You are on page 1of 7

Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 21 (3): 10 - 17

ISSN: 0852-3581
©Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/

Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan


yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas
Ita Wahju Nursita
Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Indonesia
____________________________________________________________________________

Rignkasan: Ulat sutra dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 23-25 ºC dan kelembaban
80-90 %. Apabila dipelihara dalam lingkungan bersuhu lebih panas maka produktivitas akan
menurun karena ulat sutera adalah hewan berdarah dingin (poikilotherm). Di Indonesia terdapat
dua tempat pembibitan ulat sutra terbesar, yaitu PSA Soppeng (Sulawesi Selatan) dan PSA
Temanggung (Jawa Tengah). Kedua tempat pembibitan dalam menghasilkan bibit yang
disebarkan ke masyarakat menggunakan persilangan dari bibit strain yang sama, yaitu strain
China dan strain Jepang. Namun tidak diketahui pasti persentase darah dari kedua strain tersebut
pada masing-masing tempat pembibitan. Dalam penelitian ini digunakan 300 ekor ulat sutra dari
PSA Soppeng (P1) dan 300 ekor ulat sutra PSA Temanggung (P2) yang dipelihara di desa
Ceweng , kecamatan Diwek, kabupaten Jombang. Ulat-ulat tersebut dipelihara dalam enam
kotak pemeliharaan yang terbuat dari karton, diberi pakan daun murbei dari varietas yang
bercampur. Parameter yang diamati aadalah produksi kokon total, produksi kokon normal dan
panjang serat kokon. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t. Berdasarkan hasil analisis
statistik diketahui bahwa tidak ada perbedaan (p>0,05) kemampuan produksi kokon total dan
produksi kokon normal dari dua tempat pembibitan. Rataan produksi kokon total dan produksi
kokon normal dalam penelitian ini masing-masing adalah berkisar dari 87,3 % hingga 89,7 %
dan dari 95,2 % hingga 96,4 %. Namun tidak demikian halnya untuk panjang serat kokon. Pada
lingkungan pemeliharaan panas ulat sutra yang berasal dari PSA Soppeng menghasilkan panjang
serat kokon yang lebih baik (p<0,01) dari pada PSA Temanggung. Rataan panjang filamen yang
dihasilkan oleh ulat sutra yang berasal dari PSA Soppeng adalah 910,9 ± 10,1m, sedangkan dari
PSA Temanggung 824,9 ± 21,5 m. Kemungkinan penyebabnya adalah perbedaan kemampuan
daya tahan terhadap kondisi lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah dan
perbedaan kemampuan kelenjar sutra dalam menghasilkan benang. Ulat sutra yang lebih tahan
terhadap kondisi lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah akan berproduksi lebih
baik. Kesimpulannya adalah bahwa ulat sutra dari PSA Soppeng mempunyai daya tahan yang
lebih baik terhadap kondisi lingkungan panas dari pada PSA Temanggung karena produksi
filamen atau serat sutranya lebih baik.

Kata kunci: ulat sutera, lingkungan panas, produktivitas

Abstract: The objective of the study was to know the comparison of cocoon production, normal
cocoon, and the length of cocoon’s fiber of silkworm (Bombyx mori) between PSA Soppeng and
PSA Temanggung in hot natural environment. About 300 silkworm of silkworm was applied for
2 treatments (P1= silkworm from PSA Soppeng) and (P2= silkworm from PSA Temanggung), and
6 replications. The place of the experiment was in Ceweng village, Diwek , Jombang. The
method of the research was experiment, to compare the data result used the t-test. The statistical
analysis result of the data showed that silkworm from two different breeding places didn’t have
any significant different (P>0,05) to the percentage of total cocoon production and of normal
cocoon production, but it was true for the length of cocoon’s filament of silkworm (p<0,01). The
mean for the percentage of total cocoon production was between 87,3 % and 89,7 % , and of
normal cocoon production was between 95,2 % and 96,4 % , and mean for the length of cocoon’s
filament of silkworm on each treatment P1 and P2 in a series were (910.9±10.1m), (824.9±21.5m).

