Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Penentuan posisi menggunakan teknologi GNSS dengan presisi alat ukur tinggi
serta waktu yang relatif singkat menjadikan teknologi ini populer di era sekarang.
Penggunaan teknologi GNSS erat kaitannya dengan receiver GNSS sebagai alat penerima
sinyal yang dipancarkan oleh satelit GNSS. Receiver GNSS memiliki spesifikasi tertentu
yang dapat digolongkan dalam kategori receiver GNSS tipe geodetik dan receiver GNSS
low-cost (Weston dan Schwieger, 2010). Receiver GNSS tipe geodetik umumnya
memiliki spesifikasi dual-frequency dan dilengkapi dengan high precision antenna.
Sedangkan receiver GPS low-cost memiliki spesifikasi single-frequency dengan patch
antenna. Menurut laman Leica-Geosystem Store harga satu unit receiver GNSS tipe
geodetik adalah 181 juta rupiah. Sedangakn di dalam laman u-blox harga satu unit module
u-blox yang merupakan salah satu produk low-cost GNSS receiver adalah 2 juta rupiah.
BAP Precision S852 merupakan receiver GNSS low-cost yang didukung oleh module u-
blox.
1
2
Pengukuran GPS selama ini berpedoman pada receiver GNSS tipe geodetik yang
mampu menghasilkan ketelitian di level milimeter. Standar dalam pengukuran GPS
memang memerlukan spesifikasi alat yang baik untuk menghasilkan data yang akurat
namun harga yang diberikan mahal. Receiver GNSS low-cost merupakan teknologi
penentuan posisi seperti halnya receiver GNSS tipe geodetik yang menghasilkan data
posisi di atas permukaan bumi dengan ketelitian lebih rendah, namun biaya yang
dikeluarkan sedikit. Teknologi receiver GNSS low-cost sedang menjadi trend hangat
diantara para pengguna receiver GNSS. Dikarenakan fitur yang disajikan hampir sama
dengan receiver GNSS tipe geodetik. Salah satu produk receiver GNSS low-cost yang
tersedia di pasaran memiliki spesifikasi mampu mengamat satelit GPS dan GLONASS
serta dapat menghasilkan ketelitian data pengolahan statik hingga level sentimeter. Untuk
melihat performa dari receiver GNSS low-cost perlu dilakukan pengamatan GPS dalam
kondisi lapangan tertentu. Hasil pengukuran dari receiver GNSS low-cost pada kondisi
tertentu dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan kualitas pengukuran serta
performa dari receiver tersebut.
Kombinasi antara receiver GNSS BAP Precsision S852 dan software pengolah
data GPS merupakan solusi untuk mendapatkan kepresisian di level sentimeter dengan
teknologi GNSS berlabel low-cost. Perlu kajian lebih lanjut untuk melihat kualitas
ketelitian data yang dihasilkan dari pengukuran dengan receiver GNSS low-cost supaya
dapat dimanfaatkan secara luas. Penelitian yang dilakukan yaitu membandingkan data
hasil pengukuran dengan receiver GNSS tipe geodetik (Leica GS08) dan receiver GNSS
BAP Precsion S852 dalam variasi kondisi di lapangan.
GPS. Belum diketahui kepresisian baseline hasil pengolahan data BAP Precsion S852
dalam variasi kondisi lapangan. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya data
pembanding dari hasil pengukuran lain menggunakan receiver tipe geodetik Leica GS08.
1. Bagaimana kualitas data carrier yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan
receiver BAP Precision S852 dalam kondisi sky view terbuka, sky view obstruksi,
dan sky view banyak obstruksi?
2. Berapa perbedaan panjang baseline yang diperoleh dari hasil post-processing
dengan receiver BAP Precision S852 terhadap panjang baseline acuan dalam
kondisi sky view terbuka, sky view obstruksi, dan sky view banyak obstruksi?
3. Apakah kepresisian hasil ukuran yang didapat dari receiver BAP Precision S852
tergolong baik?
Penelitian ini mengkaji tentang kualitas pengukuran receiver BAP Precsision S852
dalam variasi kondisi di lapangan. Kegiatan penelitian ini dibatasi beberapa hal sebagai
berikut :
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu diperolehnya kualitas hasil
pengukuran GNSS metode differential post-processing dengan receiver BAP Precsision
S852. Hasil analisis presisi menunjukkan performa dari receiver tersebut yang kemudian
dapat dipertimbangkan dalam penggunaannya di lapangan.
