You are on page 1of 20

Theresia Roelen

Tulalit
Karena Hidup nggak selalu bisa dipahami
Theresia Roelen

Tulalit

Ketika hidup nggak selalu bisa dipahami

Written by: Theresia Roelen

Copyright © 2016 by Theresia Roelen

Publisher

Nulis Buku

E-mail:

tere7880@yahoo.com

Twitter:

@nonieroelen

Desain Sampul:

Ayudya Ariana

Tulalit│2
Theresia Roelen

I’m so thankful that my first humor novel is finally


published. I’m giving the credits to:
1. Jesus Christ, my savior and my God. Thanks for
granting me the talent and thanks for leading my
pathways. You’re my all in all. Glory and honor
be to You alone.
2. My beloved family: Spouse, son and parents.
Thanks for your constant prayers. Especially for
Nathan, my one and only son. I’m so honored
because he likes all my stories. Khususnya untuk
novel Tulalit ini, dia bisa geli sendiri waktu
bacanya. Padahal dia sempet meragukan
kelucuan Maminya. Hahahahah…
3. My partner in crime, my biggest fan, Eunike
Natalia atau panggilan kerennya “Aboy”, yang
dengan rela udah baca dan kasih masukan untuk
novel ini. Thanks ya Boy. Juga buat Anita
“Mabel” yang udah kasih masukan untuk novel
ini. Dan yang pasti to all Boyden crew.
4. Temen-temen dan editor di Storial. I’m so
blessed dengan adanya wadah ini yang berjasa
banget untuk menampung karya-karya kami
sebagai penulis. Dan yang pasti thanks buat
yang udah baca dan “like” novel saya di
StorialCo. Thanks juga untuk tim di Nulis Buku.

Tulalit │3
Theresia Roelen

5. Ayudya Ariana, temen baru yang dipertemukan


di Storial. Seneng banget bisa kenal kamu, Yu.
Kamu asyik geboy deh. Thanks udah nge-desain
cover dan layout, yah. Thanks juga untuk Reza
Reinaldo, temen dan adik baru yang juga
dipertemukan di Storial. Makasih buat feedback
dan apresiasi kamu yang membangun.
6. Temen-temen di WA group Storial yang juga
udah kasih masukan membangun. Thanks guys!
I’m glad to know you all….
7. To all my friends who believe in me and support
me. Your supports mean a lot to me.
8. My elder cousin Liberthie Bernadette. You’ve
got the talent, too. I like your writings. Let’s join
me in the community!
9. Melinda. I’ll never forget what you have said
about the oasis in the desert. It motivates me to
explore the desert and to think outside the box to
find my treasure.
10. The readers of course…
Enjoy the book!
But God chose the foolish things of the world to shame the
wise; God chose the weak things of the world to shame the
strong (The book of Corinthians)
Theresia Roelen

Tulalit│4
Theresia Roelen

“Ceritanya dibungkus dengan komedi. Singkat dan jelas.


Sarat akan komedi-komedi ringan. Latar belakang
persahabatan dan masa sekolah yang membawa kesan
muda kembali saat membacanya, dan dapat
memunculkan memori lama yang dulu pernah pembaca
alami semasa SMA (membuat pembaca bernostalgia).
Bisa menjadi bacaan ringan kala bersantai atau teman
bacaan saat di perjalanan dengan kemacetan ibukota
sehingga meluruhkan unmood akibat macet.
Cerita yang disampaikan jelas sesuai dengan judulnya,
setting alur dan karakter tokoh disampaikan melalui
dialog antar tokoh dan pemikiran tokoh”
-Kia. F, Storialist

“Di luar konflik dan segala teknis untuk syarat sebuah


tulisan, ini cerita paling ringan tapi gak terlihat ringan
yang pernah aku baca di Storial. Mengingatkan aku
sama novel Flipped!”
-Reza Reinaldo, Storialist

Tulalit │5
Theresia Roelen

Ada sebuah saying yang berkata gini:”Life can only be


understood backwards but has to be lived forward.”

