalkan karena toksisitasnya.
Folfox 4 :
Oxaliplatin 85 mg/m2 IV 2 jam (hari 1)
LV 200 mg/m2 I.V 2 jam (hari 1, 2)
5 FU 400 mg/m2 IV bolus (hari 1, 2)
600 mg/m2/IV drip 22 jam (hari 1, 2)
600 mg/m2 IV drip 24 jam (hari 3)
Siklus diulang tiap 2 minggu
Folfox 6 :
Oxaliplatin 100 mg/m2 IV 2 jam (hari 1)
LV 400 mg/m2/IV 2 jam (hari 1)
5 FU 400 mg/m2/IV bolus (hari 1, 2)
2400 – 3000 mg/m2/IV drip 46 jam (hari 1, 2)
Siklus diulang tiap 2 minggu
Regimen ini sudah mulai ditinggalkan karena toksisitasnya
244
5 FU 3800 mg/m2 selama 48 jam (infus kontinu semiintermiten)
sesudah LV
LV 200 mg/m2 IV 2 jam (bersamaan dengan oxaliplatin)
Siklus diulang tiap 2 minggu.
Progression free survival 10,4 bulan, overall survival 26,5 bulan, response
rate 71%.
OPTIMOX1 dan OPTIMOX2
Oxaliplatin 100 mg/m2 IV 2 jam (hari 1) bersamaam dengan LV
5 FU 3800 mg/m2 selama 48 jam (infus kontinu semiintermiten)
sesudah LV
LV 200 mg/m2 IV 2 jam (bersamaan dengan oxaliplatin)
Siklus diulang tiap 2 minggu sampai 12 kali, lalu dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 5-FU sampai progresif. Walaupun progression free survival
menanjang, tetapi overall survival tidak berubah.
XELOX
Capecitabine 1000 mg/m2 PO 2 kali sehari (hari 1 – 14)
Oxaliplatin 130 mg/m2 IV 2 jam
Siklus setiap 3 minggu (periode istirahat hari 15 – 21)
CAPOX
Capecitabine 1000mg/m2 PO 2 kali sehari (hari 1 – 14)
Irinotecan 100 mg/m2 IV (hari 1, 8) setiap 22 hari
Regimen ini memberikan respon sebesar 37,1% (respon komplit 1,9%,
respon parsial 35,2%), progression – free survival 8,3 bulan.
CAPIRI
Capecitabine 1000 mg/m2 PO 2 kali sehari (hari 1 – 14)
Oxaliplatin 70 mg/m2 IV (hari 1) setiap 22 hari
Regimen ini memberikan respon sebesar 43,1% (respon komplit 5,2%,
respon parsial 37,9%), progression – free survival 6 bulan.
Antibodi monoclonal
Murine monoclonal antibody 17–1A (edrecolomab / EDR) merupakan
antibody terhadap antigen tumor Ep-CAM.
EDR 1500 mg infus (hari 1)
100 mg/m2 infus (hari 2 – 5)
5 FU 425 mg IV (hari 1 – 5)
LV 20 mg/m2 IV (hari 1 – 5)
Pemberian EDR pada regimen 5FU-LV memperbaiki kelangsungan hidup
(3 tahun survival meningkat dari 78,9% menjadi 81,6%)
245
LV 400 mg/m2 IV bolus setelah CPT –11 (minggu 1 – 4)
5 FU 500 mg/m2 IV bolus setelah LV (minggu 1 – 4)
Siklus diulang setiap 6 minggu
Prognosis :
246
KEGANASAN DI KEPALA DAN LEHER
Definisi :
Keganasan di kepala dan leher adalah keganasan, terutama jenis karsinoma
epidermoid, yang timbul dari salah satu bagian dari kepala dan leher.
Secara anatomi dibagi menjadi 5 kelompok (lihat gambar), yakni:
1. Rongga mulut, termasuk didalamnya bibir, mukosa bukal, lidah anterior,
dasar mulut, palatum durum dan ginggiva.
2. Faring yang terdiri dari orofaring, nasofaring, dan hipofaring
3. Laring, terdiri dari supraglotik, glotik (pita suara), subglotik
4. Rongga hidung dan sinus-sinus dikepala
5. Kelenjar ludah major dan minor
247
Etiologi :
Untuk semua letak tumor, etiologi dihubungkan dengan pemakaian tembakau.
Setiap bentuk tembakau diketahui menyebabkan displasia dan kerusakan yang
bersifat karsinogenik.
Alkohol diperkirakan mempunyai peran sinergistik dengan tembakau.
Faktor lainnya adalah inveksi virus (HIV, HSV), radiasi, diet (terutama makanan
panas pada etnis Cina), dan faktor genetik. Khusus untuk kanker nasofaring,
infeksi virus Epstein-Barr memegang peranan penting, terutama pada Asia
Tenggara dan Afrika Utara. Kanker orofaring terbukti berhubungan erat dengan
virus pailloma manusia, diduga berhubungan dengan perilaku seksual.
Insidensi :
Merupakan kanker kedua terbanyak di Indonesia, kelima di Asia. Lelaki relatif
lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita, dengan rasio 2:1 sampai 4:1.
Tidak ditemukan literatur yang menyebutkan adanya predisposisi usia pada
kanker jenis ini, semua usia dapat terkena.
248
Riwayat Penyakit :
Pada umumnya dengan riwayat penurunan berat badan dan adanya benjolan
yang persisten pada daerah kepala dan leher.
Tanda-tanda klinik:
Biasanya terlihat atau teraba adanya benjolan, dapat ditemukan gangguan
saraf otak yang berhubungan, hiperplasia gusi, luka yang tidak sembuh-
sembuh atau lesi mulut exophytic, eritroplakia, stridor dari tumor glotis yang
besar.
Diagnosa :
Disamping anamneis, pemeriksaan fisik harus teliti. Meliputi inspeksi wajah,
rongga mulut, ada tidaknya parese syaraf-syaraf kranial.
Pemeriksaan laboratorium tidak terlalu penting dalam diagnosis.
Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) adalah
pemeriksaan yang paling baik untuk menentukan kedalaman invasi tumor dan
membedakan perubahan keganasan dari inflamasi. Di negara maju sudah
menggunakan PET-CT atau PET-MRI.
Angiografi : tergantung dari lokasi tumor.
Pemeriksaan diagnostik lain : Flexible fiberoptic nasopharyngoscopy dengan
biopsi, laringoskopi direk dengan esofagoskopi, videostroboskopi untuk tumor
larings.
Biopsi jarum halus pada kelenjar yang terinvasi perlu dilakukan pada kasus-kasus
yang tumor primernya tidak diketahui pasti. Bila hasilnya karsinoma epidermoid,
maka langkah selanjutnya adalah panendoskopi disertai biopsi acak pada
nasofaring, basis lidah, tonsil, sinus piriformis, dan laring.
249
Stadium :
Digunakan sistim TNM dari the American Joint Committee on Cancer (AJCC).
Kriteria ukuran tumor primer (T) tergantung dari lokasinya. Tetapi untuk T4
semuanya sama, yakni bila telah menginvasi jaringan otot, tulang, tulang rawan,
dan pembuluh darah sekitarnya. T4b umumnya berkonotasi tumornya masih
terlokalisir tapi sudah tidak dapat direseksi.
Untuk keterlibatan kelenjar, semuanya sama, kecuali untuk kanker nasofaring
(lihat tabel)
Stadium Klasifikasi
T N M
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IV T4 N0 M0
250
Terapi :
Secara garis besar terapinya dibagi menjadi 3 golongan, sebagai berikut:
Stadium dini (stadium I dan II)
Stadium lanjut yang masih terlokalisasi, termasuk didalamnya yang sudah
bermetastasis ke kelenjar getah bening leher (Stadium III, IVa, IVb).
Metastasis jauh dan rekurensi lokal
Stadium Dini :
Standard terapi yang sering dilakukan untuk stadium dini adalah
pembedahan dan atau radioterapi saja. Kedua modalitas terapi ini
mempunyai angka rekurensi dan kelangsungan hidup yang sama, oleh
karena itu pilihan harus berdasarkan: ada tidaknya ko-morbiditas, fungsional
organ yang terkena, kualitas hiup, dan asesibilitas.
Contoh : Kanker laring stadium dini sebaiknya dipilih radioterapi agar dapat
melakukan preservasi pita suara, sedangkan kanker rongga mulut sebaiknya
dilakukan pembedahan mengingat komplikasi jangka panjang seperti
xerostomia, gangguan rasa dan lain-lain.
Beberapa hal khusus :
Pada kanker dasar mulut dan lidah, pembedahan harus disertai dengan
diseksi KGB ipsilateral pada regio I, II, dan III. Bahkan pada lesi yang
terletak di dasar mulut anterior, basis lidah dan di garis tengah lidah,
sebaiknya dilakukan diseksi KGB bilateral. Hal ini disebabkan karena
tingginya insidensi metastasis ke KGB, walaupun secara klinis tak
dijumpai limfadenopati.
Radioterapi adjuvant dikerjakan apabila pada pembedahan tidak
memungkinkan dilakukan eksisi luas atau pada histopatologi masih
terdapat sel-sel kanker di tepi sayatan.
Berbeda dengan kanker laring, kanker hipofaring mempunyai prognosa
yang buruk karena sebagian besar terdiagnosa pada stadium lanjut,
sehingga tidak ada kesatuan pendapat dalam modalitas terapinya.
Brachytherapy dan interstitial implants kadang-kadang digunakan untuk
tumor yang mengenai lidah, bibir, dasar mulut, kulit dan mukosa pipi.
Kanker nasofaring pada umumnya berupa kanker epidermoid yang
memiliki sifat yang berbeda dengan kanker kepala dan leher lainnya,
baik dalam hal epidemiologi, histologi, perjalanan penyakit maupun
respon terhadap terapi. Pada umumnya antara diagnosa pasti dan gejala
klinis awal mempunyai tenggang waktu yang lama, sehingga banyak
ditemukan pada stadium lanjut. Walaupun demikian radioterapi masih
lebih unggul dibandingkan terapi bedah mengingat anatominya, bersifat
radiosensitif, serta berprognosis relatif lebih baik dibandingkan dengan
kanker kepala dan leher lainnya (pada stadium III sekitar 60%)
251
Stadium Lanjut yang Terlokalisasi :
Modalitas terapi pada stadium ini berupa kombinasi antara terapi bedah,
radioterapi, dengan atau tanpa kemoterapi. Kelangsungan hidup penderita
yang dikelola dengan konkomitan kemo-radioterapi tidak berbeda
dibandingkan terapi bedah dan radioterapi, perbedaan utama terletak pada
preservasi organ.
Pada kasus-kasus yang sudah tidak dapat direseksi, konkomitan kemo-
radioterapi merupakan modalitas terpilih dalam penglolaannya.
Kelangsungan hidup penderita dalam 4 tahun dapat mencapai 40 – 60%.
Kemoterapi pada stadium ini terbukti menurunkan kejadian metastase jauh
dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan kemoterapi. Kombinasi yang
dipakai adalah Docetaxel 75 mg/m2 + Cisplatin 75 mg/m2 atau Cisplatin
100 mg/m2 (hari 1) + 5 FU 1000 mg/m2/hari (hari 1 – 5).
Kemoterapi dan radioterapi secara sekuensial tidak lebih unggul
dibandingkan dengan konkomitan, sehingga cara ini tidak banyak digunakan
lagi. Demikian juga radoterapi hiperfraksinasi, disamping biayanya mahal
juga meningkatkan morbiditas.
Pada kasus tertentu (tumor yang besar dan tidak dapat direseksi),
radioterapi memegang peranan penting sebagai terapi paliatif, preservasi
bicara dan fungsi menelan.
252
Pada tabel dibawah ini tercantum beberapa regimen kemoterapi yang pernah
dibandingkan dengan regimen PF
Median
Peneliti Regimen N RR (%) survival Hasil
(bulan)
Forastiere A. PF 87 32 7 p <0.001 untuk PF vs MTX
1992 Carbo/5-FU 86 21 5 p = 0.05 untuk carbo/5-FU
MTX 88 10 6 vs MTX
Jacobs C. PF 79 32 6 p = 0.035, untuk PF vs C
1992 Cisplatin 83 17 5 p = 0.05 untuk PF vs. 5-
5-FU 83 13 6 FU
Liverpool PF 50 24 5 Tidak terdapat perbedaan
Group. 1990 Cisplatin/MTX 50 22 5 bermakna pada
Cisplatin 50 28 7 kelangsungan hidup
MTX 50 12 4
Clavel M. PF 116 34 6 p = 0.001 untuk CABO vs
1994 Cis/MTX/Bleo/ 127 37 8 Cis
VCR (CABO) 122 16 5 p = 0.003 untuk PF vs Cis
Cisplatin Tidak terdapat perbedaan
bermakna pada
kelangsungan hidup
253
Cisplatin 75 mg/m2 hari 1 + Docetaxel 175 mg/m2 hari 1 tiap 3 minggu
lebih unggul dalam respon terapi (32 – 53%) tetapi tetap tidak dapat
memperpanjang kelangsungan hidup penderita (5 bulan), bahkan
netropeni derajat 4 pada uji klinis fase II ini mencapai 71 – 83%.
Carboplatin AUC = 6 + paclitaxel/docetaxel juga tidak berhasil mencapai
tingkatan respon dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi
dibandingkan PF, hanya saja efek toksik berupa neuropati dan gagal
ginjal jauh berkurang.
Ifosfamide 1000 mg/m2 hari 1 – 3 + Cisplatin 75 mg/m2 hari 1 +
Paclitaxel 175 mg/m2 hari 1 tiap 3 minggu (dikenal sebagai regimen
TIC) memang dapat meningkatkan respon terapi sampai 77%, tetapi
tetap tidak memperbaiki kelangsungan hidup. Demam netropeni terjadi
pada 27% penderita.
Prognosis :
Prognosis memburuk jika kedalaman invasi tumor meningkat dan derajat
diferensiasi seluler menurun.
254
KANKER PARU-PARU
Etiologi :
Faktor-faktor risiko yang berperan dalam terjadinya kanker paru-paru :
Perokok : mempunyai risiko 30 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok.
Hanya 5 – 10% penderita kanker paru-paru yang bukan perokok (terutama
adenokarsinoma pada wanita). Perokok pasif juga merupakan faktor risiko
terutama bila paparan terjadi pada masa anak-anak (risiko 2 kali lebih
tinggi). Risiko terjadinya kanker paru-paru berhubungan dengan dosis
kumulatif : pack-years. Insidensi kematian karena kanker paru-paru berbeda
bermakna antara bukan perokok dan pada perokok 10 pack-years. Pada
perokok kurang dari 20 tahun, risiko akan menurun mendekati bukan
perokok setelah berhenti merokok selama 15 tahun .
Faktor genetik
Paparan asbestos : biasanya berhubungan dengan mesotelioma malignan.
Paparan asbestos juga meningkatkan risiko kanker paru-paru ,terutama
pada perokok (3 kali lebuh tinggi dibandingkan bukan perokok). Risiko
terjadinya karsinoma paru-paru pada perokok yang terpapar asbestos
meningkat 90 kali lebih tinggi.
Paparan radiasi : dapat meningkatkan risiko terjadinya SCLC ( Small cell lung
cancer) pada perokok dan bukan perokok.
Zat karsinogenik lain : arsenik, nikel, kromium, klorometil eter, polusi udara.
Kanker paru-paru sendiri berhubungan dengan peningkatan terjadinya
kanker paru-paru kedua baik yang terjadi secara bersamaan(sinkron)
maupun metasinkron. Kanker lain pada traktus respiratorius bagian atas
(kepala,leher,esofagus) berhubungan dengan peningkatan risiko kanker
paru-paru karena efek field cancerization dari rokok.
Kelainan paru-paru lain : jaringan parut di paru-paru dan penyakit paru-paru
obstruktif kronik berhubungan dengan peningkatan risiko kanker paru-paru.
255
Riwayat Penyakit :
Riwayat merokok, keluhan batuk atau perubahan keluhan batuk yang sudah ada,
batuk berdarah, suara serak, gejala-gejala tidak spesifik (anoreksia, penurunan
berat badan), sesak nafas, gejala dan infiltrat pneumonia yang menetap, nyeri
dada , gejala sindroma paraneoplasma.
Penderita dengan kanker pada apeks atau sulkus superior paru-paru (tumor
Pancoast’s) dapat memberikan keluhan parestesi, kelemahan lengan dan
sindroma Horner (ptosis, miosis, anhidrosis) karena terkenanya nervus simpatis
servikal.
256
Adenocarcinoma dan Large cell carcinoma
Adenocarcinoma merupakan kanker paru yang tersering didapatkan
pada penderita yang tidak merokok, terutama wanita muda.
Lokasi : terutama terutama di perifer
Lebih dari 50% penderita adenocarcinoma dengan gambaran nodul
perifer di paru-paru mempunyai metastase kelenjar getah bening
regional. Adenocarcinoma dan Large cell carcinoma mempunyai
perjalanan klinis yang sama dan menyebar secara hematogen,
terutama ke tulang, hati dan otak
Sindroma paraneoplasma : hipertropik osteoartropati,
hiperkoagulabilitas, hiperkalsemi (karena PTH-RP atau sitokin),
ginekomastia (pada large cell)
Tipe Histologi :
I Non –small cell :
Squamous cell carcinoma 50%
Adenocarcinoma 15%
Large-cell carcinoma 8%
Anaplastic carcinoma
II Small-cell carcinoma 20%
Oat cell
Polygonal cell
Lymphocytic
Spindle cell
III Alveolar cell carcinoma 2%
257
Klasifikasi Sistem TNM (Kanker Paru-Paru Non-Small Cell dan Small Cell) :
T:
Tx : sitologi positif
T1 : T < 3 cm tanpa invasi ke bronchus utama
T2 : T > 3 cm atau melibatkan bronchus utama > 2 cm distal karina
atau invasi pleura
Viseralis/ ateletasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke regio
hilus tetapi tidak mengenai seluruh paru-paru
T3 : Invasi dinding dada / diafragma / pericardium parietal / pleura
mediastinal atau pada cabang bronchus utama < 2 cm distal karina
(tanpa mengenai karina) atau adanya atelektasis atau pneumonitis
obstruktif pada seluruh paru-paru
T4 : Invasi mediastinum/jantung/pembuluh darah besar / trachea /
esophagus / vertebra / kari-Na, nodul tumor yang terpisah pada 1
lobus atau efusi pleura karena keganasan
N:
N1 : Kelenjar getah bening hilar ipsilateral/peribronkhial/intrapulmonal
(pada lobus yang sama)
N2 : Kelenjar getah bening mediastinal ipsilateral /subkarinal ipsilateral
N3 : Kelenjar getah bening mediastinal/hilat kontralateral, scalene dan
supraklavikuler
M:
Mo: Tanpa metastase jauh
M1: Disertai metastase jauh
Stadium TNM
Ia T1 N0 M0
Ib T2 N0 M0
II a T1 N1 M0
II b T2 N1 M0
T3 N0-1 M0
III a T1-3 N2 M0
III b T1-4 N3 M0
IV T1-4 N0-3 M1
258
Staging Menurut Klasifikasi Marburg (untuk Kanker Paru Small Cell) :
259
Klasifikasi Kelenjar Getah Bening Menurut Naruke & Ats (American Thoracic
Society) & North American LCSG (Lung Cancer Study Group) :
Keterangan :
N2 : semua kelenjar getah bening yang terletak dalam mediastinal.
yaitu : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. (kelenjar getah bening pada lokasi 1 – 9)
N1 : kelenjar getah bening yang terletak distal dari pleura mediastinalis & dalam
pleura visceralis
yaitu : kelenjar getah bening pada lokasi 10 – 14
260
Pemeriksaan Penunjang :
Foto toraks postero – anterior dan lateral : bila didapatkan massa, sebaiknya
dibandingkan dengan foto toraks yang lama. Infiltrat persisten, terutama
pada segmen anterior lobus superior mencurigakan suatu keganasan.
