You are on page 1of 8

ADOPSI

Pengertian Adopsi dalam Penyuluhan Pertanian


Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan
(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang
setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
Penerimaan disini mengandung arti tidak sekadar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat
melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan
usaha taninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan,
dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan “adaptasi” yang berarti penyesuaian. Di dalam proses
adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih
merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap
kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang
“baru” (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang “baru” yang ditawarkan dan diupayakan oleh
pihak lain (penyuluh).
Perilaku yang dimaksud setelah menerima inovasi, yaitu:
1) Perubahan Pengetahuan (Kognitif)
Terjadi melalui penyampaian info inovasi sehingga masyarakat menjadi tahu. Teknik
penyampaian pengetahuan ada dua macam, yaitu penyampaian secara massal dan
penyampaian secara individual. Menurut Ban dan Hawkins (2010) perubahan kognitif
seseorang menyebabkan perbedaan persepsi seseorang walaupun dalam situasi yang
sama, sehingga dalam tahap ini harus dilakukan redundancy (pengulangan pesan), yaitu
menentukan suatu strategi yang dapat mewakili suatu gagasan yang mengacu pada
sebagian besar gaya kognitif.

2) Perubahan Sikap (Afektif)


Terjadi ketika masyarakat tahu dan memahami informasi inovasi yang diberikan dimana
pemahaman tersebut diperoleh dengan belajar secara lebih mendalam terhadap informasi
inovasi yang disampaikan. Perubahan ini terjadi berkenaan dengan sikap, kemampuan,
dan penguasaan segi – segi emosional, yaitu perasaan dan nilai. Menurut Tika (2010) nilai
yang dimaksud adalah asumsi dasar mengenai hal – hal yang ideal diinginkan atau
berguna antara lain : hakikat dengan lingkungan, hakikat orientasi waktu, hakikat sifat
manusia, hakikat aktivitas manusia, hakikat hubungan manusia, hakikat kebenaran dan
hakikat universalisme / partikularisme.

3) Perubahan Ketrampilan (Psikomotorik)


Perubahan ini berkenaan dengan suatu keterampilan atau gerakan – gerakan fisik
(tindakan). Hughes dkk (2012) berpendapat bahwa tindakan dipengaruhi oleh persepsi
(afektif). Variabel persepsi yang mempengaruhi tindakan tersebut salah satunya adalah
ramalan pemenuhan diri (self – fullfiling prophecy), yang terjadi ketika ekspektasi atau
prediksi sasaran memainkan peran yang berhubungan dengan kejadian yang di ramalkan
misal, fenomena sosial atau fenomena hal baru yang terjadi dan ekspetasi masyarakat
terhadap orang lain terutama orang asing. Berdasarkan hal tersebut, penting bagi
penyuluh untuk memahami ekspetasi masyarakat terhadap orang lain (terutama penyuluh
itu sendiri).
Tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu: tahap
pengetahuan (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan (decision) dan
konfirmasi (confirmation), dimana konfirmasi merupakan bagian dari perefleksian dan
pengembangan adopsi secara berkelanjutan (Hughes dkk,2012). Penyuluh dalam melakukan
adopsi dan inovasi ke masyarakat harus memperhatikan tiga pokok falsafah penyuluhan
antara lain:
i) penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat,
ii) penyuluh tidak menciptakan ketergantungan, tetapi menciptakan kemadirian sehingga
tercapai kesejahteraan,
iii) penyuluh harus terampil dan membuat masyakarat menjadi terampil
Tahapan Adopsi Inovasi
1. Kesadaran (Awareness)
Merupakan kesadaran terhadap permasalahannya, sehingga masyarakat akan
terpacu berfikir kreatif dimana terfokus pada unsur pribadi dengan segala
keunikannya (Rivai dan Arifin, 2009). Menurut Hughes dkk (2012), unsur pribadi
(kepribadian) merupakan struktur tak terlihat dan proses yang mendasari di dalam
diri seseorang yang menjelaskan alasan berperilaku yang cenderung relatif sama
di situasi yang berbeda dan ataupun berbeda dari perilaku orang lain. Unsur
pribadi tersebut biasanya terjadi karena kekuatan sifat – sifat yang mereka miliki.
Sifat – sifat ini biasanya akan berinteraksi dengan faktor eksternal terutama pada
berbagai faktor situasional.