Hidup ini emang kadang sulit untuk dipahami apalagi


waktu kita ngalamin situasi yang sulit. Kita sering
bertanya sama rumput yang bergoyang (ya ampun
hopeless amat sih) kenapa kita harus ngalamin hal-hal
yang nggak enak. Tapi justru di situlah kenikmatan
hidup. Ibarat makan pake sambal, kan jadi nikmat tuh.
Coba kalo plain atau hambar kan malah nggak enak.
Jadi, hidup itu biar seru emang harus ada naik-turunnya.
Emang sih waktu kita ngalamin susah rasanya sulit
banget untuk bisa ngerti maksud Tuhan di balik
semuanya, tapi waktu masalah itu udah berlalu, udah
selesai, kita baru bisa ngerti kenapa Tuhan ijinkan
semuanya terjadi.
So … waktu hidup kita lagi nggak asyik, lagi banyak
nangisnya kayak film India, jangan cepet-cepet cari tiang
ups… salah, ambil tali buat gantung diri di pohon toge ya.
Jangan juga terlalu lama baper yang bikin kita nggak bisa
move on. Tapi lebih baik kita berdiam diri untuk cari
kehendak Tuhan dan ikutin aja arusnya. Setiap awal ada

Tulalit│6
Theresia Roelen

akhir kok. Nggak mungkin kita sedih terus. Ada saatnya


badai itu pun berlalu. Kalo badai masalah udah berlalu
kita harus ambil hikmahnya supaya hidup kita bisa jadi
lebih baik. Sama aja kayak orang kuliah, jurusan apapun
yang penting ambil hikmahnya. Wkwkwkwkwk.
Susah seneng yang penting hepiiii. Setuju?!!!
A happy heart is better than a full purse (An Italian
Proverb)

Tulalit │7
Theresia Roelen

SIAPA yang nggak kenal Ario Laksana?


Semua orang di sekolah dan kompleks perumahan
tau siapa Ario. Ketenarannya bikin orang iri. Gimana
nggak bikin iri coba. Cakep juga nggak. Tinggi juga nggak.
Jago basket juga nggak. Jago musik juga nggak. Terus
kenapa Ario tenarnya bisa ngalahin yang jago basket atau
jago musik? Ario bisa beken dan jadi bahan pembicaraan
orang karena dia itu tulalit. Kalo menurut orangtuanya
dan temen-temen yang pernah sekelas dengannya, dulu
Ario tuh nggak begitu. Dia termasuk anak yang cerdas.
Hanya aja waktu dia kelas 9, dia pernah kesambit bola
basket sampe pingsan. Dia ngalamin gegar otak yang
berakibat pada ketergangguan pada fungsi otaknya. Nah,
dari situlah Ario mulai suka tulalit.
Semua guru dan temen-temennya di sekolah bingung
kenapa Ario suka telat masuk kelas. Padahal semua
orang tau sopirnya yang setia udah nganter dia sampai
depan gerbang sekolah itu pukul enam lebih lima belas
menit. Ario itu datengnya barengan sama Satpam sekolah
yang tugasnya buka pintu gerbang sekolah.
“Yo, lu kenapa sih kalo ke sekolah datengnya pagi
bener?” tanya Surya, sahabatnya. Meskipun dia itu
sahabat yang berusaha untuk ngertiin dirinya, tapi Ario

Tulalit│8
Theresia Roelen

selalu punya surprise yang sering bikin orang nggak habis


pikir.
“Biar gue kagak telat masuk kelas, Sur,” jawab Ario
ringan.
“Lah … lu dateng jam tujuh kurang sepuluh aja lu
nggak bakalan telat, Yo. Lu lari ke kelas terus balik ke
lapangan aja nggak makan waktu lima menit,” kata Surya.
Ario diam aja karena waktu itu dia lagi sakit gigi jadi
males ngomong dan Surya pun lagi nggak ingin berdebat.
Capek karena ujung-ujungnya toh Surya yang harus
ngalah. Ibunya selalu bilang,” Wis tho Sur, sing waras
ngalah.”
Pada suatu pagi, seperti biasa Ario diantar sopirnya,
Pak Yayat, pukul enam lebih lima belas menit. Hari itu dia
bahkan datang lebih pagi dari Satpam sekolah. Si Pak
Satpam sampe nggak enak hati sama Ario.
“Maap, Yo, Bapak telat lima menit hari ini,” kata Pak
Soleh, Satpam sekolah yang sudah lanjut usia itu.
“Nggak apa-apa, Pak Soleh,” kata Ario santai.
Pak Soleh membuka pintu gerbang sekolah dan Ario
pun melangkah masuk. Ario melangkahkan kakinya
kemudian ia membalikkan badannya yang gempal itu.
“Pak Soleh, kelas 12B di sebelah mana ya?” tanya
Ario.
“Maksudnya, Yo?” tanya Pak Soleh bingung.
“Maksud saya kelas 12B letaknya di mana,” kata Ario.
“Loh, bukannya kamu setiap hari ke sana. Kamu
kan…anak kelas 12B, Yo.” Pak Soleh garuk-garuk kepala.
Kemaren Ario juga udah nanya Pak Soleh letak kelas 12B.
“Iya Pak Soleh, saya tahu. Saya cuma mau
memastikan aja biar nggak nyasar. Saya cuma takut telat

