You are on page 1of 14

Dalil-Dalil Al-Qur'an Tentang ADANYA TUHAN

on Friday, 7 December 2012 Labels: Artikel Akidah


TERKAIT : Artikel Akidah

Berikut adalah dalil-dalil tentang adanya wujud Tuhan yang diterangkan oleh Al-Qur'an secara logika, ALLah
taala berfirman:

‫َىءٰٰخ َْلقَهٰٰثُمٰٰهَدٰى‬
ْ ‫ِىٰٰاَعْطـىٰ ُكلٰٰش‬
ْ ‫َربُّنَاٰالذ‬
Yakni, Tuhan adalah Dia Yang telah menganugerahkan kepada tiap sesuatu penciptaan/kelahiran yang sesuai
dengan keadaannya, kemudian menunjukinya jalan untuk mencapai kesempurnaannya yang diinginkan
(20:50).

Kini jika memperhatikan makna ayat tersebut kita menelaah bentuk ciptaan -- mulai dari manusia hingga
binatang-binatang daratan dan lautan serta burung-burung -- maka timbul ingatan akan kekuasaan Ilahi. Yakni,
bentuk ciptaan setiap benda tampak sesuai dengan keadaannya. Para pembaca dipersilahkan memikirkannya
sendiri, sebab masalah ini sangat luas.

image: sulitbelajar.wordpress.com
Dalil kedua mengenaiٰadanyaٰTuhanٰialah,ٰAlquranٰSuciٰtelahٰmenyatakanٰAllahٰTa’alaٰsebagaiٰsebabٰdasar
dari segala sebab, sebagaimana Alquran Suci menyatakan:

ْ ‫ىٰربِ َك‬
ٰ‫ٰٰال ُم ْنتَهى‬ َ ‫َواَنٰٰاِل‬
Yakni seluruh rangkaian sebab dan akibat berakhir pada Tuhan engkau (53:42).

Rincian dalil ini ialah, berdasarkan penelaahan cermat akan diketahui bahwa seluruh alam semesta ini terjalin
dalam rangkaian sebab dan akibat. Dan oleh karena itu, di dunia ini timbul berbagai macam ilmu. Sebab,
karena tiada bagian ciptaan yang terlepas dari tatanan itu. Sebagian merupakan landasan bagi yang lain, dan
sebagian lagi merupakan pengembangan-pengembangannya. Adalah jelas bahwa suatu sebab timbul karena
zat-Nya sendiri, atau berlandaskan pada sebab yang lain. Kemudian sebab yang lain itu pun berlandaskan pada
sebab yang lain lagi. Dan demikianlah seterusnya. Tidak benar bahwa di dalam dunia yang terbatas ini
rangkaian sebab dan akibat tidak mempunyai kesudahan dan tiada berhingga, Maka terpaksa diakui bahwa
rangkaian ini pasti berakhir pada suatu sebab terakhir.

Jadi, puncak terakhir semuanya itu ialah Tuhan. Perhatikanlahٰ denganٰ seksamaٰ betapaٰ ayat:ٰ “Wa anna ilaa
rabbikal-muntahaa”ٰ ituٰ denganٰ kata-katanya yang ringkas telah menjelaskan dalil tersebut di atas, yang
artinya, puncak terakhir segala rangkaian ialah Tuhan engkau.

Kemudian satu dalil lagi mengenai adanya Tuhan ialah, sebagaimana firman-Nya:
ٰٰ‫ٰؕو ُكلٰٰ ِف ْىٰٰفَلَك‬ َ ٰٰ‫ٰٰو َلٰٰال ْي ُل‬
ِٰ ‫سا ِب ُقٰٰالن َه‬
َ ‫ار‬ ْ ‫سٰٰ َي ْۢ ْنَٰب ِغ ْىٰٰلَ َهاٰٰا َ ْنٰٰت ُ ْد ِر َك‬
َ ‫ٰٰالقَ َم َر‬ ُ ‫َلٰٰالش ْم‬
َٰ‫ي ْسبَ ُح ْون‬
Yakni, matahari tidak dapat mengejar bulan dan juga malam yang merupakan penampakkan bulan tidak
dapat mendahului siang yang merupakan penampakkan matahari. Yakni, tidak ada satu pun di antara mereka
yang keluar dari batas-batas yang ditetapkan bagi mereka (36:41).

