You are on page 1of 30

KEPERAWATAN DASAR KEPERAWATAN KRITIS

APLIKASI PROSES KEPERAWATAN


DI AREA PRAKTIK KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu: Aan Nuraeni, S.Kep.,Ners.,M.Kep.

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu


Mata Kuliah Keperawatan Kritis 1

Oleh:

M. Hanif Prasetya ‘Adhi (220120180002)


Evi Lempang (220120180003)
Vanny Leutually (220120180052)

PEMINANATAN ILMU KEPERAWATAN KRITIS


PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan Penulisan
BAB II
APLIKASI PROSES KEPERAWATAN
DI AREA GAWAT DARURAT DAN KRITIS

A. Definisi Proses Keperawatan


Menurut Yildirim & Ozkahraman (2011) proses keperawatan merupakan suatu
pendekatan sistematis, terorganisasi yang digunakan oleh perawat dalam menemukan
kebutuhan pasien dan menentukan perawatan berbasis humanistic care yaitu
memandang klien sebagai suatu kesatuan yang unik. Sistematis diartikan sebagai
asuhan keperawatan terdiri dari lima tahap.

Proses keperawatan umumnya dipandang sebagai alat untuk merencanakan dan


menyediakan perawatan pasien. Proses keperawatan identik dalam disiplin
keperawatan. Ini adalah pendekatan terorganisir, sistematis yang digunakan oleh
perawat untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan individual pasien sebagai
suatu proses (Newfield et al, 2007).

Asuhan keperawatan yang dipandu oleh proses keperawatan prinsip


perencanaan tindakan, evaluasi dan tujuan yang spesifik untuk setiap pasien. Proses
keperawatan mempertimbangkan metode pemecahan masalah yang berguna untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan dan perawatan masyarakat. Penerapan proses
keperawatan membantu perawat untuk memanfaatkan pemikiran kritis untuk
pengambilan keputusan (Cruz et al , 2016).

B. Unsur Proses Keperawatan


Terdapat lima tahapan proses keperawatan yang merupakan organisasi yang
mengelola proses keperawatan secara sistematis. Tahapan tersebut terdiri dari
pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Nursalam, 2008).
Pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi adalah langkah-
langkah proses keperawatan. Pengkajian adalah proses dinamis yang terorganisir
termasuk: mengumpulkan data secara sistematis, dan menyusun data yang
dikumpulkan, dan mendokumentasikan data. Data subjektif dan objektif adalah
dikumpulkan dari berbagai sumber yang berbeda oleh perawat untuk mengetahui
keadaan pasien seperti status kesehatan pasien secara keseluruhan dan memberikan
gambaran pasien (Newfield et al, 2007).
Diagnosis / identifikasi kebutuhan berarti analisis data yang dikumpulkan untuk
mengenali kebutuhan atau masalah pasien, juga disebut diagnosis keperawatan. Tujuan
dari langkah ini adalah untuk menggambar keseluruhan tentang pasien, kebutuhan
khusus yang menjadi perhatian sehingga perawatan yang efektif dapat direncanakan
dan di implementasikan (Doengoes et al, 2008). Perencanaan berisi pengaturan
prioritas, menetapkan tujuan, mempertimbangkan hasil pasien yang tepat, dan
menentukan intervensi keperawatan yang tepat. Tindakan-tindakan ini disebut sebagai
rencana perawatan (Newfield et al, 2007).
Implementasi terjadi ketika rencana perawatan dilaksanakan, dan perawat
melakukan yang direncanakan di intervensi. Pengetahuan individu dan keahlian serta
rutinitas agensi memungkinkan fleksibilitas yang diperlukan beradaptasi dengan
perubahan kebutuhan pasien. Evaluasi dilakukan dengan menentukan kemajuan pasien
menuju pencapaian hasil yang diketahui dan dengan memantau reaksi pasien terhadap
efisiensi intervensi keperawatan untuk sarana mengubah rencana seperti yang
ditunjukkan (Dantas et al, 2016).

C. Karakteristik Proses Keperawatan


Terdapat 6 karakteristik proses keperawatan menurut Nursalam (2008) yaitu:
1) Tujuan; bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup klien
2) Sistematis; menggunakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mencapai tujuan
3) Dinamis; dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan perubahan respon klien
4) Interaktif; melibatkan hubungan timbal balik antara perawat, klien, keluarga dan
tenaga kesehatan yang lain.
5) Fleksibel; dapat diadopsi pada praktek keperawatan dalam kondisi apapun sesuai
kebutuhan klien dan dilakukan dengan persetujuan antara perawat dan klien.
6) Teoritis; proses keperawatan didasari oleh ilmu dan model keperawatan yang
berlandaskan pada filosofi keperawatan dimana menekankan aspek humanistik
(memandang klien sebagai manusia seutuhnya), holistik (memenuhi kebutuhan
klien sebagai satu kesatuan) dan care (berlandaskan pada standar praktik dan kode
etik keperawatan)
D. Proses Keperawatan di Area Gawat Darurat dan Kritis

Gambar diatas menunjukkan bahwa proses keperawatan adalah sesuatu yang


dinamis dan terus- menerus dilakukan dan saling terkait terdiri dari 5 proses dari
pengkajian sampai dengan evaluasi yang membentuk asuhan keperawatan yang
holistik.

Asuhan keperawatan intensif adalah kegiatan praktek keperawatan intensif yang


diberikan pada pasien dan keluarga dengan pendekatan bahwa proses keperawatan
merupakan metode ilmiah dan panduan dalam memberikan asuhan keperawatan yang
berkualitas guna mengatasi masalah pasien. Langkah-langkah yang dilakukan meliputi
pengkajian, diagnosa, rencana dan evaluasi yaitu: (Kemenkes, 2006).

1) Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari proses keperawatan yang mengharuskan
perawat menemukan data kesehatan klien secara tepat. Pengkajian meliputi proses
pengumpulan data dan memformulasikan masalah atau diagnosa keperawatan sesuai
hasil analisis data. Pengkajian awal dalam keperawatan intensif sama dengan
pengkajian umumnya yaitu dengan pendekatan sistem. Namun ketika klien yang telah
dirawat menggunakan alat bantu nafas mekanik pengkajian diarahkan ke hal-hal yang
lebih khusus yakni terkait dengan terapi dan dampak penggunaan alat. (Kemenkes,
2006).
Menurut AACN pengkajian pada pasien kritis merupakan kompetensi yang
esensial bagi perawat kritis. Pendekatan tradisional seperti mengkaji riwayat kesehatan
pasien, evaluasi dan pemeriksaaan fisik secara komprehensif adalah hal yang ideal,
namun kadang jarang dilakukan karena perawat berhadapan dengan situasi yang
mengancam nyawa. Maka dari itu tehnik pengkajian harus dimodifikasi untuk
menyeimbangkan kebutuhan informasi, sementara menghadapi situasi gawat pada
pasien.
Terdapat 2 pendekatan dalam pengkajian pasien yaitu pengkajian per sistem dan
head to toe. Sbagian besar perawat kritis memodifikasi keduanya. Pengkajian dilakukan
mulai dari pasien masuk sampai dengan kondisi pasien berubah atau bertransisi ke fase
selanjutnya. Proses pengkajian bisa dilihat dari 4 tahap yang berbeda yaitu prearrival,
admission quick check, comprehensive dan ongoing assesment (Chulay dan Suzanne,
2006), sebagai berikut:
a. Prearrival assesment
Pengkajian prearrival dimulai ketika perawat sudah menerima informasi
dari tim kesehatan yang berada di unit lain (IGD, ruang operasi, rujukan RS lain,
pasien pindahan dari ruangan atau ruang penyakit dalam) bahwa akan ada pasien
yang akan dirawat di ruang intensif dengan kondisi yang sudah menurun atau bisa
juga tidak stabil. Hal yang dikaji pada prearrival assesment meliputi data yang
singkat tentang pasien, misalnya nama, usia, jenis kelamin, keluhan utama,
diagnosa, riwayat kesehatan, status fisiologis, peralatan invansif yang terpasang,
obat-obatan, status tes laboratorium, serta penataan ruang lengkap termasuk
kebutuhan peralatan, misalnya monitoring jantung, ventilator, syringe pump, dan
sebagainya. Selain itu penting memperhatikan potensial kewaspadaan isolasi
(misalnya pada pasien yang memerlukan isolasi penyakit pernapasan) untuk
melindungi pasien dan penyedia pelayanan terpajan infeksi. (Chulay, M dan
Suzanne,M.B., 2006).
Di Indonesia informasi prearrival biasa diperoleh oleh perawat via telpon,
petugas admisi, atau perawat IGD, ruangan dan operasi yang datang langsung ke
ICU, setelah itu perawat menyiapkan bed, monitor dan peralatan-peralatan lain
sesuai keadaan pasien. Beberapa unit kritis mempunyai standar ruang perawatan
yang dibuat berdasarkan diagnosa terbanyak dari pasien yang datang.
Standar alat dan monitoring menyangkut kebutuhan pasien misalnya IV
line, obat dan peralatan tambahan). Selain itu penting juga untuk menyiapkan
rekam medik, flowchart, catatan obat, lembar intake output dan pengkajian pasien.
Pada pengkajian ini juga melaporkan prosedur yang belum dilakukan. Standar
peralatan ruangan di ICU menurut Chulay, M dan Suzanne,M.B., (2006) yaitu:
a) Bedside monitor, EKG dan peralatan invasif.
b) Elektrode EKG
c) Manset tekanan darah
d) Oksimetri
e) Kateter suction dan alat suction
f) Peralatan bagging dan maskernya
g) Ventilator dan peralatan oksigen
h) Tiang infus dan infus pump
i) Trolley kereta disamping bed seperti swab alkohol, sarung tangan bersih, kasa
dressing dan syringe pump.
j) Fasilitas kebersihan tangan termasuk sabun cair dan handrub alkohol.
k) Form admisi dan dokumentasi.

