Professional Documents
Culture Documents
APPENDISITIS AKUT
NPM : 1102014215
Pembimbing :
2. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri
di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan
(Rukmono, 2011).
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia,
dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
1
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc.
Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum (Rukmono, 2011).
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang
purulen (Rukmono, 2011).
d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya (Rukmono, 2011).
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan
pelvikal (Rukmono, 2011).
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh
jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).
g. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat
(Rukmono, 2011).
2
3. Pathogenesis & Patofisiologi
Appendicitis umumnya disebabkan oleh karena adanya agen obstruktif di
dalam lumen appendix, seperti fecalith (feses yang mengeras/membatu), corpus
alienum (misal: kelereng, batu, dll), parasit (misal: ascaris), dll. Karena appendix juga
usus, maka struktur ini juga menghasilkan sekret berupa mucus tiap hari ke dalam
lumen appendix dan nantinya akan bermuara ke lumen caecum. Akibat alirannya
tersumbat akhirnya sekret tadi tidak bisa dibuang dan tertimbun terus menerus.
Obstruksi juga bisa disebabkan oleh agen obstruktif estra lumenar, misal: hipertrofi
folikel limfoid tela submucosa, appendix tertekuk, dll.
Appendicitis juga bisa langsung disebabkan oleh infeksi. Agen infeksi dapat
berasal dari dua tempat, yaitu intralumenar dan hematogenesis. Infeksi dapat
merupakan tahap lanjut dari proses peradangan appendix setelah terjadi obstsruksi
lumen appendix. Bisa juga appendicitis terjadi tanpa melalui obstruksi terlebih dahilu.
Missal appendicitis yang terjadi akibat penekanan eksterna appendix oleh pita dan
tekanan intralumen yang tinggi di dalam caecum.
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
3
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium (Price, 2005). Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).
4. Epidemiologi
Kejadian apendisitis di indonesia menurut data yang dirilis oleh Kementerian
Kesehatan RI pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan persentase 3.36% dan
meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase 3.53%.
Apendisitis merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua di Indonesia pada
rawat inap di rumah sakit pada tahun 2009 dan 2010.
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari
pada wanita (Sandy, 2010).
Apendisitis bisa terjadi pada semua usia namun jarang terjadi pada usia
dewasa akhir dan balita, kejadian apendisitis ini meningkat pada usia remaja dan
dewasa. Usia 20 – 30 tahun bisa dikategorikan sebagai usia produktif, Dimana orang
yang berada pada usia tersebut melakukan banyak sekali kegiatan. Hal ini
menyebabkan orang tersebut mengabaikan nutrisi makanan yang dikonsumsinya.
Akibatnya terjadi kesulitan buang air besar yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan pada rongga usus dan pada akhirnya menyebabkan sumbatan pada saluran
4
apendiks. Penelitian Indri U, dkk (2014), mengatakan risiko jenis kelamin pada
kejadian penyakit apendisitis terbanyak berjenis kelamin laki-laki dengan presentase
72,2% sedangkan berjenis kelamin perempuan hanya 27,8%. Hal ini dikarenakan laki-
laki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja dan lebih
cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan
beberapa komplikasi atau obstruksi pada usus yang bisa menimbulkan masalah pada
sistem pencernaan salah satunya yaitu apendisitis.
5. Etiologi
• Parasit (kadang)
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara
5
lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat
obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi
resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan kesehatan yang diberikan oleh layanan
kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain
adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi
defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko
6. Diagnosis
b. Pemeriksaan Fisik
6
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi di dapat penderita berjalan
perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan
dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
7
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat peristaltik
normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal
Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).
pada tabel 2
Interpretasi:
Skor 7-10 = apendisitis akut,
Skor 5-6 = curiga apendisitis akut,
Skor l-4 = bukan apendisitis akut.
Pembagian ini berdasarkan studi dari McKay (2007).
8
c. Pemeriksaan Penunjang
I. Pemeriksaan laboratorium
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada
ginjal.
9
struktur susunan (layered) appendix (target sign), dinding yang destruksi,
dan adanya purulent fluid/ fecaliths di lumen appendix. Adanya fluid
accumulation menandakan pembentukan abscess/ perforation. Appendix
normalnya terlihat tubular, elongasi, dan berstruktur seperti sekum dengan
tampilan lamellate karena lapisan histologisnya. Diameter transversal <6
mm, berbentuk ovoid/oval apabila difoto dengan kompresi. Appendix
normal adalah compressible, mobile, dan tidak menunjukkan adanya
perubahan pada echogenitas sekitar lemak.
