You are on page 1of 27

Hematuria

Hematuria adalah adanya darah dalam urin; lebih dari tiga sel darah merah
(RBC) per lapang pandang besar mikroskopis (HPF) bernilai signifikan. Pasien-
pasien dengan gross hematuria atau hematuria makroskopis biasanya merasa takut
akan adanya darah dengan onset tiba-tiba didalam urin dan seringkali datang ke
departemen kegawatdaruratan untuk evaluasi, takut bahwa mereka mungkin akan
mengalami perdarahan secara berlebihan. Hematuria derajat berapapun tidak
pernah boleh diabaikan dan pada orang dewasa harus dianggap sebagai gejala
keganasan urologi hingga terbukti sebaliknya. Dalam mengevaluasi hematuria,
beberapa pertanyaan harus selalu ditanyakan, dan jawabannya akan
memungkinkan ahli urologi untuk menargetkan evaluasi diagnostik selanjutnya
secara efisien.
Apakah hematuria bersifat makroskopis atau mikroskopis?
Pada waktu kapan hematuria terjadi (awal atau akhir pancaran atau selama
keseluruhan pancaran)?
Apakah hematuria berkaitan dengan nyeri?
Apakah pasien mengeluarkan bekuan darah?
Jika pasien mengeluarkan bekuan darah, apakah bekuan memiliki bentuk yang
spesifik?

Hematuria makroskopis berbanding mikroskopis. Signifikansi hematuria


makroskopis berbanding mikroskopis sederhananya adalah bahwa peluang untuk
mengidentifikasi patologi yang signifikan meningkat sejalan dengan derajat
hematuria. Oleh karena itu pasien-pasien dengan hematuria makroskopis biasanya
memiliki patologi mendasari yang dapat diidentifikasi; sementara itu cukup sering
pasien-pasien dengan hematuria mikroskopis derajat minimal menunjukkan hasil
evaluasi urologi yang negatif.
Waktu hematuria. Waktu hematuria selama berkemih seringkali menunjukkan
tempat asalnya. Hematuria di awal biasanya berasal dari uretra; ini terjadi paling
jarang dan biasanya disebabkan oleh inflamasi. Hematuria total paling sering
terjadi dan menunjukkan bahwa perdarahan paling berkemungkinan berasal dari
buli atau traktus urinarius atas. Hematuria terminal terjadi pada akhir mikturisi
dan biasanya disebabkan oleh inflamasi di area leher buli atau uretra pars
prostatika. Kelainan ini terjadi pada akhir miksturisi saat leher buli berkontraksi,
yang memeras sejumlah urin yang terakhir untuk keluar.
Hubungan dengan nyeri. Hematuria, meskipun menakutkan, biasanya
tidak menyakitkan, kecuali jika berkaitan dengan inflamasi atau obstruksi. Oleh
karena itu pasien-pasien dengan sistitis atau hematuria sekunder mungkin
mengalami gejala iritatif urin yang menyakitkan, namun nyerinya biasanya tidak
memburuk dengan keluarnya bekuan. Yang paling sering terjadi adalah, nyeri
yang berkaitan dengan hematuria biasanya terjadi akibat hematuria traktus
urinarius atas dengan obstruksi ureter oleh bekuan. Keluarnya bekuan ini
dapat berkaitan dengan nyeri pinggang berat dan kolik yang serupa dengan yang
disebabkan oleh batu uretra, dan ini membantu mengidentifikasi sumber
hematuria.
American Urological Association (AUA) telah mempublikasikan pedoman
mengenai pasien-pasien dengan mikrohematuria asimptomatik (AMH), yang
didefinisikan sebagai adanya tiga atau lebih RBC per HPF dalam keadaan tidak
adanya penyebab jinak yang jelas. Penentuan AMH harus didasarkan pada
pemeriksaan mikroskopis, bukan pemeriksaan urin dengan dipstik. Anamnesis
yang seksama, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab AMH yang jinak, seperti infeksi, penyakit ginjal
medis, dan yang lain-lain. Ketika penyebab-penyebab ini disingkirkan, evaluasi
urologi yang mencakup pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan. Jika faktor-
faktor seperti RBC yang dismorfik, proteinuria, casts, atau insufisiensi renal
ditemukan, pemeriksaan nefrologi harus dipertimbangkan selain evaluasi urologi.
AMH yang terjadi pada pasien-pasien yang mendapatkan antikoagulasi masih
membutuhkan evaluasi urologi.
Evaluasi pasien yang berusia lebih dari 35 tahun dengan AMH harus
mencakup sistoskopi, yang bersifat opsional pada pasien yang lebih muda.
Namun, semua pasien harus menjalani sistoskopi jika faktor risiko seperti gejala-
gejala berkemih iritatif, konsumsi tembakau atau paparan kimia ditemukan.
Evaluasi radiologi harus dilakukan dalam evaluasi awal, dan prosedur pilihannya
adalah CT urografi multifasik dengan dan tanpa kontrast IV. Urografi resonansi
magnetik, dengan atau tanpa kontrast IV, merupakan alternatif yang dapat
diterima pada pasien-pasien yang tidak dapat menjalani CT scan multifasik.
Dalam kasus dimana rincian sistem pengumpul dibutuhkan, CT, MRI nonkontrast
atau ultrasonografi renal dengan pielogram retrograde merupakan alternatif yang
dapat diterima jika terdapat kontraindikasi terhadap penggunaan kontrast IV.
Modalitas-modalitas yang tidak direkomendaiskan dalam evaluasi rutin
terhadap pasien-pasien dengan AMH diantaranya adalah sitologi urin, penanda
urin, dan sistoskopi blue light. Namun, sitologi mungkin membantu pada pasien-
pasien yang dengan AMH persisten setelah pemeriksaan yang negatif atau mereka
yang dengan faktor risiko lain untuk karsinoma in situ, seperti gejala berkemih
iritatif, konsumsi tembakau, atau paparan kimia. Untuk pasien-pasien dengan
AMH yang persisten, urinalisis setiap tahun harus dilakukan. Adanya dua analisis
tahunan yang negatif secara berturut-turut menunjukkan bahwa tidak dibutuhkan
lagi urinalisis lebih lanjut untuk tujuan ini. Untuk pasien-pasien dengan AMH
persisten atau rekuren, evaluasi ulangan dalam waktu 3 hingga 5 tahun harus
dipertimbangkan.

Adanya bekuan. Adanya bekuan biasanya menunjukkan suatu derajat hematuria


yang lebih signifikan, dan demikian pula, kemungkinan mengidentifikasi patologi
urologi yang signifikan akan meningkat.

Bentuk bekuan. Biasanya, jika pasien mengeluarkan bekuan, bekuan ini


berbentuk amorfous dan bersumber dari buli atau uretra prostatika. Namun,
adanya bekuan vermiformis (menyerupai cacing), terutama jika berkaitan dengan
nyeri pinggang, mengidentifikasi bahwa hematuria berasal dari traktus urinarius
atas dengan pembentukan bekuan vermiformis didalam ureter.
Tidak dapat ditekankan dengan cukup kuat bahwa hematuria, terutama pada
orang dewasa, harus dianggap sebagai gejala keganasan hingga terbukti tidak dan
membutuhkan pemeriksaan urologi segera. Pada pasien yang datang dengan
hematuria makroskopis, sistoskopi harus dilakukan sesegera mungkin karena
seringkali sumber perdarahan dapat diidentifikasi dengan mudah. Sistoskopi akan
menentukan apakah hematuria berasal dari uretra, buli, atau traktus urinarius atas.
Pada pasien-pasien dengan dengan hematuria makroskopis yang berasal dari
saluran bagian atas atas, mudah untuk melihat pancaran urin yang merah yang
berdenyut yang keluar dari orifisium uretra yang terlibat.
Meskipun kondisi inflamasi dapat menyebabkan hematuria, semua pasien
dengan hematuria, kecuali kemungkinan wanita muda dengan sistitis hemoragik
bakterial akut, harus menjalani evaluasi urologi. Wanita dan pria usia lanjut yang
datang dengan hematuria dan gejala-gejala berkemih iritatif mungkin mengalami
sistitis akibat infeksi yang muncul pada tumor buli nekrotik atau, yang lebih
sering, karsinoma buli flat in situ. Penyebab tersering hematuria makroskopis
pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun adalah kanker buli.