Tulalit │9
Theresia Roelen

aja masuk ke kelas,” kata Ario masih dengan sikap


santainya.
Pak Soleh cuma bisa bengong menatap Ario
sementara anak itu juga bingung kenapa Pak Soleh
menatapnya seperti itu.
“Yo … kowe waras ora?” tanya Pak Soleh.

***
Siang itu sehabis pulang sekolah dan maen basket, Ario
dan Surya pulang bareng. Meskipun dulu kepala Ario
pernah kesambit bola basket, dia nggak lantas kapok.
Tapi karena tubuhnya yang gempal dan kurang lincah jadi
Ario nggak pernah kebagian bola untuk dimasukkan ke
ring. Walaupun begitu Ario tetep seneng. Yang penting
dia bisa lari-lari ngitarin lapangan basket sekalian bakar
kalori.
“Yo, lu laper nggak?” tanya Surya. Sahabat sehidup
semati Ario ini punya wajah lumayan ganteng meskipun
nggak seganteng Lee Min Ho, artis Korea itu. Tapi paling
nggak badannya tinggi dan atletis karena dia suka maen
basket.
“Laperlah, Sur. Udah siang kan sekarang. Udah
waktunya makan.”
“Lu nggak dijemput kan hari ini? Makan gado-gado
dulu yuk, Yo. Abis itu lu gue anterin pulang," ajak Surya.
“Ayo.” Ario nggak pernah nolak kalo diajak makan.
Apalagi kalo pake kabel alias kagak beli. Tapi kalo sama
Surya sih nggak ada istilah 'kabel' buat Ario soalnya duit
Surya juga pas-pasan. Yang ada malahan Surya suka
numpang makan di rumah Ario.
Gado-gado Mak Ratih terkenal enak di sekitar
kompleks sekolah itu. Bahkan sekarang pembelinya

Tulalit│10
Theresia Roelen

dateng dari mana-mana. Mereka pada tau soalnya gado-


gado ini pernah diliput stasiun tivi. Mak Ratih mangkal di
ujung jalan dan udah berjualan di situ selama puluhan
tahun.
“Mak, gado-gado pedes pake lontong ya,” kata Surya.
“Berape cabenye?” tanya Mak Ratih dengan logat
Betawinya yang khas. Suaranya cempreng mirip Mpok
Nori.
“Lima deh, Mak,” jawab Surya.
“Banyak amat. Cabe lagi mahal. Tiga aje ye,” kata
Mak Ratih.
“Yee…Emak, tiga setengah deh,” kata Surya. Loh
kok jadi nawar sih.
“Ya udeh Emak kasih tiga setengah. Besok-besok kalo
mau pake cabe banyakan bawa sendiri aje dari rumah ye
cabenye. Lagi mahal ini cabe, sekilo udeh seratus rebu,”
kata Mak Ratih sambil ngulek dan terus ngoceh-ngoceh
soal cabe. Mulai dari yang keriting sampe yang lurus.
Ya ampun si Mak Ratih ini, mentang-mentang gado-
gadonya udah laku dan terkenal, dia jadi ngatur yang beli.
Inget Mak, pembeli adalah raja.
Sementara itu Ario masih berdiri mematung nggak
jelas dan ngalangin jalan karena badan tambunnya.
“Yo, lu mau makan nggak?” tanya Surya yang lama-
lama gerah juga ngeliat temennya cuma berdiri kayak
traktor mogok di tengah jalan.
“Iya bentar gue lagi mikir.”
Surya mengangkat bahunya sambil berkata dalam
hati,” Mau mesen gado-gado aja lama banget mikirnya
gimana kalo lagi mau nembak cewek. Bisa-bisa tujuh hari
tujuh malem dia cuma ngejogrok kayak monumen sambil

