You are on page 1of 59

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN JAMBU BIJI (Psidium

guajava L.) DI KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA


BOGOR

DESY NUR AVIFAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hama dan Penyakit
Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L) di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Desy Nur Avifah


NIM A34130041
ABSTRAK

DESY NUR AVIFAH. Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava
L) di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Dibimbing oleh HERMANU
TRIWIDODO dan EFI TODING TONDOK.

Jambu biji (Psidium guajava L) merupakan salah satu komoditas unggulan


hortikultura di Indonesia. Jambu biji banyak ditanam di beberapa wilayah dan
buahnya banyak digemari dan dikonsumsi masyarakat Indonesia karena memiliki
kandungan vitamin C paling tinggi. Hama dan penyakit dapat menyebabkan
turunnya kuantitas dan kualitas jambu biji. Hama dan penyakit pada tanaman jambu
biji belum dilaporkan di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui budidaya tanaman jambu biji, menyediakan informasi hama
dan penyakit tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor.
Penelitian dimulai bulan Oktober hingga Maret 2017. Metode penelitian yang
dilakukan meliputi wawancara, pengamatan dan pengambilan sampel tanaman
contoh, identifikasi hama dan penyakit di laboratorium, dan analisis data. Hama dan
penyakit tanaman yang ditemukan pada pertanaman jambu biji di Kecamatan Tanah
Sareal adalah kepik penghisap (Hemiptera: Miridae), belalang (Orthoptera:
Acrididae), ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae), ulat jengkal (Lepidoptera:
Geometridae), ulat pucuk (Lepidoptera: Pyralidae), kutu tempurung (Hemiptera:
Coccidae), wereng pucuk (Hemiptera: Flatidae), dan kutu putih (Hemiptera:
Pseudococcidae). Penyakit yang ditemukan adalah penyakit karat merah akibat alga
hijau (Cephaleuros sp.), antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides), serta kanker
buah (Pestalotia sp.). Yang berpotensi sebagai hama dan penyakit penting yang
menyebabkan kerugian secara langsung adalah Helopeltis sp. dan kanker buah
(Pestalotia sp.). Selain Helopeltis sp. lalat buah (Diptera : Tephritidae) juga
merupakan hama utama tanaman jambu biji, namun pada saat pengamatan tidak
ditemukan. Hal ini disebabkan karena petani telah melakukan pengendalian dengan
cara membungkus buah sehingga lalat buah tidak dapat menyerang. Pembungkusan
buah sekaligus dapat mengendalikan Helopeltis sp., kanker buah (Pestalotia sp.),
dan antraknosa.

Kata kunci : budidaya, jambu biji, kejadian penyakit, kejadian serangan hama,
keparahan penyakit
ABSTRACT

DESY NUR AVIFAH. Pests and Diseases of Guava (Psidium guajava L.) at Tanah
Sareal, Bogor. Supervised by HERMANU TRIWIDODO and EFI TODING
TONDOK.

Guava (Psidium guajava L.) is one of important horticultural commodity in


Indonesia. The plants are grown in many areas and the fruits are consumed by many
Indonesian because it has the highest vitamin C content. Pest and disease problems
can decrease quantity and quality of guava. There are not much information about
pests and diseases of guava in Tanah Sareal Sub-district, Bogor City. The objectives
of this study are to provide information about cultivation system, pests and disease
of guava plant in Tanah Sareal, Bogor City. The research was conducted on October
2016 to March 2017. The methods of research are interviewing guava farmers,
sampling and observing plant samples, identification of pests and diseases, and data
analysis. The pests found during observation were mosquito bug (Hemiptera:
Miridae), grasshopper (Orthopthera: Acrididae), bagworm (Lepidoptera:
Psychidae), looper (Lepidoptera: Geometridae), pyralid (Lepidoptera: Pyralidae),
green scale (Hemiptera: Coccidae), flatid planthooper (Hemiptera: Flatidae), and
mealy bugs (Hemiptera: Pseudococcidae). Meanwhile diseases were red rust
disease caused by green alga (Cephaleuros), anthracnose (Colletotrichum
gloeosporioides) and fruit cancer (Pestalotia). Helopeltis sp. and fruit cancer
(Pestalotia) are the most important pest and disease of guava plant in Tanah Sareal
Sub-district. In addition to Helopeltis sp., fruit flies (Diptera : Tephtritidae) are also
the main pest of guava plants, but not found during the observation because farmers
wrapped the fruits. Wrapping can also prevent the fruits from Helopeltis sp., fruit
cancer (Pestalotia), and anthracnose.

Key words: cultivation, disease incidence, disease severity, guava, pest incidence
©HAK CIPTA MILIK IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
mnyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN JAMBU BIJI (Psidium
guajava L.) DI KECAMATAN TANAH SAREAL KOTA
BOGOR

DESY NUR AVIFAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L.) di
Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor”. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober
2016 sampai Maret 2017. Terimakasih tak terhingga penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi
atas segala kesabaran dalam memberi ilmu, bimbingan, arahan, fasilitas,
bantuan, motivasi, kritik dan saran sejak persiapan penelitian hingga penulisan
skripsi ini selesai.
2. Ibu Dr. Efi Toding Tondok, SP. MSc. Agr. selaku dosen pembimbing
akademik sekaligus pembimbing dua yang telah memberikan bimbingan dan
motivasinya.
3. Bapak Dr. Ir. Widodo, Msi selaku penguji tamu yang telah memberikan
masukan serta perbaikan pada penelitian dan naskah skripsi saya.
4. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman.
5. Petani Kecamatan Tanah Sareal yang telah menyediakan waktunya selama
proses penelitian berlangsung.
6. Kedua orangtua saya Ayahanda Mustangin dan Ibunda Djuniharti yang selalu
mendoakan dalam setiap hela nafas, selalu mengupayakan yang terbaik dan
motivasi yang luar biasa sehingga saya mampu berjuang hingga akhir.
7. Kakak saya Maretna Rizqa Ila Romadon, Amd Keb. dan adik Yuziqa Putri Nur
Fanda yang telah memberikan dukungan dan doa selama penulis menempuh
pendidikan.
8. Teman sebimbingan Winda Asih Mitrasari dan Dwi Andini Shiami atas
bantuan baik dalam proses penelitian maupun dalam diskusi serta perbaikan
penulisan.
9. Sahabat penulis Maya Eka Sari, Juliana Sani, Erci Eli Hayati, Eni Yuniasih,
Ratna Nengsih, yang selalu memberi semangat.
10. Teman seperjuangan Muhammad Basri, Ade Nendy Mulyana, Muhammad
Ikhsan, dan Fitrawati yang telah membantu dalam proses penelitian dan
penulisan serta rekan-rekan Proteksi Tanaman angkatan 50 yang telah memberi
dukungan, motivasi dan saran.
11. Teman – teman OMDA IPMRT, serta teman – teman lain yang tidak dapat
disebut satu persatu.
Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017

Desy Nur Avifah


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
BAHAN DAN METODE 3
Tempat dan Waktu 3
Metode Penelitian 3
Wawancara 3
Penentuan Lahan Pengamatan dan Petak Contoh 3
Pengamatan Hama dan Penyakit 4
Identifikasi Hama dan Penyakit 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Keadaan Umum Lokasi Penelitian 6
Profil Petani Responden 7
Budidaya Tanaman Jambu biji 9
Bibit dan Pola Tanam 9
Pengolahan Tanah dan Penanaman 10
Pemupukan 10
Pengendalian Gulma 11
Penggunaan Pestisida 12
Pemangkasan 12
Pembungkusan Buah 13
Pemanenan 13
Permasalahan dalam Usahatani Jambu Biji 14
Hama Tanaman Jambu Biji 14
Kejadian Serangan Hama 15
Hama Menggigit Mengunyah 15
Hama Menusuk Menghisap 18
Penyakit Tanaman Jambu Biji 23
Karat Merah 24
Antraknosa 24
Kanker Buah 26
SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
RIWAYAT HIDUP 35
DAFTAR TABEL

1 Penentuan nilai numerik tingkat keparahan penyakit karat merah 5


2 Kondisi cuaca pada saat pengamatan 7
3 Karakteristik petani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor 8
4 Kepemilikan lahan dan luas pengusahaan lahan jambu biji oleh petani 9
responden
5 Asal bibit jambu biji yang digunakan oleh petani responden 10
6 Pola tanam yang dilakukan oleh petani jambu biji di Kecamatan Tanah 10
Sareal, Bogor
7 Penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jambu biji oleh petani di 11
Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
8 Pengendalian gulma yang dilakukan oleh petani responden 12
9 Hama pada tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor 14
10 Kejadian serangan hama pada tanaman jambu biji varietas getas merah, 15
dan bangkok putih di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
11 Kejadian penyakit pada tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal 23

