You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidroseflus merupakan keadaan yang desebabkangangguan keseimbangan antara
produksi dan absorbsi cairan serebrospinal dalam sistem ventrikel otak. Jika produksi CSS
lebih besar dari pada absorbsi, CSS akan terakumulasi dalam sistem ventrikel, dan biasanya
peningkatan tekanan akan menghasilkan dilatasi pasif ventrikel. Hershey BL mengatakan
kebanyakan hidrosefalus pada anak-anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada
masa bayi. Jika hidrosefalus mulai tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena
kongenital.
Hidrosefalus bisa didapat seseorang sejak lahir (kongenital) atau pada umur
berikutnya dan bahkan setelah dewasa. Yang tersering didapat adalah pada kongenital.
Penyebabnya antara lain ada saluran yang tersumbat, infeksi, tumor otak, trauma kepala,
radang otak, stroke. Kasus hidrosefalus dari sejak waktu lahir terbanyak sekitar 4-5 per 1000
kelahiran. (www.replubika.co.id )
Pasien hidrosefalus memerlukan perawatan khusus dan benar karena pada anak yang
mengalami hidrosefalus ada kerusakan syaraf yang menimbulkan kelainan neurologis berupa
gangguan kesadaran sampai pada gangguan pusat vital dan resiko terjadi dekubitus.
Mahasiswa keperawatan perlu mempelajari cara mencegah dan menanggulangi
masalah hidrosefalus dengan student center learning berupa pembuatan makalah dan diskusi
antar teman di kelas.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan dari makalah ini diantaranya sebagai berikut :

1.2.1 Tujuan umum

Untuk mendapatkan pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan


pada klien dengan Hidrosefalus menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.2.2 Tujuan khusus

Agar penulis mendapatkan pengalaman nyata dalam :

1. Melakukan pengkajian pada klien dengan Hidrosefalus


2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan Hidrosefalus
3. Membuat rencana keperawatan pada klien dengan Hidrosefalus
4. Melaksanakan rencana keperawatan yang telah ada pada klien dengan Hidrosefalus
5. Mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah diberikan pada klien dengan
Hidrosefalus.

1.3 Ruang Lingkup

Dalam mkalah ini kelompok membahas tentang asuhan keperawaan pada anak dengan
hidrosefalus.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab diantaranya sebagai
berikut, BAB I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup dan
sistematika penulisan. BAB II tinjauan teoritis terdiri dari definisi, klasifikasi, etiologi,
fisiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan,
komplikasi, asuhan keperawatan. BAB III penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Hidrosefalus adalah akumulasi cairan serebrospinal dalam ventrikel serebral, ruang
subarachnoid atau ruang subdural. ( Suriadi : 2001)

Hidrosefalus adalah keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan


serebro spinalis (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra cranial yang meningkat
sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS. ( Ngastiyah :1997)

Hidroseflus merupakan keadaan yang desebabkan gangguan keseimbangan antara


produksi dan absorbsi cairan serebrospinal dalam sistem ventrikel otak. Jika produksi CSS
lebih besar dari pada absorbsi, CSS akan terakumulasi dalam sistem ventrikel, dan biasanya
peningkatan tekanan akan menghasilkan dilatasi pasif ventrikel. ( Donna L. Wong : 2008 )

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
Hidrosefalus ialah bertambahnya cairan serebro spinalis atau CSS di otak dengan atau tanpa
tekanan intra cranial yang meningkat sehingga terjadi pembesaran pada tempat mengalirnya
cairan serebro spinalis (CSS).

2.2 Klasifikasi Hidrosefalus


1. Kongenital
Merupakan Hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, hal ini terjadi
ganguan perkembangan janin dalam uterus atau infeksi intra uteri, sehingga pada saat lahir
keadaan otak bayi terbentuk kecil. Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan
tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.
2. Didapat
Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar, dengan penyebabnya adalah
penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana
pengobatannya tidak tuntas. Pada hidrosefalus didapat pertumbuhan otak sudah sempurna,
tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial. Sehingga
perbedaan hidrosefalus kongenital dengan di dapat terletak pada pembentukan otak dan
kemungkinan prognosanya.

