You are on page 1of 28

Referat

KEJADIAN BURNOUT PADA MAHASISWA

Diajukan sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik


di Departemen Penyakit Dalam RSUD Ernaldi Bahar Palembang

Disusun oleh:
Bima Indra, S.Ked 04054821820031
Hilda Nadhila Hasbi,S.ked. 04054821820118
Muhammad Ma’ruf Agung, .Ked 04054821820143

Pembimbing
dr.Bintang Arroyantri, Sp.KJ.

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD ERNALDI BAHAR PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

KEJADIAN BURN OUT PADA MAHASISWA

Oleh:
Bima Indra, S.Ked 04054821820031
Hilda Nadhila Hasbi,S.ked 04054821820118
Muhammad Ma’ruf Agung, .Ked 04054821820143

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 April-
17 Mei.

Palembang, April 2019

dr.Bintang Arroyantri, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Kejadian Burn Out pada Mahasiswa”.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Psikiatri RSUD Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Bintang
Arroyanti, Sp.KJ. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, April 2019

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan mental mahasiswa kedokteran telah lama menjadi
perhatian. Terlalu banyaknya tugas dengan berkewajiban untuk mempelajari
semuanya dan bertanggung jawab dalam merawat umat manusia yang bisa
menguras dedikasi menjadi pemicu potensial atau penyebab gangguan emosi atau
biasa disebut burnout. Perubahan psikologis yang signifikan
dapat tercerminkan dalam penggunaan narkoba, depresi, bunuh diri dan disfungsi
profesionalitas dalam bekerja. Stresor menciptakan toksisitas psikologis yang
memengaruhi pelatihan dan aktivitas mahasiswa kedokteran, kondisi seperti itu
juga ada dalam kursus untuk profesi kesehatan lainnya. Dengan demikian, beban
kerja studi berlebih, persyaratan pendidikan yang menuntut, kurangnya waktu
luang dengan keluarga dan teman, dan sifat-sifat kepribadian individu seperti
perfeksionisme dan standar yang dipaksakan menjadi potensi pemicu stres dan
perilaku disfungsional. Selain itu, pada titik-titik tertentu selama pendidikan
kedokteran siswa, pemicu stres kritis dapat muncul, seperti kontak dengan pasien
dan penyakit serius dan kematian atau kelulusan siswa, yang disertai dengan
ketidakpastian tentang masa depan juga dapat menjadi penyebab terjadi burnout
pada mahasiswa kedokteran
Burnout atau kejenuhan adalah respon terhadap beban emosional dan
interpersonal yang berlangsung secara kronis dalam kaitannya dengan pekerjaan
atau aktivitas yang menyediakan jasa. Istilah ini dapat diterapkan pada kegiatan
yang memiliki beban serupa dengan kegiatan sebagai pekerja, salah satunya pada
proses perkuliahan mahasiswa 1,2
Burnout pada awalnya digunakan pada konteks pekerjaan tetapi dalam
perkembangannya burnout ini tidak hanya dialami oleh para pekerja sosial,
mahasiswa juga mengalami burnout. Meskipun pelajar tidak memegang sebuah
pekerjaan, namun dari perspektif psikologis aktivitas yang mereka alami dapat

1
2

dikatakan sebagai pekerjaan, misalnya menghadiri kelas dan mengerjakan tugas-


tugas untuk lulus dalam ujian sehingga memperoleh gelar.
Kalangan mahasiswa, khususnya pada bidang ilmu kedokteran seringkali
dikaitkan dengan kejadian burnout. Pernyataan tersebut didukung oleh meta-
1
analisis yang dilakukan Costa dkk. yang menemukan prevalensi burnout pada
siswa kedokteran sangat tinggi, yaitu berkisar antara 45% sampai 71 %.
Sementara itu, penelitian Santen dkk. 3 yang menilai burnout pada 249 mahasiswa
kedokteran merinci fenomena burnout pada mahasiswa kedokteran. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa jumlah mahasiswa yang mengalami kejenuhan tingkat
sedang hingga tinggi menunjukkan pola peningkatan sejak tahun pertama (21%),
tahun kedua (41%), tahun ketiga (43%) dan diakhiri penurunan pada tahun
keempat (31%). Kejadian burnout yang tinggi diduga berkaitan dengan padatnya
jadwal perkuliahan (Almeida dkk, 2016).
Referat ini berisi bagaimana burnout dapat menyebabkan gejala pada area
profesi yang berlainan, dengan penekanan khusus pada profesi kesehatan. Telah
diketahui bahwa banyak pekerja kesehatan yang memiliki burnout. Walaupun
pekerjaan pada area kesehatan dapat memuaskan, namun bisa menyebabkan stres
karena beberapa faktor, contohnya harus menghadapi kematian dan penyakit.
Oleh karena itu, dasar-dasar burnout dipaparkan disini 5.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Burnout
2.1.1. Definisi Burnout
Burnout pada awalnya digunakan pada konteks pekerjaan tetapi
dalam perkembangannya burnout ini tidak hanya dialami oleh para pekerja
sosial, mahasiswa juga mengalami burnout. Meskipun pelajar tidak
memegang sebuah pekerjaan, namun dari perspektif psikologis aktivitas
yang mereka alami dapat dikatakan sebagai pekerjaan, misalnya menghadiri
kelas dan mengerjakan tugas-tugas untuk lulus dalam ujian sehingga
memperoleh gelar.
Burnout merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh
seorang ahli psikologi klinis, Herbert Freundenberger, pada tahun 1973.
Menurut Freudenberger, burnout adalah keadaan kelelahan mental dan fisik
yang disebabkan kehidupan profesi (Pangastiti, 2014). Definisi ini
disempurnakan oleh Maslach dkk. dimana burnout dianggap sebagai
sindrom multidimensional yang terdiri dari kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan rasa pencapaian diri (personal
accomplishment) (Salvagioni dkk, 2017). Definisi tersebut selanjutnya
dipergunakan secara luas, khususnya dalam bidang ilmu psikologi.
Burnout menurut Pines & Aronson didefinisikan sebagai “state of
physical, emotional and mental exhaustion that results from long-term
involvement with people in situations that are emotionally demanding”.
Dalam konteks belajar siswa, Schaufeli et al (2002) menjelaskan bahwa
burnout merujuk pada situasi perasaan keletihan dikarenakan tuntutan
belajar, memperlihatkan sikap sinis dan menghindari pada pembelajaran,
serta merasa tidak kompeten sebagai siswa. Kondisi burn out pada
mahasiswa dapat memicu keengganan untuk mengikuti kegiatan profesi,
rendahnya motivasi belajar, tingginya angka drop out, kecenderungan
4

