You are on page 1of 9

INDUKSI POLIPLOIDI PADA TANAMAN KENTANG (Solanum

tuberosum L.) KULTIVAR ATLANTIK DENGAN COLCHICINE


SECARA IN VITRO

Disusun Oleh :
Kiki Zaki Lazauardi NPM. 24031116046
Rima Aulia NPM. 240311160
Muhamad Iqbal NPM. 240311160
Zakky Muhamad Alfarizky NPM. 24031116081
Teddy Mulyana NPM. 240311160

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GARUT
GARUT
2019
2

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi beras tertinggi di
dunia. Pilihan masyarakat Indonesia pada tanaman padi sebagai sumber karbohidrat
utama mudah dipahami, karena padi telah lama dibudidayakan dan mudah disimpan.
Ketergantungan padi sebagai sumber karbohidrat utama pada masyarakat Indonesia
membahayakan ketahanan pangan nasional, sehingga perlu mencari sumber
karbohidrat alternatif. Saat ini pemanfaatan berbagai sumber karbohidrat non-beras
masih kurang optimal, padahal banyak alternatif bahan makanan penghasil
karbohidrat yang dapat dikembangkan dalam pertanian, salah satunya adalah
kentang hitam (Leksonowati dan Witjaksono, 2009a).
Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan tanaman sumber karbohidrat
selain padi. Kultivar kentang unggul di Indonesia menurut Wattimena et al. (2001)
yaitu kentang Granola yang dikonsumsi sebagai sayur dan kentang Atlantik yang
dimanfaatkan sebagai keripik (chip) dan kentang goreng (fries). Menurut Setiawati
et al. (2007) tanaman kentang Atlantik memiliki kadar pati yang tinggi dengan kadar
gula rendah. Kondisi ini mendukung kentang kultivar Atlantik cocok digunakan
untuk industri keripik kentang dan kentang goreng. Umbi kentang Atlantik di
Indonesia umumnya digunakan untuk keripik kentang, kentang goreng, dan industri
olahan kentang lain. Kebutuhan industri keripik kentang mencapai 30 ton/hari.
Jumlah ini belum termasuk pengusaha keripik di tingkat industri kecil di sentra
produksi kentang seperti Garut, Pangalengan, Dieng, dan Pasuruan. Persentase
ketersediaan bibit kentang dengan kebutuhannya juga tidak lebih dari 10% dari tahun
2004 - 2010 (Dirjen Horti, 2010). Pemenuhan kebutuhan kualitas dan kuantitas bibit
dilakukan pelaku industri kentang dengan mengimpor bibit kentang. Hal ini
menyebabkan kepada kenaikan impor bibit kentang. Impor bibit kentang tahun 2009
sebesar 2.280 ton sedangkan pada tahun 2010 mengalami kenaikan mencapai 2.726
ton (Kementan, 2013). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa klon kentang AK
(Atlantik Kontrol) dan UB3 (Atlantik Transgenik) merupakan klon dengan jumlah
serangan tertinggi, sedangkan jumlah serangan terendah terdapat pada klon kentang
SK (Superjhon Kontrol).
3