5
Wieser (2006) membandingkan performa receiver u-blox pada kondisi sky view
terbuka dan sky view tertutup. Receiver yang digunakan adalah u-blox TIM-LH high-
sensitivity receiver. Beberapa objek seperti bangunan, pohon, dan kondisi topografi lokasi
dapat mempengaruhi pengamatan GPS. Satelit memancarkan gelombang ke permukaan
bumi untuk kemudian ditangkap oleh receiver. Kekuatan sinyal pada saat akuisisi data
bergantung pada Signal to Noise Ratio (SNR). Hambatan yang ada pada jarak pandang
antara satelit dan receiver menjadikan sinyal satelit mengalami penurunan. Oleh karena
itu sinyal yang ditangkap merupakan sinyal yang kurang baik. Pengukuran dilakukan
6
dengan receiver u-blox TIM-LH high-sensitivity receiver yang dipasangkan pada antena
patch. Durasi pengamatan selama 5 jam kemudian dilakukan analisis data post-
processing. Receiver u-blox TIM-LH high-sensitivity receiver mampu menangkap lebih
banyak satelit dibandingkan receiver konvensional lainnya. Pengamatan pada kondisi sky
view terbuka dan berada di bawah kanopi menunjukkan hasil yang berbeda dilihat dari
pseudo-range error. Dimana satelit yang tertutup obstruksi menghasilkan data yang lebih
banyak error. Demikian juga pada nilai standar deviasi dan presentase data outliers yang
mengalami penurunan kualitas pada kondisi obstruksi. Hasil yang didapat bahwasannya
kondisi sky view terbuka memiliki data hasil ukuran yang lebih presisi dibandingkan
dengan kondisi sky view tertutup yang memiliki data outliers atau spike lebih banyak
sehingga error yang diperoleh lebih besar.
resolution dipengaruhi oleh sinyal GPS baik itu single frequency maupun dual frequency.
Receiver GPS dual frequency memiliki spesifikasi untuk menerima data dari satelit GPS
lebih banyak. Dalam gelombang pembawa terdapat data C/A-code dan P-code termasuk
data pengamatan satelit GALILEO yang digunakan untuk menghitung nilai posisi dari
receiver. Data pengamatan diolah dengan software Spectra Precision GeoGenius yang
mampu menganalisis tiga carriers-data. Proses kalibrasi pada gelombang L1 dan L3
dilakukan untuk mereduksi kesalahan ionosfer. Data diproses dalam mode Three-Carrier
Ambiguity Resolution (TCAR) yang menyediakan nilai ambiguity dari L1/L2/L3
sesungguhnya. Analisis performa receiver berfokus pada kondisi no multipath dan
maximum multipath yang disajikan dengan parameter-parameter seperti jarak dan waktu.
Pengamatan GPS pada kondisi no multipath memerlukan waktu untuk mencapai fix lebih
singkat daripada kondisi multipath. Pengujian menggunakan tiga buah mode dalam
software yaitu C/A-code, P-code, dan TCAR menunjukkan waktu yang berbeda-beda
dalam hal time-to-fix. Mode TCAR memiliki waktu yang paling singkat diantara mode
lainnya dalam kasus tersebut. Kesimpulan yang didapat bahwasannya dengan
menggunakan dual-frequency receiver yang mampu menangkap tiga gelombang
pembawa keberadaan multipath yang menjadi penghalang utama dapat diminimalisir pada
saat inisialisasi pengamatan di lapangan. Kondisi multipath berpengaruh pada pengukuran
GPS.
1. Atunggal dan Rokhmana (2016) meneliti module u-blox yang digunakan dalam
pengukuran real-time dan membandingkan ketelitiannya dengan aplikasi
smartphone Mobile Topographer. Sedangkan penelitian ini berfokus pada receiver
GNSS low-cost yang digunakan dalam pengukuran statik dan membandingkan
ketelitiannya dengan receiver GNSS tipe geodetik.
8
menentukan posisi dengan data dari satelit dengan prinsip pemotongan ke belakang
dimana posisi di atas permukaan bumi yang belum terdefinisi diamat dari satelit yang telah
didefinisikan posisinya terhadap sistem referensi elipsoid. Dibandingkan dengan sistem
dan metode penentuan posisi lainnya, GPS mempunyai banyak kelebihan dan
menawarkan lebih banyak keuntungan, baik dalam segi operasionalisasinya maupun
kualitas posisi yang diberikan (Abidin, 2007).