Tulalit │11
Theresia Roelen

ngeliatin cewek yang mau ditembak. Hihihi ... terus apa


kabar tuh cewek yang bakalan ditembak si Ario ya?"
“Mak, Mak, ada soto ayam?” tanya Ario polos pada
akhirnya, dengan muka tanpa dosanya yang sering bikin
orang kasihan ngeliatnya. Tapi seringkali juga si Ario ini
bikin orang geregetan dan gemes karena ketulalitannya
itu.
Mak Ratih yang lagi ngulek bumbu sambil ngoceh dan
sampe keselek. Surya juga sampe ngumpet di balik
gerobak dengar pertanyaan Ario barusan. Malu diliatin
sama orang-orang di situ.
“Heh Tong, dari dulu Emak jualannye gado-gado.
Kagak pernah jualan soto ayam. Emangnye situ kagak bisa
baca tulisan di gerobak Emak ape? Noh bacaannya 'Sedia
Gado-gado'," kata Mak Ratih sewot gara-gara keselek
tadi. Abis Mak Ratih kalo lagi ngulek sambil ngoceh sih
mulai dari harga cabe keriting, cabe bonding, cabe
smoothing sampe masalah politik. Gitu-gitu Mak Ratih
melek politik loh. Jangan heran kalo suatu saat nanti dia
bakalan jadi anggota DPR mewakili para tukang gado-
gado.
“Arioooo! Sumpah deh lu sih tulalitnya keterlaluan
banget!” kata Surya gemas sambil narik lengan Ario untuk
menjauh dari gerobak dan tatapan orang-orang di situ.
“Loh Sur, nanya kan boleh. Emangnya ada larangan
nanya gitu?” Ario balik bertanya.
“Ya emang nggak ada larangan buat nanya. Tapi ya lu
mikir juga dong, Ario Laksana Bulan Purnama. Udah jelas-
jelas selama puluhan tahun Mak Ratih itu cuma jualan
gado-gado, lah kenapa lu nanya ada soto ayam atau
nggak. Aduuhh … please deh Yo.”

Tulalit│12
Theresia Roelen

“Sur, Sur, gue rasa lu yang tulalit deh. Gue kan hanya
mastiin aja kalo Mak Ratih itu nggak hanya jualan gado-
gado doang. Siapa tau sekarang dia udah diversifikasi
produk. Nggak salah kan gue?” tanya Ario dengan nada
agak tinggi. Dia kesel juga dibilang tulalit sama Surya
tadi.
Asal tau aja ya, meskipun Ario tulalit, tapi dia ini
punya kosa kata yang banyak. Rupanya sisa-sisa
kejeniusannya dulu masih ada yang nyangkut di otaknya.
Mendengar nada suara Ario meninggi, yang
sebenarnya jarang banget dia bisa kayak gitu, Surya
memilih diam dan mengalah. Mak Ratih pun melanjutkan
nguleknya meskipun masih rada mangkel sama Ario gara-
gara keselek. Ario pun memilih pulang daripada makan.
Lagian kan Mak Ratih nggak jual soto ayam.
“Yo! Yo! Lu mau kemana?” tanya Surya.
“Ngukur jalan!” jawab Ario ketus.
“Ngukur jalan gimana, Yo?” tanya Surya.
“Nah, nah, sekarang gue mau tanya sama lu. Siapa
yang tulalit? Lu atau gue? Masak ngukur jalan aja nggak
ngerti. Apa harus gue jelasin!" kata Ario.
Lalu dia pergi ninggalin Surya yang masih bengong
menatap kepergiannya.