Jika di balik semua itu tidak ada Wujud Sang Perencana, niscaya segala rangkaian tersebut akan hancur. Dalil
ini sangat bermanfaat bagi orang-orang yang gemar menelaah benda-benda langit, sebab benda-benda langit
tersebut merupakan bola-bola raksasa yang tiada terhitung banyaknya, sehingga dengan sedikit saja terganggu
maka seluruh dunia dapat hancur. Betapa ini merupakan suatu kekuasaan yang hakiki sehingga benda-benda
langit itu tidak saling bertabrakkan dan kecepatannya tidak berubah seujung rambut pun, serta tidak aus walau
telah sekian lama bekerja dan tidak terjadi perubahan sedikit pun. Sekiranya tidak ada Sang Penjaga,
bagaimana mungkin jalinan kerja yang demikian besar ini dapat berjalan dengan sendirinya sepanjang masa.
Dengan mengisyaratkan kepada hikmah-hikmahٰitulah,ٰdiٰtempatٰlainٰAllahٰTa’alaٰberfirman:
ِ ‫ٰٰو ْالَ ْر‬
ٰ‫ض‬ َ ‫ت‬
ِ ‫اط ِرٰٰالسمو‬ ٰ ‫اَفِ ْى‬
ِ َ‫ّٰٰللاِٰٰشَكٰٰف‬
Yakni, dapatkah Wujud Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi demikian itu diragukan? (14:10)

Lalu sebuah dalil lagi tentang keberadaan-Nya, difirmankan:

ٰ‫ٰٰٰۚ ٰۖۚ ُك ُّلٰٰ َم ْنٰٰ َعلَ ْي َهاٰفَان‬ ِ ْ ‫ٰٰو‬


ۚ ‫ال ْك َر ِام‬ ْ ‫ٰٰر ِب َكٰٰذُ ْو‬
َ ‫ٰٰال َجل ِل‬ َ ُ‫ىٰو ْجه‬
َ ‫ويَبْق‬
Yakni, tiap sesuatu akan mengalami kepunahan dan yang kekal itu hanyalah Tuhan Yang memiliki kebesaran
dan kemuliaan (55:27,28).

Kini perhatikanlah! Jika kita bayangkan dunia ini menjadi hancur-lebur dan benda-benda langit pun pecah
berkeping-keping, serta bertiup angin yang melenyapkan seluruh jejak benda-benda itu, namun demikian akal
mengakui serta menerima -- bahkan hati nurani menganggapnya mutlak -- bahwa sesudah segala kebinasaan
itu terjadi, pasti ada sesuatu yang bertahan yang tidak mengalami kepunahan serta perubahan-perubahan dan
tetap utuh seperti keadaannya semula. Jadi, itulah Tuhan yang telah menciptakan semua wujud fana (tidak
kekal), sedangkan Dia sendiri terpelihara dari kepunahan

Kemudian satu dalil lagi berkenaan dengan keberadaan-Nya yang Dia kemukakan di dalam Alquran Suci
adalah :

‫اَلَ ْستُٰٰبِ َربِ ُك ْٰمٰؕقَالُ ْواٰبَلى‬


Yakni, Aku berkata kepada setiap ruh: “Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka berkata, “Ya, sungguh benar!”
(7:172).

DiٰdalamٰayatٰiniٰAllahٰTa’ala menerangkan dalam bentuk kisah, suatu ciri khas ruh yang telah ditanamkan-
Nya di dalam fitrat mereka. Ciri khas itu ialah, pada fitratnya tiada satu ruh pun yang dapat mengingkari
hanyalah karena mereka tidak menemukan apa pun di dalam pikiran mereka. Kendati mereka ingkar, mereka
mengakui bahwa tiap-tiap kejadian pasti ada penyebabnya. Di dunia ini tidak ada orang yang begitu bodohnya,
misalnya jika pada tubuhnya timbul suatu penyakit, dia tetap bersikeras menyatakan bahwa sebenarnya tidak
ada suatu sebab yang menimbulkan penyakit itu. Seandainya rangkaian dunia ini tidak terjalin oleh sebab dan
akibat, maka tidaklah mungkin dapat membuat prakiraan bahwa pada tanggal sekian akan datang taufan atau
badai; akan terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan; atau seseorang yang sakit akan wafat pada waktu
tertentu; atau sampai pada waktu tertentu suatu penyakit akan muncul bersamaan dengan penyakit lain. Jadi,
seorang peneliti, walaupun tidak mengakui Wujud Tuhan, namun dari satu segi dia telah mengakuinya. Yakni
ia pun, seperti halnya kita, mencari-cari penyebab dari sebab akibat. Jadi, itu pun merupakan suatu bentuk
pengakuan, walaupun bukan pengakuan yang sempurna.