Berdasarkan letak obstruksi hidrosefalus pada bayi dan anak juga terbagi dalam dua
bagian yaitu:

1. Hidrosefalus komunikans
Pada hidrosefalus komunikans yaitu apabila obstruksinya terdapat pada rongga
subarachnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSS dalam sistem ventrikel sampai ke tempat
sumbatan.
2. Hidrosefalus nonkomunikans
Penyakit ini dinamai pula hidrocefalus obstruktif. Penyebab hidrocefalus
nonkomunikans ini adalah penyempitan pada akuaduktus Sylvii congenital; oleh karena
cairan dibentuk oleh pleksus koroideus dari kedua ventrikel dan ventrikel ketiga, maka
volume ketiga ventrikel tersebut menjadi membesar. Hal ini menyebabkan penekanan otak
terhadap tengkorak sehingga otak menjadi tipis.

2.3 Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada salah satu tempat
antara tempat pembentukan CSS dalam system ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang
subaraknoid. Akibat penyumbatan terjadi dilatasi ruangan CSS di atasnya. Tempat yang sering
tersumbat dan terdapat dalam klinik ialah foramen Monroi, foramen Luschka dan Magendie.
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah:
1. Kelainan bawaan (kongenital)
Disebabkan gangguan perkembangan janin dalam rahim (misalnya infeksi intrauteri).
a. Stenosis akuaduktus sylvii

Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60%
- 90%). Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau abnormal lebih
sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau progresif
dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
b. Sindrom Arnold chiari
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan sindrom
Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan
sereblum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi
penyumbatan sebagian atau total.
c. Sindrom Dandy Walker
Merupakan atresia kongenital foramen Luschka dan Magendie dengan akibat
hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel terutama ventrikel IV yang
dapat sedemikian besarnya hingga merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa
posterior.
d. Kista arachnoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder
suatu hematoma.
2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi
ruangan subaraknoid. Lebih banyak hidrosefalus terdapat pasca meningitis. Pembesaran
kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari
meningitisnya. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar
sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen
terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpendunkularis,
sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya lebih besar.
3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi disetiap tempat aliran CSS.
Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada penyebabnya dan apabila tumor tidak
mungkin dioperasi, maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan mengalirkan CSS
melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan
ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal
dari sereblum, sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan
suatu kraniofaringioma.
4. Trauma
2.4 Fisiologi
Cairan serebrospinal (CSS) mengelilingi dan menjadi bantalan bagi otak dan medulla
spinalis. Fungsi utama CSS adalah sebagai cairan peredam kejut untuk mencegah otak
menumbuk bagian interior tengkorak yang keras ketika kepala tiba-tiba mengalami benturan.

CSS dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus yang terdapat di bagian-bagian


tertentu rongga ventrikel otak. Setelah terbentuk, CSS mengalir melewati empat vebtrikel
yang saling berhubungan di dalam interior otak dan melalui kanalis sentralis sempit di
medulla spinalis yang berhubungan dengan ventrikel terakhir. CSS keluar melalui lubang-
lubang kecil dari ventrikel keempat di dasar otak untuk masuk ke ruang subarachnoid dan
kemudian mengalir antara lapisan-lapisan meninges di seluruh permukaan otak dan medulla
spinalis, ketika mencapai bagian atas otak, CSS direabsorbsi dari ruang subarachnoid ke
dalam darah vena melalui vilus arachnoid. Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml,
anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-
20 ml

.
2.5 Patofisiologi
CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen Monro menuju ventrikel yang
ketiga, tempat dimana cairan tersebut menyatu dengan cairan yang telah disekresi ke ventrikel
ketiga. Dari sana CSS mengalir melalui akueduktus Sylvii menuju ventrikel keempat, tempat
dimana cairan lebih banyak dibentuk, kemudian cairan tersebut akan meninggalkan ventrikel
keempat melewati foramen Luschka lateral dan garis tengah foramen Magendie dan mengalir
menuju sisterna magna. Dari sana CSS mengalir ke serebral dan ruang subaraknoid
serebellum, dimana cairan akan diabsorpsi. Sebagian besar diabsorpsi melalui villi araknoid,
tetapi sinus, vena, substansi otak dan dura juga berperan dalam absorpsi.

