You are on page 1of 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Banyaknya pekerjaan pemetaan di Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi


surveyor dalam menyelesaikan tugasnya secara efisien. Salah satu bentuk pekerjaan besar
surveyor Indonesia diberikan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo kepada
Kementrian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional agar melakukan sertifikasi tanah
dalam jumlah besar (INDOPOS, 25 Agustus 2016). Atau sering disebut Reforma Agraria.
Dalam menunjang percepatan pengukuran bidang-bidang tanah dapat digunakan
teknologi Global Navigation Satellite System (GNSS) yaitu metode penentuan posisi
menggunakan data dari satelit dengan prinsip pemotongan ke belakang dimana posisi di
atas permukaan bumi yang belum terdefinisi diamat dari satelit yang telah didefinisikan
posisinya terhadap sistem referensi elipsoid.

Penentuan posisi menggunakan teknologi GNSS dengan presisi alat ukur tinggi
serta waktu yang relatif singkat menjadikan teknologi ini populer di era sekarang.
Penggunaan teknologi GNSS erat kaitannya dengan receiver GNSS sebagai alat penerima
sinyal yang dipancarkan oleh satelit GNSS. Receiver GNSS memiliki spesifikasi tertentu
yang dapat digolongkan dalam kategori receiver GNSS tipe geodetik dan receiver GNSS
low-cost (Weston dan Schwieger, 2010). Receiver GNSS tipe geodetik umumnya
memiliki spesifikasi dual-frequency dan dilengkapi dengan high precision antenna.
Sedangkan receiver GPS low-cost memiliki spesifikasi single-frequency dengan patch
antenna. Menurut laman Leica-Geosystem Store harga satu unit receiver GNSS tipe
geodetik adalah 181 juta rupiah. Sedangakn di dalam laman u-blox harga satu unit module
u-blox yang merupakan salah satu produk low-cost GNSS receiver adalah 2 juta rupiah.
BAP Precision S852 merupakan receiver GNSS low-cost yang didukung oleh module u-
blox.

1
2

Pengukuran GPS selama ini berpedoman pada receiver GNSS tipe geodetik yang
mampu menghasilkan ketelitian di level milimeter. Standar dalam pengukuran GPS
memang memerlukan spesifikasi alat yang baik untuk menghasilkan data yang akurat
namun harga yang diberikan mahal. Receiver GNSS low-cost merupakan teknologi
penentuan posisi seperti halnya receiver GNSS tipe geodetik yang menghasilkan data
posisi di atas permukaan bumi dengan ketelitian lebih rendah, namun biaya yang
dikeluarkan sedikit. Teknologi receiver GNSS low-cost sedang menjadi trend hangat
diantara para pengguna receiver GNSS. Dikarenakan fitur yang disajikan hampir sama
dengan receiver GNSS tipe geodetik. Salah satu produk receiver GNSS low-cost yang
tersedia di pasaran memiliki spesifikasi mampu mengamat satelit GPS dan GLONASS
serta dapat menghasilkan ketelitian data pengolahan statik hingga level sentimeter. Untuk
melihat performa dari receiver GNSS low-cost perlu dilakukan pengamatan GPS dalam
kondisi lapangan tertentu. Hasil pengukuran dari receiver GNSS low-cost pada kondisi
tertentu dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan kualitas pengukuran serta
performa dari receiver tersebut.

Kombinasi antara receiver GNSS BAP Precsision S852 dan software pengolah
data GPS merupakan solusi untuk mendapatkan kepresisian di level sentimeter dengan
teknologi GNSS berlabel low-cost. Perlu kajian lebih lanjut untuk melihat kualitas
ketelitian data yang dihasilkan dari pengukuran dengan receiver GNSS low-cost supaya
dapat dimanfaatkan secara luas. Penelitian yang dilakukan yaitu membandingkan data
hasil pengukuran dengan receiver GNSS tipe geodetik (Leica GS08) dan receiver GNSS
BAP Precsion S852 dalam variasi kondisi di lapangan.

I.2. Identifikasi Masalah

Kualitas hasil pengukuran menggunakan receiver BAP Precsision S852 di dalam


variasi kondisi lapangan menentukan performa dari receiver tersebut. Kualitas
pengukuran dapat diketahui dengan melihat grafik carrier-phase yang ditangkap dari
satelit dan nilai standar deviasi baseline hasil pemrosesan. Selain itu kualitas pengukuran
juga dapat dilihat dari panjang baseline akhir hasil pengolahan software pengolah data
3

GPS. Belum diketahui kepresisian baseline hasil pengolahan data BAP Precsion S852
dalam variasi kondisi lapangan. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya data
pembanding dari hasil pengukuran lain menggunakan receiver tipe geodetik Leica GS08.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana kualitas data carrier yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan
receiver BAP Precision S852 dalam kondisi sky view terbuka, sky view obstruksi,
dan sky view banyak obstruksi?
2. Berapa perbedaan panjang baseline yang diperoleh dari hasil post-processing
dengan receiver BAP Precision S852 terhadap panjang baseline acuan dalam
kondisi sky view terbuka, sky view obstruksi, dan sky view banyak obstruksi?
3. Apakah kepresisian hasil ukuran yang didapat dari receiver BAP Precision S852
tergolong baik?