CT scan toraks : mempunyai keakuratan diagnostik sebesar 70% (lebih
tinggi daripada foto toraks). Kelenjar getah bening mediastinal dianggap
abnormal bila diameternya > 1,5 cm dan normal bila diameternya < 1,0 cm,
dan tidak dapat ditentukan bila diameternya antara 1,0 – 1,5 cm. CT scan
toraks memberikan gambaran invasi tumor primer, adanya efusi pleura dan
status kelenjar getah bening.
CT scan abdomen : dilakukan sampai tingkat kelenjar adrenal. Metastase ke
kelenjar adrenal sering didapatkan pada NSCLC dan akan mempengaruhi
terapi. Bila diagnosis adanya metastase tidak jelas dan massa di kelenjar
adrenal merupakan satu-satunya organ metastase, maka dianjurkan untuk
biopsi adrenal.
Pemeriksaan patologi :
Sitologi sputum : positif pada 60 – 80% NSCLC yang terletak di sentral
dan 15 – 20% NSCLC yang terletak di perifer.
Bromkhoskopi fiberoptik fleksibel : harus dilakukan pada semua kanker
paru-paru kecuali pada lesi yang kecil dan terletak di perifer. Dua
pertiga kanker paru-paru dapat terlihat pada pemeriksaan ini
Biopsi nodul kutaneus yang mencurigakan
Biopsi kelenjar getah bening .
CT-guided biopsy : bila tidak didapatkan bahan permeriksaan dari
bronkhoskoskopi
261
Mediastinoskopi : direkomendasikan pada keadaan :
Staging preoperative pada NSCLC (tidak cukup hanya dengan penilaian
radiologis)
Penderita dengan massa mediastinal, sitologi sputum dan bronkhoskopi
negatif
Evaluasi limfadenopati mediastinal (tidak diindikasikan bila kelenjar
mediastinal < 1 cm)
Biopsi jarum transbronkhial dan perkutaneus
PET (Positron emission tomography) : pemeriksaan berdasarkan perbedaan
penangkapan FDG (fluorodeoxyglucose) antara jaringan normal dan
neoplasma. PET lebih superior dari pada CT scan dan mungkin sebanding
dengan mediastinoskopi dalam mengevaluasi kelenjar getah bening
mediastinal.
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : merupakan standar pemeriksaan pada
SCLC limited-stage, karena tingginya insidensi keterlibatan sumsum tulang
tanpa gejala klinis. Pemeriksaan ini jarang diperlukan pada NSCLC.
Terapi :
1. NSCLC
Tindakan operatif merupakan terapi utama pada stadium I dan II. Pada
stadium III (dengan keterlibatan kelenjar getah bening mediastinal atau
struktur rongga toraks lain) pada umumnya masih resektabel, tetapi sering
mengalami relaps yang menyebabkan kematian penderita dalam 5 tahun
(90 – 95%) bila diterapi hanya dengan operasi.
American thoracic Society dan European Respiratory Society membuat
rekomendasi tentang resetabel / tidaknyanya dan operabel / tidaknya suatu
NSCLC :
Tanda-tanda tidak resektabel :
Metastase jauh (termasuk metastase ke paru-paru kontralateral)
Efusi pleura dengan sel-sel maligna
Obstruksi vena cava superior
Keterlibatan salah satu struktur :
- Kelenjar getah bening leher atau supraklavikula (terbukti secara
histologis)
- Kelenjar getah bening mediastinal kontralateral (terbukti secara
histologis)
- Nervus laringeus rekurens
- Dinding trakhea
Cabang bronchus utama < 2 cm dari karina
Status kardiak : aritmi atau gagal jantung yang tidak terkontrol, infark
miokardial dalam 6 bulan terakhir merupakan keadaan yang membuat
penderita inoperable.
262
Status pulmoner : kemampuan penderita mentolelir tindakan reseksi
sebagian atau seluruh paru-paru harus ditentukan. Adanya hipertensi
pulmonal atau tidak adekuatnya cadangan fungsi paru-paru merupakan
keadaan yang membuat penderita inoperabel
Tes fungsi paru rutin : analisa gas darah dan spirometri. Hal-hal
berikut ini menunjukkan keadaan inoperable :
- PaCO2 > 45 mmHg atau PaO2 < 60 mmHg
- FVC (forced vital capacity ) < 40% nilai prediksi
- FEV1 (forced expired volume at one second) 1L
Sidik perfusi paru kuantitatif : untuk memperkirakan FEV1
postoperatif. Tindakan pneumektomi merupakan kontraindikasi bila
didapatkan FEV1 < 700 ml, karena penderita akan cenderung
mengalami korpulmonal refrakter dan insufisiensi respirasi.
Test latihan : bila konsumsi oksigen maksimal > 20 ml/kg,
morbiditas perioperatif rendah. Bila konsumsi oksigen maksimal
< 10 ml/kg, morbiditas dan mortalitas tinggi.
a. NSCLC Operabel
Operasi : merupakan terapi terpilih pada penderita stadium I dan II
dengan keadaan umum yang memungkinkan. Jenis operasi : reseksi
inkomplit, lobektomi, bilobektomi, pneumektomi, VATS (video-
assisted thoracoscopic surgery)
Tumor Pancoast : radioterapi atau kemoradiasi preoperative diikuti
reseksi
Terapi ajuvan : sebagian besar penderita mengalami relaps dalam
2 tahun setelah reseksi. Sedang dilakukan penelitian random di
Amerika Serikat untuk membandingkan efektivitas tindakan reseksi
saja atau reseksi diikuti kemoterapi. Sampai didapatkan hasil
penelitian ini, ajuvan kemoterapi masih merupakan terapi pada
penelitian .
Radioterpi ajuvan memperbaiki kontrol lokal setelah reseksi, tetapi
keuntungan ini tidak bermakna karenya adanya penurunan
kelangsungan hidup. Berdasarkan hal tersenut, radioterapi ajuvan tidak
direkomendasikan pada NSCLC setelah reseksi komplit.
b. NSCLC Inoperabel
Resektabel tetapi inoperabel :
Radioterapi merupakan modalitas utama (survival 5 tahun
sekitar 20%, kira-kira setengah bila dibandingkan penderita
yang dioperasi).
Kemoradiasi dapat dipertimbangkan terutama bila didapatkan
N1, atau penderita yang tidak berespon dengan radioterapi
saja.
263
Stadium IIIa dan IIIb :
Terapi kombinasi : Kemoradiasi dengan / tanpa operasi
memperbaiki survival (survival 2 tahun sekitar 25 – 40%).
Kombinasi kemoterapi yang paling banyak diteliti adalah
cisplatin – vinblastin dan cisplatin – etoposide.
Kemoterapi neoajuvan preoperatif dengan / tanpa radioterapi
pada penderita dengan locally advanced dapat membuat
keadaan down-stage dan membuat menjadi resektabel. Sedang
dilakukan penelitian untuk menilai manfaat tindakan reseksi
setelah kemoradiasi pada NSCLC stadium IIIa (N2) (North
American Intergroup Trial).
Tehnik radioterapi memegang peranan penting.Radioterapi
hiperfraksi (2 kali sehari) atau radioterapi hiperfraksi akselerasi
(3 kali sehari) dapat memberikan hasil lebih baik dari pada
radioterapi konvensional.
Terapi spesifik harus dilakukan secara individualisasi.
- N2 dan N 3 direkomendasikan untuk kemoradiasi
- Kemoterapi bersamaan dengan radiasi memberikan hasil
lebih baik daripada sekuensial.
- Penelitian di Jepang memberikan mitomisin, vindesin dan
cisplatin bersamaan dengan radiasi
- Penelitian Radiation Therapy Oncology Group
menggunakan cisplatin dan vinblastin bersamaan dengan
radioterapi 6100 cGy yang diberikan dalam waktu
6 minggu. Terdapat perbedaan survival secara bermakna
(16 vs 13 bulan).
Stadium IV :
Status performans 0 – 1 :
Kemoterapi paliatif dengan regimen cisplatin / carboplatin
(obat tunggal atau kombinasi dengan etoposide, vinblastin,
vindesin atau mitomisin) memperbaiki survival dibandingkan
terapi suportif (survival 6 – 8 bulan vs 4 bulan, survival 1 tahun
20 – 25% vs 10%). Regimen kemoterapi yang baru
(carboplatin – paclitaxel, cisplatin – vinorebine, cisplatin –
gemcitabine) memberikan survival rata-rata 9 – 10 bulan dan
survival 1 tahun sebesar 30 – 40%.
Status performans ≥ 2 :
Sulit mentolerasi kemoterapi kombinasi terutama yang
menggunakan cisplatin. Kemoterapi tunggal (vinorelbine atau
gemcitabine) atau terapi suportif dapat diberikan dengan
mempertimbangkan penyakit komorbid dan keinginan
penderita.
264
Penderita yang mengalami progresifitas setelah kemoterapi
inisial dengan status performans 0 – 1 dapat memberikan
respon dengan terapi second line menggunakan docetaxel.
265
Regimen Kemoterapi NSCLC :
Hari Siklus
Regimen Dosis (mg/m2)
Pemberian (hari)
ICE :
Ifosfamide 4000 IV 1 21
Cisplatin 25 IV 1–3
Etoposide 100 IV 1–3
CAP :
Cyclophosphamide 500 IV 1 21
Doxorubicin 50 IV 1
(Adriamisin)
Cisplatin 50 IV 1
PV :
Cisplatin 120 IV 1 21
Vinblastin atau 6 IV 1, 2
Vindesine 3 IV 1, 2
Cisplatin 100 IV 1 28
Vinorelbine 25 IV 1, 8, 15
Cisplatin 100 IV 1 28
Vinorelbine 30 IV 1, 8, 15, 22
Carboplatin AUC* = 6 IV 1 21
Paclitaxel 200 – 225 IV 3 jam 1
Cisplatin 70 IV 1 21
Gemcitabine 1000 IV 1, 8
Vinorelbine 25 IV (10’) 1, 8 28
Mitomycin 12 IV 1
Prednisolon 250 (total) IV 1 (sebelum
mitomycin)
266
EP :
Etoposide 100 – 120 IV 1–3 21
Cisplatin 60 – 75 IV atau 1
20 – 30 IV 1–3
MIC/MIP :
Mitomycin 6 IV 1 21
Ifosfamid 3000 IV 1
Mesna 1000 IV 3
Cisplatin 50 IV (1 jam) 1
MVP :
Mitomycin 8 – 10 IV 1 21
Vinblastine atau 6 IV 1
Vindesine 3 IV 1
Cisplatin 80 – 120 IV 1
PFL :
Cisplatin 100 IV 1 21
5-Fluorouracil 800 IV 1–5
Leucovorin 100 (total) PO 1–5
tiap 4 jam
Docetaxel 75 IV 1 21
Penderita dengan
status performans
kurang baik :
Gemcitabine 1000 IV (15’) 1, 8, 15 atau 28
1, 8 21
267
2. SCLC :
a. Limited stage (stadium I, II, III) : terbatas pada watu hemitoraks,
termasuk limfadenopati supraklavikula kontralateral.
Terapi kombinasi : kemoradiasi dalam waktu bersamaan. Regimen
standar adalah cisplatin – etoposide, radiasi hiperfraksi (2 kali
sehari) memberikan hasil lebih baik daripada radiasi konvensional.
Terapi kombinasi memberikan survival rata-rata 23 bulan dengan
survival 5 tahun sebesar 25 %.
Radiasi cranial profilaksis menurunkan kejadian metastase ke otak,
emberikan perbaikan survival sebesar 5 %.
b. Extensive stage : kemoterapi PE (cisplatin – etoposide) atau CAV
(siklofosfamid, adriamisin, vinkristin) atau PE dan CAV secara alternate.
Respon komplit didapatkan sebesar 15 – 20%, rata-rata survival
1 tahun, survival 2 tahun sekitar 20%. Terapi second line : topotecan,
paclitaxel, gemcitabine, vinorelbine dan docetaxel.
Hari
Regimen Dosis (mg/m2) Siklus (hari)
Pemberian
Cisplatin 100 IV 1 21
Etoposide 100 IV 1, 2, 3
Cisplatin 90 IV 1 21
Etoposide 150 – 170 IV 1, 2, 3
1 jam
EP :
Cisplatin 60 – 75 IV atau 1 21
20 – 30 IV 1, 2, 3
Etoposide 100 – 120 IV 1, 2, 3
CAV :
Cyclophosphamide 1000 IV 1 21
atau Ifosfamide 2000 IV 1
Doxorubicin 45 – 50 IV 1
Vincristine 1,5 IV
(maksimal 2 mg)
268
ICE :
Ifosfamide 5000 IV (24 jam) 1 21
Carboplatin 400 1
Etoposide 100 1–3
Carboplatin 300 IV 1 28
Etoposide 100 – 125 IV 1–3
Carboplatin AUC* 5 – 6 IV 1 28
Etoposide 120 – 150 IV 1–3
1 jam
VIP :
Etoposide 75 IV 1 jam 1–4 21
Ifosfamide 1200 IV 1 jam 1–4
Cisplatin 20 IV 1 jam 1–4
CDE :
Cyclophosphamide 1000 IV 1 21
Doxorubicin 40 IV 1
Etoposide 120 IV 1–3
Paclitaxel 175 1 21
Terapi Relaps :
Topotecan 1,5 IV 1–5 21 – 28
Terapi Paliatif :
Etoposide 100 IV 1–3
diikuti 50 – 100 mg
total PO
* AUC = area under the curve
dosis total (mg) = (target AUC) x (GFR +25)
269
Prognosis :
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prognosis :
Status performan : penderita dengan status performans 0 – 1 mempunyai
respon terhadap kemoterapi dan kelangsungan hidup yang lebih baik
daripada penderita dengan status performans ≥ 2.
Penurunan berat badan ≥ 5 % merupakan faktot prognostik negatif.
Adanya mutasi p53 (17p) (50% penderita NSCLC dan hampir semua
penderita SCLC), over ekspresi onkogen (c-myc, K-ras, erb-B2) merupakan
faktor buruknya prognosis.
270
KANKER OVARIUM
Epidemiologi :
Kanker ovarium merupakan kedua terbanyak diantara keganasan ginekologi.
Walaupun tergolong kanker yang responsif terhadap kemoterapi, sampai saat ini
tingkat kematian akibat kanker ovarium masih menempati peringkat pertama
pada keganasan ginekologi
Usia.
Data di Amerika menunjukkan bahwa wanita postmenopause merupakan
kelompok yang paling sering terkena. Walaupun belum ada data yang akurat,
di Indonesia tampaknya menyerang wanita yang lebih muda, sekitar dekade
ke-4.
Ras.
Insidensi per 100.000 wanita berdasarkan ras adalah sebagai berikut :
Hispanik 15.1%, Asia 10.4%, Afrika 10.3%, Amerika 8.9%. Secara
keseluruhan sekitar 16 kasus per 100.000 wanita.
Geografi.
Insidensi tinggi pada negara maju, kecuali Jepang, hanya sekitar 3 kasus per
100.000 wanita.
Etiologi :
Sampai saat ini belum diketahui pasti. Sebagian kecil penderita, sekitar 5 – 10%
terbukti mempunyai mutasi pada gen BRCA1, BRCA 2, dan gen HNPCC
(Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer).
Faktor Resiko :
Diet. Lemak dan laktosa cenderung meningkatkan kejadian kanker ovarium,
sedangkan kopi tidak terbukti sebagai faktor risiko.
271
Radiasi. Sebagian ahli menyimpulkan sebagai faktor risiko, sedangkan
lainnya tidak.
Haid yang lebih dini (sebelum usia 12 tahun) serta menopause di usia > 50
tahun akan meningkatkan kejadian kanker ovarium.
Patogenesis :
Terdapat dua hipotesis yang menerangkan hubungan faktor risiko dan terjadinya
kanker ovarium, yakni:
Ovulasi yang berulang mengakibatkan jejas pada epitel ovarium, selanjutnya
apbila terjadi mutasi genetik pada gen yang bersangkutan, maka kerusakan
ini akan mengadakan transformasi kearah maligna. Hal ini didukung pada
pengamatan terhadap wanita-wanita yang menggunakan kontrasepsi oral,
hal lain adalah 90% kanker ovarium berasal dari epitel.
272
Patologi :
273
Pemeriksaan Fisik :
Harus dengan colok vagina dan atau colok dubur untuk mencari massa di rongga
panggul. Pemeriksaan fisik lain tergantung ada tidaknya efusi pleura, asites, atau
pembesaran kelenjar mesenterial, omental cake, atau tanda-tanda ileus.
Stadium penyakit mengacu pada the American Joint Committee on Cancer (AJCC)
and International Federation of Gynecologic Oncologists (FIGO) joint staging
system, sebagai berikut:
274
IIIB Mengenai satu atau kedua ovarium disertai
keterlibatan peritoneum diluar rongga pelvis tanpa
keterlibatan kelenjar, ukuran < 2 cm.
IIIC Ukuran sudah > 2 cm dan atau keterlibatan kelenjar
retroperitoneal atau inguinal.
Stadium IV Mengenai satu atau kedua ovarium disertai metastasis jauh.
Bila ada efusi pleura, harus ditemukan sel-sel ganas scara
histopatologi. Metastasis ke parenkim hepar termasuk
stadium IV.
