Professional Documents
Culture Documents
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hama dan Penyakit
Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L) di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
DESY NUR AVIFAH. Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava
L) di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Dibimbing oleh HERMANU
TRIWIDODO dan EFI TODING TONDOK.
Kata kunci : budidaya, jambu biji, kejadian penyakit, kejadian serangan hama,
keparahan penyakit
ABSTRACT
DESY NUR AVIFAH. Pests and Diseases of Guava (Psidium guajava L.) at Tanah
Sareal, Bogor. Supervised by HERMANU TRIWIDODO and EFI TODING
TONDOK.
Key words: cultivation, disease incidence, disease severity, guava, pest incidence
©HAK CIPTA MILIK IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
mnyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hama dan Penyakit Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L.) di
Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor”. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober
2016 sampai Maret 2017. Terimakasih tak terhingga penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi
atas segala kesabaran dalam memberi ilmu, bimbingan, arahan, fasilitas,
bantuan, motivasi, kritik dan saran sejak persiapan penelitian hingga penulisan
skripsi ini selesai.
2. Ibu Dr. Efi Toding Tondok, SP. MSc. Agr. selaku dosen pembimbing
akademik sekaligus pembimbing dua yang telah memberikan bimbingan dan
motivasinya.
3. Bapak Dr. Ir. Widodo, Msi selaku penguji tamu yang telah memberikan
masukan serta perbaikan pada penelitian dan naskah skripsi saya.
4. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman.
5. Petani Kecamatan Tanah Sareal yang telah menyediakan waktunya selama
proses penelitian berlangsung.
6. Kedua orangtua saya Ayahanda Mustangin dan Ibunda Djuniharti yang selalu
mendoakan dalam setiap hela nafas, selalu mengupayakan yang terbaik dan
motivasi yang luar biasa sehingga saya mampu berjuang hingga akhir.
7. Kakak saya Maretna Rizqa Ila Romadon, Amd Keb. dan adik Yuziqa Putri Nur
Fanda yang telah memberikan dukungan dan doa selama penulis menempuh
pendidikan.
8. Teman sebimbingan Winda Asih Mitrasari dan Dwi Andini Shiami atas
bantuan baik dalam proses penelitian maupun dalam diskusi serta perbaikan
penulisan.
9. Sahabat penulis Maya Eka Sari, Juliana Sani, Erci Eli Hayati, Eni Yuniasih,
Ratna Nengsih, yang selalu memberi semangat.
10. Teman seperjuangan Muhammad Basri, Ade Nendy Mulyana, Muhammad
Ikhsan, dan Fitrawati yang telah membantu dalam proses penelitian dan
penulisan serta rekan-rekan Proteksi Tanaman angkatan 50 yang telah memberi
dukungan, motivasi dan saran.
11. Teman – teman OMDA IPMRT, serta teman – teman lain yang tidak dapat
disebut satu persatu.
Semoga penelitian ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
BAHAN DAN METODE 3
Tempat dan Waktu 3
Metode Penelitian 3
Wawancara 3
Penentuan Lahan Pengamatan dan Petak Contoh 3
Pengamatan Hama dan Penyakit 4
Identifikasi Hama dan Penyakit 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Keadaan Umum Lokasi Penelitian 6
Profil Petani Responden 7
Budidaya Tanaman Jambu biji 9
Bibit dan Pola Tanam 9
Pengolahan Tanah dan Penanaman 10
Pemupukan 10
Pengendalian Gulma 11
Penggunaan Pestisida 12
Pemangkasan 12
Pembungkusan Buah 13
Pemanenan 13
Permasalahan dalam Usahatani Jambu Biji 14
Hama Tanaman Jambu Biji 14
Kejadian Serangan Hama 15
Hama Menggigit Mengunyah 15
Hama Menusuk Menghisap 18
Penyakit Tanaman Jambu Biji 23
Karat Merah 24
Antraknosa 24
Kanker Buah 26
SIMPULAN DAN SARAN 27
Simpulan 27
Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
RIWAYAT HIDUP 35
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia termasuk salah satu wilayah yang kaya akan buah-buahan, salah
satunya adalah jambu biji (Psidium guajava L). Jambu biji merupakan salah satu
komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia dan
memiliki rasa yang khas. Selain itu kandungan gizi yang cukup tinggi membuat
buah ini disukai oleh masyarakat. Dalam setiap 100 g jambu biji masak segar
terdapat 87 mg vitamin C. Kandungan lain pada jambu biji yaitu vitamin A, B,
protein, kalsium, fosfor, karbohidrat, lemak serta zat besi yang diperlukan oleh
tubuh manusia. Buah jambu biji dapat dimanfaatkan dalam bentuk konsumsi buah
segar atau dalam bentuk produk olahan seperti jus, eskrim, jeli, pasta atau selai
(Gould dan Raga 2002). Selain buahnya daun jambu biji telah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia sebagai obat diare (Ashari 2006).
Jambu biji (psidium guajava) sering disebut juga jambu klutuk, jambu siki,
atau jambu batu, dengan varietas ada Getas Merah, Sukun Merah, Sukun Farang,
Lokal, Pear, dan Kristal (Ochtavia 2015). Jambu biji adalah salah satu tanaman
buah jenis perdu. Jambu biji dapat tumbuh di daerah tropis maupun sub-tropis.
Tanaman jambu biji di Indonesia telah dibudidayakan dan menyebar luas di daerah-
daerah Pulau Jawa meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
dan Jawa Timur. Morton (1987) menyatakan bahwa tanaman jambu biji termasuk
tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan seperti kekeringan, lahan
berbatu, pH rendah, tetapi tidak tahan terhadap beku (frost) . Di daerah tropis,
tanaman jambu biji dapat tumbuh pada suhu 15 sampai 45 oC namun hasil terbaik
diperoleh pada suhu antara 23 sampai 28 oC (Soetopo 1992).