I.4. Cakupan Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang kualitas pengukuran receiver BAP Precsision S852
dalam variasi kondisi di lapangan. Kegiatan penelitian ini dibatasi beberapa hal sebagai
berikut :

1. Pengukuran dilakukan dengan pengamatan GNSS metode static yang kemudian


diolah secara differential post-processing.
2. Pengukuran dilakukan di tiga buah kondisi berbeda, yaitu :
a. Lokasi 1 : Kondisi sky view terbuka
b. Lokasi 2 : Kondisi sky view obstruksi
c. Lokasi 3 : Kondisi sky view banyak obstruksi
3. Pengukuran pertama dilakukan secara tandem dan simultan terhadap GMU1.
4. Pengukuran kedua dilakukan di atas titik BM secara bergantian dan simultan
terhadap GMU1.
4

5. Pengukuran jaring titik BM dilakukan untuk memperoleh panjang baseline aantara


GMU1 dengan BM lainnya sebagai nilai acuan.
6. Data hasil rekaman carrier-phase dibandingkan antara receiver BAP Precision
S852 dan receiver Leica GS08 dalam kondisi sky view terbuka, sky view osbtruksi,
dan sky view banyak obstruksi.
7. Data hasil pengukuran panjang baseline dibandingkan antara receiver BAP
Precision S852 dan receiver Leica GS08 dalam kondisi sky view terbuka, sky view
osbtruksi, dan sky view banyak obstruksi.
8. Analisis statistik dengan uji t student untuk mengetahui tingkat kepresisian dari
kedua receiver.

I.5. Tujuan Penelitian

Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk mengetahui kepresisian hasil ukuran


panjang baseline dari receiver BAP Precision S852 dan Leica GS08 dalam variasi kondisi
di lapangan. Tujuan utama tersebut dapat dicapai dengan memenuhi tujuan spesifik
sebagai berikut.

1. Membandingkan data carrier-phase yang direkam oleh receiver BAP Precision


S852 dan Leica GS08.
2. Membandingkan baseline hasil pengukuran GNSS metode differential post-
processing menggunakan receiver BAP Precsision S852 dan receiver Leica GS08
terhadap nilai baseline acuan hasil pengukuran jaring BM.
3. Melakukan analisis kepresisian baseline untuk receiver BAP Precsision S852 dan
Leica GS08 menggunakan uji statistik t student.

I.6. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu diperolehnya kualitas hasil
pengukuran GNSS metode differential post-processing dengan receiver BAP Precsision
S852. Hasil analisis presisi menunjukkan performa dari receiver tersebut yang kemudian
dapat dipertimbangkan dalam penggunaannya di lapangan.
5

I.7. Tinjauan Pustaka

Atunggal dan Rokhmana (2016) melakukan evaluasi penentuan posisi yang


berfokus pada perbandingan antara receiver u-blox LEI-6T dan cip GNSS smartphone
dengan bantuan aplikasi Mobile Topographer. Aplikasi Mobile Topographer
menggunakan perhitungan interpolasi teknik weighted average (rerata berbobot) dimana
nilai posisi yang dihasilkan merupakan hasil rata-rata nilai posisi per epoch dengan
memanfaatkan ketelitian posisi per epoch sebagai bobotnya. Namun metode ini
memberikan kesan terlalu optimis dimana akurasi yang ditampilkan mencapai sub meter
padahal pada kenyataannya akurasi yang didapat masih berkisar di 3 s.d. 5m. Data
pengukuran disajikan dengan paket RTKLIB. Paket RTKLIB mendukung komunikasi
data melalui data protokol serial I/O, TCP/IP, dan NTRIP. Paket RTKLIB tersedia dalam
bentuk aplikasi smartphone Android bernama RTK+. Pengukuran dilakukan dengan
dengan aplikasi RTK+ yang terhubung dengan receiver eksternal u-blox LEI-6T. Adapun
pengamatan dengan metode weighted average dilakukan dengan chipset internal
smartphone dan apilkasi Mobile Topographer sebagai pembanding. Plotting data
pengukuran pada program RTKLIB menunjukkan bahwa pengukuran menggunakan
receiver eksternal dan metode RTK menghasilkan data yang lebih konvergen dibanding
pengukuran menggunakan metode weighted average. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa ketelitian pengukuran menggunakan receiver u-blox berkisar pada level desimeter
hingga sentimeter sedangkan pengukuran menggunakan cip GNSS smartphone berkisar
pada level meter hingga sentimeter.

