You are on page 1of 32

BAB Iaaacc

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak. “Croup” berasal dari bahasa
Anglo-Saxon yang berarti “tangisan keras”. Penyakit ini pertama kali dikenal
pada tahun 1928. (1,2)
Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya
terpapar antara usia 6 bulan sampai 3 tahun. Dalam kasus yang jarang,
mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar usia
15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita
penyakit ini dengan rasio 3:2, dan ada peningkatan prevalensi di musim gugur
dan musim dingin.(1)
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan
hingga berat. (1,2,3)
Pada kebanyakan kasus, penyakit ini tergolong dalam penyakit ringan dan
bisa sembuh sendiri. Bagaimanapun penyakit ini memberi dampak yang besar
terhadap pelayanan kesehatan. Biasanya penyakit ini menyebabkan obstruksi
saluran pernafasan yang berat, dan jumlah kasus rawat inap yang dilaporkan
sekitar 1.3 % sampai 2.6 %. (2)
Penatalaksaan sindrom croup telah mengalami banyak perubahan pada
decade terakhir ini karena meningkatnya kesadaran terhadap keuntungan
pengguanaan steroid. (2)
1.2. Tujuan Penulisan
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Mengkaji ketepatan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan terhadap
croup.

1
BAB II
RESUME KASUS
3.1 Identitas
Nama : An. GH
Usia : 8 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 23 Kg
Tinggi Badan : 119 centimeter
Anak ke : kedua
Agama : Islam
Alamat : Jl. Jahab RT 12 Kelurahan Jahab Tenggarong

Nama Ayah : Tn. JS


Usia : Tahun
Pekerjaan : Swasta

Nama Ibu : Ny. LM


Usia : tahun
Pekerjaan : IRT

MRS tanggal 20 Desember 2017 Pukul 20.06 WITA.

3.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 27 Desember 2017, di ruang Melati.
Alloanamnesa oleh ibu kandung dan ayah kandung pasien.

3.2.1 Keluhan Utama


Nyeri Perut

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari RSUD AM Parikesit Tenggarong datang ke IGD
dengan keluhan nyeri perut sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit dan
memberat ketika sampai di IGD. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit RSUD
AWS pasien sudah dirawat di RSUD Parikesit dengan keluhan perut kembung,
kencing berwarna merah dan ludah berdarah. Di RSUD Parikesit dari hasil
pemeriksaan USG Abdomen, foto BNO didapatkan adanya asites dan efusi pleura
serta pada DL dan HDT terdapat leukositosis dan sel blast. Dari hasil pemeriksaan
yang didapatkan dan karena tidak tersedianya alat, maka pasien dirujuk ke RSUD
AWS untuk peritoneal dialisa dan keperluan hemato-onkologi bagian anak. Dari

2
pengakuan ibu pasien baru peretama kali mengalami keluhan seperti ini. Ibu
pasien megatakan 3 hari sebelum dirawat di RSUD Parikesit pasien memiliki
radang tenggorokan dan sempat demam. Tidak ada keluhan kejang.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah dirawat di RS 2 kali karena keluhan diare. Tidak ada riwat
operasi.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada memiliki keluhan yang sama.

3.2.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : orang tua lupa
Berat badan sekarang : 23 kg
Tinggi badan sekarang: 119 cm
Gigi keluar : 11 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : orang tua lupa
Berjalan : 1 tahun 2 bulan
Berbicara : 10 bulan

3.2.6 Makan dan Minum Anak


ASI : pasien tidak meminum ASI dari lahir
Susu sapi : dari lahir sampai usia 2 tahun

Buah :-
Bubur susu :-
Tim saring : mulai usia 6 bulan sampai 1 tahun
Makan padat dan lauknya : 1 tahun sampai sekarang

3.2.7 Pemeriksaan Prenatal


Periksa di : puskesmas
Penyakit kehamilan : -
Obat-obat yang sering diminum : -

3
3.2.8 Riwayat Kelahiran
Lahir di : Rumah Sakit
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan

3.2.9 Pemeliharaan Postnatal


Periksa di : Bidan
Keadaan anak : Sehat

2.3.0 Keluarga Berencana


Keluarga Berencana : Tidak
Memakai sistem :-

2.3.1 Jadwal Imunisasi

Imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio - - - - - -
Campak - //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT + - - //////////// - -
Hepatitis B + - - ////////// - -