Gejala traktus urinarius bawah


Gejala-gejala iritatif. Frekuensi merupakan salah satu gejala-gejala urologi
yang paling sering ditemukan. Orang dewasa normal berkemih lima atau enam
kali perhari, dengan volume sebesar sekitar 300 ml, pada setiap kali berkemih.
Frekuensi urin disebabkan oleh apakah itu peningkatan output urin (poliuria) atau
penurunan kapasitas buli. Jika berkemih dinyatakan terjadi dalam jumlah yang
besar dengan frekuensi yang sering, pasien mengalami poliuria dan harus
dievaluasi untuk diabetes melitus, diabetes insipidus, atau konsumsi cairan yang
berlebihan. Penyebab penurunan kapasitas buli mencakup obstruksi outlet buli
dengan penurunan komplians, peningkatan residu urin, dan/atau penurunan
kapasitas fungsional karena iritasi, buli neurogenik dengan peningkatan
sensitivitas dan penurunan komplians, tekanan dari sumber ekstrinsik, atau
kecemasan. Dengan memisahkan gejala iritatif dari obstruktif, dokter yang cerdik
harus mampu mencapai suatu diagnosis banding yang sesuai.
Nocturia adalah frekuensi nokturnal. Normalnya, orang dewasa bangun
tidak lebih dari dua kali di malam hari untuk berkemih. Sama halnya dengan
frekuensi, nokturia mungkin disebabkan oleh peningkatan output urin atau
penurunan kapasitas buli. Frekuensi selama siang hari tanpa nokturia biasanya
berasal dari psikogenik dan berkaitan dengan kecemasan. Nokturia tanpa
frekuensi dapat terjadi pada pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif dan
edema perifer yang mana volume intravaskular dan output urin meningkat ketika
pasien dalam posisi supinasi. Kemampuan mengonsentrasikan urin menurun
sejalan dengan bertambahnya usia; oleh karena itu produksi urin pada pasien
geriatri meningkat di malam hari, ketika aliran darah ginjal meningkat sebagai
akibat dari rekumbensi. Secara umum, nokturia dapat dikaitkan dengan poliuria
nokturnal (produksi urin nokturnal yang berlebihan) dan/atau penurunan kapasitas
buli nokturnal (Weiss dan Blaivas, 2000). Nokturia mungkin juga terjadi pada
orang yang meminum sejumlah besar cairan di malam hari, terutama minuman
yang berkafein dan beralkohol, yang memiliki efek diuretik yang kuat. Dalam
keadaan tidak adanya faktor-faktor ini, nokturia menandakan suatu masalah
dengan fungsi buli akibat obstruksi outlet urin dan/atau penurunan komplians buli.
Disuria adalah urinasi yang terasa menyakitkan yang biasanya disebabkan
oleh inflamasi. Nyeri ini biasanya tidak terasa disekitar buli namun biasanya
dialihkan ke meatus uretra. Nyeri yang terjadi pada awal berkemih dapat
menunjukkan patologi uretra, sementara nyeri yang terjadi pada akhir mikturisi
(strangury) biasanya berasal dari buli. Disuria seringkali disertai dengan frekuensi
dan urgensi.
Gejala-gejala obstruktif. Penurunan daya dorong berkemih biasanya
disebabkan oleh obstruksi outlet buli dan biasanya terjadi akibat hiperplasia
prostat jinak (BPH) atau striktur uretra. Faktanya, kecuali untuk derajat obstruksi
yang berat, sebagian besar pasien tidak menyadari perubahan dalam dorongan dan
besarnya kaliber pancaran urin mereka. Perubahan ini biasanya terjadi secara
perlahan dan secara umum tidak disadari oleh sebagian besar pasien. Gejala-gejala
obstruktif lain yang disebutkan kemudian lebih sering disadari dan biasanya
akibat obstruksi outlet buli pada pria karena apakah itu BPH ataukah striktur
uretra.
Hesistansi urin mengacu pada penundaan dalam memulai mikturisi.
Normalnya, berkemih dimulai dalam waktu satu detik setelah merelaksasi sfingter
urin, namun ini mungkin tertunda pada pria dengan obstruksi outlet buli.
Intermitensi mengacu pada pemulaian-penghentian pancaran urin secara
tidak sadar. Kelainan ini paling sering terjadi akibat obstruksi prostat dengan
oklusi intermiten dalam pancaran urin oleh lobus prostat lateral.
Tetesan postvoid mengacu pada pelepasan tetesan urin terminal pada akhir
mikturisi. Hal ini disebabkan oleh sejumlah kecil urin sisa pada apakah itu uretra
pars bulbaris atau pars prostatika yang normalnya “terperah kembali kebelakang”
kedalam buli pada akhir mikturisi (Stephenson dan Farrar, 1977). Pada pria
dengan obstruksi outlet buli, urin ini keluar kedalam uretra bulbaris dan tetap
keluar pada akhir mikturisi. Pria akan sering mencoba untuk menghindari
menyebabkan kelembaban pada pakaian mereka dengan menggoyangkan penis
pada akhir berkemih. Faktanya, ini tidak efektif, dan masalahnya lebih mudah
diatasi dengan kompresi manual uretra pars bulbaris pada perineum dan
mengeringkan meatus uretra dengan tissue. Tetesan postvoid seringkali
merupakan gejala awal obstruksi uretra yang berkaitan dengan BPH, namun,
dalam keadaan itu sendiri, jarang membutuhkan penatalaksanaan lebih lanjut.
Straining atau pengedanan mengacu pada penggunaan struktur otot
abdomen untuk berkemih. Normalnya, tidak dibutuhkan pada pria untuk
melakukan manuver Valsava pada akhir berkemih. Peningkatan peneranan selama
mikturisi merupakan gejala obstruksi outlet buli.
Penting bagi ahli urologi untuk membedakan gejala iritatif dari gejala
traktus urinarius bawah obstruktif. Ini paling sering terjadi dalam mengevaluasi
pria dengan BPH. Meskipun BPH terutama bersifat obstruktif, ini menghasilkan
perubahan dalam komplians buli yang menyebabkan peningkatan gejala-gejala
iritatif. Faktanya, pria dengan BPH lebih sering datang dengan gejala-gejala
iritatif dibandingkan obstruktif, dan gejala yang paling sering terlihat adalah
nokturia. Ahli urologi harus berhati-hati untuk tidak mengaitkan gejala iritatif ke
BPH kecuali terdapat bukti obstruksi yang terdokumentasi. Secara umum, gejala-
gejala traktus urinarius bawah bersifat nonspesifik dan mungkin terjadi akibat
serangkaian luas kelainan neurologi, serta dengan pembesaran prostat (Lepor dan
Machi, 1993). Berkenaan dengan hal ini, dua contoh yang penting disebutkan.
Pasien-pasien dengan karsinoma buli flat high grade in situ dapat datang dengan
gejala-gejala berkemih iritatif. Ahli urologi harus sangat mewaspadai diagnosis
karsinoma in situ pada pria yang datang dengan gejala iritatif, riwayat merokok
tembakau, dan hematuria mikroskopis. Dalam pengalaman pribadi kami, kami
merawat pria yang berusia 54 tahun yang datang dengan riwayat ini dan diobati
untuk BPH selama 2 tahun sebelum diagnosis kanker ditegakkan. Ketika
diagnosis yang tepat telah ditegakkan, pasien telah mengalami penyakit invasif
otot dan membutuhkan sistektomi untuk kesembuhan.
Contoh penting kedua adalah gejala-gejala iritatif yang terjadi akibat
penyakit neurologi seperti kelainan serebrovaskular, diabetes melitus, dan
penyakit Parkinson. Sebagian besar penyakit neurologi yang ditemukan oleh ahli
urologi memiliki etiologi berupa kelainan upper motor neuron dan menyebabkan
hilangnya inhibisi kortikal berkemih dengan akibat penurunan komplians buli dan
gejala-gejala berkemih iritatif. Ahli urologi harus sangat berhati-hati untuk
menyingkirkan penyakit neurologi yang mendasari sebelum melakukan operasi
untuk mengurangi obstruksi outlet buli. Operasi tersebut tidak hanya mungkin
gagal untuk meredakan gejala-gejala iritatif pasien namun juga mungkin
menyebabkan inkontinensia urin permanen.
Semenjak perkenalan pada tahun 1992, indeks gejala AUA telah digunakan
secara luas dan divalidasi sebagai cara yang penting untuk menilai pria dengan
gejala traktus urinarius bawah (Barry dkk, 1992). Skor gejala AUA yang asli
didasarkan pada jawaban terhadap tujuh pertanyaan berkenaan dengan frekuensi,
nokturia, pancaran urin yang lemah, hesistansi, intermittensi, pengosongan buli
yang tidak sempurna, dan urgensi. Skor Gejala Prostat Internasional (I-PSS)
mencakup tujuh pertanyaan ini, serta pertanyaan kualitas hidup global (Tabel 1-1).
Skor gejala total berkisar dari 0 hingga 35 dengan skor sebesar 0 hingga 7, 8
hingga 19 dan 20 hingga 35 yang menunjukkan gejala traktus urinarius bawah
yang ringan, sedang dan berat, secara berturut-turut.
Tabel 1 – 1 Skor Gejala Prostat Internasional