Setiap upaya perbaikan genetik tanaman memerlukan keragaman genetik


sebagai langkah awal dalam pemuliaan tanaman. Keragaman tanaman dengan cara
menginduksi poliploiodi tanaman merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
keragaman tanaman sehingga dapat diseleksi kultivar tanaman baru yang dapat
dikembangkan untuk berbagai keperluan. Tanaman poliploid merupakan tanaman
yang memiliki tiga atau lebih set kromosom dalam sel - selnya. Sifat umum dari
tanaman poliploid antara lain tanaman menjadi lebih kekar, bagian tanaman lebih
besar meliputi akar, batang, daun, bunga dan buah (Escandon et al., 2006). Kultivar
kentang Atlantik memiliki set kromosom tetraploid (2n=4x=48) sedangkan spesies
liar yang umumnya sebagai sumber sifat ketahanan (hama dan cekaman lingkungan)
adalah diploid (2n=2x=24) (Maharijaya, 2007). Induksi poliploidi diharapkan dapat
menginduksi keragaman kentang Atlantik yang bertujuan untuk menjawab berbagai
permasalahan kentang di Indonesia.
Induksi poliploidi membutuhkan mutagen yang diberikan pada sel atau
jaringan tanaman. Colchicine merupakan mutagen kimia yang sering digunakan
untuk induksi keragaman baik secara in vitro maupun in vivo. Colchicine merupakan
ekstraksi dari umbi dan biji tanaman Colchicium autumnale yang berasal dari Eropa.
Colchicine bekerja dengan cara mencegah terbentuknya benang - benang plasma dari
benang spindel inti sehingga pemisahan kromosom pada anafase dari mitosis tidak
berlangsung, dan menyebabkan penggandaan kromosom tanpa pembentukan
dinding sel (Pramono, 2008).
1.2 Tujuan
Tujuan dari maklah ini adalah untuk mempelajari pengaruh colchicine terhadap
pertumbuhan vegetatif dan menginduksi ploidi kentang kultivar Atlantik secara in vitro.
1.3 Manfaat
Manfaat dari makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengaruh colchicine terhadap pertumbuhan vegetatif dan menginduksi ploidi kentang
kultivar Atlantik secara in vitro, serta mendapatkan klon kentang atlantik dengan jumlah
ploidi lebih dari 2n=2x (diploid).
4

1. Ketersediaan Sumber Genetik Tanaman Kentang Atlantik


Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman setahun (annual) yang
berbentuk semak atau herba dan terdiri dari stolon, umbi, batang, daun, bunga, buah dan
biji, serta akar. Batang kentang berada di atas permukaan tanah. Panjang batang tanaman
kentang sekitar 30 - 100 cm diatas permukaan tanah (Rukmana, 1997). Dalam sistematika
tumbuhan, tanaman kentang diklasifikasikan ke dalam Kingdom Plantae, Divisi
Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Urdo Solanales, Famili
Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum (Rubatzky dan
Yarnaguchi, 1998).
Terdapat empat fase pertumbuhan tanaman kentang, yaitu pertumbuhan vegetatif,
inisiasi, pembesaran, dan pemasakan umbi. Fase vegetatif memerlukan waktu 2-4 minggu
dari muncul tunas sampai inisiasi umbi. Fase inisiasi dan pembesaran umbi dimulai
dengan pembentukan stolon yang membutuhkan waktu sekitar 7-8 minggu. Fase
pemasakan umbi memerlukan waktu 2-3 minggu. Perubahan yang terjadi pada fase ini
yaitu kulit umbi mulai terbentuk, berat kering umbi maksimum, bagian atas tanaman
berwarna kekuningan dan mati (Navarre dan Pavek, 2014).
Menurut Samadi (2007), kentang dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
warna umbinya, yaitu:
1) Kentang putih, yaitu jenis kentang dengan warna kulit dan daging umbi putih,
misalnya kultivar Atlantic, Marita, Donata, dan lainnya.
2) Kentang kuning, yaitu jenis kentang yang umbi dan kulitnya berwarna kuning,
misalnya kultivar Granola, Cipanas, Cosima, dan lainnya.
3) Kentang merah, yaitu kentang dengan warna kulit dan daging umbi merah,
misalnya kultivar Desiree dan Arka.
Kultivar kentang yang ditanam di Indonesia umumnya adalah kultivar impor dari
Eropa yang telah beradaptasi dengan hari panjang. Kebanyakan kultivar tersebut berumbi
dan panen lebih awal akibat hari pendek. Kultivar yang cukup bertahan lama adalah
kultivar Granola disamping kultivar baru yang diintroduksi khusus untuk kentang olahan
seperti Atlantik (Wattimena, 2001).
Kentang Atlantic merupakan kultivar yang diintroduksi oleh Amerika Serikat dan
dirilis di Victoria tahun 1986. Kentang kultivar ini dikembangkan di Florida dari
persilangan antara kultivar Wauseon dan Lenape6. Karakteristik kentang ini yaitu
5

