You are on page 1of 136

Jurnal Bawaslu

ISSN 2443-2539
Herdiansah, A.G.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 169-183

POLITISASI IDENTITAS DALAM KOMPETISI


PEMILU DI INDONESIA PASCA 2014

Ari Ganjar Herdiansah


Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran, Sumedang, Indonesia, ari.
ganjar@unpad.ac.id

ABSTRACT

Identity has always been a political commodity driven by politicians in the electoral
competition in Indonesia. This paper analyzes how the politicization of identity
strengthens after the 2014 election and explains its potentials for political instability
and national integration. The data used in this study gathered from the literature
review and news analysis of identity and election, especially in the post-2014. This paper
reveals that the weak party institutionalization encourages politicians to collaborate
with civil society actors to reproduce identity issues for the sake of elections winning.
The personalization of the party by its leader connected to a network of identity
mass bases run the politicization in a natural setting. The further development of
the politicization of the identity has the potential to divert substantial political issues
such as government programs and public interests. In the economic field, political
upheaval that involving the masses would weaken the confidence of investors and
business actors in propelling the economic wheels. Also, political discord based on
identity could damage social capital and decrease people’s ability to produce its best
endeavor.

Keywords
Election, identity politics, political party, national stability

Politik Identitas 169

02 JURNAL BAWASLU.indd 169 12/6/17 3:47 PM


ABSTRAK

Identitas senantiasa menjadi komoditas politik yang digulirkan oleh para politikus
dalam pertarungan pemilu di Indonesia. Tulisan ini menganalisis bagaimana politisasi
identitas menguat pasca pemilu 2014 dan menjelaskan potensi-potensinya terhadap
instabilitas politik dan integrasi bangsa. Data-data yang digunakan berasal dari kajian
pustaka dan analisis berita-berita terkait dengan pemilu dan identitas, terutama pasca
2014. Tulisan ini mengungkapkan bahwa lemahnya institusionalisasi partai mendorong
para politisi berkolaborasi dengan aktor-aktor civil society untuk mereproduksi isu-isu
identitas demi kepentingan pemilu. Personalisasi partai oleh figur pemimpinnya yang
terhubung dengan jejaring basis massa berdasarkan identitas menjadikan politisasi
identitas seolah-olah berjalan alamiah. Perkembangan politisasi identitas lebih lanjut
berpotensi mengalihkan persoalan politik substansial seperti program pemerintah dan
kepentingan publik. Di bidang ekonomi, kegaduhan politik yang melibatkan massa
akan melemahkan kepercayaan investor dan pelaku usaha dalam menggerakkan
roda perekonomian. Selain itu, pertentangan politik berdasarkan identitas dapat
merusak modal sosial dan menurunkan kapasitas masyarakat dalam menghasilkan
pencapaian terbaiknya.

Kata Kunci
Pemilu, Politik identitas, Partai Politik, Stabilitas nasional

1. Pendahuluan kepentingannya. Akan tetapi, politisasi


Politik pemilu pasca 2014 ditandai identitas juga berpeluang melemahkan
dengan menguatnya politisasi identitas. nilai-nilai demokrasi itu sendiri apabila
Isu-isu yang berkaitan dengan etnik, menjurus pada perpecahan yang
agama, atau ideologi tertentu digunakan menyebabkan terjadinya instabilitas
oleh sebagian elite politisi untuk politik.
membangun citra negatif lawan-lawan Politisasi (politicization) merupakan
politiknya (Mietzner, 2014). Maraknya proses akuisisi kapital politik oleh suatu
diskursus yang mengaitkan isu agama kelompok, institusi, atau kegiatan yang
dan politik pemilu pasca Pilpres 2014 diarahkan untuk mencapai kepentingan
serta gelombang unjuk rasa yang dalam mencapai atau mempertahankan
menyertai Pemilihan Gubernur Jakarta kekuasaan (Adediji 2016: 115). Sementara
2017 merupakan indikasi menguatnya yang dimaksud identitas sesuai dengan
politisasi identitas menuju pemilu 2019 pengertian yang berlaku dalam ilmu
(Herdiansah, Junaidi, & Ismiati, 2017). politik dan sosiologi, yakni kategori sosial
Demokrasi memang memberikan ruang di mana orang-orang yang ditempatkan
bagi setiap kelompok identitas untuk pada suatu kategori diasumsikan memiliki
turut berpartisipasi dan mencapai ‘identitas’ yang sama. Identitas kemudian