b. Admission Quick Check


Pengkajian admission quick check dilakukan sesaat pasien tiba
menggunakan parameter ABCDE untuk mengkaji adekuat atau tidaknya perfusi
dan ventilasi dalam dan fungsi kardiovaskuler dasar. Masalah utama ditentukan
agar dapat menyelamatkan hidup pasien. Pasien dihubungkan dengan monitor,
peralatan support, obat-obatan, laboratorium dan pemeriksaan diagnostik. Setelah
pengkajian ABCDE, perawat harus memvalidasi pasien dan keluarga, termasuk
riwayat alergi dan tipe reaksi alergi (Chulay, M dan Suzanne,M.B., 2006).
Perawat merupakan leader yang berperan dalam mengatur dan menyiapkan
penerimaan pasien baru mesipkun terdapat tenaga kesehatan lain. Tanpa leader,
perawatan akan terkotak-kotak dan pengkajian vital akan terlewat. Perawat kritis
secara cepat mengkaji ABCDE, jika ditemukan aspek yang menyimpang maka
intervensi harus cepat dilakukan tanpa memperhatikan apakah pasien sadar atau
tidak. Selain itu perlu untuk berkomunikasi dengan pasien untuk melihat apa yang
terjadi selama interaksi dan intervensi.
Menurut Chulay dan Suzanne (2006) Bebarapa hal yang akan dikaji saat
admission quick check adalah:
a) Airways dan Breathing
Kepatenan jalan nafas diverifikasi dengan meminta pasien bicara,
memperhatikan pergerakan dada pasien. Jika jalan nafas paten,
memperhatikan posisi kepala pasien untuk mencegah lidah jatuh kebelakang.
Saluran nafas atas juga perlu diperiksa untuk melihat apakah terdapat darah,
muntahan dan benda asing. Jika pasien sudah menggunakan alat bantu nafas
seperti krikotirotomi, ETT atau trakeostomi, pastikan posisi ETT, ukuran
diameter terdekat dengan gigi dan bibir sebagai perbandingan bila ada
perubahan posisi nantinya. Lakukan suction baik melalui mulut atau alat bantu
nafas untuk membersihkan sekret lalu catat warna, jumlah dan konsistensi
sekret.
Selain itu perlu mencatat kedalaman, rate, pola, kesimetrisan
pernapasan, usaha mengambil nafas, penggunaan otot bantu pernafasan, jika
telah terpasang ventilator catat juga apakah pernafasan sikron dengan mesin.
Observasi tanda-tanda nonverbal dari distress pernafasan seperti gelisah,
cemas dan perubahan status mental. Auskultasi dada untuk melihat adanya
suara nafas bilateral, kualitas suara nafas, dan ekspansi dada bilateral. Jika
saturasi oksigen tersedia perlu dilakukan observasi nilainya dengan cepat. Jika
pasien memakai ventilator atau bagging perhatikan ada tidaknya nafas spontan
dan evaluasi perlu tidaknya tambahan tekanan. Jika terpasang chest tube
perhatikan apakah mediastinal ataukah pleural. Pastikan selang terhubung
dengan suction dan jangan sampai terlipat atau tertekuk.
b) Sirkulasi dan Perfusi Cerebral
Pengkajian sirkulasi perlu dilakukan dengan cepat dengan mempalpasi
nadi, memonitor EKG untuk melihat heart rate, ritme dan ektopi. Perhatikan
juga tekanan darah dan suhu. Kaji perfusi perifer dengan mengevaluasi warna,
suhu, kelembapan kulit dan pengisian kapiler. Berdasarkan laporan prearrival
dan admisi juga perlu dilihat adakah perdarahan aktif atau kehilangan darah.
Evaluasi perfusi serebral dalam pengkajian admisi cepat berfokus pada
integritas fungsi otak secara menyeluruh dengan mengevaluasi kesadaran.
Perhatikan apa pasien masih sadar dengan lingkungan sekitar, baik melali
stimulus verbal maupun nyeri. Observasi respon pasien saat dipindahkan dari
stretcher ke bed iCU. Catat apakah pasien masih mengikuti perintah misal
“tolong geser pinggang anda?” atau “ tolong letakkan tangan anda di dada”
jika pasien tidak bisa biacara perhatikan apa ada sumbatan jalan nafas.
c) Keluhan Utama
Keluhan utama sebaiknya diperoleh langsung dari pasien tetapi kondisi
pasien di ICU terkadang tidak berespon atau tidak bisa berbicara. Data
biasanya dikumpulkan dari keluarga, teman, atau pengamat. Jika riwayat
kesehatan tidak tersedia, klinisi harus bergantung pada pemeriksaan fisik
(seperti adanya pacemaker, bekas luka operasi dan lain-lain) juga pengetahuan
tentang patofisiologi untuk mengidentifikasi potensial penyebab masuk ICU.
Pengkajian keluhan utama berfokus pada temuan persistem dan melibatkan
tanda gejala. Pertanyaan tambahan juga dieksplore seperti onset, faktor
pencetus dan keparahan. Walaupun pengkajian cepat ini berfokus pada
penyelamatan nyawa namun sistem lain juga dikaji seperti sistem saraf dan
pernafasan.
d) Obat dan pemeriksaan diagnostik pasien
Pengkajian obat dan tes diagnostik termasuk dalam prioritas
pengkajian cepat. Jika pasien tidak terpasang IV segera pasang dan catat intake
dan output. Jika telah terpasag obat via IV maka verfikasi lagi obatnya, dosis
dan tetesannya. Pemeriksaan dasar tambahan adalah dibuat berdasarkan
keluhan utama dan diagnosis.
Hasil pemeriksaan diagnostik yang telah tersedia perlu diperhatikan
untuk melihat adanya kondisi abnormal atau kemungkinan masalah yang
memerlukan intervensi segera. Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan
selama pengkajian cepat adalah elektrolit serum, glukosa darah, darah lengkap
termasuk platelet, faktor koagulasi, analisa gas darah, rontgen dan EKG.
e) Peralatan
Evaluasi kepatenan semua pembuluh darah dan selang drain,
hubungkan dengan monitor dan alat suction. Catat jumlah, warna, konsistensi
dan bau sekret. Verifikasi dulu semua alat sebelum dihubungkan ke pasien
dan beri label bila perlu. Pengkajian cepat ini dilakukan selama beberapa
menit, setelah pengkajian ABCDE lengkap jika pada fase ini pasien masih
belum stabil maka difokuskan pada meyelesaikan abnormalitas tadi baru bisa
lanjut ke pengkajian komprehensif.
c. Comprehensive Admission Assessment
Pengkajian komprehensif dilakukan untuk menentukan data fisiologis
dan psikologis sehingga jika kedepan akan terjadi perubahan bisa dibandingkan
bila pasien memburuk atau membaik. Pengkajian ini juga melihat status
kesehatan pasien, menentukan masalah dan keterbatasan yang bisa berdampak
pada saat ini dan potensial isu untuk perawatan seanjutnya. Pemeriksaan pada
sesi ini berguna sebagai template untuk menentukan abnormalitas dan
kemungkinan pasien cedera. Pengkajian komprehensif ini juga termasuk
riwayat medis sebelumnya, riwayat sosial, pemeriksaan fisik persistem.
Pengkajian ini mirip dengan pengkajian pasien non kritis di ruang rawat biasa.
Pengkajian komprehensif meliputi (Chulay, M dan Suzanne,M.B.,
2006):
a) Riwayat Penyakit Sebelumnya
- Riwayat operasi dan kondisi medis
- Masalah jiwa
- Sebab masuk rumah sakit
- Riwayat obat sebelumnya, obat yang terakhir digunakan termasuk obat
herbal dan alternatif
- Riwayat alergi
- Review persistem
b) Riwayat Sosial
- Usia, gender
- Etnis , asal pasien
- Pendidikan terakhir
- Pekerjaan
- Status pernikahan
- Agama
- Penggunaan alkohol, tembakau dan kafein
c) Pengkajian psikososial
Status fisiologis dan psikologis pasien kritis dapat berubah terkait
terapi farmakologis dan biologis yang bisa berdampak pada perilaku, untuk
mencegah asumsi perawat dapat menanyakan langsung pada pasien atau
keluarga. Pengkajian psikososial meliputi:
- Komunikasi secara umum: perawat mengkaji gaya komunikasi pasien
dan keluarga atau mengamati komunikasi nonverbal melalui ekspresi
wajah, pergerakan mata, pergerakan tubuh, kenaikan tanda-tanda vital
biasanya komunikasi nonverbal ini lebih merefleksikan perasaan
sebenarnya dari pasien.
- Tingkat stress dan kecemasan
Kecemasan adalah kelelahan psiko dan fisiologis. Lamanya dirawat
memerlukan kerja keras dan adaptasi untuk penyembuhan. Ruangan
kritis penuh dengan suara-suara mesin dan stimulus taktil yang bisa
menimbulkan kecemasan bagi pasien. Lingkungan kritis memaksa
pasien terisolasi sosial, hilang kendali, ketergantungan,
ketidakmampuan dan percaya pada perawatan yang tidak dipahaminya.
Gelisah, mudah teralihkan, hiperventilasi, minta perhatian dengan tidak
realistik adalah peringatan awal tanda peningkatan kecemasan.
Obat-obatan seperti interferon, ACE inhibitor, kortikosteroid dan
vasopressor dapat menyebabkan kecemasan. Penghentian tiba-tiba dari
benzodiazepine, cafein, narkotik, nikotin juga bisa menimbulkan
kecemasan. Penyebab lain adalah nyeri, kurang tidur, delirium, hipoksia,
weaning ventilator, takut akan kematian, alat-alat berteknologi tinggi
dan masuk ICU berulang.
- Mekanisme koping
Individu menghadapi kondisi kritis dengan berbagai jenis koping
tergantung kepribadian dan temperamen. Beberapa pasien ingin
diberitahu semua informasi mengenai penyakitnya sehingga cemasnya
berkurang sedangkan yang lain malah bertambah kecemasannya bila
mendengar informasi tentang penyakitnya. Kaji juga spiritual dan
kebutuhan untuk menemui pendeta atau pemuka agama.
Pasien mengekspresikan kopingnya dengan berbagai macam gaya.
Pasien dengan kepribadian yang tabah biasanya tidak disebut dengan
pasien baik karena tidak mau menyusahkan perawat yang sibuk dan
tidak mengeluh meski ada keluarga didekatnya. Beberapa pasien malah
mengekspresikan dengan tindakan manipulatif. Ada beberapa juga yang
meminta disedasi dan diberi obat tidur untuk mengurangi stress. Takut
memegang peran penting dalam kemampuan beradaptasi. Keluarga juga
sama seperti pasien mengalami proses berduka dan melewati fase denial,
syok, marah, tawar menawar, depresi dan menerima.
- Kebutuhan keluarga
Konsep keluarga sekarang bukanlah keluarga inti saja namun telah
meluas pada orang yang disayangi pasien. Idealnya pasien ditanyakan
siapa saja yang diidentifikasinya sebagai keluarga, siapa saja yang boleh
menerima informasi tentang status pasien, dan siapa yang akan
mengambil keputusan bila pasien tidak mampu. Perawat harus fleksibel
terhadap batasan tradisional sanak saudara. Keluarga berdampak sangat
baik bagi kesembuhan pasien
- Orientasi Unit
Orientasikan tentang alat-alat yang terpasang, kebijakan kunjungan,
rutinitas ICU, bagaimana bisa kontak dengan staf (berikan nomor hp dan
nama perawat manajer dan perawat penanggungjawab pasien)
d) Pengkajian fisik
Pengkajian fisik dilakukan dengan mengkombinasi head to toe dan
persistem menggunakan tehnik inspeksi, auskultasi dan palpasi. Walaupun
perkusi sering dilakukan pada pemeriksaan namun jarang dilakukan di area
kritis. Pengkajian nyeri berkaitan dengan sistem penyebab nyerinya misal
nyeri dada maka dokumentasinya akan menyangkut sistem kardiovaskuler.
Nyeri dan tidak nyaman menggambarkan sesuatu yang salah. Persepsi nyeri
sangatlah subjektif sehingga kadang sulit dinilai karena itu biarkan pasien
menggunakan kata-katanya sendiri dan mendeskripsikan nyeri sesuai
keinginannya.
d. Ongoing Assessment
Ongoing assesment (pengkajian lanjutan) menjadi lebih terfokus dan
lebih sering dilakukan untuk mengetahui kondisi kestabilan pasien.
Pemantauan lanjutan ini biasanya dilakukan 1-2 jam sekali pada pasien yang
status fisiologisnya menurun dan 2-4 jam sekali pada pasien yang sudah mulai
stabil kondisinya. Pemantaun ini meliputi pemantauan saraf, kardiovaskular,
respirasi, renal, gastrointestinal, endokrin, hematologi, imun, integumen, nyeri,
dan psikososial. Pengkajian yang lebih mendalam dan khusus untuk setiap
penilaian per sistem akan diperkuat dengan diagnosis dan masalah
patofisiologis pasien.
Pengkajian tambahan juga dilakukan ketika perawat berganti, sebelum
dan sesudah intervensi prosedural utama misalnya intubasi atau memasang
chest tube, sebelum dan sesudah pasien keluar dari ICU untuk pemeriksaan
diagnostik, perubahan status mental dan inisiasi terapi baru (Chulay, M dan
Suzanne,M.B., 2006).