Tingkat produksi jambu biji mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun
terakhir. Produksi jambu biji di Indonesia berturut-turut dari tahun 2011 sampai
2015 adalah 211 836 ton/tahun, 208 151 ton/tahun, 181 632 ton/tahun, 187 406
ton/tahun, 195 743 ton/tahun (BPSDJH 2015). Produksi jambu biji di Jawa Barat
pada tahun 2014 sebanyak 477 636 kw dengan produksi tertinggi pada kabupaten
Cirebon (85 698 kw) dan Bogor (52 720 kw) (BPS 2014). Fluktuasi produksi jambu
biji tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah serangan
hama dan patogen. Perawatan tanaman jambu biji sebenarnya tergolong mudah
tetapi apabila penanaman suatu komoditas pertanian secara luas dan monokultur
berpeluang menjadi salah satu penyebab terjadinya outbreak suatu hama atau
penyakit (Jaya 2009).
Secara umum, kerusakan oleh hama dan penyakit berpengaruh terhadap hasil
panen secara kuantitas maupun kualitas yang mengakibatkan kerugian ekonomi.
Pengendalian OPT seringkali membutuhkan biaya yang cukup besar dan menjadi
pertimbangan secara ekonomi. Beberapa hama tanaman jambu biji di Bogor yang
telah dilaporkan oleh Eriza (2015) dan Faridah (2011) antara lain hama menggigit
mengunyah yaitu ulat kantung, ulat pucuk, ulat jengkal, belalang, ulat bulu, lalat
buah, dan kutu perisai. Adapun penyakit yang menginfeksi tanaman jambu biji
antara lain penyakit antraknosa, kanker buah Pestalotiopsis, penyakit karat merah
dan embun jelaga.
2
Informasi mengenai hama dan penyakit tanaman jambu biji yang lebih
lengkap dan terperinci diperlukan karena dengan adanya penanaman jambu biji
secara monokultur dapat berpotensi menyebabkan adanya masalah hama dan
penyakit baru atau peningkatan masalah hama dan penyakit yang telah ada (Pena
1986). Informasi tersebut juga penting untuk menentukan langkah pengelolaan dan
pengendalian hama dan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian
mengenai hama dan penyakit jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Metode Penelitian
Wawancara
Wawancara dengan pemilik kebun jambu biji dilakukan untuk mendapatkan
informasi mengenai praktik budidaya yang diterapkan di lahan jambu biji di Desa
Sukaresmi dan Sukadamai Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Selain itu
wawancara dilakukan untuk mengetahui masalah hama dan penyakit yang
menyerang serta pengendalian yang telah dilakukan oleh petani (Lampiran 1).
Gambar 1 Denah penentuan tanaman contoh untuk pengamatan hama dan penyakit
jambu biji
4
Gambar 2 Pedoman perkiraan persentase gejala dan tanda penyakit karat merah
pada daun jambu kristal (Eriza 2015)
5
Penentuan nilai kategori serangan penyakit karat pada daun tanaman jambu
biji (Tabel 1) (Eriza 2015).
Tabel 1 Penentuan nilai numerik tingkat keparahan penyakit karat merah
Keparahan Penyakit (%) Nilai numerik Keterangan
0 0 Sehat
0< n ≤ 5 1 Sangat ringan
5 < n ≤ 15 2 Ringan
15 < n ≤ 30 3 Sedang
30 < n ≤ 60 4 Berat
n > 60 5 Sangat berat
Analisis Data
a b
Responden dalam penelitian ini adalah petani yang sudah berusaha tani jambu
biji sejak tahun 2006. Profil petani responden diklasifikasikan menurut umur,
tingkat pendidikan, pengalaman bertani jambu biji, kepemilikan lahan dan luas
lahan. Profil tersebut dianggap penting karena akan mempengaruhi pelaksanaan
8
usahatani jambu biji terutama dalam melakukan teknik budidaya jambu biji yang
nantinya akan berpengaruh pada produksi yang dihasilkan petani tersebut. Profil
petani responden jambu biji dijelaskan pada (Tabel 3 dan 4).
Penggolongan usia dibagi menjadi lima interval, yaitu usia antara 21 sampai
30, 31 sampai 40, 41 sampai 50, 51 sampai 60, dan lebih dari 61 tahun. Usia petani
responden mayoritas antara 51 sampai 60 dengan jumlah 6 orang atau 30 persen,
skala usia antara 31 sampai 40 tahun sejumlah 5 orang, usia antara 41 sampai 50
tahun sejumlah 4 orang, dan usia lebih dari 61 tahun sejumlah 3 orang. Petani
dengan usia 21 sampai 30 tahun menempati jumlah paling sedikit yaitu 2 orang dari
total petani responden. Secara umum, hal ini menujukkan bahwa usia petani
responden masih berada pada usia produktif. BPS (2016) menyatakan bahwa
kisaran usia produktif antara 15 sampai 65 tahun.
Tingkat pendidikan yang dimiliki petani responden akan berpengaruh
terhadap penggunaan teknologi baru dan penyerapan ilmu pengetahuan dalam
rangka peningkatan usahatani jambu biji. Menurut hasil wawancara, diketahui
bahwa seluruh responden pernah mengalami pendidikan formal. Secara umum
tingkat pendidikan yang dialami oleh petani responden tergolong masih rendah,
terlihat dari sebagian besar petani hanya sampai lulus SD sebesar 45% (Tabel 3).
Menurut Heroe (2005), petani dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung
lebih mudah menerima inovasi dan teknologi pertanian dibandingkan dengan
petani yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Namun kekhawatiran petani akan
sulit menerima adopsi teknologi baru dan penyerapan pengetahuan dapat
diminimalkan melalui lamanya pengalaman responden dalam bertani jambu biji.
Tingkat pengalaman petani dalam bertani jambu biji akan memengaruhi
pengambilan keputusan petani dalam budidaya jambu biji. Tabel 3 menjelaskan
bahwa mayoritas petani sudah berpengalaman dalam usahatani jambu biji selama
9
lebih dari 6 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya jambu biji sudah cukup
lama dilakukan oleh para petani di daerah penelitian. Semakin lama pengalaman
petani dalam usahatani jambu biji, maka pengetahuan petani dalam memahami
budidaya jambu biji semakin tinggi.
Petani responden di Kecamatan Tanah Sareal menanam jambu biji sebagai
penggarap sebesar 10% sebagai pemilik sekaligus penggarap sebesar 90% (Tabel
4). Status kepemilikan lahan nantinya akan berpengaruh pada tingkat penerimaan
yang diperoleh petani.