berkurangnya keaktifan fisik dan emosional, serta rendahnya rasa keinginan


untuk sukses.
Pada praktik yang berkembang saat ini, burnout dapat dinyatakan
sebagai kondisi kelelahan emosional dan fisik yang dialami oleh suatu
individu dan memiliki kaitan terhadap pekerjaan atau aktivitas yang
menyediakan jasa. Istilah burnout tidak hanya berlaku pada pekerjaan saja,
tetapi dapat diterapkan juga pada kegiatan yang mirip dengan pekerjaan,
seperti perkuliahan (Cetinkaya dkk, 2017).

2.1.2. Dimensi Burnout


Burnout dapat dibagi atas tiga dimensi, yaitu::
a) Kelelahan emosional (Emotional exhaustion)
Kelelahan emosional merupakan ciri utama serta menjadi manifestasi
paling jelas dari burnout. Kelelahan emosional adalah perasaan
kelelahan yang dialami di tempat kerja. Ketika seseorang mengalami
exhaustion maka mereka akan merasakan energinya seperti terkuras
habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat teratasi lagi
(Meldrum, 2010).

b) Depersonalisasi (Depersonalization)
Depersonalisasi merupakan upaya untuk memberi jarak antara diri
sendiri dan orang lain melalui tindakan menghiraukan kualitas yang
membuat mereka unik dan menarik. Fenomena ini dapat terjadi sebagai
proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan
individu. Manifestasi depersonalisasi berupa sikap sinis terhadap orang-
orang yang berada dalam lingkup pekerjaan disertai kecenderungan
menarik diri serta mengurangi keterlibatan dalam bekerja. Perilaku
tersebut dikaitkan dengan upaya proteksi diri dari perasaan kecewa,
karena penderita menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu,
maka mereka akan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan
(Meldrum, 2010).
5

c) Penurunan pencapaian prestasi pribadi


Fenomena ini ditandai dengan ketidakpuasan terhadap diri sendiri.
Kondisi tersebut menyebabkan penderita mengalami kesulitan untuk
meningkatkan prestasi pribadi di masa depan. (Meldrum, 2010)

2.1.3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Burnout


a. Jenis kelamin
Menurut kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, jenis kelamin
adalah keadaan laki-laki atau perempuan dan memiliki hubungan terhadap
perbedaan sosial dan budaya. Jenis kelamin merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian burnout. Studi oleh Costa dkk. (2012)
menemukan bahwa jenis kelamin merupakan variabel sosiodemografi
yang memiliki hubungan dengan burnout secara signifikan. Studi lain oleh
Adebayo (2013) menemukan bahwa wanita lebih rentan terhadap kejadian
burnout dibandingkan pria yang dikaitkan dengan tingginya nilai
kelelahan emosional dan depersonalisasi wanita dibandingkan pria. Hal ini
sejalan dengan penelitian Caccese dan Mayeberg (1984) yang menemukan
pelatih wanita memiliki tingkat kelelahan emosional yang lebih tinggi
dibandingkan pelatih pria.
Fenomena kejadian burnout yang lebih tinggi pada wanita diduga
erat kaitannya dengan persepsi stressor yang lebih tinggi (lebih sensitif)
dan bukan karena stressor yang lebih banyak dibandingkan pria. Selaras
dengan pernyataan ini, studi oleh Ranjita dkk. dalam Muzafar dkk. (2015)
pada mahasiswa menemukan bahwa mahasiswa perempuan menilai
tingkat keburukan suatu kejadian negatif lebih tinggi dibandingkan
mahasiswa pria.

b. Efikasi diri
Efikasi diri adalah persepsi individu terhadap kemampuannya dalam
menjalankan suatu tugas atau tanggung jawab secara tepat dan efektif.
6

Penilaian efikasi diri bersifat subjektif karena menitikberatkan keyakinan


individu akan persepsi kemampuan yang ia miliki (Suraya dkk, 2017).
Keyakinan itu akan memengaruhi bagaimana seorang individu
berperilaku, berpikir, dan reaksi emosionalnya. Perasaaan bahwa suatu
keadaan dapat dikontrol atau ditangani menyebabkan efek negatif dari
tekanan (stressor) menurun, sehingga orang dengan efikasi diri yang tinggi
cenderung mengalami stres dan burnout yang lebih rendah (Lailani, 2012).
Hubungan efikasi diri dan burnout dapat dijelaskan oleh studi yang
dilakukan Hall tentang kesuksesan psikologis (psychological success).
Individu yang secara mandiri berhasil menyelesaikan tujuan yang penting
untuk dirinya akan menyebabkan terjadinya kesuksesan psikologis.
Kesuksesan psikologis akan memacu individu untuk lebih bersemangat
pada pekerjaannya dan memiliki kepercayaan diri yang meningkat. Hall
menekankan bahwa yang penting adalah perasaan kesuksesan yang
dimiliki individu tersebut dan bukan sukses yang diukur objektif. Bila
individu tidak dapat mengalami kesuksesan psikologis, maka individu
tersebut dapat mengalam kegagalan psikologis (psychological failure)
yang dapat menyebabkan (Schaufeli, Maslach, dan Marek, 2017):
1. Menarik diri dari pekerjaan dengan cara menurunkan standar kerja
dan menjadi apatis dan tidak tertarik
2. Lebih menekankan pada imbalan material dan tidak
memperhitungkan imbalan intrinsik
3. Melindungi diri melalui mekanisme pertahanan
4. Melawan organisasi
5. Meninggalkan organisasi
Beberapa studi mencoba melihat hubungan antara efikasi diri dan
burnout. Studi yang dilakukan oleh Yang (2004) pada sekolah di Taiwan
menemukan bahwa efikasi diri memiliki hubungan signifikan dengan
burnout. Hubungan antara efikasi diri dan kejadian burnout adalah
hubungan negatif, dimana peningkatan efikasi diri akan berimbas pada
penurunan kejadian burnout.
7

