You are on page 1of 17

1.

Ontologi

Ontologi adalah reori dari cabang filsafat yang membahas tentang realitas.
Realitas ialah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran.
Bedanya realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan :
apakah sesungguhnya hakikat dari realitas yang ada ini; apakah realitas
yang ada ini sesuatu realita materi saja; adakah sesuatu di balik realita itu;
apakah realita ini monoisme, dualisme, atau pluralisme. Menurut Bramel,
interprestasi tentang suatu realita itu dapat bervariasi.

Di dalam pendidikan,pandangan ontologi secara praktis, akan menjadi


masalah yang utama. Membimbing anak untuk memahami realita dunia dan
membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita itu
merupakan stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya
potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran itu telah dibina.
Di sini kewajiban pendidik adalah untuk membina daya pikir yang tinggi dan
kritis.

2. Epistemologi

Istilah epistemologi pertama kali dicetuskan oleh L. F. Ferier pada abad 19 di


Institut of Methaphisycs (1854). Buku Encyclopedia of Phylosophy, dan
Brameld mempunyai pengertian yang hampir sama tentang epistemologi.
Epistemologi aalah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita mengetahui
benda-benda. Contoh beberapa pernyataan yang menggunakan kata “tahu”
yang berdeda sumber maupun validitasnya:
a. Tentu saja saya tahu ia sakit, karena saya melihatnya;
b. Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan;
c. Kami tahu mobilnya baru, karena baru kemarin kami menaikinya.

3. Aksiologi

Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai. Ada 3 bagian yang
membedakan di dalam aksiologi, yakni moral conduct, esthetic conduct,dan
socio-political life. Nilai dan implikasi aksiologi dalam pendidikan ialah
pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam
kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Beberapa
contoh untuk menilai orang itu baik :
a. Baik, Bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada Ibu!
b. Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu?
c. Baiklah, Pak. Aku akan mengamalkan ilmuku.

LANDASAN ONTOLOGIS DALAM TIK

Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan
hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-
pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu,
hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.

Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto
yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai
ilmu tentang keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek
yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek
tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan
ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah
menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai
nuansanya, merupakan paham ontologik.

Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara
rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada
jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam
batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan
neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang
ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.

LANDASAN EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN TIK

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and
limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”,
“pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.

Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani,
yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi
dapat diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya.
Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan
mengarah ke cabang fisafat metodologi.

Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah


manusia dapat mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a
priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma
pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta,
kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?

Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru
berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba
memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.

C. LANDASAN AKSIOLOGI DALAM TIK

Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162).
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163)
aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang
melahirkan etika; Keduei,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life,
yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.

Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang
artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-
pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan
profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.

Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan
valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak;
2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi
menilai.

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik
tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara
netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt yang
nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik
dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36).

KAITAN ANTARA FILSAFAT ILMU DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat
melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato.
Ethos merupakan komponenfilsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu
normative dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi
hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut
aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai
keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing
para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar
dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan
estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi
(kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).

Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi
dari perspektif epistemology:

Ontologis: What It Is?

Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada
dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri
berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu
Komunikasi.

Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah
yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi
yang menjadi objek kajiannya?

Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu
komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang
paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk
atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point
of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.

Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father,
Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.

Epistemologis: How To Get?


Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan
ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu
Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara
mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-
hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination,
supposing, guesting, learning, and forgetting”.

Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana


proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya,
metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu
yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria
kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?

Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak
kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu
atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi
sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari
ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi
atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat
besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah
lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat
kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.

Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan
kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian
Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin
meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.

Aksiologis: What For?

Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait
dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia
itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan
komunikasi.

Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu
komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-
pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan
dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan
profesional?

Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information,


propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek
aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat
adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu
sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran
apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus
kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai
suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.

Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi
akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga
tidak memerlukan pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan ilmu-ilmu sosial
yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek
abstrak, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit
untuk didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi.
Ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna
menjelaskan objeknya yang abstrak itu.

Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana diutarakan,
objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena
objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu
tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh,
Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini
memenuhi syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi
antarmanusia, bukan dengan yang lain selain makhluk manusia.

Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan
Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari
penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang
ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi
respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia
akan mencederai kriteria objek keilmuannya.

Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun 1976 saja Dance dan
Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi
tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:

Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya

Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi


adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang
bersifat terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk
mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir, dan
sebagainya.

Tingkat kesengajaan

Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi


adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada
seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi
yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses
yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi
dimiliki oleh dua orang atau lebih.

Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan

Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang


menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling
pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan
bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.

Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu diperlukan untuk


menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan jernih, maka pada tahun 1990-an para
teoritisi komunikasi berdebat dan mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan
Apakah komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para ahli sepakat
untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut
pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.

Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif).
Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang
menjadi objek ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan
untuk tidak sepakat” dari para teoritisi komunikasi:

Paradigma-1

Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan
diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan
sengaja, dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus
terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika
pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi
tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya,
ketika seorang teman melambai pada kita tapi kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang
menjadi kajiannya, karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu.

2. Paradigma-2

Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima,


apakah disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan
dengan sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima.
Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai
komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik
disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai
komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada
pemaknaan pesan pada salah satu pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika
kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya, ”Taksi,
pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan
kita yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa
pengirim dan penerima.

3. Paradigma-3

Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja,


namun derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus
disampaikan dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya,
untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan
target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini
merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak
kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah pada salurannya? Atau pada alat
penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?

Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan


kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur
semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman &
pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu
adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama
bangunan filsafat.

Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan
pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan
kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan
yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari
suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.

Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang
ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat
interaksi sosial. Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan
dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi
kemanusiaan.

Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama.
Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas
value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah
dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang
diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori
tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai
metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti
bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah
eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis)
bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan
meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan
komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis
bahkan aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.

E. PENGARUH EPISTEMOLOGI TERHADAP TIK


Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan
ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh
ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam
pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu
pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih
dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu
pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan
dianggap benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan
prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan
fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi
dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih
penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah
dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah
yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.

Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang
ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang
tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan
epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam
melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh
dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan
argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan
bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik
eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa
mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.

Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang
dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman
seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi
sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu
fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi
karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan
pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat
dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang,
sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah
tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia,
dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan
kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil
pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang
maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi.
Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan
teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat
yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk
sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi.
Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi
sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan
menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-
pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang
bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk
mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan
sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai
bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia
pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-
mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan
pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya
ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science
(teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi
itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat
epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka
epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.

Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa
seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh
landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang
mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga
dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai
teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka
terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial,
manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai
prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3)
nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat
produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan
penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan
nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang
diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan
nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan
dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).
Istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu
mengandung lebih dari satu arti. Oleh karena itu, dalam memakai istilah tersebut seseorang harus
menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari arti nama yang dimaksud. Menurut cakupannya
pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah
yang dipandang sebagai satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu
seumumnya (science in general).

Amsal Bakhtiar mengutip dalam Kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawir, disebutkan
bahwa ilmu berasal dari bahasa arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wajan fa’ila, yaf’alu, yang
berarti: mengerti, memahami benar-benar. Sedangkan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi
mendefinisikan makna teknis ilmu yaitu himpunan proposisi-proposisi hakiki yang bisa dibuktikan
dengan pengalaman indrawi.

Sebagaimana yang dikutip The Liang Gie dari The American College Dictionary karya C.L. Barnhart,
Arti kedua dari ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari
sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus seperti misalnya
antropologi, biologi, geografi atau sosiologi. Istilah Inggris ‘science’ kadang-kadang diberi arti sebagai
ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan sistematis mengenal dunia fisis atau
material.