Pemeriksaan Penunjang :
1. USG
Merupakan pemeriksaan utama, karena murah, mudah, dan non-invasif.
Apabila ditemukan kelainan sonografi seperti dibawah ini, maka harus
dicurigai keganasan ovarium :
Massa solid noduler atau papiler yang tidak hiperekoik
Septum yang tebalnya 2-3mm, bila tumornya bersepta
Adanya peningkatan aliran darah di daerah komponen solid
Terdapat asites, terutama pada wanita menopause
Massa atau kelenjar di peritoneum, ada segmen usus yang terjepit
2. CT scan atau MRI
Hanya dilakukan bila penderita akan dilakukan operasi. CT scan dengan
kontras ganda lebih unggul dibanding MRI, kecuali pada penderita yang
alergi dengan zat kontras.
3. Pencitraan dengan radio-isotop hanya dilakukan bila terdapat tanda dan
gejala yang mengarah pada metastasis.
4. Serum CA 125
Meningkat > 65 U/mL (normal < 35 U/mL) pada 90% kasus stadium II
keatas dan hanya 50% pada stadium I. Kadarnya tergantung dari jenis
histopatologinya, paling tinggi pada kanker epitelial dan rendah pada
kanker jenis musinosa.
Positif palsu pada keganasan saluran cerna, endometriosis, tuberkulosis
perut, penyakit inflamasi daerah panggul, penyakit hati kronis, sirosis
hepatis, lupus eritematosus sistemik, dekompensasi jantung, diabetes
mellitus, penyakit ginjal kronis, saat haid. Oleh karena itu tidak digunakan
untuk kepentingan diagnosis, apalagi pada wanita premenopause, kecuali
bila kadarnya > 200 U/mL (menurut the American College of Obstetricians
and Gynecologists)
5. Kolonoskopi
Dilakukan hanya bila diduga kelainan primernya berasal dari kolon.
6. Kuretase
Hanya dilakukan bila terdapat perdarahan pervaginam pada penderita-
penderita yang gemuk, premenopaus, usia muda, dan nulipara untuk
menyingkirkan adanya kanker sinkronus endometrium.
275
Terapi :
1. Pembedahan
Sitoreduksi (debulking) merupakan hal yang sangat penting dalam mengelola
kanker ovarium, karena :
Akan mengurangi gejala sekaligus meningkatkan kualitas hidup
Kemoterapi tidak akan efektif pada tumor yang terlalu besar ukurannya
Ukuran tumor berbanding terbalik dengan kekambuhan dan kelangsungan
hidup penderita
Kanker ovarium memproduksi banyak sitokin yang menyebabkan
sindroma paraneoplastik serta menurunkan imunitas penderita
Diagnosa pra bedah kadang tidak sesuai dengan diagnosa pasca bedah
Kadang harus disertai histerektomi total karena ditemukan kanker
sinkronus endometrium
Sitoreduksi baru disebut optimal dan bermanfaat bila residu tumor < 2 cm.
Berbeda dengan kanker solid lain, pada kanker ovarium stdium IV-pun
dianjurkan untuk tetap dilakukan sitoreduksi, bahkan pada kasus-kasus yang
residif sitoreduksi terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup serta
kelangsungan hidup penderita bila dibandingkan dengan yang tidak
dilakukan sitoreduksi.
Ekspresi yang berlebihan dari gen p53 dan kadar CA 125 yang tinggi
biasanya berhubungan dengan sitoreduksi yang sub-optimal, dimana residu
tumor >2 cm.
276
Kombinasi Cisplatin dan siklofosfamid sudah tidak digunakan lagi, kecuali
untuk kasus-kasus yang tidak dapat menggunakan paclitaxel. Penambahan
atau substitusi doxorubisin tidak terbukti bermanfaat (studi ICON-2).
277
SARKOMA JARINGAN LUNAK
Definisi :
Sarkoma adalah sekelompok tumor padat heterogen yang berasal dari sel
mesenkhimal dengan gambaran klinik dan patologi yang berbeda.
Etiologi :
Osteosarkoma :
Sebagian besar osteosarkoma bersifat sporadik, predisposisi herediter didapatkan
pada sebagian kecil kasus. Faktor-faktor risiko yang berperan antara lain :
Riwayat radiasi atau kemoterapi sebelumnya
Penyakit Paget dan lesi jinak lainnya pada tulang
Kelainan herediter :
Retinoblastoma herediter
Sindroma Li-Fraumeni : keluarga dengan bermacam-macan kanker
seperti kanker payudara, jaringan lunak, tumor adrenokortikal, tumor
otak, lekemia dan osteosarkoma.
Sindroma Rothmund-Thomson (poikiloderma kongenital) : kelainan
autosomal resesif dengan manifestasi kelainan kulit (atrofi,
teleangiektasi, pigmentasi), rambut yang jarang, katarak, small stature,
anomalitas skleletal, osteosarkoma).
Sindroma Bloom dan Werner
278
Patogenesis :
Berapa mutasi gen berperan dalam terjadinya sarkoma :
Mutasi gen RECQL4 : ditemukan pada 2/3 pasien sindroma Rothmund-
Thomson dan berhubungan dengan peningkatan risiko osteosarkoma
Mutasi gen RecO pada sindroma Bloom dan Werner
Translokasi non random yang melibatkan gen sarkoma Ewing pada
kromosom 22. Translokasi ini menyebabkan fusi gen yang berbeda pada
kromosom yang berbeda. Fusi gen ini mengkode protein hibrid yang terlibat
dalam proses tumorigenesis. Terdapat paling sedikit 18 perbedaan struktural
fusi gen. Perbedaan ini disebabkan karena adanya bermacam-macam fusion
partner (FLI1, ERG, ETV1, EIA atau FEV) dan lokasi breakpoint pada gen.
Transkrip yang paling sering didapatkan ( pada 60% kasus) adalah transkrip
tipe I yaitu gen sarkoma Ewing exon 7 mengalami fusi dengan FLI1 exon 6.
279
Pada waktu diagnosis ditegakkan, metastase ditemukan pada 10-20%
penderita. Metastase tersering ditemukan pada paru-paru, dapat juga
mengenai tulang
Sarkoma jaringan lunak :
Massa yang tidak nyeri
Tipe yang sering didapatkan pada dewasa : malignant fibrous
histiocytoma, liposarkoma dan leiomiosarkoma
Tipe yang sering didapatkan pada anak-anak : sarkoma Ewing,
rabdomiosarkoma embrional, tumor neuroektodermal primitif (PNET :
primitive neuroectodermal tumor)
Tipe sarkoma yang sering didapatkan berdasarkan lokasi tumor :
Ekstremitas : liposarkoma, malignant fibrous histiocytoma, fibrosarkoma,
Sarkoma epiteloid
Retroperitoneum : liposarkoma, leiomiosarkoma
Kepala dan leher : rabdomiosarkoma, angiosarkoma, malignant fibrous
histiocytoma, liposarkoma, fibrosarkoma,
leiomiosarkoma, malignant peripheral nerve sheath
tumor
Dinding dada : desmoid, liposarkoma, sarkoma miogenik
Traktus gastrointestinal : gastrointestinal stromal tumor
Traktus genitourinari : leiomiosarkoma, rabdomiosarkoma
Tipe Histopatologi :
Sarkoma jaringan lunak :
Alveolar soft part sarcoma
Desmoplastic small round cell tumor
Sarkoma epiteloid
Clear cell sarcoma
Kondrosarkoma ekstraskeletal
Osteosarkoma ekstraskeletal
Tumor stromal gastrointesntinal
Sarkoma Ewing / tumor neuroektodermal primitif
Fibrosarkoma
Leiomiosarkoma
Liposarkoma
Malignant fibrous histiocytoma
Malignant hemangiopericytoma
Malignant peripheral nerve sheath tumor
Rabdomiosarkoma
Sarkoma sinovial
Sarkoma tulang :
Kondrosarkoma
Osteosarkoma
Sarkoma Ewing
280
Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang :
Peningkatan alkali fosfatase (kira-kira 40% penderita osteosarkoma)
Peningkatan LDH (kira-kira 30% penderita osteosarkoma)
CT scan : merupakan pemeriksaan penunjang terpilih untuk sarkoma
retroperitoneal
MRI :merupakan pemeriksaan penunjang terpilih untuk sarkoma ekstremitas
Foto toraks : untuk deteksi adanya metastase
Biopsi tumor : core needle atau biopsi insisi . Biopsi jarum atau perendoskopi
diperlukan pada sarkoma di toraks, abdominal atau pelvis
Stadium :
Stadium berdasarkan American Joint Committee On Cancer (AJCC) 2002 :
Tumor primer :
Sarkoma jaringan lunak :
T1 tumor < 5 cm pada ukuran terbesar
T1a : tumor superficial
T1b : deep tumor
T2 Tumor > 5 cm pada ukuran terbesar
T2a : tumor superficial
T2b : deep tumor
Sarkoma tulang :
T1 tumor < 8 cm pada ukuran terbesar
T2 tumor > 8 cm pada ukuran terbesar
T3 discontinuous tumors in the primary site
Metastase jauh :
M0 tidak didapatkan metastase jauh
M1 didapatkan metastase jauh
untuk sarkoma tulang : M1a : metastase ke paru-paru
M1b : metastase bukan ke paru-paru
Tingkat histologik :
G1 diferensiasi baik
G2 diferensiasi sedang
G3 poorly differentiated
G4 tidak berdiferensiasi
281
Keterangan :
Tumor superfisial terletak di atas fasia superfisial, tanpa invasi ke fasia
Deep tumor : terletak di bawah fasia superfisialis, atau di atas fasia
superfisialis disertai invasi ke fasia /melewati fasia, atau
terletak di atas dan di bawah fasia superfisialis atau sarkoma
retroperitoneal, pelvis dan mediastinal
Semua rabdomiosarkoma, sarkoma Ewing dan sarkoma sinovial termasuk
derajat tinggi
Stadium :
Sarkoma Jaringan Lunak :
Sarkoma Tulang :
Terapi :
1. Sarkoma jaringan lunak pada ekstremitas.
Untuk pengelolaan , pasien dibagi menjadi 4 kelompok :
Tumor derajat rendah ( Stadium I,)
Tumor derajat tinggi ( Stadium II, III)
Unserectable disease
Recurrent disease atau metastase
282
a. Low grade tumor ( Stadium I)
Operasi merupakan terapi terpilih pada penderita T1-2, N0 M0.
Merupakan terapi definitif bila margin operasi > 1 cm atau fasia intak.
Radioterapi post operasi dipertimbangkan bila margin < 1 cm.
Operasi dengan /tanpa radiasi direkomendasikan pada penderita
T2a-b, N0, M0.
Radioterapi preoperasi atau postoperasi memberikan hasil yang sama
dalam kontrol lokal dan masa bebas penyakit.
Radioterapi preoperasi memberikan komplikasi luka operasi yang lebih
tinggi
b. High grade tumor (Stadium II dan III)
Terapi harus mempertimbangkan status performans, faktor-faktor
komorbid (usia, lokasi tumor, tipe histologik) dan pengalaman institusi.
Operasi diikuti radiasi dengan atau tanpa kemoterapi merupakan
terapi terpilih
Kemoterapi/radiasi atau kemoradiasi dapat diberikan sebagai terapi
neoajuvan sebelum operasi, diikuti radiasi post operasi dengan/tanpa
kemoterapi
Kemoterapi ajuvan dapat diberikan pada penderita yang sudah
mendapat radioterapi preoperasi
Tindakan operasi tanpa radiasi,kemoterapi dapat dipertimbangkan
pada tumor dengan ukuran kecil yang dapat direseksi dengan margin
yang lebih lebar
c. Sarkoma rekuren
Rekuren lokal : terapi sama dengan penderita dengan tumor primer
yang baru
Pada penderita dengan metastase atau tumor rekuren yang tidak
dapat direseksi, terapi terbagi menjadi penderita dengan metastase
luas atau hanya pada 1 organ
d. Extremitas sarkoma dengan metastase atau unresectable
Pada penderita asimptomatik : observasi
Pada penderita simptomatik : terapi paliatif , dapat berupa kemoterapi,
radioterapi, operasi paliatif, ablasi (ablasi radiofrekwensi atau
krioterapi), embolisasi atau terapi suportif
Pada penderita dengan metastase pada 1 organ atau massa tumor
atau kelenjar getah bening terlokalisir direkomendasikan terapi seperti
penderita dengan tumor primer yang baru. Pilihan terapi dapat berupa
diseksi kelenjar getah bening regional, metastasektomi dengan/tanpa
preoperasi/postoperasi kemoterapi dengan/tanpa radiasi
Pemantauan :
Stadium I :
Anamnesa dan pemeriksaan fisik setiap 3 – 6 bulan selama 2 –
3 tahun, kemudian setiap tahun
Pemeriksaan pencitraan setelah selesai terapi
Foto toraks setiap 6 – 12 bulan
283
Stadium II dan III :
Anamnesa, pemeriksaan fisik, foto/CT toraks setiap 3 – 6 bulan
selama 2 – 3 tahun, kemudian setiap 6 bulan selama 2 tahun
berikutnya, kemudian 1 kali setiap tahun.
284
Pada GIST dengan metastase, imatinib mesylate 400 mg diberikan
sampai terjadi progresivitas
Progresivitas penyakit
Terdapat beberapa pilihan terapi :
Operasi
Ablasi radiofrekwensi atau embolisasi
Radiasi ( terutama untuk metastase tulang)
Peningkatan dosis imatinib mesylate sampai 800 mg/hari
Sunitinib 50 mg/hari selama 4 minggu, diberikan setiap 6 minggu,
sampai progresivitas penyakit
Pemantauan :
Anamnesa pemeriksaan fisik, CT scan abdomen dan pelvis setiap
3 – 6 bulan.
b. Sarkoma intraabdominal selain GIST
Terapi primer :
Operasi dengan radioterapi intraoperatif
Pada penderita unresectable atau metastatik :
Asimptomatik : observasi
Simptomatik: kemoterapi, radioterapi, operasi paliatif, prosedur
embolisasi/ablasi atau terapi suportif
Sarkoma rekuren :
Operasi atau kemoterapi atau terapi suportif
Rekuren lokal di hati : prosedur ablasi (reseksi, ablasi
radiofrekwensi, kemoembolisasi)
4. Kondrosarkoma
Terapi ditentukan berdasarkan lokasi dan grade tumor
Resectable, low grade tumor : eksisi intralesi dengan/tanpa terapi
ajuvan atau eksisi luas dengan margin bebas tumor
High grade tumor : eksisi luas
Unresectable high dan low grade tumor : radioterapi
Dediferrentiated chondrosarcoma dikelola seperti osteosarkoma
Mesenchymal chondrosarcoma dikelola seperti sarkoma Ewing
Kondrosarkoma relaps : eksisi luas dengan/tanpa radioterapi
Unresectable recurrent : radioterapi
Pemantauan :
Low grade tumor : pemeriksaan fisik, radiologi lesi dan toraks foto setiap
6 – 12 bulan selama 2 tahun, kemudian 1 kali setiap tahun
High grade tumor : pemeriksaan fisik, radiologi lesi dan toraks foto
setiap 3 – 6 bulan selama 5 tahun, kemudian 1 kali setahun selama
minimum 10 tahun
285
5. Sarkoma Ewing
Ewing’ Sarcoma Family of Tumors ( ESFT) terdiri dari :
Sarkoma Ewing
Sarkoma Ewing ekstraoseus
Tumor neuroektodermal primitif
Tumot neuroektodermal primitif tulang
Tumor Askin
Protokol terapi
Terapi primer dengan kemoterapi dengan growth factor support selama
12 – 24 minggu
Terapi kontrol lokal : eksisi luas atau amputasi
Kemoterapi ajuvan dengan/tanpa radioterapi
Relaps :
Late relaps : kemoterapi dengan regimen yang telah diberikan pada
waktu terapi primer
Early relaps : radioterapi
Pemantauan :
Pemeriksaan fisik, radiologi lesi dan toraks setiap 2 – 3 bulan selama
2 tahun
Setelah 2 tahun, interval pemeriksaan dapat diperpanjang, kemudian
satu tahun sekali setelah 5 tahun
6. Osteosarkoma
Periosteal atau low grade sarcoma (intramedullary and surface) : eksisi
luas
High grade osteosarcoma: kemoterapi preoperasi, eksisi luas,
kemoterapi post operasi
Unresectable high grade sarcoma: radioterapi diikuti kemoterapi
Osteosarkoma relaps :
Kemoterapi dan/atau reseksi
Progressive disease :
Reseksi atau radioterapi paliatif atau terapi suportif
Pemantauan :
Pemeriksaan fisik, radiologi ekstremitas dan toraks setiap 3 bulan
selama 2 tahun, kemudian setiap 4 bulan selama tahun ke 3, setiap
6 bulan selama tahun ke 4 – 5, kemudian 1 kali setiap tahun
CT scan toraks diperlukan bila terdapat kelainan pada pemeriksaan foto
toraks
286
Regimen Kemoterapi :
Sarkoma Jaringan Lunak :
Hari
Regimen Obat Dosis Jadwal
Pemberian
AI Doxorubicin 50 – 75 mg/m2 IV 1 Tiap
Ifosfamide 5 gram/m2 IV 1 21 hari
selama 24 jam
Mesna 2,5 gram dicampur
dengan ifosfamide
selama 24 jam,
1,25 gram/m2
12 jam setelah
ifosfamide
AI Doxorubicin 20 mg/m2 IV 1, 2, 3 Tiap
Ifosfamide 1,5 gr/m2 IV 1–4 21 hari
selama 2 jam
Mesna 225 mg/m2 IV 1
jam sebelum
ifosfamide, 4 dan
8 jam setelah
ifosfamide
G-CSF 5 mcg/kg/hari SC 5 – 14
selama 10 hari
AI Doxorubicin 25 mg/m2 IV 1, 2, 3 Tiap
selama 24 jam 21 hari
Ifosfamide 2 gram/m2 IV 1–5
selama 2 jam
Mesna 400 mg/m2 IV 1–5
bersamaan dengan
ifosfamide,
kemudian 1200
mg/m2 IV selama
24 jam/hari
G-CSF
Epirubisin – Epirubisin 55 mg/m2 IV 1, 2 Tiap
Ifosfamide Ifosfamide 2,5 gram/m2 IV 1–4 21 hari
selama 24 jam
Mesna 2,5 gram/m2 IV 1–5
selama 24 jam
G-CSF
287
AD Doxorubicin 15 mg/m2 IV 1–4 Tiap
selama 24 jam 21 hari
Dakarbazine 250 mg/m2 IV 1–4
selama 24 jam
288
Regimen Kemoterapi Ewing Sarcoma :
Hari
Regimen Obat Dosis Jadwal
Pemberian
Intergroup Fase 1
Ewing’s (minggu 0 – 8)
Sarcoma Vinkristin 1,5 mg/m2 IV 1, 8, 15, 22,
Study (max. 2 mg) 29, 36
IESS-I Siklofosfamid 500 mg/m2 IV 1, 8, 15, 22,
29, 36
Doxorubicin 60 mg/m2 IV 36
Disertai
radioterapi
Fase 2 (minggu
9 – 68)
Daktinomisin 0,015 mg.kg IV 1–5 Diulang
Vinkristin 1,5 mg/m2 IV 15, 22, 29, setelah
(max. 2 mg) 36, 43 interval 3
Siklofosfamid 500 mg/m2 IV 15, 22, 29, minggu,
36, 43 sebanyak
Doxorubicin 60 mg/m2 IV 43 6 kali
Fase 3 (minggu
69 – 98)
Daktinomisin 0,015 mg.kg IV 1 – 5, 7 Diulang
Vinkristin 1,5 mg/m2 IV 15, 22, 29, setelah
(max. 2 mg) 36, 43 interval 3
Siklofosfamid 500 mg/m2 IV 15, 22, 29, minggu,
36, 43 sebanyak
3 kali
289
VAIA Vinkristin 1,5 mg/m2 IV 1, 21
bolus
Doksorubisin 20 mg/m2 IV 1–3
4 jam
Ifosfamid 2000 mg/m2 IV 1 – 3,
1 jam, dengan 21 – 23
mesna
Daktinomisin 0,5 mg/m2 IV 21 – 23
bolus
290
Regimen Kemoterapi Osteosarkoma :
291
Minggu Terapi
1 A : doksorubisin
3 M : metotreksat
4 M
5 I + P : ifosfamide , cisplatin
8 I+P
9 operasi
11 A
13 M
14 M
15 I+P
18 M
19 M
20 A
22 M
23 M
24 I+P
27 M
28 M
29 A
Pada penderita yang operabel, kemoterapi dimulai dalam 42 hari setelah biopsi.