Selain itu, apabila seseorang yang mengingkari Wujud Tuhan, dengan cara tertentu kesadarannya dihilangkan -
- yaitu ia sama sekali dijauhkan dari segala keinginan rendah ini dan segala hasratnya dihilangkan, lalu
diserahkan ke dalam kendali Wujud Yang Maha Tinggi -- maka dalam keadaan demikian ia akan mengakui
Wujud Tuhan, tidak akan ingkar. Hal serupa itu telah dibuktikan melalui percobaan orang-orang yang
berpengalaman luas.

Jadi, ke arah kondisi demikianlah isyarat yang terdapat di dalam ayat itu. Dan makna ayat itu adalah,
pengingkaran Wujud Tuhan hanya terjadi sebatas kehidupan rendah saja. Sebab, fitrat yang asli dipenuhi oleh
pengakuan itu.
AGAMA DAN PENYELAMATAN
LINGKUNGAN

Oleh: Miftahulhaq (Wakil Sekretaris MLH PP Muhammadiyah)

Pendahuluan

Data BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa 85 % lebih bencana yang terjadi di Indonesia dalam
kurun waktu tahun 2002 – 2011 adalah terkait bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang,
kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang. Berdasarkan jumlah kejadian
terbanyak adalah banjir yaitu sebanyak 403 kali. Berbagai kerusakan alam ini disebabkan oleh banyak
faktor, di antaranya perubahan iklim global, degradasi lingkungan, kemiskinan, dan bertambahnya
jumlah penduduk. Berbagai bencana itu pun telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar.

Apabila dikaji lebih mendalam, terjadinya berbagai kerusakan lingkungan merupakan akumulasi
atau tali temali dari faktor-faktor structural, institusional, dan cultural secara bervariasi. Pada tingkat
structural yang paling menonjol adalah strategi pembangunan dan industrialisasi yang eksploitatif, tidak
mengindahkan keselarasan bahkan menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan social yang
menyengsarakan masyarakat lemah. Pada tingkat insitutusional kerusakan lingkungan dikarenakan
berbagai perangkat kelembagaan yang rentan lemah, tidak terkoordinasi dan cenderung korup.
Sedangkan dalam tingkat cultural terjadinya kerusakan lingkungkan dikarenakan rendahnya kesadaran
dan perilaku ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya budaya pragmatis dan hedonis
dalam kehidupan masyarakat.

Dalam konteks agama Islam, berbagai kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam (Q.S. Ar-
Ruum: 41). Perilaku ini bertentangan dengan tugas dan fungsi manusia sebagai hamba
Allah (abdullah) dan khalifatullah fil ardl, yang berkewajiban untuk melakukan proses pengelolaan dan
pemeliharan alam dan lingkungan sebagai media untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan fungsi
kekhalifahan. Manusia dilarang berbuat kerusakan sedikit pun di muka bumi setelah Allah
memperbaikinya (Q.S. Al-A’raf: 56).

Hubungan Manusia dan Alam


Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam
keseimbangan, proporsional dan terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:Ar-Ra’d: 8; Al-
Qomar : 49 dan Al-Hijr:19). Bumi sebagai tempat tinggal manusia terdiri atas berbagai unsur dan elemen
dengan keragaman dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk
alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya
di muka bumi, sekaligus merupakan bukti ke Mahakuasaan dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan
Pemelihara alam (QS: Ta-Ha; 53-54). Dialah yang menentukan dan mentaqdirkan segala sesuatu di alam
semesta. Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan
qadar Tuhan serta berserah diri dan memujiNya (QS:An-Nur:41).

Alam merupakan sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan
manusia dan realitas yang lain Yang Ghaib dan supra-empirik. Alam merupakan representasi dari Yang
Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini
tidak diciptakan dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main), akan tetapi dengan nilai dan
tujuan tertentu (Q.S. Ali Imran: 191-192). Menurut pandangan Islam, alam mempunyai eksistensi riil,
objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam, yang disebut
sebagai hukum Allah (sunnatullah).Sunnatullah ini tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan
tetapi juga bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Alam (lingkungan hidup) juga bersifat menyatu
(holistik) yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan makhluk hidup (termasuk manusia).
Masing-masing komponen mempunyai peran dan kedudukan yang berbeda-beda akan tetapi tetap
berada dalam koridor rancangan Allah (sunantullah).

Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan
manusia di alam adalah saling membutuhkan, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya
dengan peran yang berbeda-beda. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk hubungan peran dan
fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia adalah penguasa alam). Sementara itu alam
berhubungan pula dengan Tuhan yang menciptakannya dan mengaturnya. Alam pun sesungguhnya
tunduk terhadap ketentuan dan hukum-hukum Allah. Adapun manusia mempunyai peran dan posisi
khusus dibanding komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain, yakni sebagai khalifah, wakil
Tuhan dan pemimpin di bumi (QS: Al-An’am: 165). Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan
hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat al Qur’an yang lain dan Hadist Nabi, yang intinya adalah
sebagai berikut :

 Hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk
mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan, karena alam semesta adalah tanda atau ayat-ayat Allah.
Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah kecuali hanya kepada Allah yang
Menciptakan alam.

 Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang
kehidupannya ini harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan atau boros). Demikian pula tidak
diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam yang hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi
saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula
melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumberdaya alam untuk
kepentingan tertentu sehingga hak pemanfaatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau
hilang.

 Hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara
alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia saja akan tetapi bagi semua makhluk
hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan dan
mengabaikan asas pemeliharaan dan konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan
kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman.
Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik,
maka baginya tersedia balasan ganjaran dari Allh swt.

Pandangan Islam tentang Lingkungan

Islam merupakan agama yang lengkap, serba cakup, termasuk yang berkaitan dengan
lingkungan. Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan lingkungan (eco-friendly) dan
keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat al-Qur’an dan teks al-Hadist yang menjelaskan,
menganjurkan bahkan mewajibkan manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan
kehidupan makhluk lain di bumi, walaupun dalam situasi yang sudah kritis. Ayat yang berkaitan
dengan alam dan lingkungan (fisik dan sosial) ini dalam alQur’an bahkan jauh lebih banyak
dibandingkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah khusus (mahdhoh).

Islam adalah sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau
persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuahsistem pusat-
nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (nilai normatif) atau ajaran Islam
yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan haram.Berdasarkan atas pengertian ini maka ajaran
(konsep) atau pandangan Islam tentang lingkunganpun pada dasarnya dibangun atas dasar 5
(lima) pilar syariah tersebut yakni : 1) tauhid, 2) khilafah, 3) amanah, 4) keseimbangan
(i’tidal) dan 5) istishlah. Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan menuju tujuan
penciptaannya maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua)
rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa
diibaratkan sebagai sebuah “bangunan“ untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh
dalam perspektif Islam. Berikut ini akan di urai makna keempat pilar dan dua rambu tersebut
serta saling keterkaitannya satu dengan lainnya dalam konteks lingkungan (environment).

1. Tauhid
Nilai tauhid ini tidaklah hanya sebatas keimanan dalam hati semata. Nilai tauhid bagi umat
muslim harus menjadi spirit bagi setiap tindakan atau perilakunya, baik yang berhubungan dengan orang
lain, makhluk lain atau lingkungan hidupnya. Hal ini mengandung makna bahwa manusia sebagai
makhluk Tuhan sekaligus sebagai hamba Tuhan (‘abdul Allah) harus senantiasa tunduk dan patuh
kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Manusia bertanggungjawab kepada-Nya atas semua
tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa tauhid merupakan satu-satunya sumber
nilai dalam etika. Pelanggararan atau penyangkalan terhadap nilai ketauhidan ini berarti syirk yang
merupakan perbuatan dosa terbesar dalam Islam. Oleh karena itu tauhid merupakan landasan dan
acuan bagi setiap perbuatan manusia, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin termasuk
berfikir. Bagi seorang muslim mukmin, tauhid harus masuk menembus kedalam seluruh aspek
kehidupannya dan menjadi pandangan hidupnya. Dengan kata lain, tauhid merupakan sumber
etika pribadi dan kelompok (masyarakat), etika sosial, ekonomi, dan politik, termasuk etika dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, pengembangan sain dan teknologi.

2. Khilafah (perwalian)

Bermula dari landasan yang pertama yakni tauhid, Islam mempunyai ajaran atau konsep yang
bernama khilafah dan amanah. Konsep khilafah ini dibangun atas dasar pilihan Allah dan kesediaan
manusia untuk menjadi khalifah (wakil atau wali) Allah di muka bumi (QS:Al-Baqarah: 30, Al-Isra : 70, Al-
An’am: 165 dan Yunus: 14). Sebagai wakil Allah, manusia wajib (secara aktif) untuk bisa
merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Sebagai wakil (khalifah) Allah, manusia harus
aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga keberlangsungan
fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia, sekaligus menjaga
keberlanjutan kehidupannya.