3.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 27 Desember 2017
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 20 Kg
Panjang Badan : 119 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 140/90 mmHg (P50:94/56;
P90:107/71; P95:111/75; P99:119/83)
Nadi 94 x/menit
Pernafasan 23 x/menit
Temperatur axila 36,5o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, ubun-ubun sudah
tertutup
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)

4
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-)
Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bronkovesikuler, Stridor (-), Ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal,murmur (-),gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Lengkap
Hasil Pemeriksaan 6 November 2017 Nilai Normal
Leukosit 11.570 /mm3 6.000 – 17.500/ mm3
Hb 12,7 g/dl 13,4 – 19,8 g/dl
HCT 38,8 % 33,0 – 41.0%
Trombosit 443.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3
Gula Darah Sewaktu 95 mg/dl 70 – 140 mg/dl
Ureum 20,0 mg/dL 19,3-49,2 mg/dL
Creatinin 0,5 mg/dL 0,7-1,3 mg/dL
Natrium 135 mmol/L 135- 155 mmol/L
Kalium 4.6 mmol/L 3.6 – 5,5 mmol/L
Chloride 105 mmol/L 98-108 mmol/L

Hasil Pemeriksaan 10 November 2017 Nilai Normal


APTT pasien 25,6 detik 24,0-36,0 detik
PT pasien 12,6 detik 10,8-14,4 detik

5
INR 1,00

 Foto Thorax AP

Hasil bacaan :
Tampak bercak-bercak pada suprahiler dan parakardial kedua paru
Cor tidak membesar
Kedua sinus dan diafragma normal
Tulang-tulang intak
Kesan :
Gambaran bronkopneumonia

6
 Foto Thorax Lateral

Hasil bacaan :
Ruang retrosternal dan retrocardial clear space tampak normal
Tampak konsolidasi bentuk segitiga pada basal paru superposisi dengan
bayangan jantung
Cor kesan normal
Sinus costophrenicus anterior dan posterior tampak normal
CV thoracalis yang tervisualisasi tampak normal
Kesan :
Konsolidasi bentuk segitiga pada basal paru superposisi dengan bayangan
jantung suspek pneumonia

3.5 Diagnosis Kerja


- Croup
DD :
1. Laringomalasia
2. Benda asing
3. TB paru
3.6 Penatalaksanaan

7
1. Konsul THT

2. Mantoux test

3. Foto thorax AP - cervico lateral dextra

4. IVFD D5 ¼ NS 980 ml/24 jam

5. Cortidex 3 x 2 mg IV

6. Ampicilin 3 x 300 mg IV

7. CTM 1 mg dan Ambroxol 5 mg di puyer 3 x 1

8. Nebulasi 3x/ hari dengan flixotide 1 cc + NaCl 0,9% 1 cc

Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
20 Desember S: keluhan (-) P:
2017 O: - IVFD RL 20 tpm
CM, N:87 x/menit, reguler, - IV furosemide 2 x 20 mg
adekuat. RR:30 x/Menit, - IV ceftriaxone 800 mg/12
T:36,8 0C, TD : 110/60 mmHg jam
Wh (-/-), rh (-/-), stridor (-). - IV paracetamol 175 mg
BU (+) dbn, BB : 23 kg (k/p)
- Albumin 20% 50 cc
A: - Cek DL, Albumin,
- Edema luas ec ? kolesterol, kultur urin,
- DD : kultur darah
- GGA - Konsul Bedah Anak
- ALL
21 Desember
2017

8
22 Desember
2017

23 Desember
2017

27 Desember S: keluhan (-) P:


O: - IVFD D5 1/2 NS 500
2017
CM, N:94x/menit, reguler, ml/24 jam
kuat angkat. RR:23x/Menit, - Minum maximum 1000
T:36,5 0C, TD : 140/90 mmHg
cc/24 jam
Wh (-/-), rh (-/-), stridor (-).
BU (+) dbn, BB : 20 kg - PO furosemide 2 x 20 mg
- PO spironolactone 1 x 20
A: mg
- Leukositosis - IV ceftriaxone 800 mg/12
- Hipoalbuminemia jam
- Hematuria - IV paracetamol 175 mg
- Hipertensi
(k/p)
- Edema
- AKI - IV Na Metamizole 200
mg/8 jam
- Balance cairan per 24 jam
mulai jam 14.00
28 Desember S: Keluhan (-) P:
O: - IVFD D5 1/2 NS 500
2017
CM, N:102 x/menit, reguler, ml/24 jam
adekuat. RR:26 x/Menit,