170 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 170 12/6/17 3:47 PM


digunakan untuk mencapai kepentingan diperlukan untuk mencapai kepentingan-
tertentu dari kelompok yang bersangkutan kepentingan publik yang adil (Bozeman,
(Burke 2003: 1). Politisasi identitas 2007: 109). Lebih lanjut, politisasi identitas
dalam artikel ini diartikan sebagai upaya yang melibatkan gerakan-gerakan massa
untuk menggunakan, mengeksploitasi, akan mengganggu roda perekonomian.
atau memanipulasi identitas apakah itu Kondisi sosial politik yang tidak stabil
berbasis agama, etnik, atau penganut akan mengikis kepercayaan investor
ideologi tertentu untuk menimbulkan dan menyulitkan pelaku usaha dalam
opini atau stigma dari masyarakat dengan menjalankan bisnisnya. Pertentangan
tujuan kepentingan politik. politik berdasarkan identitas pun
Artikel ini berupaya menjelaskan dapat merusak modal sosial, sehingga
mengapa politisasi identitas dalam pemilu menurunkan kapasitas masyarakat dalam
menguat pasca 2014 dan bagaimana menghasilkan pencapaian-pencapaian
potensi-potensinya terhadap instabilitas terbaiknya.
politik dan integrasi bangsa. Studi ini
berasumsi bahwa politisasi identitas 2. Metode Penelitian
tidak terlepas dari masih lemahnya Dengan menganalisis proses-proses
institusionalisasi partai politik di Indonesia politisasi identitas dalam pemilu yang
(Ufen, 2008), sehingga mendorong para dimediasi oleh para aktor politik dan
politisi berkolaborasi dengan aktor-aktor masyarakat sipil, pendekatan yang
civil society untuk mereproduksi isu-isu digunakan dalam artikel ini adalah
identitas demi kepentingan pemilu. Salah metode kualitatif. Studi literatur
satu faktor lemahnya institusionalisasi digunakan terutama untuk menelusuri
partai politik, yakni personalisasi partai perkembangan politisasi identitas dalam
politik oleh figur pemimpinnya yang politik pemilu dengan penekanan pasca
terhubung dengan jejaring basis massa 2014. Pengamatan terhadap berita-
yang tidak jarang merepresentasikan berita yang berkaitan dengan isu-isu
identitas tertentu (Buehler, 2009: 55). Hal identitas dalam pemilu pasca 2014
tersebut menjadikan politisasi identitas dilakukan untuk menggali indikasi-
semakin terfasilitasi dalam berbagai ajang indikasi berlakunya politisasi identitas.
pemilu. Dalam upaya memberikan gambaran
Perkembangan politisasi identitas mengenai akibat-akibat yang dapat
dalam pemilu di Indonesia patut muncul dari politisasi identitas dalam
dicermati, karena praktik tersebut pemilu di Indonesia, studi ini merujuk
berpotensi mengarah pada dampak yang pada literatur-literatur politik identitas
berlawanan dengan tujuan demokrasi itu yang kemudian dijadikan perspektif untuk
sendiri. Perjuangan solidaritas kelompok memahami gejala-gejala serupa.
di sisi lain juga mengandung upaya
mempromosikan ketidaksetaraan hak
3. Perspektif Teori
sipil dalam kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi (Tornquist, 2009: 7). Padahal, Politik identitas merupakan sikap
dalam kehidupan yang demokratis, politik yang fokus pada sub kelompok dan
partisipasi dari seluruh institusi sosial merujuk pada aktivisme atau pencarian

Politik Identitas 171

02 JURNAL BAWASLU.indd 171 12/6/17 3:47 PM


status yang dilandaskan pada kategori atas ekspresi spontan. Para politisi saat
ras, gender, etnisitas, orientasi budaya, ini memanipulasi politik identitas demi
dan identifikasi politik lainnya. Isunya kepentingannya, misalnya kandidat harus
pada orientasi politik kelompok sub- merepresentasikan sub-sub kelompok
nasional melihat perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat (Wiarda, 2014).
yang ada dalam masyarakat. Di luar itu, Elite politik memainkan peran penting
politik identitas juga dapat mengacu pada dalam menentukan tujuan dan taktik.
identitas kebangsaan atau identitas diri Klaim-klaim identitas seringkali dibentuk
(self-identity) yang melintasi batas-batas dan disalaharahkan oleh dinamika intra
etnik atau nasionalisme, misalnya isu dan inter kelompok. Pada tingkat intra
wanita dan imigran (Wiarda, 2014). kelompok, elite dapat membingkai tradisi-
Politik identitas adalah ciri yang tradisi kelompok untuk memelihara
tidak dapat dihindari dari demokrasi kekuasaan dan otoritasnya menghadapi
liberal, sebab sistem politik itulah yang potensi pertentangan baik dari dalam
memberikan ruang bagi tumbuhnya upaya- maupun luar kelompok. Elite-elite
upaya kelompok dalam mengartikulasikan minoritas seringkali mereproduksi
kepentingan dan tujuannya. Namun perasaan diskriminasi sebagai alasan
identitas dalam demokrasi memuat perjuangan (Eisenberg and Kymlicka
masalah lain, karena identitas kelompok 2011: 3).
lebih bersifat memberi batasan ketimbang Elite politik sering bertindak seperti
membebaskan individu (Gutmann, 2003: entrepreneur melakukan strategi-
1). Selain itu, dalam demokrasi deliberatif strategi yang oportunistik tentang
yang mengutamakan dialog, klaim politik bagaimana memobilisasi identitas
identitas tidak selalu mendukung nilai- untuk meningkatkan status baik dalam
nilai kebebasan dan keadilan, tetapi masyarakat yang lebih luas maupun
juga klaim yang dapat mengancam atau dalam kelompoknya. Politisasi identitas
merusak nilai-nilai tersebut (Eisenberg tidak hanya berwujud sebagai ekspresi
and Kymlicka 2011: 2). perasaan atau pandangan kelompok
Permasalahan lainnya dari tentang pengalaman tertentu misalnya
perjuangan politik identitas ialah siapa diskriminasi, tetapi juga sebagai kendaraan
yang memberikan hak kepada kelompok instrumental dan oportunistik bagi elite
yang mengatasnamakan identitas, yang orientasi kepentingan pribadi
misalnya agama atau etnis? Sementara (Weinstock, 2006).
etnis dan agama adalah konsep yang Ketika politik identitas dimanipulasi
dibangun secara sosial. Artinya, konsepsi oleh kepentingan elite politik, maka
dan batasan identitas dapat ditafsirkan terdapat beberapa risiko yang dapat
secara beragam, sehingga menimbulkan mengancam kehidupan demokrasi.
ambiguitas terkait kepentingan dan Terlebih lagi, dalam keadaan heterogenitas
tujuan siapakah yang diemban dalam etnik yang seringkali menjadi hambatan
perjuangan politik identitas? (Ingram bagi konsolidasi demokrasi (Birnir, 2007:
2004: 55). 61). Pertama, politik identitas membentuk
Karena itu, gerakan perjuangan hierarki dalam kelompok-kelompok
identitas saat ini sangat jarang terwujud minoritas. Ketika tuntutan-tuntutan