11
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17

From the research result it could be concluded that silkworm from PSA Soppeng had
better adaptability to hot environment and low humidity than of PSA Temanggung based on
filament production. It was suggested to continue the research with the one related to moleculer
genetic such the pattern of the DNA band to know if there is existed a genetic difference, or about
the anatomy/physiology differences of silkworm gland of silkworm from two different breeding
sites.

Key words: silkworm, hot environment, productivity

PENDAHULUAN
Budidaya persuteraan alam di Indonesia dihasilkan dari dua daerah
merupakan kegiatan industri agronomi tersebut. Kedua tempat pembibitan
yang memiliki tahap kerja yang cukup menggunakan indukan ulat sutera strain
panjang, mulai dari penanaman China dan strain Jepang yang
tumbuhan murbei (Morus sp.), disilangkan untuk menggabungkan
pembibitan ulat sutra, pemeliharaan, kelebihan dari kedua strain tersebut.
pemrosesan kokon, pemintalan dan Namun demikian tidak diketahui dengan
penenunan. Teknologi yang diterapkan pasti persentase darah dari kedua strain.
dalam usaha persuteraan relatif Dari hasil pengamatan di lapang
sederhana sehingga dapat dilakukan diketahui bahwa ada perbedaan
sebagai usaha sambilan, dan juga penampilan produksi ulat sutra yang
sebagai sumber pendapatan sehingga berasal dari kedua tempat pembibitan
dapat dijadikan sebagai salah satu tersebut bila dipelihara dalam
alternatif untuk meningkatkan daya guna lingkungan dengan suhu dan
sumber daya alam hutan dalam kelembaban yang sesuai, yaitu suhu
mendorong pertumbuhan perekonomian rendah dan kelembaban tinggi. Belum
masyarakat desa. banyak hasil penelitian yang mengamati
Walaupun iklim Indonesia cocok penampilan produksi ulat sutra bila
untuk budidaya ulat sutra, tetapi dipelihara dalam suhu lingkungan panas
kenyataan belum banyak daerah yang dan atau kelembaban yang lebih rendah.
mengusahakannya. Dari awal Di Indonesia, masih tersedia lahan yang
diperkenalkannya sampai sekarang cukup luas untuk dipakai usaha budi
sentra produksi serat sutra Indonesia daya ulat sutra, yang kemungkinan suhu
tampaknya masih belum bertambah, baik lingkungan atau kelembabanya kurang
dalam pemeliharaan maupun ideal untuk pemeliharaan ulat sutra.
penanganan kokonnya. Berdasarkan uraian di atas maka
Di Indonesia terdapat dua daerah dipandang perlu untuk mengetahui
persuteraan yang besar yaitu PSA bagaimanakah produktivitas ulat sutra
Temanggung dan PSA Soppeng. Di sini yang berasal dari dua tempat pembibitan
selain pemeliharaan juga dilakukan yang berbeda ini bila dipelihara pada
pembibitan. Hampir semua bibit ulat kondisi lingkungan panas dan
sutra yang dipelihara oleh para peternak kelembaban rendah.

MATERI & METODE Soppeng dan PSA Temanggung masing-


Dalam penelitian ini digunakan ulat masing sebanyak 300 ekor berumur 22
sutra instar V yang berasal dari PSA hari. Ulat-ulat dipelihara dalam kotak

12
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17

karton. Setiap kotak berisi 50 ekor ulat, Untuk sampel data panjang filamen,
yang juga berfungsi sebagai ulangan. diambil secara acak dari setiap kotak
Pakan yang diberikan adalah daun pemeliharaan sebanyak 10 butir kokon.
murbei dari varietas yang bercampur.