***
Surya bengang-bengong aja di meja makan. Dia nggak
menyentuh makan malamnya. Ibu bingung. Tumben
anaknya nggak menyentuh makanan kesukaannya. Dan
kalau dilihat dari wajahnya, Surya kelihatan sedih. Ibu
mikir jangan-jangan Surya baru putus sama pacarnya.
Tapi ibu meralat pikirannya sendiri. Setau ibu, Surya kan

Tulalit │13
Theresia Roelen

belom punya pacar. Gimana mau punya pacar coba kalau


setiap hari maennya sama Ario melulu. Ibu sebenernya
agak cemas juga. Tapi kemudian dia maklum. Surya dan
Ario emang bersahabat dekat sejak TK. Apalagi ibu juga
tau apa yang pernah menimpa Ario. Jadi Ibu nggak
pernah ngelarang kedekatan Surya dan Ario. Selama
semuanya masih dalam batas yang wajar aja.
“Kenapa, Sur? Sakit atau sedih?” tanya ibu.
Pertanyaan ibu selalu padat dan jelas kayak bagian
administrasi sekolah lagi nagih SPP. Nggak pernah pake
basa-basi. Dan ibu selalu memberi pilihan jawaban.
“Sedih, Bu.”
“Sedih kenapa?” tanya ibu lagi.
“Aku udah ngomong yang nggak enak ke Ario tadi
siang. Dia pasti kesel deh. Tadi dia bilang mau ngukur
jalanan waktu aku tanya dia mau ke mana. Tapi aku yakin
dia pasti pulang ke rumah jalan kaki."
“Hah? Jalan kaki? Sur, kamu yakin dia tau jalan?”
Surya menepuk dahinya.
“Ya ampun Bu bener juga. Dia kan nggak tau jalan
pulang.”
“Gih telpon ke rumahnya, jangan-jangan dia belom
pulang ke rumah,” kata ibu ikutan cemas sampe sakit
perut. Ibu mah kebiasaan kalo tegang suka sakit perut
malahan dia bisa sakit perut meskipun yang tegang orang
laen. Kata ibu itu namanya toleransi. Ikut ngerasain
penderitaan orang. Pernah juga suatu kali ibu yang
kentut-kentut padahal Surya yang masuk angin atau
nggak ibu suka bersendawa sendiri kalo ngeliat porsi
makannya Ario.

Tulalit│14
Theresia Roelen

Surya buru-buru lari ke meja telepon. Dia menekan


nomor telepon rumah Ario untuk memastikan bahwa
anak itu udah sampe di rumah.
“Halo,” sapa Surya. Diem. Nggak ada jawaban di
seberang sana.
“Halo, halo, siapa sih nih? Nelepon kok nggak ada
suaranya.”
Surya berusaha sabar. Dia tau yang jawab teleponnya
itu Mbok Yem, pembantu di rumah Ario yang udah tua
dan agak tuli.
“Halo!” teriak Surya.
“Nah, gitu dong. Dari tadi di halo-halo nggak ada
suara. Mau cari siapa?” tanya Mbok Yem.
Buseett deh Mbok Yem nanyanya kayak tukang parkir
nagih duit parkir tapi dikasihnya pake duit cepekceng
terus minta kembalian.
“Mbok Yem, ini Surya.”
“Apa? Cari bayem? Situ jangan main-main ya. Situ
pikir di sini pasar apa cari bayem!”
Yaelaaaa Mbok Yem bikin orang spaneng aja. Nggak
tau apa kalo ini lagi darurat.
“Mbok Yem!!! Ini Surya!!!” teriak Surya sekuat
tenaga.
“Oh iya ini Mbok Yem. Ini sopo yo?”
“Surya!!! Sur … Ya…,”
“Oh, Kuya. Ini Kuya yang mana ya?”
Dengan kesel Surya menutup telepon. Percuma
telepon ke rumah. Mbok Yem nggak akan banyak
membantu tapi malah bikin kesel sel sel sel. Sedangkan
Surya tau di rumah itu hanya ada Mbok Yem. Orangtua
Ario? Mereka mah orang sibuk. Mereka jarang di rumah.