Petani responden di Kecamatan Tanah Sareal menanam jambu biji dalam
petak-petak lahan yang tidak begitu luas, sebagian besar menanam pada lahan
seluas 0.1 sampai 0.5 ha (45%), 20% pada lahan kurang dari 0.1 ha dan pada lahan
lebih dari 1 ha, dan 15% yang menanam jambu biji pada lahan 0.5 sampai 1 ha
(Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa petani masih memiliki keterbatasan dalam
penguasaan lahan untuk usaha tani jambu biji.
Tabel 4 Kepemilikan lahan dan luas pengusahaan lahan jambu biji oleh petani
responden
Lahan Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Status kepemilikan
Milik sendiri dan penggarap 18 90
Penggarap 2 10
Luas pangusahaan
≤ 0.1 ha 4 20
0.1 ha < x ≤ 0.5 ha 9 45
0.5 ha < x ≤ 1 ha 3 15
≥ 1 ha 4 20
Tabel 5 Asal bibit jambu biji yang digunakan oleh petani responden
Asal bibit Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Diberikan oleh dinas atau 1 5
instansi pertanian
Membeli dari petani lain 8 40
Membuat bibit sendiri 11 55
Tabel 6 Pola tanam yang dilakukan oleh petani jambu biji di Kecamatan Tanah
Sareal, Bogor
Pola tanam Jumlah petani (orang) Persentase (%)
Monokultur 12 60
Polikultur/tumpang sari 8 40
Pemupukan
Pemberian pupuk dilakukan dengan tujuan menyuburkan tanah dan menjaga
kelembapan tanah. Pemupukan pada umumnya dilakukan antara 2 sampai 4 kali
11
dalam setahun. Pupuk utama yang digunakan yaitu pupuk organik dan ditambah
dengan pupuk anorganik. Semua petani responden melakukan pemupukan dengan
menggunakan pupuk organik yaitu kotoran kambing. Dosis yang digunakan antara
15 sampai 50 kg per tanaman. Menurut Sutejo (2002), pupuk organik mempunyai
fungsi yang penting dibandingkan dengan pupuk anorganik yaitu dapat
menggemburkan lapisan permukaan tanah (topsoil), meningkatkan populasi jasad
renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang secara keseluruhan dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Soedyanto (1986),pemupukan yang baik
sebaiknya diaplikasikan pada watu air tanah dalam jumlah yang cukup, tidak kering
dan tidak mengalir. Dengan memperhatikan jenis tanaman dan dosis aplikasi pupuk
dalam jumlah yang berbeda serta efisiensi penggunaan pupuk yang juga tergantung
dari waktu pemberian. Dosis dan aplikasi pemupukan oleh petani responden
bergantung pada umur tanaman dan varietas jambu biji serta keadaan ekonomi
petani. Sebagian petani juga mengaplikasikan pupuk anorganik antara lain urea,
ZA,TSP, KCL, NPK, Phonska dan Mutiara dan diaplikasikan antara 3 sampai 6
bulan sekali (Tabel 7).
Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang yang dibeli dari para
peternak kambing yang berasal dari kelurahan Sukaresmi, namun apabila
kebutuhan tidak mencukupi petani biasanya membeli dari kelurahan lain. Semetara
pupuk anorganik diperoleh petani dengan membeli di pasar. Petani
mengaplikasikan pupuk dengan cara dicampur. Dosis yang diaplikasikan pun
beragam mulai dari 300 sampai 1 000 gram per tanaman atau 500 kg per ha. Petani
juga menggunakan pupuk cair seperti Gandasil B, Gandasil C, dan super KCL.
Tabel 7 Penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jambu biji oleh petani di
Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
Jenis pupuk Penggunaan oleh petani (orang) Frekuensi aplikasi
Urea 15 3-6 bulan sekali
ZA 3 3-6 bulan sekali
TSP 12 3-6 bulan sekali
KCL 11 3-6 bulan sekali
NPK 8 3-6 bulan sekali
Phonska 5 3-6 bulan sekali
Pengendalian Gulma
Petani yang menanam jambu biji dengan tumpangsari melakukan
pengendalian gulma secara intensif. Sejumlah 50% petani responden
mengendalikan gulma secara manual, 25% petani menggunakan herbisida dan
sisanya melakukan pengendalian gabungan baik secara manual dan menggunakan
herbisisda (Tabel 8). Sebagian petani beranggapan bahwa penggunaan herbisida
kurang tepat karena dapat mempengaruhi tanaman jambu biji ataupun tanaman
tumpangsari, sedangkan alasan petani melakukan pengendalian gabungan karena
apabila gulma yang terdapat di lahan hanya sedikit mereka bisa membersihkan
dengan cara manual namun apabila gulma yang terdapat di lahan sangat banyak
maka penggunaan herbisida akan sangat membantu dan tidak membutuhkan tenaga
lebih.
12
Penyiangan gulma pada pertanaman jambu biji yang sudah mencapai umur 1
tahunan atau lebih, gulma tidak dibabat sampai habis, melainkan hanya di sekeliling
tanaman jambu biji. Pengendalian gulma tidak dijadwalkan karena pertumbuhan
gulma yang berbeda pada pertumbuhan setiap tanaman jambu biji. Jika gulma
sudah terlihat tinggi maka pengendalian segera dilakukan. Pengendalian dengan
menggunakan herbisida oleh petani pada masa pertanaman dilakukan dengan
interval 2 bulan sekali.
Penggunaan Pestisida
Penyemprotan dengan menggunakan pestisida bertujuan untuk menghindari
tumbuhnya penyakit atau mengurangi hama. Penyemprotan dilakukan apabila
terlihat gejala serangan hama atau penyakit. Penggunaan pestisida tergantung dari
para petani itu sendiri. Beberapa petani tidak menggunakan pestisida untuk kegiatan
usahatani jambu getas merah, namun pada petani yang lain, mereka memilih untuk
menggunakan pestisida pada tanaman mereka untuk mengendalikan hama.
Pestisida diperoleh dari pasar saprotan yang berada di Kota Bogor seperti Pasar
Anyar dan Pasar Induk Kemang. Jenis pestisida yang digunakan adalah dengan
merek dagang Decis (Deltametrin) untuk menghilangkan hama semut dan rayap.