E. Primary Survey dan Secondary Survey di Gawat Darurat


1. Primary Survey
Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum
memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk
menghindari tertular penyakit seperti Hepatitis dan AIDS. Alat proteksi diri
sebaiknya:
 Sarung tangan
 Kaca mata, terutama apabila penderita menyemburkan darah
 Apron, melindungi pakaian sendiri, sepatu

Lakukan primary survey atu mencari keadaan yang mengancam nyawa adalah :
a. Airway dengan kontrol servikal (gangguan airway adalah pembunuh tercepat)
b. Breathing dengan oksigenasi dan ventilasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
d. Disability, status neurologis dan nilai GCS
e. Exposure/environmental,buka baju penderita tetapi cegah hipotermia

a) Menjaga Airway dengan Control Cervikal


Ajaklah penderita bicara, apabila penderita dapat bicara dengan jelas dan
dengan kalimat panjang, maka utuk sementara dapat dianggap bahwa airway dan
breathing dalam keadaan baik. Juga kemungkinan penderita tidak syok, dan tidak
ada kelainan neurologis, namun asusmsi ini selalu lakukan dengan berhati-hati.
Sumbatan pada jalan nafas akan menimbulkan sesak yang harus dibedakan
dengan sesak gangguan breathing. Pada obstruksi jalan nafas biasanya akan
ditemukan pernafasan yang berbunyi seperti: bunyi gurgling(bunyi kumur-kumur
karena adanya cairan), bunyi mengorok (snoring, karena pangkal lidah yang jatuh
ke dorsal) ataupun stridor karena adanya penyempitan/oedem larings.
Pemasangan pipa orofaringeal airway (‘Guedel/Mayo’) jangan dilakukan
apabila penderita masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa tersebut (masih
ada gag reflex). Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa nasofaringeal. Harus
diingat bahwa pemasangan pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi apabila
penderita ada kecurigaan fraktur basis kranii bagian depan, karena pipa dapat masuk
ke rongga kranium.
Apabila penderita apnu, ada ancaman obstruksi ataupun ada ancaman
aspirasi lebih baik memasang jalan nafas definitif (pipa dalam trakea). Jalan nafas
definitif ini dapatmelalui hidung (nasotrakeal), melalui mulut (orotraeal) ataupun
langsung melalui suatu tindakan kriko-tiroidotomi. Menjaga jalan nafas pada
penderita trauma dapat sangat sulit. Sebagai contoh adalah penderita dengan trauma
kapitis dengan mulut yang penuh darah karena raktur basis kranii ataupun karena
fraktur tulang wajah. Contoh lain adalah penderita kesadaran menurun yang gelisah
gigi terkatup. Betapapun sulitnya, tetapi merupakan tugas dokter yang menerima
penderita itu untuk menjaga jalan nafas dengan baik dan dalam watu secepat
mungkin. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, ataupun rotasi dari leher.
b) Breathing dengan Ventilasi
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas adalah mutlak untuk pertukaran oksigen dan
karbondioksida dari tubuh. Tiga hal yang harus dilakukan dalam breathing:
1. Nilai apakah breathinng baik (look, listen, feel)
2. Ventilasi tambahan apabila breathing kurang adekuat
3. Selalu berikan oksigen
1) Menilai pernafasan
Petugas yang berpengalaman dalam hitungan detik dapat menilai apakah
pernafasan baik atau tidak. Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang tanpa ada
kesan sesak, umumnya breathingnya baik. Pernafasan yang baik adalah pernafasan
yang :
 Frekuensinya normal (dewasa rata-rata tidak lebih sekitar 20x/menit, anak
30x/menit bayi40x/menit)
 Tidak ada gejala dan tanda sesak
 Pada pemeriksaan fisik baik
Lakukan pemeriksaan dengan cara :

1. Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat pernafasan yang baik.
Lihat apakah ada jejas, luka terbuka, dan ekpansi kedua paru.
2. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara kedalam kedua paru
dengan mendengar bising nafas (jangan lupa sekaligus memeriksa jantung)
3. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara(hipersonor) atau darah (dull)
dalam rongga pleura.
4. Palpasi merasakan ada atau tidaknya suara krepitasi yang menandakan adanya
fraktur, dislokasi, atau keadaan mengancam lainnya.