Operasi dilakukan setelah 3 siklus kemoterapi
Prognosis :
Dengan terapi multimodalitas, kesembuhan didapatkan pada kira-kira ¾
penderita osteosarkoma.
292
Pada sarkmoa jaringan lunak, faktor prognosis untuk kelangsungan hidup,
rekuren lokal dan metastase adalah :
Ukuran tumor, grade merupakan faktor prediktor metastase jauh dan
kelangsungan hidup
Usia > 50 tahun, margin positif pada reseksi merupakan prediktor rekuren
lokal
Fibrosarkoma dan malignant peripheral nerve sheath tumor berhubungan
dengan tingginya rekuren lokal
Leiomiosarkoma dan malignant peripheral nerve sheath tumor
berhubungan dengan buruknya kelangsungan hidup.
293
CARCINOMA OF UNKNOWN PRIMARY
Definisi :
Carcinoma of Unknown Primary (CUP) yaitu suatu karsinoma dengan fokus
primer tidak diketahui setelah dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
Etiologi :
Meskipun fokus primer tidak diketahui, tetapi secara PA dapat dibagi ke dalam
4 bagian, yaitu :
60% : Adenokarsinoma (berdiferensiasi baik atau sedang)
30% : Adenokarsinoma berdiferensiasi buruk
5 % : Neoplasma maligna berdiferensiasi
5 % : Karsinoma epidermoid/skuamosa
Kejadian CUP meningkat dengan usia, manifestasi klinis sesuai dengan lokasi
tumor yang biasanya multipel misalnya pada hati, paru-paru, kelenjar getah
bening dan tulang. Pada otopsi biasanya tumor primer didapatkan di pankreas,
hepatobilier atau paru-paru (40 – 50%), sedangkan karsinoma payudara dan
prostat jarang merupakan fokus primer.
294
Pemeriksaan radiologi : CT scan dada, perut, pelvis, mamografi, bronkoskopi,
endoskopi terutama pada karsinoma skuamosa, positron emission tomography
(PET).
Tindak Lanjut :
295
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan :
Metastase kelenjar getah bening aksila pada wanita :
Terapi sesuai kanker payudara stadium II termasuk operasi +/- radiasi,
kemoterapi dan hormonal.
Metastase kelenjar getah bening supraklavikula :
Terapi sesuai kanker pada traktus aerodigestif dengan berbasis sisplatin.
Karsinomatosis peritoneal pada wanita :
Terapi sebagai kanker ovarium
Karsinomatosis peritoneal pada pria :
Terapi sebagai kanker pankreas
Diduga kanker prostat :
Terapi sebagai kanker prostat termasuk kastrasi dan kemoterapi.
Lesi metastasis soliter :
Terapi lokal definitif seperti bedah dan atau radiasi diikuti oleh terapi empiris
kemoterapi ajuvan
Gambaran Extragonadal Germ Tumor pada orang muda :
Terapi dengan regimen BEP (bleomisin, etoposid, sisplatin)
Kelenjar getah bening leher dengan gambaran karsinoma skuamosa :
Radiasi +/- bedah +/- kemoterapi
Kelenjar getah bening inguinal dengan gambaran karsinoma skuamosa :
Radiasi +/- bedah +/- kemoterapi
Poorly differentiated neuroendocrine carcinoma :
Terapi sebagai kanker paru sel kecil
Karsinoma neuroendokrin berdiferensiasi baik :
Terapi sebagai tumor karsinoid berbasis sisplatin dan atau antrasiklin
Karsinoma berdiferensiasi buruk :
Kemoterapi empiris
Regimen Kemoterapi :
1. Paklitaksel + Karboplatin + Etoposide
Premedikasi : deksametason 20 mg po 12 jam dan 4 jam, difenhidramin
50 mg iv, simetidin 300 mg dan deksametason 20 mg iv sebelum Paklitaksel
Evaluasi setelah 2 siklus tiap 3 minggu, bila ada respon beri sampai 4 siklus
Efek samping : mielosupresi , bila ANC < 1500 dan trombosit < 100.000
tunda satu minggu
296
2. Gemsitabin + Irinotecan 6 siklus tiap 3 minggu
Premedikasi : antiemetik (misal Ondansetron) dan Deksametason
20 mg po/iv 30 menit sebelum kemoterapi
3. Doksetaksel + Karboplatin
Doksetaksel 65 mg/m2/iv hari 1
Karboplatin AUC 6 hari 1
Siklus tiap 3 minggu, diberi sampai 8 siklus pada kasus stabil atau respon
baik
Prognosis
Angka kematian 1 tahun 35 – 40%, 2 tahun 15 – 20%, 3 tahun 10 – 15%,
5 tahun 10%, 8 tahun < 10%.
297
KEGAWATDARURATAN ONKOLOGI :
SINDROMA LISIS TUMOR
Sindroma lisis tumor akut adalah sekumpulan gejala komplikasi metabolik yang
biasa terjadi setelah pengobatan penyakit neoplasma. Kelainan-kelainan yang
ditemukan adalah hiperfosfatemia, hipokalsemi (karena presipitasi kalsium fosfat),
hiperurikemia, hiperkalemia dan gagal ginjal akut.
Etiologi :
Tumor yang tersering berhubungan dengan sindroma lisis tumor adalah limfoma
yang kurang berdiferensiasi seperti limfoma Burkitt dan leukemia, terutama
lekemi limfoblastik akut. Lekemi mieloblastik akut lebih jarang menimbulkan
sindroma lisis tumor. Pada penelitian 102 penderita limfoma non Hodgkin derajat
tinggi, insidensi sindroma lisis tumor ditemukan sebanyak 6%.
Sindroma lisis tumor juga ditemukan pada penderita-penderita :
Mieloma multipel
Kanker payudara
Meduloblastoma
Sarkoma
Kanker ovarium
Karsinoma vulva sel skuamosa
Small cell lung cancer
Germ cell tumor
Sebagian besar sindroma lisis tumor terjadi pada penderita yang mendapat
kemoterapi kombinasi, tetapi pemberian steroid saja dapat mempresipitasi
terjadinya sindroma lisis tumor pada pasien limfoma dan lekemi limfoblastik akut.
298
Faktor Resiko :
Sebagai tambahan dari jenis keganasan, gambaran klinik lain yang berhubungan
dengan peningkatan risiko terjadinya sindroma lisis tumor adalah :
Hiperurikemi
Gangguan fungsi ginjal
Peningkatan tingkat proliferasi dan ukuran tumor
Keganasan yang kemosensitif
Hipovolemia
Menurut Boyiadzis dan Fojo, faktor risiko sindroma lisis tumor dapat
dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu :
a. Bulky disease
Bulky adenopathy
Hepatosplenomegali
Jumlah lekosit tinggi
LDH > 500 unit/L
Peningkatan asam urat
Tumor kemosensitif
b. Gangguan fungsi ginjal
Abnormalitas biokimia
Penurunan jumlah urine
Penggunaan obat nefrotoksik
299
Sindroma Lisis Tumor Preterapi :
Gagal ginjal akut yang terjadi spontan dengan hiperurikemi dilaporkan terjadi
pada lekemia dan limfoma dan pada 1 penderita kanker payudara inflamatori
sebelum diterapi. Perbedaan penting antara lisis tumor spontan dan yang terjadi
setelah terapi adalah tidak didapatkannya hiperfosfatemia pada lisis tumor
spontan. Keadaan ini disebebkan karena sel kanker yang tumbuh dengan cepat
menyebabkan peningkatan asam urat karena peningkatan turnover nukleoprotein,
tetapi sel kanker masuh dapat menggunakan kembali fosfat yang dilepaskan
untuk sesintesis sel kanker. Sebaliknya, peningkatan asam urat karena
kemoterapi disebabkan karena destruksi sel. Pada keadaan ini, tidak ada sel
kanker baru yang dapat menggunakan kembali fosfat yang dilepaskan.
300
Definisi Sindroma lisis tumor secara laboratorium menurut Cairo – Bishop
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
301
Definisi dan tingkatan sindroma lisis tumor klinis menurut definisi Cairo-
Bishop dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Definisi dan Tingkatan Sindroma Lisis Tumor Klinis Menurut Definisi Cairo-Bishop :
Grade
Komplikasi
0 1 2 3 4 5
Kreatinin 1,5 x 1,5 x ULN > 1,5 – 3,0 x > 3,0 – 6,0 x > 6,0 x ULN Meninggal
ULN ULN ULN
302
Pencegahan :
Terapi pencegahan diberikan pada penderita kanker dengan turn-over sel yang
cepat yang akan mendapat kemoterapi atau radioterapi. Terapi pencegahan
diberikan minimal selama 2 hari dan diberikan :
Alopurinol diberikan pada penderita dengan risiko rendah untuk sindroma
lisis tumor (asam urat normal, keganasan non hematologik, limfoma Hodgkin,
lekemi mielositik kronik, tumor burden rendah : lekosit < 50.000/mm 3, LDH
< 2 kali nilai normal, kemoterapi sitoreduktif intensitas rendah, volume
intravaskuler adekuat, tidak ada infiltasi tumor ke ginjal).
Rasburicase/uricase diberikan pada penderita dengan risiko tinggi sindroma
lisis tumor (peningkatan asam urat, limfoma Burkitt, limfoma limfoblastik
akut, lekemi mieloblastik akut, tumor burden tinggi: lekosit > 50.000/mm3,
LDH > 2 kali nilai normal, terapi sitoreduktif intensitas tinggi, kekurangan
volume intravaskuler, adanya infiltrasi tumor ke ginjal) .
Cairan NaCl dan manitol bila diperlukan untuk mempertahankan volume
urin > 2,5 L/hari.
Memperbaiki penyebab insufisiensi renal yang ireversibel (kontraksi volume,
hiperkalsemi, obtruksi traktus urinarius) sebelum dimulai terapi.
Alkalinisasi urine
Peranan alkalinisasi urin dengan acetazolamide dan sodium bicarbonate
masih menjadi bahan perdebatan. Alkalinisasi sampai pH 6,5 – 7,0 akan
mengubah asam urat menjadi garam urat yang lebih larut sehingga
menurunkan terjadinya presipitasi asam urat pada tubulus renal. Pada
beberapa literatur, alkalinisasi urin mencapai pH 7.4 atau 7, 5, bahkan 8.
Pada keadaan ini terdapat beberapa keterbatasan :
Derajat alkalinisasi sulit dicapai, dapat menyebabkan kelebihan cairan.
Hidrasi dengan NaCl saja sama efektif dengan alkalinisasi dalam
mengurangi presipitasi asam urat
Alkalinisasi urin dapat meningkatkan presipitasi kalsium fosfat di ginjal,
hati dan organ lain pada penderita dengan hiperfosfatemia
Pada pH urine > 6,5, terjadi penurunan kelarutan xanthine dan
hypoxanthine yang akan mengakibatkan pembentukan kristal xanthine
selama dan sesudah pemberian alopurinol.
303
Strategi pengobatan
1. Hidrasi dan diuresis : merupakan terapi utama
Hidrasi dengan 3000 ml/m2 perhari kecuali pada penderita dengan
gagal ginjal akut atau oliguria
Furosemide 20 – 40 mg intravena , untuk mempertahankan
urine > 100 ml/m2/jam, diberikan bila tidak didapatkan akut
obstruktif uropati atau hipovolemi
2. Koreksi hiperkalemi
Hiperkalemi dapat terjadi 12 – 24 jam setelah kemoterapi
Terapi emergensi diindikasikan bila terdapat toksisitas kardiak atau
paralysis muskular atau hiperkalemi berat (kalium > 6,5 – 7 mEq/L)
walaupun tidak didapatkan perubahan elektrokardiografi
a. Kalsium infus
- Kalsium glukonas 10% 5 – 30 ml IV atau
- Kalsium klorida 5% 5 – 30 ml IV
- Diberikan bila didapatkan keadaan yang membahayakan
untuk menunggu 30 – 60 menit untuk mulai bekerjanya
insulin, glukoasa atau bikarbonat sodium
- Pemberian dapat diulangi setelah 5 menit bila belum
terdapat perbaikan EKG
- Efek protektif kalsium dimulai dalam beberapa menit,
berlangsung dalan waktu singkat (< 60 menit)
b. Glukosa dan insulin
- 50% glukosa 25 gram (1 ampul) IV ditambah regular
insulin 5 – 10 unit IV bolus
- Menurunkan kalium 0,5 – 1,5 mEq/L, efek dimulai setelah
15 menit, mencapai pundak dalam 60 menit dan
berlangsung selama 4 – 6 jam
c. Bikarbonat sodium
- Bikarbonat sodium 44 – 88 mEq IV
- Efek dimulai dalam 15 – 30 menit dan berlangsung selama
1 – 2 jam
d. Nebulizer
- Albuterol 10 – 20 mg dalam 4 cc NaCl 0,9% melalui
inhalasi dalam waktu 10 – 15 menit
e. Potassium-binding resin
- Sodium polystyrene sulfonate 15 – 50 gr oral, dapat
diulangi setiap 6 jam sampai kalium normal
f. Dialisis
- Merupakan terapi definitif pada penderita dengan
hiperkalemi berat
- Diindikasikan bila terapi farmakologi tidak efektif atau pada
penderita dengan gagal ginjal atau kelainan metabolik
lainnya
304
3. Koreksi hiperfosfatemi (dan hipokalsemi)
Hiperfosfatemi terjadi dalam 24 – 48 jam setelah kemoterapi
Hiperfosfatemi dapat menyebabkan presipitasi kalsium fosfat pada
jaringan sehingga menimbulkan hipokalsemi, kalsifikasi intrarenal,
nefrokalsinosis dan uropati obstruktif akut
Terapi hiperfosfatemi biasanya akan memperbaiki hipokalsemi
Pengikat fosfat oral : Aluminium hidroksida 15 – 30 ml oral setiap
6 jam
Hemodialisis merupakan terapi yang paling efektif, dipertimbangkan
bila terdapat hiperfosfatemi berat, terutama pada keadaan gagal
ginjal dan hipokalsemi simptomatik
4. Koreksi hiperurikemi
Hiperurikemi terjadi 24 – 48 jam setelah kemoterapi
Pada keadaan pH yang asam, terbentuk kristal asam urat di tubulus
ginjal, menyebabkan obstruksi tubulus renalis, obstruktif uropati
akut dan gangguan fungsi ginjal
a. Inhibitor xantine oksidase
- Alopurinol 100mg/m2 oral setiap 8 jam (maksimum
800 mg/hari) atau
- Alopurinol 10 mg/kg/hari oral dalam 3 dosis, setiap 8 jam
(maksimum 800 mg/hari), atau
- Alopurinol 200 – 400 mg/m2 per hari IV dalam 1 – 3 dosis
(maksimum 600 mg/hari).
- Alopurinol diberikan pada penderita tanpa kelainan
laboratorium atau gejala klinis sindroma lisis tumor dan
penderita dengan risiko rendah untuk terjadinya sindroma
lisis tumor
- Penyesuaian dosis alopurinol berdasarkan klirens kreatinin
305
- Efek samping berupa rash, mual, muntah, reaksi
hipersensitivitas
- Diindikasikan pada penderita dengan lisis tumor atau
adanya manifestasi klinis sindroma lisis tumor dan
penderita dengan risiko tinggi terjadinya sindroma lisis
tumor
Alkalinisasi urin
- Tidak direkomendasikan secara rutin
- Bikarbonat sodium 100 mEq/hari intravena
Kesimpulan :
Sindroma lisis tumor merupakan kegawatdaruratan onkologi dengan sekumpulan
gejala komplikasi metabolik yang biasa terjadi setelah pengobatan penyakit
neoplasma. Kelainan-kelainan yang ditemukan adalah hiperfosfatemia,
hipokalsemi (karena presipitasi kalsium fosfat), hiperurikemia, hiperkalemia dan
gagal ginjal akut. Penting untuk mengenali faktor-faktor risiko terjadinya
sindroma lisis tumor. Strategi pengelolaan meliputi tindakan profilaksis pada
penderita dengan risiko tinggi sebelum tindakan kemoterapi atau radioterapi dan
pengobatan kelainan metabolik yang terjadi. Tindakan profilaksis meliputi
pemberian alopurinol atau rasburicase dan hidrasi. Pengobatan meliputi koreksi
kelainan metabolit. Alkalinisasi urin tidak direkomendasikan secara rutin.