2. Minat (Interest)
Keinginan untuk mengetahui lebih lanjut inovasi yang ditawarkan dengan cara
memancing rasa ingin tahunya (Ban dan Hawkins, 2010). Minat tersebut
merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan bila
orang tersebut diberi kebebasan untuk memilih. Pada suatu masyarakat pedesaan,
umumnya motivasi yang sering muncul adalah motivasi sosial. Menurut Gross
(2014), motivasi sosial merupakan proses aktifitas yang meliputi inisiasi,
pengarahan, energisasi, terhadap tingkah laku individu berdasarkan situasinya,
yaitu pada saat orang lain berada dekat dengan individu yang bersangkutan.

3. Evaluasi (Evaluation)
Menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi. Tahap inimerupakan
titik kritis karena merupakan faktor yang paling menentukan dalam menimbulkan
semangat akan suatu program inovasi yang di jalankan (Musyafak dan Ibrahim,
2005). Hughes dkk (2012) menerangkan, selain manfaat dan kekurangan
penggunaan inovasi, salah satu yang menjadi pertimbangan lain dalam melakukan
adopsi adalah keahlian masyarakat, sifat pribadi masyarakat akan perkembangan
serta hierarki kebutuhan masyarakat.
4. Percobaan/Percontohan (Trial)
Melakukan percobaan untuk menguji sendiri inovasi dalam skala kecil. Pada tahap
ini, penyuluh harus membuat miniatur/model inovasi terlebih dahulu. Tujuannya
adalah untuk meyakinkan penilaian inovasinya sehingga ketika penyuluh
melakukan percontohan pada petani, maka petani merasa ingin menerapkan dalam
usaha tani nya. Sederhananya, penyuluh berperan untuk menuntun petani agar
secara teknis dapat mempraktekan inovasi secara mandiri. Penyuluh harus aktif
melakukan supervisi, karena apabila mengalami kegagalan maka kepercayaan
petani akan inovasi yang diberikan akan sirna seketika. Hilangnya kepercayaan
akan menyulitkan untuk mengadopsi kembali inovasi yang telah disuluhkan
(trauma) (Baba, 2008).

5. Menerima dan Menerapkan (Adopsi)


Menerima dan menerapkan inovasi dengan penuh keyakinan berdasarkan
penilaian dan uji coba yang telah dilakukan atau diamatinya sendiri sehingga
tercapai ketepatan umpan balik. Hal tersebut karena umpan balik berkaitan dengan
kecepatan pelaksanaan dimana pada akhirnya akan memengaruhi ketepatan
pengambilan keputusan (Ban dan Hawkins, 2010).

DIFUSI
Pengertian Difusi dalam Penyuluhan Pertanian
Proses difusi adalah pembesaran adopsi inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke
individu lain dalam sistem sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses
difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah jika
dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari “luar” sistem sosial masyarakat
sasaran. Sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari sistem sosial masyarakat
sasaran itu sendiri. Kecepatan difusi juga tergantung kepada aktivitas yang dilakukan oleh
penyuluhnya sendiri.
Sehubungan dengan hal itu, percakapan tentang kekuatan – kekuatan yang mendorong
penyuluhan dan percakapan tentang peran penyuluh, setiap penyuluh diharapkan dapat
mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi, melalui :
1) Melakukan diagnosa terhadap masalah masyarakatnya, serta kebutuhan – kebutuhan
nyata (real need) yang belum dirasakan masyarakatnya.