Gambar I.1. Penentuan posisi receiver dengan gelombang satelit GPS (Van Sickle,
2008)
10
Sistem ini didesain untuk memberikan posisi, waktu, dan kecepatan secara 3D
secara kontinu dengan skala global tanpa bergantung pada kondisi cuaca (Abidin, 2007).
Terdapat beberapa metode dalam pengukuran dengan GNSS yaitu metode pengamatan
absolut dan metode pengamatan relatif.
1.8.2.1. Metode pengamatan absolut. Penentuan posisi dengan metode absolut hanya
menggunakan data pseudorange sehingga menghasilkan koordinat dengan ketelitian yang
relatif rendah (Herry, 2014). Pengamatan secara absolut memiliki ketelitian di tingkat
meter yang diperuntukan untuk penentuan posisi atau koordinat pendekatan pada sistem
referensi tertentu.
1.8.2.2. Metode pengamatan relatif. Metode relatif atau differential dilakukan minimum
menggunakan dua buah receiver yang masing-masing receiver mengamat minimum
empat buah satelit (Herry, 2014). Differential Positioning merupakan sebuah metode
pengamatan GPS yang bertujuan untuk meningkatkan akurasi hasil pengamatan dengan
menghilangkan bias yang ada pada pengamatan satelit. Pengamatan dilakukan dengan dua
buah receiver GPS atau lebih yang mengamat satelit secara simultan. Salah satu receiver
bertugas sebagai base station yang telah didefinisikan koordinatnya. Pengamatan dua atau
lebih receiver tersebut antar-receiver saling memberi koreksi terkait data satelit yang
diterima untuk meningkatkan akurasi. Metode ini sering digunakan untuk pendefinisian
titik dengan ketelitian tinggi serta pemetaan skala besar.
Continuously Operating Reference Station (CORS) adalah salah satu contoh base
station yang melakukan pengamatan satelit GPS secara kontinu. Data pengamatan CORS
dan data pengamatan di lapangan dapat dilakukan pengolahan dengan metode differential
secara post-processing (Schwieger, 2009).
GNSS receiver merupakan alat untuk menerima sinyal yang dipancarkan oleh
satelit GNSS. Salah satu tipe dari GNSS receiver adalah tipe geodetik. GNSS receiver tipe
geodetik memiliki kemampuan untuk merekam data gelombang L1 dan L2 dari satelit
11
GNSS. Selain itu GNSS receiver tipe geodetik dilengkapi dengan antena tipe geodetik
yang mampu meminimalisir data gelombang kurang baik (Weston dan Schwieger, 2010).
Receiver tersebut dilengkapi dengan controller sebagai perangkat untuk memasukkan
perintah dan menampilkan data pengukuran.
Low-cost GNSS receiver merupakan salah satu produk dari receiver GNSS yang
mampu mengamat data gelombang satelit GNSS dengan spesifikasi tertentu. Salah satu
spesifkasi dari produk receiver GNSS low-cost adalah hanya mampu menangkap
gelombang fase L1 dan tidak dilengkapi dengan high precision antenna (Weston dan
Schwieger, 2010). Modul u-blox merupakan salah satu receiver GNSS yang mampu
menerima gelombang satelit L1 dan melakukan pengamatan dengan metode absolut serta
relatif seperti halnya receiver tipe geodetik. Receiver ini dilengkapi port kabel coaxial
untuk dihubungkan ke antena dan port USB untuk dihubungkan ke perangkat controller.
Static adalah metode pengukuran GPS dimana alat berdiri di atas objek yang diam.
Pengambilan data dilakukan dengan sampling rate tertentu untuk memperoleh data satelit
di stasiun atau lokasi tersebut. Metode tersebut biasa digunakan untuk pengamatan secara
differential dalam menentukan koordinat- koordinat titik di permukaan bumi. Pengamatan
statik secara differential mengamat empat atau lebih satelit secara simultan di semua
stasiun dalam periode waktu tertentu tergantung dari panjang baseline (Berber dkk, 2012).
Metode pengolahan data secara differential memerlukan dua buah receiver yang
mengamat secara simultan. Satu receiver sebagai base station yang diketahui nilai
koordinatnya sedangkan receiver lainnya sebagai rover yang didefinisikan nilai
koordinatnya. Pengamatan dua buah receiver atau lebih secara simultan dapat membentuk
baseline diantara dua buah titik tempat berdirinya receiver. Panjang baseline dapat
menentukan nilai koordinat dari titik rover. Pada tahap baseline processing terdapat
beberapa hitungan matematis untuk mengolah data gelombang GPS menjadi sebuah
ukuran untuk menghitung panjang baseline dan nilai koordinat. Hitungan matematis di
12
dalamnya berupa single difference, double difference, dan triple difference yang
dituliskan dalam persamaan I.1, I.2, dan I.3 (Blewitt, 1997).