I-PSS merupakan alat yang membantu baik dalam manajemen klinis


terhadap pria dengan gejala-gejala traktus urinarius bawah maupun dalam
penelitian-penelitian yang berkenaan dengan penatalaksanaan medis dan
pembedahan terhadap pria dengan disfungsi berkemih.
Penggunaan indeks gejala memiliki keterbatasan, dan penting bagi para
dokter untuk berdiskusi mengenai respon pasien dengannya. Telah diperlihatkan
bahwa tingkat kemampuan pembacaan derajat 6 dibutuhkan untuk memahami I-
PSS, dan sebagian pasien dengan penyakit neurologi dan demensia mungkin juga
memiliki kesulitan dalam melakukan pengisian skor gejala (MacDiarmid dkk,
1998). Selain itu, skor gejala dan gejala obstruktif dan iritatif bersifat nonspesifik,
dan gejala-gejala ini mungkin disebabkan oleh beragam kondisi selain BPH. Skor
gejala yang serupa telah terlihat ditemukan pada pria dan wanita dengan usia yang
telah dicocokkan dengan usia antara 55 dan 79 tahun (Lepor dan Machi, 1993).
Meskipun terdapat keterbatasan ini, I-PSS merupakan tambahan yang sederhana
dalam menilai pria dengan gejala traktus urinarius bawah dan mungkin digunakan
dalam evaluasi awal pria dengan gejala-gejala traktus urinarius bawah, serta
dalam penilaian respon penatalaksanaan.
Inkontinensia. Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin secara tidak
sadar. Anamnesis yang seksama terhadap pasien yang mengalami inkontinensia
seringkali dapat menentukan etiologinya. Inkontinensia urin dapat dibagi kembali
menjadi empat kategori.
Inkontinensia kontinyu. Inkontinensia kontinyu paling sering disebabkan
oleh fistula traktus urinarius yang melewati sfingter uretra. Tipe fistula yang
paling sering yang menyebabkan inkontinensia urin adalah fistula vesikovaginal
yang biasanya disebabkan oleh operasi ginekologi, radiasi, atau trauma obstetri.
Yang lebih jarang, fistula ureterovagina yang dapat terjadi dari penyebab yang
serupa.
Penyebab kedua tersering inkontinensia kontinyu adalah suatu ureter
ektopik yang memasuki apakah itu uretra atau traktus genitalia perempuan. Ureter
ektopik biasanya mengeluarkan cairan dari segmen ginjal bagian atas dan kecil
yang mengalami displastik, dan jumlah kebocoran urin mungkin ada dalam
jumlah yang cukup sedikit. Pasien-pasien seperti itu mungkin mengeluarkan
sebagian besar urin mereka secara normal namun mengalami kebocoran urin
dalam jumlah yang kecil secara kontinyu yang mungkin salah didiagnosis selama
beberapa tahun sebagai discharge vaginal kronis. Dalam pengalaman kami, kami
merawat wanita yang berusia 30 tahun yang salah didiagnosis sebagai enuresis di
masa kanak dan mengalami discharge vagina kronis di kehidupan dewasa – yang
kebocoran urinnya dapat dikoreksi dengan pengangkatan segmen bagian atas
ginjal kanan displastiknya secara pembedahan dengan sempurna. Ureter ektopik
tidak pernah menyebabkan inkontinensia urin pada pria karena ureter ini selalu
memasuki kolumna buli atau uretra pars prostatika yang terletak di proksimal
sfingter uretra eksternal.
Inkontinensia tekanan Inkontinensia tekanan mengacu pada kebocoran urin
secara tiba-tiba saat batuk, bersin, latihan, atau aktivitas lain yang meningkatkan
tekanan intraabdominal. Selama aktivitas ini, tekanan intraabdomen meningkat
secara sementara diatas tahanan uretra, yang menyebabkan kebocoran urin secara
tiba-tiba yang biasanya dalam jumlah yang kecil. Inkontinensia tekanan paling
sering ditemukan pada wanita setelah usia reproduktif atau menopause yang
berkaitan dengan hilangnya penyokong vagina anterior dan kelemahan jaringan
pelvis. Inkontinensia tekanan juga teramati pada pria setelah operasi prostat, yang
paling sering adalah prostatektomi radikal, yang mana mungkin terdapat cedera
pada sfingter uretra eksternal. Inkontinensia tekanan sulit untuk diobati secara
farmakologi, dan pasien dengan inkontinensia tekanan yang signifikan biasanya
paling baik diobati secara pembedahan.
Inkontinensia urgensi. Inkontinensia urgensi merupakan keluarnya urin
secara cepat yang disebabkan oleh keinginan yang kuat untuk berkemih. Gejala
ini seringkali teramati pada pasien-pasien dengan sistitis, neurogenic bladder, dan
obstruksi outlet buli lanjut akibat kehilangan komplians buli sekunder. Penting
untuk membedakan inkontinensia urgensi dari inkontinensia stres untuk dua
alasan. Pertama, inkontinensia urgensi mungkin disebabkan oleh proses patologi
sekunder yang mendasari, yang harus diidentifikasi; penatalaksanaan masalah
primer ini seperti infeksi atau obstruksi outlet buli dapat menyebabkan resolusi
inkontinensia urgensi. Kedua, pasien dengan inkontinensia urgensi biasanya tidak
memenuhi persyaratan untuk koreksi secara pembedahan, namun, sebaliknya
lebih tepat diobati dengan agen-agen farmakologi yang meningkatkan komplians
buli dan/atau meningkatkan resistensi uretra.
Inkontinensia urin overflow. Inkontinensia urin overflow, yang disebut
inkontinensia paradoksikal, disebabkan oleh retensi urin dan volume residu urin
yang tinggi. Pada pasien-pasien ini, buli terdistensi secara kronis dan tidak pernah
kosong secara sempurna. Urin mungkin menetes keluar dalam jumlah yang kecil
karena buli mengandung urin yang berlimpah. Ini terutama kemungkinan besar
terjadi pada malam hari ketika pasien cenderung berkemungkinan kecil untuk
menghambat kebocoran urin. Inkontinensia overflow telah dinamai sebagai
inkontinensia paradoksikal karena kelainan ini seringkali dapat disembuhkan
dengan mengurangi obstruksi outlet buli. Namun, seringkali sulit untuk
menegakkan diagnosis inkontinensia overflow dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik saja, terutama pada pasien-pasien obesitas, yang mana perkusi buli yang
mengalami distensi mungkin sulit dilakukan. Inkontinensia overflow biasanya
terjadi selama lama waktu yang cukup panjang, dan pasien-pasien mungkin benar-
benar tidak menyadari pengosongan buli yang tidak sempurna. Oleh karena itu
pasien apapun dengan inkontinensia yang signifikan harus menjalani pengukuran
urin residu postvoid.
Eneuresis. Eneuresis mengacu pada inkontinensia urin yang terjadi selama
tidur. Kelainan ini terjadi normalnya pada anak-anak yang berusia hingga 3 tahun
namun tetap ada pada sekitar 15% anak pada usia 5 tahun dan sekitar 1% anak
yang berusia 15 tahun (forsythe dan Redmond, 1974). Enuresis harus dibedakan
dari inkontinensia kontinyu, yang terjadi di siang hari dan malam hari dan yang
pada anak perempuan muda, biasanya menunjukkan adanya ureter ektopik. Semua
anak yang berusia diatas 6 tahun dengan enuresis harus menjalani evaluasi
urologi, meskipun sebagian besar akan ditemukan tidak memiliki kelainan urologi
yang signifikan.
Disfungsi seksual
Disfungsi seksual pria seringkali digunakan secara bergantian dengan
impotensi atau disfungsi ereksi, meskipun impotensi mengacu secara spesifik
pada ketidakmampuan untuk mencapai dan mempertahankan ereksi yang adekuat