9
T:35,1 0C, TD : 120/80 mmHg - Minum maximum 1000
Wh (-/-), rh (-/-), stridor (-). cc/24 jam
BU (+) dbn, BB : 20 kg - PO furosemide 2 x 20 mg
- PO spironolactone 1 x 20
A:
- Sindroma nefritik suspeck mg
GNAP - PO Sucralfate syr 3 x II
- Hipertensi grade II cth
- Leukositosis menurun - IV ceftriaxone 800 mg/12
- Anemia jam
- Trombositosis - IV paracetamol 175 mg
- Gastritis akut
(k/p)
- IV Na Metamizole 200
mg/8 jam
29 Desember S: Keluhan (-) P:
O:
2017
CM, N:98 x/menit, reguler, - IVFD D5 1/2 NS 500
adekuat. RR:25 x/Menit, ml/24 jam
T:35,8 0C, TD : 110/70 mmHg - Minum maximum 1000
Wh (-/-), rh (-/-), stridor (-).
cc/24 jam
BU (+) dbn, BB : 19 kg
- PO furosemide 2 x 20 mg
A: - PO spironolactone 1 x 20
- Sindroma nefritik suspeck mg
GNAP - PO Sucralfate syr 3 x II
- Hipertensi grade II cth
- Leukositosis menurun - IV ceftriaxone 800 mg/12
- Anemia
jam
- Trombositosis
Gastritis akut - IV paracetamol 175 mg
(k/p)
- IV Na Metamizole 200
mg/8 jam
11 November S: sesak napas berkurang, , P:
batuk berkurang dr. Sp. A
2017
O: - Aff infus
CM, N: 130x/menit, reguler, - CTM 1 mg dan Ambroxol
kuat angkat. RR:30x/Menit, 5 mg di puyer 3 x 1
T:360C
- Nebulasi 3x/ hari dengan
Wh (-/-), rh (-/-), stidor (+).
BU (+) dbn, BB : 9,2 kg flixotide 1 cc + NaCl
0,9% 1 cc
A: : Croup - Erythromycin 3 x ½ cth
DD :
1. Laryngitis Akut
2. Benda asing
3. Laryngomalasia

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 CROUP
3.1.1 DEFINISI
Simdrom croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu
kelompok penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea
dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang
menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya
obstruksi jalan napas. (2,4)

11
Pada sindrom croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang
biasanya dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi
menyebabkan pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu
pernapasan normal. Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar
pita suara, pada umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan
berbagai penyebab. Infeksi juga bias terjadi pada parenkim paru.(2,4)
Infeksi virus akut adalah penyebab tersering terjadinya sindrom croup,
tetapi dapat juga disebabkan oleh bakteri dan agen atipikal. Secara umum
laringotrakeitis akut dan spasmodic croup disebabkan oleh virus, tetapi
bakteri dan virus menyebabkan penyakit ini menyebar ke traktus
respiratori bagian bawah seperti laringotrakeabronkitis dan
laringotrakeabronkopneumonitis. Trakeitis bakteri disebut juga croup
bakteri, yang disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Staphilococcou
aureus, Hemophilus influenza, dan Corynobacterium diphteriae. (2)
3.1.2 EPIDEMIOLOGI
Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun,
dengan puncaknya pada usia 6 bulan sampai 3 tahun. Akan tetapi, croup
juga dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. (1)
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim
dingin dan musim gugur. (1)
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir
15% pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit
yang sama. (1)
3.1.3 ETIOLOGI
Sindrom croup ini dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama lain
menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laringotrakeitis
akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laringotrakeo-
bronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam
penyakit tersebut terdapat kondisi yang melibatkan infeksi virus dan
umumnya lebih ringan sehubungan dengan simptomatologi, akan tetapi