Cedera thorax yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan
ditemukan pada saat melakukan survai primer adalah:

 Tension pneumothorax
 Flail chest dengan kontusio paru
 Pneumotoraks terbuka
 Hematothoraks masif

Kelainan-kelainan diatas harus segera di tangani, untuk menghindari kematian

1. Ventilasi tambahan
Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakukan bantuan pernafasan
(assisted ventilation). Di UGD sebaiknya membantu pernafasan adalah dengan
memakai Bag-valve Mask (‘Ambu Bag’), yang lebih dikenal dengan tindakan
bagging ataupun memakai ventilator untuk mendapatkan konsentrasi oksigen
100%.
2. Oksigen
Berikan oksigen, apabila diperlukan kosentrasi oksigen yang tinggi dengan
memakai rebreathing atau non-rebreathing mask, atau dengan kanul (berikan 5-6
LPM)

c) Circulation dengan kontrol perdarahan


Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-bedah yang mungkin
dapat diatasi dengan terapi yang cepatdan tepat di rumah sakit. Syok pada penderita
trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya.
Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik
penderita.
1. Pengenalan syok
Ada dua pemeriksaan yangdalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik, yakni keadaan kulit akral dan nadi.
 Keadaan kulit akral :
Warna kulitdapat membatu diagnosis hipovolemia. Penderita trauama yang
kulitnya kemerahan, terutama pada wajahdan ekstremitas, jarang yang dalam
keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas
yang pucat serta dingin, merupakan tanda syok.
 Nadi :
Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri carotis harus diperiksa
bilateral, untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada syok nadi akan kecil
dan cepat.
2. Kontrol perdarahan
Perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dan internal (tidak terlihat).
Perdarahan inter-nal berasal dari :
 Rongga toraks
 Rongga abdomen
 Fraktur pelvis
 Fraktur tulang panjang
 Jarang : perdarahan retro-peritoneal karena robekan vena kava/aorta atau
perdarahan masif dari ginjal
Perdarahan yang berat harus dikelola pada survai primer, antara lain:
a. Perdarahan eksternal:
Perdarahan eksternal dikendalikan dengan penekanan langsung pada
luka. Jarang diperlukan penjahitan untuk mengendalikan perdarahan luar.
Turniket (tourniquet) jangan dipakai, karena apabila dipasang secara
benar(diatas tekanan sistolik) justru akan merusak jaringan karena
menyebabkan iskemia distal dari turniket. Pemakaian hemostat (‘di klem’)
memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar seperti syaraf dan
pembuluh darah.
b. Perdarahan iternal:
Spalk/bidai dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari suatu
fraktur pada ekstremitas. Pneumatic anti shock garment adalah suatu alat untuk
menekan pada keadaan fraktur pelvis, namun alat ini mahal dan sulit didapat.
Sebagai gantinya dapat dipakaikan gurita sekitar pelvis. Perdarahan intra-
abdominal atau intra-torakal yang masif, dan tidak dapat diatasi dengan
pemberian cairan intravena yang adekuat, menuntut diadakannya operasi
segera untuk menghentikan perdarahan (resusitative laparo/thoracotomy).
3. Perbaikan volume
Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, namun penyediandarah
memerlukan waktu, karena itu pada awalnya akan diberikan cairan kristaloid 1-2
liter untuk mengatasi syok hemoragik melalui 2 jalur dengan jarum intravena
yang besar. Cairan kristaloid ini sebaiknya ringer’s lactate, walaupun NaCl
fisiologis juga dapat dipakai. Cairan ini diberikan dengan tetesan cepat melalui
suatu kateter intravena yang besar (minimal ukuran 16), ‘’diguyur’’. Cairan ini
juga harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya hipotermia. Pemasangan
kateterurin dapat dipertimbangkan disini, guna pemantauan urin.
d) Disability: (defisit neurologis)
Perdarahan intra-kranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat
(the patient who talks and dies), sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis
secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
1. GCS (Glasgow Coma Scale)
GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan
(outcome) bpenderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan perlukaan pada
otak sendiri. Perubahan kesadaran akan dapat menganggu airway serta breathing
yang seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkohol dan
obat-obatan dapat menganggu tingkat kesadaran penderita. Penurunan GCS yang
lebih dari satu (2atau lebih) harus sangat diwaspadai.
2. Pupil
Nilai adakah perubahan pupil. Pupil yang tidak sama besar (anisokor)
kemungkinan menandakan adanya suatu lesi mata intra-kranial (perdarahan).
Perlu diingat biasanya (tidak selalu) akan terjadi pada sisi pupil yang melebar.
3. Resusitasi
Terhadap kelainan primernyadi otak tidak banyak yang dapat dilakukan,
namun tugas sangat penting dari doter yang menerima penderita trauma kapitis di
UGD adalah dengan menghindari cedera otak sekunder (secondary brain injury).
Yang harus dilakukan terapi dengan agresif adalah adanya hipovolomia, hipoksia
dan hiperkarbia untuk menghindari cedera otak sekunder tersebut.
e) Exposure/kontrol lingkungan
Di rumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk
evaluasi kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita. Setelah pakaian di
buka perhatikan injury/jejas pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar
penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat
dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary
survey dicurigai ada perdarahan dari belakang tubuh maka dilakukan ‘log roll’ untuk
mengetahui sumber perdarahan.
f) Folley catheter/kateter urin
Pemakaian kateter urin dan lambung harus dipertimbangkan. Jangan lupa
mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin dan kehamilan pada wanita
hamil usia lanjut. Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai
keadaan hemodinamik penderita. Kateter urin jangan dipakai bila ada dugaan ruptur
uretra yang ditandai oleh:
 Adanya darah dilubang uretra bagian luar (OUE/Orifisum Uretra External)
 Hematom di skrotum
 Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.
Dengan demikian maka pemasangan kateter urin tida boleh dilakukan
sebelum colok dubur (khusus pada penderita trauma).
g) Gastric Tube/ Kateter Lambung
Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah
muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi,
pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat
disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan
lambung. Bila lamina kribosa patah (fraktur basis kranii anterior) atau diduga patah,
kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT
dalam rongga otak.
h) Heart Monitoring / Monitor EKG
Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita.
 Airway : seharusnya sudah diatasi
 Breathing : pemantauan laju nafas (sekaligus memantau airway), dan kalau ada:
pulse oximetry.
 Circulation : nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urin
setiap jam. Bila ada sebaiknya terpasang monitor EKG.
 Disability : nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil.
i) Foto Rontgen
Pemakaian foto ronsen harus selektip, dan jangan menganggu proses
resusitasi pada penderita dengan trauma tumpul harus dilakukan 3 foto rutin :
 Servikal
 Toraks (AP)
 Pelvis (AP)
Foto servikal AP harus terlihat ke-7 ruas tulang servikal, apabila tidak terlihat
harus dengan menarik kedua bahu ke arah kaudal, ataupun dengan swimmer’s view.