untuk hubungan seksual. Pasien-pasien yang datang dengan “impotensi” harus
ditanyakan secara hati-hati untuk menyingkirkan gangguan seksual pria lainnya,
termasuk hilangnya libido, tidak adanya pemancaran, tidak adanya orgasme, dan
yang paling sering, ejakulasi prematur. Penting untuk mengidentifikasi masalah
yang pasti sebelum melanjutkan dengan evaluasi dan penatalaksanaan lebih lanjut.
Hilangnya libido. Karena androgen memiliki pengaruh yang besar terhadap
hasrat seksual, penurunan libido dapat menunjukkan defisiensi androgen yang
berasal dari apakah itu disfungsi hipofisis ataupun disfungsi testis. Hal ini dapat
dievaluasi secara langsung dengan pengukuran testosteron serum yang jika
bernilai abnormal, harus dievaluasi lebih lanjut dengan pengukuran gonadotropin
dan prolaktin. Karena jumlah testosteron yang dibutuhkan untuk mempertahankan
libido biasanya kurang dari yang dibutuhkan untuk stimulasi sempurna prostat dan
vesikula seminalis, pasien-pasien dengan hipogonad mungkin juga mengalami
penurunan atau tidak adanya ejakulasi sama sekali. Sebaliknya, jika volume
semen normal, faktor-faktor endokrin kemungkinan cenderung tidak bertanggung
jawab atas hilangnya libido. Penurunan libido mungkin juga terjadi akibat depresi
dan beragam penyakit medis yang menyerang kesehatan umum dan kesejahteraan.
Impotensi. Impotensi secara spesifik mengacu pada ketidakmampuan untuk
mencapai dan mempertahankan ereksi yang memadai untuk hubungan seksual.
Anamnesis yang seksama seringkali akan menentukan apakah maslah ini terutama
bersifat psikogenik atau organik. Pada pria dengan impotensi psikogenik, kondisi
ini seringkali terjadi dengan cukup lebih cepat akibat kejadian yang mencetuskan
seperti stres dalam perkawinan atau perubahan atau hilangnya pasangan seksual.
Pada pria dengan impotensi organik, kelainan ini biasanya terjadi dengan lebih
tersembunyi dan seringkali dapat dikaitkan dengan usia lanjut atau faktor-faktor
lain yang mendasari.
Dalam mengevaluasi pria dengan impotensi, penting untuk menentukan
apakah masalahnya tetap bertahan pada semua situasi. Banyak pria yang
melaporkan impotensi yang mungkin tidak mampu menjalani hubungan seksual
dengan satu pasangan namun bisa dengan yang lainnya. Demikian pula, penting
untuk menentukan apakah pria mampu mencapai ereksi yang normal dengan
bentuk stimulasi seksual alternatif (misalnya, masturbasi, video erotik). Terakhir,
pasien harus ditanyakan apakah ia pernah menyatakan adanya ereksi nokturnal
atau pagi hari dini. Secara umum, pasien-pasien yang mampu mencapai ereksi
yang adekuat pada beberapa situasi namun tidak pada keadaan lainnya lebih
berkemungkinan besar mengalami impotensi psikogenik dibandingkan organik.
Kegagalan untuk berejakulasi Kegagalan untuk berejakulasi mungkin
terjadi akibat beberapa penyebab: (1) defisiensi androgen; (2) denervasi simpatis,
(3) agen-agen farmakologis, dan (4) operasi kolumna buli dan prostat. Defisiensi
androgen menyebabkan penurunan sekresi dari prostat dan vesikula seminalis,
yang menyebabkan penurunan atau tidak adanya volume seminalis. Operasi
simpatektomi atau retroperitoneal ekstensif, yang paling sering adalah
limfadenektomi retroperitoneal untuk kanker testis, dapat mengganggu inervasi
otonom prostat dan vesikula seminalis, yang menyebabkan tidak adanya kontraksi
otot polos dan tidak adanya emisi semen pada waktu orgasme. Agen-agen
farmakologi, terutama antagonis adrenergik alfa, dapat mengganggu penutupan
leher buli pada waktu orgasme dan menyebabkan ejakulasi retrograde. Demikian
pula, operasi leher buli atau uretra pars prostatika sebelumnya, yang paling sering
adalah reseksi prostat transuretra, dapat mengganggu penutupan kolumna buli,
yang menyebabkan ejakulasi retrograde. Terakhir, ejakulasi retrograde dapat
terjadi secara spontan pada pria penderita diabetes.
Pasien-pasien yang mengeluhkan tidak adanya ejakulasi harus ditanyakan
mengenai hilangnya libido atau gejala-gejala defisiensi androgen lainnya, obat
yang sedang dikonsumsi, diabetes, dan operasi sebelumnya. Anamnesis secara
seksama biasanya akan membantu menentukan penyebab masalah ini.
Tidak adanya orgasme. Anorgasmia biasanya bersifat psikogenik atau
disebabkan oleh obat tertentu yang digunakan untuk mengobati penyakit psikiatri.
Namun, kadangkala, anorgasmia mungkin disebabkan oleh penurunan sensasi
penis karena gangguan fungsi saraf pudendal. Yang paling sering, ini terjadi pada
penderita diabetes dengan neuropati perifer. Pria yang mengalami anorgasmia
yang berkaitan dengan penurunan sensasi penis harus menjalani pemeriksaan
getaran penis dan evaluasi neurologi lebih lanjut sesuai indikasi.
Ejakulasi Prematur. Pria yang mengeluhkan ejakulasi prematur harus
ditanyakan secara seksama karena ini jelas merupakan gejala subjektif. Biasa bagi
pria untuk berejakulasi dalam waktu 2 menit setelah memulai hubungan seksual,
dan banyak pria yang mengeluhkan ejakulasi prematur sebenarnya mengalami
fungsi seksual yang normal dengan ekspektasi seksual yang abnormal. Namun,
terdapat pria dengan ejakulasi prematur yang sebenarnya yang mencapai orgasme
dalam waktu kurang dari 1menit setelah dimulainya hubungan seksual. Masalah
ini hampir selalu bersifat psikogenik dan paling baik diobati oleh ahli psikologi
klinis atau ahli psikiatri yang khusus dalam penatalaksanaan masalah ini dan
aspek psikologis disfungsi seksual pria lainnya. Dengan konseling dan modifikasi
yang tepat dalam teknik seksual, masalah ini biasanya dapat diatasi. Sebagai
alternatifnya, penatalaksanaan dengan penghambat reuptake serotonin seperti
sertraline dan fluoxetine telah terbukti membantu pada pria-pria dengan ejakulasi
prematur (Murat Basar dkk, 1999).

Hematospermia
Hematospermia mengacu pada adanya darah dalam cairan seminalis. Ini
hampir selalu terjadi akibat inflamasi nonspesifik pada prostat dan/atau vesikula
seminalis dan membaik secara spontan., biasanya dalam waktu beberapa minggu.
Kelainan ini seringkali terjadi setelah periode tidak adanya hubungan seksual
sama sekali dalam jangka panjang, dan kami telah mengamatinya beberapa kali
lipat lebih sering pada pria yang istrinya berada pada minggu terakhir kehamilan.
Pasien-pasien dengan hematospermia yang tetap ada selama melebihi beberapa
minggu harus menjalani evaluasi urologi lebih lanjut karena, meskipun jarang,
etiologi yang mendasari akan diidentifikasi. Pemeriksaan genitalia dan rektal
harus dilakukan untuk mengeksklusikan adanya tuberkulosis, antigen spesifik
prostat (PSA) dan pemeriksaan rektal dilakukan untuk mengeskklusikan
karsinoma prostat; dan sitologi urin dilakukan untuk mengeksklusikan
kemungkinan karsinoma sel transisional prostat. Namun, harus ditekankan, bahwa
hematospermia hampir selalu membaik secara spontan dan jarang berkaitan
dengan patologi urologi yang signifikan.