Khilafah bisa juga bermakna kepemimpinan. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi ini yang
telah ditunjuk menjadi pemimpin bagi semua makhluk Tuhan yang lain (alam semesta termasuk bumi
dan seisinya (atmosfer, dan sumberdaya alam yang dikandungnya termasuk tumbuhan dan hewan ).
Makna ini mengandung konsekuensi bahwa manusia harus bisa mewakili Tuhan untuk memimpin dan
memelihara keberlangsungan kehidupan semua makhluk. Untuk menjalankan misi khilafah ini manusia
telah dianugerahi oleh Tuhan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain, yakni kesempurnaan
ciptaan dan akal budi yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada makhluk lainnya.

Sebagai pemimpin, manusia harus bisa memelihara dan mengatur keberlangsungan fungsi dan
kehidupan semua makhluk, sekaligus mengambil keputusan yang benar pada saat terjadi konflik
kepentingan dalam penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya alam. Pengambilan keputusan ini harus
dilakukan secara adil, bukan dengan cara memihak kepada individu atau kelompok makhluk tertentu.
Manusia harus bisa menegakkan amanah dan keadilan ditengah-tengah lingkungan alamnya di muka
bumi ini, termasuk dalam lingkungan sosialnya. Penyelewengan terhadap amanah ini dengan demikian
berarti juga melanggar asas ketauhidan yang berarti merupakan perbuatan syirk dan dzalim.

Khalifah adalah juga amanah yang telah diberikan oleh Tuhan yang menciptakan manusia
kepada manusia karena dipandang mampu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dimuka bumi.
Oleh karena itulah maka pemahaman makna khilafah dan peran manusia sebagai khalifah di alam
khususnya di muka bumi ini menjadi sangat penting karena akan menentukan keberhasilan atau
kegagalan manusia dalam mengemban amanah yang telah diberikan Tuhan sekaligus yang telah
disanggupinya. Tindakan-tindakan manusia yang berakibat terjadinya kerusakan di muka bumi
sebagaimana di muka telah ditegaskan, merupakan pelanggaran atau penginkaran terhadap amanah
yang berarti juga merupakan perbuatan dosa besar.

3. Amanah
Bumi sebagai bagian dari alam semesta merupakan amanah dari Allah swt Sang Pencipta. Untuk
menjaga keberlangsungan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia mempunyai hak untuk
memanfaatkan apa-apa yang ada di muka bumi (sumberdaya alam) bumi. Akan tetapi manusia baik
secara individu maupun kelompok tidak mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumberdaya alam
yang bersangkutan. Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga
kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks ini maka alam
terutama bumi tempat tinggal manusia merupakan arena atau ajang uji bagi manusia. Agar manusia bisa
berhasil baik dalam ujiannya, maka ia harus bisa membaca “tanda-tanda” atau “ayat-ayat” alam yang
ditunjukkan oleh sang Maha Pengatur Alam.

4. Keseimbangan (i’tidal )

Alam diciptakan Allah dalam keberagaman kualitatif maupun kuantitatif seperti ukuran, jumlah,
struktur, peran, umur, jenis kelamin, masa edar dan radius edarnya. Walaupun demikian, alam dan
ekosistem ciptaan Tuhan yang sangat beragam ini berada dalam keseimbangan, baik keseimbangan
antar individu maupun antar kelompok (QS: Al-Mulk: 67). Keseimbangan ini merupakan hukum Tuhan
yang juga berlaku atas alam termasuk manusia. Keseimbangan ini bisa mengalami gangguan
(disharmoni) jika salah satu atau banyak anggota kelompok atau suatu kelompok mengalami gangguan
baik secara alamiah (karena sebab-sebab yang alamiah) maupun akibat campur tangan manusia. Jika
terjadi gangguan terhadap keseimbangan alam, maka alam akan bereaksi atau merespon dengan
membentuk keseimbangan baru yang bisa terjadi dalam waktu singkat, atau bisa pula dalam waktu yang
cukup lama tergantung pada intensitas gangguan serta sifat kelentingan masing-masing sistem alam
yang bersangkutan. Keseimbangan baru yang terbentuk ini sudah barang tentu bisa berbeda secara
kuantitatif maupun kualitatif dengan keseimbangan sebelumnya. Demikian pula keseimbangan baru ini
bisa bersifat merugikan, bisa pula menguntungkan bagi anggota komunitas atau kelompok yang
bersangkutan. Perilaku dan perbuatan manusia terhadap alam termasuk antar manusia yang
diharamkan (dilarang), sebenarnya bertujuan agar keseimbangan atau harmoni alam tidak mengalami
gangguan. Larangan untuk tidak bertengkar, berkata kotor, berbohong, berburu, melukai atau
membunuh hewan dan tanaman pada waktu ihram bagi orang yang sedang berhaji atau umrah,
sebenarnya mengandung pesan bahwa keseimbangan lingkungan dan harmoni kehidupan tidak boleh
diganggu dengan perbuatan-perbuatan yang merusak (haram).