Tulalit │15
Theresia Roelen

Surya coba-coba nelepon ponsel Ario. Mailbox. Surya


cemas. Dia bingung harus melakukan apa lagi. Ibu jadi
tambah sakit perut. Terus nggak lama ada bunyi
"pussssss".
"Ups! Bau kentut nih," kata Surya sambil nutup idung.
Ibu tersenyum malu-maluin.
"Maap, Sur, ibu tadi yang kentut."
“Aduh Bu, gimana sih. Malah kentut lagi. Jadi gimana
dong sekarang. Percuma nelpon ke rumah si Ario. Yang
jawab telepon pasti si Mbok Yem. Nggak nolong. Aku
coba telepon ke ponselnya, nggak aktif. Tapi aku yakin
Ario tuh belom pulang. Kalo udah pulang pasti Ario yang
jawab telepon. Dia kan demen banget jawab telepon."
“Tenang, Surya. Ario pasti baik-baik aja.” Ibu
berusaha untuk menenangkan anaknya.
“Kok Ibu bisa yakin gitu sih?” tanya Surya heran.
“Coba kamu cek ke sekitar sekolah. Dia pasti nggak
jauh-jauh dari sana.”
“Maksud Ibu?”
“Kan tadi kamu bilang kalo Ario mau ngukur jalanan
sebelum dia pergi. Barangkali beneran dia lagi ngukur
jalanan, Sur.”
“Ya ampun bener juga. Ibu emang jenius. Aku ke
sekolah dulu ya, Bu.”
“Ati-ati, Sur. Jangan lupa pake helm. Oh ya, bawa satu
lagi buat si Ario.” Ibu yakin banget Surya bakalan nemuin
Ario di sekitar sekolah.
Waktu itu udah menunjukkan pukul tujuh malam.
Ario ngelirik jam tangannya sekali lagi. Bener, pukul tujuh.
Tapi tugasnya belom kelar juga padahal pinggangnya
udah pegel. Ternyata nggak gampang ngukur jalanan,

Tulalit│16
Theresia Roelen

apalagi pake penggaris. Dia udah ngulang beberapa kali


karena salah ngitung.
Orang-orang yang ngeliat nanya ke Ario apa yang lagi
dilakukannya. Mereka bingung aja lihat anak pake
seragam putih abu-abu lagi ngukur jalanan pake
penggaris 30 cm. Tapi Ario menjawab mereka dengan
ringan, “Lagi ngukur jalan. Tugas sekolah.”
“Hah? Tugas sekolah? Guru kamu kurang kerjaan ya,
masak ngasih tugas ngukur jalanan pake penggaris?”
tanya seorang ibu yang terlihat iba melihat Ario yang
kelelahan. Seragamnya basah oleh keringat.
“Loh ibu baru tau? Guru jaman sekarang emang gitu,
Bu. Kalo ngasih tugas aneh-aneh. Minggu lalu malahan
kita disuruh ngitung luasnya stadion GBK,” ujar Ario
ngasal sambil terus membungkuk dan ngukur jalanan.
Sementara itu Surya melajukan motornya perlahan
ketika memasuki kompleks tempat sekolahnya berada.
Dia udah cari-cari sosok tambun kayak truk pengeruk
tanah itu sampe ke pelosok kompleks tapi nggak
menemukannya. Hatinya nggak karuan. Sekali ini Ibunya
salah. Ario bener-bener hilang. Surya berharap besok dia
nggak nemuin headline news di koran tentang … Hiiii …
dia nggak mau mikir yang macem-macem. Eh, apa jangan-
jangan dia diculik alien. Tapi itu mah nggak mungkin
banget. Alien mau nyulik juga liat-liat orang, kali.
Kemudian Surya menghentikan motornya di depan
sebuah warung rokok. Dia mau nanya siapa tau pemilik
warung itu lihat Ario.
“Pak, numpang tanya boleh?” tanya Surya sopan.
“Oh boleh, Nak. Kalo numpang kentut nggak boleh.”
Idiihh, lagian siapa yang mau numpang kentut.
“Pak, liat anak laki-laki agak gendut nggak?”