Wieser (2006) membandingkan performa receiver u-blox pada kondisi sky view
terbuka dan sky view tertutup. Receiver yang digunakan adalah u-blox TIM-LH high-
sensitivity receiver. Beberapa objek seperti bangunan, pohon, dan kondisi topografi lokasi
dapat mempengaruhi pengamatan GPS. Satelit memancarkan gelombang ke permukaan
bumi untuk kemudian ditangkap oleh receiver. Kekuatan sinyal pada saat akuisisi data
bergantung pada Signal to Noise Ratio (SNR). Hambatan yang ada pada jarak pandang
antara satelit dan receiver menjadikan sinyal satelit mengalami penurunan. Oleh karena
itu sinyal yang ditangkap merupakan sinyal yang kurang baik. Pengukuran dilakukan
6

dengan receiver u-blox TIM-LH high-sensitivity receiver yang dipasangkan pada antena
patch. Durasi pengamatan selama 5 jam kemudian dilakukan analisis data post-
processing. Receiver u-blox TIM-LH high-sensitivity receiver mampu menangkap lebih
banyak satelit dibandingkan receiver konvensional lainnya. Pengamatan pada kondisi sky
view terbuka dan berada di bawah kanopi menunjukkan hasil yang berbeda dilihat dari
pseudo-range error. Dimana satelit yang tertutup obstruksi menghasilkan data yang lebih
banyak error. Demikian juga pada nilai standar deviasi dan presentase data outliers yang
mengalami penurunan kualitas pada kondisi obstruksi. Hasil yang didapat bahwasannya
kondisi sky view terbuka memiliki data hasil ukuran yang lebih presisi dibandingkan
dengan kondisi sky view tertutup yang memiliki data outliers atau spike lebih banyak
sehingga error yang diperoleh lebih besar.

Matosevic dkk (2006) meneliti tentang penggunaan low-cost GPS dalam


pengamatan satelit dengan metode differential GPS. Pengukuran dilakukan untuk
membandingkan pengukuran differential GPS dan plain GPS dengan receiver GPS low-
cost. Receiver mengamat dengan antena yang sama untuk menghindari efek dari
perbedaan multipath. Penggunaan differential GPS menunjukkan peningkatan yang
drastis dari segi ketelitian. Kesalahan yang dihasilkan dari pengukuran GPS pada rover
direduksi oleh pengukuran GPS di base station terutama kesalahan yang disebabkan oleh
ionosfir. Penelitian tersebut berfokus pada error yang dihasilkan dari analisis statistik data
pengamatan GPS. Hasil yang diperoleh menunjukkan data pengukuran yang dihasilkan
dari low-cost GPS tergolong baik dan sesuai dengan model teori statistik yang disajikan.
Parameter ditunjukkan dalam nilai x, y, dan z untuk menggambarkan ketelitian
pengukuran ke dalam model statistik. Distribusi error yang terbentuk pada ploting data
pengamatan menunjukkan grafik yang sesuai dengan model di dalam teori statistik.
Kesamaan ploting data dengan model teori statistik menunjukkan bahwa receiver low-
cost GPS memiliki ketelitian yang cukup baik.

Vollath dan Roy (2001) telah melakukan penelitian mengenai ambiguity


resolution dari sebuah receiver berfrekuensi ganda serta performanya. Ambiguity
7

resolution dipengaruhi oleh sinyal GPS baik itu single frequency maupun dual frequency.
Receiver GPS dual frequency memiliki spesifikasi untuk menerima data dari satelit GPS
lebih banyak. Dalam gelombang pembawa terdapat data C/A-code dan P-code termasuk
data pengamatan satelit GALILEO yang digunakan untuk menghitung nilai posisi dari
receiver. Data pengamatan diolah dengan software Spectra Precision GeoGenius yang
mampu menganalisis tiga carriers-data. Proses kalibrasi pada gelombang L1 dan L3
dilakukan untuk mereduksi kesalahan ionosfer. Data diproses dalam mode Three-Carrier
Ambiguity Resolution (TCAR) yang menyediakan nilai ambiguity dari L1/L2/L3
sesungguhnya. Analisis performa receiver berfokus pada kondisi no multipath dan
maximum multipath yang disajikan dengan parameter-parameter seperti jarak dan waktu.
Pengamatan GPS pada kondisi no multipath memerlukan waktu untuk mencapai fix lebih
singkat daripada kondisi multipath. Pengujian menggunakan tiga buah mode dalam
software yaitu C/A-code, P-code, dan TCAR menunjukkan waktu yang berbeda-beda
dalam hal time-to-fix. Mode TCAR memiliki waktu yang paling singkat diantara mode
lainnya dalam kasus tersebut. Kesimpulan yang didapat bahwasannya dengan
menggunakan dual-frequency receiver yang mampu menangkap tiga gelombang
pembawa keberadaan multipath yang menjadi penghalang utama dapat diminimalisir pada
saat inisialisasi pengamatan di lapangan. Kondisi multipath berpengaruh pada pengukuran
GPS.

Penelitian yang dilakukan berpedoman pada penelitian terdahulu yang pernah


dilakukan dengan menambahkan beberapa hal yang belum diteliti. Adapun perbedaan
penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang sebagai berikut.