kelembaban lingkungannya. Secara


Parameter yang diukur : umum suhu yang baik untuk
Parameter yang diamati dalam pertumbuhan normal ulat sutera adalah
penelitian ini antara lain: 20-28°C dengan kelembaban 70-85% [9].
1. Persentase produksi kokon total, Suhu dan kelembaban optimum yang
diukur dengan cara menghitung dibutuhkan untuk pemeliharaan ulat
jumlah kokon keseluruhan yang sutera dari instar I-III adalah pada instar
dihasilkan oleh ulat sutra pada I; suhu 27-28°C dan kelembaban 90%,
saat panen, baik itu kokon pada instar II; suhu 27-28°C dan
kategori abnormal maupun yang kelembaban 85-90%, dan pada instar III;
normal. Jumlah kokon tersebut suhu yang dibutuhkan 26°C dan
dibandingkan dengan jumlah ulat kelembaban 80%. Untuk instar IV-V,
yang dipelihara, dikalikan suhu dan kelembaban yang diperlukan
dengan seratus persen. semakin rendah [9]. Suhu dan
2. Persentase produksi kokon kelembaban yang diperlukan pada
normal, yaitu jumlah kokon yang pemeliharaan ulat sutera pada instar IV
tidak cacat, berbentuk seperti adalah 25-24° C dengan kelembaban 70-
kapsul dan berwarna putih bersih. 75% dan pada instar V, suhu yang
Jumlah kokon normal tersebut diperlukan 23°C dengan kelembaban 70%
dibandingkan dengan jumlah [3] . Dalam penelitian ini rataan suhu
kokon keseluruhan dikalikan harian di pagi hari adalah 24-26°, siang
dengan seratus persen. hari 26-30°C dan sore hari 24-28°C
3. Panjang filamen, yaitu panjang dengan kelembaban masing-masing 81-
serat yang dipintal dari sebutir 84%, 75-83% dan 74-83%. Meski
kokon. Alat pengukur panjang sudah dilakukan usaha penyemprotan air
filamen terbuat dari kayu untuk menambah kelembaban tertutama
berbentuk bujur sangkar, dengan pada instar I, namun karena suhu
panjang setiap sisinya 25 cm lingkungan tinggi maka cepat terjadi
sehingga dalam satu putaran penguapan kembali. Pengaruh dari
menghasilkan panjang serat 1 m. kondisi ini berpengaruh pada
pertumbuhan ulat kecil, di mana
HASIL & PEMBAHASAN kematian ulat kecil cukup tinggi.
Ulat sutera adalah hewan Walaupun tidak dilakukan pengambilan
berdarah dingin (poikilotherm), yaitu data secara khusus, hasil pengamatan
hewan yang suhu tubuhnya berubah- menunjukkan beberapa telur ulat sutra
ubah mengikuti suhu lingkungannya. dalam penelitian ini hanya tumbuh
Produktivitas ulat sutra yang dipelihara hingga instar III atau IV kemudian mati
sangat tergantung pada suhu dan karena kepanasan.
Pengaruh langsung suhu sutera berhubungan dengan penyerapan
(lingkungan) terhadap fisiologi ulat nutrisi, daya cerna, sirkulasi darah dan