c. Dukungan sosial
Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi yang membuat
seorang individu percaya bahwa mereka dipedulikan, dicintai, dan dihargai
sehingga mereka mengambil peran dalam komunikasi dan tanggung jawab
bersama. Dukungan sosial yang baik terhadap seseorang berpengaruh baik
terhadap pencegahan kejadian burnout (Yang, 2004, Kim, Lee dan Lee,
2018).
Efek positif dukungan sosial dan keluhan burnout telah dibuktikan
melalui berbagai penelitian (Ben-zur dan Michael, 2007, Kim, Lee dan
Lee, 2018, Pangastiti, 2014). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut
juga telah dirumuskan dua model mekanisme yang diperkirakan berkaitan
dengan hubungan kedua fenomena tersebut, yaitu model hubungan
langsung dan model sawar (buffer effect). Model hubungan langsung
menyatakan bahwa dukungan sosial memiliki efek langsung terhadap
burnout. Sedangkan model sawar menyatakan bahwa dukungan sosial
berperan sebagai pelindung suatu individu terhadap kejadian burnout
(Taylor, 2011). Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kuat
cenderung lebih kebal terhadap burnout (Kim, Lee dan Lee, 2018). Salah
satu studi yang menguji hubungan antara social support dan burnout
adalah studi yang Ben-Zur dan Michael (2007) yang menemukan
dukungan sosial memiliki korelasi negatif terhadap dua komponen burnout
yaitu aspek depersonalisasi dan kelelahan emosional. Sejalan dengan
penemuan ini, meta-analisis oleh Kim dkk. (2018) menemukan hubungan
signifikan antara burnout pada siswa dan dukungan sosial yang dimiliki.
Siswa yang merasa burnout terhadap studi mereka cenderung berpikir
bahwa mereka kurang didukung oleh kolega mereka. Kim dkk. (2018)
menyatakan bahwa dukungan sosial berperan sebagai sawar terhadap stres
sehingga individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi, akan lebih
kebal terhadap stres.
8

d. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan segala gerakan yang dilaksanakan oleh otot
lurik yang membutuhkan energi. Berdasarkan meta-analisis oleh
Narckenski dkk. (2017), terdapat hubungan antara aktivitas fisik dan
burnout. Aktivitas fisik ditemukan dapat mengurangi kejadian burnout.
Beberapa mekanisme diajukan oleh para ahli untuk menjelaskan hubungan
antara aktivitas fisik dan burnout, yang secara besar dapat dibagi dua,
yaitu mekanisme psikologis dan fisiologis. Mekanisme psikologis
menyatakan bahwa aktivitas fisik yang rutin dilakukan dapat memfasilitasi
psychological detachment dari pekerjaan. Aktivitas fisik juga
meningkatkan self-efficacy sehingga pekerja akan merasa lebih percaya
diri dalam melakukan tugas-tugas mereka. Untuk mekanisme fisiologis,
dikatakan bahwa dengan aktivitas fisik rutin, seseorang mampu
menghadapi stres psikologis. Hal ini akan berdampak pada pemulihan
tubuh yang cepat setelah kejadian stres dan menurunkan risiko burnout.
Aktivitas fisik rutin juga dapat memicu perubahan neurotransmitter dan
neuromodulator sehingga terjadi peningkatan mood dan energi (Naczenski
dkk, 2017).

e. Kualitas tidur
Kualitas tidur merupakan karakteristik subjektif yang menandakan
tingkat kepuasan individu terhadap tidur mereka (Kozier, 2008; Ohayon
dkk, 2018). Berdasarkan penelitian oleh Ekstedt, dkk (2006) individu yang
mengalami burnout memiliki hasil polisomnografi yang lebih buruk
daripada individu yang tidak mengalami burnout. Individu yang memiliki
burnout memiliki rasa kantuk dan rasa lelah sepanjang hari. sehingga
penelitiannya menyimpulkan bahwa gangguan kualitas tidur dapat
memainkan peran dalam terjadinya burnout (Shad, Thawani dan Goel,
2015).
Gangguan kualitas tidur merupakan mekanisme yang mungkin
terjadi dalam proses perjalanan burnout, yang dimengerti sebagai deplesi
9

sumber daya diri secara kronik. Menurut pandangan ini, burnout adalah
sindrom yang dicirikan oleh deplesi energi fisik, emosi dan kognitif
sebagai konsekuensi dari stresor di tempat kerja. Konsep ini muncul dari
teori konservasi sumber daya (conservation of resources) yang
menyatakan secara insting, individu akan mencari dan mempertahankan
sumber daya, sementara stres adalah hasil dari ancaman terhadap sumber
daya, kegagalan mempertahankan sumber daya, atau kehilangan sumber
daya. Sumber daya tersebut adalah ciri diri, kondisi, atau energi yang
dianggap berharga oleh individu. Hal ini merupakan dasar kejadian
burnout akibat siklus kehilangan sumber daya bagi individu selama
periode waktu tertentu. Proses ini adalah sebuah “lingkaran setan” dimana
individu yang mengalami burnout dapat memperparah kehilangan sumber
daya mereka karena menghadapi stressor (Vela-bueno dkk, 2008). Studi
lain menemukan bahwa pada kesulitan tidur, terjadi gangguan aksis HPA
(Hypothalamus-Pituitary-Adrenal). Studi yang mencari hubungan antara
burnout dan kortisol menemukan hasil yang kontradiksi, beberapa
mengaitkan kejadian burnout dengan kortisol yang meningkat, penelitian
lain mengaitkannya dengan kadar kortisol yang menurun (Åkerstedt,
Perski dan Kecklund, 2010). Kesimpulannya, disregulasi aksis HPA dapat
ditemukan pada individu yang mengalami burnout dan gangguan kualitas
tidur (Vela-bueno dkk, 2008).

f. Tingkat kepuasan kerja


Tingkat kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang
dapat memengaruhi burnout. Kepuasan kerja merupakan tingkat pekerja
menyukai pekerjaan mereka dan memiliki sifat positif atau negatif
terhadap pekerjaan mereka. Ketidakpuasan individu terhadap pekerjaan
mereka termasuk emosi negatif yang dapat merusak kesehatan fisik,
mental dan sosial dari individu tersebut. Hal ini merupakan dasar bahwa
emosi negatif dapat menjadi indikasi terhadap perkembangan burnout
(Cetinkaya dkk, 2017).
10