1. Atunggal dan Rokhmana (2016) meneliti module u-blox yang digunakan dalam
pengukuran real-time dan membandingkan ketelitiannya dengan aplikasi
smartphone Mobile Topographer. Sedangkan penelitian ini berfokus pada receiver
GNSS low-cost yang digunakan dalam pengukuran statik dan membandingkan
ketelitiannya dengan receiver GNSS tipe geodetik.
8

2. Wieser (2006) meneliti tentang receiver u-blox TIM-LH high-sensitivity yang


mengamat satelit pada kondisi sky view terbuka dan tertutup obstruksi. Data yang
dibandingkan adalah nilai standar deviasi dan outliers. Sedangkan penelitian ini
berfokus pada receiver GNSS low-cost yang mengamat pada kondisi sky view
terbuka, sky view obstruksi, dan sky view banyak obstruksi. Kemudian data
carrier-phase dan baseline hasil post-processing dibandingkan terhadap receiver
tipe geodetik.
3. Matosevic dkk (2006) meneliti tentang low-cost receiver yang diuji dengan
metode pengamatan sederhana atau absolut dan metode pengamatan secara
differential. Kemudian jumlah error yang dihasikan dibandingkan antara kedua
metode tersebut. Sedangkan penelitian ini berfokus pada low-cost GNSS receiver
yang diuji dengan metode pengamatan absolut untuk melihat grafik carrier-phase
yang terbentuk dan metode differential post-processing untuk mengetahui panjang
baseline yang kemudian dibandingkan dengan nilai fix.
4. Vollath dan Roy, (2001) mengamat dengan receiver GNSS dalam kondisi
multipath dan no-multipath dimana data diolah dengan software GeoGenius. Hasil
berupa lama waktu (time to fix) dari receiver pada tiap kondisi. Sedangkan
penelitian ini berfokus pada pengamatan menggunakan receiver GNSS low-cost
dan receiver tipe geodetik dalam kondisi sky viw terbuka, sky view obstruksi, dan
sky view banyak obstruksi. Data diolah dengan software GeoGenius untuk melihat
grafik carrier-phase selama pengukuran dan hasil pengolahan baseline untuk
dibandingkan dengan nilai fix.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Global Navigation Satellite System

Menurut Kouba (2009), Global Navigation Satellite System (GNSS) telah


menyediakan data presisi dari produk satelit yang mengorbit bumi sejak tahun 1994
dengan terus menambah tingkat kepresisian dari waktu ke waktu. GNSS merupakan suatu
sistem navigasi berbasis satelit yang mengorbit di atmosfer bumi. Teknologi GPS
9

menentukan posisi dengan data dari satelit dengan prinsip pemotongan ke belakang
dimana posisi di atas permukaan bumi yang belum terdefinisi diamat dari satelit yang telah
didefinisikan posisinya terhadap sistem referensi elipsoid. Dibandingkan dengan sistem
dan metode penentuan posisi lainnya, GPS mempunyai banyak kelebihan dan
menawarkan lebih banyak keuntungan, baik dalam segi operasionalisasinya maupun
kualitas posisi yang diberikan (Abidin, 2007).

Data satelit dipancarkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik L1 dan L2


yang dapat ditangkap oleh receiver GPS. Receiver GPS tersebut pada umunya digunakan
untuk keperluan survei dengan tingkat akurasi sangat tinggi dan tingkat kasalahan di
bawah sentimeter.

I.8.2. Penentuan Posisi GPS

GPS memberikan informasi kepada pengguna melalui sinyal yang dipancarkan


secara kontinu. Menganut prinsip pengukuran pemotongan ke belakang posisi satelit-
satelit GPS yang telah didefinisikan posisinya mengirimkan gelombang kepada receiver
di permukaan bumi untuk mengetahui jarak terhadap receiver tersebut. Posisi didapatkan
dalam sistem referensi elipsoid dengan koordinat tiga dimensi. Penentuan posisi dilakukan
melalui perhitungan sinyal-sinyal datang yang diterima oleh receiver seperti ditunjukkan
oleh Gambar I.1.

Gambar I.1. Penentuan posisi receiver dengan gelombang satelit GPS (Van Sickle,
2008)
10

Sistem ini didesain untuk memberikan posisi, waktu, dan kecepatan secara 3D
secara kontinu dengan skala global tanpa bergantung pada kondisi cuaca (Abidin, 2007).
Terdapat beberapa metode dalam pengukuran dengan GNSS yaitu metode pengamatan
absolut dan metode pengamatan relatif.

1.8.2.1. Metode pengamatan absolut. Penentuan posisi dengan metode absolut hanya
menggunakan data pseudorange sehingga menghasilkan koordinat dengan ketelitian yang
relatif rendah (Herry, 2014). Pengamatan secara absolut memiliki ketelitian di tingkat
meter yang diperuntukan untuk penentuan posisi atau koordinat pendekatan pada sistem
referensi tertentu.

1.8.2.2. Metode pengamatan relatif. Metode relatif atau differential dilakukan minimum
menggunakan dua buah receiver yang masing-masing receiver mengamat minimum
empat buah satelit (Herry, 2014). Differential Positioning merupakan sebuah metode
pengamatan GPS yang bertujuan untuk meningkatkan akurasi hasil pengamatan dengan
menghilangkan bias yang ada pada pengamatan satelit. Pengamatan dilakukan dengan dua
buah receiver GPS atau lebih yang mengamat satelit secara simultan. Salah satu receiver
bertugas sebagai base station yang telah didefinisikan koordinatnya. Pengamatan dua atau
lebih receiver tersebut antar-receiver saling memberi koreksi terkait data satelit yang
diterima untuk meningkatkan akurasi. Metode ini sering digunakan untuk pendefinisian
titik dengan ketelitian tinggi serta pemetaan skala besar.

