Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Bima Indra, S.Ked 04054821820031
Hilda Nadhila Hasbi,S.ked. 04054821820118
Muhammad Ma’ruf Agung, .Ked 04054821820143
Pembimbing
dr.Bintang Arroyantri, Sp.KJ.
Referat
Oleh:
Bima Indra, S.Ked 04054821820031
Hilda Nadhila Hasbi,S.ked 04054821820118
Muhammad Ma’ruf Agung, .Ked 04054821820143
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 April-
17 Mei.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Kejadian Burn Out pada Mahasiswa”.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Psikiatri RSUD Ernaldi Bahar Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Bintang
Arroyanti, Sp.KJ. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Burnout
2.1.1. Definisi Burnout
Burnout pada awalnya digunakan pada konteks pekerjaan tetapi
dalam perkembangannya burnout ini tidak hanya dialami oleh para pekerja
sosial, mahasiswa juga mengalami burnout. Meskipun pelajar tidak
memegang sebuah pekerjaan, namun dari perspektif psikologis aktivitas
yang mereka alami dapat dikatakan sebagai pekerjaan, misalnya menghadiri
kelas dan mengerjakan tugas-tugas untuk lulus dalam ujian sehingga
memperoleh gelar.
Burnout merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh
seorang ahli psikologi klinis, Herbert Freundenberger, pada tahun 1973.
Menurut Freudenberger, burnout adalah keadaan kelelahan mental dan fisik
yang disebabkan kehidupan profesi (Pangastiti, 2014). Definisi ini
disempurnakan oleh Maslach dkk. dimana burnout dianggap sebagai
sindrom multidimensional yang terdiri dari kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan rasa pencapaian diri (personal
accomplishment) (Salvagioni dkk, 2017). Definisi tersebut selanjutnya
dipergunakan secara luas, khususnya dalam bidang ilmu psikologi.
Burnout menurut Pines & Aronson didefinisikan sebagai “state of
physical, emotional and mental exhaustion that results from long-term
involvement with people in situations that are emotionally demanding”.
Dalam konteks belajar siswa, Schaufeli et al (2002) menjelaskan bahwa
burnout merujuk pada situasi perasaan keletihan dikarenakan tuntutan
belajar, memperlihatkan sikap sinis dan menghindari pada pembelajaran,
serta merasa tidak kompeten sebagai siswa. Kondisi burn out pada
mahasiswa dapat memicu keengganan untuk mengikuti kegiatan profesi,
rendahnya motivasi belajar, tingginya angka drop out, kecenderungan
4
b) Depersonalisasi (Depersonalization)
Depersonalisasi merupakan upaya untuk memberi jarak antara diri
sendiri dan orang lain melalui tindakan menghiraukan kualitas yang
membuat mereka unik dan menarik. Fenomena ini dapat terjadi sebagai
proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan
individu. Manifestasi depersonalisasi berupa sikap sinis terhadap orang-
orang yang berada dalam lingkup pekerjaan disertai kecenderungan
menarik diri serta mengurangi keterlibatan dalam bekerja. Perilaku
tersebut dikaitkan dengan upaya proteksi diri dari perasaan kecewa,
karena penderita menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu,
maka mereka akan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan
(Meldrum, 2010).
5
b. Efikasi diri
Efikasi diri adalah persepsi individu terhadap kemampuannya dalam
menjalankan suatu tugas atau tanggung jawab secara tepat dan efektif.
6
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi yang membuat
seorang individu percaya bahwa mereka dipedulikan, dicintai, dan dihargai
sehingga mereka mengambil peran dalam komunikasi dan tanggung jawab
bersama. Dukungan sosial yang baik terhadap seseorang berpengaruh baik
terhadap pencegahan kejadian burnout (Yang, 2004, Kim, Lee dan Lee,
2018).
