Professional Documents
Culture Documents
“KARSINOMA RECTUM”
Pembimbing :
dr. Johny H.P. Silalahi, Sp. B
Disusun Oleh :
Delavemia Rostiani G4A016085
Silma Ilmaniar G4A016131
2018
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
“KARSINOMA RECTUM”
Disusun oleh :
Delavemia Rostiani G4A016085
Silma Ilmaniar G4A016131
Dosen Pembimbing,
2
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A.Latar Belakang.............................................................................................. 1
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI ...................................................................... 3
A. Anatomi ....................................................................................................... 3
B. Fisiologi ....................................................................................................... 6
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 9
A. Definisi ...................................................................................................... 9
B. Epidemiologi ............................................................................................. 9
C. Etiologi dan Faktor Resiko ....................................................................... 10
D. Patomekanisme ......................................................................................... 14
E. Klasifikasi ................................................................................................. 16
F. Manifestasi Klinis ..................................................................................... 18
G. Diagnosis ................................................................................................... 19
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 20
I. Komplikasi ................................................................................................ 22
J. Prognosis ................................................................................................... 23
3
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karsinoma rekti merupakan keganasan yang muncul pada rectum
yang sebagian beasar adalah tumor ganas dengan jenis tumor ganas terbanyak
yaitu Adenokarsinoma (Kemenkes, 2012). terdapat berbagaimacam faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya karsinoma rekti, baik faktor yang dapay
dimodifikasi maupun faktor yang tidak dapat dimodifikas. Faktor yang tidak
dapat dimodifikasi dapat berupa adanya riwayat polip adenoma pada
penderita maupun pada keluarga, dan riwayat infeksi kronis pada usus.
Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi inaktivitas, obesitas,
konsulsi tinggi daging merah, merokok, dan konsumsi alkohol berat
(Kemenkes, 2012).
Kanker dapat menyerang setiap individu, resiko terjadinya akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Data dari Amerika Serikat dan
Inggris memperlihatkan bahwa, penduduk yang berusia antara 60 sampai 80
tahun berisiko tiga kali lebih besar dari kelompok usia lainnya. Mereka yang
memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis,
tergolong berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal.
Demikian juga dengan mereka yang memiliki riwayat penyakit kanker
tersebut, risiko terkena penyakit ini bisa menyerang pada kelompok usia
mana pun di bawah 60 tahun (De jong dan Samsuhidajat, 2014).
Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor
ganas saluran cerna, hampir lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rectum.
Salah satu pemicu terjadinya kanker rektal adalah masalah nutrisi dan
kurangnya berolahraga. Kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker
yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal
adalah kanker yang menyerang kolon dan rectum. Namun, penyakit ini
bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara
dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 perseN (ACS,
2018).
4
Umumnya penderita akan datang dalam stadium lanjut, seperti
kebanyakan tumor ganas lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat
ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat ini pembedahan adalah terapi
pilihan untuk karsinoma rekti (Ahmad, 2018).
Perawatan baru untuk kanker kolorektal primer dan metastatik telah
muncul, memberikan opsi tambahan untuk pasien; perawatan ini termasuk
operasi laparoskopi untuk penyakit primer, reseksi penyakit metastatik
(seperti metastasis hati dan paru), radioterapi untuk kanker rektum,
kemoterapi neoadjuvant dan paliatif. Namun, pilihan pengobatan baru ini
memiliki dampak terbatas pada tingkat penyembuhan dan kelangsungan
hidup jangka panjang (Peev, et al., 2015).
5
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. Anatomi Rectum
Secara anatomi rectum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 hingga
garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rectum dibagi menjadi
bagian ampula dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus
hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia
supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis
pada insersi muskulus levator ani (Martini et al., 2012). Panjang rectum
berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm pada rectosigmoid junction dan 35
cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rectum
mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan
longitudinal), dan lapisan serosa (Snell, 2011).
6
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan
internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rectum ke dunia luar.
Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling yaitu, atas, medial dan depan
(Holschneider, 2000).