Dari segi makna, pengertian ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada sekurang-
kurangnya tiga hal, yakni, pengetahuan, aktivitas, dan metode. Dalam hal yang pertama ini yang
terumum, ilmu senantiasa berarti pengetahuan (knowledge).

Sementara itu proses sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna yaitu runtunan
perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu, rangkaian tindakan, pembuatan atau
pengolahan yang menghasilkan produk.

The Liang Gie mendefinisikan ilmu dari wujudnya dibagi ke dalam 3 bagian yaitu ilmu sebagai proses,
prosedur, dan produk.

BAGAN WUJUD ILMU

Jadi, yang dimaksud ilmu sebagai proses di sini adalah ilmu secara nyata dan khas merupakan suatu
aktivitas manusia yakni perbuatan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia, ilmu tidak
hanya aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses.

Ilmu sebagai prosedur atau ilmu sebagai metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup pikiran,
pola kerja, tata langkah, dan cara teknik untuk memperoleh kebenaran ilmiah.

Sedangkan Ilmu sebagai produk adalah pengetahuan ilmiah yg kebenarannya dapat diuji secara
ilmiah, yg mencakup Jenis-jenis sasaran; bentuk-bentuk pernyataan; Ragam-ragam proposisi; ciri-ciri
pokok; Pembagian secara sistematis.

Ilmu dipahami dari segi berbagai serangkaian aktivitas yang rasional, kognitif, dan bertujuan, akan
tetapi suatu aktivitas dapat mencapai tujuannya jika dilaksanakan dengan metode yang tepat, dan
akhirnya dapat membuahkan hasil berupa keterangan baru yang disebut dengan pengetahuan.
Sementara itu kaitan antara ilmu sebagai proses, prosedur, dan produk dengan masyarakat di sini
dimaksud adalah bagaimana wujud dari ilmu ini dapat bermanfaat secara positif bagi kehidupan
masyarakat.

B. Rangkaian Ilmu sebagai Proses

Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan sesuatu
yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal saja, melainkan suatu rangkaian
aktivitas sehingga merupakan sebuah proses. Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan
teleologis.

1. Rasional

Aktivitas rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk menalar yang
berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Ilmu menampakkan diri sebagai kegiatan
penalaran logis dari pengamatan empiris.

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap, dan
bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan
merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan berpikir bukan
dengan perasaan, meskipun seperti itu dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri.
Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri pada
penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
menemukan kebenaran.

Berpangkal pada hasrat kognitif dan kebutuhan intelektualnya, manusia melakukan rangkaian
pemikiran dan kegiatan rasional dengan lingkungan atau masyarakat yang kemudian melahirkan
ilmu.

2. Kognitif

Pada dasarnya ilmu adalah sebuah proses yang bersifat kognitif, bertalian dengan proses
mengetahui dan pengetahuan. Proses kognitif (cognition) adalah suatu rangkaian aktivitas seperti
pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran (antara lain) yang dengannya manusia
dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu hal.

Menurut Piaget menyatakan bahwa di dalam diri individu terjadi adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

a. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya; proses
menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena
seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa
masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema
yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu
proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru
pengertian orang itu berkembang. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya
label “burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.

b. Akomodasi

Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang
baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian
orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu
maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya
struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi
keseimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema
akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini
dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung
unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label “burung” adalah contoh
mengakomodasi binatang itu pada skema burung pada fikiran si anak.

Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang
sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan
seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang
antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya
agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di
atas.

Dengan demikian, kognitif seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar
secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.

3. Teleologis

Ilmu selain merupakan sebuah proses yang bersifat rasional dan kognitif, juga bercorak teleologis,
yakni mengarah pada tujuan tertentu karena para ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah
mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ilmu melayani sesuatu tujuan tertentu yang diinginkan
oleh setiap ilmuwan. Dengan demikian, ilmu adalah aktivitas manusiawi yang bertujuan. Tujuan ilmu
itu dapat bermacam-macam sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing ilmuwan.