Continuously Operating Reference Station (CORS) adalah salah satu contoh base
station yang melakukan pengamatan satelit GPS secara kontinu. Data pengamatan CORS
dan data pengamatan di lapangan dapat dilakukan pengolahan dengan metode differential
secara post-processing (Schwieger, 2009).

I.8.3. GNSS Receiver

GNSS receiver merupakan alat untuk menerima sinyal yang dipancarkan oleh
satelit GNSS. Salah satu tipe dari GNSS receiver adalah tipe geodetik. GNSS receiver tipe
geodetik memiliki kemampuan untuk merekam data gelombang L1 dan L2 dari satelit
11

GNSS. Selain itu GNSS receiver tipe geodetik dilengkapi dengan antena tipe geodetik
yang mampu meminimalisir data gelombang kurang baik (Weston dan Schwieger, 2010).
Receiver tersebut dilengkapi dengan controller sebagai perangkat untuk memasukkan
perintah dan menampilkan data pengukuran.
Low-cost GNSS receiver merupakan salah satu produk dari receiver GNSS yang
mampu mengamat data gelombang satelit GNSS dengan spesifikasi tertentu. Salah satu
spesifkasi dari produk receiver GNSS low-cost adalah hanya mampu menangkap
gelombang fase L1 dan tidak dilengkapi dengan high precision antenna (Weston dan
Schwieger, 2010). Modul u-blox merupakan salah satu receiver GNSS yang mampu
menerima gelombang satelit L1 dan melakukan pengamatan dengan metode absolut serta
relatif seperti halnya receiver tipe geodetik. Receiver ini dilengkapi port kabel coaxial
untuk dihubungkan ke antena dan port USB untuk dihubungkan ke perangkat controller.

I.8.4. Metode Pengamatan Static

Static adalah metode pengukuran GPS dimana alat berdiri di atas objek yang diam.
Pengambilan data dilakukan dengan sampling rate tertentu untuk memperoleh data satelit
di stasiun atau lokasi tersebut. Metode tersebut biasa digunakan untuk pengamatan secara
differential dalam menentukan koordinat- koordinat titik di permukaan bumi. Pengamatan
statik secara differential mengamat empat atau lebih satelit secara simultan di semua
stasiun dalam periode waktu tertentu tergantung dari panjang baseline (Berber dkk, 2012).

I.8.5. Differential Post-Processing

Metode pengolahan data secara differential memerlukan dua buah receiver yang
mengamat secara simultan. Satu receiver sebagai base station yang diketahui nilai
koordinatnya sedangkan receiver lainnya sebagai rover yang didefinisikan nilai
koordinatnya. Pengamatan dua buah receiver atau lebih secara simultan dapat membentuk
baseline diantara dua buah titik tempat berdirinya receiver. Panjang baseline dapat
menentukan nilai koordinat dari titik rover. Pada tahap baseline processing terdapat
beberapa hitungan matematis untuk mengolah data gelombang GPS menjadi sebuah
ukuran untuk menghitung panjang baseline dan nilai koordinat. Hitungan matematis di
12

dalamnya berupa single difference, double difference, dan triple difference yang
dituliskan dalam persamaan I.1, I.2, dan I.3 (Blewitt, 1997).

1.8.5.1. Single difference, merupakan penentuan posisi dengan cara menyelisihkan data
pengamatan dua persamaan secara satu arah atau pada wahana satelit yang sama. Single
difference disajikan dalam persamaan I.1.

𝑗 𝑗 𝑗
∆𝐿𝐴𝐵 = 𝐿𝐴 − 𝐿𝐵 ……….…(I.1)

1.8.5.2. Double difference, merupakan cara penentuan posisi dengan menyelisihkan dua
persamaan single difference pada dua buah receiver yang mengamati dua satelit pada
waktu yang sama. Proses tersebut dinyatakan dalam persamaan I.2.

𝑗𝑘 𝑗
𝛻∆𝐿𝐴𝐵 = ∆𝐿𝐴𝐵 − ∆𝐿𝑘𝐴𝐵 …………....(I.2)

1.8.5.2. Triple difference, merupakan cara penentuan posisi degan cara menyelisihkan dua
buah data persamaan double difference yang mengamati dua buah satelit pada waktu yang
berbeda. Proses tersebut dituliskan pada persamaan I.3.