Perdarahan arteri daerah anorectum berasal dari arteri hemoroidalis
superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan
kelanjutan dari arteri mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan
kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang arteri iliaka interna, arteri
hemoroidalis inferior cabang dari arteri pudenda interna. (Snell, 2011). Vena
hemoroidalis superior berasal dari plexus hemoroidalis internus dan berjalan
ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui
vena lienalis menuju vena porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan
alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rectum dapat
menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior
mengalirkan darah ke vena pudenda interna, vena iliaka interna dan sistem
vena cava (Martini et al., 2012).
7
Pembuluh limfe daerah anorectum membentuk pleksus halus yang
mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir
ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat
mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis
anorectum berjalan seiring dengan vena hemoroidalis seuperior dan melanjut
ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta. Persarafan rectum terdiri atas
sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus
mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4,s erabut ini
mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal
dari sakral 2, 3, dan 4, serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris
dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan (Snell, 2011).
8
oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf parasimpatis)
(Holschneider, 2000).
B. Fisiologi Rectum
Fungsi utama dari rectum dan kanali anal ialah untuk mengeluarkan
masa feses yang terbentuk di tempat yang lebih tinggi dan melakukan hal
tersebut dengan cara yang terkontrol. Rectum dan kanalis anal tidak begitu
beperan dalam proses pencernaan, selain hanya menyerap sedikit cairan.
Selain itu sel-sel goblet mukosa mengeluarkan mucus yang berfungsi sebagai
pelicin untuk keluarnya masa feses. Pada hampir setiap waktu rectum tidak
berisi feses hal ini sebagian diakibatkan adanya otot sfingter yang tidak
begitu kuat terdapat pada rectosigmoid junction kira-kira 20 cm dari anus.
Terdapatnya lekukan tajam dari tempat ini juga memberi tambahan
penghalang masuknya feses ke rectum. Akan tetapi, bila suatu gerakan
mendorong feses kea rah rectum, secara normal hasrat defekasi akan timbul,
yang ditimbulkan oleh reflex kontraksi dari rectum dan relaksasi dari otot
sfingter. Feses tidak keluar secara terus-menerus dan sedikit demi sedikit dari
anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani interna dan externa
(sobiston 2009)
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak
disadari (involunter) atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah
anus terhambat oleh adanya kontraksi tonik dari sfingter ani interna yang
terdiri dari otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot rangka.
Sfingter ani eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari
saraf somatik, sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita
(volunter) (Ganong, 2015). Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks
defekasi akibat ujung – ujung serabut saraf rectum terangsang ketika dinding
rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum ini berperan penting pada
mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian
integral penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai
berikut : pada saat volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan
memicu kontraksi dengan mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi
9
statistika tentang fisiologi rectum ini mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi
rectum yaitu (Guyton, 2016):
1. Simple contraction yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit;
2. Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas
100 cmH2O;
3. Slow Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi.
10
sfingter ani eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara
volunter,terjadilah defekasi (Guyton, 2016). Pada permulaan defekasi, terjadi
peningkatan tekanan intraabdominal oleh kontraksi otot–otot kuadratus
lumborum, muskulus rectus abdominis, muskulus obliqus interna dan
eksterna, muskulus transversus abdominis dan diafraghma. Muskulus
puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan relaksasi
sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area
anorektal membuat sudut 90o antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga
akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 130 o –
140o sehingga kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi.
Muskulus sfingter ani eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang
ke kanalis analis (Ganong, 2015).
Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang
berada di bawah pengaruh kesadaran (volunteer). Bila defekasi ditahan,
sfingter ani interna akan tertutup, rectum akan mengadakan relaksasi untuk
mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme volunter dari
proses defekasi ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah proses
evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes (Ganong, 2015). Muskulus
sfingter ani interna dan muskulus puborektalis akan berkontraksi dan sudut
anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus
sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya dan menutup kanalis
analis. Hal ini menyebabkan m. sphincter ani externus dan m. levator ani
berkontraksi untuk menahan defekasi (Guyton, 2016). Sinyal defekasi masuk
ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas dalam,
penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari
kolon turun ke bawah dan saat bersamaan, dasar pelvis mengalami relaksasi
dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan feses. Pada akhir defekasi,
tunica mucosa kembali ke canalis analis akibat tonus serabut-serabut
longitudinal dinding canalis analis serta penarikan ke atas oleh m.
puborectalis (bagian dari m. levator ani). Kemudian lumen canalis analis yang
kosong ditutup oleh kontraksi tonik m. sphincter ani (Ganong, 2015).