306
KEGAWATDARURATAN ONKOLOGI :
HIPERKALSEMI DAN SIADH
Mekanisme :
1. Metastase osteolitik
Osteolitik lokal sebagai akibat langsung sel kanker sering terjadi pada kanker
solid dengan metastase ke tulang. Kanker yang sering menimbulkan
hiperkalsemia melalui mekanisme ini adalah kanker payudara dan kanker
paru bukan sel kecil.
Pembentukan parathyroid hormone related peptide (PTHrP) lokal juga
berperan dalam terjadinya osteolitik. Sel kanker payudara pada tulang
mempunyai ekspresi PTHrP yang lebih tinggi dibandingkan sel kanker
payudara pada jaringan lunak atau pada tumor primernya.
Hiperkalsemia pada mieloma multipel dan beberapa kasus limfoma
disebabkan karena pelepasan osteoclast activating factors dari sel kanker.
Sel mieloma multiple memproduksi hepatocyte growth factor (HGF) yang
akan merangsang sekresi interleukin 11 dari osteoblas yang selanjutnya akan
merangsang osteoklastogenesis. Proses ini juga dirangsang oleh adanya
sitokin-sitokin lain yang dihasilkan oleh sel mieloma multipel seperti tumor
necrosis factor, interlekin 1 dan transforming growth factor beta-1.
307
2. Parathyroid hormone related protein (PTHrP)
Penyebab tersering hiperkalsemia pada penderita dengan tumor padat tanpa
metastase dan pada beberapa pasien dengan limfoma maligna non-Hodgkin
adalah adanya sekresi PTHrP. Keadaan ini disebut hiperkalsemi humoral
pada keganasan. PTHrP mempunyai struktur yang homolog dengan hormon
paratiroid pada ujung amino terminal sehingga berikatan dengan reseptor
yang sama dengan PTH. Karena hal tersebut, PTHrP mampu bekerja seperti
hormon paratiroid yaitu meningkatkan resorbsi tulang, resorbsi kalsium pada
tubulus distal dan inhibisi transport fosfat pada tubulus proksimal.
Interleukin 6 dihasilkan oleh banyak sel kanker dan berhubungan dengan
beberapa sindroma paraneoplasma. Interleukin 6 secara langsung
merangsang produksi osteoklas dan juga merupakan downstream effector
kerja hormon paratiroid pada tulang. Interleukin 6 dapat menyebabkan
hiperkalsemia ringan dan dapat berkerja aditif terhadap PTHrP.
3. Kalsitriol
Kalsitriol merupakan penyebab hampir seluruh kasus hiperkalsemia pada
penyakit Hodgkin dan kira-kira sepertiga kasus hiperkalsemia pada Limfoma
Non-Hodgkin. Hiperkalsemia yang disebabkan karena kalsitriol biasanya
berespon terhadap terapi steroid.
308
Interaksi antara sel kanker dengan osteoklast dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :
309
Tipe hiperkalsemi pada keganasan dapat dilihat pada tabel 1.
Metastase Faktor
Tipe Frekuensi Jenis kanker
tulang penyebab
Humoral 80% Tidak ada atau PTHrP SCC paru
minimal SCC esophagus
SCC serviks
SCC kepala dan
leher
Karsinoma renal
Kanker payudara
Kanker ovarium
Osteolitik 20% Sering, Sitokin Kanker payudara
lokal ekstensif Kemokin Mieloma multipel
PTHrP Limfoma
Keterangan : SCC : squamous cell carcinoma
Pengelolaan :
1. Meningkatkan ekskresi kalsium
Kalsium yang difiltrasi terutama direabsorbsi di tubulus proksimal dan
ascending limb of the loop of Henle. Proses ini terutama berjalan secara pasif
sebagai akibat dari perbedaan gradien elektrokimia yang timbul karena
reabsorpsi natrium dan klorida. Proses resorbsi kalsium secara aktif terutama
terjadi di tubulus distal di bawah pengaruh hormon paratiroid dan
kemungkinan kalsitriol. Eksresi kalsium dapat ditingkatkan dengan
menghambat reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan loop of Henle
310
sehingga akan mengurangi reasorbsi pasif kalsium. Reabsorpsi kalsium di
tubulus proksimal dapat dihambat dengan ekspansi volume menggunakan
NaCl intravena. Sebagian penderita dengan hiperkalsemia berada dalam
keadaan hipovolemik yang disebabkan karena hypercalcemia-induced urinary
salt wasting dan adanya mual dan muntah. Larutan garam fisiologis
diberikan awal dengan kecepatan 200–300ml/jam, kemudian disesuaikan
untuk mempertahankan produksi urine antara 100 – 150ml/jam. Pemberian
cairan ini memerlukan pemantauan ketat, karena dapat menimbulkan
kelebihan cairan pada penderita dengan insufisiensi renal (sebagai akibat
hiperkalsemia) atau gagal jantung. Pada keadaan-keadaan tersebut, dapat
dipertimbangkan pemberian loop diuretic. Loop diuretic juga akan
meningkatkan ekskresi kalsium dengan menghambat reabsorbsi kalsium di
loop of Henle.
2. Menghambat resorpsi tulang
Bersamaan dengan replesi volume cairan, terapi diberikan untuk
menghambat resorpsi tulang. Terdapat 3 kelompok pengobatan untuk
menurunkan kadar kalsium dengan menghambat fungsi osteoklas yaitu :
a. Kalsitonin
Kalsitonin menurunkan kalsium serum dengan meningkatkan ekskresi
melalui ginjal dan mengurangi reabsorpsi tulang dengan cara
menghambat maturasi osteoklas. Salmon kalsitonin (4 IU/kg) diberikan
secara intramuskuler atau subkutan setiap 12 jam. Dosis dapat
ditingkatkan sampai 6-8 IU/kg setiap 6 jam. Efek samping yang dapat
terjadi adalah mual dan reaksi hipersensitif. Kalsitonin bekerja cepat,
menurunkan kalsium serum maksimal 1 – 2 mg/dl, dimulai dalam 4 – 6
jam. Efektifitas kalsitonin terbatas pada 48 jam pertama, walaupun
diberikan pengulangan dosis. Hal ini diduga karena adanya takifilaksis
sebagai akibat downregulation reseptor.
b. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan nonhydrolyzable analog inorganic pyrophosphate
yang diabsorbsi pada permukaan tulang dan menghambat pelepasan
kalsium dengan menghambat aktivitas metabolik osteoklast. Bisfosfonat
merupakan terapi terpilih karena lebih poten dibandingkan pemberian
larutan garam fisiologis dan kalsitonin. Efek maksimal didapatkan dalam
2 – 4 hari.
Asam Zoledronat
Merupakan bisfosfonat terpilih untuk terapi hiperkalsemi pada
keganasan. Diberikan dengan dosis 4 mg intravena dalam 100 cc NaCl
0,9% atau dekstrose 5% selama 15 menit, setiap 3 – 4 minggu. Asam
zoledronat lebih efektif dibandingkan pamidronat dalam terapi
hiperkalsemi karena keganasan.
311
Etidronat
Merupakan bisfosfonat generasi pertama, efek hambatan resorpsi
tulang relatif lemah dibandingkan bisfosfonat generasi terbaru.
Etidronate diberikan 7,5 mg/kg/hari dalam 250 cc NaCl 0,9% selama
4 jam, minimal 3 hari berturut-turut. Cara pemberian lain adalah 30
mg/kg diberikan selama 24 jam atau 4,3 mg/kg IV /hari selama 7 hari
berturut-turut. Dosis etidronat diturunkan sebanyak 50% pada
penderita dengan insufisiensi renal.
Klodronat
Klodronat diberikan dengan dosis 1600 mg/hari oral atau 300 mg/hari
intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau dekstrose 5% selama 2 jam,
untuk 5 hari. Klodronat dapat juga diberikan dengan dosis 1500 mg
sebagai dosis tunggal dalam 500 cc NaCl 0,9% atau dekstrose 5%
selama 4 jam. Bila terdapat penurunan kreatinin klirens, dilakukan
penyesuaian dosis klodronat setelah pemberian dosis pertama.
Penyesuaian dosis tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Pamidronat
Pamidronat menurunkan kalsium lebih poten dibandingkan etidronat.
Pamidronat diberikan 60 – 90 mg IV dalam 250 – 500cc NaCl 0,9%
atau dekstrose 5% selama 2 – 4 jam. Pemberian dapat diulangi
minimal setelah 7 hari, pada umumnya diberikan setiap 3 – 4 minggu.
Respon terapi dapat bertahan selama 2 – 4 minggu.
312
Ibandronat
Efektivitas sama dengan pamidronat. Dosis 4 – 6 mg IV selama 2 jam
akan menurunkan kadar kalsium pada 75 – 80% pasien dengan
hiperkalsemia sedang dan berat (kalsium > 12 mg/dl).
313
b. Hiperkalsemi yang lebih berat, simptomatik
Pada keadaan serum kalsium > 12 mg/dl atau simptomatik,
direkomendasikan :
Volume ekspansi dengan NaCl 200 – 300 ml/jam, kemudian disesuaikan
untuk mempertahankan urine antara 100 – 150 ml/jam. Pada penderita
dengan gagal ginjal atau gagal jantung dapat dipertimbangkan pemberian
loop diuretik.
Kalsitonin 4 IU/kg, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar kaslium
beberapa jam setelah pemberian. Bila didapatkan respon hipokalsemi,
maka penderita adalah kalsitonin sensitif dan pemberian kalsitonin dapat
diulang setiap 6 – 12 jam (4 – 8 IU/kg).
Asam zoledronat (4 mg selama 15 menit) atau pamidronat 60 – 90 mg
selama 2 jam.
c. Hiperkalsemia berat
Hemodialisis perlu dipertimbangkan di samping terapi hiperkalsemi yang lain
pada penderita dengan serum kalsium antara 18 – 20 mg/dl dan adanya
gangguan nerologik.
314
SYNDROME OF INAPPROPRIATE ANTIDIURESIS HORMONE
(SIADH)
Diagnosis SIADH :
1. Gambaran klinik utama :
Penurunan osmolalitas serum efektif (< 275 mOsm/kg air)
Osmolalitas urine > 100 mOsm/kg air
Euvolemia secara klinis :
Tidak ada tanda deplesi volume cairan ekstraseluler (tidak ada orthostasis,
takhikardia, penurunan turgor kulit atau membran mukosa yang kering)
Tidak ada tanda kelebihan volume ekstraseluler : tidak ada edema atau
asites
Natrium urine > 40 mmol/liter dengan asupan garam normal
Fungsi tiroid dan adrenal normal
Tidak ada penggunaan diuretik
315
Prinsip Koreksi Hiponatremi :
1. Restriksi cairan
Pada hiponatremi asimptomatik, dilakukan restriksi cairan 500 – 1000 cc per
24 jam.
2. Pemberian Natrium
Hiponatremi berat (Na < 125 mmol/L), simptomatik, memerlukan pemberian
natrium. Algoritma penatalaknsanaan hiponatremi berat dapat dilihat pada
skema.
316
Koreksi natrium dapat juga dihitung dengan menggunakan rumus.
Perhitungan untuk memperkirakan efek 1 liter NaCl infus pada perubahan serum
Na
Perkiraan cairan tubuh total (liter, diperhitungkan sebagai persentasi dari berat
badan) dapat dilihat pada tabel 5.
= 10,9 mmol/L
317
3. Antagonis reseptor vasopresin
Perkembangan terbaru dalan terapi SIADH adalah penggunaan conivaptan,
suatu antagonis reseptor vasopresin yang telah disetujui FDA pada tahun
2005 untuk terapi intravena pada keadaan hiponatremi euvolemik. Pada
tahun 2007, conivaptan juga disetujui FDA untuk terapi hiponatremi
hipervolemik.
Beberapa antagonis receptor vasopresin dapat dilihat pada tabel 6.
4. Demeclocycline
Digunakan untuk membuat diabetes insipidus nefrogenik, bila terapi lain
tidak berhasil mengkoreksi hiponatremi. Demeclocycline diberikan 600 –
1200 mg per oral perhari. Demeclocycline mempunyai efek samping nausea,
vomitus, diare, glositis, disfagi, hepatotoksik, nefrotoksik.
318
Infus NaCl 3% 50 – 100 ml/jam selama 4 jam biasanya cukup untuk
memperbaiki simptom
Infus NaCl 3% 0,5 ml/kg/jam digunakan pada penderita dengan
simptom ringan
Beberapa ahli merekomdasikan penggunaan furosemid 20 – 40 mg IV
untuk meningkatkan ekskresi air dan mencegah ekspansi cairan
ekstraseluler
Kadar natrium darah harus diperiksa setiap 2 – 3 jam, kemudian
kecepatan infus disesuaikan menurut kebutuhan
Untuk menghindari komplikasi karena koreksi Na yang berlebihan, infus
NaCl 3% harus dihentikan bila penderita sudah asimptomatik, koreksi
jangan melebihi 20 mmol/l dalam 48 jam pertama dan koreksi ditujukan
untuk mencapai kadar hiponatremi ringan, hindari normonatremi dan
hipernatremi pada 48 jam pertama.
Simptomatik Hiponatremia
319
KEGAWATDARURATAN ONKOLOGI :
SINDROMA VENA CAVA SUPERIOR
Definisi :
Obstruksi aliran darah di vena cava yang menyebabkan tanda dan gejala klinik
sindroma vena cava superior. Obstruksi dapat disebabkan karena invasi atau
kompresi eksternal pada vena cava karena proses patologik pada paru kanan,
kelenjar getah bening atau struktur mediastinal lainnya atau trombosis. Proses-
proses tersebut dapat terjadi bersamaan.
Etiologi :
Keganasan ( 85 – 95% kasus ) :
Karsinoma bronkhogenik (80%)
Limfoma non Hodgkin (15%)
Metastase kanker (5 – 10%) : kanker payudara, germ cell, kanker
traktus gastrointestinal
Bukan keganasan (10 – 15% kasus) :
Tuberkulosis
Sifilis
320
Gejala lain : Disfagia, pusing, sakit kepala, letargi, sinkope, stridor, bingung,
mengantuk, gangguan penglihatan
Pemeriksaan Penunjang :
Foto toraks
Memberikan gambaran abnormal pada 84% kasus. Kelainan yang terbanyak
ditemukan adalah pelebaran mediastinum (64%) dan efusi pleura (26%).
CT scan toraks dengan kontras
Merupakan pemeriksaan terpilih, dapat menentukan lokasi dan tingkat
obstruksi vena. Dapat mengidentifikasi penyebab obstruksi vena cava
superior.
MRI
MRI dapat digunakan untuk penderita yang alergi terhadap kontras atau
pada penderita dengan kesulitan akses vena untuk pemberian zat kontras.
PET (Positron emission tomography)
PET dapat digunakan untuk menentukan lapangan terapi radiasi.
Venografi ekstremitas atas bilateral
Dapat menentukan lokasi, tingkat obstruksi dan kolateral vena. Venografi
pada umumnya dilakukan bila direncanakan intervensi pemasangan stent
atau operasi .
Biopsi
Untuk menegakkan diagnosis histopatologi. Bila diperlukan dapat dilakukan
biopsi melalui bronkhoskopi, mediastinoskopi atau torakotomi. Bronkoskopi
dapat menegakkan diagnosis pada 46 – 67% kasus.
Sitologi sputum, cairan pleura, biopsi kelenjar getah bening perifer dapat
menegakkan diagnosis pada 2/3 kasus.
Strategi Pengobatan :
Prinsip umum:
Terapi ditentukan berdasarkan tipe histologi dan stadium penyakit primer.
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi simptom dan pengobatan
keganasan primer.
Penundaan terapi sampai diagnosis ditegakkan pada umumnya dapat
dilakukan pada sebagian besar kasus, dengan syarat penegakkan diagnosis
dilakukan dengan efisien dan keadaan pasien stabil.
Penderita dengan stridor yang menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas
atau edema laring yang berat merupakan keadaan emergensi yang
memerlukan terapi segera untuk mengurangi risiko terjadinya gagal nafas.
Rekomendasi terapi sebaiknya ditentukan oleh tim multidisiplin (onkologi
radiasi, onkologi medik, ahli bedah dan pulmonologis).
321
1. Radioterapi.
Merupakan modalitas terapi yang paling sering digunakan
Memberikan perbaikan simptom dengan cepat, sering dalam 72 jam
70 – 90% penderita bebas gejala selama 2 minggu
Komplikasi : esofagitis, mual dan muntah, iritasi kulit, kemungkinan
memperberat simptom karena edema sekunder
Terjadinya rekurensi obstruksi vena cava superior dilaporkan pada
10 – 19% kasus dengan radioterapi (disebabkan karena rekurensi tumor,
fibrosis karena radiasi, trombosis)
Belum didapatkan rekomendasi dosis radiasi optimal, dosis ditentukan
secara individual dan tergantung jenis keganasan primer
2. Kemoterapi.
Merupakan terapi alternatif pada kanker yang kemosensitif
Pemilihan antara radioterapi dan kemoterapi ditentukan berdasarkan
stadium dan keadaan umum pasien
3. Terapi endovaskuler.
Bermanfaat untuk membuka dan mempertahankan patensi obstruksi
vena cava superior karena keganasan
Resolusi komplit didapatkan sebesar 68 – 100% kasus dengan
menggunakan stent metalik
Sianosis dan edema wajah menghilang dalam 1 – 2 hari
Edema ekstremitas menghilang dalam 2 – 3 hari, dapat sampai
1 minggu
Rekurensi didapatkan sebanyak 4 – 45% yang disebabkan karena
pertumbuhan tumor di sela-sela jahitan stent dan ujung stent yang
menyebabkan trombosis
Rekurensi dapat diatasi dengan antikoagulan, angioplasti atau
pemasangan stent ulang
Pemasangan stent endovaskuler dapat disertai trombolisis (keberhasilan
90 – 100%)
Indikasi : Penderita dengan harapan hidup singkat
Obstruksi rekuren setelah terapi pertama
Penderita dengan simptom akut dan berat yang memerlukan
terapi segera
Komplikasi : stent misplacement (10%), migrasi stent (5%), oklusi
stent (10%), aritmia
Belum terdapat kesepakatan tentang pemberian antikoagulan (warfarin/
aspirin) setelah pemasangan stent
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid sering digunakan pada sindroma vena cava superior
walaupun tidak ada penelitian yang mengkonfirmasi efektivitasnya.
Streroid berguna bila sindroma vena cava superior disebabkan karena
limfoma.
322
KEGAWATDARURATAN ONKOLOGI :
KOMPRESI SPINAL CORD
Kompresi spinal cord dapat merupakan manifestasi pertama adanya kanker (pada
20 – 30% kasus kompresi spinal cord). Kanker paru, limfoma non Hodgkin,
mieloma multipel dan cancer of unknown primary dapat bermanifestasi awal
sebagai kompresi spinal cord.