Selain itu, petani juga menggunakan Dursban (Klorpirifos), Basban (Klorpirifos),
Protex (Profenofos), Curacron (Profenofos), Dimacide (Dimetoat), Starlet
(Bisultap), Dense (Metil Tiofanat), Propanil (Propineb), Matador (Sihalotrin),
Marshal (Karbosulfan), Sancord (Sipermetrin), dan Top Ban (Klorpirifos).
Penggunaan pestisida dilakukan dengan cara disemprotkan ke permukaan
daun dan batang tanaman jambu biji. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari. Rata-
rata penyemprotan pestisida oleh petani pemilik dan petani penyewa dilakukan
sekali dalam satu minggu dan kegiatan tersebut berlangsung selama dua bulan
berturut-turut dalam satu kali musim panen. Dalam 1 tahun, jambu getas merah
dapat dipanen dibanyak dua kali. Ini berarti, dalam satu tahun petani pemilik dan
petani penyewa melakukan penyemprotan pestisida sebanyak 32 kali atau sebanyak
16 kali setiap musim panen. Rata-rata konsentrasi pestisida Decis yang digunakan
adalah satu mililiter per satu liter air.
Pemangkasan
Pemangkasan ujung-ujung cabang bertujuan (1) membentuk kanopi yang
baik sehingga akan meningkatkan produksi, biasanya pemangkasan dilakukan
setelah panen agar tunas baru yang akan tumbuh dapat berkembang lebih baik, (2)
batang yang jelek, kering, mati, layu atau terkena penyakit agar tidak menyebar ke
bagian pohon lainnya, dan (3) membuang tunas air.
13
Pembungkusan Buah
Setelah tanaman jambu biji berumur sekitar 6 bulan, jambu biji akan segera
berbuah. Pembungkusan buah dengan kertas koran dan plastik bertujuan untuk
membantu mengurangi serangan hama (kelelawar, lalat buah, Helopeltis sp., ulat),
dan melindungi buah dari sinar matahari untuk mengurangi penguapan. Selain itu
kulit buah yang dibungkus akan menjadi lebih mulus, mengkilap, dan lebih cepat
ranum. Pembungkusan dilakukan pada buah yang telah sebesar bola pingpong yaitu
dengan diameter buah sekitar 2 sampai 3.5 cm atau berumur sekitar 1 sampai 1.5
bulan setelah bunga mekar. Pembungkusan buah umumnya dilakukan pada pagi
hari antara pukul 7 sampai 10 pagi atau tergantung banyaknya buah yang
dibungkus.
Semua petani menggunakan plastik dan koran untuk pembungkusan buah.
Plastik dan koran merupakan bahan yang murah dan mudah didapat. Plastik yang
digunakan antara lain berukuran 16 x 20 cm, 17 x 35 cm, dan 20 x 35 cm (jambu
putih). Di dalamnya diberi koran untuk menghindari terpaan panas matahari
langsung pada buah. Sebelum pembungkusan buah beberapa petani melakukan
penyemprotan buah dengan pestisida. Sebagian dari petani juga melakukan
penjarangan buah terhadap buah-buah yang muncul lebih dari satu, agar ukuran
buah dapat maksimal dan ranting tidak terlalu berat menyangga buah tersebut.
Namun ada juga petani yang membiarkan semua buah berkembang sampai panen,
karena penjarangan buah menurut petani dapat mengurangi jumlah panen.
Pemanenan
Pemanenan dilakukan apabila buah jambu biji telah matang, ditandai dengan
tangkai buah tampak kekuningan dan kulit buah bertekstur halus dan tipis, warna
buah telah berubah dari hijau pekat menjadi hijau muda keputihan (baik varietas
getas merah maupun bangkok putih), daging buah agak lunak dan berwarna merah
muda untuk varietas getas merah dan berwarna putih untuk varietas bangkok putih.
Apabila jambu biji akan dikirim ke pasar besar atau untuk ekspor, pemanenan
dilakukan pada saat buah jambu biji masih matang fisiologis.
Selama setahun tanaman jambu biji dapat berbunga sampai tiga kali, sehingga
periode panen besar yaitu pada saat awal buah jambu biji matang secara bersamaan
bisa terjadi 2 kali dalam setahun pada tanaman yang telah tumbuh secara produktif.
Cara pemanenan yang baik yaitu dipetik berserta tangkainya dan dapat juga
dilakukan pemangkasan secara bersamaan. Biasanya pemanenan dilakukan dengan
menggunakan alat bantu gunting pangkas atau dipetik secara langsung. Waktu
pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari karena bobot buah pada pagi hari
14
dalam keadaan optimal akibat penimbunan zat makanan pada malam hari dan buah
belum terkena sinar matahari, sehingga belum terjadi penguapan. Pemanenan
dilakukan langsung oleh pemilik dan juga penggarap di kebun jambu biji, dan
kemudian di jual ke pasar induk Jakarta atau pasar-pasar yang ada di bogor. Jambu
biji merupakan tanaman yang berbuah sepanjang tahun, sehingga pemanenan buah
dapat dilakukan 2 sampai 3 hari sekali (varietas getas merah) dan 4 sampai 5 hari
sekali (varietas bangkok putih) sepanjang tahun.
Hama yang ditemukan di pertanaman jambu biji baik pada varietas getas
merah maupun bangkok putih antara lain kutu putih, kutu tempurung, belalang,
wereng pucuk, kepik penghisap, ulat kantung, ulat pucuk, ulat jengkal, dan semut
(Tabel 9).