Efek positif dukungan sosial dan keluhan burnout telah dibuktikan
melalui berbagai penelitian (Ben-zur dan Michael, 2007, Kim, Lee dan
Lee, 2018, Pangastiti, 2014). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut
juga telah dirumuskan dua model mekanisme yang diperkirakan berkaitan
dengan hubungan kedua fenomena tersebut, yaitu model hubungan
langsung dan model sawar (buffer effect). Model hubungan langsung
menyatakan bahwa dukungan sosial memiliki efek langsung terhadap
burnout. Sedangkan model sawar menyatakan bahwa dukungan sosial
berperan sebagai pelindung suatu individu terhadap kejadian burnout
(Taylor, 2011). Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kuat
cenderung lebih kebal terhadap burnout (Kim, Lee dan Lee, 2018). Salah
satu studi yang menguji hubungan antara social support dan burnout
adalah studi yang Ben-Zur dan Michael (2007) yang menemukan
dukungan sosial memiliki korelasi negatif terhadap dua komponen burnout
yaitu aspek depersonalisasi dan kelelahan emosional. Sejalan dengan
penemuan ini, meta-analisis oleh Kim dkk. (2018) menemukan hubungan
signifikan antara burnout pada siswa dan dukungan sosial yang dimiliki.
Siswa yang merasa burnout terhadap studi mereka cenderung berpikir
bahwa mereka kurang didukung oleh kolega mereka. Kim dkk. (2018)
menyatakan bahwa dukungan sosial berperan sebagai sawar terhadap stres
sehingga individu yang memiliki dukungan sosial yang tinggi, akan lebih
kebal terhadap stres.
8
d. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan segala gerakan yang dilaksanakan oleh otot
lurik yang membutuhkan energi. Berdasarkan meta-analisis oleh
Narckenski dkk. (2017), terdapat hubungan antara aktivitas fisik dan
burnout. Aktivitas fisik ditemukan dapat mengurangi kejadian burnout.
Beberapa mekanisme diajukan oleh para ahli untuk menjelaskan hubungan
antara aktivitas fisik dan burnout, yang secara besar dapat dibagi dua,
yaitu mekanisme psikologis dan fisiologis. Mekanisme psikologis
menyatakan bahwa aktivitas fisik yang rutin dilakukan dapat memfasilitasi
psychological detachment dari pekerjaan. Aktivitas fisik juga
meningkatkan self-efficacy sehingga pekerja akan merasa lebih percaya
diri dalam melakukan tugas-tugas mereka. Untuk mekanisme fisiologis,
dikatakan bahwa dengan aktivitas fisik rutin, seseorang mampu
menghadapi stres psikologis. Hal ini akan berdampak pada pemulihan
tubuh yang cepat setelah kejadian stres dan menurunkan risiko burnout.
Aktivitas fisik rutin juga dapat memicu perubahan neurotransmitter dan
neuromodulator sehingga terjadi peningkatan mood dan energi (Naczenski
dkk, 2017).
e. Kualitas tidur
Kualitas tidur merupakan karakteristik subjektif yang menandakan
tingkat kepuasan individu terhadap tidur mereka (Kozier, 2008; Ohayon
dkk, 2018). Berdasarkan penelitian oleh Ekstedt, dkk (2006) individu yang
mengalami burnout memiliki hasil polisomnografi yang lebih buruk
daripada individu yang tidak mengalami burnout. Individu yang memiliki
burnout memiliki rasa kantuk dan rasa lelah sepanjang hari. sehingga
penelitiannya menyimpulkan bahwa gangguan kualitas tidur dapat
memainkan peran dalam terjadinya burnout (Shad, Thawani dan Goel,
2015).