Patofisiologi :
Spinal cord dilindungi oleh lingkaran tulang yang terdiri dari korpus vertebra di
bagian anterior dan lamina, pedikel, prosesus spinosis di bagian posterior. Di
dalam lingkaran tulang ini terdapat thecal sac, merupakan lapisan terluar yang
terdiri dari dura. Di antara tulang dan dura terdapat ruang epidural yang dalam
keadaan normal berisi lemak dan pleksus venosus.
Pada setiap tingkat spinal, nerve roots keluar dari bagian lateral spinal cord dan
posteror corpus vertebra. Kompresi spinal cord epidural terjadi bila tumor
menginvasi ruang epidural dan menekan thecal sac. Derajat penekanan thecal
sac dapat bervariasi dari ringan, asimtomatik sampai terjadi strangulasi spinal
cord disertai paraplegi.
323
Ketika tumor tumbuh dalam ruang epidural, biasanya tumor akan mengelilingi
thecal sac (daerah dengan resistensi paling kecil). Bila terjadi obstruksi pleksus
vena epidural, akan diikuti edema vasogenik pada white matter dan grey matter.
Bila tidak terdiagnosis, selanjutnya akan terjadi infark spinal cord.
324
Evaluasi terhadap kemungkinan adanya kompresi spinal cord harus dilakukan
pada setiap penderita kanker dengan keluhan nyeri pada tulang belakang yang
baru timbul atau adanya perubahan karakteristik nyeri yang sudah ada. Adanya
kecurigaan kompresi spinal cord memerlukan segera pemeriksaan pencitraan dan
konsultasi dengan radiation oncologist dan bedah syaraf.
Pemeriksaan Penunjang :
Karena metastase spinal multipel ditemukan pada 1/3 kasus, perlu pemeriksaan
pencitraan pada seluruh spinal cord, atau minimal pada daerah vertebra torakal
dan lumbal sebagai tambahan pada lokasi yang simptomatik.
Strategi Pengobatan :
1. Terapi suportif
Kontrol nyeri dengan opioid.
Kortikosteroid untuk mengurangi nyeri, vasogenic cord edema dan
mencegah radiation-induced spinal edema
325
Deksametason 96 mg IV bolus, diikuti 96 mg/hari terbagi dalam 4 dosis PO
selama 3 hari. Dosis diturunkan dalam 10 hari, atau deksametason 10 mg IV
bolus, diikuti 6 jam kemudian 4 mg PO setiap 6 jam, diturunkan dan
dihentikan dalam 2 minggu.
Deksametason dosis tinggi (96mg) direkomendasikan pada penderita dengan
paraparesis atau paraplegi. Pada penderita dengan simptom nerologik
minimal, direkomendasikan deksametason dosis moderat (10 mg bolus,
diikuti 16 mg/hari dalam dosis terbagi).
2. Radiasi
Merupakan terapi terpilih pada sebagian besar kasus kompresi spinal cord
Dosis : 30 Gy dalam 10 fraksi selama 2 minggu
Faktor –faktor yang menentukan keberhasilan terapi :
Diagnosis dini
Tipe histologi :
Radiosensitif : limfoma, mieloma, seminoma, sarkoma Ewing
Radiosensitif moderat : kanker payudara, kanker prostat
Relatif radioresisten : melanoma, kanker paru, kanker kolon.
3. Pembedahan + radiasi
Tindakan pembedahan dipertimbangkan pada keadaan :
Instabilitas spinal
Paraplegi pada waktu diagnosis
Retropulsi tulang pada kanalis vertebra
Tumor radioresisten
Adanya perburukan pada waktu dilakukan radioterapi
Riwayat radioterapi pada lokasi yang sama
Jenis histopatologi belum diketahui
4. Kemoterapi + radiasi
Kemoterapi dapat digunakan sebagai kombinasi dengan radioterapi pada
penderita yang bukan merupakan kandidat untuk radioterapi atau operasi,
dengan kanker yang kemosensitif seperti neroblastoma, sarkoma Ewing,
sarkoma osteogenik, germ cell tumor dan limfoma.
5. Antikoagulan
Meskipun belum ada penelitian tentang manfaat pemberian profilaksis
tromboemboli vena pad penderita dengan kompresi spinal cord, dianjurkan
pemberian heparin subkutan atau sequential compressin devices sebagai
profilaksis tromboemboli pada penderita dengan imobilisasi.
6. Pencegahan konstipasi
Adanya disfungsi otonomik, imobilisasi dan analgetik dapat menimbulkan
konstipasi, ileus dan kadang-kadang perforasi.
7. Spinal bracing
Spinal bracing eksternal dapat dipertimbangkan pada penderita dengan nyeri
yang refrakter dengan pengobatan standar.
326
HIPERKOAGULABILITAS
AKIBAT KANKER
Definisi :
Hiperkoagulabilitas, atau trombofilia atau protrombotik merupakan istilah-istilah
yang sering digunakan pada keadaan dimana cenderung terjadi trombus,
walaupun secara klinik belum tentu bermanifestasi sebagai trombosis. Sedangkan
istilah pretrombotik sebaiknya tidak digunakan, karena dapat diartikan sebagai
perubahan yang ireversibel, jadi sama dengan trombosis subklinik.
327
Tabel 1. Faktor Risiko Fisiologis dan Patologis Terjadinya Trombosis :
Fisiologis Patologis
Patogenesis :
Sejak tahun 1856 hingga kini, Trias Virchow yang terdiri dari faktor pembuluh
darah, aliran darah, dan konstituen darah masih merupakan mekanisme dasar
terjadinya trombosis, terutama pada vena. Seluruh vena tubuh rentan terhadap
trombosis walaupun kejadian terbanyak pada vena ekstremitas bawah, hal ini
disebabkan karena tekanan hidrostatik yang lebih tinggi serta aliran darah balik
yang lebih lambat pada tungkai bawah.
Trombosis pada kanker pertama kali ditemukan oleh Trousseau pada tahun 1865.
Bahkan tanda dan gejala trombosis arteri atau vena dapat terjadi sebelum
kankernya dapat dikenali secara klinis. Obat-obat antineoplastik juga terbukti
meningkatkan kejadian trombosis.
Sel-sel imun, seperti makrofag dan monosit bila berinteraksi dengan sel-sel
kanker akan teraktivasi dan mengeluarkan beberapa sitokin, antara lain: TNF-α,
IL-1, dan IL-6 yang menyebabkan kerusakan endotel (lihat gambar), sehingga
permukaannya menjadi trombogenik. Aktivasi monosit dan makrofag juga akan
mengaktivasi trombosit, faktor XII dan faktor X, sehingga terbentuk trombin.
Sel-sel tumor sendiri menghasilkan sistein protease dan faktor jaringan (tissue
factor) yang bersifat prokoagulan dan aktivitas seperti tromboplastin.
Prokoagulan ini dapat langsung mengaktivasi faktor X sekaligus jalur ekstrinsik
melalui faktor VII.
328
Sedangkan pada kanker-kanker jenis adenokarsinoma, dapat menghasilkan
musin yang mengandung asam sialat yang menyebabkan aktivasi faktor X secara
reaksi non-enzimatik.
329
Tanda dan Gejala Klinik :
Dapat terjadi tanpa tanda dan gejala klinik, hanya ditemukan kelaianan faal
koagulasi secara laboratorium saat diperiksa untuk indikasi lain.
Bengkak tungkai, dengan atau tanpa nyeri
Nyeri dada, nyeri pleuritik, sesak nafas
Hemoptisis
Hipotensi, takipnea, takikardia
Galop S3/S4, murmurs, Wide split S2
Ronki basal, pleural friction rub, wheezing
Kolik abdomen dan nyeri tekan
Diagnosa :
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Trombosis arteri pada umumnya lebih mudah diketahui secara klinik, berupa
tanda dan gejala stroke, sindroma koroner akut, oklusi pembuluh darah
perifer.
Semua penderita kanker dengan salah satu keluhan-keluhan diatas
apalagi faktor-faktor risiko pada tabel 1, harus dicurigai dalam keadaan
hiperkoagulabilitas, terutama pada kanker paru, pankreas, kolon, leher
rahim, ovarium, limfoma.
Sangat penting ditanyakan mengenai ada tidaknya riwayat trombo-emboli
sebleumnya, baik pada vena maupun arteri, faktor-faktor komorbiditas
(obesitas, infeksi, penyakit paru kronis, diabetes mellitus).
330
Bila pada anamnesa dicurigai hiperkoagulabilitas tipe campuran, maka diperiksa:
Kadar antitrombin III
Kadar protein C dan protein S
Kompleks TAT (thrombin anti-thrombin)
Pengelolaan :
Berdasarkan ASCO 2007 (American Society of Clinical Oncology) dan ACCP 2008
(American College of Chest Physician) maka direkomendasikan untuk pemberian
profilaksis denagan heparin berat molekul rendah pada keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1. Semua penderita kanker yang dirawat di rumah sakit dan mempunyai risiko
terjadinya trombosis vena
2. Semua penderita kanker yang dirawat di rumah sakit dan penyakit sistemik
lain
3. Semua penderita kanker yang akan menjalani operasi sebagai bagian dari
pengobatan kankernya
4. Semua penderita kanker yang akan menjalani prosedur laparotomi,
laparoskopi, atau torakotomi yang diperkirakan lebih dari 30 menit.
5. Sedang menjalani terapi hormonal atau kemoterapi
331
KEMOTERAPI DAN EFEK SAMPINGNYA
Pendahuluan :
Jenis obat kemoterapi dan cara pemberiannya bermacam-macam. Demikian pula
dengan efek samping yang timbul dari pemberian kemoterapi ini. Meskipun
banyak diketahui efek samping yang sering dialami oleh penderita kanker yang
mendapat kemoterapi, banyak para pekerja di bidang kesehatan yang tidak
menyadari efek yang dapat timbul akibat paparan dengan obat kemoterapi.
Resiko paparan ini tidak hanya timbul selama preparasi obat dan pemberian obat,
tapi juga ketika menangani peralatan dan sampah yang terkontaminasi obat.
Definisi :
Definisi kemoterapi adalah pengobatan dengan menggunakan obat-obat anti
kanker. Obat-obat yang termasuk dalam hormon seks juga digunakan untuk
pengobatan kanker seperti tamoksifen pada kanker payudara. Walaupun kadang-
kadang obat ini disebut sebagai kemoterapi, tapi lebih sering dikenal sebagai
obat terapi hormon.
Kemampuan dalam membedakan antara sel kanker dan sel normal tidak
sempurna, sehingga terjadi juga kerusakan pada sel yang normal. Hal inilah yang
menimbulkan beberapa efek samping obat kemoterapi. Makin cepat sel-sel
normal membelah, makin besar kemungkinan sel tersebut dirusak oleh obat
332
sitotoksik, seperti sel-sel di usus, rambut, kelenjar seks dan jaringan
hematopoiesis di sumsum tulang. Untuk memahami lebih lanjut kerja obat anti
kanker, maka berikut ini akan dijelaskan mengenai siklus sel.
Siklus Sel :
Siklus sel adalah urutan langkah-langkah dari pertumbuhan dan replikasi sel-sel
normal dan ganas. Proses ini terdiri dari 5 fase :
1. Fase G0
2. Fase G1
3. Fase S
4. Fase G2
5. Fase M
Fase G1
Fase ini disebut sebagai gap 1 atau fase pertumbuhan pertama. Selama fase ini
ukuran sel bertambah, sel mempersiapkan untuk sintesis DNA dengan
memproduksi RNA (ribonucleic acid) dan protein. Fase ini berlangsung 12 –
48 jam.
Fase S
Pada fase ini terjadi sintesis DNA, yang merupakan informasi kode genetik yang
diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan (repair), dan reproduksi sel. Juga
terjadi replikasi (penggandaan DNA). Fase ini berlangsung selama 10 – 30 jam.
Banyak kerja obat antikanker yang menyebabkan gangguan dalam organisasi
kode DNA selama sintesis DNA ini, dan gangguan ini tidak dapat diperbaiki
sehingga menyebabkan sel-sel mati
Fase G2
Disebut sebagai gap 2 atau fase pertumbuhan kedua dan berlangsung selama 1 –
12 jam. Pada fase ini sintesis RNA dan protein terus berlanjut untuk
mempersiapkan mitosis, juga terjadi produksi mitotic spindle apparatus
(kromosom berkondensasi sebagai persiapan untuk membelah).
333
Fase M
Terjadi proses mitosis yang terdiri dari 4 fase:
Profase
Metafase
Anafase
Telofase
Selama fase M, sel membelah menjadi 2 sel turunan ( daughter cells), yang
masing-masing berisi jumlah dan jenis kromosom yang sama dengan sel
induknya (parent cell).
Fase M berlangsung kira-kira 1 jam. Setelah fase M selesai, sel-sel masuk kembali
ke siklus sel pada fase G1 untuk menjalani maturasi dan replikasi selanjutnya,
atau istirahat pada fase G0.
334
Pada penelitian mengenai siklin, ditemukan bahwa pada beberapa sel kanker
terdapat hilangnya suatu protein genetik yang berinteraksi dengan siklin dan
menghambat pembelahan sel. Sel-sel ganas dari berbagai tumor juga ditemukan
mempunyai kelainan dalam struktur molekul 4 protein yang bertanggung jawab
dalam kontrol siklus sel dan siklin merupakan salah satu dari 4 protein tersebut.
Apoptosis :
Apoptosis terjadi ketika protein-protein dalam inti sel memfragmentasi DNA
sehingga terjadi kematian sel. Tidak adanya faktor pertumbuhan atau hormon
pada beberapa sel ganas dapat menyebabkan apoptosis. Resistensi apoptosis
dapat pula terjadi karena berbagai kejadian genetik. Pengobatan dengan
beberapa obat kemoterapi, antibodi monoklonal, virus onkolitik menyebabkan
breakdown dari resistensi apoptosis pada beberapa sel kanker.
Obat antikanker mempengaruhi sel normal dan ganas dengan merubah aktivitas
seluler selama satu atau lebih fase siklus sel. Walaupun kedua jenis sel ini dapat
mati akibat kerusakan irreparable yang disebabkan kemoterapi, sel normal
mempunyai kemampuan yang lebih besar daripada sel kanker untuk memperbaiki
kerusakan minor, sehingga dapat terus hidup.
335
Klasifikasi Obat Kemoterapi Menurut Aktivitas Siklus Sel :
1. Spesifik fase siklus sel (Cell cycle phase-specific)
2. Non spesifik fase siklus sel (Cell cycle phase-nonspecific)
336
Antibiotik:
Dactinomycin
Daunorubicin
Doxorubicin
Mitomycin
Lain-lain:
Dacarbazine
Procarbazine
Kontraindikasi :
Kemoterapi tidak dilakukan pada keadaan :
1. Fasilitas tidak tersedia untuk melakukan evaluasi respon pasien terhadap
kemoterapi atau memantau adanya efek samping dan mengatasi bila
didapatkan adanya reaksi toksik
2. Pasien sudah tidak memiliki harapan hidup bila kanker diobati
3. Bila pasien tidak memiliki manfaat banyak setelah mendapat kesembuhan
dengan kemoterapi, contohny pada pasien debil
4. Kanker yang diderita pasien termasuk yang pertumbuhannya lambat dan
tidak menimbulkan gejala. Pengobatan dengan kemoterapi dapat ditunda
hingga keluhan muncul
337
Usia
Keadaan kesehatan umum penderita yang dinilai dengan beberapa
parameter seperti Karnofsky Scale
Adanya komplikasi seperti penyakit ginjal dan hati
Riwayat pemberian kemoterapi sebelumnya
Kemoterapi biasanya diberikan dalam interval waktu yang reguler yang disebut
siklus. Satu siklus adalah satu kali dosis diberikan diikuti dengan beberapa hari
atau minggu tanpa pengobatan. Dengan adanya masa istirahat ini memberikan
kesempatan kepada sel-sel normal di dalam tubuh untuk pulih kembali.
Respon Terapi :
Dalam pemberian kemoterapi, harus diperhatikan respon kanker yaitu :
Remisi komplit : hilangnya seluruh masa tumor
Remisi parsial : berkurangnya ukuran tumor (2 dimensi) hingga 50% dari
ukuran asal
Pertumbuhan kanker progresif: bertambahnya ukuran tumor hingga
berukuran 25% atau lebih dari ukuran asal atau tumbuhnya lesi baru
Pertumbuhan kanker stabil: tidak termasuk dalam kategori di atas
338
Efek Samping Kemoterapi :
Selain membunuh sel kanker, obat-obatan kemoterapi juga berpengaruh
terhadap sel-sel normal lain terutama yang mengalami pertumbuhan dan
pembelahan secara aktif seperti : sel-sel darah, sel-sel folikel rambut, sel-sel di
sistem reproduksi dan saluran pencernaan. Efek samping kemoterapi berbeda-
beda untuk setiap obat, juga tergantung kepada dosis pemberian, jalur
pemberian dan efek individual.
1. Mielosupresi
Titik terendah jumlah sel darah setelah kemoterapi ini disebut dengan nadir.
Untuk lekosit dan trombosit nadir terjadi pada hari ke 7 – 14 sedangkan
eritrosit lebih lama hingga beberapa minggu. Pemantauan terhadap jumlah
sel-sel darah dan gejala-gejala yang timbul akibat kurangnya sel-sel darah
sangat penting selama dan sesudah kemoterapi.
Neutopenia adalah satu resiko untuk terjadinya infeksi, bila absolute
neutophil count (ANC) kurang dari 1000 maka resiko terjadi infeksi
meningkat. Karena resiko infeksi ini, maka kemoterapi harus ditunda bila
didapatkan jumlah leukosit yang sangat rendah. Pemberian growth factor
berupa Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan
Granulocyte Colony Stimulating Factor (GCSF) yang menstimulasi produksi
leukosit dapat diberikan sehari setelah kemoterapi hingga 2 minggu.
Transfusi dapat diberikan bila anemia menyebabkan gejala-gejala yang
berat. Pemberian epoetin, suatu growth factor yang merangsang produksi
eritrosit merupakan pilihan untuk mengatasi anemia karena kemoterapi,
akan tetapi perlu waktu beberapa minggu hingga obat ini bekerja dengan
baik.
Trombositopenia akibat kemoterapi juga bersifat sementara, akan tetapi bila
jumlahnya di bawah 10.000/mm3 dengan tanda-tanda perdarahan, maka
transfusi trombosit perlu diberikan. Growth factor yang merangsang
pertumbuhan trombosit dapat diberikan yaitu Oprelvekin.