Tabel 9 Hama pada tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
Varietas
Ordo/Famili Hama
Getas merah Bangkok putih
Hemiptera
Alydidae Walang sangit -
Coccidae Kutu tempurung
Flatidae Wereng pucuk -
Miridae Kepik penghisap -
Pseudococcidae Kutu putih
Hymenoptera
Formicidae Semut
Lepidoptera
Psychidae Ulat kantung
Geometridae Ulat jengkal -
Pyralidae Ulat pucuk
Orthoptera
Acrididae Belalang -
Keterangan : () terdapat hama dan (-) tidak terdapat hama
15
Tabel 10 Kejadian serangan hama pada tanaman jambu biji varietas getas merah,
dan bangkok putih di Kecamatan Tanah Sareal, Bogor
Kejadian hama (%)
Varietas n Menggigit mengunyah Menusuk menghisap
( X ± SE) ( X ± SE)
Getas merah 15 33.33 ± 3.72 a 30.48 ± 3.79 a
Bangkok putih 5 34.99 ± 14.76 a 18.26 ± 4.86 a
a
Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji t dengan α= 0.05. X : rata-rata; SE: standar error.
a b c
Gambar 6 Ulat kantung dan gejala kerusakan pada tanaman jambu biji getas merah
dan bangkok putih: gejala pada daun (a), ulat kantung spesies 1 (b), dan
ulat kantung spesies 2 (c)
17
a b
Gambar 7 Gejala kerusakan beserta larva ulat pucuk : gejala ringan pada pucuk
daun (a) dan gejala berat beserta larva ulat pucuk (b)
diletakkan sendiri-sendiri atau berkelompok pada daun atau tangkai daun. Stadia
telur berlangsung kurang lebih 1 minggu. Larva dewasa mempunyai bentuk tubuh
kecil pada bagian anterior (kepala) dan membesar ke atah posterior (ujung
abdomen). Larva mempunyai kaki sejati yang runcing sebanyak 3 pasang pada
bagian depan tubuhnya, serta 3 pasang kaki semu yang bulat, pada bagian belakang
tubuhnya. Larva mempunyai ciri yang khas pada saat berjalan, yaitu seperti orang
menjengkal, sehingga dikenal sebagai "ulat jengkal". Larva dewasa mempunyai
ukuran tubuh mencapai 35 mm. Menjelang pra pupa, larva membuat anyaman dari
benang halus berwarna putih dari air liur nya untuk melindungi tubuhnya selama
menjadi pupa, benang-benang tersebut direkatkan pada daun atau ranting pada
bagian pucuk tanaman (Siswanto dan Wiratno 1998).
Pengendalian ulat jengkal yang telah dilakukan petani adalah menggunakan
insektisida. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan serangga hama masih
menjadi pilihan utama petani karena insektisida dapat dengan cepat menurunkan
populasi hama dan dapat dipergunakan setiap saat dan di mana saja. Namun
penggunaan insektisida yang berlebihan juga menimbulkan dampak yang tidak
diinginkan antara lain: hama berkembang menjadi resisten terhadap insektisida,
organisme bukan sasaran termasuk predator dan parasitoid juga ikut mati
menimbulkan ledakan hama sekunder, residu insektisida mencemari tanaman,
tanah, air dan udara serta menimbulkan fenomena resurjensi yaitu jumlah populasi
keturunan hama itu menjadi lebih banyak bila tidak diperlakukan dengan
insektisida (Oka 2005).
Menurut Oka (2005), pengendalian hama secara terpadu yang dapat
dilakukan adalah (1) mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat dengan cara
mengatur pola tanam, pergiliran tanam, sanitasi, pemupukan, pengelolaan tanah dan
pengairan serta menggunakan tanaman perangkap, (2) pengendalian hayati
menggunakan predator, parasitoid, patogen serangga, (3) penggunaan varietas
tahan, (4) pengendalian mekanis, menanam tanaman penghalang, menggunakan
alat perangkap, (5) pengendalian secara sifik (suhu panas, dingin, suara,
kelembaban, perangkap cahaya), (6) pengendalian secara genetik (teknik jantan
mandul).
hingga mati (Gambar 9c). Biasanya buah yang masih kecil tidak dapat berkembang
dengan baik dan kemudian rontok sehingga dapat mengurangi produksi. Kerusakan
akibat hama ini menurut petani sangat merugikan apabila tidak dilakukan
pencegahan yaitu membungkus buah yang masih kecil.
Menurut Wiratno et al. (1996), telur Helopeltis sp. diletakkan dalam jaringan
muda sehingga pada saat menetas, nimfa dapat menemukan makanannya secara
langsung. Telur memiliki dua helai benang berwarna putih dengan panjang berbeda
yang muncul pada permukaan bagian tanaman tempat telur diletakkan. Stadia telur
rata-rata berlangsung selama tujuh hari. Nimfa serangga ini terdiri atas lima instar
dan mengalami lima kali pergantian kulit. Lama stadia instar satu sampai lima
bervariasi yakni antara dua sampai empat hari. Nimfa berwarna cokelat, tidak
bersayap dan memiliki antena yang terdiri atas empat ruas yang panjangnya hampir
dua kali panjang tubuhnya. Nimfa memiliki sifat kurang aktif dan mudah ditangkap.
Apabila diganggu nimfa akan bersembunyi dibalik batang, daun atau bagian-bagian
terlindung lainnya. Imago kepik berwarna kehitaman, memiliki sayap dan bagian
bawah abdomen berwarna putih keperakan. Imago jantan dan betina dapat
dibedakan dengan melihat warna toraks dan ukuran tubuhnya. Toraks imago jantan
berwarna merah kehitaman sedangkan imago betina berwarna merah cerah. Ukuran
imago jantan lebih kecil dari imago betina. Hama ini mampu bertelur sebanyak 1
sampai 18 butir perhari dengan rata-rata jumlah telur selama hidupnya adalah 80
butir (Kalshoven 1981).
a b
Gambar 9 Gejala dan imago Helopeltis sp. : Imago Helopeltis sp. (a), gejala
nekrotik bekas tusukan Helopeltis sp. pada buah (b), dan buah
mengering pada serangan lanjutan Helopeltis sp. (c)
20
Kepik memiliki aktivitas makan dan pergerakan yang baik. Serangga ini
dapat berperan memencarkan inokulum cendawan Pestalotia sp. yang telah ada di
pertanaman atau dari pertanaman satu ke pertanaman lain. Kepik ini sering
diasosiasikan dengan penyakit kanker buah. Bekas tusukan kepik dapat menjadikan
cendawan parasit luka mudah menginfeksi buah, dan penyebarannya dibantu
karena aktivitas pergerakannya
Pengendalian yang telah dilakukan oleh petani adalah dengan membungkus
buah ketika masih berukuran kecil. Menurut Atmadja (2003), pengendalian yang
dapat dilakukan adalah (1) pengendalian secara mekanis yaitu menangkap
Helopeltis sp. dan membungkus buah dengan kantong plastik. (2) pengendalian
kultur teknis yaitu pemupukan yang tepat dan teratur, pemangkasan, sanitasi
tanaman inang, serta pemilihan bibit unggul. (3) pengendalian secara hayati yaitu
penggunaan musuh alami berupa Beauveria bassiana.