Pneumaturia
Pneumaturia adalah keluarnya gas didalam urin. Pada pasien-pasien yang
baru-baru ini belum menjalani instrumentasi traktus urinarius atau pemasangan
kateter uretra, ini hampir selalu disebabkan oleh fistula diantara usus dan buli.
Penyebabnya yang sering adalah divertikulitis, karsinoma kolon sigmoid, dan
enteritis regional (Penyakit Crohn). Pada keadaan yang jarang, pasien-pasien
dengan diabetes melitus mungkin menderita infeksi pembentukan gas, dengan
pembentukan karbondioksida dari fermentasi gula dalam konsentrasi yang tinggi
didalam urin.

Discharge uretra
Discharge uretra merupakan gejala yang tersering pada infeksi kelamin.
Discharge purulen yang kental, banyak dan berwarna kuning hingga abu-abu khas
untuk uretritis gonokokus; sekret ini pada pasien-pasien dengan uretritis
nonspesifik biasanya sedikit dan cair. Sekret dengan darah mengesankan
karsinoma uretra.

Demam dan Menggigil


Demam dan menggigil dapat terjadi dengan infeksi dimanapun di saluran
GU namun paling sering teramati pada pasien-pasien dengan pielonefritis,
prostatitis, atau epididimitis. Ketika berkaitan dengan obstruksi urin, demam dan
menggigil dapat menandakan septikemia dan membutuhkan penatalaksanaan
emergensi untuk meredakan obstruksi.

Riwayat Medis
Riwayat medis masa lampau sangat penting karena seringkali memberikan
petunjuk akan diagnosis pasien terkini. Riwayat medis masa lampau harus
didapatkan dengan cara yang rapi dan berurutan.

Penyakit Medis sebelumnya dengan sekuele urologi


Banyak penyakit yang mungkin mempengaruhi sistem GU, dan penting
untuk mendengarkan pasien dan mencatat penyakit medis sebelumnya. Pasien-
pasien dengan diabetes melitus seringkali mengalami disfungsi autonom yang
mungkin menyebabkan gangguan fungsi berkemih dan seksual. Riwayat
tuberkulosis sebelumnya mungkin penting pada pasien-pasien yang datang dengan
gangguan fungsi ginjal, obstruksi ureter, atau UTI yang tidak dapat dijelaskan.
Pasien-pasien dengan hipertensi mengalami peningkatan risiko disfungsi seksual
karena mereka cenderung lebih berkemungkinan untuk mengalami penyakit
pembuluh darah perifer dan karena banyak dari obat yang digunakan untuk
mengobati hipertensi seringkali menyebabkan impotensi. Pasien-pasien dengan
penyakit neurologi seperti multipel sklerosis juga berkemungkinan untuk
mengalami disfungsi urin dan seksual. Faktanya, 5% pasien dengan multipel
sklerosis yang tidak terdiagnosis sebelumnya dengan gejala-gejala urin sebagai
manifestasi pertama penyakitnya (Blaivas dan Kaplan, 1988). Sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya, pada pria dengan obstruksi outlet buli, penting untuk
menyadari kondisi neurologi yang telah ada sebelumnya. Penatalaksanaan bedah
obstruksi outlet buli dalam keadaan adanya hiperrefleksia detrusor mungkn
menyebabkan peningkatan inkontinensia urin pada pascaoperatif. Terakhir,
pasien-pasien dengan anemia sel sabit rentan terhadap sejumlah kelainan urologi,
termasuk nekrosis papilaris dan disfungsi ereksi akibat priapismus berulang.
Terdapat banyak penyakit lain dengan sekuele urologi, dan penting bagi ahli
urologi untuk mendapatkan riwayat medis yang seksama berkenaan dengan hal
ini.

Riwayat Keluarga
Sama pentingnya untuk mendapatkan riwayat keluarga yang rinci karena
banyak penyakit bersifat genetik dan/atau familial. Contoh-contoh penyakit
genetik mencakup penyakit ginjal polikistik dewasa, sklerosis tuberosa, penyakit
Von-Hippel-Lindau, asidosis tubularis renal, dan sistinuria; ini merupakan
sebagian dari beberapa contoh yang sering ditemukan dan telah diketahui dengan
baik.
Selain penyakit-penyakit dengan predisposisi genetik yang telah diketahui
ini, terdapat kondisi lain yang mana pola pasti penurunannya belum diuraikan
namun jelas memiliki kecenderungan familial. Telah diketahui dengan baik bahwa
individu dengan riwayat keluarga urolithiasis mengalami peningkatan risiko untuk
pembentukan batu. Terlebih baru lagi, telah disadari bahwa 8% hingga 10% pria
dengan kanker prostat memiliki bentuk penyakit yang familial yang cenderung
terjadi pada sekitar satu dekade lebih dini dibandingkan tipe kanker prostat yang
lebih sering ditemukan (bratt, 2000). Kelainan yang bersifat familial lainnya
disebutkan dibagian lain dalam teks ini, namun cukup memadai untuk kembali
menyatakan bahwa mendapatkan riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat
keluarga secara seksama akan penyakit urologi dapat sangat bernilai dalam
menegakkan diagnosis yang tepat.

Pengobatan
Juga sama pentingnya untuk mendapatkan daftar obat yang sedang
digunakan secara akurat dan lengkap karena terdapat banyak obat yang
mengganggu fungsi urin dan seksual. Sebagai contohnya, sebagian besar
pengobatan antihipertensi mengganggu fungsi ereksi, dan mengubah pengobatan
antihipertensi kadangkala dapat membantu memperbaiki fungsi seksual. Demikian
pula, banyak agen psikotropika yang mengganggu pancaran dan orgasme. Dalam
pengalaman kami yang terbaru, kami merawat seorang pria yang datang dengan
anorgasme. Ia telah dirujuk ke beberapa dokter tanpa perbaikan dalam masalah
ini. Ketika kami melakukan anamnesis terhadap riwayat medis sebelumnya, ia
menyebutkan bahwa ia telah mengonsumsi agen psikotropika untuk depresi
transien selama beberapa tahun, dan anorgasmianya membaik ketika obat yang
tidak dibutuhkan lagi ini dihentikan. Daftar obat yang mempengaruhi fungsi urin
dan seksual sangat telah lengkap, namun, kembali lagi, masing-masing obat harus
dicatat dan efek sampingnya diteliti untuk memastikan bahwa masalah pasien
tidak berkaitan dengan obat. Daftar obat yang sering digunakan yang mungkin
menyebabkan efek samping urologi disajikan dalam tabel 1 – 2.

Tindakan pembedahan sebelumnya


Penting untuk mengetahui operasi sebelumnya, terutama pada pasien-pasien
yang mungkin menjalani operasi, karena operasi sebelumnya mungkin
menjadikan operasi berikutnya menjadi lebih sulit. Jika operasi sebelumnya
dilakukan pada regio anatomis yang serupa, cukup beralasan untuk mencoba
mendapatkan laporan operasi sebelumnya. Dalam pengalaman kami sendiri,
upaya tambahan yang kecil ini yang telah diberikan pada sejumlah keadaan
dengan memberikan penjelasan yang jelas mengenai operasi pasien sebelumnya
sangat menyederhanakan operasi selanjutnya. Secara umum, cukup layak untuk
mendapatkan sebanyak mungkin informasi sebelum setiap operasi yang
dimaksudkan untuk dilakukan karena sebagian besar kejutan yang terjadi di ruang
operasi adalah yang tidak menyenangkan.