11
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Karsinoma Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum
terletak di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm.
Rectosigmoid junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian
sepertiga atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah
bagian bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi
rektum berasal dari cabang arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri
iliaka interna (Masjoer et al., 2012). Vena hemoroidalis superior berasal dari
pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena mesenterika
inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Karsinoma Recti
dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari
rektum diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior
dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal
untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran
limfa ini. Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun
oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan
serosa (Ruggieri, 2011).
B. Epidemiologi
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling
sering terjadi dan nomor dua sebagai penyebab kematian di negara
berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker
12
kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal.
Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus
Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari
kejadian kematian dari semua jenis kanker (ACS, 2017).
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi
kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health
Organization, 2011). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-
2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari
pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang
paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun,
perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini memungkinkan
untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah (ACS, 2017).
Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya
5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki memiliki
insidensi terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita dengan rasio
bervariasi dari 8:7 - 9:5 (World Health Organization, 2011).
13
makanan tinggi serat pun belum tentu akan menurunkan risiko
terjadinya kanker kolorektal. Dilain sisi pemilihan jenis lemak yang
dikonsumsi seperti asam lemak omega-3 yang ditemukan pada minyak
ikan, memiliki efek protektif terhadap kanker kolorektal. Hal ini
menunjukan bukan jumlah lemak yang mengendalikan, namun jenis
dan kualitas lemak dalam tubuh. Efek protektif yang terdapat pada
buah dan sayur, karena makanan tinggi serat dank arena efek
antioksidan dan antiproliferatif (isothocynates) (Giovannucci, 2006).
b. Kalsium, Vitamin dan Mikronutrien
Penelitian menunjukan konsumsi kalsium dan selenium
dapat mencegah terjadinya polip dan kanker kolorektal. Mekanisme
bagaimana kalsium dapat mencegah terjadinya kanker kolon adalah.
Pertama,kalsim dapat mengikat bilirubin dan asam lemak dalam
kotoran sehingga kotoran tidak bersifat toksik (mengganggu) mukosa
kolon. Kedua, kalsium dapat mempengaruhi sel mukosa kolon dan
menurunkan potensial proliferasi. Beberapa vitamin menunjukan
perannya sebagai cancer protective. Vitamin A, C dan E memiliki
aktivitas antioksidan. Namun, hal ini masih sebuah kontroversial
(Giovannucci, 2006).
c. Aspirin dan Penghambat COX-2
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid lainnya dapat
menggangu pembentukan neoplasa dengan menghambat
cyclooksigenase tergantung prostaglandin. Pemberian obat anti
inflamasi ini akan menurunkan penyebaran kanker kolorektal
(Giovannucci, 2006).
d. Cholecystectomy dan Asam Empedu
Bukti data epidemiologi menunjukan, paparan dengan asam
empedu meningkatkan proliferasi dari mukosa usus melalui
mekanisme intraseluler. Cholecystectomy yang mempengaruhi jalur
enterohepatik dari empedu, biasanya diikuti dengan kanker kolon
proksimal (Giovannucci, 2006).
14
e. Rokok dan Alkohol
Risiko terjadinya kanker kolorektal meningkat diantara
perokok lama dibandingkan pada kelompok non perokok. Data
menunjukan hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi dalam
satu tahun dengan pembentukan polip. Beberapa data juga
menunjukan penggunaan alcohol meningkatkan risiko kanker kolon
(Giovannucci, 2006).
15
2. Faktor Ekstrinsik
a. Riwayat Keluarga
Terdapat sekitar 10-20% dari pasien penderita kanker
kolorektal memiliki riwayat keluarga dengan kanker kolorektal.
Populasi dengan riwayat kanker kolon dalam keluarga memiliki
risiko 2 – 4 kali lebih besar untuk terjadi kanker kolorektal. Riwayat
polip kolon juga memiliki risiko terbentuknya kanker kolon
(Giovannucci, 2006).
b. Kanker Kolorektal Herediter
Abnormalitas genetik pada individu juga mampu memediasi
progresi dari mukosa kolorektal normal menuju mukosa kolorektal
yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter
yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat
pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Delesi alel dari 17p
ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan delesi dari 5q
ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang
besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali
karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi
menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu
Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non
Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC) (Casciato, 2017).