Kutu putih (Hemiptera: Pseudococcidae). Kutu putih ditemukan pada
kedua varietas jambu biji baik pada bagian buah, daun, tangkai maupun ranting.
Hama ini merusak jaringan tanaman dengan mekanisme mulut yang menusuk
menghisap. Permukaan tubuh hama ini selalu tertutupi oleh lapisan lilin yang
berguna untuk melindungi dirinya dari lingkungan luar. Kutu putih yang ditemukan
memiliki genus yang berbeda yaitu, Ferrisia virgata (Gambar 10a) yang sering
dijumpai pada pertanaman jambu biji dan Rastrococcus spinosus (Gambar 10b).
Ferrisia virgata merupakan kutu yang polifag. Dalam kondisi tropis dapat
bereproduksi dengan cukup cepat dan pada iklim subtropis masih dapat ditolerir.
Kutu ini telah dilaporkan pada tanaman inang yang memiliki lebih dari 203 genus
di 77 famili, dan dapat merusak banyak tanaman, terutama buah-buahan tropis,
kacang-kacangan dan tanaman rempah-rempah serta tanaman seperti kedelai dan
tomat (CABI 2016).
Menurut CABI (2016), R. spinosus telah mejadi hama penting pada jambu,
mangga, pisang, jeruk, Annona squamosa dan tanaman lainnya. Kutu putih
menghisap cairan bagian buah atau daun tanaman jambu biji, menutupi permukaan
bagian tanaman dengan lilinnya dan sebagian menghasilkan embun madu. Kutu
putih F. virgata dan R. spinosus berasosiasi dengan semut. Semut memanfaatkan
embun madu untuk makanannya, sehingga semut tersebut membantu melindungi
kutu putih dari serangan predator juga membantu penyebarannya. semut bagi petani
merupakan pengganggu ketika buah akan dipanen. Embun jelaga menyebabkan
permukaan daun menjadi hitam dan permukaan daun tersebut terhalang dari sinar
matahari langsung yang menyebabkan proses fotosintesis terganggu.
Pengendalian kutu putih yang telah dilakukan petani adalah dengan
penyemprotan menggunakan detergen. Menurut petani penyemprotan ini efektif
karena apabila setelah disemprot daun menjadi bersih dan tidak lagi terdapat kutu
putih. Namun pengendalian dengan cara ini harus dilakukan sejak awal, karena
dalam satu minggu satu ekor kutu putih dapat berkembangbiak hingga menutupi
seluruh permukaan daun.
21
a b
Gambar 10 Kutu putih : F. Virgata (a), R. spinosus (b) ,dan preparat F. Virgata (c)
Penyakit yang ditemukan pada lahan pengamatan baik pada jambu biji
varietas getas merah maupun bangkok putih adalah karat merah (Cephaleuros sp.),
antraknosa (Colletotrichum sp.) dan kanker buah (Pestalotia sp.). Penyakit karat
merah lebih dominan pada kedua lahan dibanding penyakit antraknosa maupun
kanker buah, tetapi tidak berbeda nyata dengan uji t (Tabel 11).
Tabel 11 Kejadian penyakit pada tanaman jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal
Vatietas
Penyakit Getas Merah Bangkok Putih
n ( X ± SE) n ( X ± SE)
Karat merah 15 68.88 ± 5.48 a 5 63.33 ± 11.96 a
Antraknosa 15 12.28 ± 3.39 a 5 5.66 ± 3.92 a
Kanker buah 15 13.33 ± 5.81 a 5 8.09 ± 3.73 a
a
Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan
uji t dengan α= 0.05. X : rata-rata; SE: standar error
24
a b
Gambar 13 Gejala dan penyebab penyakit karat merah : Gejala pada serangan
berat oleh Cephaleuros sp. (a) dan Cephaleuros sp. (b)
Antraknosa
Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Gejala
penyakit antraknosa pada tanaman jambu biji terlihat dengan munculnya bercak
nekrotik pada buah muda yang kemudian berkembang hingga ke seluruh
permukaan buah sehingga buah menjadi berwarna hitam dan busuk (Gambar 14a).
25
Gejala pada tunas menyebabkan perubahan warna dari hijau menjadi coklat tua.
Bercak coklat tersebut kemudian menjadi bercak nekrotik berwarna hitam yang
dapat berkembang ke bagian pangkal sehingga menyebabkan mati ujung (Misra
2004).
Buah jambu biji yang mentah dapat terinfeksi dan cendawan penyebabnya
bisa dorman selama 3 bulan, baru aktif dan menyebabkan pembusukan pada waktu
buah mulai matang. Buah jambu biji muda yang terserang menunjukkan gejala
bercak-bercak nekrotik yang kemudian akan menyatu, buah akan matang secara
terpaksa dan kemudian mengering secara cepat dan terjadi mumifikasi (Amusa et
al. 2005). Seringkali buah yang mengeras ini menjadi retak (Misra 2004). Jika buah
ini dibuka, kanker terlihat meluas ke bagian dalam buah. Biji yang berasal dari buah
yang terinfeksi mengandung patogen (Amusa et al. 2006).
Spesies yang menyerang jambu biji baik pada jambu biji varietas getas merah
maupun bangkok putih yaitu Colletotrichum gloeosporioides (Gambar 14b).
Cendawan Colletotrichum mempunyai tubuh buah berupa aservulus yang
menyembul pada permukaan atas buah. Aservulus membentuk banyak konidium
seperti massa lendir. Konidiumnya tidak berwarna, bersel 1, jorong memanjang,
terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium
yang bersel 1 tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium
sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut
(seta) yang kaku dan berwarna cokelat tua (Semangun 2000).