5. Kemashlahatan (istishlah)

Kemashlahatan merupakan salah satu pilar utama dalam syariah Islam termasuk dalam
pengelolaan lingkungan. Bahkan secara tegas Tuhan melarang manusia untuk melakukan perbuatan
yang bersifat merusak lingkungan termasuk merusak kehidupan manusia itu sendiri, setelah Tuhan
melakukan perbaikan (ishlah). Istishlah ini bahkan tidak hanya sepanjang umur dunia akan tetapi sampai
ke kehidupan akherat (QS: Al- A’raf: 56). Tujuan tertinggi dari perlindungan alam dan ekosistem ini
adalah kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah) universal baik dalam kehidupan masa kini (di dunia)
maupun kehidupan dimasa depan (di akhirat). Istishlah juga bisa bermakna pemeliharaan terhadap alam
termasuk kepada kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan di bumi. Hewan dan tumbuhan diciptakan
Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia untuk menunjang kehidupannya, dan bukan untuk dirusak.
Dengan kata lain pemanfaatan alam termasuk hewan dan manusia adalah pemanfaatan yang
berkelanjutan.

6. Halal dan haram

Keberlanjutan peran dan fungsi alam serta harmoni kehidupan di alam ini (khususnya bumi
sebagai planet yang dihuni manusia) oleh Islam dijaga oleh dua instrumen yang berperan sebagai rambu
bagi manusia, yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, berakibat baik,
menguntungkan, dan menenteramkan hati. Segala sesuatu yang menguntungkan atau berakibat baik
bagi seseorang, masyarakat dan lingkungan alamnya serta lingkungan sosialnya adalah halal. Sebaliknya
segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan alam
dan sosialnya adalah haram. Segala yang membahayakan dan merusak fisik (tubuh) dan jiwa (rohani)
manusia, serta alam lingkungannya adalah haram.

Konsep halal dan haram ini sebenarnya tidak hanya diberlakukan bagi manusia, akan tetapi juga
berlaku bagi alam. Pelanggaran terhadap rambu-rambu ini akan mengakibatkan terjadi ketidak
seimbangan atau disharmoni baik dalam kehidupan manusia maupun gangguan keseimbangan ekologis
di alam.
Muhammadiyah dan Gerakan Lingkungan

Upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa hanya dilakukan melalui kegiatan teknis-akademis.
Persoalan lingkungan merupakan hak asasi manusia, sehingga pendekatan yang harus dikembangkan
dalam penyelesaiannya pun harus berdasar berbagai multi aspek, termasuk pendekatan pendidikan dan
keagamaan. Muhammadiyah memandang diperlukannya langkah terpadu berbasis masyarakat untuk
melakukan aksi bersama (interfaith action) antar berbagai komponen masyarakat, terutama komunitas
beragama, sehingga terjadi sinergi antara kelompok masyarakat, pemerintah, dan kelompok bisnis.

Bagi Muhammadiyah, keterlibatan diri dalam gerakan penyelamatan lingkungan merupakan hal
niscaya yang harus terus digerakkan. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab selaku khalifah di muka bumi
(Q.S. Al-Baqarah: 30), gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan bagian dari upaya memakmurkan
bumi dan alam semesta (Q.S. Hud: 61).

Sejak tahun 2003, Muhammadiyah telah menjadikan program lingkungan sebagai bagian tidak
terpisahkan dari program organisasi. Pada tahun ini Muhammadiyah membentuk Lembaga Studi dan
Pemberdayaan Lingkungan Hidup. Keberadaan lembaga ini difokuskan pada upaya mengidentifikasi dan
membangun pijakn dasar mengenai corak dan pilihan kegiatan gerakan lingkungan yang akan dibangun
oleh Muhammadiyah.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang PP Muhammadiyah membentuk Lembaga


Lingkungan Hidup (LLH). Periode berhasil dirumuskan beberapa hal elementer terkait pilihan gerakan
lingkungan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, yaitu terkait konsep Teologi Lingkungan dan
Pendidikan Lingkungan. Pilihan ini didasarkan pada pemikiran bahwa perubahan mindset dan perilaku
manusia terhadap alam dan lingkungan merupakan hal mendasar yang harus dilakukan agar proses
gerakan dan budaya ramah lingkungan dalam kehidupan masyarakat dapat terwujud. Selain itu, periode
ini berhasil melakukan komunikasi lembaga dengan berbagai komponen penggerak lingkungan, baik
nasional maupun internasional.