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC,
yang berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC
tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan
pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada
FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang
sangat banyak sehingga sulit untuk dapat dilakukannya kolonoskopi
polipektomi yang aman dan adekuat (Casciato, 2017).
16
Pola autosomal dominan dari HNPCC yaitu Lynch’s
sindrom I dan II. Generasi yang dipengaruhi dengan kanker
kolorektal muncul pada umur yang muda (±45 tahun), dengan
predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik
ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung
jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari
DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability).
Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype
mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error
(RER+ phenotype). Hal tersebut mengakibatkan seseorang memiliki
multitude dari malignansi primer (Casciato, 2017).
c. Gaya Hidup
Faktor lingkungan seperti diet dan aktivitas fisik juga dapat
mempengaruhi risiko. Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi
kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk
menderita kanker kolorektal pada sebagian besar penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal (Fazeli & Keramati,
2015).
D. Patomekanisme
Terbentuknya kanker kolon, disebabkan oleh mutasi gen pada gen
spesifik, DNA mismatch pada gen yang mengatur perbaikan dan proto-
onkogen. Gen tumor supresor menghasilkan protein yang menghambat
regulasi aktivitas mitotic dan mengendalikan produksi sel. Gen ini berperan
sebagai gatekeeper genes, karena menjaga pembentukan sel dan regulitas
produksi sel. Kegagalan gen tumor supresor untuk mengendalikan
pertumbuhan sel disebut sebagai loss of function. Gen APC adalah gen tumor
supresor yang terdapat pada kromosom 5q21. Gen ini memproduksi 2843
asam amino dan membentuk komplek GSK-3B, B-catenin dan aksin
(Robbins, 2013).
17
Mutasi pertama pada proses terjadinya adenoma-carcinoma kolorektal
adalah mutasi pada gen APC, perbahan awal adalah abberant crypt formaton
yang ditandai dengan protein pendek yang abnormal dikenal dengan APC
truncation. Mismatch repair gene (MMR) dikenal sebagai caretaker genes
karena peran pentingnya dalam intergritas dari genom dan memperbaiki
replikasi DNA yang salah. MMR yang mengalami kegagalan fungsi,
menyebabkan proses karsinogenesis dengan meningkatkan progresi sel
tumor. Mutasi MMR akan menyebabkan sindroma HNPCC (Hereditary non
polyposis colorectal cancer) (Robbins, 2013).
Proto-onkogen adalah gen yang memproduksi protein sehingga
meningkatkan pertumbuhan sel dan proliferasi. Mutasi pada proto-onkogen
tidak seperti mutasi pada tumor suppressor atau MMR yang malahan
menurunkan fungsi mereka, mutasi pada proto-onkogen malahan
meningkatkan jumlah sel. Proto-onkogen yang bermutasi disebut sebagai
onkogen. Sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkontrol (Robbins,
2013).
18
yaitu pemberian vaksin HPV dan secara skunder yaitu adanya skrining serta
diagnosis dini terjadinya karsinoma recti. Penderita HIV juga memiliki resiko
tinggi terjadinya karsinoma recti akibat infeksi HPV. Terdapat beberapa
mekanisme yang melibatkan HPV pada penderita HIV terhadap terjadinya
karsinoma rectum diantaranya yaitu adanya respon imun sistemik dengan
melibatkan berkrangnya sel imun mediasi yang berespon terhadap antigen
HPV, respon imun lokal terjadi pda penderita HIV kronik yang ditimbulkan
akibat interaksi protein HIV dengan HPV di epitel recti, sehingga
menyebabkan berkurangnya tight junction akibat tat dan gp120. Resiko
19
infeksi HPV semakin besar akibat adanya pengaruh gen tat dan gp120,
serta danya gen tat menyebabkan meningkatnya ekspresi onkogen dari HPV.
E. Klasifikasi Stadium
1. Stadium Berdasarkan Sistem TNM
Stadium Karsinoma Kolorektal Berdasarkan Sistem TNM
American Joint Comittee on Cancer (AJCC) edisi ke 7 tahun 2009
(Kementrian Kesehatan RI, 2015).
a. T- Tumor primer
1) Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai
2) T0 : Tidak ada evidens adanya tumor primer
3) Tis : Karsinoma in situ: intraepitelial atau invasi lamina propria.