Tingkat kepuasan kerja telah ditunjukkan memilii hubungan


dengan burnout pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut adalah
studi Jelena, Rusac, dan Zorec (2008) yang menemukan korelasi negatif
signifikan antara kepuasan kerja dengan burnout. Studi ini didukung oleh
meta-analisis Gigantesco (2003) yang menyatakan kepuasan kerja
berhubungan erat dengan kesehatan fisiologis dan psikologis. Korelasi ini
bersifat signifikan terhadap aspek kesehatan mental seperti burnout
syndrome, kecemasan, dan depresi. Penelitian lain menemukan bahwa
kepuasan kerja juga didukung faktor lain yang terkait burnout, yaitu
dukungan sosial. Kondisi tersebut tergambar dari fenomena kurangnya
proses bertukar pengalaman dan ide disertai kurangnya masukan positif
dari atasan (komponen dukungan sosial) menjadi alasan kepuasan kerja
yang menurun (Ogresta, Rusac dan Zorec, 2008)

g. Locus of control
Locus of control merupakan bagian kepribadian yang dikaitkan
dengan ekspektasi seseorang terhadap kemampuannya dalam mengontrol
nasib diri sendiri. Orang-orang yang memiliki ekspektasi bahwa mereka
dapat mengatur nasib disebut dengan internal, sedangkan orang dengan
ekspektasi bahwa kekuatan di luar daya mereka atau keberuntungan yang
mengatur nasib disebut dengan eksternal (Sunbul, 2003).
Individu dengan locus of control yang berbeda juga memiliki
perbedaan sikap dalam menyikapi permasalahan. Individu dengan internal
locus of control memiliki kencenderungan untuk bersifat proaktif dan
berusaha menemukan solusi terhadap suatu masalah dibandingkan dengan
penganut paham external yang berusaha menghindari konflik. Walaupun
dihadapkan pada situasi yang sama, individu dengan internal locus of
control mampu mengambil tindakan untuk mengatasi stres kerja sehingga
mengalami kejadian burnout yang lebih sedikit. Hal ini didasari
kemampuan orang-orang dengan karakteristik internal untuk menghadapi
11

faktor yang menyebabkan stres dan mencoba mengubahnya menjadi lebih


baik untuk menekan kejadian burnout (Souza, 2017).

2.1.4. Diagnosis
Kelelahan emosional, gangguan fungsi kognitif, penurunan
pencapaian/ pemenuhan pribadi, peningkatan tanda distress emosional,
distress interpersonal, gangguan penampilan perilaku, peningkatan gejala
fisik, organizational distress. Peneliti medis sering menggunakan Maslach
Burnout Inventory (MBI) untuk mengukur derajat burnout pada seseorang
dan acuan "gold standart". MBI mengandung 3 dimensi yang terdiri dari
exhaustion, cynicism, inafficacy. Schaufeli et al (2001) menggunakan
neurasthenia, sebagaimana didefinisikan dalam International Classification
of Diseases (ICD-10, 1994) setara dengan burnout yang parah . Menurut
ICD-10, diagnosis neurasthenia (kode F43.8) harus memenuhi:
- Peningkatan kelelahan atau kelemahan yang persisten setelah
usaha (mental) yang minimal
- Sedikitnya terdapat 2 dari 7 gejala distres seperti mudah marah
dan ketidakmampuan untuk bersantai
- Tidak adanya gangguan lain seperti gangguan mood atau
gangguan kecemasan.
Dalam sistem ICD-10, diagnostik burnout juga ditempatkan dalam
kategori "masalah yang berkaitan dengan kesulitan pengelolaan
kehidupan" (kode Z73.0) dan digambarkan sebagai "keadaan kelelahan
vital", Kriterianya adalah: (Departemen Kesehatan RI Jendral Pelayanan
Medik, 1993)
 Gejala kelelahan fisiologis atau mental selama setidaknya 2
minggu.
 Berkurangnya energi dan timbulnya gejala seperti kesulitan
berkonsentrasi, penurunan kemampuan untuk mengatasi stres,
mudah tersinggung atau ketidakstabilan emosional, gangguan tidur,
nyeri otot, pusing atau jantung berdebar-debar.
12

 Gejala-gejala ini harus terjadi setiap hari selama periode 2 minggu


dan harus menyebabkan penderitaan yang signifikan dengan
kapasitas kerja terganggu.
 Gejala tidak harus berhubungan dengan diagnosis psikiatri lain,
penyalahgunaan zat, atau diagnosis medis.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV
(10th Revision) mendefinisikan burnout sebagai gangguan penyesuaian
(mental adjustment disorder) yang ditandai oleh "perkembangan gejala
emosional atau perilaku yang signifikan secara klinis dalam menanggapi
stresor psikososial atau stres. Gejala tersebut harus berkembang dalam
waktu 3 bulan dari onset stresor dan harus selesai dalam waktu 6 bulan
dari penghentian stresor". DSM-IV membedakan 6 subtipe gangguan
penyesuaian tetapi subtipe nonspesifik adalah diagnosa yang paling mirip
dengan definisi burnout. Hal ini ditandai dengan adanya "reaksi maladaptif
(keluhan fisik, social withdrawal, terhambatnya pekerjaan atau kegiatan
akademis) terhadap stresor psikososial yang tidak diklasifikasikan sebagai
salah satu subtipe tertentu dari gangguan penyesuaian. Menggunakan
gangguan penyesuaian untuk mendiagnosis burnout, bagaimanapun
mungkin bermasalah. Burnout biasanya bukan reaksi langsung terhadap
stresor tetapi akibat dari stres yang bersifat kronis terhadap situasi yang
bermasalah, berlangsung agak lambat dan biasanya tidak terselesaikan
dalam 6 bulan (American Psychiatric Association, 2005).