12
dapat pula disebabkan oleh infeksi bakteri dan biasanya dengan tingkat
keparahan lebih besar. Viral croup / laringotrakeitis akut yang disebabkan
oleh Human Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2,
HPIV-3, dan HPIV-4 terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus
lainnya adalah Influenza A dan B, virus campak , Adenovirus dan Virus
(1,2,7)
pernapasan / Respiratory Syncytial Virus (RSV). Sebagian besar
bakteri yang umum terlibat adalah Staphylococcus aureus , Streptococcus
pyogenes, Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan
Catarrhalis moraxella. Selain dapat disebabkan virus dan bakteri, sindrom
croup juga bisa dikarenakan infeksi jamur yaitu berupa Candida albican.
(2)

Selain karena infeksi, penyebab sindrom croup ini juga bisa berupa
mekanik seperti karena benda asing, pasca pembedahan, dan kelainan
kongenital seperti laringomalasia. Sindrom croup dapat juga disebabkan
karena alergi yang akan menyebabkan spasmodic croup. (2)
3.1.4 PATOFISIOLOGI
Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi
langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi
besar terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis dan
laringotrakeobronkopneumonitis biasanya dimulai dari nasofaring atau
orofaring yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2-8 hari.
Peradangan difus yang menyebabkan eritema dan edema pada dinding
mukosa dari saluran pernapasan serta menganggu mobilitas pita suara.
Laring adalah bagian tersempit saluran pernafasan atas yang membuatnya
sangat mudah untuk terjadinya obstruksi. Penyempitan saluran udara ini
menyebabkan bunyi stridor inspirasi dapat didengar, dan pita suara yang
edema menyebabkan suara serak. (2)
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan
1 mm akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada
anak-anak dan 75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan

13
menyebabkan gangguan mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis
juga dapat menyebabkan gejala sesak napas. (2,5)
Selama perlangsungan penyakit, lumen pada trakea menjadi semakin
tersumbat dengan eksudat fibrin dan pseudomembran. Pada pemeriksaan
histologi pada laring dan trakea menunjukkan adanya edema, dengan
infiltrat sel histiosit, limfosit, plasma, dan leukosit polimorfonuklear. (2,5)
Penyebaran penyakit dari trakea ke bronkus dan alveoli sehingga
menyebabkan laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.
Bagaimanapun, obstruksi yang progresif pada tahap ini akan menyebabkan
infeksi bakteri sekunder. (2)
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti
napas. (2)
Pada kasus croup karena benda asing, tergantung dari jenis benda
asingnya. Jika benda asing mati (inanimate foreignbodies) di hidung cenderung
menyebabkan edema dan inflamasi mukosa hidung, ulserasi, epistaksis,
dan jaringan granulasi. Sedangkan benda asing hidup (animate foreign bodies)
dapat menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat bervariasi, dari infeksi
lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung dengan
membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau. Benda asing organik,
seperti kacang-kacangan mempunyai sifat higroskopis, mudah menjadi
lunak dan mengembang dengan air, serta menyebabkan iritasi pada
mukosa, dan timbul jaringan granulasi di sekitar benda asing sehingga
memperberat gejala sumbatan saluran pernapasan. Benda asing anorganik
menimbulkan rekasi jaringan yang lebih ringan. (12)
Pada kasus laringomalasia, dapat terjadi di epiglotis, kartilago
aritenoid, maupun pada keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya
terjadi elongasi dan bagian dindingnya terlipat. Epiglotis yang bersilangan
membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai epiglotis omega (omega-
shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak terjadi
pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada

14
pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama
inspirasi. Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris,
yang terdengar sebagai suara dengan nada yang tinggi. (13)
Pada spasmodic croup, gambaran histologi dari jaringan subglotis
menunjukkan edema non inflamasi. Ini menunjukkan tidak ada infeksi
viral secara langsung pada epitel trakeal, dan obstruksi yang terjadi
disebabkan karena terjadinya edema non inflamasi pada sub mukosa di
trakea subglottic. Dikatakan penyebab terjadinya spasmodic croup adalah
karena reaksi alergi. (2)
3.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan
stridor inspirasi. Bila terjadi obstruksi, stridor menjadi semakin berat,
tetapi dalam kondisi yang sudah parah stridor melemah. Dalam waktu 12-
48 jam sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa
kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa
obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari.
Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan
takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada
pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal,
interkostal, epigastrial. (1,2,5)
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika
hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun.
Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat
proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. (2)
3.1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan
faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien
(1,4)
bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung pada laring pasien croup tidak terlalu diperlukan.
Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat

15
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut
sangat diperlukan. (1)
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan beratnya
sindrom croup adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk
tujuan penelitian, jarang digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah
poin yang dipaparkan untuk lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis,
stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-hal yang diberikan untuk setiap
faktor terdaftar dalam tabel, dan skor akhir berkisar dari 0 sampai 17 (tabel
2). (1,4,7)
 Skor ≤ 2 diklasifikasikan sebagai croup ringan.

 Skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat.

 Skor > 6 diklasifikasikan sebagai croup berat.


85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat dengan penyakit
ringan, batuk parah sangat jarang (<1%).

Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk (1,4,7)

Ciri Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini

0 1 2 3 4 5

Retraksi Dinding dada Tidak Ada Ringan Moderat Parah

Stridor Tidak Ada Dengan Diam


Agitasi

Sianosis Tidak Ada Dengan Dia


Agitasi

Tingkat kesadaran Normal Bin

Udara masuk Normal Penurunan Menurun Tajam

3.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan
radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat

16
ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
(2,8)

Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi


PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. (2)
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan
diagnosis sindrom croup ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan
CT-Scan. (8)
Pada foto polos leher menunjukkan tanda klasik yaitu steeple sign,
dengan penyempitan kolum udara pada daerah subglotis yang terlihat pada
foto posterioranterior (AP). Pada hipofaring terlihat gambaran
overdistended pada foto lateral. Temuan ini didapatkan pada 50% kasus
croup, banyak anak-anak dengan sindrom croup ditemukan hasil radiografi
yang normal. (2)
Oleh karena laringotrakeitis adalah penyakit saluran pernapasa bagian
atas, pertukaran udara di alveolus biasanya normal dan hipoksia serta
saturasi oksigen yang rendah tidak dapat terdeteksi sehingga kondisi
pasien memberat. Kebanyakan anak-anak dengan laringotrakeitis atau
spasmodic croup mempunyai temuan normal pada pulse oximetry.
Observasi yang bertahap dan pemeriksaan fisik yang sering masih menjadi
metode untuk memonitoring akut laringotrakheitis yang paling akurat.
Pulse oxymetry lebih bermanfaat pada pasien laringotrakheobronkitis atau
laringotrakheobronkopneumonitis yang melibatkan saluran pernapasan
bagian bawah. (2)

17
Gambar 1 (a) dan (b): Gambaran normal foto anterior-posterior

Gambar 2 (a) dan (b) Gambaran Sindrom croup foto anterior-posterior


3.1.8 DIAGNOSIS BANDING
a) Epiglotitis

b) Trakeitis Bakteri

c) Inhaled foreign body

d) Angioedema

e) Difteri

18
f) Abses Peritonsilar (4.7)
3.1.9 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama bagi pasien sindrom croup adalah mengatasi
obstruksi jalan napas. Sebagian besar pasien sindrom croup tidak perlu
dirawat di rumah sakit melainkan cukup dirawat dirumah. Pasien dirawat
di rumah sakit apabila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak
berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar
ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia,
gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik,
dan tidak ada respons terhadap terapi. (9,10,11,12)
Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi
obstruksi jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih
baik daripada uap panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap
panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi,
mengencerkan lendir pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek
yang nyaman dan menenangkan bagi anak. (1,2,10)
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada
sindrom croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula
memperberat keadaan bronkospasme yang disertai dengan asma, seperti
laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan
tidak merekomendasikan penggunaan terapi uap. (1,2,10)
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi
(coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya
untuk mengobati croup menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian
RCT dengan memberikan terapi oksigen lembab (humidified oxygen) pada
pasien croup derajat sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi
oksigen lembab dan yang tidak diberikan. (1,2,10)
Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah

19
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan. (1,2)
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang
tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin. (1,2,11)
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan
laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek
terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan
selama dua jam.Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai
berikut: (2,10,11)
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan
dosis 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan
dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer
selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar,
dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan
hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan
takikardi dan kelainan jantung seperti Tetralogy Fallot.
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada
pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau
parenteral dibandingkan dengan plasebo. (2,11)
Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/antimuskular sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam.