2. Secondary Survey
Survai sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut
sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan setiap lubang dimasukan jari
(tube finger in every orifice).
Sedikit mengenai pengertian stabil: penderita stabil berarti bahwa keadaan
penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih ada tanda syok, namun tidak
bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan normal, dimana penderita kembali
pada keadaan normal. Survai sekunder juga harus meliputi pemeriksaan yang teliti
akan setiap lubang alami ( tubes and finger in every orifice ).
1. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin di derita. Beberapa contoh:
 Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman : cidera
wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
 Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
 Terbakar dalam ruangan tertutup : cidera inhalasi, keracunan CO
Anamnesis juga harus meliputi:
A : Alergic/Alergi
M : Medication / Obat-obatan
P : penyakit sebelumnya yang diderita : hipertensi, DM
L : Last meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga, atau petugas pra RS.

2. Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita
yang nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah dilantai yang berasal dari
tetesan luka di belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala
dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal.
b. Wajah
Ingat prinsip: ‘look-listen-feel’. Apabila cedera sekitar mata jangan
lalai memeriksa mata, karena pemengkakan di mata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran
dengan skor GCS
 Mata : periksa cornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokori serta
refleks cahaya, acies visus dan acies campus.
 Hidung : apabila ada pembengkakan, lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
 Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan
adanya fraktur zygoma.
 Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrana timpani atau
adanya hemotimpanum.
 Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas.
 Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
c. Vetebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk
seorang petugas tetap melakukan fiksasi pada kepala.
Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema
subkutan, deviasi trakea, dan simestri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris
dan proteksi servikal.
d. Toraks
Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel. Inspeksi dinding
dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul/
tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi toraks bilateral.
Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising
jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk adanya
hipesonor dan keredupan (dullnes)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepal dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans ototdan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan
dan belakang untuk adanya trauma tajam, tumpul, dan adanya perdarahan
internal.
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri
lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri
lepas yang jelas, atau uterus yang hamil. Bila ragu-ragu akan adanya
perdarahan intra-abdominal dapat dilaukan pemeriksaan DPL (diagnostic
peritoneal lavage), ataupun USG (ultra-sonography).
f. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita
akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
g. Ekstremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan ‘look-feel-move’. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (frakturb
terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur, pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra-kompartemen dalam
ekstermitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput
terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan.
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dengan ‘log roll’(memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung.

3. Tambahan terhadap survei sekunder


Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan: seperti foto
tambahan, CT Scan, USG, endoskopi, dsb.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan dimana
membuat kesimpulan dari data baik subyektif maupun obyektif yang telah
terkumpul yang dibandingkan dengan hipotesis dan pernyataan diagnostik yang
menggambarkan kebutuhan pasien serta keluarga untuk (Hapooja, 2014 dan
Deswani, 2009).
Menurut Bell (2012) kompetensi perawat dalam diagnosa keperawatan
adalah membuat diagnosa atau kondisi relevan dari data hasil pengkajian;
memvalidasi diagnosa tersebut dengan pasien, keluarga dan pelayanan kesehatan;
mendokumentasikan diagnosa dan issu yang relevan dalam format yang jelas dan
mudah dipahami.
Menurut Deswani (2009) proses diagnosa keperawatan terdiri dari proses
interpretasi data dan proses menjamin keakuratan doagnosis tersebut. Selain itu hal
yang perlu diperhatikan dalam diagnosa keperawatan adalah masalah yang
diidentifikasi dalam proses ini mendasari rencana keperawatan. Apabila data
tersebut tidak akurat, tepat, spesifik, dan lengkap maka menghasilkan rencana
keperawatan yang tidak akurat juga dan sebaliknya.
Deswani (2009) juga menyatakan bahwa perawat bertanggungjawab dalam
mengenal masalah klien, mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi dan
melatih kemampuan dalam meyakinkan dan menentukan waktu yang tepat untuk
melakukan intervensi kepada klien. Sementara peran perawat adalah berperan
secara independent, membedakan perannya dengan dokter, memfokuskan peran
mandiri serta menunjukkan bahwa asuhan keperawatan tersebut berkualitas.
Marlynn, Mary & Alice (2014) dan Deswani (2009) menyatakan terdapat
beberapa tahap dalam membuat diagnosa keperawatan yaitu:
1) Mengumpulkan data klien
Data klien diperoleh dengan wawancara, pengkajian fisik dan tes penunjang
yang dikombinasikan dengan data yang diperoleh dari petugas kesehatan
lainnya.
2) Mengkaji dan menganalisis data yang telah diperoleh
3) Mensintesis data yang telah terkumpul sebagai satu kesatuan dan memberikan
label (clinical judgment ) tentang respon klien kedalam masalah aktual atau
beresiko tinggi.
4) Menghubungkan dan membandingkan hubungan dari clinical judgment dengan
faktor yang berhubungan dan karakteristik untuk menentukan diagnosa
keperawatan.
5) Mengkombinasikan diagnosis keperawatan dengan faktor – faktor yang
berhubungan dan karakteristik untuk membentuk pernyataan diagnosa.