2.1.5. Cara Penilaian burnout


Maslach Burnout Inventory (MBI)- Student Survey merupakan
kuesioner yang sering digunakan untuk mengukur burnout. MBI-SS
adalah kuesioner dengan 22 item penilaian untuk mengukur burnout dan
dianggap sebagai gold standard. Penilaian MBI-SS menggunakan skala
Likert dari 0 sampai 6 (0= tidak pernah, 1= beberapa kali per tahun, 2= 1x
per bulan, 3 = beberapa kali per bulan, 4 = sekali seminggu, 5 = beberapa
kali per minggu, dan 6 = setiap hari). MBI-SS menilai tiga dimensi dari
13

burnout, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan


pencapaian diri. Nilai cutoff untuk kelelahan emosional, depersonalisasi,
dan penurunan pencapaian diri didpatkan dari data normatif. MBI-SS
memiliki nilai koefisien Cronbach 0,757 dengan koefisien Cronbach untuk
kelelahan emosional, sinisme, dan penurunan akademik masing-masing
0,838, 0,844, dan 0,875. Hal ini berarti skala ini dapat mengidentifikasi
kejadian burnout pada mahasiswa yang mungkin merasa lelah karena
beban akademik atau beban hidup mereka (Pérez-Mármol dan Brown,
2018).

2.1.6. Gejala Burnout


a. Gejala somatik
Umumnya, gejala somatik burnout dilupakan karena gejala psikologis dan
perilaku nya. Namun, beberapa penelitian menunjukkan keluhan atipikal
somatik yang menyertai burnout. Gejala somatik dicirikan dengan energi
yang rendah dan kelelahan kronik. Gangguan makan (terlalu banyak atau
terlalu sedikit) juga dapat ditemukan. Gangguan tidur dapat bermanifestasi
dalam bentu ekstrim dari insomnia atau tidur berlebih. Terdapat
peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan gejala psikosoatis juga
ditemukan. Gejala somatik lain adalah peptic ulcer, sakit kepala, demam
yang menetap, sakit punggung, tekanan darah tinggi, gangguan
gastrointestinal, sesak nafas, masalah kulit 20.

b. Gejala psikologis
Untuk gejala psikologis dari burnout dicirikan oleh rasa lelah atau deprsi
dan dapat dibagi menjadi
 Kelelahan emosional yang melibatkan perasaan apati, tidak
berdaya, dan terkekang. Hal ini ditemani oleh freefloating anxiety,
yang bermanifestasi menjadi rasa cemas, dan nervous. Rasa putus
asa yang mendalam menyebabkan kekurangan energi emosi, yang
14

menyebabkan pekerja yang burnout melaporkan bahwa mereka


merasa tidak punya apapun lagi untuk diberikan siapapun.
 Kelelahan mental dicirikan oleh ketidakmampuan konsentrasi dan
fokus. Kelelahan mental terkadang dihubungkan dengan
ketidakmampuan untuk memecahkan masalah dan membuat
keputusan. Studi menunjukkan sikap negatif terhadap diri sendiri,
pasien, teman sejawat, dan lingkungan kerja merupakan tanda
untuk kelelahan mental. Gejala ini mirip dengan apa yang
dideskripsikan oleh Maslach, yaitu depersonalisasi, yang
melibatkan respon penarikan diri dari individu-individu yang
menerima pelayanan dirinya. Selain itu, individu yang mengalami
burnout dapat memiliki opini rendah terhadap kapabilitas dan
kepercayaan diri 20.

c. Gejala perilaku
Perubahan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan berupa penurunan
efisiensi kerja (kuantitatif dan kualitatif), datang terlambat, tidak hadir,
gangguan hubungan interpersonal didalam pekerjaan, dll. Bukti empiris
menunjukkan adanya perubahan kualitas dan frekuensi interaksi antara
klien dan teman sejawat. Terdapat perubahan hubungan keluarga dan
sosial juga. Perilaku konsumtif seperti merokok dan peningkatan
penggunaan alcohol dan obat-obatan telah dilaporkan sebagai tanda
burnout 20

2.1.7. Dampak Burnout pada Mahasiswa


Burnout tidak hanya berakibat negatif pada individu, seperti depresi,
perasaan gagal, kelelahan dan hilangnya motivasi dan menurunkan produktivitas
kerja (Van Dierendonck, dkk., 1998).
Schaufeli dan Buunk (1996) mengelompokkan dampak berdasarkan :
a. Manifestasi mental
15

Tipikal penderita burnout akan mengalami kelelahan emosi, serta


merasa hampa dan terjebak. Simptom yang berkaitan dengan depresi
merupakan simptom yang paling menonjol seperti merasa tertekan, tidak
berdaya, tidak ada harapan, dan merasa tidak berarti. Perasaan negatif
tersebut dapat membuat rendahnya harga diri pada penderita burnout.
Individu yang menderita burnout memiliki toleransi yang rendah terhadap
frustasi, mudah marah, menjadi sensitif, berperilaku memusuhi dan curiga
tidak hanya pada resipien tapi juga pada kolega dan atasan. Simptom
kognitif yang dapat terjadi ialah tidak mampu berkonsentrasi pelupa,
kesulitan dalam membuat keputusan.

b. Manifestasi fisik
Keluhan fisik yang sering timbul seperti sakit kepala, mual, sakit
pada otot-otot terutama pada punggung, masalah seksual, gangguan
tidur, hilangiya nafsu makan. Manifestasi fisik y ㎎ tipikal adalah
keletihan yang kronis. Gangguan fisik yang sering pula terjadi adalah
menderita flu yang tidak kunjung sembuh.

c. Manifestasi perilaku
Manifestasi perilaku individu terutama disebabkan karena
meningkatnya level of arousal seperti hiperaktivitas, perilaku kasar.
Meningkatnya konsumsi stimulan seperti kopi dan alkohol.

d. Manifestasi sosial
Masalah interpersonal ingkungan kerja dapat terjadi terhadap
penderita, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami
burnout dapat membawa masalah ditempat kerja ke rumah. Yang oleh
Jackson dan Maslach disebut dengan negatif spillover. Tipikal Individu
yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan
lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
16

e. Manifestasi sikap
Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan
interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan atau organisasi.
Sikap negatif dalam hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak
berperasaan (callous), memisahkan diri (detached), acuh tak acuh
(indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan karakteristik
yang paling sering muncul pada penderita burnout.

f. Manifestasi organisasi
Burnout dapat memperburuk kualitas kerja (Schultz dan Schultz
1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan,
turn over tinggi, dan juga absen. Serta rendahnya produktivitas kerja
(Schaufell dan Buunk, 1996) menambahkan bahwa burnout dapat
menimbulakrn masalah bagi organisasi atau perusahaan kerena simtom
burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, fustasi,
penurunan semangat kerja, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu.
Simptom ini sering juga disertai dengan munculnya simptom fisik.

Sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering muncul


adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasme, minat
dan idealisme. Individu yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh
organisasi atau rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap
organisasi dan akhirnya mengkritik dan tak mempercayai pihak manajemen rekan
kerja, maupun supervisor, individu yang mengalami burnout merasa tujuan-
tujuannya tidak tercapai dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya
harga diri (self esteem).
Menurut Cherniss (1980) individu yang mengalami burnout menunjukkan
rendahnya energi dan minat pekerjaan. Individu mengalami kelelahan emosional,
apatis, murung, mudah marah, dan merasa bosan, cenderung mencari kesalahan
pada semua aspek yang ada di lingkungannya, termasuk pada rekan kerja dan
bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya menurun. Schultz dan
17

Schultz (2010) menyatakan sikap negatif yang dapat berkembang adalah individu
yang cendering bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti peraturan dan prosedur
kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan untuk bersikap
fleksibel terhadap pendekatan-pendekatan alternatif.
Kejadian Burnout memiliki dampak yang dapat menimbulkan kerugian
bagi perusahaan, instansi maupun organisasi seperti menurunnya prestasi pekerja
(Kounenou, 2012), meningkatnya kecelakaan (Enache, 2013), absensi pekerja
semakin meningkat (Hallsten, dkk., 2011), ketidakpuasan dalam bekerja (Ogresta,
dkk., 2008), rotasi kerja dan perubahan pekerjaan terus meningkat, menurunnya
kualitas kerja pekerja (Payami, 2002), serta menurunnya kepuasaan pelanggan. Di
Finlandia pekerja mengalami penurunan level kepuasan kerja sehingga
menimbulkan banyak terjadi kecelakaan dan kecelakaan tersebut lebih banyak
tergolong dalam kecelakaan berat. Burnout menimbulkan insiden, baik itu unsafe
act maupun unsafe condition (Greenberg, 2002)

2.1.8.Tatalaksana dan Pencegahan Burnout


Pencegahan dan tatalaksana burnout perlu dilakukan tindak lanjut agar
dampak yang ditimbulkan tidak meluas. Adapun cara mereduksi burnout menurut
Maslach, Schaufeli, Lelter (2001) sebagai berikut :
A. Changing the Individual (Mengubah Individu)
Fokus paling utama dalam mengurangl burnout yaitu intervensi
pendidikan untuk menambah kapasitas Individu ditempat kerja. Sehingga
dapat mengurangi level burnout. Training merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kapasitas individu. Mengubah individu yang paling tepat
yaitu individu tersebut melakukan coping pada dirinya. Namun tidak
banyak yang tau bagaimana cara melakukan coping untuk dirinya sendiri
Kedua yaitu menerapkan pengetahuan baru ditempat kerja dapat menjadi
tantangan karena orang bekerja dengan berbagai kendala. Peran individu
ditempat kerja mengharuskan berperilaku dengan cara sesual dengan
prosedur organisasi yang telah ditetapkan. Rekan kerja ditunjuk sesuai
dengan fungsi pekerjaan individu. Dengan demikian jika ada perubahan
18

yang signifikan dalanm cara kerja maka perlu adanya pemahaman tentang
konsekuensi perubahan organisasi tersebut. Berbagai macam cara
intervensi diantaranya yaitu pelatihan terhadap stres, relaksasi, manajemen
waktu, pelatihan dalam kerampilan interpersonal dan sosial, team building.
manajemen tuntutan profesional, dan meditasi.
Terdapat bukti bahwa pendekatan individu dapat menurukan
burnout dan stres ditempat kerja. Salah satu metanalisis mengenai
intervensi di tempat kerja untuk menurunkan stress menunjukkan dampak
kecil namun positif dari program yang target nya perorangan. Sebagai
contoh, terdapat bukti bahwa pelatihan staf dapat efektif dalam mencegah
gejala burnout. Hal ini bisa melibatkan kurus kesadaran stress dengan
fokus pada mengatasi masalah. Pendekatan individu lain seperti cognitive
behavioural therapy menunjukkan dampak positif dan memiliki dampak
yang lebih besar daripada intervensi tempat kerja lain seperti relaksasi dan
meditasi. Mindfulness based interventio juga ditemukan efektif dalam
menurunankan efek negatif psikologis di lingkungan pekerjaan. Namun
belum ada bukti yang menunjukkan intervensi ini lebih efektif daripada
manajemen stres lain seperti relaksasi atau yoga 23.

B. Changing The Organization (Mengubah Organisasi)


Intervensi paling efektif dalam menanggulangi masalah burnout
yaitu dengan menggabungkan intervensi pada manajerial dengan
pendidikan yang dijelaskan pada mengubah individu. Fokus pada beberapa
ketidaksesuaian akan mungkin lebih efektif. Pekerja mungkin dapat
mentolerir beban kerja yang besar jika mereka dihargal dalam
pekerjaannya sesuai dengan usaha yang pekerja lakukan. menanggulangi
masalah burnout seperti keglatan refreshing untuk seluruh pekerja,
melakukan rotasi kerja kerja atau segala bentuk keputusan atatu
pembuatan program yang dimaksudkan untuk mengurangi atau
menanggulangi masalah burnout yang disebabkan oleh faktor pekerjaan.
Kegiatan atau program yang dibua untulk perusahaan untuk Salah satu
19

keuntungan darl pendekatan intervensi gabungan manajerial dan


pendidikan yaitu cenderung menekankan membangun keterlibatan dengan
pekerjaan. Keterlibatan ini memungkinkan pekerja lebih dekat dengan misi
organisasi, terutama aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas kerja d
organisasi. Sebuah lingkungan kerja yang dirancang untuk mendukung
perkembangan energi yang positif, semangat, keterlibatan, dedikasi,
dan efektivitas produktivitas dengan promosi kesejahteraan pekerja.
Meskipun nilai intervensi organtsasi besar namun tidak mudah dalam
penerapannya. Hal Iinl sering terhambat pada investasi waktu, tenaga dan
uang.
Terdapat studi yang lebih sedikit mengenai intervensi berbasis
organisasi. Salah satu studi menemukan bahwa intervensi berbasis
organisasi memiliki dampak positif yang berlangsung lebih lama daripada
intervensi yang berorientasi individu. Walaupun butuh bukti empiris yang
lebih banyak untuk memvalidasi hal ini, mungkin modifikasi pada aspek
budaya organisasi dan perilaku kerja dapat dimodifikasi, selain intervensi
tingkat individu ,sehingga memiliki dampak yang lebih kuat dalam
pencegahan burnout. Pengubahan dalam beban kerja ditunjukkan mampu
menurunkan stressor dan faktor yang menyebabkan burnout. 23
20