DAFTAR GAMBAR

1 Denah penentuan tanaman contoh untuk pengamatan hama dan 3


penyakit jambu biji
2 Pedoman perkiraan persentase gejala dan tanda penyakit karat merah 4
pada daun jambu kristal
3 Peta lokasi lahan penelitian 6
4 Kondisi lahan pengamatan Jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal : 7
jambu biji varietas getas merah (a) dan jambu biji varietas bangkok
putih (b)
5 Belalang Valanga sp. 15
6 Ulat kantung dan gejala kerusakan pada tanaman jambu biji getas 16
merah dan bangkok putih : gejala pada daun (a), ulat kantung spesies
1 (b), dan ulat kantung spesies 2 (c)
7 Gejala kerusakan beserta larva ulat pucuk : gejala ringan pada pucuk 17
daun (a) dan gejala berat beserta larva ulat pucuk (b)
8 Ulat jengkal 18
9 Gejala dan imago Helopeltis sp. : Imago Helopeltis sp. (a), gejala 19
nekrotik bekas tusukan Helopeltis sp. pada buah (b), dan buah
mengering pada serangan lanjutan Helopeltis sp. (c)
10 Kutu putih : F. Virgata (a), R. spinosus (b) ,dan preparat F. Virgata (c) 21
11 Kutu tempurung pada buah jambu biji 22
12 Wereng pucuk pada ranting tanaman jambu biji 23
13 Gejala dan penyebab penyakit karat merah : Gejala pada serangan berat 24
oleh Cephaleuros sp. (a) dan Cephaleuros sp. (b)
14 Gejala dan penyebab penyakit antraknosa : Gejala serangan oleh 25
Colletotrichum (a) dan konidia cendawan Colletotrichum
gloeosporioides (Perbesaran 40X10 ) (b)
15 Gejala dan penyebab penyakit kanker buah : Gejala pada serangan berat 26
oleh Pestalotia sp. (a) dan konidia Pestalotia sp. (Perbesaran 40 X 10)
(b)
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia termasuk salah satu wilayah yang kaya akan buah-buahan, salah
satunya adalah jambu biji (Psidium guajava L). Jambu biji merupakan salah satu
komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia dan
memiliki rasa yang khas. Selain itu kandungan gizi yang cukup tinggi membuat
buah ini disukai oleh masyarakat. Dalam setiap 100 g jambu biji masak segar
terdapat 87 mg vitamin C. Kandungan lain pada jambu biji yaitu vitamin A, B,
protein, kalsium, fosfor, karbohidrat, lemak serta zat besi yang diperlukan oleh
tubuh manusia. Buah jambu biji dapat dimanfaatkan dalam bentuk konsumsi buah
segar atau dalam bentuk produk olahan seperti jus, eskrim, jeli, pasta atau selai
(Gould dan Raga 2002). Selain buahnya daun jambu biji telah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia sebagai obat diare (Ashari 2006).
Jambu biji (psidium guajava) sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki,
atau jambu batu, dengan varietas ada Getas Merah, Sukun Merah, Sukun Farang,
Lokal, Pear, dan Kristal (Ochtavia 2015). Jambu biji adalah salah satu tanaman
buah jenis perdu. Jambu biji dapat tumbuh di daerah tropis maupun sub-tropis.
Tanaman jambu biji di Indonesia telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-
daerah Pulau Jawa meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
dan Jawa Timur. Morton (1987) menyatakan bahwa tanaman jambu biji termasuk
tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan seperti kekeringan, lahan
berbatu, pH rendah, tetapi tidak tahan terhadap beku (frost) . Di daerah tropis,
tanaman jambu biji dapat tumbuh pada suhu 15 sampai 45 oC namun hasil terbaik
diperoleh pada suhu antara 23 sampai 28 oC (Soetopo 1992).
Tingkat produksi jambu biji mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun
terakhir. Produksi jambu biji di Indonesia berturut-turut dari tahun 2011 sampai
2015 adalah 211 836 ton/tahun, 208 151 ton/tahun, 181 632 ton/tahun, 187 406
ton/tahun, 195 743 ton/tahun (BPSDJH 2015). Produksi jambu biji di Jawa Barat
pada tahun 2014 sebanyak 477 636 kw dengan produksi tertinggi pada kabupaten
Cirebon (85 698 kw) dan Bogor (52 720 kw) (BPS 2014). Fluktuasi produksi jambu
biji tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah serangan
hama dan patogen. Perawatan tanaman jambu biji sebenarnya tergolong mudah
tetapi apabila penanaman suatu komoditas pertanian secara luas dan monokultur
berpeluang menjadi salah satu penyebab terjadinya outbreak suatu hama atau
penyakit (Jaya 2009).
Secara umum, kerusakan oleh hama dan penyakit berpengaruh terhadap hasil
panen secara kuantitas maupun kualitas yang mengakibatkan kerugian ekonomi.
Pengendalian OPT seringkali membutuhkan biaya yang cukup besar dan menjadi
pertimbangan secara ekonomi. Beberapa hama tanaman jambu biji di Bogor yang
telah dilaporkan oleh Eriza (2015) dan Faridah (2011) antara lain hama menggigit
mengunyah yaitu ulat kantung, ulat pucuk, ulat jengkal, belalang, ulat bulu, lalat
buah, dan kutu perisai. Adapun penyakit yang menginfeksi tanaman jambu biji
antara lain penyakit antraknosa, kanker buah Pestalotiopsis, penyakit karat merah
dan embun jelaga.
2

Informasi mengenai hama dan penyakit tanaman jambu biji yang lebih
lengkap dan terperinci diperlukan karena dengan adanya penanaman jambu biji
secara monokultur dapat berpotensi menyebabkan adanya masalah hama dan
penyakit baru atau peningkatan masalah hama dan penyakit yang telah ada (Pena
1986). Informasi tersebut juga penting untuk menentukan langkah pengelolaan dan
pengendalian hama dan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian
mengenai hama dan penyakit jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi, mengamati keparahan dan kejadian


hama dan penyakit serta mengetahui teknik budidaya jambu biji di Kecamatan
Tanah Sareal Kota Bogor.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar


mengenai hama dan penyakit pada pertanaman jambu biji di Kecamatan Tanah
Sareal Kota Bogor agar dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengelola
dan mengendalikan hama dan penyakit pada lahan pertanaman jambu biji secara
tepat.
3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengamatan dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai Maret 2017 di


Desa Sukaresmi dan Desa Sukadamai Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
Identifikasi hama dan penyakit dilakukan di Laboratorium Biosistematika
Serangga, Mikologi Tumbuhan dan Klinik Tanaman, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Wawancara
Wawancara dengan pemilik kebun jambu biji dilakukan untuk mendapatkan
informasi mengenai praktik budidaya yang diterapkan di lahan jambu biji di Desa
Sukaresmi dan Sukadamai Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Selain itu
wawancara dilakukan untuk mengetahui masalah hama dan penyakit yang
menyerang serta pengendalian yang telah dilakukan oleh petani (Lampiran 1).

Penentuan Lahan Pengamatan dan Petak Contoh Tanaman


Pengamatan dilakukan di 20 lahan milik petani yang terdiri atas 15 lahan
dengan varietas getas merah dan 5 lahan dengan varietas bangkok putih yang berada
di Desa Sukaresmi dan Desa Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
Pengamatan dilakukan terhadap 3 tanaman contoh untuk masing-masing lahan.
Penentuan tanaman contoh pada lahan dilakukan secara sistematis yaitu tanaman-
tanaman pada sepanjang diagonal lahan.

Gambar 1 Denah penentuan tanaman contoh untuk pengamatan hama dan penyakit
jambu biji
4

Pengamatan Hama dan Penyakit


Pengamatan hama dan penyakit tanaman jambu biji dilakukan secara
langsung pada setiap tanaman contoh berdasarkan gejala serangan hama dan
tanaman bergejala penyakit. Pengamatan kejadian hama, kejadian dan keparahan
penyakit dilakukan terhadap hama dan penyakit yang dianggap dominan pada saat
pengamatan langsung di lapang. Dari setiap tanaman contoh dipilih 4 ranting sesuai
dengan arah mata angin (utara, barat, timur, dan selatan). Selanjutnya setiap ranting
terpilih diamati 4 daun termuda dan 4 daun tua yang muncul kira-kira 5 cm dari
pangkal ranting untuk pengamatan hama menggigit mengunyah, hama menusuk
menghisap serta pengamatan penyakit karat merah. Pengamatan hanya dilakukan
sekali terhadap ranting dan daun.
Pengukuran kejadian (incidence) hama dan penyakit menggunakan rumus
Cooke (2006) sebagai berikut:
𝑛
𝐾𝑃 = × 100%
𝑁
Keterangan :
KP : kejadian hama dan penyakit (%)
n : jumlah ranting terserang/bergejala
N : jumlah seluruh ranting yang diamati

Keparahan penyakit dihitung berdasarkan gejala dengan rumus Townsend


dan Heuberger (1963 dalam Agrios 2005) dan pedoman skoring gejala sebagai
berikut (Gambar 2 dan Tabel 1):
∑𝑘1=1 𝑛𝑖 × 𝑣𝑖
𝑆= × 100%
𝑁×𝑉
Keterangan:
S : keparahan penyakit (severity)
ni : jumlah bagian tanaman terserang dalam kategori ke-i
N : jumlah tanaman yang diamati
vi : nilai numerik pada masing-masing kategori (Tabel 1)
V : nilai numerik tertinggi

Gambar 2 Pedoman perkiraan persentase gejala dan tanda penyakit karat merah
pada daun jambu kristal (Eriza 2015)
5

Penentuan nilai kategori serangan penyakit karat pada daun tanaman jambu
biji (Tabel 1) (Eriza 2015).
Tabel 1 Penentuan nilai numerik tingkat keparahan penyakit karat merah
Keparahan Penyakit (%) Nilai numerik Keterangan
0 0 Sehat
0< n ≤ 5 1 Sangat ringan
5 < n ≤ 15 2 Ringan
15 < n ≤ 30 3 Sedang
30 < n ≤ 60 4 Berat
n > 60 5 Sangat berat

Pengambilan Contoh dan Identifikasi Hama Dan Penyakit


Contoh serangga hama yang diambil dari lapangan dimasukkan ke
kotak/kantong plastik, sedangkan contoh tanaman sakit dimasukkan ke plastik yang
berisi kertas koran di dalamnya. Contoh serangga kemudian diidentifikasi di
laboratorium dan dilakukan pengamatan dengan mikroskop stereo terutama untuk
serangga yang berukuran kecil. Contoh bagian tanaman bergejala penyakit diambil
tanda penyakitnya untuk diamati menggunakan mikroskop majemuk dan
diidentifikasi patogennya. Identifikasi serangga hama secara umum digunakannya
kunci identifikasi Borror et al. (1996) dan Kalshoven (1981). Identifikasi patogen
dilakukan melalui tahap pembuatan preparat tanda patogen dari bagian tanaman
yang bergejala dan pengamatan mikroskop, patogen dari kelompok cendawan
imperfek (Deuteromycetes) diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi
Barnett dan Hunter (1998) dan Watanabe (1994).

Analisis Data

Data hasil wawancara diolah menggunakan Microsoft Excel 2013. Data


kejadian hama kejadian dan keparahan penyakit diolah menggunakan software
SPSS versi 20.0 (Statistical Package for Social Science) dengan uji t α=5%. Hasil
yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel.
6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi pertanaman jambu biji umumnya merupakan lahan perkebunan yang


terletak di Desa Sukaresmi dan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor,
Jawa Barat (Gambar 3). Keadaan tanah di Kecamatan Tanah Sareal bertekstur halus
sekitar 1844.37 ha dan bertekstur kasar sekitar 39.63 ha. Bentuk lahan bervariasi
dengan kemiringan datar (lereng 0 sampai 2%) sekitar 530.85 ha, landai (lereng 2
sampai 15%) sekitar 1179.91 ha, curam (lereng 25 sampai 40%) sekitar 31.24 ha.
Ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 200 hingga 201 sampai 250 mdpl.
Kecamatan Tanah Sareal merupakan lahan subur untuk penanaman buah-
buahan segar, seperti mangga, belimbing, alpukat, pepaya, bengkuang dan terutama
jambu. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Bogor,
Kecamatan Tanah Sareal menjadi sentra penghasil jambu biji terbesar di Kota
Bogor. Hal ini disebabkan oleh keadaan tanah yang cocok, curah hujan yang tinggi
serta kondisi lingkungan yang mendukung penanaman jambu biji di daerah
tersebut. Petani setempat menanam beberapa varietas yaitu getas merah, bangkok
putih, dan kristal (Gambar 4). Varietas kristal masih jarang di budidayakan karena
menurut petani permintaan masyarakat untuk jambu kristal lebih sedikit dibanding
getas merah.

Gambar 3 Peta lokasi lahan penelitian (Sumber: Kotabogor.go.id)


7

a b

Gambar 4 Kondisi lahan pengamatan Jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal :


jambu biji varietas getas merah (a) dan jambu biji varietas bangkok
putih (b)

Tabel 2 Kondisi cuaca pada saat pengamatan


Periode pengamatan Curah hujan Suhu (⁰C) Kelembapan (%)
(mm)
7 Nov 2016 50.2 26.4 85
9 Des 2016 0.3 26.7 82
16 Des 2016 0.3 26.7 74
17 Des 2016 - 26.6 79
28 Des 2016 0.1 26.6 82
23 Feb 2017 11.9 25.3 87
7 Mar 2017 6.1 25.0 90
15 Mar 2017 TTU 26.2 79
21 Mar 2017 2.4 26.3 82
Rata-rata 10.18 26.2 82.22
Sumber BMKG 2017 Kecamatan Dramaga
Kategori curah hujan : 0-5 mm (ringan); 6-20 mm (sedang); >20 mm (lebat)

Rata-rata curah hujan bulanan di lokasi pengamatan pada bulan November,


Desember, Februari dan Maret berturut-turut adalah 11.8 mm, 6.8 mm, 18.8 mm,
dan 11.8 mm yang termasuk dalam kategori sedang (BMKG 2017). Curah hujan
harian saat pengamatan yaitu ringan sampai lebat (Tabel 2). Menurut Utami (2008),
tanaman jambu biji dapat tumbuh pada temperatur 15 sampai 45 °C, tanaman jambu
biji yang masih kecil dapat mati pada suhu -2.78 sampai -2.22 °C. Hasil terbaik
diperoleh pada suhu 23 sampai 28 °C dengan curah hujan 1.000 sampai 2.000
mm/tahun.