4. Perencanaan
Pembuatan kriteria hasil dan perencanaan tindakan adalah tahap ketiga dari
proses keperawatan. Setelah perawat mengkaji kondisi klien dan menetapkan
diagnosis keperawatan, perlu membuat rencana tindakan dan tolok ukur yang akan
digunakan untuk mengevaluasi perkembangan klien. Standar Pelayanan ICU
kemenkes (2006) menyatakan bahwa rencana dibuat setelah memprioritaskan
diagnosa. Perencanaan ini mencakup 4 unsur kegiatan yaitu observasi/monitoring,
terapi keperawatan, pendidikan dan kolaboratif. Pertimbangan lain adalah
kemampuan untuk melaksanakan rencana dilihat dari ketrampilan perawat,
fasilitas, kebijakan dan SOP. Menurut Gilbert, dkk (2009) ada empat elemen
penting yang harus diperhatikan saat membuat perencanaan keperawatan:
1) Membuat Prioritas
Masalah yang mengancam jiwa harus diprioritaskan daripada masalah yang
tidak mengancam jiwa. Berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow, ada lima
tingkatan prioritas penentuan masalah keperawatan. Prioritas tersebut dengan
urutan sebagai berikut kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan
mencintai dan dicintai, kebutuhan dihargai, dan kebutuhan aktualisasi diri. Hal
ini mengandung kesimpulan bahwa di area keperawatan kritis, kebutuhan
fisiologis harus menjadi masalah keperawatan yang utama.
2) Menetapkan tujuan dan membuat kriteria hasil
Tujuan yang diharapkan harus mampu diukur dan reliabel. Perawat
menetapkan nilai untuk klien dalam waktu tertentu. Universitas IOWA,
mengembangkan pengklasifikasian untuk merumuskan tujuan, kriteria hasil
dan intervensi keperawatan. Pengklasifikasian tersebut dikenal sekarang ini
dengan nama Nursing Outcomes Classification (NOC) untuk menentukan
tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan dan Nursing Intervention
Classification (NIC). Contoh penggunaan tujuan yaitu klien mampu
melakukan perpindahan tempat tanpa bantuan, klien mampu menjelaskan
kembali apa yang sudah dijelaskan, dan seterusnya.
3) Merencanakan intervensi keperawatan yang akan diberikan
Perawat melakukan perencaan tindakan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.Intervensi keperawatan dikatergorikan menjadi tiga katergori,
yaitu independen, interdependen, dan dependen. Tindakan yang independen
antara lain pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan kesehatan, promosi
kesehatan, dan konseling. Dalam melakukan tindakan mandiri tersebut
perawat harus mampu mengatur dan membangun keamanan, lingkungan yang
terapeutik, dan komunikasi yang efektif. Tindakan interdependen merupakan
tindakan yang dilakukan oleh perawat bekerjasama dengan ilmu disiplin yang
lain
4) Pendokumentasian
Kriteria hasil yang dibuat menjadi tolok ukur tindakan yang sudah dilakukan
harus berdasarkan hal-hal berikut:
a) Didasarkan pada diagnosis keperawatan
b) Didokumentasikan dengan kata serta bisa diukur
c) Realitas dan bisa dicapai
d) Bisa dilakukan dan dikembangkan oleh klien dan tenaga kesehatan
5). Mencerninkan tindakan keperawatan yang dilakukan dan diobservasi oleh
perawat