memiliki umur 100 hari, tinggi tanaman dapat mencapai 50 cm, tahan terhadap nematoda,
kualitas umbi baik, memiliki kadar pati tinggi, kadar gula rendah, dan memiliki potensi
hasil 8 hingga 20 ton/ha (Setiawati et al., 2007).
Keunggulan kultivar Atlantik adalah berumur sedang, memiliki umbi bulat
dengan daging umbi berwarna putih, dan memiliki kandungan kering yang tinggi.
Kultivar Atlantik tahan terhadap virus PVY dan PVX tetapi rentan terhadap serangan layu
bakteri. Tanaman kentang komersial pada umumnya bersifat tetraploid (2n=4x=48)
sedangkan species liar sebagai sumber sifat ketahanan adalah diploid (2n=4x=24).
Kultivar Atlantik merupakan tetraploid sehingga cukup kompatibel apabila disilangkan
dengan kultivar Granola yang juga tetraploid (Maharijaya, 2007).

2. Perluasan Variasi Genetic Tanaman Kentang Atlantik


Setiap upaya perbaikan genetik tanaman memerlukan keragaman genetik. Para
pemulia tanaman kuno menggunakan keragaman genetik yang dihasilkan oleh alam
(secara alami) lalu menseleksi tumbuhan tersebut dengan cara memilih yang cocok sesuai
kebutuhan mereka saat itu berdasarkan rasa, ukuran, ketahanan penyimpanan, ketahanan
dari cekaman lingkungan, dan sebagainya. Berawal dari hal tersebut, domestikasi
tanaman dimulai lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Dalam proses domestikasi, para
pemulia hanya mengharapkan mutasi dari alam, namun karena perubahan teknologi ke
arah yang lebih maju, para pemulia tanaman mulai mencoba melakukan mutasi dengan
cara – cara sederhana. Mutasi diperkenalkan pertama kali oleh Hugo de Vries pada tahun
1900. Mutasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1967 setelah berdirinya instalasi sinar
CO60 di pusat aplikasi isotope dan radiasi. Kultivar mutan yang dihasilkan dunia
mencapai 2.252 kultivar. Induksi mutasi hanya mengarahkan kepada keragaman suatu
spesies yang selanjutnya dilakukan seleksi karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa
tanaman yang dimutasi hanya membawa satu gen peubah saja (Hayward et al., 1994).
Semua jenis keragaman makhluk hidup adalah jelas disebabkan oleh adanya
mutasi. Pola keragaman yang terdapat pada mahluk hidup dapat dipastikan disebabkan
oleh mutasi. Pola – pola variasi yang terlihat pada tanaman terjadi karena adanya Evolusi.
Evolusi terdiri dari tiga komponen yaitu a) Mutasi, b) rekombinasi melalui hibridisasi, c)
seleksi (Syukur et al., 2013).
6