Pengendalian yang dilakukan petani berupa sanitasi. Buah yang bergejala
biasanya dipetik dan kemudian dipisahkan di pinggir lahan agar tidak menular pada
buah yang masih sehat. Menurut Misra (2004) pengelolaan terhadap penyakit
antraknosa adalah dengan menggunakan varietas tahan. Selain itu, pengendalian
dapat dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim
pada pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas
(Lim & Manicom 2003).
a b
Kanker Buah
Kanker buah umum ditemukan di kedua pertanaman jambu biji, varietas getas
merah maupun bangkok putih. Penyakit ini sering dijumpai apabila tanaman sedang
memasuki masa generatif. Penyebab penyakit ini adalah Pestalotia sp. (Gambar
15b). Cendawan ini merupakan parasit luka, sehingga penyakit ini berasosiasi
dengan aktivitas makan serangga antara lain Helopeltis sp. dan infeksi cendawan
lain.
Cendawan ini sering ditemukan berasosiasi dengan cendawan lain yaitu
dengan Gloeosporium penyebab antraknosa atau cendawan parasit luka lainnya
yaitu Botryodiplodia. Perkembangan penyakit maksimum pada suhu 25 sampai 30
°C dengan kelembapan tinggi (Kaushik et al., 1972 dalam Misra 2004). Cendawan
dapat berkembang baik pada suhu 15 sampai 30 °C. Pertumbuhan terbaik dan
sporulasi terjadi pada suhu 26 °C. Pada penelitian di laboratorium perkecambahan
spora maksimum pada suhu 30 °C dan pada suhu di bawah 15 °C atau di atas 40
°C, cendawan tidak berkecambah (Ramaswamy et al. 1984 dalam Misra 2004).
Medium terbaik untuk perkecambahan adalah ekstrak buah jambu biji, pH optimum
untuk pertumbuhan cendawan adalah 3.9 sampai 4.9 dan pertumbuhan maksimum
pada pH 4.9 (Misra 2004).
Pengendalian yang dilakukan petani adalah dengan membungkus buah ketika
buah masih berukuran kecil dan apabila buah tersebut telah terinfeksi maka buah
tersebut dibuang agar tidak menginfeksi buah yang sehat. Menurut Lim et al. (1986
dalam Semangun 1994), pengelolaan penyakit ini bisa dilakukan dengan
mengendalikan Helopeltis, membuang buah dan daun yang sakit kemudian
dipendam atau dibakar untuk mengurangi sumber infeksi. Penggunaan ekstrak daun
Occimum sanctum dapat menghambat perkecambahan spora cendawan (Misra
2004).
a b
Gambar 15 Gejala dan penyebab penyakit kanker buah : Gejala pada serangan berat
oleh Pestalotia sp. (a) dan konidia Pestalotia sp. (Perbesaran 40 X 10)
(b)
27
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2017. Data Suhu Harian,
Kelembaban Harian, dan Curah Hujan Harian. Bogor (ID): BMKG Stasiun
Klimatologi Darmaga Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2014. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014
[internet]. [diunduh 2017 Juli 19]. Tersedia: jabar.bps.go.id
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2016. Istilah Statistika. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistika.
[BPSDJH] Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015.
Produksi Nasional Buah [internet]. [diunduh 2016 September 20]. Tersedia:
www.pertanian.go.id
[Ditjen Perkebunan] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Pengenalan dan
Pengendalian hama wereng pucuk mete (Sanurus indecora Jacobi.) pada
tanaman jambu mete [internet]. [diunduh 2017 Jul 27]. Tersedia:
http://www.JPGPDF.net
Agrios GN. 2005. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Busnia M, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Pathology 3rd
ed.
Amusa NA, Ashaye OA, Amadi J, Oladapo O. 2006. Guava fruit anthracnose and
the effects on its nutritional and market values in Ibadan, Nigeria. Journal of
Applied Science 6(3):539-543.
Ashari S. 2006. Hortikultura: Aspek Budidaya. Edisi revisi. Jakarta (ID): UI-Press.
Atmadja WR. 2003. Status Helopeltis antonii sebagai hama pada beberapa tanaman
perkebunan dan pengendaliannya [internet]. [diunduh 2017 Jul 27]. Tersedia
pada: pustaka.litbang.pertanian.go.id
Barnett H, Hunter BB. 1999. Illustrated Genera Fungi of Imperfect Fungi. Edisi
ke-4. Minnesota: APS Press.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Ed. ke-6. Soetiyono P, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Studies of Insects.
CABI. 2016. Ferrisia Virgata (striped mealybug). [Internet]. [diunduh 2017 Mei
22]. Tersedia pada: http://www.cabi.org/isc/mobile/datasheet/23981
CABI. 2016. Rastrococcus spinosus (Robinson) (Homoptera: Pseudococcidae) and
its natural enemies in Pakistan. [Internet]. [diunduh 2017 Mei 22]. Tersedia
pada: http://www.cabi.org/isc/mobile/abstract/19830599809
Cooke BM. 2006. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Cooke BM, Jones
DG, Kaye B, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. 2nd Ed. Dordrecht
(NL): Springer. hlm 43-80.
Emmanuel N, Sujatha A, Gautam B. 2012. Occurance of bag worms Pteroma
plagiophleps Hamps and Clania sp. on cocoa corp. Insect Environment.
16(2):60-61
Eriza AS. 2015. Hama dan penyakit tanaman jambu kristal (Psidium guajava L.) di
Agribusiness Development Station Cikarawang Bogor [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
29
Faridah D. 2011. Hama dan penyakit tanaman jambu biji (Psidium guajava L.) di
Kecamatan Rancabungur dan Kampus IPB Darmaga Bogor [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Ginting R. 2009. Keanekaragaman lalat buah (Diptera: Tephritidae) di Jakarta,
Depok, dan Bogor sebagai bahan kajian penyusunan analisis resiko hama
[tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Gould WP, Raga A. 2002. Pest of guava. Di dalam: Pena JE, Sharp JL, Wysoki M,
editor. Tropical Fruit Pests and Pollinators: Biology, Economic Importance,
Natural Enemies, and Control. New York (US): CABI. hlm 295- 313.