Tulalit │17
Theresia Roelen

Pemilik warung itu berpikir sambil matanya natap


langit-langit warung. Surya jadi ngikutin liat ke atas. Kirain
di situ ada jawabannya. Garing banget sih.
“Oh, anak itu! Yang kurang segaris ya?” tiba-tiba dari
dalam warung kecil itu terdengar suara seorang ibu yang
cemprengnya sama kayak Mak Ratih. Wadowww,
jangan-jangan ini kloningannya Mak Ratih.
“Maksud Ibu kurang segaris?” tanya Surya.
“Ya gitulah Nak, ya … taulah sendiri. Ibu nggak enak
ngomongnya. Tadi sore sih Ibu liat ada anak laki-laki pake
seragam putih abu-abu lagi ngukur jalanan pake
penggaris.”
“Nah, itu anak yang saya cari, bu. Dia temen sekolah
saya,” kata Surya.
“Oh, temen kamu. Kok kamu nggak ikut ngukur jalan
sama dia? Katanya tugas sekolah."
“Saya udah selesai tugasnya, Bu. Sekarang Ibu tau gak
dia pergi ke arah mana?” tanya Surya.
“Tuh ke arah taman pemakaman umum orang-orang
Belanda jaman dulu,” kata si ibu.
“Waduh.” Surya menepuk jidatnya.
“Gih buruan kamu susul. Ini kan malam Jumat
Kliwon,” kata si ibu.
“Ke mana, Bu? Kiri atau kanan?”
“Kiri.”
“Makasih ya, Bu.”
Surya langsung melajukan motornya menuju ke arah
yang ditunjuk si ibu pemilik warung. Nggak jauh dari situ
ada penunjuk jalan bertuliskan "Ereveld (Taman
Pemakaman Umum Belanda). TPU itu udah berdiri
selama ratusan tahun. Kira-kira samalah kayak Nyonya
Meneer berdirinya. Kebayang dong gimana seremnya.

Tulalit│18
Theresia Roelen

Kalo nggak karena Ario, Surya nggak bakalan mau ke sana


meskipun dibayar mahal.
Kegelapan, aroma bunga kamboja yang tumbuh di
sekitar TPU dan udara yang dingin bikin perasaan Surya
tambah nggak enak. Dia berharap nggak ketemu sama
Tante Kunti atau Om Wowo. Tiba-tiba samar-samar dia
mendengar suara. Dia menghentikan motornya dan
mematikan mesin.
“4800 … 4900 … 5000….”
Tunggu dulu! Surya kenal banget suara itu. Suara
Ario! Surya manggil nama sahabatnya itu,” Ario!!!! Lu
dimana???”
Nggak ada jawaban. Suara itu pun hilang.
“Yo!!!! Nih gue!!! Gue minta maap atas kejadian tadi
siang!!!”
Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Surya. Dia kaget
setengah mati.
Tuh kan bener dia ditepuk sama Tante Kunti atau
nggak Om Wowo. Surya nggak tau apa yang harus
dilakukan seandainya ketemu Tante Kunti atau Om
Wowo. Minta nomor telepon atau ngajak kenalan sambil
ngomong," Hai Tante, Om, udah lama tinggal di sini?"
“Rese lu, Sur. Lu bikin berantakan konsentrasi gue
aja. Gue harus itung ulang deh."
Surya menoleh. Dilihatnya dalam keremangan cahaya
lampu sorot motornya, wajah gembil sahabat yang
disayanginya itu bukan Tante Kunti atau Om Wowo.
Tanpa pikir panjang dipeluknya tubuh Ario.
“Yo!!!! Gue cariin lu! Gue kuatir banget sama lu!”
“Kenapa emangnya?” tanya Ario cuek sambil melap
keringat di jidatnya yang luas kayak lapangan futsal.
Pipinya kemerahan kena panas tadi siang.

Tulalit │19
Theresia Roelen

“Gue pikir lu kemana, Yo. Gue tau lu marah sama gue,


Yo. Gue minta maaf ya. Gue salah. Seharusnya gue nggak
ngomong kasar ama lu tadi siang dan ngatain lu tulalit.
Buat gue, lu adalah sahabat gue yang paling baik dan
tulus. Gimana pun orang nilai lu, lu tetep sahabat gue,”
kata Surya.
Ario menatap wajah sahabatnya dengan terharu.
Persis kayak Rangga sama Cinta yang baru ketemu lagi
setelah empat belas taon nggak ketemu. Woiiii, lebay
banget sih moderatornya.
“Makasih ya, Sur. Lu emang sahabat gue paling baek,
paling ngertiin gue."
“Iya, Yo. Sama-sama. Kalo lu butuh pertolongan, gue
akan selalu siap bantuin lu,” kata Surya dengan tulus.
“Beneran, Sur?” tanya Ario dengan mata berbinar.
“Bener.”
“Kalo gitu besok siang abis sekolah lu bantuin gue
selesain ngukur jalanan. Tinggal dikit lagi, Sur.”
“Hahhhhhh????”
Seketika tubuh Surya melemas.

Tulalit│20

You might also like