Mekanisme keseimbangan cairan. Penyebab Hidrosefalus bervariasi, tetapi sebagai


akibatnya bisa berupa : kerusakan absorpsi CSS dalam ruang subaraknoid (Hidrosefalus
berkomunikasi), atau obstruksi aliran CSS melalui sistem ventricular (Hidrosefalus tidak
berkomunikasi). Ketidakseimbangan dan absorpsi menyebabkan meningkatnya akumulasi
CSS pada ventrikel, yang akan mengalami dilatasi dan menekan substansi otak untuk
melawan sekitar tulang keras kranial. Jika hal ini terjadi sebelum terjadi fusi sutura kranial,
hal tersebut akan memicu pembesaran tengkorak sebaik dilatasi dari ventrikel tersebut. Pada
anak dengan usia di bawah 10 – 12 tahun yang sebelumnya garis sututranya menutup,
terutama sutura sagitalis, dapat menjadi terbuka.

Gangguan perkembangan (misalnya malformasi Arnold – Chiari, akuaduktus stenosis,


akuaduktus gliosis, dan atresi foramen Luschka dan Magendie) dilaporkan kasus Hidrosefalus
paling banyak adalah dari usia 2 tahun. Malformasi Dany – Walker menunjukkan adanya
gangguan dari garis tengah susunan syaraf pusat yang merupakan indikasi faktor genetik dan
etiologik.

Malformasi Arnold – Chairi (ACMS). Merupakan kerusakan otak yang mencakup


fossa posterior, terdiri dari 2 subkelompok. Tipe I secara khas menimbulkan gejala saat remaja
atau kehidupan dewasa dan biasanya tidak disertai dengan Hidrosepalus. Penderita ini
mengeluh nyeri kepala berulang, nyeri leher, sering kencing, spastisitas tungkai bawah
progresif. Meskipun patogenesisnya belum diketahui, teori yang berlaku menunjukkan bahwa
obstruksi bagian kaudal ventrikel keempat selama perkembangan janin adalah yang menjadi
penyebab. Malformasi Chairi tipe II ditandai dengan Hidrosefalus dan Meningomeningokel.
Ditandai dengan herniasi otak kecil, medulla, spons dan ventrikel keempat ke dalam kanal
spinal servikal melalui pelebaran foramen magnum. Akibat obstruksi aliran CSS
menyebabkan Hidrosefalus.

2.6 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan,
yaitu:

1. Hidrosefalus terjadi pada masa neonatus

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital


dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan
pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan.
Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak
dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka
bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala
tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003).

a. Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.
b. Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang,
keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.
c. Tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial: muntah, gelisah, menangis dengan
suara ringgi, peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan
pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor.
d. Peningkatan tonus otot ekstrimitas

Tanda – tanda fisik lainnya ;

1) Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat
jelas.
2) Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah – olah di atas iris.
3) Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”, Strabismus, nystagmus, atropi
optik.
4) Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.
2. Hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak yang telah menutup suturanya
Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi
intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda
(diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum
terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran
abnormal yang progresif dari ukuran kepala.

Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial :

a. Nyeri kepala
b. Muntah
c. Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas
d. Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun.
e. Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer
f. Strabismus (mata juling)
g. Perubahan pupil.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala dan tanda-
tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak terdiagnosis sampai dewasa, dengan
demikian perlu adanya ketelitian dlam menangani penderita yang diduga menderita
hidrosefalus, mulai dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis.
1. Aloamnanesis/ amnanesis.
Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus kongenital atau
didapat. Bayi yang lahir prematur atau posterm dan merupakan kelahiran anak yang
keberapa adalah penting sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala sehingga
menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid yang dapat
mengakibatkan terjadinya hidrosefalus.
Demikian juga riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu
dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas, perkembangan mental, kecerdasan
serta riwayat nyeri kepala, muntah-muntah dan adanya kejang.