13
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17

respirasi [12]. Suhu pemeliharaan ulat sutera yang berasal dari PSA
berpengaruh terhadap kemampuan Soppeng maupun dari PSA Temanggung
produksi benang sutera terutama jenis mempunyai persentase produksi kokon
ras Nistari Polivoltin [7]. Pemeliharaan total yang tidak berbeda. Rataan
ulat sutera pada suhu 34°C dan suhu persentase produksi kokon total dari
18°C, rasio kulit kokon basah masing- kedua tempat pembibitan berkisar dari
masing adalah 10,45 % dan 11,47 %^, 87,3 % hingga 89,7 % (Tabel 1.). Dari
sedangkan padaa suhu 26°C rasio kulit sekian banyak ulat yang dipelihara, 10,3 %
kokon basah 14,03% [7]. Selain itu, hingga 12,7 % tidak berhasil membentuk
suhu tinggi dan kelembaban rendah kokon. Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan daun murbei yang mempengaruhi ketidak berhasilan
diberikan cepat mengalami kekeringan pembentukan kokon ini kemungkinan
sehingga palatabilitasnya menurun. antara lain faktor genetis yaitu
Konsumsi daun murbei meningkat kemampuan bertahan terhadap kondisi
dengan meningkatnya kadar air daun [8]. lingkungan pemeliharaan, dan faktor
Jumlah bahan kering yang dikonsumsi, teknis manajemen pemeliharaan.
efisiensi konversi pakan, efisiensi Daun untuk pakan ulat sutra
konversi pakan tercerna meningkat adalah daun murbei yang mudah dicerna
secara nyata dengan meningkatnya kadar sesuai tingkat pertumbuhannya serta
air daun [8]. Kecernaannya meningkat mengandung semua zat yang diperlukan
tajam sampai kandungan air daun 70 %, untuk pertumbuhan ulat sutra. Daun
setelah itu menurun [8]. murbei yang diberikan pada ulat muda
Hasil akhir dari usaha ulat sutra bersifat kaya kandungan air, tidak terlalu
adalah berupa kokon. Kokon adalah keras, mengandung banyak karbohidrat,
rumah pupa yang dijalin dari filamen- dan protein untuk mempercepat
filamen sutra oleh larva instar akhir. pertumbuhan ulat ke instar berikutnya.
Tidak semua ulat berhasil membuat Ulat sutra dewasa memerlukan
kokon. Kualitas kokon akan daun yang mengandung banyak protein
menentukan kualitas benang yang guna mempercepat pertumbuhan
dihasilkan. Mutu dan kualitas kokon kelenjar sutra sebagai penghasil cairan
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu untuk membuat kokon. Kualitas daun
antara lain sifat keturunan, jenis ulat murbei dapat dilihat dari komposisi
sutra, keadaan selama pemeliharaan, kimiawi yang terkandung dalam daun
waktu pemindahan ulat pada alat berupa kandungan protein, karbohidrat,
pengokonan, lingkungan dan kualitas gula, pati, serat kasar, garam organik
pakan serta metode pemberian pakan (phosphat, kalsium dan kalium), vitamin
ulat sutra [6]. serta bahan mineral lainnya. Kuantitas
Produktivitas ulat sutra yang penyediaan daun murbei tergantung dari
diamati pada penelitian ini mencakup faktor lingkungan yaitu cuaca dan iklim,
persentase produksi kokon total, sifat kimia tanah, kemiringan lahan serta
persentase kokon normal dan panjang kegiatan pemeliharaan tumbuhan murbei.
filamen. Hasil uji t menunjukkan bahwa

Tabel 1. Perbandingan Persentase Produksi Kokon Total, Persentase Produksi Kokon


Normal dan Panjang Serat Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori) Antara PSA Soppeng dan
PSA Temanggung.

14
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17

Variabel
Perlakuan Rataan Prod Kokon Rataan Prod. Rataan Panjang
Total (%) Kokon Normal (%) Serat (m/butir)
PSA Soppeng (P1) 89,7 ± 3,0 96,4 ± 4,4 907,9 ± 10,1a
PSA Temanggung (P2) 87,3 ± 3,9 95,2 ± 5,2 824,9 ± 21,5b

Keterangan: Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata
(P<0,01).