4) T1 : Tumor invasi submukosa
5) T2 : Tumor invasi muskularis proria
6) T3 : Tumor invasi melewati muskularis propria ke dalam
jaringan perikolorektal
7) T4a : Tumor penetrasi ke permukaan peritoneum viseral
8) T4b : Tumor invasi langung atau menempel pada organ atau
struktur lain
b. N- Kelenjar getah bening regional
1) Nx : Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
2) N0 : Tidak ada metastasis kelenjar getah bening
3) N1 : Metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
o N1 a : Metastasis pada satu kelenjar getah bening regional
o N1 b : Metastasis pada 2-3 kelenjar getah bening regional
o N1 c :Tumor deposit pada subserosa, mesenteri, atau
perikolik nonperitoneal atau jaringan perirektal tanpa
metastasis kelenjar getah bening regional
4) N2 : Metastasis pada 4 atau lebih kelenjar getah bening regional
o N2a : Metastasis pada 4-6 kelenjar getah bening regional
o N2b : Metastasis pada 7 atau lebih kelenjar getah bening
regional
20
*kelenjar getah bening regional, yaitu KGB presakral, KGB iliaka
interna, dan untuk bagian distal, KGB iliaka eksterna dan inguinal
c. M - Metastasis jauh
1) M0 : Tidak ada metastasis jauh
2) M1 : Metastasis jauh
o M1a : Metastasis terbatas pada satu organ atau bagian
(contoh, hati, paru-paru, ovarium, kelenjar non-regional
o M1 b : Metastasis pada lebih dari satu oragan/bagian atau
peritoneum
21
2. Grading
Pembagian derajat keganasan tumor berdasar kriteria yang
dianjurkanWHO (Kementrian Kesehatan RI, 2015):
a. Grade I: Tumor berdifferensiasi baik, mengandung struktur
glandular >95%
b. Grade II: Tumor berdifferensiasi sedang, mengandung komponen
glandular 50-95%
c. Grade III: Tumor berdifferensiasi buruk, mengandung komponen
glandular 5-50%, adenokarsinoma musinosum dan signet ring cell
carcinoma termasuk dalam grade III
d. Grade IV: Tumor tidak berdifferensiasi, kandungan komponen
glandular <5%, adenokarsinoma medular termasuk dalam grade IV.
F. Manifestasi Klinis
Pada umumnya Ca recti tidak menimbulkan gejala tertentu. Keluhan
dirasakan akibat gangguan fungsi faal, obstruksi, perdarahan dan metastasis.
Tanda dan gejala berikut ini sering muncul pada penderita Ca Rekti (ACS,
2018):
1. Gangguan pencernaan seperti diare atau konstipasi kronis (change of
bowel habit)
2. Rasa tidak tuntas saat BAB atau Tenesmus Ani
3. Perdarahan melalui anus saat BAB sehingga membuat feses berwarna
kemerahan berisi darah segar (rectal bleeding)
4. Kulit dan wajah menjadi pucat dan mudah lelah
5. Penurunan berat badan
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis penderita Ca Recti biasanya didapatkan keluhan
(Kementrian Kesehatan RI, 2015):
a. Defekasi seperti kotoran kambing dan Spurious Diarrhea
b. Perdarahan per-anum (rectal bleeding) disertai peningkatan frekuensi
defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu pada semua umur
22
c. Perdarahan per-anum tanpa gejala anal pada individu berusia di atas
60 tahun
d. Peningkatan frekuensi defekasi atau buang air besar berlendir
e. Massa intra-luminal di dalam rectum
f. Tanda-tanda obstruksi mekanik usus
g. Penurunan berat badan tanpa adanya perubahan diet
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan Fisik Umum
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda seperti
(Kementrian Kesehatan RI, 2015):
1) Tanda-tanda anemia : Kulit tampak pucat, keadaan umum
tampak lemas, konjungtiva anemis, CRT > 2 detik
2) Abdomen : Teraba massa, bising usus meningkat.
b. Pemeriksaan colok dubur:
Menilai keutuhan sfingter ani dan menetapkan ukuran dan
derajat fiksasi tumor pada rectum 1/3 tengah dan distal, serta
menetapkan jarak antara tumor dengan anocutan line (ACS, 2018).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
Pada penderita Ca Recti dapat terjadi perdarahan intra
lumen sehingga menyebabkan anemia yang ditandai dengan
penurunan Hemoglobin & jumlah eritrosit serta peningkatan
LED (ACS, 2018).