Merokok dan Penggunaan alkohol


Merokok tembakau dan konsumsi alkohol jelas dikaitkan dengan sejumlah
kelainan urologi. Merokok tembakau berkaitan dengan peningkatan risiko
karsinoma urothelial, yang paling sering tercatat adalah kanker buli, dan juga
berkaitan dengan peningkatan penyakit vaskular perifer dan disfungsi ereksi.
Alkoholisme kronis dapat menyebabkan neuropati otonom dan perifer dengan
akibat gangguan fungsi urin dan seksual. Alkoholisme kronis juga dapat
mengganggu metabolisme ekstrogen hepatik, yang menyebabkan penurunan
testosteron serum, atropi testikularis dan penurunan libido.
Selain efek urologi langsung, merokok tembakau dan konsumsi alkohol,
pasien yang merokok secara aktif atau meminum hingga waktu operasi berisiko
tinggi untuk komplikasi perioperatif. Perokok mengalami peningkatan risiko baik
untuk komplikasi pulmonal maupun jantung. Jika memungkinkan, mereka harus
menghentikan merokok selama sekurang-kurangnya 8 minggu sebelum operasi
untuk mengoptimalkan fungsi paru (Warmer dkk, 1989). Jika mereka tidak
mampu melakukan hal ini, mereka setidaknya harus berhenti merokok selama 48
jam sebelum operasi karena ini akan menyebabkan perbaikan yang signifikan
dalam fungsi kardiovaskular. Demikian pula, alkoholik kronis mengalami
peningkatan risiko untuk toksisitas hepatik dan masalah koagulasi selanjutnya
pada masa pascaoperatif. Selain itu, alkoholik yang terus minum minum hingga
waktu operasi mungkin mengalami penghentian alkohol akut selama periode
pascaoperatif yang dapat bersifat mengancam nyawa. Pemberian lorazepam
(ativan) profilaktik sangat mengurangi kemungkinan risiko komplikasi yang
signifikan ini.

Alergi
Terakhir, alergi terhadap obat harus ditanyakan karena obat-obat ini harus
dihindari dalam penatalaksanaan pasien di masa yang akan datang. Semua obat
yang alergi harus ditandai dengan garis tebal pada bagian depan diagram pasien
untuk menghindari kemungkinan komplikasi akibat paparan secara tidak hati-hati
terhadap obat yang sama.
Kesimpulannya, anamnesis yang seksama dan menyeluruh termasuk
keluhan yang membawa pasien dan riwayat penyakit saat ini, riwayat medis masa
lampau, dan riwayat keluarga harus didapatkan untuk setiap pasien. Sayangnya,
batasan waktu seringkali menjadikan sulit bagi dokter untuk menghabiskan waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan anamnesis yang lengkap. Penggantinya yang
layak adalah memiliki perawat atau ahli kesehatan lainnya yang terlatih untuk
melihat pasien pertama kali. Dengan menggunakan formulir anamnesis standar,
banyak informasi yang dibahas sebelumnya bisa didapatkan pada wawancara
pendahuluan. Ahli urologi dibiarkan untuk hanya mengisi titik-titik, meminta
pasien menguraikan aspek yang berpotensi relevan pada riwayat medis masa
lampaunya, dan kemudian melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap.
Pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh merupakan komponen
yang penting dalam evaluasi pasien yang datang dengan penyakit urologi.
Meskipun dicobakan untuk bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium dan
radiologi, pemeriksaan fisik seringkali menyederhanakan proses-proses dan
memungkinkan ahli radiologi untuk memilih pemeriksaan diagnostik yang paling
tepat. Sejalan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik masih merupakan komponen
utama dalam evaluasi diagnostik dan harus dilakukan secara hati-hati.

Observasi Umum
Inspeksi visual pasien memberikan gambaran secara umum. Kulit harus
diinspeksi untuk bukti ikterik atau pucat. Status gizi pasien harus dicatat.
Cacheksia merupakan tanda keganasan yang sering ditemukan, dan obesitas
mungkin merupakan tanda kelainan endokrinologi yang mendasari. Dalam
keadaan ini, kita harus mencari adanya obesitas trunkus, “buffalo hump”, dan
striae kulit abdomen, yang merupakan stigmata akan hiperadrenokortisonisme.
Sebaliknya, debilitas dan hiperpigmentasi mungkin merupakan tanda
hipoadrenokortikokisme. Ginekomastia mungkin merupakan tanda penyakit
endokrinologi dan kemungkinan indikator akan alkoholisme atau terapi hormonal
sebelumnya untuk kanker prostat. Edema genitalia dan ekstremitas bawah
mungkin berkaitan dengan dekompensasi jantung, gagal ginjal, sindroma nefrotik,
atau obstruksi limfatik pelvis dan/atau retroperitoneal. Limfadenopati
supraklavikularis mungkin dapat terlihat dengan neoplasma GU, yang paling
sering adalah kanker prostat dan testis; limfadenopati inguinalis dapat terjadi
akibat karsinoma penis atau uretra.

Ginjal
Ginjal adalah organ yang berukuran sebesar kepalan tangan yang terletak
pada retroperitoneum secara bilateral. Pada orang dewasa, ginjal normalnya sulit
untuk dipalpasi karena posisinya dibawah diafragma dan iga dengan struktur otot
yang sangat banyak baik di anterior maupun posterior. Karena posisi hati, ginjal
kanan agak lebih rendah dibandingkan dengan yang kiri. Pada anak-anak dan
wanita yang kurus, adalah hal yang memungkinkan untuk meraba bagian bawah
ginjal kanan dengan inspirasi dalam. Namun, biasanya tidak memungkinakn
untuk melakukan palpasi satupun ginjal pada pria, dan ginjal kiri hampir selalu
tidak dapat dipalpasi kecuali jika membesar secara abnormal.
Cara terbaik untuk mempalpasi ginjal adalah dengan pasien berada pada
posisi supinasi. Ginjal diangkat dari belakang dengan satu tangan pada sudut
kostovertebral (gambar 1- 1). Pada inspirasi dalam, tangan pemeriksa didorong
secara kuat kedalam abdomen anterior tepat dibawah tepi kostae. Pada titik
inspirasi maksimal, ginjal dapat terasa karena ginjal bergerak ke arah bawah
sejalan dengan diafragma. Dengan masing-masing inspirasi, tangan pemeriksa
dapat didorong semakin dalam pada abdomen. Sekali lagi, lebih sulit untuk
mempalpasi ginjal pada pria karena ginjal cenderung bergerak lebih sedikit
dengan inspirasi karena dilingkupi oleh lapisan otot yang lebih tebal. Pada anak-
anak, lebih mudah untuk mempalpasi ginjal karena penurunan ketebalan tubuh.
Pada neonatus, ginjal dapat dirasakan dengan cukup mudah dengan mempalpasi
pinggang diantara ibu jari di bagian anterior dan jari-jari lain di bagian sudut
kostovertebra posterior.
Transilluminasi ginjal mungkin membantu pada anak-anak yang berusia
kurang dari 1 tahun denganmassa pinggang yang teraba. Massa tersebut seringkali
bersumber dari ginjal. Sinar senter atau sumber sinar fiberoptik diposisikan pada
bagian anterior terhadap sudut kostovertebra. Massa yang dipenuhi cairan seperti
kista atau hidronefrosis menghasilkan pancaran kemerahan yang tumpul pada
bagian abdomen anterior. Massa yang padat seperti tumor tidak ditembus cahaya.
Manuver diagnostik lain yang mungkin membantu dalam memeriksa ginjal adalah
perkusi dan auskultasi. Meskipun inflamasi ginjal dapat menyebabkan nyeri yang
tidak terlokalisir dengan baik, perkusi pada sudut kostovertebra pada bagian
psoterior paling sering menentukan lokasi nyeri dan nyeri tekan dengan lebih
akurat. Perkusi harus dilakukan secara lembut karena pada pasien dengan
inflamasi ginjal yang signifikan, ini bisa cukup menyakitkan. Auskultasi abdomen
atas selama inspirasi dalam kadangkala dapat memperlihatkan bruit sistolik yang
berkaitan dengan stenosis arteri renalis atau suatu aneurisma. Bruit juga dapat
terdeteksi berkaitan dengan fistula arteriovenosus ginjal yang besar.
Setiap pasien dengan nyeri pinggang juga harus diperiksa untuk
kemungkinan iritasi radiks saraf. Iga harus dipalpasi secara seksama untuk
menyingkirkan suatu spur tulang atau kelainan otot rangka lainnya dan untuk
menentukan titik nyeri tekan maksimal. Tidak seperti nyeri pada ginjal, radikulitis
biasanya menyebabkan hiperestesia terhadap kulit yang mendasari yang diinervasi
oleh saraf perifer yang mengalami iritasi. Hipersensitivitas ini dapat dimunculkan
dengan jarum atau dengan mencubit kulit dan lemak yang mendasari area yang
terlibat. Terakhir, nyeri yang dialami selama fase pra-eruptif herpes zoster yang
melibatkan setiap segmen diantara T11 dan L2 juga dapat memicu nyeri yang
berasal dari ginjal.