Kemudian pasca Muktamar Muhammadiyah ke-46 (1 Abad) PP Muhammadiyah


mengembangkan Lembaga Lingkungan Hidup (LLH) menjadi Majelis Lingkungan Hidup (MLH).
Perubahan ini memiliki tanggung jawab agar Majelis dapat mempercepat transformasi gerakan
lingkungan di dalam tubuh Muhammadiyah. Gerakan lingkungan Muhammadiyah bukanlah sebatas
mengikuti trend global, tetapi harus menjadi trendsetter sesuai prinsip gerakan Muhammadiyah yang
mengembangkan Islam yang berkemajuan.

Dakwah dalam bidang lingkungan sesungguhnya bagian dari pengembangan dari pemahaman
Muhammadiyah terhadap Teologi Al-Ma’un. Kepedulian dan pengejawantahan nilai-nilai Islam
Muhammadiyah saat ini tidak terbatas pada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk lain dan
lingkungannya (alam semesta). Keterpanggilan Muhammadiyah terhadap gerakan lingkungan juga
merupakan panggilan tauhid yang menjadi elan vital gerakan Muhammadiyah.

Gerakan lingkungan Muhammadiyah tidaklah sebatas pada kegiatan teknis penyelamatan


lingkungan atau ekonomi, tetapi jauh dari itu adalah bagaimana merubah cara berfikir dan alam fikir
masyarakat terhadap lingkungannya. Gerakan lingkungan Muhammadiyah harus didasarkan pada
kesadaran penghambaan diri kepada Allah (ibadah) dan pemenuhan tugas dan fungsi sebagai khalifah
Allah SWT. Karena bagaimana pun Muhammadiyah ingin mengajak umatnya untuk beragama secara
cerdas dan jauh dari kejumudan.

Penutup

Agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Kegiatan penyelamatan lingkungan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran agama. Penyelamatan lingkungan merupakan bagian
dari kegiatan penghambaan diri (ibadah) dan pemenuhan tugas sebagaikhalifatullah fil ardl. Setiap
manusia harus aktif dalam kegiatan penyelamatan lingkungan sebagai bagian dari keterpanggilan
dakwah dan penegakan nilai-nilai ajaran Islam. Wallahu A’lam. Sejuk Bumiku – Nyaman Hidupku – Aman
dan Tentram Masa Depan Anak Cucuku.
Mengapa Manusia Membutuhkan Agama ?
May 4, 2012 by agushidayatwrote

Pertanyaan ini bagi kita umumnya mungkin hampir tidak pernah terpikirkan karena kita memang

hidup di lingkungan yang beragama. Pada umumnya kita beragama secara keturunan dan otomatis

kita mengikuti agama orang tua kita. Selanjutnya kita kemudian mendapat pendidikan yang

memperkuat keberagamaan kita dan setelah dewasa terkadang kita mencari kebenaran dari agama

yang kita anut sejak kecil tersebut.

Kita harus bersyukur bahwa kita lahir dari keluarga yang beragama Islam dan ini merupakan nikmat

besar yang harus disyukuri. Kita tidak bisa membayangkan apa jadinya kita seandainya lahir dari

keluarga yang tidak beragama. Bisa jadi setelah dewasa akan berusaha mencari kebenaran dalam

agama, atau boleh jadi juga menganggap agama sebagai candu sehingga tidak perlu beragama, tidak

butuh akan Tuhan. Naudzubillah min dzalik.

Istilah agama merupakan terjemahan dari Ad-Din (dalam bahasa Arab). Ad-Din dalam Al Quran

disebutkan sebanyak 92 kali. Secara bahasa, dîn diartikan sebagai “balasan” yaitu di dalam Al Quran

yang menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, “Maliki yaumiddin – “(Dialah) Pemilik

(raja) hari pembalasan. Begitu juga pada sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, ad-dînu nashihah

(Agama adalah ketaatan).Juga dalam Al-Baqarah ayat 256 “Laa ikraaha fiddin” (“tidak ada paksaan

dalam agama …“).