Profil Petani Responden

Responden dalam penelitian ini adalah petani yang sudah berusaha tani jambu
biji sejak tahun 2006. Profil petani responden diklasifikasikan menurut umur,
tingkat pendidikan, pengalaman bertani jambu biji, kepemilikan lahan dan luas
lahan. Profil tersebut dianggap penting karena akan mempengaruhi pelaksanaan
8

Tabel 3 Karakteristik petani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor


Profil Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Kelas usia (tahun)
21-30 2 10
31-40 5 25
41-50 4 20
51-60 6 30
≥ 61 3 15
Pendidikan
Tidak sekolah 0 0
SD 9 45
SMP 5 25
SMA 5 25
PT 1 5
Pengalaman bertani jambu
biji
≤1 0 0
1<x≤3 1 5
4<x≤6 1 5
≥6 18 90

usahatani jambu biji terutama dalam melakukan teknik budidaya jambu biji yang
nantinya akan berpengaruh pada produksi yang dihasilkan petani tersebut. Profil
petani responden jambu biji dijelaskan pada (Tabel 3 dan 4).
Penggolongan usia dibagi menjadi lima interval, yaitu usia antara 21 sampai
30, 31 sampai 40, 41 sampai 50, 51 sampai 60, dan lebih dari 61 tahun. Usia petani
responden mayoritas antara 51 sampai 60 dengan jumlah 6 orang atau 30 persen,
skala usia antara 31 sampai 40 tahun sejumlah 5 orang, usia antara 41 sampai 50
tahun sejumlah 4 orang, dan usia lebih dari 61 tahun sejumlah 3 orang. Petani
dengan usia 21 sampai 30 tahun menempati jumlah paling sedikit yaitu 2 orang dari
total petani responden. Secara umum, hal ini menujukkan bahwa usia petani
responden masih berada pada usia produktif. BPS (2016) menyatakan bahwa
kisaran usia produktif antara 15 sampai 65 tahun.
Tingkat pendidikan yang dimiliki petani responden akan berpengaruh
terhadap penggunaan teknologi baru dan penyerapan ilmu pengetahuan dalam
rangka peningkatan usahatani jambu biji. Menurut hasil wawancara, diketahui
bahwa seluruh responden pernah mengalami pendidikan formal. Secara umum
tingkat pendidikan yang dialami oleh petani responden tergolong masih rendah,
terlihat dari sebagian besar petani hanya sampai lulus SD sebesar 45% (Tabel 3).
Menurut Heroe (2005), petani dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung
lebih mudah menerima inovasi dan teknologi pertanian dibandingkan dengan
petani yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Namun kekhawatiran petani akan
sulit menerima adopsi teknologi baru dan penyerapan pengetahuan dapat
diminimalkan melalui lamanya pengalaman responden dalam bertani jambu biji.
Tingkat pengalaman petani dalam bertani jambu biji akan memengaruhi
pengambilan keputusan petani dalam budidaya jambu biji. Tabel 3 menjelaskan
bahwa mayoritas petani sudah berpengalaman dalam usahatani jambu biji selama
9

lebih dari 6 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya jambu biji sudah cukup
lama dilakukan oleh para petani di daerah penelitian. Semakin lama pengalaman
petani dalam usahatani jambu biji, maka pengetahuan petani dalam memahami
budidaya jambu biji semakin tinggi.
Petani responden di Kecamatan Tanah Sareal menanam jambu biji sebagai
penggarap sebesar 10% sebagai pemilik sekaligus penggarap sebesar 90% (Tabel
4). Status kepemilikan lahan nantinya akan berpengaruh pada tingkat penerimaan
yang diperoleh petani.
Petani responden di Kecamatan Tanah Sareal menanam jambu biji dalam
petak-petak lahan yang tidak begitu luas, sebagian besar menanam pada lahan
seluas 0.1 sampai 0.5 ha (45%), 20% pada lahan kurang dari 0.1 ha dan pada lahan
lebih dari 1 ha, dan 15% yang menanam jambu biji pada lahan 0.5 sampai 1 ha
(Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa petani masih memiliki keterbatasan dalam
penguasaan lahan untuk usaha tani jambu biji.

Tabel 4 Kepemilikan lahan dan luas pengusahaan lahan jambu biji oleh petani
responden
Lahan Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Status kepemilikan
Milik sendiri dan penggarap 18 90
Penggarap 2 10
Luas pangusahaan
≤ 0.1 ha 4 20
0.1 ha < x ≤ 0.5 ha 9 45
0.5 ha < x ≤ 1 ha 3 15
≥ 1 ha 4 20

Budidaya Tanaman Jambu Biji

Bibit dan Pola Tanam


Petani responden mendapatkan bibit dari petani lain dengan membelinya,
membuat bibit sendiri, atau mendapatkan bibit dari dinas pertanian. Sebagian petani
sudah sanggup membuat bibit sendiri (55%) setelah umur tanaman mencapai
setahun. Sebagian petani membeli bibit dari petani lain yaitu sebanyak 40%, dan
hanya 5% yang mendapatkan bibit dari dinas atau instansi pertanian (Tabel 5).
Bibit yang diperoleh dari petani lain bervariasi, ada yang berasal dari satu
desa dan ada juga yang berasal dari beberapa desa yang merupakan sentra
pertanaman jambu biji seperti Bojong Gede, Cilebut, Citayam dan Rancabungur.
Bibit jambu biji diperbanyak dengan cara cangkok atau okulasi (vegetatif). Menurut
Sujiprihati (1985), perbanyakan jambu biji dengan cara cangkok atau okulasi
merupakan perbanyakan secara vegetatif, keturunannya akan memiliki sifat yang
sama dengan induknya, dan sudah dapat menghasilkan buah pertamarelatif lebih
cepat (6 bulan sampai 1 tahun setelah tanam) daripada tanaman jambu biji yang
diperbanyak dengan cara generatif melalui biji akan berbuah setelah umur tanaman
jambu biji mencapai 2 tahun.
10

Tabel 5 Asal bibit jambu biji yang digunakan oleh petani responden
Asal bibit Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Diberikan oleh dinas atau 1 5
instansi pertanian
Membeli dari petani lain 8 40
Membuat bibit sendiri 11 55

Petani setempat melakukan pola tanam secara monokultur maupun


tumpangsari. Sebagian besar petani (60%) lebih memilih melakukan pola tanam
dengan monokultur, dan hanya 40% petani melakukan pola tanam dengan tumpang
sari (Tabel 6). Petani melakukan tumpang sari tanaman jambu biji dengan berbagai
macam jenis, seperti ubi jalar, singkong, bengkuang, jagung, terong, talas, pepaya,
kacang tanah, dan mangga. Tanaman tumpang sari ini ditanam bersamaan dengan
jambu biji. Jika tanaman tumpangsari telah panen diganti dengan tanaman
tumpangsari jenis lain. Petani tidak hanya melakukan tumpang sari sampai umur
tanaman jambu biji 2 tahun saja, melainkan ada yang lebih dari 2 tahun. Pola tanam
tumpang sari ini selain menguntungkan karena memberi hasil tambahan juga untuk
menjaga agar tanaman jambu biji tetap terawat dan akan sedikit gulma yang tumbuh
karena telah terganti dengan tanaman baru.

Tabel 6 Pola tanam yang dilakukan oleh petani jambu biji di Kecamatan Tanah
Sareal, Bogor
Pola tanam Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Monokultur 12 60
Polikultur/tumpang sari 8 40

Pengolahan Tanah dan Penanaman


Pengolahan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu tanah digemburkan dan
dibersihkan dari sampah dan gulma. Sebagian dari petani responden membuat
lubang tanam terlebih dahulu. Lubang tanam dibuat sekitar 2 minggu sampai 1
bulan sebelum tanam, tetapi ada juga petani yang membuat lubang tanam dan
langsung menanam jambu biji. Menurut Soedarya (2010), tanah hasil galian dibagi
menjadi dua, lapisan bawah dibiarkan selama satu minggu sampai 15 hari agar
terkena sinar matahari untuk menghilangkan bibit penyakit sekaligus mengurangi
sifat asam pada tanah tersebut. Tanah kemudian dicampur dengan pupuk kandang
berupa kotoran kambing dengan dosis 15 sampai 25 kg per lubang tanam, dibiarkan
selama satu minggu kemudian tanaman jambu biji segera ditanam dan dibumbun
dengan tanah agar bibit tidak rebah. Tanaman jambu biji yang ditanam dengan
tumpang sari, terlebih dahulu dibuat guludan untuk komoditas yang akan ditanam
sebagai tumpang sari. Jarak tanam yang digunakan oleh petani responden cukup
bervariasi, diantaranya 2 x 2; 3 x 3; 3 x 5; 4 x 4; 5 x 5; 5 x 6 m. Jambu biji dengan
jarak tanam 2 x 2 m kurang baik, karena terlalu rapat sehingga apabila sudah berusia
2 tahun kanopi saling menutupi.

Pemupukan
Pemberian pupuk dilakukan dengan tujuan menyuburkan tanah dan menjaga
kelembapan tanah. Pemupukan pada umumnya dilakukan antara 2 sampai 4 kali
11

dalam setahun. Pupuk utama yang digunakan yaitu pupuk organik dan ditambah
dengan pupuk anorganik. Semua petani responden melakukan pemupukan dengan
menggunakan pupuk organik yaitu kotoran kambing. Dosis yang digunakan antara
15 sampai 50 kg per tanaman. Menurut Sutejo (2002), pupuk organik mempunyai
fungsi yang penting dibandingkan dengan pupuk anorganik yaitu dapat
menggemburkan lapisan permukaan tanah (topsoil), meningkatkan populasi jasad
renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang secara keseluruhan dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Soedyanto (1986),pemupukan yang baik
sebaiknya diaplikasikan pada watu air tanah dalam jumlah yang cukup, tidak kering
dan tidak mengalir. Dengan memperhatikan jenis tanaman dan dosis aplikasi pupuk
dalam jumlah yang berbeda serta efisiensi penggunaan pupuk yang juga tergantung
dari waktu pemberian. Dosis dan aplikasi pemupukan oleh petani responden
bergantung pada umur tanaman dan varietas jambu biji serta keadaan ekonomi
petani. Sebagian petani juga mengaplikasikan pupuk anorganik antara lain urea,
ZA,TSP, KCL, NPK, Phonska dan Mutiara dan diaplikasikan antara 3 sampai 6
bulan sekali (Tabel 7).
Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang yang dibeli dari para
peternak kambing yang berasal dari kelurahan Sukaresmi, namun apabila
kebutuhan tidak mencukupi petani biasanya membeli dari kelurahan lain. Semetara
pupuk anorganik diperoleh petani dengan membeli di pasar. Petani
mengaplikasikan pupuk dengan cara dicampur. Dosis yang diaplikasikan pun
beragam mulai dari 300 sampai 1 000 gram per tanaman atau 500 kg per ha. Petani
juga menggunakan pupuk cair seperti Gandasil B, Gandasil C, dan super KCL.