Buli
Buli yang normal pada orang dewasa tidak dapat dipalpasi atau diperkusi
hingga terdapat sekurang-kurangnya 150 ml urin didalamnya. Pada volume sekitar
500 ml, buli yang terdistensi menjadi terlihat pada pasien yang kurus sebagai
massa abdomen di bagian tengah bawah.
Perkusi lebih baik dibandingkan palpasi untuk mendiagnosis buli yang
mengalami distensi. Pemeriksa mulai dengan melakukan perkusi tepat diatas
simfisis pubis dan terus ke arah atas hingga terdapat perubahan nada dari pekak ke
bergema. Sebagai alternatifnya, ini memungkinkan pada pasien-pasien yang kurus
dan pada anak untuk mempalpasi buli dengan mengangkat vertebra lumbali
dengan satu tangan dan menekan tangan yang lainnya ke bagian tengah abdomen
bawah.
Pemeriksaan bimanual yang seksama, yang paling baik dilakukan dengan
pasien yang berada dalam keadaan anestesi, tidak terhingga nilainya dalam
menilai perluasan regional tumor buli atau massa pelvis lainnya. Buli teraba
diantara abdomen dan vagina pada perempuan (gambar 1 – 2) atau rektum pada
pria (gambar 1 – 3). Selain untuk menentukan area indurasi, pemeriksaan
bimanual memungkinkan pemeriksa untuk menilai mobilitas buli, informasi
tersebut tidak bisa diperoleh dengan teknik radiologi seperti CT dan MRI, yang
menawarkan gambaran statik.

Penis
Jika pasien belum disirkumsisi, kulit luar harus diretraksi untuk memeriksa
tumor atau balanoposthitis (inflamasi pada preputium dan glans penis). Sebagian
besar kanker penis terjadi pada pria yang tidak disirkumsisi dan muncul pada
preputium atau glans penis. Oleh karena itu pada pasien degnan sekret penis yang
berdarah yang mana foresking tidak dapat ditarik, dorsal slit atau sirkumsisi harus
dilakukan untuk mengevaluasi glans penis dan uretra secara adekuat.

Gambar 1 – 2 Pemeriksaan bimanual buli pada perempuan.


Gambar 1 – 3 Pemeriksaan bimanual buli pada laki-laki

Posisi meatus uretra harus dicatat. Meatus uretra mungkin terletak pada area
proksimal terhadap ujung glans pada permukaan ventral (hipospadia), atau, yang
jauh lebih jarang, pada permukaan dorsal (epispadia). Kulit penis harus diperiksa
untuk adanya vesikel superfisial yang sesuai dengan herpes simpleks dan untuk
ulkus yang mungkin menunjukkan apakah itu infeksi kelamin atau tumor. Adanya
kutil kelamin (kondiloma akuminata), yang tampak sebagai lesi yang ireguler,
papiler, yang menyerupai beludru pada genitalia pria, juga harus dicatat.
Meatus uretra harus dipisahkan diantara ibu jari dan telunjuk untuk
menginspeksi lesi neoplastik atau inflamasi didalam fossa navicularis. Bagian
batang dorsal penis harus dipalpasi untuk adanya plak fibrotik atau kerutan yang
khas untuk penyakit Peyronie. Nyeri tekan disepanjang aspek ventral penis
mengesankan peri uretritis, yang seringkali akibat striktur uretra.

Skrotum dan isinya


Skrotum adalah kantong longgar yang berisikan testis dan struktur korda
spermatika. Dinding skrotum terbuat atas kulit dan lapisan otot tipis yang
mendasarinya. Testis normalnya berbentuk oval, keras dan halus; pada orang
dewasa, testis berukuran panjang sekitar 6 cm dan lebar 4 cm. Testis tergantung
didalam skrotum, dengan testis kanan yang normalnya lebih anterior
dibandingkan bagian kiri. Epididimis berada pada bagian posterior testis dan
teraba sebagai suatu kerutan jaringan yang berbeda. Vas deferens dapat terpalpasi
diatas masing-masing testis dan terasa seperti sepotong benang yang berat.
Skrotum harus diperiksa untuk kelainan dermatologi. Karena skrotum, tidak
seperti penis, yang berisikan baik itu rambut maupun kelenjar keringat, skrotum
ini merupakan tempat yang sering untuk infeksi lokal dan kista sebasea. Folikel
rambut dapat terinfeksi dan dapat terlihat sebagai pustul kecil pada permukaan
skrotum. Ini biasanya membaik secara spontan, namun dapat muncul menjadi
infeksi yang lebih signfikan, terutama pada pasien-pasien dengan penurunan
imunitas dan diabetes. Pasien seringkali khawatir akan lesi ini, yang keliru
menganggapnya sebagai tumor testis.
Testis harus dipalpasi secara perlahan diantara ujung jari kedua tangan.
Testis normalnya memiliki konsistensi yang keras dan elastis dengan permukaan
yang halus. Testis yang kecil secara abnormal mengesankan hipogonad atau
endokrinopati seperti penyakit Klinefelter. Area yang kuat atau keras didalam
testis harus dianggap sebagai tumor ganas hingga terbukti sebaliknya. Epididimis
harus dipalpasi sebagai suatu kerutan yang terletak posterior pada masing-masing
testis. Massa pada epididimis (spermatocele, kista, dan epididimitis) hampir selalu
bersifat jinak.
Untuk memeriksa hernia, jari telunjuk dokter harus dimasukkan secara
perlahan kedalam skrotum dan diinvaginasikan kedalam cincin inguinal eksternal
(gambar 1 – 4). Skrotum harus diinvaginasikan didepan testis, dan perhatian harus
diberikan untuk tidak mengangkat testis itu sendiri, yang cukup menimbulkan rasa
nyeri.

Gambar 1 – 4. Pemeriksaan kanalis inguinalis

Ketika cincin eksternal telah ditentukan lokasinya, dokter harus meletakkan


ujung harinya atau tangan lainnya pada cincin inguinal internal dan meminta
pasien untuk meneran (manuver valsava). Henia akan terasa sebagai tonjolan yang
berbeda yang menurun menyentuh ujung jari telunjuk pada cincin inguinal
eksternal saat pasien meneran. Meskipun memungkinkan untuk membedakan
hernia inguinal direk yang berjalan melalui dasar kanalis inguinalis dari hernia
inguinalis indirek yang mengalami prolaps melalui cincin inguinal internal, ini
jarang memungkinkan dan memiliki signifikansi klinis yang kecil karena
pendekatan pembedahan pada dasarnya identik untuk kedua kondisi ini.
Korda spermatika juga diperiksa dengan pasien pada posisi berdiri.
Varicocele yang berdilatasi, vena spermatika yang berbelit-belit menjadi lebih
jelas saat pasien melakukan manuver Valsava. Epididimis kembali dapat dipalpasi
sebagai rigi jaringan yang berjalan secara longitudinal, posterior dari masing-
masing testis. Testis harus dipalpasi kembali diantara jari kedua tangan, kembali
dengan memperhatikan untuk tidak memberikan tekanan pada testis itu sendiri
sehingga untuk menghindari nyeri.
Transiluminasi membantu dalam menentukan apakah massa skrotal bersifat
padat (Tumor) atau kistik (hidrocele, spermatocele). Sinar senter yang kecil atau
cahaya fiberoptik diletakkan dibelakang massa. Massa kistik dapat ditembus
cahaya dengan mudah, sementara sinar tidak ditransiluminasikan saat melalui
tumor yang padat.