2. Pemeriksaan fisik.
Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala terhadap badan,
anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang. Anak biasanya dalam keadaan tidak
tenang, gelisah, iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-muntah,
kepala sangat besar, fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse
(mengkilat), dengan tulang kepala yang tipis, dahi yang lebar. Dahi menonjol bersinar
atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas. Alis mata dan bulu mata ke
atas, Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”, Strabismus, nystagmus (gerakan
spontan pada mata), bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas, pertumbuhan
kepala yang cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus.
3. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat sebagai petunjuk
penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan kadar protein yang amat sangat terdapat pada
papiloma pleksus khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau perdarahan
susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan kadar glukosa dalam cairan
serebrospinal terdapat pada invasi meninggal oleh tumor, seperti leukemia, medula
blastama dan dengan pemeriksaan sitologis cairan serebrospinal dapat diketahui adanya
sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi doleaseti kasid pada cairan serebrospinal
didapat pada obstruksi hidrosefalus. Pemeriksaan serologis darah dalam upaya
menemukan adanya infeksi yang disebabkan oleh TORCH.
Penelitian sitologi kualitatif pada cairan serebrospinal neonatus dapat digunakan
sebagai indikator untuk mengetahui tingkat gangguan psikomotor.
4. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta pelebaran sutura.
Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-keadaan lain seperti adanya kalsifikasi
periventrikuler sebagai tanda adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase, kalsifikasi
bilateral menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis. Pemeriksaan ultrasonografi, dapat
memberikan gambaran adanya pelebaran sistem ventrikel yang lebih jelas lagi pada bayi,
dan untuk diagnosis kelainan selama masih dalam kandungan.
Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran ventrikel. Disamping
itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi cairan serebrospinal yaitu dengan
menyuntikkan kontras radio opak ke dalam sisterna magna kemudian perjalan kontras
diikuti dengan CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap cairan
serebrospinal.

2.8 Penatalaksanaan
Penanganan hidrocefalus masuk pada katagori ”live saving and live sustaining”
yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang dilanjutkan dengan tindakan
bedah secepatnya. Keterlambatan akan menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga
prinsip pengobatan hidrocefalus harus dipenuhi yakni:

1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus koroidalis dengan


tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat azetasolamid (diamox) yang
menghambat pembentukan cairan serebrospinal.
2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebrospinal dengan tempat
absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarachnoid.
3. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni:
a. Drainase ventrikule-peritoneal (Holter, 1992; Scott, 1995;Anthony JR, 1972)
b. Drainase Lombo-Peritoneal
c. Drainase ventrikulo-Pleural (Rasohoff, 1954)
d. Drainase ventrikule-Uretrostomi (Maston, 1951)
e. Drainase ke dalam anterium mastoid.
4. Mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam vena jugularis dan jantung melalui kateter
yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang memungkinkan pengaliran cairan
serebrospinal ke satu arah. Cara ini merupakan cara yang dianggap terbaik namun,
kateter harus diganti sesuai dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya
infeksi sekunder dan sepsis.
5. Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan setelah diagnosis
lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil di daerah kepala dan
dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput otak, lalu selang pintasan dipasang.
Disusul kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam
selang pintasan, antara ujung selang di kepala dan perut dihubungakan dengan selang
yang ditanam di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.
6. Pengobatan moderrn atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau pintasan jenis
silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus. VRIES (1978) mengembangkan fiberoptik
yang dilengkapi perawatan bedah mikro dengan sinar laser sehingga pembedahan dapat
dipantau melalui televisi.
7. Penanganan Sementara. Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi
evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan resorbsinya.