20
Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian
yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai berikut:
 Mengurangi rata-rata tindakan intubasi

 Mengurangi rata-rata lama rawat inap

 Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.


Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Berdasarkan dua penelitian meta-analisis
tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian
kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan
bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik. (2,11)
Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi
alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas.
Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan
ancaman gagal napas.Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat
peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi
nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran.
Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu yang singkat, yaitu hingga
edema laring hilang/teratasi (2,11)
Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa
sentra untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak
beracun, serta mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini
sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan
meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila
helium dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan
meningkat.(2,11)
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan
merasa nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan

21
intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama
dengan pemberian nebulisasi epinefrin. (2)
Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup,
kecuali pasien dengan laringotrakeobronkitis atau
laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberikan
terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat
menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedative
dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup. (2)
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup,
sebagai berikut: (10)

22
23
3.1.10 KOMPLIKASI
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien
memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat
terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat (7).
3.1.11 PROGNOSIS
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang
baik.(7)

24
BAB IV
PEMBAHASAN

Perbandingan antara teori dan data pasien:


Teori Data pasien

Anamnesis : Anamnesis :
Croup: - Kejadian stridor inspirasi tiba-tiba
Kejadian stridor inspirasi tiba-tiba pada waktu malam, tanpa inflamasi
pada waktu malam, tanpa inflamasi 3 bulan – 3 tahun
3 bulan – 3 tahun - Secara tiba-tiba, sering pada waktu
malam, awalnya muncul gejala
seperti flu ringan, tetapi bangun
dengan batuk menggongong dan
stridor
- Suara serak dan batuk
menggongong, tanpa disfagi,
stridor inspirasi berat
- Demam, biasanya 37.8-40.5 :
biasanya dengan faringitis
minimal, epiglottis normal
.

25
Pemeriksaan fisik :
ditandai dengan takipneu, takikardia,
sianosis dan pernapasan cuping
hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat
ditemukan retraksi supraklavikular,
suprasternal, interkostal, epigastrial

Pemeriksaan penunjang :
- Pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium dan
radiologis tidak perlu dilakukan
karena diagnosis biasanya dapat
ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis, dan
pemeriksaan fisik.
- Bisa pula pada radiologi
ditemukan penyempitan subglotis
pada posterior-anterior, densitas
jaringan trakea irregular pada
sudut lateral

26
Penatalaksanaan:
 Terapi inhalasi
 Nebulisasi epinefrin sebaiknya
juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang
disertai dengan stridor saat istirahat
 Kortikosteroid mengurangi edema
pada mukosa laring melalui
mekanisme anti radang.
 Deksametason diberikan dengan
dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/antimuskular sebanyak satu
kali, dan dapat diulang dalam 6-24
jam. Efek klinis akan tampak 2-3
jam setelah pengobatan
 Intubasi endotrakeal dilakukan
pada pasien sindrom croup yang
berat,
 Terapi awal dapat menggunakan
antibiotic golongan sefalosporin
generasi ke-2 atau ke-3

27
Anamnesis :

BAB V
PENUTUP

28
Kesimpulan
Sindrom croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara
serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan
biasanya terpapar antara usia 6 bulan sampai 3 tahun. Dalam kasus yang
jarang, mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua
sekitar usia 15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang
menderita penyakit ini dengan rasio 3:2, dan ada peningkatan prevalensi di
musim gugur dan musim dingin.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika
terjadi sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan
hingga berat.
Penatalaksaan sindrom croup telah mengalami banyak perubahan pada
decade terakhir ini karena meningkatnya kesadaran terhadap keuntungan
pengguanaan steroid.