Terdapat dua unsur terjadinya mutasi: 1) Mutasi gen. Gen dapat bermutasi dari
bentuk dominan, bentuk resesif, ataupun sebaliknya, 2) Mutasi kromosom. Segmen
kromosom, suatu kromosom, atau set kromosom dapat terlibat dalam perubahan. Proses
ini disebut mutasi kromosom. Pengaruh dari mutasi kromosom ini akan ditekankan pada
diperolehnya susunan kromosom baru termasuk susunan gen didalamnya. Perubahan
susunan maupun jumlah kromosom ini disebut abrasi. Abrasi diklasifikasikan menjadi
dua: 1) Abrasi struktur kromosom yang meliputi delesi, duplikasi, inverse, dan
translokasi. 2) Abrasi jumlah kromosom yang terdiri dari: Euploid, jumlah kromosom
pada jumlah yang abnormal (monoploid atau haploid), dua set (diploid), tiga set (triploid),
empat set (tetraploid). Set yang terdiri dari lebih dari dua adalah poliploid, sedangkan
Aneuploid adalah bertambah atau berkurangnya satu kromosom atau lebih pada jumlah
set kromosom yang ada (Suzuki et al., 1981).
Teknik mutasi secara in vitro memiliki keunggulan antara lain mampu melibatkan
sejumlah besar bahan tanam dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan mutan baru
lebih cepat jika dibandingkan teknik mutasi secara ex-vitro (Ahloowalia, 1996).
Kelebihan lainnya yaitu: (1) mutasi dapat dilakukan pada tingkat sel sehingga peluang
untuk terjadinya kimera lebih kecil karena mutan yang dihasilkan berasal dari satu sel,
(2) laju mutasi lebih tinggi karena masing – masing sel mengalami kontak langsung
dengan mutagen, (3) dapat dilanjutkan dengan seleksi secara in vitro sehingga seleksi
terhadap mutan menjadi lebih efisien (Chahal et al., 2006).
Menurut Poespodarsono (1988) mutasi dapat terjadi secara alamiah, namun
peluang terjadinya sangatlah kecil berkisar 10-7 – 10-6. Penyebab mutasi alami antara
lain sinar kosmos, bebatuan radioaktif, dan sinar ultra violet matahari. Seiring kebutuhan
mutasi dan peningkatan kebutuhan penyesuaian tanaman, berbagai bahan dan metode
mutasi buatan atau induksi mutasi dilakukan manusia. Percobaan muller tahun 1927 yang
menggunakan X-Ray pada Drosophila, menunjukkan bahwa sinar-X dapat menyebabkan
perubahan genetik yang berbeda dengan aslinya. Hal ini merupakan awal dari mutasi
buatan dengan bahan tertentu yang disebut mutagen. Mutagen fisik dan kimia merupakan
alat untuk meningkatkan dan menghasilkan genetik yang beragam sampai tingkat
kromosom dan genom di nukleus dansitoplasma. Mutagen fisik diantaranya adalah sinar
X, radiasi sinar gamma, dan radiasi sinar UV. Mutagen kimia merupakan bahan yang
berbahaya jika penggunaanya tidak sesuai. Mutagen kimia diantaranya adalah Alkylating
7

agents, nitrous acid, hydroxylamine, imines and mustards, dan azides (Donini et al.,
1990). Salah satu mutagen kimia untuk induksi mutasi adalah colchicine. Colchicine
didapatkan dari ekstrak tanaman Krokus. Colchicine merupakan zat yang cukup efektif
dalam menginduksi mutasi pada genom tanaman. Colchicine mudah larut dalam air dan
bisa menginduksi sel - sel poliploid pada konsentrasi yang tidak beracun, selain itu
colchicine mempunyai spektrum yang luas bagi spesies tanaman. Aktifitas colchicine
adalah menggagalkan pembentukan benang–benang spindel dalam sitoplasma sehingga
kromosom membelah tapi tidak menuju ekuator, akibatnya pada waktu telofase
kromosom ganda hanya ada pada satu sel sehingga jumlah kromosomnya menjadi 2 kali.
Hanya sel – sel tetraploid atau kadang-kadang oktaploid yang mampu membelah
membentuk jaringan (Allard, 1989).
Beberapa peubah yang diamati dari planlet kentang kultivar Atlantik setelah
dilakukan mutasi pada MV1 (Mutan Vegetatif 1) sebagai berikut :
a. Persentase kontaminasi (%)
Pengamatan persentase kontaminasi dilakukan setelah perendaman dan
penanaman. Pengamatan dilakukan sampai 8 MSP Persentase eksplan hidup = (Σ eksplan
yang ditanam – mati- terkontaminasi) x 100 % Σ eksplan yang ditanam.
b. Tinggi tunas aksilar (cm)
Pengukuran tinggi tunas aksilar dimulai dari permukaan media hingga titik
tumbuh daun tertinggi. Pengukuran tinggi tunas dilakukan dengan menggunakan
penggaris 20 cm diluar botol kultur dari 1 MSP hingga 8 MSP.
c. Jumlah daun.
Menghitung jumlah daun yang tumbuh pada tunas dari minggu pertama setelah
perlakuan perendaman sampai 8 MSP. Penghitungan daun berdasarkan daun yang telah
membuka penuh.
d. Jumlah buku
Menghitung jumlah buku pada tunas setelah perlakuan perendaman colchicine
hingga minggu 8 setelah perlakuan.
e. Jumlah akar dan Panjang akar
Pengamatan jumlah dan panjang akar dilakukan dengan menghitung akar secara
manual baik akar di bawah media atau di atas media (di buku tunas). Perhitungan panjang
8