Heroe H. 2005. Karakterisasi, dinamika, dan optimasi pemberian unsur hara serta
insektisida pada sistem produksi padi bagi pemanfaatan lahan sawah
berkelanjutan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indriati G, Khaerati. 2013. Ulat kantung (Lepidotera: Psychidae) sebagai hama
potensial jambu mete dan upaya pengendaliannya [internet]. [diunduh 2017
Jul 27]. Tersedia pada: perkebunan.litbang.pertanian.go.id
Jaya IKD. 2009. Studi pendahuluan tentang praktek budidaya dan potensi
pengembangan tanaman buah naga (hylocereus spp.) Di kabupaten
lombok utara. Seminar nasional “Kebijakan dan penelitian di bidang
pertanian untuk pencapaian kebutuhan pangan dan agroindustri”. 14 maret
2009. Fakultas pertanian UNRAM.
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Lan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassengin Indonesia.
Kok ML. 1971. Laboratory studies on the life-history of Valanga nigricornis
(Burm.) (Orth., Acrididae). Bull of Entomol Res [Internet]. [diunduh 2017 Jul
27]; 63(3):439-446. Tersedia pada:
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid
=2518788.
Lim TK, Manicom BC. 2003. Diseases of guava. Di dalam: Ploetz RC, editor. 2003.
Diseases of Tropical Fruit Crops. Wallingford, UK: CABI Publishing.
Meritt RW, Courtney GW, Keiper JB. 2003. Diptera (Flies, Mosquitoes, Midges,
Gnats). Di dalam Resh VH, Carde RT, editor. Encyclopedia of Insects. San
Diego (US): Elsevier. hlm 336.
Misra AK. 2004. Guava diseases: their symptoms, causes and management. Di
dalam: Naqvi SAMH, editor. Diseases of Fruits and Vegetables Diagnosis
and Management Volume II. Dordrecht (NL): Kluwer Academic Publishers.
hlm 81-119.
Morton J. 1987. Guava [Internet]. Di dalam: Morton JF, Miami FL, editor. Fruits
of Warm Climates. Creative Resources Systems. [diunduh 2016 Oktober 22].
hlm 356-363. Tersedia pada: http://www.hort.purdue.
edu/newcrop/morton/guava.html.
Nakasone HY, Paul RE. 1999. Tropical Fruits. Wallingford : CAB International.
Ochtavia S. 2015. Biosistematika varietas pada jambu biji (Psidium guajava L.)
melalui pendekatan morfologi di agrowisata Bhakti Alam Nongkojajar
Pasuruan [skripsi]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.
Oka I N. 2005. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Press. 255 hlm.
30
Pena JE. 1986. Status of pests of minor tropical fruit crops in South Florida. Proc.
Fla. State Hort. Soc. 99:227-230.
Poole M. 2005. Green coffe scale Coccus viridis (Green) [Hemiptera: Coccidae]
[internet]. South Perth (AUS): Entomology Department of Agriculture,
Goverment of Western Australia; [diunduh 2017 Jul 17]. Tersedia pada:
www.agric.wa.gov.au
Popenoe W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruits. New York
(US):Hafner Press.
Rhainds M, Davis DR, Price PW. 2009. Bionomics of bagworms
(Lepidoptera:Psychidae). California (US): Annual Review of Entomology.
54(2):209-226.
Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press
Soedarya A. 2010. Agribisnis Melon. Bandung (ID): Pustaka Grafika.
Soedyanto. 1986. Dasar Bercocok Tanam Jilid II. Jakarta (ID): CV. Yasaguna
Soetopo D, Adria, Amrizal. 1988. Hama cengkeh dan perkembangan cara
penanggulangannya. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 4(2) :43-
47.
Soetopo L. 1992. Psidium guajava L. Di dalam: Verheij EWM, Coronel RE, editor.
Plant Resources of South-East Asia: Edible Fruits and Nuts. Bogor (ID):
Prosea Foundation. hlm 266-270.
Siswanto, Wiratno. 1998. Serangan ulat jengkal pada tanaman adas [internet].
[diunduh 2017 Jul 27]. Tersedia pada: download.portalgaruda.org
Sujiprihati S. 1985. Studi keragaman berbagai sifat agronomis dan pola
pembungaan/pembuahan jambu Bangkok. Bogor (ID): Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Supriatna IP. 2014. Kelimpahan artropoda predator dan hama pada tanaman jambu
biji kristal di International Cooperation and Development Fund (ICDF)
Cikarawang, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutejo M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta (ID): Rineka Cipta
Watanabe T. 1994. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morphologies of
Cultured Fungi and Key to Species. Boca Raton, penerjemah. Florida (US):
CRC Press Inc. Terjemahan dari: Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi:
Morphologies of Cultured Fungi and Key to Species (writen in Japanese).
Wiratno EA, Wikardi IM, Trisawa, Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis antonii
(Hemiptera: Miridae) pada Tanaman Jambu Mete. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri II(I): 36-42.
31
LAMPIRAN
32
33
Karakteristik Petani
1. Nama :
2. Jenis Kelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan
3. Umur :
4. Tingkat pendidikan :
c. Pupuk kompos...........................kg
d. Lainnya......................................kg
15. Pemupukan :
Jenis Pupuk Intensitas Waktu Dosis (kg) Harga per
Pemupukan kg (Rp)
Kandang
Urea
TSP
KCl
NPK
Pengendalian OPT
18. Bagaimana cara pengendalian hama dan penyakit:
[ ] secara mekanik, dengan .........................
[ ] secara fisik, dengan ............................
[ ] secara hayati, dengan.......................
[ ] secara kimia
a. Jenis pestisida..............
b. Dosis ....................../ha
c. Waktu aplikasi..................
d. Frekuensi aplikasi...............
19. Mengapa menggunakan pestisida untuk pengendalian
[ ] Efektif terhadap serangan hama dan penyakit
[ ] Mudah didapatkan
[ ] Praktis dalam aplikasi
[ ] Harga murah
[ ] Saran dari orang lain
[ ] Lainnya.......................
20. Pestisida apa saja yang digunakan...........
21. Apakah bapa menggendalikan gulma?
[ ] ya [ ] tidak
22. Bagaimana cara mengendalikan gulma
[ ] mencabut dengan tangan
[ ] menggunakan herbisida
[ ] menggunakan alat pemotong
[ ] lainnya...............................
35
RIWAYAT HIDUP