Gangguan kualitas tidur merupakan mekanisme yang mungkin
terjadi dalam proses perjalanan burnout, yang dimengerti sebagai deplesi
9
sumber daya diri secara kronik. Menurut pandangan ini, burnout adalah
sindrom yang dicirikan oleh deplesi energi fisik, emosi dan kognitif
sebagai konsekuensi dari stresor di tempat kerja. Konsep ini muncul dari
teori konservasi sumber daya (conservation of resources) yang
menyatakan secara insting, individu akan mencari dan mempertahankan
sumber daya, sementara stres adalah hasil dari ancaman terhadap sumber
daya, kegagalan mempertahankan sumber daya, atau kehilangan sumber
daya. Sumber daya tersebut adalah ciri diri, kondisi, atau energi yang
dianggap berharga oleh individu. Hal ini merupakan dasar kejadian
burnout akibat siklus kehilangan sumber daya bagi individu selama
periode waktu tertentu. Proses ini adalah sebuah “lingkaran setan” dimana
individu yang mengalami burnout dapat memperparah kehilangan sumber
daya mereka karena menghadapi stressor (Vela-bueno dkk, 2008). Studi
lain menemukan bahwa pada kesulitan tidur, terjadi gangguan aksis HPA
(Hypothalamus-Pituitary-Adrenal). Studi yang mencari hubungan antara
burnout dan kortisol menemukan hasil yang kontradiksi, beberapa
mengaitkan kejadian burnout dengan kortisol yang meningkat, penelitian
lain mengaitkannya dengan kadar kortisol yang menurun (Åkerstedt,
Perski dan Kecklund, 2010). Kesimpulannya, disregulasi aksis HPA dapat
ditemukan pada individu yang mengalami burnout dan gangguan kualitas
tidur (Vela-bueno dkk, 2008).
g. Locus of control
Locus of control merupakan bagian kepribadian yang dikaitkan
dengan ekspektasi seseorang terhadap kemampuannya dalam mengontrol
nasib diri sendiri. Orang-orang yang memiliki ekspektasi bahwa mereka
dapat mengatur nasib disebut dengan internal, sedangkan orang dengan
ekspektasi bahwa kekuatan di luar daya mereka atau keberuntungan yang
mengatur nasib disebut dengan eksternal (Sunbul, 2003).
Individu dengan locus of control yang berbeda juga memiliki
perbedaan sikap dalam menyikapi permasalahan. Individu dengan internal
locus of control memiliki kencenderungan untuk bersifat proaktif dan
berusaha menemukan solusi terhadap suatu masalah dibandingkan dengan
penganut paham external yang berusaha menghindari konflik. Walaupun
dihadapkan pada situasi yang sama, individu dengan internal locus of
control mampu mengambil tindakan untuk mengatasi stres kerja sehingga
mengalami kejadian burnout yang lebih sedikit. Hal ini didasari
kemampuan orang-orang dengan karakteristik internal untuk menghadapi
11
2.1.4. Diagnosis
Kelelahan emosional, gangguan fungsi kognitif, penurunan
pencapaian/ pemenuhan pribadi, peningkatan tanda distress emosional,
distress interpersonal, gangguan penampilan perilaku, peningkatan gejala
fisik, organizational distress. Peneliti medis sering menggunakan Maslach
Burnout Inventory (MBI) untuk mengukur derajat burnout pada seseorang
dan acuan "gold standart". MBI mengandung 3 dimensi yang terdiri dari
exhaustion, cynicism, inafficacy. Schaufeli et al (2001) menggunakan
neurasthenia, sebagaimana didefinisikan dalam International Classification
of Diseases (ICD-10, 1994) setara dengan burnout yang parah . Menurut
ICD-10, diagnosis neurasthenia (kode F43.8) harus memenuhi:
- Peningkatan kelelahan atau kelemahan yang persisten setelah
usaha (mental) yang minimal
- Sedikitnya terdapat 2 dari 7 gejala distres seperti mudah marah
dan ketidakmampuan untuk bersantai
- Tidak adanya gangguan lain seperti gangguan mood atau
gangguan kecemasan.
Dalam sistem ICD-10, diagnostik burnout juga ditempatkan dalam
kategori "masalah yang berkaitan dengan kesulitan pengelolaan
kehidupan" (kode Z73.0) dan digambarkan sebagai "keadaan kelelahan
vital", Kriterianya adalah: (Departemen Kesehatan RI Jendral Pelayanan
Medik, 1993)
Gejala kelelahan fisiologis atau mental selama setidaknya 2
minggu.
