Professional Documents
Culture Documents
ISSN: 0852-3581
©Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/
Rignkasan: Ulat sutra dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 23-25 ºC dan kelembaban
80-90 %. Apabila dipelihara dalam lingkungan bersuhu lebih panas maka produktivitas akan
menurun karena ulat sutera adalah hewan berdarah dingin (poikilotherm). Di Indonesia terdapat
dua tempat pembibitan ulat sutra terbesar, yaitu PSA Soppeng (Sulawesi Selatan) dan PSA
Temanggung (Jawa Tengah). Kedua tempat pembibitan dalam menghasilkan bibit yang
disebarkan ke masyarakat menggunakan persilangan dari bibit strain yang sama, yaitu strain
China dan strain Jepang. Namun tidak diketahui pasti persentase darah dari kedua strain tersebut
pada masing-masing tempat pembibitan. Dalam penelitian ini digunakan 300 ekor ulat sutra dari
PSA Soppeng (P1) dan 300 ekor ulat sutra PSA Temanggung (P2) yang dipelihara di desa
Ceweng , kecamatan Diwek, kabupaten Jombang. Ulat-ulat tersebut dipelihara dalam enam
kotak pemeliharaan yang terbuat dari karton, diberi pakan daun murbei dari varietas yang
bercampur. Parameter yang diamati aadalah produksi kokon total, produksi kokon normal dan
panjang serat kokon. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t. Berdasarkan hasil analisis
statistik diketahui bahwa tidak ada perbedaan (p>0,05) kemampuan produksi kokon total dan
produksi kokon normal dari dua tempat pembibitan. Rataan produksi kokon total dan produksi
kokon normal dalam penelitian ini masing-masing adalah berkisar dari 87,3 % hingga 89,7 %
dan dari 95,2 % hingga 96,4 %. Namun tidak demikian halnya untuk panjang serat kokon. Pada
lingkungan pemeliharaan panas ulat sutra yang berasal dari PSA Soppeng menghasilkan panjang
serat kokon yang lebih baik (p<0,01) dari pada PSA Temanggung. Rataan panjang filamen yang
dihasilkan oleh ulat sutra yang berasal dari PSA Soppeng adalah 910,9 ± 10,1m, sedangkan dari
PSA Temanggung 824,9 ± 21,5 m. Kemungkinan penyebabnya adalah perbedaan kemampuan
daya tahan terhadap kondisi lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah dan
perbedaan kemampuan kelenjar sutra dalam menghasilkan benang. Ulat sutra yang lebih tahan
terhadap kondisi lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah akan berproduksi lebih
baik. Kesimpulannya adalah bahwa ulat sutra dari PSA Soppeng mempunyai daya tahan yang
lebih baik terhadap kondisi lingkungan panas dari pada PSA Temanggung karena produksi
filamen atau serat sutranya lebih baik.
Abstract: The objective of the study was to know the comparison of cocoon production, normal
cocoon, and the length of cocoon’s fiber of silkworm (Bombyx mori) between PSA Soppeng and
PSA Temanggung in hot natural environment. About 300 silkworm of silkworm was applied for
2 treatments (P1= silkworm from PSA Soppeng) and (P2= silkworm from PSA Temanggung), and
6 replications. The place of the experiment was in Ceweng village, Diwek , Jombang. The
method of the research was experiment, to compare the data result used the t-test. The statistical
analysis result of the data showed that silkworm from two different breeding places didn’t have
any significant different (P>0,05) to the percentage of total cocoon production and of normal
cocoon production, but it was true for the length of cocoon’s filament of silkworm (p<0,01). The
mean for the percentage of total cocoon production was between 87,3 % and 89,7 % , and of
normal cocoon production was between 95,2 % and 96,4 % , and mean for the length of cocoon’s
filament of silkworm on each treatment P1 and P2 in a series were (910.9±10.1m), (824.9±21.5m).