Kandungan air yang terdapat di kokon berlekuk [10]. Untuk


dalam daun murbei sangat penting mendapatkan kokon yang normal perlu
artinya bagi larva ulat sutra [4]. saat pemanenan yang tepat. Pemelihara
Pemberian makan pada ulat sutra harus ulat harus sering melakukan pengecekan
lebih banyak pada saat temperatur tinggi untuk menghindari kesalahan waktu
dan keadaan udara kering dibandingkan panen. Panen yang lebih awal dari
dengan temperatur rendah dan keadaan seharusnya akan menghasilkan kokon
lembab. Hal lain yang dipengaruhi oleh yang kurang baik, kokon tersebut belum
kondisi lingkungan yang panas adalah tumbuh sempurna, pupa yang berada
kualitas daun murbei yang dihasilkan. dalam kokon masih dalam kondisi lemah.
Daun-daun murbei yang diberikan Bila diambil kulit kokon akan mudah
sebagai pakan ulat sutra dalam penelitian luka sewaktu diangkat dan dipindahkan,
ini relatif berukuran lebih kecil akibatnya bagian dalam kokon akan
dibandingkan dengan daun murbei yang kotor. Bila panen dilakukan terlambat
dihasilkan dari tanaman yang ditanam di juga akan merugikan karena pupa yang
dataran tinggi. Selain faktor kondisi ada di dalam kokon akan berubah
lingkungan yang panas, kemungkinan menjadi serangga dewasa. Ngengat atau
faktor minimnya pemberian air pada serangga dewasa akan mencari jalan
tanaman juga berperan menurunkan keluar dengan cara merusak kulit kokon.
kualitas daun murbei yang dihasilkan. Akibatnya kokon akan berlubang dan
Mutu daun murbei ditentukan oleh tidak bisa dimanfaatkan untuk dipintal
berbagai faktor antara lain tanah, tinggi menjadi benang [2]. Berdasarkan data
pangkasan, cuaca, pengairan dan pada Tabel 1 diketahui bahwa tidak ada
keadaan geografi [5]. perbedaan persentase produksi kokon
Kokon yang dihasilkan dari normal antara bibit ulat sutra yang
pemeliharaan tidak seluruhnya mulus berasal dari PSA Soppeng dan PSA
dan sebagian merupakan kokon yang Temanggung. Rataan persentase
abnormal atau cacat. Kokon yang produksi kokon normal dalam penelitian
abnormal dan cacat harus dipisahkan ini berkisar dari 95,2 % hingga 96,4 %.
dari yang normal dan baik, karena tidak Hal ini berarti sekitar 3,6 % hingga 4,8 %
baik untuk proses reeling. Beberapa dari kokon yang dihasilkan adalah kokon
bentuk kokon cacat antara lain kokon tidak normal.
ganda, kokon berlubang, kokon bernoda Setiap kokon menghasilkan sehelai
dalam, kokon bernoda luar, kokon ujung serat yang panjang dan sangat halus
tipis, kokon kulit tipis, kokon berbekas, sekali, yang dinamakan filamen. Serat
kokon bentuk aneh, kokon berbulu dan sutra sendiri terdiri dari dua bagian,