Tabel 7 Penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jambu biji oleh petani di
Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
Jenis pupuk Penggunaan oleh petani (orang) Frekuensi aplikasi
Urea 15 3-6 bulan sekali
ZA 3 3-6 bulan sekali
TSP 12 3-6 bulan sekali
KCL 11 3-6 bulan sekali
NPK 8 3-6 bulan sekali
Phonska 5 3-6 bulan sekali

Pengendalian Gulma
Petani yang menanam jambu biji dengan tumpangsari melakukan
pengendalian gulma secara intensif. Sejumlah 50% petani responden
mengendalikan gulma secara manual, 25% petani menggunakan herbisida dan
sisanya melakukan pengendalian gabungan baik secara manual dan menggunakan
herbisisda (Tabel 8). Sebagian petani beranggapan bahwa penggunaan herbisida
kurang tepat karena dapat mempengaruhi tanaman jambu biji ataupun tanaman
tumpangsari, sedangkan alasan petani melakukan pengendalian gabungan karena
apabila gulma yang terdapat di lahan hanya sedikit mereka bisa membersihkan
dengan cara manual namun apabila gulma yang terdapat di lahan sangat banyak
maka penggunaan herbisida akan sangat membantu dan tidak membutuhkan tenaga
lebih.
12

Tabel 8 Pengendalian gulma yang dilakukan oleh petani responden


Pengendalian gulma Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Secara manual 10 50
Menggunakan herbisisda 5 25
Secara manual dan 5 25
memakai herbisida

Penyiangan gulma pada pertanaman jambu biji yang sudah mencapai umur 1
tahunan atau lebih, gulma tidak dibabat sampai habis, melainkan hanya di sekeliling
tanaman jambu biji. Pengendalian gulma tidak dijadwalkan karena pertumbuhan
gulma yang berbeda pada pertumbuhan setiap tanaman jambu biji. Jika gulma
sudah terlihat tinggi maka pengendalian segera dilakukan. Pengendalian dengan
menggunakan herbisida oleh petani pada masa pertanaman dilakukan dengan
interval 2 bulan sekali.

Penggunaan Pestisida
Penyemprotan dengan menggunakan pestisida bertujuan untuk menghindari
tumbuhnya penyakit atau mengurangi hama. Penyemprotan dilakukan apabila
terlihat gejala serangan hama atau penyakit. Penggunaan pestisida tergantung dari
para petani itu sendiri. Beberapa petani tidak menggunakan pestisida untuk kegiatan
usahatani jambu getas merah, namun pada petani yang lain, mereka memilih untuk
menggunakan pestisida pada tanaman mereka untuk mengendalikan hama.
Pestisida diperoleh dari pasar saprotan yang berada di Kota Bogor seperti Pasar
Anyar dan Pasar Induk Kemang. Jenis pestisida yang digunakan adalah dengan
merek dagang Decis (Deltametrin) untuk menghilangkan hama semut dan rayap.
Selain itu, petani juga menggunakan Dursban (Klorpirifos), Basban (Klorpirifos),
Protex (Profenofos), Curacron (Profenofos), Dimacide (Dimetoat), Starlet
(Bisultap), Dense (Metil Tiofanat), Propanil (Propineb), Matador (Sihalotrin),
Marshal (Karbosulfan), Sancord (Sipermetrin), dan Top Ban (Klorpirifos).
Penggunaan pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan ke permukaan
daun dan batang tanaman jambu biji. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari. Rata-
rata penyemprotan pestisida oleh petani pemilik dan petani penyewa dilakukan
sekali dalam satu minggu dan kegiatan tersebut berlangsung selama dua bulan
berturut-turut dalam satu kali musim panen. Dalam 1 tahun, jambu getas merah
dapat dipanen dibanyak dua kali. Ini berarti, dalam satu tahun petani pemilik dan
petani penyewa melakukan penyemprotan pestisida sebanyak 32 kali atau sebanyak
16 kali setiap musim panen. Rata-rata konsentrasi pestisida Decis yang digunakan
adalah satu mililiter per satu liter air.

Pemangkasan
Pemangkasan ujung-ujung cabang bertujuan (1) membentuk kanopi yang
baik sehingga akan meningkatkan produksi, biasanya pemangkasan dilakukan
setelah panen agar tunas baru yang akan tumbuh dapat berkembang lebih baik, (2)
batang yang jelek, kering, mati, layu atau terkena penyakit agar tidak menyebar ke
bagian pohon lainnya, dan (3) membuang tunas air.
13

Pemangkasan memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain: (1)


mengurangi tajuk tanaman agar tidak terlalu rimbun sehingga cahaya matahari tidak
menghalangi bagian tanaman jambu biji yang berada di bawahnya. Menurut
Nakasone & Paull (1999), Cahaya matahari dapat merangsang terbentuknya tunas
baru, sehingga produksi buah tinggi (2) mengatur produksi dan umur produksi
tanaman (3) membentuk tajuk seimbang sehingga tanaman kokoh; (4) membentuk
tanaman sehingga memudahkan pemanenan (menghemat waktu, biaya, dan
tenaga); (5) menjaga ukuran buah (semakin jauh dari batang utama, ukuran buah
akan semakin kecil karena aliran hara dari akar akan semakin jauh).

Pembungkusan Buah
Setelah tanaman jambu biji berumur sekitar 6 bulan, jambu biji akan segera
berbuah. Pembungkusan buah dengan kertas koran dan plastik bertujuan untuk
membantu mengurangi serangan hama (kelelawar, lalat buah, Helopeltis sp., ulat),
dan melindungi buah dari sinar matahari untuk mengurangi penguapan. Selain itu
kulit buah yang dibungkus akan menjadi lebih mulus, mengkilap, dan lebih cepat
ranum. Pembungkusan dilakukan pada buah yang telah sebesar bola pingpong yaitu
dengan diameter buah sekitar 2 sampai 3.5 cm atau berumur sekitar 1 sampai 1.5
bulan setelah bunga mekar. Pembungkusan buah umumnya dilakukan pada pagi
hari antara pukul 7 sampai 10 pagi atau tergantung banyaknya buah yang
dibungkus.
Semua petani menggunakan plastik dan koran untuk pembungkusan buah.
Plastik dan koran merupakan bahan yang murah dan mudah didapat. Plastik yang
digunakan antara lain berukuran 16 x 20 cm, 17 x 35 cm, dan 20 x 35 cm (jambu
putih). Di dalamnya diberi koran untuk menghindari terpaan panas matahari
langsung pada buah. Sebelum pembungkusan buah beberapa petani melakukan
penyemprotan buah dengan pestisida. Sebagian dari petani juga melakukan
penjarangan buah terhadap buah-buah yang muncul lebih dari satu, agar ukuran
buah dapat maksimal dan ranting tidak terlalu berat menyangga buah tersebut.
Namun ada juga petani yang membiarkan semua buah berkembang sampai panen,
karena penjarangan buah menurut petani dapat mengurangi jumlah panen.

Pemanenan
Pemanenan dilakukan apabila buah jambu biji telah matang, ditandai dengan
tangkai buah tampak kekuningan dan kulit buah bertekstur halus dan tipis, warna
buah telah berubah dari hijau pekat menjadi hijau muda keputihan (baik varietas
getas merah maupun bangkok putih), daging buah agak lunak dan berwarna merah
muda untuk varietas getas merah dan berwarna putih untuk varietas bangkok putih.
Apabila jambu biji akan dikirim ke pasar besar atau untuk ekspor, pemanenan
dilakukan pada saat buah jambu biji masih matang fisiologis.
Selama setahun tanaman jambu biji dapat berbunga sampai tiga kali, sehingga
periode panen besar yaitu pada saat awal buah jambu biji matang secara bersamaan
bisa terjadi 2 kali dalam setahun pada tanaman yang telah tumbuh secara produktif.
Cara pemanenan yang baik yaitu dipetik berserta tangkainya dan dapat juga
dilakukan pemangkasan secara bersamaan. Biasanya pemanenan dilakukan dengan
menggunakan alat bantu gunting pangkas atau dipetik secara langsung. Waktu
pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari karena bobot buah pada pagi hari
14

dalam keadaan optimal akibat penimbunan zat makanan pada malam hari dan buah
belum terkena sinar matahari, sehingga belum terjadi penguapan. Pemanenan
dilakukan langsung oleh pemilik dan juga penggarap di kebun jambu biji, dan
kemudian di jual ke pasar induk Jakarta atau pasar-pasar yang ada di bogor. Jambu
biji merupakan tanaman yang berbuah sepanjang tahun, sehingga pemanenan buah
dapat dilakukan 2 sampai 3 hari sekali (varietas getas merah) dan 4 sampai 5 hari
sekali (varietas bangkok putih) sepanjang tahun.

Permasalahan dalam Usahatani Tanaman Jambu Biji


Tanaman jambu biji harganya fluktuatif, mulai dari Rp 3 000,00/kg sampai
Rp 6 000,00/kg (jambu biji getas merah) dan Rp 4 000,00/kg sampai Rp 8 000,00/kg
(jambu biji bangkok putih). Dengan harga yang tidak stabil tersebut petani
responden menganggap harga yang rendah merupakan permasalahan dalam
usahatani jambu biji. Selain itu modal, cuaca serta hama dan penyakit juga
merupakan permasalahan utama dalam usahatani jambu biji. Menurut petani
apabila mereka telat untuk membungkus buah yang berumur 1 sampai 1.5 bulan
dan hama Helopeltis sp. telah menyerang maka kerugian bisa mencapai 50%
dikarenakan buah tersebut tidak dapat berkembang dengan baik dan lama-kelamaan
buah akan rontok.

Hama Tanaman Jambu Biji

Hama yang ditemukan di pertanaman jambu biji baik pada varietas getas
merah maupun bangkok putih antara lain kutu putih, kutu tempurung, belalang,
wereng pucuk, kepik penghisap, ulat kantung, ulat pucuk, ulat jengkal, dan semut
(Tabel 9).

Tabel 9 Hama pada tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
Varietas
Ordo/Famili Hama
Getas merah Bangkok putih
Hemiptera
Alydidae Walang sangit  -
Coccidae Kutu tempurung  
Flatidae Wereng pucuk  -
Miridae Kepik penghisap  -
Pseudococcidae Kutu putih  
Hymenoptera
Formicidae Semut  
Lepidoptera
Psychidae Ulat kantung  
Geometridae Ulat jengkal  -
Pyralidae Ulat pucuk  
Orthoptera
Acrididae Belalang - 
Keterangan : () terdapat hama dan (-) tidak terdapat hama
15

Kejadian Serangan Hama


Kejadian serangan hama baik pada jenis hama menggigit mengunyah maupun
menusuk menghisap pada jambu biji getas merah dan bangkok putih tidak berbeda
nyata. Hal ini disebabkan karena kedua jenis hama tersebut sama- sama menyerang
tanaman jambu biji (Tabel 10). Menurut Faridah (2011) tingkat kerusakan tanaman
akibat hama menggigit-mengunyah berkorelasi dengan populasi hama
penyebabnya.