2.9 Komplikasi

Komplikasi Hidrocefalus menurut Prasetio (2004)

1. Peningkatan TIK
2. Pembesaran kepala
3. Kerusakan otak
4. Retardasi mental
5. Meningitis, ventrikularis, abses abdomen
6. Ekstremitas mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas kulit menurun
7. Kerusakan jaringan saraf
8. Proses aliran darah terganggu

2.10 Asuhan Keperawatan

2.10.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Keluhan utama

Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada peningkatan tekanan
intracranial, meliputi, nyeri kepala, muntah, lethargi, lelah, apatis, perubahan
personalitas, ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10
tahun, penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer, strabismus, perubahan
pupil. Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah, iritable, gangguan
kesadaran, rewel, sukar makan.

b. Riwayat kesehatan

Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput otak dan
meningens) sebelumnya. Riwayat penyakit dahulu yaitu
meliputi adanya riwayat hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma
otak, kelainan bawaan pada otak.
Riwayat perkembangan, kelahiran premature. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji
adanya anggota generasi terdahulu yang menderita stenosis akuaduktal yang sangat
berhubungan dengan penyakit keluarga/keturunan.

c. Pemeriksaan Fisik
1) Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala terhadap
badan, fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse
(mengkilat), dengan tulang kepala yang tipis, dahi yang lebar. Dahi menonjol
bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas. Alis
mata dan bulu mata ke atas, Bayi tidak dapat melihat ke atas, Sclera tanpak
diatas iris sehingga iris seakan-akan matahari yang akan terbenam atau “sunset
eyes”, Strabismus (mata juling), nystagmus (gerakan spontan pada mata), bayi
sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas, pertumbuhan kepala yang
cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus, anggota
gerak secara keseluruhan tidak seimbang.
2) Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas. Pada
beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan didapatkan
klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot batu
nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Terdapat retraksi klavikula/dada,
mengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada dinilai penuh/tidak penuh,
dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi
dada dari otot-otot interkostal, substernal pernafasan abdomen dan respirasi
paraddoks(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Pada pemeriksaan palpasi taktil primitus biasanya seimbang kanan dan kiri,
perkusi suara resonan pada seluruh lapang paru, auskultasi bunyi nafas
tambahan, seperti nafas berbunyi stridor, ronkhi pada klien dengan adanya
peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien hidrosefalus dengan penurunan tingkat kessadaran.
3) Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi brakikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat
merupakan tanda penurunan hemoglobin dalam darah. Hipotensi menunjukan
adanya perubaha perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok. Pada
keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang pelepasan
antideuretik hormone yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk
melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme
ini akan meningkatkan konsentrasi elektroloit sehingga menimbulkan resiko
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada system kardiovaskuler.
4) Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan kesadaran (GCS
<15) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran klien hidrosefalus biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor,
sampai koma. Pengkajian fungi serebral, meliputi, Status mental. Obresvasi
penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas
motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan. Pada bayi dan anak-anak pemeriksaan statuss mental
tidak dilakukan. Fungsi intelektual. Pada beberapa kedaan klien hidrosefalus
didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Pada pengkajian anak, yaitu sering didapatkan penurunan
dalam perkembangan intelektual anak dibandingkan dengan perkembangan
anak normal sesuai tingkat usia. Lobus frontal. Kerusakkan fungsi kognitif dan
efek psikologik didapatkan jika jumlah CSS yang tinggi mengakibatkan
adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau kerusakan fungsi
intelektual kortikal yamg lebih tinggi. Disfungsi ini dapat ditunjukka pada
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang
motivasi yang menyebabka klien ini menghadapi masalah frustasi dalam
program rehabilitasi mereka.pada klien bayi dan anak-anak penilaian
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
5) Pengkajian saraf cranial, meliputi:
a) Saraf I (Olfaktori). Pada beberapa keaaan hidrosefalus menekan anatomi
dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan padda fungsi
penciuman/ anosmia lateral atau bilateral.
b) Saraf II (Optikus): pada nak yang agak besar mungkin terdapat edema
pupil saraf otak II pada pemeriksaan funduskopi.
c) Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens): tanda dini
herniasi tertonium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran .
paralisis otot-otot ocular akan menyusul pada tahap berikutnya.
Konvergensi sedangkan alis mata atau bulu mata keatas, tidak bisa melihat
keatas,. Strabismus, nistagmus, atrofi optic sering di dapatkan pada nanak
dengan hidrosefalus.
d) Saraf V (Trigeminius) karena terjadinya paralisis saraf trigeminus,
didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah atau
menetek.
e) Saraf VII(facialis): persepsi pengecapan mengalami perubahan
f) Saraf VIII (Akustikus): biasanya tidak didapatkan gangguan fungsi
pendengaran.
g) Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus): kemampuan menelan kurang
baik, kesulitan membuka mulut
h) Saraf XI (Aksesorius): mobilitas kurang baik karena besarnya kepala
menghambat mobilitas leher klien
i) Saraf XII (Hipoglosus): indra pengecapan mengalaami perubahan.
6) Pengkajian system motorik. Pada infeksi umum, didapatkan kelemahan umum
karena kerusakan pusat pengatur motorik. Tonus otot didapatkan menurun
sampai hilang, kekuatan otot pada penilaian dengan menggunakan tingkat
kekuatan otot didapatkan penurunan kekuatan otot-otot ekstermitas.
Keseimbangan dan koordinasi didapatkan mengalami gangguan karena
kelemahan fisik umum dan kesulitan dalam berjalan.
7) Eliminasi, kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Peningkatan jumlah urine dan peningkatan retensi
cairan dapat terjadi akibat menurunya perfungsi pada ginjal. Pada hidrosefalus
tahap lanjut klien mungkin mengalami inkontensia urin karena konfusi,
ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidak mampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan
system perkemihan karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-
kadang control sfingter urinarius eksternal hilang atau steril. Inkontensia urine
yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya
kontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakann neurologis luas.
Pemeriksaan bising usus untuk untuk menilai keberadaan dan kualitas bising
usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun
atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi
bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat
tertelanya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nastrakeal.
8) Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum, pada bayi
disebabkan pembesaran kepala sehingga menggangu mobilitas fisik secara
umum. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya
kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas
dan istirahat.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan CSS dan Lumbal pungsi, dapat
dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachoid. CSS dengan atau tanpa
kuman dengan kultur yaitu protein LCS normal atau menurun, leukosit
meningkat/ tetap
2) Foto polos kepala
3) Ultrasonografi kepala
4) CT scan kepala
5) MRI