15
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17

yaitu fibroin dan serisin. Untuk dilakukan pengambilan data terhadap


pengambilan data panjang filamen, persentase kulit kokon, namun diketahui
sebagai sampel diambil dari kokon bahwa persentase kulit kokon juga
normal. berpengaruh terhadap panjang filamen
Berdasarkan hasil uji t diketahui [10]. Persentase kulit kokon dapat
bahwa terdapat perbedaan yang sangat mengindikasikan seberapa banyak
nyata pada panjang filamen antara bibit filamen yang akan diperoleh dalam
ulat sutra yang berasal dari PSA pemintalan.
Soppeng dan PSA Temanggung. Ulat
sutra dari PSA Soppeng menghasilkan
panjang filamen yang lebih panjang KESIMPULAN & SARAN
(907,9 ± 10,1 m) dibandingkan dengan
yang berasal dari PSA Temanggung Berdasarkan analisis data hasil
(824,9 ± 21,5 m). Kemungkinan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
penyebab perbedaan tersebut adalah bibit ulat sutra dari PSA Soppeng dan
perbedaan daya tahan terhadap kondisi PSA Temanggung bila dipelihara dalam
lingkungan panas. Salah satu wujud dari lingkungan panas tidak memberikan
perbedaan daya tahan perbedaan dalam kemampuan produksi
tersebut adalah perbedaan konsumsi kokonnya, namun terdapat perbedaan
pakannya. Ulat sutra asal PSA Soppeng pada panjang filamen yang dihasilkan.
mengkonsumsi pakan lebih banyak Bibit ulat sutra dari PSA Soppeng
dibandingkan dengan ulat sutra asal PSA memberikan panjang filamen yang lebih
Temanggung (P<0,05). Rataan panjang dibandingkan dengan yang
konsumsi pakan ulat sutra asal PSA berasal dari PSA Temanggung.
Soppeng adalah 13,6 ± 1,6 g/ekor vs. Kemungkinan terdapat perbedaan
PSA Temanggung 12,1 ± 0,3 g/ekor kemampuan daya tahan yang bersifat
berat segar. Konsumsi pakan yang lebih genetis terhadap lingkungan panas
banyak diasumsikan akan menghasilkan sehingga terjadi perbedaan dalam
filamen yang lebih panjang. Selain kemampuan mengkonsumsi pakan dan
perbedaan konsumsi pakan, menghasilkan filamen. Hal ini perlu
kemungkinan terdapat juga perbedaan dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut
dalam penyerapan nutrisi yang dengan penelitian yang terkait dengan
terkandung dalam pakan. Nutrisi yang genetika molekuler seperti kemungkinan
terdapat dalam daun murbei yang sangat perbedaan pola pita genetiknya. Hal lain
dibutuhkan dalam pembentukan kulit yang dapat diteliti di antaranya adalah
kokon antara lain protein, karbohidrat, kemungkinan perbedaan anatomi
vitamin, air, serat serta garam organik. kelenjar sutera.
Walaupun dalam penelitian ini tidak

DAFTAR PUSTAKA
2. Atmosoedardjo, 2000. Sutera
1. Anonymous, 1992. Petunjuk Alam Indonesia. Yayasan
Teknis Budidaya Ulat Sutera Sarana Wana Jaya, Jakarta.
(Bombyx mori Linn). Pusat
Penelitian Pengembangan Hutan, 3. Brasla, A. dan A. Matei, 1997.
Bogor. Materi Pelatihan Pembibitan Ulat

16
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17

Sutera II. Diktat PPUS-


Candiroto, Jawa Tengah. 8. Paul, D. C., G Subra Rao and D.
C. Deb, 1992. Impact of dietary
4. Ekastuti, D,R., 1995. moisture on nutritional indices
Penggunaan Air Bertitrium and growth of Bombyx mori and
Dalam Kajian Pengaruh concomitant larval duration. J.
Kandungan Air Pakan Terhadap Insect Physiol., 38: 229-235.
Pertumbuhan Ulat Sutera
(Bombyx mori) Laporan Masalah 9. Sam Eun, K.1998. Silkworm
Khusus. Program Pasca Sarjana Breeding. In Principle and
Institut Pertanian Bogor. Practice in Sericulture National
Sericulture and Entomology
5. Katsumata, 1975. Petunjuk Research Institute Rurall
Sederhana Bagi Pemelihara Ulat Development Administration.
Sutera Tokyo, Jepang. Republik of Korea .

6. Khonofah, 1990. Pengaruh Jenis 10. Setiana, H. D., Sasmito, A. Daus,


Murbei Terhadap Produksi 1998. Budidaya Murbei dan Ulat
Benang Sutera. Proyek Sutera Sutera. Pusat Pembibitan Ulat
Alam Regaloh KPH Pati, Perum Sutera Candiroto.
Perhutani Unit II, Jawa Tengah.
11. Young-II, M. 1998. Silkworm
7. Mishra, A. B. and V. B. Genetcs. In Principle and
Upadhyay. 1995. Influence of Practice in Sericulture. National
temperature on the silk producing Sericulture and Entomolgy
potential of multivoltine Bombyx Research Institue. Republic of
mori Linn., Race Nistari. Korea
Sericologia 35 (2): 217-222.

17

You might also like