2) Adanya kebutuhan baru yang mendorong masyarakat untuk siap melakukan


perubahan – perubahan sedemikian rupa sehingga dengan kesadarannya sendiri
mereka termotivasi untuk melakukan perubhan – perubahan. Menurut Musyafak dan
Ibrahim (2005),agar mereka termotivasi melakukan inovasi, penyuluh harus
menyampaikan inovasinya dengan cara yang bermutu. Giblin (2004) menambahkan
bahwa untuk memotivasi sasaran mendifusi inovasi, langkah yang harus dilakukan
adalah mengetahui apa yang akan membuat sasaran melakukannya (apa yang mereka
inginkan, apa yang mereka cari, apa yang mereka suka) karena apabila penyuluh
mengetahui apa yang menggerakkan sasaran, penyuluh akan mengetahui bagaimana
caranya menggerakkan sasaran.

3) Menjalin hubungan erat dengan masyarakat sasaran, membuat mereka yakin bahwa
mereka mampu memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhan
– kebutuhan yang baru.

4) Mendukung dan membantu masyarakat sasaran, agar keinginannya dapat menjadi


nyata untuk melakukan perubahan. Menurut Sumarno (2010) agarmasyarakat dapat
melakukan tindakan nyata untuk melakukan perubahan,penyuluh harus memilih
stimuli yang akan atau telah disampaikannya. Stimuli harus memiliki pengaruh nyata.
Stimuli yang memiliki pengaruh nyata dalam difusi inovasi adalah informasi inovasi
yang telah diterima oleh sasaran, karena informasi ini berperan untuk mengurangi dan
menghilangkan ketidakpastian atau jumlah yang kemungkinan alternatif,dengan kata
lain, informasi sangat berperan dalam mempengaruhi pembentukan atau perubahan
sikap seseorang terhadap suatu objek, sehingga makin banyak (berulang) informasi
yang diperoleh seseorang maka semakin mantap sikap orang terhadap suatu pilihan
dan akan menghilangkan ketidakpastian.

5) Memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran, pada akhirnya melepaskan


mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan tanpa harus selalu
menggantungkan bantuan guna melakukan perubahan yang dapat mereka laksanakan
sendiri.
Model Difusi Inovasi dalam Penyuluhan Pertanian
Proses penyebaran inovasi dari suatu sumber inovasi kepada anggota-anggota suatu system
sosial digambarkan dalam model difusi inovasi. Dengan menganggap bahwa sumber inovasi
hanya berasal dari lembaga penelitian, maka terdapat tiga model difusi inovasi, yaitu: Model
Top Down, Model Feed Back dan Model Farmer Back To Farmer.
1) Model Top Down
Model ini dikemukakan oleh A.H. Bunting (1979), mendeskripsikan model top down
ini sebagai model penyuluhan pertanian konvensional sebagai mana halnya proses
komunikasi yang melibatkan tenaga teknis dan administrasi penyuluhan, yang
diwakili peneliti yang menghasilkan teknologi yang ditransmisikan melalui
penyuluhan kepada petani produsen atau sasaran yang diharapkan.

2) Model Feedback
Model Feedback ini dikembangkan oleh Benor dan Horison (1977). Model feedback
ini dikenal sebagai training dan visit system atau di Indonesia disebut system latihan
kunjungan (system LAKU). Model ini dianggap sebagai perbaikan model Top-Down,
yaitu dengan mempertimbangkan mekanisme umpan balik antara peneliti- penyuluh
pertanian. Dalam model ini, peneliti bekerja di laboratrium dapat memahami dengan
baik reaksi petani terhadap teknologi yang dihasilkan peneliti, sehingga terjadi
komunikasi langsung antara pakar agronomi, pakar ilmu-ilmu sosial dan penyuluh
yang bekerja dengan petani di lapang.

3) Model Farmer Back To Farmer


Model ini dikemukakan oleh Rhoades dan Booth (1982) yang mengasumsikan bahwa
penelitian harus dimulai dan diakhiri dari petani. Dengan demikian dalam model
difusi ini terdapat informasi yang lengkap dan akurat mengenai realitas usaha tani.
Model juga mengasumsikan bahwa petani memiliki masalah teknologi dan berusaha
untuk memecahkanya. Kunci perbedaan dengan model difusi lainnya adalah
fleksibilitas dan penelitian ditingkat petani untuk mengidenfikasi sumber daya yang
ada ditingkat usaha tani.