𝑗𝑘 𝑗𝑘 𝑗𝑘
𝛿(𝑖,𝑖+1) 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 = 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖 + 1) − 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖) ………..(I.3)

Keterangan :

𝑗
∆𝐿𝐴𝐵 : selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B
𝑗
𝐿𝐴 : jarak satelit j ke receiver A
𝑗
𝐿𝐵 : jarak satelit j ke receiver B
𝑗𝑘
𝛻∆𝐿𝐴𝐵 : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B
∆𝐿𝑘𝐴𝐵 : selisih jarak satelit k ke receiver A dan receiver B
𝑗𝑘
𝛿(𝑖,𝑖+1) 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B pada epoch ke i dan i+1
𝑗𝑘
𝛻∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖 + 1) : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B pada epoch ke i+1
13

𝑗𝑘
∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖) : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B pada epoch ke i

1.8.6. Cut-angle Pengamatan Satelit GPS

Satelit GPS yang diamat oleh receiver GPS memiliki ketinggian tertentu terhadap
horizon atau sering disebut satellite elevation. Ketinggian satelit yang diamat dapat diatur
agar meminimalisir data satelit yang terhalang objek pada ketinggian rendah. Pengaturan
ketinggian minimum satelit yang diamat disebut juga dengan cut-angle. Cut-angle
digunakan untuk menghindari adanya low-elevation multipath yang ada di lokasi
(Odolinski dkk, 2015).

I.8.7. Kesalahan dan Bias Pengukuran GPS

Pengamatan satelit GPS yang dilakukan dengan receiver GNSS memiliki beberapa
kesalahan atau disebut dengan bias satelit. Posisi satelit yang berada di atmosfer bumi dan
posisi receiver GPS yang berada di permukaan bumi membuat gelombang sinyal satelit
yang merambat melalui medium lapisan atmosfer mengalami pembiasan. Selain itu
gerakan satelit mengelilingi bumi yang tidak selalu pada orbitnya dapat menyebabkan
kesalahan posisi satelit. Kondisi sekitar receiver GPS di permukaan bumi juga
mempengaruhi kualitas sinyal datang yang dipancarkan oleh satelit GPS. Bias dan
kesalahan satelit yang terjadi selama pengukuran menyebabkan hasil pengukuran jarak
antara satelit dan receiver tidak sesuai dengan jarak sesungguhnya.

1.8.7.1. Bias atmosfer. Satelit GPS mengorbit bumi di luar angksa. Agar dapat
mengirimkan informasi ke permukaan bumi sinyal-sinyal satelit dipancarkan melalui
medium atmosfer yang terbagi menjadi lapisan ionosfer dan troposfer. Lapisan ionosfer
terletak pada ketinggian 50 km s.d. 1500 km di atas permukaan bumi. Ionosfir merupakan
lapisan yang terdiri atas elektron-elektron bebas bermuatan negatif serta molekul-molekul
bermuatan positif yang disebut ion (Leick dkk, 2015). Kerapatan elektron berbeda di
setiap lapisannya tergantung dari letak lintang dan bujur. Elektron-elektron bebas dan ion
menyebabkan sinyal yang melalui lapisan ionosfir mengalami pembiasan. Selain itu sinyal
14

kode GPS mengalami perlambatan kecepatan yang menyebabkan adanya tambahan waktu
pada saat diterima oleh receiver (Muslim dan Septi, 2009).

Lapisan troposfer terletak pada ketinggian 10 km di atas permukaan bumi.


Refraksi yang timbul pada lapisan troposfer dapat menyebabkan perubahan arah dan
kecepatan sinyal yang dipancarkan oleh satelit GPS (Sunantyo, 2014). Sinyal satelit yang
melewati medium berbeda mengalami perubahan arah maupun kecepatan. Hal tersebut
menyebabkan penurunan ketelitian jarak pada hasil pengolahan baseline antara dua
receiver.

1.8.7.2. Kesalahan ephemeris. Satelit memiliki orbit tertentu dalam melakukan gerak
evolusi mengelilingi bumi. Orbit yang dilalui oleh satelit telah ditentukan jalurnya
sehingga posisi satelit tetap berada di dalam orbitnya. Posisi orbit satelit selalu dpantau
oleh stasiun yang berada di permukaan bumi. Namun, satelit tidak selalu tepat berada di
dalam lintasannya sehingga menyebabkan adanya kesalahan posisi satelit terhadap orbit
yang seharusnya. Kesalahan ini disebut dengan ephemeris error. Kesalahan tersebut
mengakibatkan posisi satelit tidak sesuai dengan orbirnya dan berpengaruh pada nilai
koordinat yang dihasilkan dari pengukuran GPS.

1.8.7.3. Kesalahan jam. Salah satu parameter yang digunakan dalam pengukuran
koordinat dengan satelit GPS adalah jam satelit. Jam satelit digunakan untuk menentukan
waktu satelit di orbit tertentu dimana satelit tersebut aktif memancarkan gelombang.
Receiver GPS yang menerima data gelombang memiliki sistem waktu yang disinkronkan
dengan jam satelit. Selisih waktu jam satelit dan jam pada receiver digunakan untuk
menghitung jarak antara receiver dan satelit. Namun pada kenyataannya ada perbedaan
jam antara jam atom satelit dan jam pada receiver. Sehingga penentuan lama waktu sinyal
yang dipancarkan oleh satelit untuk sampai ke receiver tidak tepat. Hal tersebut
menyebabkan penentuan jarak menjadi tidak sesuai dengan jarak sesungguhnya.