Tabel 10 Kejadian serangan hama pada tanaman jambu biji varietas getas merah,
dan bangkok putih di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
Kejadian hama (%)
Varietas n Menggigit mengunyah Menusuk menghisap
( X ± SE) ( X ± SE)
Getas merah 15 33.33 ± 3.72 a 30.48 ± 3.79 a
Bangkok putih 5 34.99 ± 14.76 a 18.26 ± 4.86 a
a
Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji t dengan α= 0.05. X : rata-rata; SE: standar error.

Hama Menggigit Mengunyah


Belalang (Orthoptera: Acrididae). Belalang yang ditemukan pada jambu
biji varietas bangkok putih merupakan genus Valanga sp (Gambar 5). Hama ini
dapat menyerang pertanaman terutama pada daun yang masih muda. Belalang
ditemukan pada lahan jambu biji yang saat itu berada pada fase vegetatif. Gejala
serangan berupa daun yang berlubang dan menyisakan tulang daun. Belalang yang
banyak ditemukan berupa nimfa.
Lama hidup Valanga sp. mencapai 3 sampai 5 bulan dengan keperidian rata-
rata mencapai 158 butir telur per betina (Kok 1971; Kalshoven 1981). Telur
berwarna coklat diletakkan di dalam tanah sedalam 5 sampai 8 cm dan dilapisi
dengan massa busa yang mengeras. Nimfa muncul pada pagi hari dan kemudian
naik ke pertanaman, dan aktif di siang hari (Kalshoven 1981).
Cakupan inang yang luas serta keperidian yang relatif tinggi mendukung
pesatnya perkembangbiakan hama ini. Di sisi lain pengendalian hama ini cukup
sulit. Beberapa cara pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya adalah dengan
menanam tanaman penutup tanah (cover crop) agar mengurangi tempat peneluran
belalang. Pengendalian mekanik terhadap kelompok telur di dalam tanah dan nimfa
yang baru menetas juga dapat menekan perkembangan belalang ini (Kalshoven
1981).

Gambar 5 Belalang Valanga sp.


16

Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae). Larva dari ulat kantung memakan


daun muda terutama pada bagian bawah daun, sehingga mengakibatkan daun
berlubang dan kering (Gambar 6a). Gejala kerusakan pada daun disebabkan
aktivitas makan larva pada lapisan epidermis bawah dan jaringan mesofil dengan
menyisakan epidermis atasnya mengakibatkan window panning. Sisa epidermis
atas tersebut lalu mengering dan menyisakan tulang daun (Emmanuel et al. 2012).
Ulat kantung ditemukan pada kedua varietas di pertanaman jambu biji. Ulat
kantung yang ditemukan merupakan spesies yang berbeda.
Ulat kantung dari famili Psychidae memiliki sekitar 1 000 spesies. Kantung-
kantung biasanya dibuat dari potongan daun, ranting, pasir, dan bahan lain yang ada
di sekitar ulat kantung tersebut. Bahan-bahan yang akan menjadi kantung
direkatkan menggunakan sutera yang dikeluarkan oleh ulat kantung (Rhainds et al.
2009). Ulat kantung spesies 1 berukuran lebih besar dibanding ulat kantung
spesies2. Ulat kantung spesies 1 berada pada ranting, sedangkan ulat kantung
spesies 2 berada pada daun. Menurut Kalshoven (1981) kantung-kantung yang
ditemukan pada famili Psyichidae memiliki bentuk yang bermacam-macam, hal
tersebut dikarenakan setiap spesies ulat kantung memiliki ciri khas tersendiri,
sehingga kantung-kantung tersebut berguna untuk mengidentifikasi spesies
serangga ini. Terdapat dua lubang pada ulat kantung yaitu lubang anterior dan
posterior. Larva akan mengeluarkan kepala dan tungkai asli yang terdapat pada
toraks pada saat makan atau berpindah tempat melalui lubang anterior, sedangkan
feses akan dikeluarkan melalui lubang posterior.
Teknik pengendalian ulat kantung adalah, dengan cara (1) mekanik/fisik,
yaitu mengambil secara langsung ulat kantung dan membunuhnya. Pengendalian
secara fisik dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat
mempengaruhi perkembangan ulat kantung sehingga tercipta kondisi yang tidak
ideal bagi perkembangbiakannya, (2) biologis, yaitu menggunakan musuh alami
berupa predator, parasitoid, dan patogen. Predator ulat kantung adalah Sycanus
macracanthus (Hemiptera : Reduviidae). Parasitoid yang dapat digunakan adalah
Pediobius elasmi (Hymenoptera : Eulophidae), dan Brachymeria carinata
(Hymenoptera : Chalcididae). Patogen yang dapat digunakan adalah Beauveria
bassiana (Indriati dan Khaerati 2013).

a b c

Gambar 6 Ulat kantung dan gejala kerusakan pada tanaman jambu biji getas merah
dan bangkok putih: gejala pada daun (a), ulat kantung spesies 1 (b), dan
ulat kantung spesies 2 (c)
17

Ulat Pucuk (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat pucuk menyerang daun muda


atau pucuk daun jambu biji dengan melipat beberapa helai daun. Larva hama ini
menyerang daun dengan menggerigit dari dalam jalinan daun, sehingga kerusakan
yang ditimbulkan berupa kerusakan pucuk yang diselimuti benang-benang halus
berwarna putih. Ulat pucuk ditemukan pada kedua varietas di pertanaman jambu
biji. Ulat pucuk merupakan hama menggigit-mengunyah yang paling dominan
menyebabkan kerusakan pada pucuk daun.
Gejala lanjut yang ditimbulkan oleh hama ini adalah kematian jaringan daun
atau pucuk tanaman jambu biji akibat gigitan, daun muda dan tangkai daun
berlubang-lubang karena bekas gigitan larva dari dalam lipatan (Gambar 7b).
Menurut Eriza (2015), selain menyerang daun muda dan pucuk daun, ulat pucuk
juga menyerang bunga yang belum mekar pada pertanaman fase generatif di
pertanaman jambu. Larva hama ini memiliki panjang tubuh sekitar 20 mm,
berwarna hijau muda kekuningan, dan pada punggungnya terdapat garis berwarna
kecoklatan. Larva tersebut hidup di dalam lipatan daun sampai stadia pupa. Pupa
berwarna coklat tua dan bertipe obtekta berukuran sekitar 18 mm.
Upaya pengendalian ulat pucuk di pertanaman jambu biji sudah dilakukan
oleh petani setempat. Namun menurut Supriatna (2014), hal tersebut tidak
berpengaruh terhadap kelimpahan hama ulat pucuk yang ada di lapangan. Hal
tersebut dikarenakan, ulat pucuk mampu membuat barrier atau lipatan daun yang
akan menghalangi dan melindungi ulat pucuk dari paparan insektisida saat
penyemprotan dilakukan.

a b

Gambar 7 Gejala kerusakan beserta larva ulat pucuk : gejala ringan pada pucuk
daun (a) dan gejala berat beserta larva ulat pucuk (b)

Ulat Jengkal (Lepidoptera: Geometridae). Ulat jengkal ditemukan pada


pertanaman jambu biji varietas getas merah. Setiap jenis ulat jengkal memiliki
bentuk yang khas serta warna tubuh dan ukuran yang berbeda-beda. Ulat jngkal
yang ditemukan memiliki bentuk yang berukuran sedang, dan memiliki warna
tubuh hitam (Gambar 8). Gejala serangan yang ditimbulkan dari hama ini adalah
daun berlubang akibat aktivitas makannya.
Imago atau serangga dewasa berupa ngengat berwarna coklat kusam kotor.
Ngengat umumnya aktif pada malam hari sedangkan pada siang hari lebih banyak
beristirahat pada bagian tanaman yang agak tersembunyi. Imago mulai meletakkan
telur pada umur 2 sampai 3 hari. Telur berbentuk bulat berukuran 0.5 mm mula-
mula bening kemudian berubah menjadi putih kekuningan saat akan menetas. Telur
18

diletakkan sendiri-sendiri atau berkelompok pada daun atau tangkai daun. Stadia
telur berlangsung kurang lebih 1 minggu. Larva dewasa mempunyai bentuk tubuh
kecil pada bagian anterior (kepala) dan membesar ke atah posterior (ujung
abdomen). Larva mempunyai kaki sejati yang runcing sebanyak 3 pasang pada
bagian depan tubuhnya, serta 3 pasang kaki semu yang bulat, pada bagian belakang
tubuhnya. Larva mempunyai ciri yang khas pada saat berjalan, yaitu seperti orang
menjengkal, sehingga dikenal sebagai "ulat jengkal". Larva dewasa mempunyai
ukuran tubuh mencapai 35 mm. Menjelang pra pupa, larva membuat anyaman dari
benang halus berwarna putih dari air liur nya untuk melindungi tubuhnya selama
menjadi pupa, benang-benang tersebut direkatkan pada daun atau ranting pada
bagian pucuk tanaman (Siswanto dan Wiratno 1998).
Pengendalian ulat jengkal yang telah dilakukan petani adalah menggunakan
insektisida. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan serangga hama masih
menjadi pilihan utama petani karena insektisida dapat dengan cepat menurunkan
populasi hama dan dapat dipergunakan setiap saat dan di mana saja. Namun
penggunaan insektisida yang berlebihan juga menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan antara lain: hama berkembang menjadi resisten terhadap insektisida,
organisme bukan sasaran termasuk predator dan parasitoid juga ikut mati
menimbulkan ledakan hama sekunder, residu insektisida mencemari tanaman,
tanah, air dan udara serta menimbulkan fenomena resurjensi yaitu jumlah populasi
keturunan hama itu menjadi lebih banyak bila tidak diperlakukan dengan
insektisida (Oka 2005).
Menurut Oka (2005), pengendalian hama secara terpadu yang dapat
dilakukan adalah (1) mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat dengan cara
mengatur pola tanam, pergiliran tanam, sanitasi, pemupukan, pengelolaan tanah dan
pengairan serta menggunakan tanaman perangkap, (2) pengendalian hayati
menggunakan predator, parasitoid, patogen serangga, (3) penggunaan varietas
tahan, (4) pengendalian mekanis, menanam tanaman penghalang, menggunakan
alat perangkap, (5) pengendalian secara sifik (suhu panas, dingin, suara,
kelembaban, perangkap cahaya), (6) pengendalian secara genetik (teknik jantan
mandul).