2. Nausea dan Vomitus
Obat-obat kemoterapi menyebabkan iritasi pada lambung dan duodenum
sehingga menstimulasi pusat muntah di otak. Obat-obatan yang dapat
mencegah kejadian nausea dan vomitus paska kemoterapi diantaranya :
Lorazepam, Prochlorperazine, Promethazine, Metoclopramide,
Dexamethasone, Ondansentron, Graniseton, Dolasetron, Palonosetron dan
Aprepitant. Beberapa obat berikut lebih banyak menyebabkan nausea dan
vomitus : cisplatin, carboplatin, dacarbazine, mechloretamine, daunorubicin,
streptozicin, cytarabine, doxorubicin, carmustine, cyclophosphamide,
ifofosfamide, procarbazine, lomustine, dactinomycin, pentostatin, irinotecan.
Onset dan durasi terjadinya nausea dan vomitus tidak dapat diperkirakan.
Untuk mengatasi nausea dan vomitus The Italian Group for Antiemetic
Research menganjurkan untuk memberikan Dexamethasone saja dengan
dosis 4 mg bid atau dikombinasikan dengan ondansentrone 8 mg bid.
339
Pengobatan ini akan mencegah nausea dan vomitus yang terjadi dalam 24
jam pertama setelah kemoterapi dimulai dan dalam jangka panjang.
3. Kebotakan
4. Penurunan Berat Badan Dan Nafsu Makan
5. Perubahan Cita Rasa
6. Stomatitis
7. Konstipasi
8. Diare
Keluhan ini ditentukan oleh beberapa faktor : jenis obat (Irinotecan,
5-fluorouracil, methotrexate, docetaxel dan dactinomycin), dosis, lama
pengobatan, karsinoma gaster, radioterapi dan intoleransi terhadap laktosa.
9. Fatigue
10. Kerusakan Jantung
Beberapa obat dapat menyebabkan kardiomiopati adalah golongan
Anthracyclin seperti Daunorubicin dan Doxorubicin (Adriamycin), tetapi
beberapa obat jenis lain dapat menyebabkan kerusakan juga. Kejadian
kardiomiopati terjadi pada 10% pasien. Faktor-faktor yang berpengaruh
adalah adanya penyakit jantung sebelumnya, hipertensi dan merokok. Bila
terdapat gejala-gejala dekompensasi karena kardiomiopati ini maka
pengobatan kemoterapi harus dihentikan. Khusus untuk Doxorubicin,
kardiomiopati yang disebabkan oleh kemoterapi bersifat dose dependent.
Kardiomiopati terjadi bila dosis melebihi 500 – 550 mg/m2.
11. Perubahan Sistem Saraf
Obat yang banyak berpengaruh terhadap sistem saraf adalah golongan
inhibitor mitotik seperti : vincristine, paclitaxel, docetaxel.
12. Kerusakan Paru-Paru
13. Reproduksi dan Seksualitas
14. Kerusakan Hepar
Obat kemoterapi dapat menyebabkan kerusakan pada hepar diantaranya :
methotrexate, cytarabine, vincristine dan Streptazocin.
15. Kerusakan Ginjal dan Saluran Kemih
Beberapa jenis obat yang sering menimbulkan kelainan ginjal adalah :
cisplatin, methotrexate dosis tinggi, ifosfamide dan streptazocin.
16. Sindroma Tumor Lisis (lihat bab khusus)
17. Efek Samping Jangka Panjang
Beberapa efek samping jangka panjang adalah :
Kerusakan organ permanen
Pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat pada anak-anak
Kerusakan saraf
Hematuria
Munculnya kanker yang lain
340
REAKSI TRANSFUSI
Definisi :
Reaksi transfusi adalah komplikasi / efek samping yang terjadi sebagai akibat
pemberian transfusi.
Klasifikasi :
Imunologik : reaksi tranfusi yang disebabkan adanya produksi antibodi
terhadap aloantigen pada eritrosit, lekosit, trombosit atau protein plasma
donor.
Terdiri dari :
Aloimunisasi
Reaksi hemolitik transfusi
Reaksi febris transfusi
Edema paru non kardiogenik
Alergi
Purpura post transfusi
Efek imunosupresif
Graft –versus-host disease
341
A. Imunologik
1. Aloimunisasi :
Reaksi terhadap HLA (Human leukocyte antigen) / antigen lekosit.
Terjadi pada transfusi granulosit dan trombosit. Reaksi ini lebih sering
pada penderita dengan multitransfusi. Pada penderita anemia
aplastik/ leukemia, 20 – 70% terjadi aloimunisasi terhadap antigen
lekosit.
Reaksi terhadap antigen eritrosit
Risiko terjadinya reaksi aloimunisasi antigen eritrosit 1 – 1,4%/unit
tranfusi, pada penderita multitransfusi risiko ini meningkat sebesar
15 – 20%. Antibodi yang terbentuk adalah antibody Rh, Kell, Duffy,
Kidd.
Reaksi terhadap antigen trombosit
Reaksi terhadap antigen trombosit menimbulkan purpura post
transfusi dan aloimun neonatal trombositopeni.
Reaksi terhadap antigen protein plasma
Terbentuknya anti Ig A antibodi menimbulkan reaksi anafilaksis.
342
Fase diuretik
Terjadi peningkatan produksi urine 200 – 300 ml/hari, perbaikan
klinis. Fase ini berlangsung beberapa hari.
b. Reaksi lambat (hemolisis ekstravaskuler)
Terjadi 2 – 10 hari post transfusi, disebabkan reaksi terhadap
antibodi eritrosit yang tidak terdeteksi. Reaksi ini merupakan respon
antibody anamnestik, biasanya disebabkan antibodi anti Jk, Rh, anti
K dan anti Fy. Gejala klinis dapat berupa demam, anemi, ikterus,
hemoglobinemia, hemoglobinuria.
Aktivasi komplemen
Hemolisis C 3a KID
C 5a
Hemoglobinuria Hipotensi
Perdarahan
Gagal ginjal
343
Terapi gagal ginjal ; restriksi cairan, keseimbangan elektrolit,
diallisis
Pemeriksaan :
Periksa label darah donor
Ulang ABO grup darah resipien
Ulang cross match, test antiglobulin direk
Re-type darah donor
Hemoglobinemia, hemoglobinuria ,bilirubin, ureum,
kreatinin
Skrining KID
Kultur mikrobiologi darah
Terapi :
Stop transfusi
Antipiretik, kortikosteroid
Evaluasi apakah terjadi hemolisis, kontaminasi bakteri/toksin
344
4. Edema paru non kardiogenik
Terjadi karena reaksi antibodi plasma donor dengan HLA atau antigen
granulosit spesifik, menimbulkan aglutinasi granulosit dan aktivasi
komplemen, kerusakan endotel kapiler paru serta transudasi cairan di
alveoli. Kejadian edema paru non kardiogenik sekitar 1 : 5000 transfusi.
Gejala klinis yang timbul : respiratory distress, menggigil, demam, nyeri
dada, hipotensi, sianosis. Gejala-gejala tersebut terjadi beberapa jam
setelah transfusi dan membaik dalam waktu 48 jam.
Terapi :
Suportif : ventilator
Monitor hemodinamik
Kortikosteroid dosis tinggi
Evaluasi plasma donor : lekoaglutinin
5. Reaksi alergi
Reaksi alergi timbul karena adanya anti IgA antibodi resipien yang
bereaksi dengan Ig A plasma donor. Reaksi ini terjadi pada 1 – 3 %
transfusi. Gejala klinis yang timbul : urtikaria, sakit kepala, mual,
muntah, sesak, edema muka dan mukosa, edema laring, dapat timbul
reaksi anafilaktik dan syok.
Terapi :
Reaksi ringan : transfusi dilambatkan, anti histamin
Reaksi berat : transfusi dihentikan, adrenalin subkutan/intravena
Pencegahan : transfusi WRC (wash red cell)
premedikasi : antihistamin dan kortikosteroid
Ig-A deficient donor
Terapi :
Imunoglobulin G dosis tinggi dan atau plasma exchange
Kostikosteroid
7. Graft-versus-host disease
Reaksi ini terjadi pada resipien imunocompromized yang mendapat
donor dengan imunokompeten limfosit T. Sering didapatkan pada
neonatus, penderita defisiensi imun, transplantasi sumsum tulang,
penderita yang menjalani kemoterapi ( limfoma non Hodgkin, limfoma
Hodgkin,leukemia). Gejala klinis yang timbul : rash, demam, gangguan
faal hati, diare, pansitopeni.
345
B. Non Imunologik
1. Volume overload
Pada volume overload terjadi edema paru, gagal jantung akut. Risiko
volume overload meningkat pada keadaan anemi kronik, orang tua,
kelainan jantung dan paru-paru.
Terapi :
Gagal jantung : oksigen, diuretik, digoksin, morfin
Pencegahan : pada anemia tanpa hipovolemi : transfusi PRC
Kecepatan transfusi : maksimum 2 ml/kg/jam atau
1 PRC/2 jam
2. Transfusi masif
Transfusi massif adalah pemberian lebih dari 1 volume darah dalam
waktu < 24 jam.
Efek metabolic : hiperkalemi, hipokalemi, hipokalsemi (karena
sitrat), aritmia (karena sitrat), hipotermi
Terapi : kalsium IV pada hipokalsemi
Efek dilusional : trombositopeni, gangguan faktor koagulasi
(koagulopati)
Terapi : belum ada kesepakatan tentang pemberian trombosit dan FFP.
3. Mikroagregat dan mikroemboli paru
Terjadi mikroagregat di paru-paru yang terdiri dari trombosit, lekosit dan
fibrin.Gejala klinis berupa hipoksemi, emboli serebral, emboli retina,
emboli renal.
Pencegahan : transfusi dengan menggunakan filter.
4. Emboli udara
Emboli udara terjadi karena masuknya udara ke dalam vena melalui
tube transfusi. Gejala klinis yang timbul : sesak, sianosis, hipotensi,
takikardi, sinkope.
Terapi : Posisi penderita miring pada sisi kiri dengan kepala lebih
rendah untuk mencegah udara berpindah melalui ventrikel
kanan.
5. Hemosiderosis
Hemosiderosis terjadi karena deposit Fe di jaringan. Satu unit darah
mengandung 0,2 gram Fe. Hemosiderosis menimbulkan gangguan
pertumbuhan, disfungsi miokardium dan hepar, hiperpigmentasi,
diabetes, gangguan maturasi seksual.
Terapi : iron chelation : desferoxamine 20 mg/kg BB, selama 8 – 12 jam
subkutan infus kontinu di dinding anterior abdomen selama
5 hari/minggu.
6. Infeksi
Infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi :
TAH (transfusion associated hepatitis) : hepatitis B,C,D
HIV-1 (human immunodeficiency virus)
CMV (cytomegalovirus)
346
EBV (Ebstein-Barr virus)
HTLV –1 (human T lymphocyte virus)
Bakteri kontaminan
Sifilis
Malaria
Parasit : tripanosomiasis, toksoplasmosis
347
Terapi Lambatkan Stop transfusi Stop transfusi
transfusi Ganti infus set Ganti infus set
Antihistamin IM Pasang NaCl 0,9% Pasang NaCl 0,9%
(chlorpeniramine Lapor dokter dan bank 20 – 30 ml/kg dalam
0,1 mg/kg) darah 5 menit (bila ada
Bila tidak ada Kirim labu darah, infus hipotensi)
perbaikan dalam set, contoh darah Naikkan kaki pasien
30 menit / terjadi (1 beku, 1 dengan Pertahankan jalan
perburukan, antikoagulan) dari nafas
terapi sesuai vena pada sisi yang Oksigen sungkup
reaksi transfusi berlawanan dari Adrenalin (1:1000)
sedang tempat infus untuk 0,01 mg/kg IM
pemeriksaan lab. perlahan
Antihistamin IM Kortikosteroid IV dan
Antipiretik bronkhodilator (bila
(parasetamol 0,5 – ada bronkhospasme /
1 gram) stridor)
Kortikosteroid IV dan Lapor dokter dan bank
bronkhodilator (bila darah
ada bronkhospasme / Kirim labu darah, infus
stridor) set, contoh darah
Tampung urine 24 jam (1 beku, 1 dengan
untuk penilaian antikoagulan) dari
hemolisis dan vena pada sisi yang
pemeriksaan lab. berlawanan dari
Bila perbaikan, mulai tempat infus untuk
lagi transfusi perlahan pemeriksaan lab.
dengan labu yang baru Periksa urine
Bila tidak ada (hemoglobinuria).
perbaikan dalam 15 Catat intake – output
menit atau terjadi 24 jam
perburukan, terapi Nilai adanya
sesuai reaksi transfusi perdarahan, KID,
berat gagal-ginjal
Intropik bila masih
hipotensi
Antibiotik bila dicurigai
ada bakteriemi
(demam, menggigil,
syok, tanpa adanya
hemolisis)
348
DAFTAR PUSTAKA
ANEMIA INFLAMASI
1. Negrin RS, Schiffer CA. Imatinib for the treatment of chronic myelogenous
leukemia. Version 15.3.2007. Available from :http://www.uptodate.com.
2. Van Etten RA. Clinical manifestations and diagnosis of chronic myelogenous
leukemia. Version 15.3.2007. Available from :http://www.uptodate.com.
SINDROMA MIELODISPLASI
1. Zang DY, Goodwin RG, Loken MR, Bryant E, Deeg HJ. Expression of tumor
necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand, Apo2L, and its receptors in
myelodysplastic syndrome: effects on in vitro hemopoiesis. Blood.
2001;98:3058-3065.
349
2. Benesch M, Platzbecker U, Ward J, Deeg HJ, Leisenring W. Expression of
FLIP(Long) and FLIP(Short) in bone marrow mononuclear and CD34+ cells in
patients with myelodysplastic syndrome: correlation with apoptosis.
Leukemia. 2003;17:2460-2466.
3. Kook H, Zeng W, Guibin C, Kirby M, Young NS, Maciejewski JP. Increased
cytotoxic T cells with effector phenotype in aplastic anemia and
myelodysplasia. Exp Hematol. 2001;29:1270-1277.
4. Kochenderfer JN, Kobayashi S, Wieder ED, Su C, Molldrem JJ. Loss of T-
lymphocyte clonal dominance in patients with myelodysplastic syndrome
responsive to immunosuppression. Blood. 2002;100:3639-3645.
5. Young NS. Understanding the pathophysiology of marrow failure in MDS.
Myelodysplastic Syndromes in Pediatrics. Program and abstracts of the
American Society of Pediatric Hematology/Oncology 17th Annual Meeting;
April 29-May 2, 2004; San Francisco, California. Symposium.
6. Saunthararajah Y, Nakamura R, Nam JM, et al. HLA-DR15 (DR2) is
overrepresented in myelodysplastic syndrome and aplastic anemia and
predicts a response to immunosuppression in myelodysplastic syndrome.
Blood. 2002;100:1570-1574.
7. Maciejewski JP, Follmann D, Nakamura R, et al. Increased frequency of HLA-
DR2 in patients with paroxysmal nocturnal hemoglobinuria and the
PNH/aplastic anemia syndrome. Blood. 2001;98:3513-3519.
8. Molldrem JJ, Leifer E, Bahceci E, et al. Antithymocyte globulin for treatment
of the bone marrow failure associated with myelodysplastic syndromes. Ann
Intern Med. 2002;137:156-163.
9. Maciejewski JP, Sloand EM, Nunez O, Boss C, Young NS. Recombinant
humanized anti-IL-2 receptor antibody (daclizumab) produces responses in
patients with moderate aplastic anemia. Blood. 2003;102:3584-3586.
350
POLISITEMIA VERA
TROMBOSITOSIS PRIMER
1. Kucukkaya RD, Gushiken FC, Lopez JA. Thrombocytopenia. In: Lichtman MA,
Kipps TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT, eds. Williams
Hematology.7th ed. New York: McGraw-Hill;2006:1858-63.
2. Cines DB, Blanchette VS. Immune thrombocytopenic purpura. N Engl J Med
2002;346: 995-1008.
3. Kojouri K, George JN. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Boyiadzis
MM, Lebowittz PF, Frame JN. Fojo T, eds. Hematology – Oncology therapy.
NewYork:McGraw Hill;2007:854-69.
4. George JN. Treatment and prognosis of idiopathic thrombocytopenic purpura
in adults, version 14.3. Available from :
http://www.uptodate.com.ezproxy.maheclibrary.org/
5. Mazzucconi MG, Fazi P, Bernasconi S, De Rossi G, Leone G. Gugliotta L.
Therapy with high-dose dexamethasone (HD-DXM) in previously untreated
patients affected by idiopathic thrombocytopenic purpura: a GIMEMA
experience. Blood 2007;109:1401-1407.
6. Kucukkaya RD, Gushiken FC, Lopez JA. Thrombocytopenia. In: Lichtman MA,
Kipps TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT, eds. Williams
Hematology.7th ed. New York: McGraw-Hill;2006:1858-63.
7. Cines DB, Blanchette VS. Immune thrombocytopenic purpura. N Engl J Med
2002;346: 995-1008.
8. Kojouri K, George JN. Idiopathic thrombocytopenic purpura. In: Boyiadzis
MM, Lebowittz PF, Frame JN. Fojo T, eds. Hematology – Oncology therapy.
NewYork:McGraw Hill;2007:854-69.
351
9. George JN. Treatment and prognosis of idiopathic thrombocytopenic purpura
in adults, version 14.3. Available from :
http://www.uptodate.com.ezproxy.maheclibrary.org/
10. Mazzucconi MG, Fazi P, Bernasconi S, De Rossi G, Leone G. Gugliotta L.
Therapy with high-dose dexamethasone (HD-DXM) in previously untreated
patients affected by idiopathic thrombocytopenic purpura: a GIMEMA
experience. Blood 2007;109:1401-1407.
TROMBOSIS
1. Raskob GE, Hull RD, Pineo GF. Venous thrombosis. In : Lichtman MA, Kipps
TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT, eds.Williams
Hematology. 7th ed. New York : McGraw-Hill ; 2006.p. 2055-2063.
2. Clinical Cardiology Consensus Report. Prophylaxis of venous
thromboembolism (VTE) in the hospitalized medical patient. The DVT Medical
Prophylaxis Clinical Consensus Panel Report 2003.
3. Peles S, Pillot G. Thrombotic disease. In : Pillot G, Chantler M, Magiera H,
Peles S, Uy G, Friedman JD, et all. eds. The Washington manual subspeciality
consult series hematology and oncology subspeciality consult. Philadelphia :
Lipincott Williams and Wilkins ; 2004. p. 25-32.