1.8.7.4. Cycle slips. Satelit memancarkan gelombang yang ditangkap oleh receiver GPS
untuk mendapatkan nilai jarak yang digunakan untuk menghitung koordinat. Receiver
melakukan pengamatan satelit secara kontinu dalam durasi waktu tertentu. Pada durasi
15

tersebut sinyal satelit yang datang dapat ditangkap oleh receiver. Sinyal-sinyal yang
ditangkap oleh receiver tidak dalam bentuk yang sempurna. Keadaan tersebut disebut
cycle slips dimana satelit yang teramat hilang dari jangkauan pengamatan beberapa saat.
Penyebab terjadi cycle slips yaitu terganggunya sinyal satelit oleh bangunan tinggi, bukit,
dan pohon-pohon (Hu dkk, 2016). Kondisi cycle slips dapat mengurangi jumlah data utuh
pada pengamatan satelit di lokasi tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas data yang
diperoleh.

1.8.7.5. Obstruksi dan multipath. Pengamatan satelit GPS umunya dilakukan pada kondisi
yang ideal. Kondisi ideal dapat berupa lingkungan di sekitar tempat berdirinya receiver
memiliki karakteristik tebuka atau minim halangan. Halangan atau disebut juga obstruksi
dapat berupa vegetasi, bangunan, kondisi topografi sekitar, ataupun fitur-fitur lain.
Obstruksi menyebabkan sinyal yang dipancarkan oleh satelit GPS tidak sampai ke
receiver sehingga tidak ada data yang terekam oleh receiver. Obstruksi tersebut menutupi
pandangan dari receiver di lokasi pengamatan terhadap satelit yang diamat. Semakin
sedikit satelit yang terekam maka semakin sedikit data yang dapat diproses dalam
penentuan koordinat posisi receiver. Untuk meminimalisir efek dari obstruksi pengamatan
dilakukan di tempat yang cukup terbuka dan jauh dari objek-objek yang menghalangi
pandangan receiver ke satelit. Kondisi multipath terjadi apabila receiver GPS berdiri di
tempat yang terdapat banyak gedung-gedung tinggi atau kondisi topografi yang berbukit-
bukit. Bangunan dan objek-objek reflektif lainnya dapat memantulkan sinyal GPS
sebelum akhirnya sampai ke receiver. Gelombang yang datang tidak langsung berasal dari
satelit GPS tetapi sudah mengalami pemantulan dari objek-objek sekitar sehingga
gelombang terdiri atas beberapa bagian. Akibatnya jarak yang ditempuh oleh gelombang
mengalami perpanjangan yang menyebabkan perhitungan jarak menjadi tidak benar.
Ilustrasi pengamatan satelit dengan kondisi obstruksi dan multipath dapat dilihat pada
Gambar I.2.
16

Gambar I.2. Ilustrasi pengamatan yang terkena obstruksi (lost signal) dan multipath
(reflected multi-path signal) (Van Sickle, 2008)
1.8.7.6. Antenna offset. Receiver GPS menggunakan antena untuk memaksimalkan
penangkapan gelombang yang dipancarkan oleh satelit GPS. Antena yang digunakan
memiliki bentuk geometris tertentu sehingga gelombang dapat dikumpulkan pada pusat
antena. Pada keadaan sesungguhnya gelombang yang terekam tidak terkumpul di pusat
geometris antena namun lebih ke pusat fase antena. Perbedaan pusat antena dan pusat fase
menyebabkan pengukuran jarak mengalami kesalahan.

I.8.8. PDOP

Position Dillution of Precision (PDOP) adalah nilai error yang diperoleh selama
melakukan pengamatan ephemeris satelit. Dalam melakukan pengamatan satelit nilai
PDOP menggambarkan konfigurasi satelit yang diamat di lokasi tertentu. Nilai PDOP
yang rendah menggambarkan konfigurasi satelit baik dan sebaliknya. Hasil post-
17

processing data dengan nilai PDOP yang tinggi menghasilkan nilai standard error lebih
besar (Dong-feng dkk, 2009).

I.8.9. ITRF

Sistem referensi GPS menggunakan model geometris datum global yaitu WGS
1984. Sistem tersebut mengacu pada bentuk tetap sebuah geometris yang dirapatkan
dengan bentuk elips dari bumi atau disebut juga datum. Datum direalisasikan melauli titik-
titik kontrol yang ada di permukaan bumi. Keadaan permukaan bumi yang dinamis
dimana lapisan kerak bumi selalu mengalami pergeseran yang disebabkan oleh gerak
lempeng tektonik menyebabkan koordinat titik-titik kontrol yang ada di permukaan bumi
juga ikut mengalami perubahan. Kondisi tersebut menuntut adanya updating data
koordinat titik-titik kontrol secara periodik untuk menjamin kualitas sistem dan kerangka
acuan. International Terrestrial Reference Frame atau ITRF merupakan kerangka acuan
dari realisasi sistem referensi tertentu yang digunakan untuk mendefinisikan koordinat
suatu titik di permukaan bumi. ITRF terdiri atas kumpulan koordinat stasiun titik kontrol
yang tersebar di permukaan bumi. Posisi tiap titik secara rutin dilakukan pendefinisian
kembali untuk mengetahui nilai koordinat dan besar pergeseran yang terbentuk serta
vektor arah pergeserannya secara tiga dimensi yang disebabkan oleh gerak lempeng
tektonik. Setiap ITRF yang telah didefinisikan memiliki salib sumbu dan origin yang
berbeda dari ITRF sebelumnya sehingga memerlukan transformasi datum untuk
membawa titik koordinat dari sistem ITRF lama ke sistem ITRF baru. Kerangka acuan
tersebut kemudian disebut sebagai datum geodetik dinamik. Kata dinamik erat kaitannya
dengan pendefinisian secara periodik untuk menjamin kualitas data koordinat terhadap
sistem referensi tertentu. Kerangka ITRF direalisasikan dalam titik-titik di atas permukaan
bumi. Persebaran titik-titik ITRF tahun 2008 di permukaan bumi ditunjukkan dalam
Gambar I.3.
18