2.10.2 Diagnose keperawatan

1. Resiko/kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ketidak mampuan bayi dalam


menggerakan kepala akibat peningkatan ukuran dan berat kepala, adanya luka post
oprasi pemasangan VP Shunt
2. Resiko cidera berhubungan dengan peningkatan tekanan intra cranial
3. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang dirawat di rumah sakit
karena menderita kondisi yang berpotensi fatal
5. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan penurunan
fungsi neurologis
6. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan aliran
darah ke otak
7. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan VP Shunt
8. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
9. Perubahan sensori/persepsi berhubungan dengan kerusakan fungsi SSP

2.10.3 Rencana Keperawatan

1. Resiko/kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ketidak mampuan bayi dalam


menggerakan kepala akibat peningkatan ukuran dan berat kepala, adanya luka post
oprasi pemasangan VP Shunt.
Tujuan: kerusakan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Integritas kulit yang baik bias dipertahankan
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan
alami

Intervensi:

a. Hindari kerutan pada tempat tidur


b. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
c. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
d. Monitor kulit akan adanya kemerahan
e. Oleskan lotion/baby oil pada daerah yang tertekan
f. Monitor status nutrisi pasienmandikan pasien dengan sabun dan air hangat
g. Bersuhkan dan pantau proses penyembuhan pada luka yang ditutup dengan jahitan
h. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
i. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai
2. Resiko cidera berhubungan dengan peningkatan tekanan intra cranial
Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Klien dan keluarga mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah cedera
b. Mampu mengenali perubahan status kesehatan

Intervensi:

a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien


b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
kognitif pasien
c. Hindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan)
d. Pasang side rail tempat tidur
e. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
f. Batasi pengunjung
g. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
3. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif
Tujuan: defisiensi pengetahuan teratasi
Kriteria hasil:
a. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis, dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya

Intervensi:

a. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit


yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi, tanda dan gejala, dsan gambaran proses penyakit dengan
cara yang tepat
c. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
d. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan umtuk mencegah
komplikasi di masa yang akan datang
e. Instruksikan pada pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala
untukmelaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang dirawat di rumah sakit
karena menderita kondisi yang berpotensi fatal
Tujuan: Keluarga memperoleh dukungan yang adekuat
Kriteria hasil:
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan tehnik mengontrol cemas

Intervensi:

a. Gunakan pendekatan yang menenangkan


b. Kaji pemahaman keluarga tentang pemahaman diagnosis dan rencana asuhan
c. Dorong keluarga untuk menemani anak
d. Dengarkan dengan penuh perhatian
e. Bantu keluarga menafsirkan perilaku dan respon bayi atau anak
5. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan penurunan
fungsi neurologis
Tujuan:keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan teratasi
Kriteria hasil:
a. Anak berfungsi optimal sesuai dengan tingkatannya
b. Keluarga dan anak mampu menggunakan koping terhadap tantangan karena
adanya ketidakmampuan

Intervensi

a. Kaji faktor penyebab gangguan perkembangan anak


b. Identifikasi dan gunakan sumber pendidikan untuk memfasilitas perkembangan
anak yang optimal
c. Tingkatkan komunikasi verbal
d. Berikan instruksi berulang dan sederhana
e. Berikan reinforcement positif atas apa yang dicapai anak
f. Dorong anak melakukan perawatan sendiri
g. Dorong anak melakukan sosialisasi dengan kelompok
6. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan aliran
darah ke otak
Tujuan: ketidakefektifan perfusi jaringan otak tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranal
b. Observasi tanda-tanda vital klien
c. Menunjukan fungsi sensori yang utuh, tingkat kesadaran membaik, tidak ada
gerakan-gerakan involunter
d. Menunjukan perhatian, konsentrasi dan orientasi
e. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan

Intervensi:

a. Kaji timbulnya tanda-tanda tekanan intra cranial


b. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
c. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
d. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
e. Monitor adanya paretese
f. Instruksi keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada laserasi
7. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan VP Shunt
Tujuan: infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
c. Jumlah leukosit dalam batas normal

Intervensi:

a. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien
b. Gunakan sabun antimicroba untuk mencuci tangan
c. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
d. Pertahankan lingkungan aseptic
e. Monitor tanda dan gejala infeksi local
f. Monitor nilai leukosit pada klien
g. Berikan perawatan kulit pada area luka
h. Inspeksi kondisi luka
i. Laporkan kecurigaan infeksi
8. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
Tujuan: hambatan mobilitas fisik teratasi
Kriteria hasil:
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas
c. Memperagakan penggunaan alat bantuuntuk mobilisasi

Intervensi:

a. Bantu klien untuk mobilisasi dengan alat bantu


b. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
c. Ajarkan pasien dan keluarga tentang tehnik ambulasi
d. Latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan
e. Konsultasikan dengan fisiotherapi
9. Perubahan sensori/persepsi berhubungan dengan kerusakan fungsi SSP
Tujuan: pasien memperoleh stimulasi yang sesuai
Kriteria hasil:
a. Anak memperoleh stimulasi sensorik yang sesuai dengan tingkat usia dan keadaan
b. Anak tampak rileks dan beristirahat dengan tenang

Intervensi:

a. Berikan stimulasi sesuai dengan tolesansi anak


b. Berikan stimulasi pendengaran
c. Berikan stimulasi penglihatan yang sesuai dengan usia anak
d. Berikan stimulasi proprioseptif (misalnya dengan menimang, memeluk erat)
e. Motivasi keluarga untuk berpartisipasi dalam program stimulasi

2.10.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan criteria hasil yang diharapkan.

2.10.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan yaitu membandingkan kemajuan klien dengan tujuan dan


hasil yang diinginkan dari rencana asuhan keperawatan.

You might also like