akar diukur dari akar planlet yang paling panjang menggunakan benang dari bawah gelas
media.
f. Stomata dan Kloroplas
Pengamatan stomata dan kloroplas dilakukan di laboratorium Micro Technique
Agronomi Hortikultura. Stomata dan kloroplas yang di analisis merupakan daun planlet
kentang Atlantik MV0. Jumlah stomata yang dihasilkan dibagi dengan bidang pandang
mikroskop 4x10 yaitu 0,19625 mm² sehingga dihasilkan angka kerapatan stomata.
Pengamatan jumlah kloroplas menggunakan 3 sampel daun per-ulangannya pada
planlet yang berbeda (1 daun setiap planlet). Perhitungan ukuran (panjang lebar) stomata
dilakukan dengan perbesaran mikroskop 40x10. Setiap ulangan di analisis 1 sampel daun
per-ulangannya, tetapi dari satu sampel daun digunakan 3 stomata untuk diukur sel
penjaganya. Pengukuran dibantu dengan aplikasi komputer DP2 BSW yang terhubung
langsung dengan mikroskop.
g. Keragaan Fenotipe
Menganalisis perbedaan fenotipe hasil perlakuan colchicine dengan kontrolnya
seperti warna daun dan tunas, phyllotaxis daun, ukuran daun dan tunas aksilar, dan
lainnya.

KESIMPULAN
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman setahun (annual) yang
berbentuk semak atau herba dan terdiri dari stolon, umbi, batang, daun, bunga, buah dan
biji, serta akar. Batang kentang berada di atas permukaan tanah. Panjang batang tanaman
kentang sekitar 30 - 100 cm diatas permukaan tanah.
Setiap upaya perbaikan genetik tanaman memerlukan keragaman genetik. Para
pemulia tanaman kuno menggunakan keragaman genetik yang dihasilkan oleh alam
(secara alami) lalu menseleksi tumbuhan tersebut dengan cara memilih yang cocok sesuai
kebutuhan mereka saat itu berdasarkan rasa, ukuran, ketahanan penyimpanan, ketahanan
dari cekaman lingkungan, dan sebagainya.
9

DAFTAR PUSTAKA
Arianto S.E., Parjanto., dan Supriyadi. 2011. Pengaruh colchicine terhadap keragaman
fenotipe dan jumlah kromosom jahe. J UMK. [Internet]. [diunduh 2016 Mei 05]; 4(2):87-
98. Tersedia pada: http://jurnal.umk.ac.id/?page_id=1501.
Dwiningsih W. 2004. Pengaruh lama perendaman dan konsentrasi colchicine terhadap
pertumbuhan tunas jahe Emprit (Zingiber officinale R.) In Vitro [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Escandon A.S., Hagiwara J.C., and Alderete L.M. 2006. A new variety of Bacopa
monniery obtained by in vitro polyploidization. J biotech. 9(3): hlm 181 – 186.
Fong S.W. 2007. In vitro induction of polyploidi in Nepenthes gracilis [tesis]. Malaysia
(MY): University of Malaya Kuala Lumpur.
Kusumaningrum I.S. 2007. Evaluasi pertumbuban in vitro umbi mikro dan produksi
beberapa klon kentang (Solanum tuberosum l.) hasil persilangan kultivar Atlantik dan
Granola. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
ukmana R. 1997. Kentang: Budidaya dan Pasca Panen. Jakarta (ID): Kanisius.
Samadi. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta (ID) : Kanisius.
Santoso U. dan Nursandi F. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Malang (ID) : UMM Press.

You might also like