Gambar I.3. ITRF 2008 network (Altamimi, 2011)

1.8.10. Sistem Koordinat Kartesi 3D

Pendefinisian sebuah titik di permukaan bumi dilakukan dengan berpedoman pada


sebuah sistem referensi geodesi. Untuk menyatakan nilai dari sebuah koordinat digunakan
sebuah sistem koordinat yang mengacu pada datum tertentu. Sistem koordinat kartesi
merupakan sebuah sistem yang menyatakan posisi di atas permuakaan bumi dengan nilai
besaran sumbu X, sumbu Y, dan sumbu Z dalam satuan meter. Sistem tersebut memiliki
origin atau pusat salib sumbu yang berimpit dengan pusat massa bumi. Bidang antara
sumbu X dan sumbu Y memotong bumi menjadi dua bagian di daerah khatulistiwa.
Sedangkan sumbu Z menjulang dari kutub Selatan ke kutub Utara bumi. Salib sumbu
sistem koordinat kartesi 3D dapat dilihat pada Gambar I.4.
19

Gambar I.4. Sistem koordinat kartesi dan geodetik (Anonymous, 2014)

Keterangan gambar I.4 :

λ : bujur geodetik titik P


ψ : lintang geosentrik titik P
ϕ : lintang geodetik titik P
h : tinggi geodetik
C : pusat elipsoid
γr : komponen gravitasi normal sepanjang radius geosentrik
γh : komponen gravitasi normal sepanjang geodetik normal
Xp , Yp , Zp : koordinat kartesi 3D titik P
20

Secara matematis panjang baseline diperoleh dari nilai koordinat dua buah titik dengan
menggunakan persamaan I.4 berikut.

𝐷𝐴𝐵 = √(𝑋𝐴 − 𝑋𝐵 )2 + (𝑌𝐴 − 𝑌𝐵 )2 + (𝑍𝐴 − 𝑍𝐵 )2 …………………………(I.4)


Keterangan :
𝐷𝐴𝐵 : panjang baseline antara titik A dan titik B
𝑋𝐴 , 𝑌𝐴 , 𝑍𝐴 : koordinat 3D titik A
𝑋𝐵 , 𝑌𝐵 , 𝑍𝐵 : koordinat 3D titik B

I.8.11. Uji Statistik

Uji statistik t student digunakan untuk sample kecil berpasangan. Nilai t dihitung
menggunakan persamaan I.5 (Widjajanti, 2011).

̅− 𝛿
𝐷
𝑡= ………………..(I.5)
𝑆𝐷 /√𝑛

Dalam hal ini

t : nilai hitung uji t


̅
𝐷 : rata-rata selisih nilai parameter antara kedua data
δ : nilai populasi = 0
𝑆𝐷 : simpangan baku selisih nilai parameter antara kedua data
̅ didapatkan dengan persamaan I.6.
Nilai 𝐷

∑ 𝐷𝑖
̅=
𝐷 ………………………..(I.6)
𝑛

Keterangan persamaan I.6 :


∑ 𝐷𝑖 : jumlah selisih nilai parameter antara kedua data
𝑛 : jumlah sample
21

Nilai 𝑆𝐷 didapatkan dengan persamaan I.7.

̅)
∑(𝐷𝑖 − 𝐷
𝑆𝐷 = √ ………………………..(I.7)
𝑛−1

Keterangan persamaan I.7 :

̅)
∑(𝐷𝑖 − 𝐷 : jumlah selisih parameter antara kedua data dikurangi nilai D rata-rata
𝑛 : jumlah sample

I.9. Hipotesis

Hasil analisis kualitas pengukuran metode static differential post-processing untuk


receiver BAP Precision S852 memiliki perbedaan panjang baseline terhadap baseline fix
di level sentimeter. Sedangkan pada kondisi sky view obstruksi perbedaan panjang
baseline BAP precision S852 didapat pada level meter. Uji statisik t student untuk tiga
sample dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan hasil pengolahan baseline BAP
Precision S852 memiliki tingkat kepresisian baik dengan nilai t kurang dari 4,303 yang
diambil dari tabel distribusi t.

You might also like