1.8.5.1. Single difference, merupakan penentuan posisi dengan cara menyelisihkan data
pengamatan dua persamaan secara satu arah atau pada wahana satelit yang sama. Single
difference disajikan dalam persamaan I.1.
𝑗 𝑗 𝑗
∆𝐿𝐴𝐵 = 𝐿𝐴 − 𝐿𝐵 ……….…(I.1)
1.8.5.2. Double difference, merupakan cara penentuan posisi dengan menyelisihkan dua
persamaan single difference pada dua buah receiver yang mengamati dua satelit pada
waktu yang sama. Proses tersebut dinyatakan dalam persamaan I.2.
𝑗𝑘 𝑗
𝛻∆𝐿𝐴𝐵 = ∆𝐿𝐴𝐵 − ∆𝐿𝑘𝐴𝐵 …………....(I.2)
1.8.5.2. Triple difference, merupakan cara penentuan posisi degan cara menyelisihkan dua
buah data persamaan double difference yang mengamati dua buah satelit pada waktu yang
berbeda. Proses tersebut dituliskan pada persamaan I.3.
𝑗𝑘 𝑗𝑘 𝑗𝑘
𝛿(𝑖,𝑖+1) 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 = 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖 + 1) − 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖) ………..(I.3)
Keterangan :
𝑗
∆𝐿𝐴𝐵 : selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B
𝑗
𝐿𝐴 : jarak satelit j ke receiver A
𝑗
𝐿𝐵 : jarak satelit j ke receiver B
𝑗𝑘
𝛻∆𝐿𝐴𝐵 : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B
∆𝐿𝑘𝐴𝐵 : selisih jarak satelit k ke receiver A dan receiver B
𝑗𝑘
𝛿(𝑖,𝑖+1) 𝛻∆𝐿𝐴𝐵 : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B pada epoch ke i dan i+1
𝑗𝑘
𝛻∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖 + 1) : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B pada epoch ke i+1
13
𝑗𝑘
∆𝐿𝐴𝐵 (𝑖) : perbedaan selisih jarak satelit j ke receiver A dan receiver B dengan jarak
satelit k ke receiver A dan receiver B pada epoch ke i
Satelit GPS yang diamat oleh receiver GPS memiliki ketinggian tertentu terhadap
horizon atau sering disebut satellite elevation. Ketinggian satelit yang diamat dapat diatur
agar meminimalisir data satelit yang terhalang objek pada ketinggian rendah. Pengaturan
ketinggian minimum satelit yang diamat disebut juga dengan cut-angle. Cut-angle
digunakan untuk menghindari adanya low-elevation multipath yang ada di lokasi
(Odolinski dkk, 2015).
Pengamatan satelit GPS yang dilakukan dengan receiver GNSS memiliki beberapa
kesalahan atau disebut dengan bias satelit. Posisi satelit yang berada di atmosfer bumi dan
posisi receiver GPS yang berada di permukaan bumi membuat gelombang sinyal satelit
yang merambat melalui medium lapisan atmosfer mengalami pembiasan. Selain itu
gerakan satelit mengelilingi bumi yang tidak selalu pada orbitnya dapat menyebabkan
kesalahan posisi satelit. Kondisi sekitar receiver GPS di permukaan bumi juga
mempengaruhi kualitas sinyal datang yang dipancarkan oleh satelit GPS. Bias dan
kesalahan satelit yang terjadi selama pengukuran menyebabkan hasil pengukuran jarak
antara satelit dan receiver tidak sesuai dengan jarak sesungguhnya.
1.8.7.1. Bias atmosfer. Satelit GPS mengorbit bumi di luar angksa. Agar dapat
mengirimkan informasi ke permukaan bumi sinyal-sinyal satelit dipancarkan melalui
medium atmosfer yang terbagi menjadi lapisan ionosfer dan troposfer. Lapisan ionosfer
terletak pada ketinggian 50 km s.d. 1500 km di atas permukaan bumi. Ionosfir merupakan
lapisan yang terdiri atas elektron-elektron bebas bermuatan negatif serta molekul-molekul
bermuatan positif yang disebut ion (Leick dkk, 2015). Kerapatan elektron berbeda di
setiap lapisannya tergantung dari letak lintang dan bujur. Elektron-elektron bebas dan ion
menyebabkan sinyal yang melalui lapisan ionosfir mengalami pembiasan. Selain itu sinyal
14
kode GPS mengalami perlambatan kecepatan yang menyebabkan adanya tambahan waktu
pada saat diterima oleh receiver (Muslim dan Septi, 2009).