Longitudinal real-time US scan of a normal appendix. Diameter 0.3 cm. ** psoas muscle, * rectus
muscle, x caecum, + terminal ileum
Figure 3. Ultrasound appearance of a normal cecal appendix. a) Axial image which shows the
appearance of concentric rings with alternating echogenicity (white arrows), which represent the
mucosa, the muscle and serous of the appendix. b) The cecal appendix can be observed in the
longitudinal axis, in its most common location (white arrows), at a medial position against the iliac
vessels (color Doppler – orange arrow).
10
Perforated appendicitis. Axial ultrasound image where a distended appendix can be visualized due to
an inflammatory process (calipers), associated with a surrounding liquid projection, secondary to
perforation (asterisk).
Acute appendicitis associated with appendicolith. a) Axial image of the thickened cecal
appendix (white arrows), with a diameter of 11 mm, which is not modified with the
compression maneuvers in (b). b) Similarly, an alteration in the echogenicity of adjacent fat
can be seen (*), as well as an image of associated fecalith (black arrow). c) Ultrasound in a
longitudinal cut of the appendix of another patient, where a round echogenic image (arrow),
and a posterior acoustic shadow in its interior can be seen, representing an appendicolith
11
jaringan adiposa periappendiceal, dan/atau adanya kantung asites. CT
dapat melihat pembesaran appendix, tetapi tidak dapat menilai struktur
dinding appendix seperti USG. Oleh karena itu ultrasonography lebih
superior dibanding CT dalam menilai derajat keparahan appendicitis
dilihat dari perubahannya.
Tomographic appearance of a normal cecal appendix. Gas can be visualized in the interior, as well
as thin walls and a diameter under 6 mm. Close-up of a tomography with an oral and intravenous
contrast in a coronal plane (a and b), where the location of the peri-ileal and paracecal appendix can
be visualized, respectively. c) Close-up of a CT of the abdomen in a saggital plane, where the cecal
appendix is visualized, with normal morphology and caliber in the retrocecal location.
Coronal image of a CT with contrast medium which shows a thickened cecal appendix, with
a diameter of 14 mm (arrow), with heterogenous thickening and enhancement of its walls (3
mm) and with inflammatory changes in the periappendicular fat.
12
Coronal reconstruction of a CT of the abdomen with a contrast medium where the distended
cecal appendix can be seen (white arrows), with enhancement of its walls, and calcified
image which corresponds to an appendicolith at its base (gray arrow).
PENUTUP
CT scan sebagai gold standar pemeriksaan dalam menegakkan diagnosis appendicitis lebih
baik dalam menemukan kelainan pada appendix dibandingkan USG. Akan tetapi perlu
diperhatikan kembali akan risiko radiasi CT scan yang lebih tinggi dan harganya yang lebih
mahal dibandingkan dengan USG. USG sebagai pemeriksaan radiologi yang konvensional
memiliki hasil yang sama kurang lebih jika dibandingkan dengan USG sehingga penggunaan
USG sebagai pemeriksaan radiologi dalam menegakkan diagnosis appendicitis masih sering
digunakan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Arevalo, O., et. al. 2014. Acute appendicitis: imaging findings and current approach to
diagnostic images. Rev Colomb Radiol Article Review : 25(1): 3877-88. Columbia.
Arifuddin, A., dkk. 2017. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis di Bagian Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu. Jurnal Preventif, Volume 8 Nomor 1, April 2017 : 1- 58
Craig, S., et. al. 2018. Appendicitis. Accessed on
ttps://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
Gomes et al. 2015. Acute appendicitis: proposal of a new comprehensive grading system
based on clinical, imaging and laparoscopic findings. World Journal of Emergency
Surgery 10:60. BioMed Central.
Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of
Family Physicians. Texas A&M University Health ScienceCenter, Temple, Texas.
Ishikawa, H. 2003. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. Journal of Medical
Association Japan 46(5): 217–221.
Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta
Price, S. A. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit ed. 6. EGC :
Jakarta.
Reksoprodjo, S,. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang, Binarupa Aksara.
Rukmono, 2011. Bagian Patologik Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2011. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.