Secara istilah, din diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, kepercayaan, hukum, dan norma yang

diyakini dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan manusia. Kebahagian dan keselamatan

inilah yang sering menjadi cita-cita yang ingin dicapai tiap umat manusia di dunia. Siapa sih yang tak
mau bahagia? Tentu sedikit sekali orang yang tak menginginkan hal tersebut. Dan kebanyakan orang

sangat berharap dengan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Melalui sejumlah kajian maka para pemikir dan ulama mencoba menjawab pertanyaan di atas dan

jawaban atas pertanyaan tersebut adalah :

1. Manusia secara naluri dan fitrahnya memang sangat membutuhkan agama.

Manusia pada dasarnya membutuhkan agama karena hal ini yang membedakan manusia dengan

mahluk lain seperti hewan. Dalam beberapa hal, ada kesamaan antara manusia dengan hewan, yaitu

sama-sama sebagai mahluk Allah SWT, sama-sama mempunyai keinginan-keinginan biologis dan

sama-sama mempunyai perasaan takut, sedih, dan gembira dan lain-lain. Manusia merupakan mahluk

yang unik dan istimewa. Secara fisik manusia lebih lemah dibandingkan dengan hewan tetapi manusia

mempunyai jiwa dan akal yang dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah dan lain

sebagainya.

Al-Qur’an Surat Al-Ar’af menerangkan kepada kita bahwa sesungguhnya di alam ruh manusia sudah

berjanji dan menyaksikan bahwa Allah SWT adalah sang Maha Pencipta.

Juga Al-Quran Surat Al-Baqarah dari ayat 1 s/d ayat 20 menceritakan golongan-golongan manusia.

Para mufasirin menfasirkan bahwa ayat 1 – 5 menerangkan orang-orang yang beriman, ayat 6 – 7

menerangkan orang-orang yang kafir, dan ayat 8 – 20 menerangkan keadaan orang yang munafik.

Dari 20 ayat yang diturunkan pada awal surat ini ternyata hanya 2 ayat saja yang menerangkan

mengenai orang-orang kafir. Hal ini yang ditafsirkan bahwa kebanyakan manusia sebenarnya

beriman namun yang paling banyak jumlahnya adalah golongan orang-orang atau kaum munafiqin

yang senantiasa berada dan ragu di antara keimanan dan kemunakran mereka.

Adapun dari segi kehidupannya maka manusia terbagi ke dalam tiga golongan yaitu golongan (a)

Manusia yang mengabdikan hidupnya hanya untuk kehidupan dunia sebagaimana difirmankan QS Al-

Anam ayat 29 dan Al-Jatsiyah ayat 24. (b) Manusia yang tidak mempunyai arah / tujuan hidup yang

jelas sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah ayat 14 (c) Manusia yang menjadikan kehidupan

dunia sebagai ladang bagi kehidupan di akhirat kelak, hal ini dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan Al-

An’am ayat 32.

2. Manusia tidak mempunyai jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan


tentang alam semesta.

Pada saat Nabi Adam diturunkan ke bumi maka timbul kebingungan dalam dirinya tentang bagaimana

menghadapi kehidupan di bumi, maka Allah SWT memberi tuntunan melalui wahyu dan isyarat-isyarat
yang diturunkan kepada beliau. Bahkan sebelum Nabi Adam diciptakan-Nya para malaikat berdialog

dengan Allah SWT tentang mahluk yang akan diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di bumi (Al-

Baqarah ayat 30-34). Pertanyaan yang disampaikan malaikat adalah bentuk keprihatinan kepada

manusia yang cenderung menjadi mahluk pembangkang namun Allah berfirman bahwa Allah lebih

mengetahui daripada apa yang diketahui para malaikat. Dan selanjutnya Allah memberikan pelajaran

mengenai nama-nama benda kepada nabi Adam sebagai pengetahuan dan menjadikan kedudukan

atau derajat Nabi Adam yang lebih tinggi daripada malaikat sehingga malaikat diperintahkan sujud

kepada Nabi Adam.

3. Manusia sangat membutuhkan pedoman untuk mengatur kehidupan di dunia dan


mempersiapkan dirinya untuk kehidupan di akhirat.

Manusia sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial sangat memerlukan aturan dalam

seluruh aspek kehidupannya. Mulai dari menyalurkan kebutuhan yang paling dasar sampai memenuhi

kebutuhannnya yang primer, sekunder dan tersier. Semua aspek kehidupan ada aturannya apalagi

untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Ilmuwan barat di antaranya Schumacher menyatakan bahwa

materialisme sudah mati, manusia sekarang mencari spiritualisme sehingga menurut hemat kita

pencarían dan kembalinya manusia terhadap agama merupakan jawaban yang tepat.

Tentu saja banyak alasan dan jawaban lain mengapa manusia membutuhkan agama. Namun dari

uraian di atas diharapkan kesadaran beragama kemudian muncul dari pemahaman yang menyeluruh

tentang fungsi agama / din sehingga pertanyaan berikutnya adalah mengapa kita membutuhkan

dienul Islam? Uraian dan jawaban mengenai hal tersebut insya Allah akan dilanjutkan pada materi

kultum berikutnya. Wallahu’alam bishshawab …

You might also like