BAB III
KESIMPULAN

Pengertian terhadap permasalahan burnout dapat bermanfaat pada


mahasiswa khususnya dalam ruang lingkup pekerjaan baik dari perspektif
kesehatan masyarakat atau meningkatknya produktifitas kerja. Burnout
merupakan masalah yang tidak sederhana, burnout merupakan permasalahan
unidimensional yang penyebab dan solusi dapat diterapkan, burnout
merupakan masalah kompeks yang penyebabnya multikausal berupa faktor
individual dan organisasi.
Intervensi untuk mencegah burnout lebih sering pada tingkat
individu dan kelompok kecil dibandingkan tingkan organisasi. Terdapat
bukti bahwa pendekatan perseorangan seperti workshop, cognitive
behavioral therapy dapat menurunkan tingkat burnout dapat mengubah
aspek dari budaya organisasi dan perilaku tempat kerja dan juga dapat
diterapkan selain intervensi tingkat individu agar pencegahan yang lebih
efektif dapat tercipta. Perubahan terhadap beban kerja juga dapat
menurunkan stressor dan faktor yang menyebabkan burnout. Beberapa
bukti menemukan intervensi tingkat organisasi dapat menghasilkan dampak
yang lebih lama dari pendekatan individu.
Menggabungkan pendekatan individu dan organisasi dapat
menghasilkan pencegahan yang lebih efektif, namun membutuhkan
komunikasi yang terbuka, lingkungan yang mendukung, budaya belajar, dan
partisipasi dari pekerja dalam perencanaan dan implementasi intervrensi
DAFTAR PUSTAKA

Åkerstedt, T., Perski, A. dan Kecklund, G. 2010. Sleep, Stress, and Burnout.
Principles and Practice of Sleep Medicine: Fifth Edition, hal.814–821.
Ali, M., Fahim, H., Jafari, R. dan Zohoorian, Z. 2012. Relationship between
physical activity and it ’ s components with burnout in academic members of
Daregaz Universities. , 46, hal.4291–4294.
Almeida, G. de C., Souza, H.R. de, Almeida, P.C. de, Almeida, B. de C. dan
Almeida, G.H. 2016. The prevalence of burnout syndrome in medical students.
Revista de Psiquiatria Clinica, 43(1), hal.6–10.
Aparecido, R., Paiva, C.E., De, M.A., Tavares, H., Fregnani, G., Lucchetti,
G. dan Paiva, S.R. 2018. Burnout among medical students during the first years of
undergraduate school : Prevalence and associated factors. , hal.1–15.
Bekker, M.H.J., Croon, M.A. dan Bressers, B. 2005. Work & Stress : An
International Journal of Work , Health & Organisations Childcare involvement ,
job characteristics , gender and work attitudes as predictors of emotional
exhaustion and sickness absence. , (October 2014), hal.37–41.
Ben-zur, H. dan Michael, K. 2007. Social Work in Health Care Burnout ,
Social Support , and Coping at Work Among Social Workers , Psychologists , and
Nurses. , (January 2015).
Caccese, T.M. dan Mayerberg, C.K. 1984. Gender Differences in Perceived
Burnout of College Coaches. Journal of Sport Psychology, 6(3), hal.279–288.
Cetinkaya, F., Akbulut, Z., Dur, N., Eryalçin, Ö. dan Korkmaz, M. 2017.
Analysis of Job Satisfaction and Burnout Level of Nurses in Different
Generations. International Journal of Caring Science, 10(3), hal.1507–1513.
Dyrbye, L.N., Thomas, M.R., Harper, W., Massie, F.S., Power, D. V.,
Eacker, A., Szydlo, D.W., Novotny, P.J., Sloan, J.A. dan Shanafelt, T.D. 2009.
The learning environment and medical student burnout: A multicentre study.
Medical Education, 43(3), hal.274–282.
Dyrbye, L.N., Thomas, M.R. dan Shanafelt, T.D. 2006. Systematic Review
of Depression , Anxiety , and Other Indicators of Psychological Distress Among

21
22

U . S . and Canadian Medical Students. , 81(4), hal.354–373.


Ekstedt, M., Söderström, M., Åkerstedt, T., Nilsson, J., Søndergaard, H.P.
dan Aleksander, P. 2006. Disturbed sleep and fatigue in occupational burnout.
Scandinavian Journal of Work, Environment and Health, 32(2), hal.121–131.
Famodu, O.A., Barr, M.L., Holásková, I., Zhou, W., Morrell, J.S., Colby,
S.E. dan Olfert, M.D. 2018. Shortening of the Pittsburgh Sleep Quality Index
Survey Using Factor Analysis. , 2018.
Gates, M., Wingert, A., Featherstone, R., Samuels, C., Simon, C. dan Dyson,
M.P. 2018. Impact of fatigue and insufficient sleep on physician and patient
outcomes : a systematic review. , hal.1–12.
Gigantesco, A., Sc, D. dan Picardi, A. 2003. Job Satisfaction Among Mental
Health Professionals in Rome , Italy. , 39(4), hal.349–355.
Ishak, W., Nikravesh, R., Lederer, S., Perry, R., Ogunyemi, D. dan
Bernstein, C. 2013. Burnout in medical students: A systematic review. Clinical
Teacher, 10(4), hal.242–245.
Israeli, I.N. 2001. Center for Work Safety and Human Engineering,
Technion - Israel Institute of Technology, Haifa,. , (1997), hal.357–362.
Janko, M.R., Smeds, M.R. dan Louis, S. 2018. Burnout , depression ,
perceived stress , and self-ef fi cacy in vascular surgery trainees. Journal of
Vascular Surgery, hal.1–10.
Kim, B., Lee, J. dan Lee, S.M. 2018. Relationships between social support
and student burnout : A meta ‐ analytic approach. , (January 2017), hal.127–134.
LaFaver, K., Miyasaki, J.M., Keran, C.M., Rheaume, C., Gulya, L., Levin,
K.H., Jones, E.C., Schwarz, H.B., Molano, J.R., Hessler, A., Singhal, D.,
Shanafelt, T.D., Sloan, J.A., Novotny, P.J., Cascino, T.L. dan Busis, N.A. 2018.
Age and sex differences in burnout, career satisfaction, and well-being in US
neurologists. Neurology, 91(20), hal.e1928–e1941.
Lailani, F. 2012. BURNOUT PADA PERAWAT DITINJAU DARI
EFIKASI DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL. , 1(1), hal.66–86.
Louis, K.S. 1998. Effects of Teacher Quality of Work Life in Secondary
Schools on Commitment and Sense of Efficacy. School Effectiveness and School
23