Gambar 8 Ulat jengkal

Hama Menusuk Menghisap


Helopeltis sp. (Hemiptera: Miridae). Hama ini ditemukan pada pertanaman
jambu biji varietas getas merah. Hama yang memiliki alat mulut menusuk
menghisap ini menyerang pucuk dan buah. Bekas tusukan pada buah menyebabkan
bercak nekrotik hitam yang akan membekas sampai buah tersebut matang.
Serangan berat dapat menyebabkan buah yang masih kecil menghitam, mengering
19

hingga mati (Gambar 9c). Biasanya buah yang masih kecil tidak dapat berkembang
dengan baik dan kemudian rontok sehingga dapat mengurangi produksi. Kerusakan
akibat hama ini menurut petani sangat merugikan apabila tidak dilakukan
pencegahan yaitu membungkus buah yang masih kecil.
Menurut Wiratno et al. (1996), telur Helopeltis sp. diletakkan dalam jaringan
muda sehingga pada saat menetas, nimfa dapat menemukan makanannya secara
langsung. Telur memiliki dua helai benang berwarna putih dengan panjang berbeda
yang muncul pada permukaan bagian tanaman tempat telur diletakkan. Stadia telur
rata-rata berlangsung selama tujuh hari. Nimfa serangga ini terdiri atas lima instar
dan mengalami lima kali pergantian kulit. Lama stadia instar satu sampai lima
bervariasi yakni antara dua sampai empat hari. Nimfa berwarna cokelat, tidak
bersayap dan memiliki antena yang terdiri atas empat ruas yang panjangnya hampir
dua kali panjang tubuhnya. Nimfa memiliki sifat kurang aktif dan mudah ditangkap.
Apabila diganggu nimfa akan bersembunyi dibalik batang, daun atau bagian-bagian
terlindung lainnya. Imago kepik berwarna kehitaman, memiliki sayap dan bagian
bawah abdomen berwarna putih keperakan. Imago jantan dan betina dapat
dibedakan dengan melihat warna toraks dan ukuran tubuhnya. Toraks imago jantan
berwarna merah kehitaman sedangkan imago betina berwarna merah cerah. Ukuran
imago jantan lebih kecil dari imago betina. Hama ini mampu bertelur sebanyak 1
sampai 18 butir perhari dengan rata-rata jumlah telur selama hidupnya adalah 80
butir (Kalshoven 1981).

a b

Gambar 9 Gejala dan imago Helopeltis sp. : Imago Helopeltis sp. (a), gejala
nekrotik bekas tusukan Helopeltis sp. pada buah (b), dan buah
mengering pada serangan lanjutan Helopeltis sp. (c)
20

Kepik memiliki aktivitas makan dan pergerakan yang baik. Serangga ini
dapat berperan memencarkan inokulum cendawan Pestalotia sp. yang telah ada di
pertanaman atau dari pertanaman satu ke pertanaman lain. Kepik ini sering
diasosiasikan dengan penyakit kanker buah. Bekas tusukan kepik dapat menjadikan
cendawan parasit luka mudah menginfeksi buah, dan penyebarannya dibantu
karena aktivitas pergerakannya
Pengendalian yang telah dilakukan oleh petani adalah dengan membungkus
buah ketika masih berukuran kecil. Menurut Atmadja (2003), pengendalian yang
dapat dilakukan adalah (1) pengendalian secara mekanis yaitu menangkap
Helopeltis sp. dan membungkus buah dengan kantong plastik. (2) pengendalian
kultur teknis yaitu pemupukan yang tepat dan teratur, pemangkasan, sanitasi
tanaman inang, serta pemilihan bibit unggul. (3) pengendalian secara hayati yaitu
penggunaan musuh alami berupa Beauveria bassiana.
Kutu putih (Hemiptera: Pseudococcidae). Kutu putih ditemukan pada
kedua varietas jambu biji baik pada bagian buah, daun, tangkai maupun ranting.
Hama ini merusak jaringan tanaman dengan mekanisme mulut yang menusuk
menghisap. Permukaan tubuh hama ini selalu tertutupi oleh lapisan lilin yang
berguna untuk melindungi dirinya dari lingkungan luar. Kutu putih yang ditemukan
memiliki genus yang berbeda yaitu, Ferrisia virgata (Gambar 10a) yang sering
dijumpai pada pertanaman jambu biji dan Rastrococcus spinosus (Gambar 10b).
Ferrisia virgata merupakan kutu yang polifag. Dalam kondisi tropis dapat
bereproduksi dengan cukup cepat dan pada iklim subtropis masih dapat ditolerir.
Kutu ini telah dilaporkan pada tanaman inang yang memiliki lebih dari 203 genus
di 77 famili, dan dapat merusak banyak tanaman, terutama buah-buahan tropis,
kacang-kacangan dan tanaman rempah-rempah serta tanaman seperti kedelai dan
tomat (CABI 2016).
Menurut CABI (2016), R. spinosus telah mejadi hama penting pada jambu,
mangga, pisang, jeruk, Annona squamosa dan tanaman lainnya. Kutu putih
menghisap cairan bagian buah atau daun tanaman jambu biji, menutupi permukaan
bagian tanaman dengan lilinnya dan sebagian menghasilkan embun madu. Kutu
putih F. virgata dan R. spinosus berasosiasi dengan semut. Semut memanfaatkan
embun madu untuk makanannya, sehingga semut tersebut membantu melindungi
kutu putih dari serangan predator juga membantu penyebarannya. semut bagi petani
merupakan pengganggu ketika buah akan dipanen. Embun jelaga menyebabkan
permukaan daun menjadi hitam dan permukaan daun tersebut terhalang dari sinar
matahari langsung yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu.
Pengendalian kutu putih yang telah dilakukan petani adalah dengan
penyemprotan menggunakan detergen. Menurut petani penyemprotan ini efektif
karena apabila setelah disemprot daun menjadi bersih dan tidak lagi terdapat kutu
putih. Namun pengendalian dengan cara ini harus dilakukan sejak awal, karena
dalam satu minggu satu ekor kutu putih dapat berkembangbiak hingga menutupi
seluruh permukaan daun.
21

a b

Gambar 10 Kutu putih : F. Virgata (a), R. spinosus (b) ,dan preparat F. Virgata (c)

Kutu tempurung (Hemiptera: Coccidae). Kutu tempurung ditemukan pada


pertanaman jambu biji varietas getas merah dalam jumlah yang sedikit. Kutu ini
berwarna hijau dan berada pada buah yang berukuran sebesar bola pingpong yaitu
dengan diameter buah sekitar 2 sampai 3.5 cm atau berumur sekitar 1 sampai 1.5
bulan setelah bunga mekar (Gambar 11). Kutu tempurung menyerang daun tua
terutama pada bagian yang dekat tulang daun (Kalshoven 1981). Menurut Soetopo
(1988), kutu tempurung banyak ditemukan pada tanaman umur muda, pada daun
atau ranting yang masih berwarna hijau. Pada daun, kutu berada di bagian
permukaan bawah daun, terutama pada pertulangan daun. Kutu ini merupakan
perusak pucuk yang dapat menyebabkan gugurnya daun dan menggaggu proses
respirasi serta asimilasi pada tanaman. C
Kerusakan secara tidak langsung adalah timbulnya embun jelaga pada
permukaan tanaman yang terserang kutu. Kutu tempurung mengeluarkan embun
madu dari badannya yang menjadi media pertumbuhan cendawan embun jelaga.
Cendawan ini menutupi daerah respirasi dan asimilasi di permukaan daun yang
akhirnya melemahkan tanaman. Selain cendawan embun jelaga, asosiasi embun
madu lain adalah semut yang sedikit mengganggu saat pemetikan. Kutu berbentuk
pipih lonjong dengan panjang 4 sampai 5 mm, berwarna hijau (Poole 2005). C.
viridis merupakan serangga polifagus, penyebarannya di seluruh wilayah tropis dan
subtropis.
Pengendalian yang telah dilakukan petani adalah dengan penyemprotan
menggunakan detergen dan pestisida. Namun pengendalian ini kurang efektif
karena serangga ini melindungi telurnya dengan menggunakan tempurung sehingga
sulit dikendalikan dengan pestisida kontak.
22

Gambar 11 Kutu tempurung pada buah jambu biji.

Wereng pucuk (Hemiptera: Flatidae). Wereng pucuk ditemukan pada


pertanaman jambu biji varietas getas merah. Wereng pucuk ini berwarna hijau
keputihan (Gambar 12). Imago meletakkan telur secara berkelompok 30 sampai 80
butir di permukaan bawah daun, tangkai daun, dan tangkai pucuk kelompok telur
tertutupi lapisan lilin berwarna putih atau krem. Telur berbentuk oval, panjang 0.91
sampai 1.09 mm dan lebar 0.37 sampai 0.47 mm, berwarna putih, kemudian
berubah menjadi cokelat menjelang menetas. Stadium telur berlangsung 6 sampai
7 hari. Nimfa berwarna putih kekuningan dan tertutupi tepung lilin berwarna putih.
Nimfa tidak aktif bergerak hanya meloncat dekat bila terganggu. Stadium nimfa
berlangsung 42 sampai 49 hari (Ditjen Perkebunan 2012).
Nimfa dan imago menyerang dengan cara menusuk menghisap cairan
tanaman. Pada pucuk dan tangkai bunga, bekas serangan berupa titik-titik hitam
agak menonjol seperti bisul, yang bila dibelah akan terlihat tusukan tersebut
mencapai floem dan xylem yang mengakibatkan aliran zat hara menuju bunga
terganggu. Jika popilasi tinggi serangan wereng pucuk pada tangkai bunga dapat
mengakibatkan bunga mengering dan gagal menjadi buah. Selain itu akibat
serangan hama tersebut permukaan daun banyak ditumbuhi oleh cendawan jelaga
karena adanya embun madu yang dihasilkannya sehingga mengganggu proses
fotosintesis (Ditjen Perkebunan 2012).
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah (1) pengendalian secara mekanis
yaitu dengan mengumpulkan kelompok telur yang terdapat pada permukaan daun
bagian atas dan bawah serta pucuk, lalu dimusnahkan. Pengendalian tersebut akan
efektif jika jumlah telur masih sedikit. (2) pengendalian secara biologis yaitu
dengan memanfaatkan musuh alami seperti laba, kumbang Coccinelidae, belalang
sembah sebagai predator, Aphanomerus sp. (Hymenoptera: Platigasteridae) sebagai
parasitoid, dan Synnematium sp dan Hirsutella sp. sebagai cendawan
entomopatogen (Ditjen Perkebunan 2012).
23

Gambar 12 Wereng pucuk pada ranting tanaman jambu biji

Lalat buah (Diptera : Tephritidae)


Selain Helopeltis sp. menurut Gould & Raga (2002), hama yang merupakan
hama utama pada pertanaman jambu biji di berbagai negara adalah lalat buah. Larva
dari lalat buah ini merusak buah dari tanaman inang, dan menyebabkan buah
menjadi busuk dengan lebih cepat (Meritt et al. 2003). Lalat buah betina
meletakkan telur pada jaringan buah dengan menusukkan ovipositornya ke dalam
daging buah. Pada masa perkembangannya, khususnya jika populasinya tinggi larva
akan masuk sampai ke bagian dalam (pulp) buah jambu biji (Gould & Raga 2002).
Buah yang terserang larva lalat buah akan cepat membusuk dan gugur sebelum
matang. Buah yang gugur ini akan menjadi sumber infestasi lalat buah generasi
berikutnya karena larva akan berkembang menjadi pupa di tanah dan kemudian
berkembang menjadi imago (Ginting 2009).
Namun berbeda saat pengamatan karena tidak ditemukannya hama lalat buah.
Hal ini disebabkan karena petani telah melakukan pengendalian dengan cara
membungkus buah sehingga lalat buah tidak dapat menyerang. Pembungkusan
buah sekaligus dapat mengendalikan Helopeltis sp.