C. Ilmu Sebagai Prosedur

Ilmu sebagai prosedur berarti ilmu merupakan kegiatan penelitian yang menggunakan metode
ilmiah. Apa itu metode ilmiah? Ada banyak definisi, tetapi di sini kita cukup mengutip satu saja.
Menurut The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah ialah prosedur yang digunakan oleh
ilmuwan dalam mencari secara sistematis pengetahuan baru dan peninjauan kembali pengetahuan
yang ada. Dari berbagai definisi yang pernah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah
pada umumnya menyangkut empat hal yakni: pola prosedural, tata langkah, teknik-teknik, dan alat-
alat. Unsur yang termasuk dalam pola prosedural ialah pengamatan, percobaan, pengukuran, survai,
deduksi, induksi, dan analisa. Unsur yang termasuk dalam tata langkah ialah penentuan masalah,
perumusan hipotesis, pengumpulan data, kesimpulan, dan pengujian hasil. Unsur yang termasuk
dalam teknik-teknik antara lain questional, wawancara, perhitungan, dan pemanasan. Alat-alat yang
digunakan antara lain timbangan, meteran, perapian, komputer.

1. Pendekatan Ontologi.
Pendekatan ontologi biasa juga disebut pendekatan metafisis yang
membicarakan objek ilmu, hubungan subjek dan subjek. Pada saat manusia berusaha
untuk menjawab objek ilmu, objek ilmu meliputi objek material (subject matter) dan objek
formal (focus of interest).
Dari segi objek material, maka dapat dibedakan menjadi dua yaitu objek
kongkret dan abstrak. Dari perbedaan objek material ilmu tersebut, maka melahirkan dua
faham dalam metafisik yaitu faham realisme dan idealisme. Faham realisme
menitikberatkan pada kenyataan dalam ojektivitasnya oleh karena itu hakekat yang ada
adalah materi ataubenda. Kenyataan kongkret dapat diketahui atau dipahami melalui
indera manusia. Sebaliknya idealisme berpandangan bahwa kenyataan yang sesungguhnya
adalah bersifat rokhani atau kejiwaan, oleh karena bersifat abstrak yang dapat dipahami
melalui persepsi mental berupa kegiatan berpikir, nalar maupun intuisi. Landasan metafisis
ilmu terletakpada objek, apakah objek itu bersifat kongkret ataukan bersifat abstrak. Objek
ilmu juga berpengaruh pada subjek untuk menentukan metode apa yang digunakan
untuk memahaminya.
Pendekatan metafisika memiliki peranan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi memberikan kontribusi antara lain karena metafisika : (1)
mengajarkan cara berpikir cemat dan tidak lelah untuk menj awab persoalan-persoalan
yang bersifat tekateki, (2) adanya tuntutan orisinalitas berpikir untuk mengupayakan
penemuan-penemuan baru maupun untuk menguji kebenaran-kebenaran yang
pernah ditemukan, (3) memberikan bahan pertimbangan dan pijakan yang kuat
terutama dalam praanggapan, (4) memberikan ruang pada perbedaan visi dalam
memahami realitas, sehingga dapat menghargai perbedaan pandangan yang muncul
dalam mencari solusi problematika(Rizal dalam Lasiyo, 2007: 2).