2) Tumor marker CEA
Sel-sel tumor dapat memproduksi tumor marker yang
ditemukan dalam darah. Marker yang dapat menandakan adanya
Ca Recti adalah carcinoembryonic antigen (CEA). Pemeriksaan
ini tidak dapat dijadikan standar diagnosis Ca Recti karena pada
kondisi tertentu dapat terjadi bias. Pemeriksaan ini biasanya
dilaukakan untuk evaluasi pengobatan dan peringatan terjadinya
rekurensi (ACS, 2018).
23
3) Pemeriksaan Radiologik
a) Pemeriksaan foto toraks PA
b) CT scan/MRI
c) Ultrasonografi (USG) abdomen
d) Ultrasonografi (USG) endorektal (bila dapat dikerjakan)
e) PET scan (bila diperlukan/tidak rutin)
4) Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsi dari rektum dan spesimen reseksi menentukan
jenis keganasan dan derajat diferensiasinya (Kementrian
Kesehatan RI, 2015).
b. Pemeriksaan Kolonoskopi/proktoskopi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukan kamera ke
dalam rectum. Hal ini bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi
tumor di dalam rectum secara langsung, jika saat dilakukan
pemeriksaan didapatkan polip maka dapat dilakukan eksisi. Namun
jika didapatkan massa cukup besar yang dicurigai dapat dilakukan
biopsi (ACS, 2018).
H. Penatatalaksanaan
Tatalaksana yang diberikan pada penderita Ca Rectum ditentukan
berdasarkan stadium, yaitu (Kementrian Kesehatan RI, 2015):
1. Stadium I: Eksisi transanal atau reseksi transabdomen + teknik TME bila
resiko tinggi, observasi.
2. Stadium IIA-IIIC: Neoadjuvan kemoradioterapi (5-FU/RT short course
atau Capecitabine/RT short course), reseksi transabdominal (AR atau
APR) dengan teknik TME dan terapi adjuvant (5-FU ± leucovorin or
FOLFOX or CapeOX)
3. Stadium IIIC dan/atau locally unresectable: Neoadjuvant: 5-FU/ RT or
Cape/RT or 5FU/Leuco/RT (RT: Long course 25x), reseksi trans-abd
resection + teknik TME bila memungkinkan dan adjuvant in any T (5-FU
± leucovorin or FOLFOX or CapeOx)
24
4. Stadium IVA/B (metastasis dapat direseksi): Kombinasi kemoterapi atau
reseksi staged/synchronous lesi metastasis+ lesi rektum atau 5-FU/pelvic
RT. Lakukan reassessmen untuk menentukan stadium dan kemungkinan
reseksi.
5. Stadium IVA/B (metastasis synchronous tidak dapat direseksi atau secara
medis inoparabel): Bila simptomatik (terapi simptomatis: reseksi atau
stoma atau kolon stenting), lanjutkan dengan kemoterapi untuk kanker
lanjut. Bila asimptomatik berikan terapi non-surgikal lalu reassess untuk
menentukan kemungkinan untuk reseksi.
25
1. Kasus dengan risiko tinggi untuk kekambuhan lokal (>pT3b dan/atau
N+)
Sedangkan, radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik
pada kasus yang resektabel maupun yang tidak resektabel, dengan tujuan
(Kementrian Kesehatan RI, 2015):
1. Mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien dengan
histopatologi yang berprognosis buruk.
2. Meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter.
3. Meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh(?)
atau tidak resektabel
4. Mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran
melalui aliran darah pada saat operasi.
I. Komplikasi
Penanganan kegawatdaruratan di bidang bedah pada pasien kanker
Kolorektal yang bisa menimbulkan komplikasi berupa obstruksi dan perforasi
kolon dan perdarahan saluran cerna bagian bawah.Kanker kolorektal dapat
menimbulkan komplikasi berupa obstruksi oleh tumor, perforasi kolon dan
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Risiko komplikasi berhubungan
dengan peningkatan usia pasien dan proses penyakit yang sudah lanjut.