Improvement, 9(1), hal.1–27.


Meldrum, H. 2010. Exemplary physicians’ strategies for avoiding burnout.
Health Care Manager, 29(4), hal.324–331.
Moffat, K.J., Mcconnachie, A., Ross, S. dan Morrison, J.M. 2004.
Undergraduate medical education problem-based learning medical curriculum. ,
hal.482–491.
Muzafar, Y., Khan, H.H., Ashraf, H., Hussain, W., Sajid, H., Tahir, M.,
Rehman, A., Sohail, A., Waqas, A. dan Ahmad, W. 2015. Burnout and its
Associated Factors in Medical Students of Lahore, Pakistan. Cureus, 7(11).
Naczenski, L.M., Vries, J.D. De, Hooff, M.L.M. Van dan Kompier, M.A.J.
2017. Systematic review of the association between physical activity and burnout. ,
hal.477–494.
Ng, T.W.H., Sorensen, K.L. dan Eby, L.T. 2006. Locus of control at work :
a meta-analysis. , 1087(April), hal.1057–1087.
Ogresta, J., Rusac, S. dan Zorec, L. 2008. Relation Between Burnout
Syndrome and Job Satisfaction Among Mental Health Workers. , hal.364–374.
Olanrewaju, A.S. dan Chineye, O.J. 2013. Gender differences in burnout
among health workers in the Ekiti State University Teaching Hospital Ado-Ekiti.
International Journal of Social and Behavioural Sciences, 1(6), hal.112–121.
Oliva Costa, E., Santos, A., Abreu Santos, A., Melo, E. dan Andrade, T.
2012. Burnout Syndrome and associated factors among medical students: a cross-
sectional study. Clinics, 67(6), hal.573–579.
Pangastiti, N.K. 2014. Analisis Pengaruh Dukungan Sosial terhadap
Burnout pada Perawat. , hal.1–26.
Pérez-Mármol, J.M. dan Brown, T. 2018. An Examination of the Structural
Validity of the Maslach Burnout Inventory-Student Survey (MBI-SS) Using the
Rasch Measurement Model. Health Professions Education.
Rubino, C., Volpone, S.D. dan Avery, D.R. 2013. Gender in Management :
An International Journal Article information :
Salvagioni, D.A.J., Melanda, F.N., Mesas, A.E., González, A.D., Gabani,
F.L. dan De Andrade, S.M. 2017. Physical, psychological and occupational
24

consequences of job burnout: A systematic review of prospective studies. PLoS


ONE, 12(10), hal.1–29.
Santen, S.A., Holt, D.B., Kemp, J.D. dan Hemphill, R.R. 2010. Burnout in
medical students: Examining the prevalence and associated factors. Southern
Medical Journal, 103(8), hal.758–763.
Schaufeli, W.B. dan Salanova, M. 2011. Increase engagement , and enhance
performance ? A quasi-experimental study. , hal.339–355.
Shad, R., Thawani, R. dan Goel, A. 2015. Burnout and Sleep Quality : A
Cross- Sectional Questionnaire-Based Study of Medical and Non-Medical
Students in India. , 7(10).
Shoji, K., Cieslak, R., Smoktunowicz, E., Rogala, A., Benight, C.C. dan
Luszczynska, A. 2015. Associations between job burnout and self-efficacy: A
meta-analysis. Anxiety, Stress and Coping, 29(4), hal.367–386.
Souza, J.B.D. 2017. The Influence of Self-monitoring and Locus of Control
on Burnout of Thai Employees. , 17(1), hal.97–114.
Sunbul, A.M. 2003. An analysis of relations among locus of control,
burnout and job satisfaction in Turkish. , 47(I), hal.58–72.
Suraya, Wan, H. dan Yunus, Jamel, N. 2017. Self-Efficacy and Academic
Performance of Secondary Schools Students in Perak: An Exploratory Outlook.
International Journal of Academic Research in Progressive Education and
Development, 6(3).
Thomas, N.K. 2004. Resident Burnout. , 292(23).
Vela-bueno, A., Moreno-jiménez, B., Rodríguez-muñoz, A., Olavarrieta-
bernardino, S., Fernández-mendoza, J., José, J., Cruz-troca, D., Bixler, E.O. dan
Vgontzas, A.N. 2008. Insomnia and sleep quality among primary care physicians
with low and high burnout levels. , 64, hal.435–442.
Wilski, M., Chmielewski, B. dan Tomczak1, M. 2015. WORK LOCUS OF
CONTROL AND BURNOUT IN POLISH PHYSIOTHERAPISTS : THE
MEDIATING EFFECT OF COPING STYLES. , 28(5), hal.875–889.
Yang, H.J. 2004. Factors affecting student burnout and academic
achievement in multiple enrollment programs in Taiwan’s technical-vocational
25

colleges. International Journal of Educational Development, 24(3), hal.283–301.


Yao, Y., Zhao, S., Gao, X., An, Z., Wang, S., Li, H., Li, Y., Gao, L., Lu, L.
dan Dong, Z. 2018. General self-efficacy modifies the effect of stress on burnout
in nurses with different personality types. BMC Health Services Research, 18(1),
hal.1–9.
Zuger, A. 2004. Special report Dissatisfaction with Medical Practice. ,
hal.69–75.

You might also like