2. Pendekatan Epistemologis (Theory of knowledge)


Setiap pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu disusun. Ketiga
landasan ini saling berkaitan satu sama lain, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemology
ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi dan seterusnya. Jadi bila kita ingin
membahasepistemologi ilmu, maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi
ilmu (Suriasumantri, 2001, 105)
Inti pendekatan epistemologi adalah mempersoalkan bagaimana proses
terjadinya ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode,
kebenaran ilmiah. Pemikiran merupakan landasan utama dalam melakukan kegiatan
ilmiah yangakan menggabungkan kemampuan akal dengan pengalaman dan data yang
diperoleh selama melakukan kegiatan ilmiah.
Dalan hubungan ini muncul dua faham yaitu faham Rasionalisme dan Empirisme.
Faham Rasionalisme menekankan pada peranan akal dalam memperoleh pengetahuan.
Faham ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal atau rasio.
Ilmupengetahuan yang memenuhi syarat adalah yang diperoleh melalui kegiatan akal.
Adapun ciri-ciri pokok faham Rasionalisme yaitu : (1) Adanya pendirian bahwa kebenaran
yang hakiki itu secara langsung dapat diperoleh dengan menggunakan akal sebagai
sarananya, (2) Adanya suatu penjabaran secara logis atau deduksi yang dimaksudkan
untuk memberikan pembuktian seketat mungkin mengenai seluruh sisi bidang
pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki
tersebut di atas (Koento Wibisono dan Misnal munir dalam Lasiyo, 2007:2).
Faham rasionalisme berasal dari faham idealisme, faham ini menggunakan
metode deduktif, akal, apriori dan koherensi. Adapun faham yang menekankan pada
pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia dinamakan faham Empirisme,
faham iniberpandangan bahwa pengalaman manusia meliputi pengalaman lahir yang
menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Faham
empirisme bersumber dari faham realisme yang menggunakan metode induktif dalam
mencari kebenaran ilmiah. Kedua faham ini, tampak perbedaan yang sangat mencolok,
sehingga ada usaha untuk mempersatukan kedua pandangan tersebut, maka muncul
faham Kritisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Faham kritisme berpandangan
bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh adanya kerj asama antara
bahanbahan yang bersifat pengalaman inderawi yang kemudian diolah oleh akal
sehinggaterdapat hubungan sebab akibat. Kebenaran ilmiah memerlukan data dan
fakta yang akurat kemudian diolah dengan metode ilmiah atau metodologi yang
digambarkan sebagai the rule of the game dalam ilmu yang pada dasarnya tidak pernah
berakhir (Popper, 1983, 103).
Manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan memiliki sarana berpikir
ilmiah yang meliputi: logika, matematika, statistika dan bahasa. Logika sering diartikan
sebagai pengetahuan tentang kaidah berpikir atau yang berusaha untuk menarik simpulan
melalui kaidah-kaidah formal yang absah. Logika mempelajari argumen, yakni wacana
yangterdiri atas pernyataan simpulan yang ditarik dari dua atau lebih pernyataan lain
yang disebut premis (Adjat Sakri dalam Lasiyo, 2007: 4). Logika dapat diartikan
sebagai pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata yang dinyatakan
dalam bahasa, dengan logika manusia bernalar. Penalaran (reasoning) ialah proses
pengambilansimpulan (conclusion, inference) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence) ataupun
yang dianggap bahan bukti atau petunjuk (Anton M. Moeliono dalam Lasiyo, 2007: 4).
Matematika adalah merupakan bahasa artifisial yang bersifat cermat dan
terbebas dari unsur emosi. Matematika memberi sifat kuantitatif kepada pengetahuan
keilmuan yang sekaligus sarana berpikir deduktif (penalaran deduktif). Penalaran deduktif
merupakansuatu proses berpikir yang bertolak dari pemikiran yang bersifat umum
menuju pada suatu proposisi baru yang berbentuk suatu simpulan yang bersifat khusus.
Sarana berpikir ilmiah yang ketiga adalah statistika. Statistika membantu kita
dalam penarikan simpulan secara induktif dari fakta empiris. Penalaran induktif
adalah penarikan kesimpulan dari yang bersifat khusus menuju kepada simpulan yang
bersifat umum, penentuan kaidah umum berdasarkan hal-hal khusus. Sarana berpikir ilmiah
yang keempat adalah bahasa, dengan adanya bahasa memungkinkan manusia berpikir
secara abstrak dimana objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
bahasa yang bersifat abstrak. Malalui transformasi ini maka manusia dapat berpikir
mengenai sesuatu objek tertentu meskipun objek itu secara faktual tidak berada di tempat di
mana kegiatan berpikir itu dilakukan. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak
ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, dengan
bahasa dimungkinkan untuk berpikir secara teratur dan sitematis.