Berkurangnya energi dan timbulnya gejala seperti kesulitan
berkonsentrasi, penurunan kemampuan untuk mengatasi stres,
mudah tersinggung atau ketidakstabilan emosional, gangguan tidur,
nyeri otot, pusing atau jantung berdebar-debar.
12
b. Gejala psikologis
Untuk gejala psikologis dari burnout dicirikan oleh rasa lelah atau deprsi
dan dapat dibagi menjadi
Kelelahan emosional yang melibatkan perasaan apati, tidak
berdaya, dan terkekang. Hal ini ditemani oleh freefloating anxiety,
yang bermanifestasi menjadi rasa cemas, dan nervous. Rasa putus
asa yang mendalam menyebabkan kekurangan energi emosi, yang
14
c. Gejala perilaku
Perubahan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan berupa penurunan
efisiensi kerja (kuantitatif dan kualitatif), datang terlambat, tidak hadir,
gangguan hubungan interpersonal didalam pekerjaan, dll. Bukti empiris
menunjukkan adanya perubahan kualitas dan frekuensi interaksi antara
klien dan teman sejawat. Terdapat perubahan hubungan keluarga dan
sosial juga. Perilaku konsumtif seperti merokok dan peningkatan
penggunaan alcohol dan obat-obatan telah dilaporkan sebagai tanda
burnout 20
b. Manifestasi fisik
Keluhan fisik yang sering timbul seperti sakit kepala, mual, sakit
pada otot-otot terutama pada punggung, masalah seksual, gangguan
tidur, hilangiya nafsu makan. Manifestasi fisik y ㎎ tipikal adalah
keletihan yang kronis. Gangguan fisik yang sering pula terjadi adalah
menderita flu yang tidak kunjung sembuh.
c. Manifestasi perilaku
Manifestasi perilaku individu terutama disebabkan karena
meningkatnya level of arousal seperti hiperaktivitas, perilaku kasar.
Meningkatnya konsumsi stimulan seperti kopi dan alkohol.
d. Manifestasi sosial
Masalah interpersonal ingkungan kerja dapat terjadi terhadap
penderita, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami
burnout dapat membawa masalah ditempat kerja ke rumah. Yang oleh
Jackson dan Maslach disebut dengan negatif spillover. Tipikal Individu
yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan
lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
16
e. Manifestasi sikap
Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan
interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan atau organisasi.
Sikap negatif dalam hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak
berperasaan (callous), memisahkan diri (detached), acuh tak acuh
(indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan karakteristik
yang paling sering muncul pada penderita burnout.
f. Manifestasi organisasi
Burnout dapat memperburuk kualitas kerja (Schultz dan Schultz
1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan,
turn over tinggi, dan juga absen. Serta rendahnya produktivitas kerja
(Schaufell dan Buunk, 1996) menambahkan bahwa burnout dapat
menimbulakrn masalah bagi organisasi atau perusahaan kerena simtom
burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, fustasi,
penurunan semangat kerja, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu.
Simptom ini sering juga disertai dengan munculnya simptom fisik.
Schultz (2010) menyatakan sikap negatif yang dapat berkembang adalah individu
yang cendering bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti peraturan dan prosedur
kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan untuk bersikap
fleksibel terhadap pendekatan-pendekatan alternatif.
Kejadian Burnout memiliki dampak yang dapat menimbulkan kerugian
bagi perusahaan, instansi maupun organisasi seperti menurunnya prestasi pekerja
(Kounenou, 2012), meningkatnya kecelakaan (Enache, 2013), absensi pekerja
semakin meningkat (Hallsten, dkk., 2011), ketidakpuasan dalam bekerja (Ogresta,
dkk., 2008), rotasi kerja dan perubahan pekerjaan terus meningkat, menurunnya
kualitas kerja pekerja (Payami, 2002), serta menurunnya kepuasaan pelanggan. Di
Finlandia pekerja mengalami penurunan level kepuasan kerja sehingga
menimbulkan banyak terjadi kecelakaan dan kecelakaan tersebut lebih banyak
tergolong dalam kecelakaan berat. Burnout menimbulkan insiden, baik itu unsafe
act maupun unsafe condition (Greenberg, 2002)
yang signifikan dalanm cara kerja maka perlu adanya pemahaman tentang
konsekuensi perubahan organisasi tersebut. Berbagai macam cara
intervensi diantaranya yaitu pelatihan terhadap stres, relaksasi, manajemen
waktu, pelatihan dalam kerampilan interpersonal dan sosial, team building.
manajemen tuntutan profesional, dan meditasi.