Pemeriksaan rektal dan prostat pada pria


Pemeriksaan colok dubur (DRE) harus dilakukan pada setiap pria yang
berusia diatas 40 tahun dan pada pria usia berapapun yang datang untuk evaluasi
urologi. Kanker prostat merupakan penyebab kematian kanker pria kedua
tersering setelah usia 55 tahun dan merupakan penyebab kematian akibat kanker
yang paling sering pada pria yang berusia diatas 70 tahun. Banyak kanker prostat
yang dapat terdeteksi pada stadium dini yang dapat disembuhkan dengan DRE,
dan sekitar 25% kanker kolorektal dapat dideteksi dengan DRE yang
dikombinasikan dengan pemeriksaan guaiac feses.
DRE harus dilakukan pada akhir pemeriksaan fisik. Ini paling baik
dilakukan dengan pasien yang dalam keadaan berdiri dan membungkuk pada meja
pemeriksa atau dengan pasien yang berada pada posisi knee-chest. Pada posisi
berdiri, pasien harus berdiri dengan pahanya yang berdekatan dengan meja
pemeriksa. Kaki harus terpisah dengan jarak sekitar 18 inci, dengan lutut yang
sedikit difleksikan. Pasien harus membungkuk pada pinggang dengan kemiringan
90 derajat hingga dadanya berada pada lengan bawahnya. Dokter harus
memberikan pasien waktu yang cukup untuk berada pada posisi yang sesuai dan
berelaksasi sebanyak mungkin. Sedikit kata-kata yang menenangkan sebelum
pemeriksaan membantu. Dokter harus memasang sarung tangan pada tangan yang
memeriksa dan harus melubrikasi jari telunjuk secara menyeluruh.
Sebelum melakukan DRE, dokter ahrus meletakkan lengan tangan lainnya
pada abdomen bawah pasien. Ini memberikan sedikit penenangan bagi pasien
dengan memungkinkan dokter untuk membuat kontak secara lembut dengan
pasien sebelum menyentuh anus. Ini juga memungkinkan dokter untuk
memantapkan pasien dan memberikan tekanan lawanan yang lembut jika pasien
mencoba untuk bergerak saat DRE sedang dilakukan. DRE itu sendiri dimulai
dengan memisahkan bokong dan menginspeksi anus untuk adanya patologi,
biasanya hemoroid, namun kadangkala, suatu karsinoma anal atau melanoma
dapat terdeteksi. Jari telunjuk dengan sarung tangan yang telah terlubrikasi
kemudian dimasukkan secara perlahan kedalam anus. Hanya satu jari yang boleh
dimasukkan pada awalnya untuk memberikan waktu bagi anus untuk berelaksasi
dan dengan mudah mengakomodasi jari. Estimasi tonus sfingter ani sangat
penting: Sfingter ani yang flaksid atau spastik mengesankan perubahan yang
serupa pada sfingter urin dan mungkin merupakan petunjuk untuk diagnosis
penyakit neurogenik. Jika dokter hanya menunggu selama beberapa detik, sfingter
ani normalnya akan berelaksasi hingga derajat sehingga jari dapat dimasukkan
hingga buku jari tanpa menyebabkan nyeri. Jari telunjuk kemudian disapukan
pada permukaan prostat; permukaan posterior keseluruhan kelenjar biasanya dapat
diperiksa jika pasien berada pada posisi yang sesuai. Normalnya, prostat
berukuran sekitar sebesar buah kastanye dan memiliki konsistensi yang serupa
dengan eminens thenar ibu jari yang berkontraksi (dengan ibu jari yang
berlawanan dengan jari kelingking).
Jari telunjuk diekstensikan sejauh mungkin kedalam rektum, dan
keseluruhan bagian diperiksa untuk mendeteksi adanya karsinoma rekti dini. Jari
telunjuk kemudian ditarik secara perlahan, dan feses pada sarung tangan
dipindahkan ke kartu yang telah mengandung guaiac (Hemocult) untuk penentuan
darah samar. Meskipun mungkin terdapat insidensi hasil positif palsu dan negatif
palsu yang signifikan berkaitan dengan pemeriksaan darah samar feses, terutama
tanpa restriksi diet dan obat, uji guaiac merupakan alat yang sederhana dan murah
dan mungkin mengarahkan pada deteksi kelainan gastrointestinal yang signifikan
(Bond, 1999). Jaringan yang adekuat, sabun dan handuk harus tersedia bagi pasien
untuk membersihkan diri mereka sendiri setelah pemeriksaan. Dokter kemudian
harus meninggalkan ruangan dan memungkinkan pasien waktu yang adekuat
untuk mencuci dan berpakaian sebelum menyimpulkan konsultasi.

Pemeriksaan pelvis pada perempuan


Ahli urologi laki-laki harus selalu melakukan pemeriksaan pelvis peremuan
dengan ditemani oleh perawat perempuan atau ahli layanan kesehatan perempuan
lain. Pasien harus diizinkan untuk melepas pakaian secara pribadi dan ditutupi
dengan tirai sepenuhnya untuk prosedur sebelum dokter memasuki ruangan.
Pemeriksaan itu sendiri harus dilakukan pada posisi litotomi standar dengan
tungkai pasien yang mengalami abduksi. Pada awalnya, genitalia eksternal dan
introitus harus diperiksa, dengan perhatian khusus yang diberikan pada perubahan
atropi, erosi, ulkus, sekret, atau kutli, yang semuanya dapat menyebabkan disuria
dan ketidaknyamanan pelvis. Meatus uretra harus diinspeksi untuk karunkel,
hiperplasia mukosa, kista, dan prolaps mukosa. Pasien kemudian diminta untuk
melakukan manuver Valsava dan diperiksa secara seksama untuk sistocele
(prolaps buli) atau rectocele (prolaps rektum). Pasien kemudian diminta untuk
batuk, yang mungkin mencetuskan inkontinensia urin tekanan. Palpasi uretra
dilakukan untuk mendeteksi indurasi, yang mungkin merupakan tanda inflamasi
kronis atau keganasan. Palpasi mungkin juga dapat memperlihatkan divertikulum
uretra, dan palpasi divertikulum dapat menyebabkan sekret purulen dari uretra.
Pemeriksaan bimanual buli, uterus, dan adneksa kemudian harus dilakukan
dengan dua jari didalam vagina dan tangan lain pada bagian abdomen bawah.
KElainan apapun dalam organ pelvis harus dievaluasi lebih lanjut dengan
ultrasound pelvis atau CT scan.

Pemeriksaan neurologi
Terdapat beragam situasi klinis yang mana pemeriksaan neurologi mungkin
membantu dalam mengevaluasi pasien-pasien urologi. Pada beberapa kasus,
ketinggian kelainan neurologi dapat ditentukan lokasinya dengan pola defisit
sensorik yang dicatat selama pemeriksaan fisik dengan menggunakan peta
dermatom (gambar 1 – 5). Defisit sensorik pada penis, labia, skrotum, vagina dan
area perianal umumnya menunjukkan kerusakan atau cedera pada radiks sakral
atau saraf sakral. Selain pemeriksaan sensorik, pemeriksaan refleks pada area
genital juga dapat dilakukan. Yang paling penting adalan refleks bulbocavernosus
(BCR), yang merupakan kontraksi refleks otot lantai pelvis yang berupa otot lurik
yang terjadi sebagai respon terhadap beragam stimulus pada perineum atau
genitalia. Refleks ini paling sering diperiksa dengan meletakkan jari di rektum dan
kemudian meremas glans penis atau klitoris. Jika kateter Foley terpasang, BCR
juga dapat dimunculkan dengan secara perlahan menarik kateter. Jika BCR intak,
penguatan sfingter ani harus bisa dirasakan dan/atau diobservasi. BCR memeriksa
intergritas refleks yang dimediasi medula spinalis melibatkan S2-S4 dan mungkin
tidak ada dalam keadan adanya kelainan medula spinalis atau saraf perifer sakral.
Refleks kremaster dapat dimunculkan dengan sedikit memukul paha
superior dan medial dalam arah ke bawah. Respon yang normal pada pria adalah
kontraksi otot kremaster yang menyebabkan elevasi cepat skrotum dan testis
ipsilateral. Terdapat manfaat klinis yang terbatas untuk memeriksa refleks
superfisial seperti kremaster ketika memeriksa disfungsi neurologi. Namun,
mungkin terdapat peran pemeriksaan refleks ini ketika menilai pasien dengan
kecurigaan torsio testis atau epididimitis. Terakhir, suatu refleks kremaster aktif
yang berlebihan pada anak-anak dapat menyebabkan diagnosis undescended
testis yang keliru pada sebagian kasus.

You might also like