Kondisi tersebut merupakan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan
bedah (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
1. Obstruksi
Mayoritas kanker kolorektal pada stadium awal tidak bergejala
/asimtomatik atau pauci simtomatik. Seiring dengan perkembangan
kanker dan perjalanan waktu akan menimbulkan gejala akibat adanya
komplikasi, salah satunya adalah obstruksi. Ileus obstruktif merupakan
kegawatan yang paling tersering di jumpai pada kasus kanker kolorektal.
Ileus obstruksi merupakan suatu penyumbatan mekanis baik total atau
parsial pada usus yang akan menganggu atau menghambat pasase cairan,
26
gas maupun makanan. Penyumbatan ini dapat terjadi pada setiap titik
sepanjang traktus gastrointestinal dan gejala klinis yang muncul
tergantung pada tingkat obstruksi yang terjadi. Obstruksi menyebabkan
dilatasi usus bagian proksimal dan kolapsnya usus bagian distal.
Obstruksi yang disebabkan oleh tumor umunya adalah obstruksi
sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi (Kementrian Kesehatan
RI, 2017).
2. Perforasi
Insiden terjadinya perforasi kanker kolorektal 2,3-2,5%, ditandai
dengan adanya peritonitis. Perforasi kolon merupakan kegawatdaruratan
dimana terjadi kebocoran kolon sehingga isi kolon masuk ke rongga
peritoneum dan menimbulkan peritonitis baik lokal maupun difus
(Kementrian Kesehatan RI, 2017).
3. Perdarahan
Perdarahan kanker kolorektal ditandai dengan adanya melena
yang berasal dari kolon kanan atau rectorrhagia berupa darah segar,
khususnya berasal dari rektosigmoid (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
J. Prognosis
Prognosis pada penderita Ca Recti dipengaruhi beberapa faktor, faktor
tersebut diantaranya (Dziki, 2009):
1. Faktor pasien
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Riwayat keluarga kanker kolorektal
d. Kondisi umum
2. Faktor Tumor
a. T stage;
b. Dukes’s Stage;
c. Lokasi tumor;
d. Mobilitas tumor;
e. Ukuran dan kedalaman invasi;
27
f. Jenis eksentasi;
g. Kehadiran tumor ulserasi;
h. Invasi pembuluh darah intratumoral (BVI);
i. Invasi pembuluh limfatik intratumoral;
j. Invasi neural;
k. Diferensiasi histologis.
3. Faktor komplikasi tumor
a. Extrabowel dilewat infiltrasi kanker
b. Metastasis kelenjar getah bening
c. Metastasis hati
d. Tumor primer atau sekunder yang berhubungan
4. Faktor genetik dan imunologi
a. Mutasi c-Ki-ras
b. Mutasi C-myc
c. Mutasi gen APC
d. Ekspresi varian CD44 6 dan 8-10
e. Overekspresi p53 nuklir
f. Ekspresi DCC-protein
g. Tingkat antigen carcinoembryonic preoperatif
5. Faktor yang terkait dengan perawatan
a. Jumlah nodus limfa yang ditemukan pada spesimen yang direseksi
b. Keterlibatan marjin keliling
c. Komplikasi septik pasca operasi
d. Terapi pra dan pasca operasi adjuvant
28
PI = 1,37 x (jenis kelamin) ... 2,05 x (usia) ... 0,06 x (status tumor)+ 1,85 x
(jenis eksentasi) -1,46 x (perlakuan) ... 2,91 x (kemoterapi) + 2,83 x (S-Phase)
1,34 x (D N A ploidy)
Gambar 3.9 Prognostic Index (PI) Ca Recti (Dziki, 2009).
29
IV. KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society (ACS). 2018. Cancer Facts and Figures 2018. American
Cancer Society Inc. Atlanta
Casciato DA. 2017. Manual of Clinical Oncology 8th ed. Lippincott Williams &
Wilkins: USA.
De Jong Wim, dan Samsuhidajat R. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ganong W. F. 2015. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 25. Jakarta : EGC
Mansjoer Arif et all, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Penerbit Buku
Media Aesculapius. Jakarta.
Martini, F.H., Nath, J.L., dan Bartholomew, E.f. 2012. Fundamentals of Anatomy
and Physiology ninth edition.United States of America: Peason
Education.
31
Robbins, et al. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vo. 2. Jakarta : EGC.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
32