5. Intervensi
Intervensi adalah tahap keempat proses keperawatan. Tindakan yang
dilakukan mungkin sama, memungkin juga berbeda dengan urutan yang telah
dibuat pada perencanaan (Debora Oda, 2011). Perawat merawat pasien akut dan
sakit kritis mengimplementasikan rencana, mengkoordinasikan pemberian
perawatan, dan mempekerjakan strategi untuk mempromosikan kesehatan dan
lingkungan yang aman.
Kriteria Pengukuran menurut AACN (2008) yaitu:
1) Intervensi yang disampaikan dengan cara yang meminimalkan komplikasi dan
situasi yang mengancam jiwa.
2) Pasien dan keluarga berpartisipasi dalam melaksanakan rencana sesuai dengan
tingkat partisipasi mereka dan kemampuan pengambilan keputusan.
3) Intervensi yang responsif terhadap keunikan pasien dan keluarga dan membuat
penuh kasih dan lingkungan terapeutik , dengan tujuan untuk mempromosikan
kenyamanan dan mencegah penderitaan.
4) Rencana dan modifikasi yang diterapkan didokumentasikan .
5) Kolaborasi untuk melaksanakan rencana tersebut terjadi dengan pasien,
keluarga, penyedia layanan kesehatan, dan sistem kesehatan.
6) Rencana memfasilitasi pembelajaran bagi pasien, keluarga, staf perawat,
anggota lain dari kesehatan yang tim, dan masyarakat termasuk namun tidak
terbatas pada pengajaran kesehatan, promosi kesehatan, dan manajemen
penyakit sesuai dengan karakteristik pasien.
Selama proses implementasi perawat masih melakukan pengkajian,
mendiagnosa dan membuat rencana perawatan apabila ada perubahan pada status
kesehatan klien. Perawat juga dapat melakukan pengkajian ulang terhadap hasil
diagnostik klien, progress mote dan berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan
yang lain. Beberapa persiapan yang harus perawat lakukan sebelum datang ke klien
seperti:
1) Baca kembali rencana yang telah dibuat dan validasi dengan klien dan anggota
tim lainnya apakah rencana yang dibuat sesuai dengan status kesehatan klien
saat ini, dan lakukan perubahan apa bila diperlukan.
2) Pastikan perawat sebagai pemberi pelayanan kesehatan memiliki kompetensi
yang sesuai, apabila perawat tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan
maka delegasikan pada perawat yang telah memenuhi kriteria kompetensi.
3) Persiapkan klien dan berikan informasi mengenai tindakan yang akan
diberikan.
4) Persiapkan lingkungan seperi ruangan, pencahayaan, peralatan, dan sumber
daya.
Keempat tahapan tersebut mempermudah interaksi antara perawat dengan
klien, dan perlu diingat kembali bahwa intervensi keperawatan ini berpusat pada
klien dan perawat perlu mencatat semua respon klien selama intervensi agar dapat
dilakukan evaluasi dan perbaikan. Intervensi keperawatan mencakup beberapa hal
sebagai berikut: (AACN, 2008)
1) Tindakan langsung yang dilakukan terhadap klien
2) Membantu klien untuk melakukan aktifitasnya
3) Mengobservasi dan supervisi klien apabila kliem mampu melakukan aktifitas
secara mandiri
4) Memberikan pengetahuan kepada klien dan keluarga
5) Memberikan konseling terhadap klien dan keluarga
6) Memonitor dan mengkaji kemungkinan terjadinya komplikasi dari penyakit
yang diderita klien.
Dalam proses intervensi perawat perlu membuat pendokumentasian yang
baik sehingga perubahan yang terjadi pada status kesehatan klien dapat
diinformasikan kepada anggota tim kesehatan yang lain. Menurut ACNP (Acute
Care Nursing Practioner) intervensi keperawatan dalam pelaksanaannya memiliki
tujuan untuk: (AACN, 2008)
1) Membangun hubungan terapetik dengan klien dan pemberi pelayanan lainnya.
2) Mampu mengatur masalah akut, kronik dan kompleks.
3) Memberikan intervensi awal (farmakologis dan non farmakologis) untuk
masalah mental yang biasanya muncul pada klien dengan penyakit akut,
kronik dan kompleks.
4) Melakukan atau mendelegasikan tindakan yang perlu dilakukan kepada orang
yang ahli, sesuai dengan lingkup yang ada dan memperhatikan etik dengan
pertimbangan keamanan, kualitas dan cost efficient.
5) Melaksanakan rencana perawatan yang menggabungkan tujuan restoratif,
curatif, rehabilitatif, maintanance, paliatif dan end-o-life.
6) Berkolaborasi dengan anggota tim interprofesional untuk melaksanakan
rencana perawatan.
7) Melaksanakan intervensi untuk memonitor, menyokong, memperbaiki dan
mendukung klien dengan gangguan penurunan fisiologis yang cepat termasuk
melaksanakan advance life support dan tindakan invasif atau non invasif yang
membantu mengembalikan keadaan stabil.
8) Memonitor efek dari pengobatan termasuk namun tidak terbatas pada
manajemen gejala, manajemen nyeri, sedasi, physical teraphy, occupational
teraphy, terapi bicara, kesehatan rumah, terapi nutrisi dan paliatif atau end-life
terapi.
9) Memonitor pengobatan dan alat-alat yang digunakan dalam pemberian
perawatan sesuai dengan yang seharusnya termasuk pembatasan pemberian
oksigen, BPAP, prosthetic, spint, dan peralatan adatif.
10) Memiliki sertifikat yang disyaratkan
11) Memberikan rujukan dan konsultasi yang sesuai.
12) Melakukan konsultasi sesuai dengan pengetahuan, pendidikan dan
pengalaman.
13) Melakukan promosi kesehatan, menjaga kesehatan, melindungi kesehatan dan
pencegahan terhadap penyakit yang sesuai dengan umur klirn, tahap
perkembangannya, enis kelamin, budaya dan status kesehatan.
14) Menggunakan teknologi dengan benar sesuai dengan etik dalam melaksanakan
rencana perawatan.
15) Melaksanakan intervensi terapetik yang mengutamakan keselamatan dan
mengurangi resiko.
16) Tepat, percaya diri, dan mengikuti semua ketentuan etik profesi, menentukan
keputusan, dan respon klien dalam catatan kesehatan klien yang dapat
dimengerti dan diperbaiki.
17) Komunikasikan perkembangan rencana perawatan pada klien, pemberi
pelayanan kesehatan dan tim interprofesional.
6. Evaluasi
Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan yang merupakan
dasar pertimbangan yang sistematis untuk menilai keberhasilan tindakan
keperawatan dan sekaligus merupakan alat untuk melakukan pengkajian ulang
dalam upaya melakukan modifikasi/ revisi diagnosa dan tindakan. Evaluasi dapat
dilakukan setiap akhir tindakan pemberian asuhan yang disebut sebagai proses dan
evaluasi hasil yang dilakukan untuk menilai keadaan kesehatan klien selama dan
pada akhir perawatan. Evaluasi dicatat pada catatan perkembangan klien
(Kemenkes, 2006) Adapun kriteria pengukuran yaitu:
a. Evaluasi bersifat sistematis dan berkelanjutan dengan menggunakan teknik
berbasis bukti dan instrumen .
b. Tim penyedia pasien, keluarga, dan kesehatan yang terlibat dalam proses
evaluasi sebagai tepat.
c. Evaluasi efektivitas intervensi untuk mencapai hasil yang diinginkan terjadi
d. Evaluasi terjadi dalam kerangka waktu yang tepat setelah intervensi dimulai
e. Data penilaian yang sedang berlangsung akan digunakan untuk merevisi
diagnosa, hasil, dan rencana yang diperlukan .
f. Hasil evaluasi didokumentasikan
Kriteria evalusi tergambar dalam pemberian pelayanan oleh perawat.
Dalam melakukan evaluasi perawat menggunakan analitis kritis dari rencana yang
telah dilakukan apakah perlu perbaikan ataukah tujuan yang diharapkan telah
tercapai. Tujuan dari proses evaluasi menurut Lombardo, D. (2005) adalah untuk
estimasi apakah pemberian pelayanan efektif atau tidak. Evaluasi mungkin step
terakhir dari proses keperawatan tetapi bukan tindakan terakhir. Evaluasi
membantu perawat untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan
kualitas perawat sendiri dan ini merupakan siklus yang tidak pernah selesai.
Evaluasi membutuhkan pengkajian yang terus menerus terhadap kondisi
menentukan tindakan keperawatan yang sesuai, apakah perawat perlu melakukan
perubahan pada intervensi yang dilakukan, mengembangkan masalah yang
dihadapi oleh klien dan perlu tidaknya mengubah prioritas untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan yang berubah.
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Critical Care Nurses. (2008). Scope and Standards of Practice
for The Acute Care Nurse Practitioner. AACN Critical Care Publication : USA.
Diakses 17 Maret 2013.
Bell, L. (2015). AACN Scope and Standard for Acute and Critical Care Nursing Practice.
USA.
Chulay, M dan Suzanne,M.B. (2006). AACN Essentials Of Critical Care Nursing. USA:
The McGraw-Hills Companies Inc.
Cruz, D. Guedes, E. Santos, A. Sousa, R. Turrini, T. Maia, M. Araújo, N. (2016). Nursing
process documentation: rationale and methods of analytical study, Rev Bras
Enferm, (1), pg. 183-189.
De Medeiros Dantas, AL., de Almeida Medeiros, AB., de Araújo Olímpio, J., de Sá
Tinôco, JD., da Conceição Dias Fernandes, MI. and de Carvalho Lira, ALB.
(2016). Nursing Diagnoses of the Domain Safety/Protection and Socioeconomic
and Clinical Aspects of Critical Patients. Open Journal of Nursing, 6 pg.314-322.
Debora Oda. (2011). Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Salemba Medika.
Deswani. (2009). Proses Keperawatan dan Berfikir Kritis. Jakarta: Salemba Medika.
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Kemenkes. 2006. Standar Pelayanan Keperawatan Di ICU. Jakarta: Direktorat
Keperawatan Dan Keteknisian Medis Dirjen Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan.
Lombardo, D. (2005). Patient asessment. In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s
manual of emergency care, ed 6. Philadelphia: Mosby.
Marlynn, D., Mary, M., & Alice, M. (2014). Nursing Care Plan: Guidelines for
Individualizing. Philadelphia: Davis Company.
Newfield, SA. Hinz, M. D. Scott Tilley, D. Sridaromont, K. L. Joy Maramba, P. (2007).
Cox's clinical applications of nursing diagnosis Adult, Child, Women’s, Mental
Health, Gerontic, and Home Health Considerations. F. A. Davis Company
Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatn Konsep dan Praktik ed. 2. Jakarta:
Salemba Medika Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatn Konsep
dan Praktik ed. 2. Jakarta: Salemba Medika
Yildirim & Ozkahraman. 2011. Critical Thingking in Nursing Process and Education.
International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 13.

You might also like