Saran
Tulisan ini memberikan wawasan mengenai croup sehingga bagi pembaca
perlu memahami perjalanan penyakit dan gejala klinis yang terjadi sehingga
diharapkan dapat mencegah komplikasi atau perburukan gejala yang berakibat
fatal.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Leung K. C. Alexander, Kellner James D, Johnson David W. Viral Croup :
A. Current Perspective. Journal of Pediatric Health Care. 2014;297-300

2. Malhotra Amisha, Krilov Leonard R. Viral Croup. American Academy of


Pediatrics. 2013;1-6

3. Marx Arthur. Torok Thomas J, Holman Robert C, et al. Pediatric


Hospitalizations for Croup (Laringotracheobronchitis): Biennial Increases
Associated with Human Parainfluenza Virus 1 Epidemics. The Journal of
Infectious Disease. 2013; 1423-427

4. Bhatt JM. Croup (Laryngotracheobronchitis). Nottingham University


Hospitalls. 2012; 1-5

5. Cherry D. James. Croup. The New England Journal of Medicine. 2008;


384-390

6. Rajapaksa Shabna, Starr Mike. Croup: Assesment and Management.


Australian Family Physician. MJA 2010; 280-282

7. KavanaghSean. Croup. Emis. 2012; 1-6

8. Defendi Germaine L. Croup Workup. Emedicine.medscape. 2013; 1-5

9. Defendi Germaine L. Croup Treatment & Management.


Emedicine.medscape. 2013; 1-5

10. Infants and Children : Acute Management of Croup.2nd ed. 2009

11. Croup. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.
DEPKES dan IDAI. 2009; 104-105

12. Widiastuti, D., & Imral, C. Aspirasi Kacang pada Anak. Sari Pediatri ,
2006. 186-189.

13. Bye MR. Epiglottic cyst: an unusual cause of stridor in an infant.


Pediatric Emergency Care; 2009. pp 85-86.
Pasien mengalami sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
dan memberat sejak malam hari sebelum masuk rumah sakit. Menurut ibu pasien

30
sesak terlihat seperti tidak bisa menarik napas. Sesak juga disertai dengan suara
“grok-grok” saat menarik napas dan akan memberat jika pasien menangis. Sesak
napas tidak sampai membuat pasien membiru. Sesak dirasa semakin hari semakin
memberat. Pasien tidak pernah mengalami sesak maupun muncul suara “grok-
grok” seperti ini sebelumnya. Sebelum sesak muncul, pasien sempat batuk dan
pilek ± seminggu ini. Batuk awalnya kering kemudian berdahak lalu disertai
dengan pilek 2 hari kemudian. Keluhan-keluhan ini juga disertai dengan demam,
dan penurunan nafsu makan.

Pemeriksaan fisik :
- Keadaan Umum tampak sakit sedang
- Tekanan Darah 110/70 mmHg
- Nadi 104x/menit
- Pernafasan 32x/menit
- Temperatur axila 36,1o C
- Thorax tampakretraksi supra sternum (+), retraksi supraclavicula (+), Stridor
(+), Ronki (-/-), wheezing (-/-)
-
- Pemeriksaan Penunjang:

DL:

Leukosit: 11.570 /mm3

HB: 12,7 g/dl

HCT: 38,8 %

Trombosit: 443.000 / mm3

GDS: 95 mg/dl

Natrium: 135 mmol/L

Kalium: 4.6 mmol/L

Chloride: 105 mmol/L

Ur : 20,0 mg/dL

Cr : 0,5 mg/dL

APTT : 25,6 detik

31

PT : 12,6 detik

INR : 1

Foto AP :

Tampak bercak-bercak pada suprahiler dan parakardial kedua paru, Cor tidak
membesar, Kedua sinus dan diafragma normal, Tulang-tulang intak

Foto lateral dextra:

Ruang retrosternal dan retrocardial clear space tampak normal, tampak
konsolidasi bentuk segitiga pada basal paru superposisi dengan bayangan
jantung,Cor kesan normal, sinus costophrenicus anterior dan posterior tampak
normal, CV thoracalis yang tervisualisasi tampak normal


Penatalaksanaan :
- IVFD D5 ¼ NS 980 ml/24 jam
- Cortidex 3 x 2 mg IV
- Erythromycin 3 x ½ cth
- CTM 1 mg dan Ambroxol 5 mg di puyer 3 x 1
- Nebulasi 3x/ hari dengan flixotide 1 cc + NaCl 0,9% 1 cc

32

You might also like