Penyakit Tanaman Jambu Biji

Penyakit yang ditemukan pada lahan pengamatan baik pada jambu biji
varietas getas merah maupun bangkok putih adalah karat merah (Cephaleuros sp.),
antraknosa (Colletotrichum sp.) dan kanker buah (Pestalotia sp.). Penyakit karat
merah lebih dominan pada kedua lahan dibanding penyakit antraknosa maupun
kanker buah, tetapi tidak berbeda nyata dengan uji t (Tabel 11).

Tabel 11 Kejadian penyakit pada tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal
Vatietas
Penyakit Getas Merah Bangkok Putih
n ( X ± SE) n ( X ± SE)
Karat merah 15 68.88 ± 5.48 a 5 63.33 ± 11.96 a
Antraknosa 15 12.28 ± 3.39 a 5 5.66 ± 3.92 a
Kanker buah 15 13.33 ± 5.81 a 5 8.09 ± 3.73 a
a
Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji t dengan α= 0.05. X : rata-rata; SE: standar error
24

Karat merah (Cephaleuros sp.)


Penyakit karat merah merupakan penyakit yang disebabkan oleh alga
Cephaleuros sp. Alga menyebabkan bercak pada daun (Gambar 13a), bunga, buah,
ranting dan batang. Penyakit ini sering disebut karat merah karena pada permukaan
atas daun ditumbuhi talus yang tegak, dengan filamen berwarna kuning hingga
merah. Daun diinfeksi pada bagian tepi, pinggir atau seringkali pada area dekat
tulang daun (Misra 2004). Bercak pada daun dapat berupa titik kecil sampai bercak
yang besar; menyatu atau terpencar. Menurut Semangun (1994), bercak berbentuk
bulat, berwarna coklat kemerahan. Alga hijau ini mempunyai benang-benang yang
masuk ke bagian dalam jaringan tanaman yang dilekatinya sehingga pada
permukaan daun bercak akan tampak seperti beludru.
Talus tersebut rata, pendek, rapat dan penuh dengan filamen yang bercabang.
Di bawahnya terdapat rizoid bercabang yang tidak teratur (Gambar 13b). Filamen
tumbuh mulai dari tepi bercak kemudian memenuhi seluruh permukaan bercak.
Sebagian besar badan buah (terlihat) jelas yang terdiri dari 1 sampai 8 filamen
multiseluler yang tegak lurus (Misra 2004). Setiap pedisel menghasilkan
sporangium berbentuk buah pir atau hampir bulat yang akhirnya akan
memencarkan 8 sampai 32 spora motil biflagelat (Gambar 13b).
Berdasarkan hasil pengamatan penyakit karat merah ditemukan pada kedua
varietas di pertanaman jambu biji. Keberadaan penyakit karat merah menjadi
penyakit yang dominan pada kedua lahan yang berbeda varietas tersebut. Rata-rata
keparahan penyakit pada varietas getas merah sebesar 42.21% dan varietas bangkok
putih sebesar 38.05% dan tidak berbeda nyata pada uji t.
Pengendalian karat merah dapat dilakukan dengan penyemprotan tembaga
oksiklorida (0,3%) 3 sampai 4 kali dengan interval 15 hari (Misra 2004). Selain itu
penggunaan jarak tanam yang tidak rapat dapat mengurangi penyebaran karat
merah.

a b

Gambar 13 Gejala dan penyebab penyakit karat merah : Gejala pada serangan
berat oleh Cephaleuros sp. (a) dan Cephaleuros sp. (b)

Antraknosa
Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Gejala
penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji terlihat dengan munculnya bercak
nekrotik pada buah muda yang kemudian berkembang hingga ke seluruh
permukaan buah sehingga buah menjadi berwarna hitam dan busuk (Gambar 14a).
25

Gejala pada tunas menyebabkan perubahan warna dari hijau menjadi coklat tua.
Bercak coklat tersebut kemudian menjadi bercak nekrotik berwarna hitam yang
dapat berkembang ke bagian pangkal sehingga menyebabkan mati ujung (Misra
2004).
Buah jambu biji yang mentah dapat terinfeksi dan cendawan penyebabnya
bisa dorman selama 3 bulan, baru aktif dan menyebabkan pembusukan pada waktu
buah mulai matang. Buah jambu biji muda yang terserang menunjukkan gejala
bercak-bercak nekrotik yang kemudian akan menyatu, buah akan matang secara
terpaksa dan kemudian mengering secara cepat dan terjadi mumifikasi (Amusa et
al. 2005). Seringkali buah yang mengeras ini menjadi retak (Misra 2004). Jika buah
ini dibuka, kanker terlihat meluas ke bagian dalam buah. Biji yang berasal dari buah
yang terinfeksi mengandung patogen (Amusa et al. 2006).
Spesies yang menyerang jambu biji baik pada jambu biji varietas getas merah
maupun bangkok putih yaitu Colletotrichum gloeosporioides (Gambar 14b).
Cendawan Colletotrichum mempunyai tubuh buah berupa aservulus yang
menyembul pada permukaan atas buah. Aservulus membentuk banyak konidium
seperti massa lendir. Konidiumnya tidak berwarna, bersel 1, jorong memanjang,
terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium
yang bersel 1 tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium
sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut
(seta) yang kaku dan berwarna cokelat tua (Semangun 2000).
Pengendalian yang dilakukan petani berupa sanitasi. Buah yang bergejala
biasanya dipetik dan kemudian dipisahkan di pinggir lahan agar tidak menular pada
buah yang masih sehat. Menurut Misra (2004) pengelolaan terhadap penyakit
antraknosa adalah dengan menggunakan varietas tahan. Selain itu, pengendalian
dapat dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim
pada pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas
(Lim & Manicom 2003).

a b

Gambar 14 Gejala dan penyebab penyakit antraknosa : Gejala serangan oleh


Colletotrichum (a) dan konidia cendawan Colletotrichum
gloeosporioides (Perbesaran 40X10 ) (b)
26

Kanker Buah
Kanker buah umum ditemukan di kedua pertanaman jambu biji, varietas getas
merah maupun bangkok putih. Penyakit ini sering dijumpai apabila tanaman sedang
memasuki masa generatif. Penyebab penyakit ini adalah Pestalotia sp. (Gambar
15b). Cendawan ini merupakan parasit luka, sehingga penyakit ini berasosiasi
dengan aktivitas makan serangga antara lain Helopeltis sp. dan infeksi cendawan
lain.
Cendawan ini sering ditemukan berasosiasi dengan cendawan lain yaitu
dengan Gloeosporium penyebab antraknosa atau cendawan parasit luka lainnya
yaitu Botryodiplodia. Perkembangan penyakit maksimum pada suhu 25 sampai 30
°C dengan kelembapan tinggi (Kaushik et al., 1972 dalam Misra 2004). Cendawan
dapat berkembang baik pada suhu 15 sampai 30 °C. Pertumbuhan terbaik dan
sporulasi terjadi pada suhu 26 °C. Pada penelitian di laboratorium perkecambahan
spora maksimum pada suhu 30 °C dan pada suhu di bawah 15 °C atau di atas 40
°C, cendawan tidak berkecambah (Ramaswamy et al. 1984 dalam Misra 2004).
Medium terbaik untuk perkecambahan adalah ekstrak buah jambu biji, pH optimum
untuk pertumbuhan cendawan adalah 3.9 sampai 4.9 dan pertumbuhan maksimum
pada pH 4.9 (Misra 2004).
Pengendalian yang dilakukan petani adalah dengan membungkus buah ketika
buah masih berukuran kecil dan apabila buah tersebut telah terinfeksi maka buah
tersebut dibuang agar tidak menginfeksi buah yang sehat. Menurut Lim et al. (1986
dalam Semangun 1994), pengelolaan penyakit ini bisa dilakukan dengan
mengendalikan Helopeltis, membuang buah dan daun yang sakit kemudian
dipendam atau dibakar untuk mengurangi sumber infeksi. Penggunaan ekstrak daun
Occimum sanctum dapat menghambat perkecambahan spora cendawan (Misra
2004).

a b

Gambar 15 Gejala dan penyebab penyakit kanker buah : Gejala pada serangan berat
oleh Pestalotia sp. (a) dan konidia Pestalotia sp. (Perbesaran 40 X 10)
(b)
27

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Budidaya yang dilakukan petani dapat mempengaruhi munculnya hama dan


penyakit. Hama yang ditemukan pada pertaman jambu biji di Kecamatan Tanah
Sareal adalah kepik penghisap (Hemiptera: Miridae), belalang (Orthoptera:
Acrididae), ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae), ulat jengkal (Lepidoptera:
Geometridae), ulat pucuk (Lepidoptera: Pyralidae), kututempurung (Hemiptera:
Coccidae), wereng pucuk (Hemiptera: Flatidae), dan kutu putih (Hemiptera:
Pseudococcidae). Hama menggigit mengunyah lebih banyak ditemukan pada
varietas bangkok putih sedangkan hama menusuk menghisap lebih banyak
ditemukan pada varietas getas merah. Peyakit yang ditemukan adalah penyakit
karat merah akibat alga hijau (Cephaleuros sp.), antraknosa (Colletotrichum
gloeosporioides), serta kanker buah (Pestalotia sp.). Penyakit karat merah lebih
dominan pada kedua lahan dibanding penyakit antraknosa maupun kanker buah.
Helopeltis sp menjadi hama yang sangat penting karena dapat menyebabkan
kerusakan secara langsung dan kerugian mencapai 50%. Selain Helopeltis sp. lalat
buah (Diptera : Tephritidae) juga merupakan hama utama tanaman jambu biji,
namun pada saat pengamatan tidak ditemukan. Hal ini disebabkan karena petani
telah melakukan pengendalian dengan cara membungkus buah sehingga lalat buah
tidak dapat menyerang. Pembungkusan buah sekaligus dapat mengendalikan
Helopeltis sp., kanker buah (Pestalotia sp.) dan antraknosa.