Studi Kasus, Pengembangan Tanaman Hortikultura Dataran Tinggi di Desa Pulu-Pulu,


Kecamatan Buntupepasan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan
Salah satu komoditas pertanian dataran tinggi yang mempunyai potensi untuk dikembangkan
dalam agroindustri adalah buah terong toraja yang memiliki nama latin Solanum Betaceum.
Terong toraja memiliki perawakan yang kecil dan rasa yang manis sehingga cocok untuk
dijadikan aneka jenis minuman maupun dikonsumsi secara langsung. Oleh sebab itu,
diperlukan upaya dalam teknologi budidaya dengan menerapkan inovasi secara organik.
Dengan demikian, diharapkan dengan adanya terong toraja organik dapat meningkatkan nilai
tambah pada buah terong toraja dan menjamin kesehatan konsumen. Peneilitan ini bertujuan
mengetahui dan menganalisis tahapan adopsi inovasi teknologi budidaya terong toraja
organik serta Mengetahui proses difusi inovasi terong toraja organik pada masyarakat tani di
Toraja Utara. Penelitian ini dilakukan di Desa Pulu-Pulu, Kecamatan Buntupepasan,
Kabupaten Toraja Utara. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive
sampling), yaitu pemilihan secara langsung dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut
merupakan salah satu daerah yang mengusahakan Terong Belanda di Kabupaten Toraja Utara.
Analisis data menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, menghitung tingkat adopsi dan
menjelaskan proses difusi yang terjadi di masyarakat tani. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tahapan adopsi mulai dari tahapan kesadaran hingga tahapan adopsi mengalami
perubahan, dimana pada tahapan kesadaran, minat, dan evaluasi mayoritas petani tergolong
dalam kategori cukup tinggi, masuk pada tahapan percobaan dan adopsi mayoritas petani
tergolong dalam kategori tinggi. Adapun hasil rekapitulasi dari tahapan-tahapan adopsi, maka
tingkat adopsi petani terhadap teknologi budidaya terong toraja organik berada pada kategori
cukup tinggi dengan persentase 76,67%, dimana sebanyak 23 orang berada pada kategori
cukup tinggi, 5 orang berada pada kategori tinggi, dan 2 orang berada pada kategori sangat
rendah. Cukup tingginya adopsi petani terhadap teknologi budidaya terong toraja organik
dikarenakan sifat inovasi dan biaya inovasi yang tidak memberatkan petani.
Pada proses difusi (penyebaran) inovasi masyarakat tani di Desa Pulu-Pulu berlangsung
dengan baik dikarenakan pada umumnya masyarakat di desa Pulu-pulu memiliki hubungan
kekerabatan atau keluarga sehingga penyebaran inovasi di dalam masyarakat tani Pulu-pulu
berlangsung dengan baik, namun dalam proses difusi inovasi masih ditemukan hambatan
hambatan yang dapat mempengaruhi penyebaran inovasi yaitu hambatan aksesbilitas,
hambatan komunikasi, dan hambatan struktural.

Sumber :
 https://debbyeka.blogspot.com/2017/07/adopsi-inovasi-dan-difusi-inovasi.html
 https://www.academia.edu/7977817/PAPER_PENYULUHAN_ADOPSI_DIFUSI_IN
OVASI_and_POD_terhadap_DK?auto=download
 http://agro-sosial.blogspot.com/2013/05/adopsi-dan-difusi-inovasi-dalam.html
 http://www.unhas.ac.id/pertanian/index.php/id/repository/func-finishdown/575/

ADOPSI DAN DIFUSI DALAM PENYULUHAN PERTANIAN


Mata Kuliah : Manajemen Penyuluhan
Dosen Pengampu : Ir. Welson Wangke, MS

Oleh:

KELOMPOK 4 KELAS B
 RIFFANI KANSIL (16031104087)
 ANDIKHA SONITH (16031104092)
 CLAUDIA A.A. UNDAP (16031104093)
 GEIBY N. WAWO (16031104094)
 GRACETYANI O. NAIBAHO (16031104095)

Jurusan Sosial Ekonomi Program Studi Agribisnis


Fakultas Pertanian
Universitas Sam Ratulangi
Manado
2019

You might also like