352
4. Bick RL. Heparin and low-molecular - weight heparins. In : Bick RL, ed.
Disorders of thrombosis and hemostasis clinical and laboratory practice. 3 rd
ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;2002.p.359-377.
5. Haire WD. Deep venous thrombosis and pulmonary embolus. In : Kitchens
CS, Alving BM, Kessler CM, eds. Consulative Hemostasis and Thrombosis.
Philadelphia : W.B. Saunders Company ; 2002.p.197-223.
6. Lyman GH, Khorana AA, Falanga A, Clarke-Pearson D, Flowers C, Jahanzeb
M, et al. American society of Clinical Oncology Guideline: Recommendations
for venous thromboembolism prophylaxis and treatment in patients with
cancer. J Clin Oncol 2007;25:5490-5505.
SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
LIMFOMA MALIGNA
1. Fisher RI, Mauch PM, Harris NL, Friedberg JW. Non Hodgkin Lymphomas. In
: De Vita VT, Hellman S, Rosenberg SA,eds. Cancer Principles and Practice of
Oncology. 7th ed. Philadelphia : Lippincot William and Wilkins ; 2005. p.
1957-97.
2. Foon KA, Chobrial I, Geskin LJ, Jacobs SA. The non-Hodgkin lymphoma. In :
Lichtman MA, Kipps TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT,
eds.Williams Hematology. 7th ed. New York : McGraw-Hill ; 2006.p. 1407-38.
3. Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma.
In :Casciato DA, ed. Manual of Clinical Oncology. 5th ed . Philadelphia:
Lippincot Willian and Wilkins; 2004. p. 417-57.
4. WHO classification
353
5. Diehl V. Harris NL, Mauch PM. Hodgkin lymphoma. In : De Vita VT, Hellman
S, Rosenberg SA,eds. Cancer Principles and Practice of Oncology. 7 th ed.
Philadelphia : Lippincot William and Wilkins ; 2005. p. 2020-76.
6. Non Hodgkin lymphoma. NCCN Clinical Practice Guideliness in Oncology
V.1.2006.
7. Hodgkin Disease/lymphoma. NCCN Clinical Practice Guideliness in Oncology
V.1.2006.
8. Horning SJ. Hodgkin lymphoma. In : Lichtman MA, Kipps TJ, Kaushansky K,
Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT, eds.Williams Hematology. 7 th ed. New York
: McGraw-Hill ; 2006.p. 1461-74.
9. Baxter Selected Schedules in the therapy of malignant Tumors, part I :
Hematologic malignancies. 12th update.2005.p74-93.
10. Solal-Celigny P, Roy P, Colombat P. Follicular lymphoma international
prognostic index. Blood 2004 ; 104 :1258
11. Fisher RI, Mauch PM, Harris NL, Friedberg JW. Non Hodgkin Lymphomas. In
: De Vita VT, Hellman S, Rosenberg SA,eds. Cancer Principles and Practice of
Oncology. 7th ed. Philadelphia : Lippincot William and Wilkins ; 2005. p.
1957-97.
12. Foon KA, Chobrial I, Geskin LJ, Jacobs SA. The non-Hodgkin lymphoma. In :
Lichtman MA, Kipps TJ, Kaushansky K, Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT,
eds.Williams Hematology. 7th ed. New York : McGraw-Hill ; 2006.p. 1407-38.
13. Emmanouillides C, Casciato DA. Hodgkin and non-Hodgkin lymphoma.
In :Casciato DA, ed. Manual of Clinical Oncology. 5th ed . Philadelphia:
Lippincot Willian and Wilkins; 2004. p. 417-57.
14. WHO classification
15. Diehl V. Harris NL, Mauch PM. Hodgkin lymphoma. In : De Vita VT, Hellman
S, Rosenberg SA,eds. Cancer Principles and Practice of Oncology. 7 th ed.
Philadelphia : Lippincot William and Wilkins ; 2005. p. 2020-76.
16. Non Hodgkin lymphoma. NCCN Clinical Practice Guideliness in Oncology
V.1.2006.
17. Hodgkin Disease/lymphoma. NCCN Clinical Practice Guideliness in Oncology
V.1.2006.
18. Horning SJ. Hodgkin lymphoma. In : Lichtman MA, Kipps TJ, Kaushansky K,
Beutler E, Seligsohn U, Prchal JT, eds.Williams Hematology. 7 th ed. New York
: McGraw-Hill ; 2006.p. 1461-74.
19. Baxter Selected Schedules in the therapy of malignant Tumors, part I :
Hematologic malignancies. 12th update.2005.p74-93.
20. Solal-Celigny P, Roy P, Colombat P. Follicular lymphoma international
prognostic index. Blood 2004 ; 104 :1258
354
KANKER PAYUDARA
355
14. Viale, G, Regan, MM, Maiorano, E, et al. Chemoendocrine compared with
endocrine adjuvant therapies for node-negative breast cancer: predictive
value of centrally reviewed expression of estrogen and progesterone
receptors--International Breast Cancer Study Group. J Clin Oncol 2008;
26:1404.
15. www.adjuvantonline.com.
16. Harris, L, Fritsche, H, Mennel, R, et al. American Society of Clinical Oncology
2007 update of recommendations for the use of tumor markers in breast
cancer. J Clin Oncol 2007; 25:5287.
17. Ejlertsen, B, Mouridsen, HT, Jensen, MB, et al. Improved outcome from
substituting methotrexate with epirubicin: results from a randomised
comparison of CMF versus CEF in patients with primary breast cancer. Eur J
Cancer 2007; 43:877.
18. Poole, CJ, Earl, HM, Hiller, L, et al. Epirubicin and cyclophosphamide,
methotrexate, and fluorouracil as adjuvant therapy for early breast cancer. N
Engl J Med 2006; 355:1851.
19. Gennari, A, Sormani, MP, Pronzato, P, et al. HER2 status and efficacy of
adjuvant anthracyclines in early breast cancer: a pooled analysis of
randomized trials. J Natl Cancer Inst 2008; 100:14.
20. Joensuu, H, Kellokumpu-Lehtinen, PL, Bono, P, et al. Adjuvant docetaxel or
vinorelbine with or without trastuzumab for breast cancer. N Engl J Med
2006; 354:809.
21. Hayes, DF, Thor, AD, Dressler, LG, et al. HER2 and response to paclitaxel in
node-positive breast cancer. N Engl J Med 2007; 357:1496.
22. Martin, M, Rodriguez-Lescure, A, Ruiz, A, et al. Randomized phase 3 trial of
fluorouracil, epirubicin, and cyclophosphamide alone or followed by paclitaxel
for early breast cancer. J Natl Cancer Inst 2008; 100:805.
23. Rastogi, P, Anderson, SJ, Bear, HD, et al. Preoperative chemotherapy:
updates of National Surgical Adjuvant Breast and Bowel Project Protocols B-
18 and B-27. J Clin Oncol 2008; 26:778.
24. Sparano, JA, Wang, M, Martino, S, et al. Weekly paclitaxel in the adjuvant
treatment of breast cancer. N Engl J Med 2008; 358:1663.
25. De Laurentiis, M, Cancello, G, D'Agostino, D,et al. Taxane-based
combinations as adjuvant chemotherapy of early breast cancer: a meta-
analysis of randomized trials. J Clin Oncol 2008; 26:44.
26. Puhalla, S, Mrozek, E, Young, D, et al. Randomized phase II adjuvant trial of
dose-dense docetaxel before or after doxorubicin plus cyclophosphamide in
axillary node-positive breast cancer. J Clin Oncol 2008; 26:1691.
27. Moore, HC, Green, SJ, Gralow, JR, et al. Intensive dose-dense compared with
high-dose adjuvant chemotherapy for high-risk operable breast cancer:
Southwest oncology Group/Intergroup study 9623. J Clin Oncol 2007;
25:1677.
28. Viani, GA, Afonso, SL, Stefano, EJ, et al. Adjuvant trastuzumab in the
treatment of her-2-positive early breast cancer: a meta-analysis of published
randomized trials. BMC Cancer 2007; 7:153.
356
29. Degnim, AC, Visscher, DW, Berman, HK, et al. Stratification of breast cancer
risk in women with atypia: a Mayo cohort study. J Clin Oncol 2007; 25:2671.
KANKER KOLOREKTAL
357
11. Fuchs, CS, Moore, MR, Harker, G, et al. Phase III comparison of two
irinotecan dosing regimens in second-line therapy of metastatic colorectal
cancer. J Clin Oncol 2003; 21:807.
12. Tournigand, C, Andre, T, Achille, E, et al. FOLFIRI followed by FOLFOX6 or
the reverse sequence in advanced colorectal cancer: A randomized GERCOR
Study. J Clin Oncol 2004; 22:229.
13. Meyerhardt, JA, Mayer, RJ. Systemic therapy for colorectal cancer. N Engl J
Med 2005; 352:476.
14. Cassidy, J, Tabernero, J, Twelves, C, et al. XELOX (capecitabine plus
oxaliplatin): active first-line therapy for patients with metastatic colorectal
cancer. J Clin Oncol 2004; 22:2084.
15. Falcone, A, Ricci, S, Brunetti, I, et al. Phase III trial of infusional fluorouracil,
leucovorin, oxaliplatin, and irinotecan (FOLFOXIRI) compared with infusional
fluorouracil, leucovorin, and irinotecan (FOLFIRI) as first-line treatment for
metastatic colorectal cancer: the Gruppo Oncologico Nord Ovest. J Clin Oncol
2007; 25:1670.
16. Fuchs, CS, Marshall, J, Barrueco, J. Randomized, controlled trial of irinotecan
plus infusional, bolus, or oral fluoropyrimidines in first-line treatment of
metastatic colorectal cancer: updated results from the BICC-C study. J Clin
Oncol 2008; 26:689.
17. Hochster, HS, Hart, LL, Ramanathan, RK, et al. Safety and efficacy of
oxaliplatin/fluoropyrimidine regimens with or without bevacizumab as first-
line treatment of metastatic colorectal cancer (mCRC): Final analysis of the
TREE study (abstract). J Clin Oncol 2006; 24:148s.
18. Sobrero, AF, Maurel, J, Fehrenbacher, L, et al. EPIC: phase III trial of
cetuximab plus irinotecan after fluoropyrimidine and oxaliplatin failure in
patients with metastatic colorectal cancer. J Clin Oncol 2008; 26:2311.
19. Van Cutsem, E, Nowacki, M, Lang, I, et al. Randomized phase IIi study of
irintoecan and 5-FU/FA with or without cetuximab in the first-line treatment
of patients with metastatic colorectal cancer(mCRC): the CRYSTAL
trial(abstract). J Clin Oncol 2007; 25:164s.
20. de Reynies, A, Boige, V, Milano, G, et al. KRAS mutation signature in
colorectal tumors significantly overlaps with the cetuximab response
signature. J Clin Oncol 2008; 26:2228.
1. Hicks, WL, Jr., Loree, TR, Garcia, RI, et al. Squamous cell carcinoma of the
floor of mouth: a 20-year review. Head Neck 1997; 19:400.
2. Cooper, JS, Pajak, TF, Forastiere, AA, et al. Postoperative concurrent
radiotherapy and chemotherapy for high-risk squamous-cell carcinoma of the
head and neck. N Engl J Med 2004; 350:1937.
358
3. Pfister, DG, Laurie, SA, Weinstein, GS, et al. American Society of Clinical
Oncology clinical practice guideline for the use of larynx-preservation
strategies in the treatment of laryngeal cancer. J Clin Oncol 2006; 24:3693.
4. Cohen, EE, Lingen, MW, Vokes, EE. The expanding role of systemic therapy
in head and neck cancer. J Clin Oncol 2004; 22:1743.
5. Catimel, G, Verweij, J, Mattijssen, V, et al. Docetaxel (Taxotere): an active
drug for the treatment of patients with advanced squamous cell carcinoma of
the head and neck. EORTC Early Clinical Trials Group. Ann Oncol 1994;
5:533.
6. Pignon, JP, Bourhis, J, Domenge, C, et al. Chemotherapy added to
locoregional treatment for head and neck squamous-cell carcinoma: three
meta-analyses of updated individual data. MACH-NC Collaborative Group.
Meta-Analysis of Chemotherapy on Head and Neck Cancer. Lancet 2000;
355:949.
7. Forastiere, A, Koch, W, Trotti, A, Sidransky, D. Head and neck cancer. N Engl
J Med 2001; 345:1890.
8. Arnold, DJ, Goodwin, WJ, Weed, DT, Civantos, FJ. Treatment of recurrent
and advanced stage squamous cell carcinoma of the head and neck. Semin
Radiat Oncol 2004; 14:190.
9. Parsons, JT, Mendenhall, WM, Stringer, SP, Cassisi, NJ. Salvage surgery
following radiation failure in squamous cell carcinoma of the supraglottic
larynx. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1995; 32:605.
10. Agra, IM, Carvalho, AL, Pontes, E, et al. Postoperative complicationsafter en
bloc salvage surgery for head and neck cancer. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg 2003; 129:1317.
11. Zbaren, P, Christe, A, Caversaccio, MD, et al. Pretherapeutic staging of
recurrent laryngeal carcinoma: clinical findings and imaging studies
compared with histopathology. Otolaryngol Head Neck Surg 2007; 137:487.
12. Janot, F, De Raucourt, D, Castaing, M, et al. Reirradiation combined with
chemotherapy after salvage surgery in head and neck carcinoma: A
randomized trial from the GETTEC and GORTEC groups (abstract). J Clin
Oncol 2006; 24:282s
13. Langer, CJ, Harris, J, Horwitz, EM, et al. Phase II study of low-dose paclitaxel
and cisplatin in combination with split-course concomitant twice-daily
reirradiation in recurrent squamous cell carcinoma of the head and neck:
results of Radiation Therapy Oncology Group Protocol 9911. J Clin Oncol
2007; 25:4800.
14. Hehr, T, Classen, J, Belka, C, et al. Alternating reirradiation with
docetaxel/cisplatin in recurrent, inoperable and previously irradiated head
and neck cancer Int J Radiat Oncol Biol Phys 2005; 61:1423.
15. Kupferman, ME, Morrison, WH, Santillan, AA, et al. The role of interstitial
brachytherapy with salvage surgery for the management of recurrent head
and neck cancers. Cancer. 2007; 109:2052.
359
KANKER PARU-PARU
360
15. Kelly, K, Chansky, K, Gaspar, LE, et al. Phase III trial of maintenance
gefitinib or placebo after concurrent chemoradiotherapy and docetaxel
consolidation in inoperable stage III non-small-cell lung cancer: SWOG
S0023. J Clin Oncol 2008; 26:2450.
16. ShanZatloukal, P, Petruzelka, L, Zemanova, M, et al. Gemcitabine plus
cisplatin vs. gemcitabine plus carboplatin in stage IIIb and IV non-small cell
lung cancer: a phase III randomized trial. Lung Cancer 2003; 41:321.
17. Kosmidis, PA, Kalofonos, HP, Christodoulou, C, et al. Paclitaxel and
gemcitabine versus carboplatin and gemcitabine in patients with advanced
non-small-cell lung cancer. A phase III study of the Hellenic Cooperative
Oncology Group. Ann Oncol 2008; 19:115.
18. Schuette, W, Blankenburg, T, Guschall, W, et al. Multicenter randomized trial
for stage IIIB/IV non-small-cell lung cancer using every-3-week versus
weekly paclitaxel/carboplatin. Clin Lung Cancer 2006; 7:338.
19. Belani, CP, Ramalingam, S, Perry, MC, et al. Randomized, phase III study of
weekly paclitaxel in combination with carboplatin versus standard every-3-
weeks administration of carboplatin and paclitaxel for patients with
previously untreated advanced non-small-cell lung cancer. J Clin Oncol 2008;
26:468.
KANKER OVARIUM
361
8. Trimbos, JB, Parmar, M, Vergote, I, et al. International Collaborative Ovarian
Neoplasm trial 1 and Adjuvant ChemoTherapy In Ovarian Neoplasm trial: two
parallel randomized phase III trials of adjuvant chemotherapy in patients
with early-stage ovarian carcinoma. J Natl Cancer Inst 2003; 95:105.
9. Bell, J, Brady, MF, Young, RC, et al. Randomized phase III trial of three
versus six cycles of adjuvant carboplatin and paclitaxel in early stage
epithelial ovarian carcinoma: a Gynecologic Oncology Group study. Gynecol
Oncol 2006; 102:432.
10. Armstrong, DK, Bundy, B, Wenzel, L, et al. Intraperitoneal cisplatin and
paclitaxel in ovarian cancer. N Engl J Med 2006; 354:34.
11. Markman, M. Re: "Randomized phase III trial of three versus six cycles of
adjuvant carboplatin and paclitaxel in early stage epithelial ovarian
carcinoma: A Gynecologic Oncology Group study". Gynecol Oncol 2007;
105:279.
1. Delaney FT, Savarese DMF. Overview of soft tissue sarcoma. Last update
February 12, 2008. Available from : www.uptodate.com
2. Maki R. Adjuvant and neoadjuvant chemotherapy for soft tissue sarcoma of
the extremities. Last update August 17, 2007. Available from :
www.uptodate.com
3. Harmon DC, Gebhardt MC. Treatment of the Ewing’s sarcoma family of
tumors. Last updates February 1, 2008. Available from : www.uptodate.com.
4. George S, Demetri GD. Treatment of metastatic soft tissue sarcoma. Last
updates December 11, 2007. Available from : www.uptodate.com
5. Maki R. Adjuvant and neoadjuvant chemotherapy for soft tissue sarcoma of
the extremities. Last updates August 17, 2007. Available from :
www.uptodate.com
6. National Comprehensive Cancer Network (NCCN) Clinical Practice Guidelines
in Oncology. Bone Cancer 2008
7. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Soft Tissue Sarcoma 2008
8. Forscher CA. Casciato DA. Sarcomas. In : Casciato DA.ed. Manual of Clinical
Oncology 5th Ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins, 2004, p.370-
82.
9. Baxter Oncology Selected Schedules 12 th Update.2005, p.182-6, 263-6, 294-
301.
362
KEGAWATDARURATAN ONKOLOGI : HIPERKALSEMIA DAN SIADH
363
2. Schiff D. Clinical features and diagnosis of epidural spinal cord compression,
including cauda equine syndrome. Available from:
http://www.uptodate.com/
3. Quinn JA, DeAngelis LM. Neurologic emergencies in the cancer patient.
Seminar in Oncology 2000;3: 311-21.
4. Schiff D. Treatment and prognosis of epidural spinal cord compression,
including cauda equine syndrome. Available from http://www.uptodate.com/
364