1.8.7.2. Kesalahan ephemeris. Satelit memiliki orbit tertentu dalam melakukan gerak
evolusi mengelilingi bumi. Orbit yang dilalui oleh satelit telah ditentukan jalurnya
sehingga posisi satelit tetap berada di dalam orbitnya. Posisi orbit satelit selalu dpantau
oleh stasiun yang berada di permukaan bumi. Namun, satelit tidak selalu tepat berada di
dalam lintasannya sehingga menyebabkan adanya kesalahan posisi satelit terhadap orbit
yang seharusnya. Kesalahan ini disebut dengan ephemeris error. Kesalahan tersebut
mengakibatkan posisi satelit tidak sesuai dengan orbirnya dan berpengaruh pada nilai
koordinat yang dihasilkan dari pengukuran GPS.
1.8.7.3. Kesalahan jam. Salah satu parameter yang digunakan dalam pengukuran
koordinat dengan satelit GPS adalah jam satelit. Jam satelit digunakan untuk menentukan
waktu satelit di orbit tertentu dimana satelit tersebut aktif memancarkan gelombang.
Receiver GPS yang menerima data gelombang memiliki sistem waktu yang disinkronkan
dengan jam satelit. Selisih waktu jam satelit dan jam pada receiver digunakan untuk
menghitung jarak antara receiver dan satelit. Namun pada kenyataannya ada perbedaan
jam antara jam atom satelit dan jam pada receiver. Sehingga penentuan lama waktu sinyal
yang dipancarkan oleh satelit untuk sampai ke receiver tidak tepat. Hal tersebut
menyebabkan penentuan jarak menjadi tidak sesuai dengan jarak sesungguhnya.
1.8.7.4. Cycle slips. Satelit memancarkan gelombang yang ditangkap oleh receiver GPS
untuk mendapatkan nilai jarak yang digunakan untuk menghitung koordinat. Receiver
melakukan pengamatan satelit secara kontinu dalam durasi waktu tertentu. Pada durasi
15
tersebut sinyal satelit yang datang dapat ditangkap oleh receiver. Sinyal-sinyal yang
ditangkap oleh receiver tidak dalam bentuk yang sempurna. Keadaan tersebut disebut
cycle slips dimana satelit yang teramat hilang dari jangkauan pengamatan beberapa saat.
Penyebab terjadi cycle slips yaitu terganggunya sinyal satelit oleh bangunan tinggi, bukit,
dan pohon-pohon (Hu dkk, 2016). Kondisi cycle slips dapat mengurangi jumlah data utuh
pada pengamatan satelit di lokasi tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas data yang
diperoleh.
1.8.7.5. Obstruksi dan multipath. Pengamatan satelit GPS umunya dilakukan pada kondisi
yang ideal. Kondisi ideal dapat berupa lingkungan di sekitar tempat berdirinya receiver
memiliki karakteristik tebuka atau minim halangan. Halangan atau disebut juga obstruksi
dapat berupa vegetasi, bangunan, kondisi topografi sekitar, ataupun fitur-fitur lain.
Obstruksi menyebabkan sinyal yang dipancarkan oleh satelit GPS tidak sampai ke
receiver sehingga tidak ada data yang terekam oleh receiver. Obstruksi tersebut menutupi
pandangan dari receiver di lokasi pengamatan terhadap satelit yang diamat. Semakin
sedikit satelit yang terekam maka semakin sedikit data yang dapat diproses dalam
penentuan koordinat posisi receiver. Untuk meminimalisir efek dari obstruksi pengamatan
dilakukan di tempat yang cukup terbuka dan jauh dari objek-objek yang menghalangi
pandangan receiver ke satelit. Kondisi multipath terjadi apabila receiver GPS berdiri di
tempat yang terdapat banyak gedung-gedung tinggi atau kondisi topografi yang berbukit-
bukit. Bangunan dan objek-objek reflektif lainnya dapat memantulkan sinyal GPS
sebelum akhirnya sampai ke receiver. Gelombang yang datang tidak langsung berasal dari
satelit GPS tetapi sudah mengalami pemantulan dari objek-objek sekitar sehingga
gelombang terdiri atas beberapa bagian. Akibatnya jarak yang ditempuh oleh gelombang
mengalami perpanjangan yang menyebabkan perhitungan jarak menjadi tidak benar.