11
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17
From the research result it could be concluded that silkworm from PSA Soppeng had
better adaptability to hot environment and low humidity than of PSA Temanggung based on
filament production. It was suggested to continue the research with the one related to moleculer
genetic such the pattern of the DNA band to know if there is existed a genetic difference, or about
the anatomy/physiology differences of silkworm gland of silkworm from two different breeding
sites.
PENDAHULUAN
Budidaya persuteraan alam di Indonesia dihasilkan dari dua daerah
merupakan kegiatan industri agronomi tersebut. Kedua tempat pembibitan
yang memiliki tahap kerja yang cukup menggunakan indukan ulat sutera strain
panjang, mulai dari penanaman China dan strain Jepang yang
tumbuhan murbei (Morus sp.), disilangkan untuk menggabungkan
pembibitan ulat sutra, pemeliharaan, kelebihan dari kedua strain tersebut.
pemrosesan kokon, pemintalan dan Namun demikian tidak diketahui dengan
penenunan. Teknologi yang diterapkan pasti persentase darah dari kedua strain.
dalam usaha persuteraan relatif Dari hasil pengamatan di lapang
sederhana sehingga dapat dilakukan diketahui bahwa ada perbedaan
sebagai usaha sambilan, dan juga penampilan produksi ulat sutra yang
sebagai sumber pendapatan sehingga berasal dari kedua tempat pembibitan
dapat dijadikan sebagai salah satu tersebut bila dipelihara dalam
alternatif untuk meningkatkan daya guna lingkungan dengan suhu dan
sumber daya alam hutan dalam kelembaban yang sesuai, yaitu suhu
mendorong pertumbuhan perekonomian rendah dan kelembaban tinggi. Belum
masyarakat desa. banyak hasil penelitian yang mengamati
Walaupun iklim Indonesia cocok penampilan produksi ulat sutra bila
untuk budidaya ulat sutra, tetapi dipelihara dalam suhu lingkungan panas
kenyataan belum banyak daerah yang dan atau kelembaban yang lebih rendah.
mengusahakannya. Dari awal Di Indonesia, masih tersedia lahan yang
diperkenalkannya sampai sekarang cukup luas untuk dipakai usaha budi
sentra produksi serat sutra Indonesia daya ulat sutra, yang kemungkinan suhu
tampaknya masih belum bertambah, baik lingkungan atau kelembabanya kurang
dalam pemeliharaan maupun ideal untuk pemeliharaan ulat sutra.
penanganan kokonnya. Berdasarkan uraian di atas maka
Di Indonesia terdapat dua daerah dipandang perlu untuk mengetahui
persuteraan yang besar yaitu PSA bagaimanakah produktivitas ulat sutra
Temanggung dan PSA Soppeng. Di sini yang berasal dari dua tempat pembibitan
selain pemeliharaan juga dilakukan yang berbeda ini bila dipelihara pada
pembibitan. Hampir semua bibit ulat kondisi lingkungan panas dan
sutra yang dipelihara oleh para peternak kelembaban rendah.
12
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17
karton. Setiap kotak berisi 50 ekor ulat, Untuk sampel data panjang filamen,
yang juga berfungsi sebagai ulangan. diambil secara acak dari setiap kotak
Pakan yang diberikan adalah daun pemeliharaan sebanyak 10 butir kokon.
murbei dari varietas yang bercampur.