Saran

Perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi mengenai hama dan penyakit


penting yang menyerang jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, serta perlu
dikembangkan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.
28

DAFTAR PUSTAKA

[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2017. Data Suhu Harian,
Kelembaban Harian, dan Curah Hujan Harian. Bogor (ID): BMKG Stasiun
Klimatologi Darmaga Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2014. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014
[internet]. [diunduh 2017 Juli 19]. Tersedia: jabar.bps.go.id
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2016. Istilah Statistika. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistika.
[BPSDJH] Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015.
Produksi Nasional Buah [internet]. [diunduh 2016 September 20]. Tersedia:
www.pertanian.go.id
[Ditjen Perkebunan] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Pengenalan dan
Pengendalian hama wereng pucuk mete (Sanurus indecora Jacobi.) pada
tanaman jambu mete [internet]. [diunduh 2017 Jul 27]. Tersedia:
http://www.JPGPDF.net
Agrios GN. 2005. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Busnia M, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Pathology 3rd
ed.
Amusa NA, Ashaye OA, Amadi J, Oladapo O. 2006. Guava fruit anthracnose and
the effects on its nutritional and market values in Ibadan, Nigeria. Journal of
Applied Science 6(3):539-543.
Ashari S. 2006. Hortikultura: Aspek Budidaya. Edisi revisi. Jakarta (ID): UI-Press.
Atmadja WR. 2003. Status Helopeltis antonii sebagai hama pada beberapa tanaman
perkebunan dan pengendaliannya [internet]. [diunduh 2017 Jul 27]. Tersedia
pada: pustaka.litbang.pertanian.go.id
Barnett H, Hunter BB. 1999. Illustrated Genera Fungi of Imperfect Fungi. Edisi
ke-4. Minnesota: APS Press.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Ed. ke-6. Soetiyono P, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Studies of Insects.
CABI. 2016. Ferrisia Virgata (striped mealybug). [Internet]. [diunduh 2017 Mei
22]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/mobile/datasheet/23981
CABI. 2016. Rastrococcus spinosus (Robinson) (Homoptera: Pseudococcidae) and
its natural enemies in Pakistan. [Internet]. [diunduh 2017 Mei 22]. Tersedia
pada: http://www.cabi.org/isc/mobile/abstract/19830599809
Cooke BM. 2006. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Cooke BM, Jones
DG, Kaye B, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. 2nd Ed. Dordrecht
(NL): Springer. hlm 43-80.
Emmanuel N, Sujatha A, Gautam B. 2012. Occurance of bag worms Pteroma
plagiophleps Hamps and Clania sp. on cocoa corp. Insect Environment.
16(2):60-61
Eriza AS. 2015. Hama dan penyakit tanaman jambu kristal (Psidium guajava L.) di
Agribusiness Development Station Cikarawang Bogor [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
29

Faridah D. 2011. Hama dan penyakit tanaman jambu biji (Psidium guajava L.) di
Kecamatan Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga Bogor [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ginting R. 2009. Keanekaragaman lalat buah (Diptera: Tephritidae) di Jakarta,
Depok, dan Bogor sebagai bahan kajian penyusunan analisis resiko hama
[tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Gould WP, Raga A. 2002. Pest of guava. Di dalam: Pena JE, Sharp JL, Wysoki M,
editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators: Biology, Economic Importance,
Natural Enemies, and Control. New York (US): CABI. hlm 295- 313.
Heroe H. 2005. Karakterisasi, dinamika, dan optimasi pemberian unsur hara serta
insektisida pada sistem produksi padi bagi pemanfaatan lahan sawah
berkelanjutan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indriati G, Khaerati. 2013. Ulat kantung (Lepidotera: Psychidae) sebagai hama
potensial jambu mete dan upaya pengendaliannya [internet]. [diunduh 2017
Jul 27]. Tersedia pada: perkebunan.litbang.pertanian.go.id
Jaya IKD. 2009. Studi pendahuluan tentang praktek budidaya dan potensi
pengembangan tanaman buah naga (hylocereus spp.) Di kabupaten
lombok utara. Seminar nasional “Kebijakan dan penelitian di bidang
pertanian untuk pencapaian kebutuhan pangan dan agroindustri”. 14 maret
2009. Fakultas pertanian UNRAM.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Lan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassengin Indonesia.
Kok ML. 1971. Laboratory studies on the life-history of Valanga nigricornis
(Burm.) (Orth., Acrididae). Bull of Entomol Res [Internet]. [diunduh 2017 Jul
27]; 63(3):439-446. Tersedia pada:
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid
=2518788.
Lim TK, Manicom BC. 2003. Diseases of guava. Di dalam: Ploetz RC, editor. 2003.
Diseases of Tropical Fruit Crops. Wallingford, UK: CABI Publishing.
Meritt RW, Courtney GW, Keiper JB. 2003. Diptera (Flies, Mosquitoes, Midges,
Gnats). Di dalam Resh VH, Carde RT, editor. Encyclopedia of Insects. San
Diego (US): Elsevier. hlm 336.
Misra AK. 2004. Guava diseases: their symptoms, causes and management. Di
dalam: Naqvi SAMH, editor. Diseases of Fruits and Vegetables Diagnosis
and Management Volume II. Dordrecht (NL): Kluwer Academic Publishers.
hlm 81-119.
Morton J. 1987. Guava [Internet]. Di dalam: Morton JF, Miami FL, editor. Fruits
of Warm Climates. Creative Resources Systems. [diunduh 2016 Oktober 22].
hlm 356-363. Tersedia pada: http://www.hort.purdue.
edu/newcrop/morton/guava.html.
Nakasone HY, Paul RE. 1999. Tropical Fruits. Wallingford : CAB International.
Ochtavia S. 2015. Biosistematika varietas pada jambu biji (Psidium guajava L.)
melalui pendekatan morfologi di agrowisata Bhakti Alam Nongkojajar
Pasuruan [skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Oka I N. 2005. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Press. 255 hlm.
30

Pena JE. 1986. Status of pests of minor tropical fruit crops in South Florida. Proc.
Fla. State Hort. Soc. 99:227-230.
Poole M. 2005. Green coffe scale Coccus viridis (Green) [Hemiptera: Coccidae]
[internet]. South Perth (AUS): Entomology Department of Agriculture,
Goverment of Western Australia; [diunduh 2017 Jul 17]. Tersedia pada:
www.agric.wa.gov.au
Popenoe W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruits. New York
(US):Hafner Press.
Rhainds M, Davis DR, Price PW. 2009. Bionomics of bagworms
(Lepidoptera:Psychidae). California (US): Annual Review of Entomology.
54(2):209-226.
Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press
Soedarya A. 2010. Agribisnis Melon. Bandung (ID): Pustaka Grafika.
Soedyanto. 1986. Dasar Bercocok Tanam Jilid II. Jakarta (ID): CV. Yasaguna
Soetopo D, Adria, Amrizal. 1988. Hama cengkeh dan perkembangan cara
penanggulangannya. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 4(2) :43-
47.
Soetopo L. 1992. Psidium guajava L. Di dalam: Verheij EWM, Coronel RE, editor.
Plant Resources of South-East Asia: Edible Fruits and Nuts. Bogor (ID):
Prosea Foundation. hlm 266-270.
Siswanto, Wiratno. 1998. Serangan ulat jengkal pada tanaman adas [internet].
[diunduh 2017 Jul 27]. Tersedia pada: download.portalgaruda.org
Sujiprihati S. 1985. Studi keragaman berbagai sifat agronomis dan pola
pembungaan/pembuahan jambu Bangkok. Bogor (ID): Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Supriatna IP. 2014. Kelimpahan artropoda predator dan hama pada tanaman jambu
biji kristal di International Cooperation and Development Fund (ICDF)
Cikarawang, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutejo M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta (ID): Rineka Cipta
Watanabe T. 1994. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies of
Cultured Fungi and Key to Species. Boca Raton, penerjemah. Florida (US):
CRC Press Inc. Terjemahan dari: Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi:
Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species (writen in Japanese).
Wiratno EA, Wikardi IM, Trisawa, Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis antonii
(Hemiptera: Miridae) pada Tanaman Jambu Mete. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri II(I): 36-42.
31

LAMPIRAN
32
33

Lampiran 1 Kuisioner terstruktur petani responden di Kecamatan Tanah Sareal

Kuisioner Petani Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L.)


di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor
Desa/ Alamat : Waktu :
Tanggal : No. Kebun Contoh :
Jenis Kebun :

Karakteristik Petani
1. Nama :
2. Jenis Kelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan
3. Umur :
4. Tingkat pendidikan :

Lahan Jambu Biji


5. Luas lahan pertanaman jambu biji yang digarap/diusahakan : ............. ha
6. Status kepemilikan lahan :
[ ] pemilik dan penggarap [ ] penyewa
[ ] penggarap [ ] lainnya, yaitu …..

Budidaya Jambu Biji


7. Jenis spesies atau varietas jambu biji yang ditanam : ..................................
8. Asal bibit :
[ ] membeli dari perusahaan pembibitan
[ ] diberikan oleh dinas atau instansi pemerintahan
[ ] membeli dari petani lain
[ ] membuat bibit sendiri : [ ] stek batang [ ] biji [ ] lainnya, yaitu …….
[ ] lainnya, yaitu …….
9. Umur tanaman saat ini : ...............................................................................
10. Jarak tanam : ….. cm x ….. cm
11. Pola tanam :
[ ] monokultur
[ ] polikutur/tumpang sari, dengan ……….
12. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan : ................................................

13. Apakah menggunakan pupuk kimia?


[ ] tidak
[ ] ya, jenis pupuk kimia yang digunakan.........
Berapa dosis.....

14. Pupuk kandang yang digunakan


a. Kotoran sapi............................. kg
b. Kotoran ayam............................kg
34

c. Pupuk kompos...........................kg
d. Lainnya......................................kg

15. Pemupukan :
Jenis Pupuk Intensitas Waktu Dosis (kg) Harga per
Pemupukan kg (Rp)
Kandang
Urea
TSP
KCl
NPK

16. Masalah yang sering dihadapi dalam usaha tani


[ ] Hama dan Penyakit
[ ] Modal
[ ] Cuaca (Kabut)
[ ] Lainnya:...............................................................
17. Dari serangan hama atau penyakit tersebut, kira-kira bera kehilangan hasil
panen:........%
[ ]<20% [ ] 20-4-% [ ]> 40-60% [ ]> 60-80% [ ]>80% [ ]lainnya

Pengendalian OPT
18. Bagaimana cara pengendalian hama dan penyakit:
[ ] secara mekanik, dengan .........................
[ ] secara fisik, dengan ............................
[ ] secara hayati, dengan.......................
[ ] secara kimia
a. Jenis pestisida..............
b. Dosis ....................../ha
c. Waktu aplikasi..................
d. Frekuensi aplikasi...............
19. Mengapa menggunakan pestisida untuk pengendalian
[ ] Efektif terhadap serangan hama dan penyakit
[ ] Mudah didapatkan
[ ] Praktis dalam aplikasi
[ ] Harga murah
[ ] Saran dari orang lain
[ ] Lainnya.......................
20. Pestisida apa saja yang digunakan...........
21. Apakah bapa menggendalikan gulma?
[ ] ya [ ] tidak
22. Bagaimana cara mengendalikan gulma
[ ] mencabut dengan tangan
[ ] menggunakan herbisida
[ ] menggunakan alat pemotong
[ ] lainnya...............................
35

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 24 Desember 1994 sebagai anak


kedua dari pasangan Bapak Mustangin dan Ibu Djuniharti. Penulis adalah putri
kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri
Wotsogo 1 pada tahun 2007, pendidikan di SMP Negeri 1 Jatirogo pada tahun 2010,
pendidikan di SMA Negeri 1 Jatirogo dan pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Ilmu Hama Tumbuhan Dasar pada tahun ajaran 2015/2016. Penulis
juga aktif sebagai anggota UKM Gentra Kaheman periode 2013/2014, anggota
departemen Olahraga dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FAPERTA)
periode 2014/2015, anggota Entomologi Club periode 2015/2016, dan anggota
Ikatan Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban (IPMRT) IPB. Penulis pernah
mengikuti Kuliah Kerja Nyata berbasis Profesi (KKN-P) di Desa Ciasmara,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor pada tahun2016.
Selain mengikuti kegiatan kampus, penulis aktif mengikuti kepanitiaan di
antaranya yaitu National Plant Protection Event (NPV) 2014, Seri A-Action (2015),
Festival Perlindungan Tanaman (FPTN) 2015, (NPV) 2016; berbagai seminar, dan
pelatihan. Selama kuliah, penulis merupakan penerima beasiswa PPA-BBM selama
3 semester.

You might also like