Ilustrasi pengamatan satelit dengan kondisi obstruksi dan multipath dapat dilihat pada
Gambar I.2.
16
Gambar I.2. Ilustrasi pengamatan yang terkena obstruksi (lost signal) dan multipath
(reflected multi-path signal) (Van Sickle, 2008)
1.8.7.6. Antenna offset. Receiver GPS menggunakan antena untuk memaksimalkan
penangkapan gelombang yang dipancarkan oleh satelit GPS. Antena yang digunakan
memiliki bentuk geometris tertentu sehingga gelombang dapat dikumpulkan pada pusat
antena. Pada keadaan sesungguhnya gelombang yang terekam tidak terkumpul di pusat
geometris antena namun lebih ke pusat fase antena. Perbedaan pusat antena dan pusat fase
menyebabkan pengukuran jarak mengalami kesalahan.
I.8.8. PDOP
Position Dillution of Precision (PDOP) adalah nilai error yang diperoleh selama
melakukan pengamatan ephemeris satelit. Dalam melakukan pengamatan satelit nilai
PDOP menggambarkan konfigurasi satelit yang diamat di lokasi tertentu. Nilai PDOP
yang rendah menggambarkan konfigurasi satelit baik dan sebaliknya. Hasil post-
17
processing data dengan nilai PDOP yang tinggi menghasilkan nilai standard error lebih
besar (Dong-feng dkk, 2009).
I.8.9. ITRF
Sistem referensi GPS menggunakan model geometris datum global yaitu WGS
1984. Sistem tersebut mengacu pada bentuk tetap sebuah geometris yang dirapatkan
dengan bentuk elips dari bumi atau disebut juga datum. Datum direalisasikan melauli titik-
titik kontrol yang ada di permukaan bumi. Keadaan permukaan bumi yang dinamis
dimana lapisan kerak bumi selalu mengalami pergeseran yang disebabkan oleh gerak
lempeng tektonik menyebabkan koordinat titik-titik kontrol yang ada di permukaan bumi
juga ikut mengalami perubahan. Kondisi tersebut menuntut adanya updating data
koordinat titik-titik kontrol secara periodik untuk menjamin kualitas sistem dan kerangka
acuan. International Terrestrial Reference Frame atau ITRF merupakan kerangka acuan
dari realisasi sistem referensi tertentu yang digunakan untuk mendefinisikan koordinat
suatu titik di permukaan bumi. ITRF terdiri atas kumpulan koordinat stasiun titik kontrol
yang tersebar di permukaan bumi. Posisi tiap titik secara rutin dilakukan pendefinisian
kembali untuk mengetahui nilai koordinat dan besar pergeseran yang terbentuk serta
vektor arah pergeserannya secara tiga dimensi yang disebabkan oleh gerak lempeng
tektonik. Setiap ITRF yang telah didefinisikan memiliki salib sumbu dan origin yang
berbeda dari ITRF sebelumnya sehingga memerlukan transformasi datum untuk
membawa titik koordinat dari sistem ITRF lama ke sistem ITRF baru. Kerangka acuan
tersebut kemudian disebut sebagai datum geodetik dinamik. Kata dinamik erat kaitannya
dengan pendefinisian secara periodik untuk menjamin kualitas data koordinat terhadap
sistem referensi tertentu. Kerangka ITRF direalisasikan dalam titik-titik di atas permukaan
bumi. Persebaran titik-titik ITRF tahun 2008 di permukaan bumi ditunjukkan dalam
Gambar I.3.
18
Secara matematis panjang baseline diperoleh dari nilai koordinat dua buah titik dengan
menggunakan persamaan I.4 berikut.
Uji statistik t student digunakan untuk sample kecil berpasangan. Nilai t dihitung
menggunakan persamaan I.5 (Widjajanti, 2011).
̅− 𝛿
𝐷
𝑡= ………………..(I.5)
𝑆𝐷 /√𝑛
∑ 𝐷𝑖
̅=
𝐷 ………………………..(I.6)
𝑛
̅)
∑(𝐷𝑖 − 𝐷
𝑆𝐷 = √ ………………………..(I.7)
𝑛−1
̅)
∑(𝐷𝑖 − 𝐷 : jumlah selisih parameter antara kedua data dikurangi nilai D rata-rata
𝑛 : jumlah sample
I.9. Hipotesis