13
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17
respirasi [12]. Suhu pemeliharaan ulat sutera yang berasal dari PSA
berpengaruh terhadap kemampuan Soppeng maupun dari PSA Temanggung
produksi benang sutera terutama jenis mempunyai persentase produksi kokon
ras Nistari Polivoltin [7]. Pemeliharaan total yang tidak berbeda. Rataan
ulat sutera pada suhu 34°C dan suhu persentase produksi kokon total dari
18°C, rasio kulit kokon basah masing- kedua tempat pembibitan berkisar dari
masing adalah 10,45 % dan 11,47 %^, 87,3 % hingga 89,7 % (Tabel 1.). Dari
sedangkan padaa suhu 26°C rasio kulit sekian banyak ulat yang dipelihara, 10,3 %
kokon basah 14,03% [7]. Selain itu, hingga 12,7 % tidak berhasil membentuk
suhu tinggi dan kelembaban rendah kokon. Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan daun murbei yang mempengaruhi ketidak berhasilan
diberikan cepat mengalami kekeringan pembentukan kokon ini kemungkinan
sehingga palatabilitasnya menurun. antara lain faktor genetis yaitu
Konsumsi daun murbei meningkat kemampuan bertahan terhadap kondisi
dengan meningkatnya kadar air daun [8]. lingkungan pemeliharaan, dan faktor
Jumlah bahan kering yang dikonsumsi, teknis manajemen pemeliharaan.
efisiensi konversi pakan, efisiensi Daun untuk pakan ulat sutra
konversi pakan tercerna meningkat adalah daun murbei yang mudah dicerna
secara nyata dengan meningkatnya kadar sesuai tingkat pertumbuhannya serta
air daun [8]. Kecernaannya meningkat mengandung semua zat yang diperlukan
tajam sampai kandungan air daun 70 %, untuk pertumbuhan ulat sutra. Daun
setelah itu menurun [8]. murbei yang diberikan pada ulat muda
Hasil akhir dari usaha ulat sutra bersifat kaya kandungan air, tidak terlalu
adalah berupa kokon. Kokon adalah keras, mengandung banyak karbohidrat,
rumah pupa yang dijalin dari filamen- dan protein untuk mempercepat
filamen sutra oleh larva instar akhir. pertumbuhan ulat ke instar berikutnya.
Tidak semua ulat berhasil membuat Ulat sutra dewasa memerlukan
kokon. Kualitas kokon akan daun yang mengandung banyak protein
menentukan kualitas benang yang guna mempercepat pertumbuhan
dihasilkan. Mutu dan kualitas kokon kelenjar sutra sebagai penghasil cairan
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu untuk membuat kokon. Kualitas daun
antara lain sifat keturunan, jenis ulat murbei dapat dilihat dari komposisi
sutra, keadaan selama pemeliharaan, kimiawi yang terkandung dalam daun
waktu pemindahan ulat pada alat berupa kandungan protein, karbohidrat,
pengokonan, lingkungan dan kualitas gula, pati, serat kasar, garam organik
pakan serta metode pemberian pakan (phosphat, kalsium dan kalium), vitamin
ulat sutra [6]. serta bahan mineral lainnya. Kuantitas
Produktivitas ulat sutra yang penyediaan daun murbei tergantung dari
diamati pada penelitian ini mencakup faktor lingkungan yaitu cuaca dan iklim,
persentase produksi kokon total, sifat kimia tanah, kemiringan lahan serta
persentase kokon normal dan panjang kegiatan pemeliharaan tumbuhan murbei.
filamen. Hasil uji t menunjukkan bahwa
14
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17
Variabel
Perlakuan Rataan Prod Kokon Rataan Prod. Rataan Panjang
Total (%) Kokon Normal (%) Serat (m/butir)
PSA Soppeng (P1) 89,7 ± 3,0 96,4 ± 4,4 907,9 ± 10,1a
PSA Temanggung (P2) 87,3 ± 3,9 95,2 ± 5,2 824,9 ± 21,5b
Keterangan: Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata
(P<0,01).
15
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17
DAFTAR PUSTAKA
2. Atmosoedardjo, 2000. Sutera
1. Anonymous, 1992. Petunjuk Alam Indonesia. Yayasan
Teknis Budidaya Ulat Sutera Sarana Wana Jaya, Jakarta.
(Bombyx mori Linn). Pusat
Penelitian Pengembangan Hutan, 3. Brasla, A. dan A. Matei, 1997.
Bogor. Materi Pelatihan Pembibitan Ulat
16
J. Ilmu-ilmu peternakan 21 (3):11 - 17
17