3. Pendekatan Aksiologis
Melalui pendekatan aksiologis kita dimungkinkan untuk menjawab
permasalahan menyangkut pertanyaan untuk apa pengetahuan itu?. Bagaimana
hubungan antara ilmu dan nilai (moral)?. Inti dari pendekatan aksiologis adalah menjawab
apakah manfaat ilmupengetahuan dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia serta
pengembangan ilmu itu sendiri. Ilmu pada umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia atau untuk memanusiakan manusia. Jawaban atas
pertanyaan bagaimana hubungan antara ilmu dan nilai, masih menjadi perdebatan diantara
para ahli. Pandangan pertama menyatakan bahwa ilmu untuk ilmu, dalam arti ilmu bebas
nilai. Pandangan kedua menyatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Dua kelompok
pendapat di atas didukung oleh aliran Positivisme dan Kritik Idiologi.
Aliran positivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan akan dapat
berkembang dengan pesat apabila tidak ada ikatan nilai apapun kecuali nilai ilmiah.
Artinya pengembangan ilmu pengetahuan harus didasarkan atas nilai ilmiah yang
mengandung arti bahwa ilmupengertahuan itu memberikan hasil yang dipercaya,
mempunyai dasar tertentu, objektif dan dapat diuji secara kritis.
Sebaliknya aliran Kritik Idiologi menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
hendaknya diarahkan pada usaha pencapaian tujuan idiologi, karena terdapat hubungan
yang erat antara ilmu dan nilai (moral). Ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan berbahaya
pada eksistensi ilmu itu sendiri dan bagi kehidupan manusia. Untuk menjembatani
perbedaankedua aliran tersebut maka muncul aliran otonomi relasional yang
menyatakan bahwa ilmu seharusnya tetap berkembang maju, tapi namun perlu dikaitkan
dengan suatu tujuan yang memerlukan tanggung jawab, karena pada dasarnya ilmu
merupakan alat bagi manusia didalam usaha memenuhi kebutuhannya. Ilmu hendaknya
dapat memberikan jaminan agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab.Ilmu berkembang secara otonom sehingga ia dapat dibedakan antara
satu dengan yang lainnya.

http://irfanyulianto.com/pengertian-ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-dalam-filsafat-ilmu/

Irfan Yulianto. 2010. Pengertian Ontologi Epistemologi dan Aksiologi dalam


Filsafat Ilmu

http://www.infodiknas.com/kajian-filsafat-ilmu-epitemologi-ontologis-dan-aksiologi-dengan-
teknologi-informasi-dan-komunikasi.html

Kajian Filsafat Ilmu (Epitemologi. Ontologis


Siti Arofah. 2014.

dan Aksiologi) dengan Teknologi Informasi dan


Komunikasi

https://ardiansyahputera.wordpress.com/2010/11/07/ilmu-sebagai-proses-dan-produk/

ardiansyah putera. 2010. ILMU SEBAGAI PROSES


DAN PRODUK

http://suhermantp1.blogspot.co.id/2014/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html

suherman. 2014. Implikasi Dan Implementasi Filsafat Ilmu Di Dalam


Pengembangan Keilmuan Dan Kepada Cara Kerja Para Ilmuwan

http://www.ahmaddahlan.net/2015/10/hakikat-dan-pengertian-epistemologi-dan-Epistimologi-
filsafat-ilmu.html

ahmad dahlan. 2015. Hakikat dan Pengertian Epistemologi dalam Kajian Filsafat Ilmu

https://www.scribd.com/doc/43326775/Ontologi-Epistemologi-Dan-Aksiologi-Ilmu

wahyu. 2010. Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

You might also like