Terdapat bukti bahwa pendekatan individu dapat menurukan
burnout dan stres ditempat kerja. Salah satu metanalisis mengenai
intervensi di tempat kerja untuk menurunkan stress menunjukkan dampak
kecil namun positif dari program yang target nya perorangan. Sebagai
contoh, terdapat bukti bahwa pelatihan staf dapat efektif dalam mencegah
gejala burnout. Hal ini bisa melibatkan kurus kesadaran stress dengan
fokus pada mengatasi masalah. Pendekatan individu lain seperti cognitive
behavioural therapy menunjukkan dampak positif dan memiliki dampak
yang lebih besar daripada intervensi tempat kerja lain seperti relaksasi dan
meditasi. Mindfulness based interventio juga ditemukan efektif dalam
menurunankan efek negatif psikologis di lingkungan pekerjaan. Namun
belum ada bukti yang menunjukkan intervensi ini lebih efektif daripada
manajemen stres lain seperti relaksasi atau yoga 23.
BAB III
KESIMPULAN
Åkerstedt, T., Perski, A. dan Kecklund, G. 2010. Sleep, Stress, and Burnout.
Principles and Practice of Sleep Medicine: Fifth Edition, hal.814–821.
Ali, M., Fahim, H., Jafari, R. dan Zohoorian, Z. 2012. Relationship between
physical activity and it ’ s components with burnout in academic members of
Daregaz Universities. , 46, hal.4291–4294.
Almeida, G. de C., Souza, H.R. de, Almeida, P.C. de, Almeida, B. de C. dan
Almeida, G.H. 2016. The prevalence of burnout syndrome in medical students.
Revista de Psiquiatria Clinica, 43(1), hal.6–10.
Aparecido, R., Paiva, C.E., De, M.A., Tavares, H., Fregnani, G., Lucchetti,
G. dan Paiva, S.R. 2018. Burnout among medical students during the first years of
undergraduate school : Prevalence and associated factors. , hal.1–15.
Bekker, M.H.J., Croon, M.A. dan Bressers, B. 2005. Work & Stress : An
International Journal of Work , Health & Organisations Childcare involvement ,
job characteristics , gender and work attitudes as predictors of emotional
exhaustion and sickness absence. , (October 2014), hal.37–41.
Ben-zur, H. dan Michael, K. 2007. Social Work in Health Care Burnout ,
Social Support , and Coping at Work Among Social Workers , Psychologists , and
Nurses. , (January 2015).
Caccese, T.M. dan Mayerberg, C.K. 1984. Gender Differences in Perceived
Burnout of College Coaches. Journal of Sport Psychology, 6(3), hal.279–288.
Cetinkaya, F., Akbulut, Z., Dur, N., Eryalçin, Ö. dan Korkmaz, M. 2017.
Analysis of Job Satisfaction and Burnout Level of Nurses in Different
Generations. International Journal of Caring Science, 10(3), hal.1507–1513.
Dyrbye, L.N., Thomas, M.R., Harper, W., Massie, F.S., Power, D. V.,
Eacker, A., Szydlo, D.W., Novotny, P.J., Sloan, J.A. dan Shanafelt, T.D. 2009.
The learning environment and medical student burnout: A multicentre study.
Medical Education, 43(3), hal.274–282.
Dyrbye, L.N., Thomas, M.R. dan Shanafelt, T.D. 2006. Systematic Review
of Depression , Anxiety , and Other Indicators of Psychological Distress Among
21
22