172 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 172 12/6/17 3:47 PM


dari kelompok politik identitas dipenuhi politik cenderung mudah menggunakan
para elitenya semakin berani untuk isu-isu yang dapat memobilisasi massa
meningkatkan tekanan terhadap para secara efektif. Selain itu, penggunaan
anggota kelompoknya dalam membela isu-isu identitas juga menggambarkan
nilai-nilai tradisional di ruang publik. ketidakmampuan partai-partai politik
Sebaliknya, ketika tuntutan kelompok untuk menunjukkan kinerja secara
politik identitas tidak dipenuhi mereka substantif, sehingga pertanyaan lebih
dapat memicu “cultural defensiveness” diarahkan pada isu-isu non substansial
yang juga memperkuat elite-elite Isu-isu substansial lebih dipahami oleh
konservatif yang mendorong para anggota masyarakat dibandingkan dengan isu-isu
kelompok untuk menaati tanda-tanda kebijakan.
identitas secara ketat demi melindungi
kelompok dari tekanan atau ancaman 4. Hasil dan Pembahasan
pihak luar (Weinstock, 2006). 4.1 Institusionalisasi Politik dan Politisasi
Kedua, risiko gerakan politik Identitas di Indonesia
identitas dikooptasi oleh negara. Politik Perubahan politik pasca Suharto
identitas menjadi obat darurat untuk ditandai dengan pembangunan institusi-
menyelesaikan masalah sosial yang institusi demokrasi, di mana dalam hal
kritis, termasuk rasisme, kemiskinan, dan ini partai politik yang tumbuh subur
perampasan (dispossession). Dampaknya, berkompetisi pada pemilu yang adil dan
kelompok akan menonjolkan sisi terbuka untuk meraih kekuasaan. Namun,
primordialisme dan aspek sakral secara demokrasi prosedural saja tidak cukup
berlebihan, dan meningkatkan stereotipe untuk memperbaiki kualitas kehidupan
pada kelompok-kelompok lawannya. politik, tetapi juga diperlukan partai politik
Para pejabat pemerintah cenderung yang terlembagakan dengan baik, sehingga
dipengaruhi pandangan-pandangan memiliki kapasitas untuk menghubungkan
stereotipe dalam memutuskan kebijakan pemilih dengan pemilu. Institusionalisasi
atau perkara. Ketiga, itu, komunitas merupakan proses di mana organisasi
demokratis akan dilemahkan karena atau praktik-praktik berpolitik menjadi
orang-orang mengacu pada basis-basis stabil dan dipatuhi secara luas. Para aktor
yang membedakan mereka daripada membangun harapan-harapan, orientasi,
menyatukan mereka. Modal sosial yang dan perilaku berdasarkan premis dasar
berbasis pada saling percaya sulit dicapai bahwa organisasi akan mampu mengatasi
akibat fragmentasi etnik dan keagamaan. masalah atau mencapai tujuan di masa
Keempat, identitas adalah pokok yang depan (Mainwaring & Scully, 1995: 3).
sulit untuk didialogkan secara rasional Nampaknya, institusionalisasi partai
serta non-negotiable, sehingga berpotensi politik masih menjadi persoalan. Partai-
menciptakan deadlock dan konflik terbuka partai mengandalkan figur atau tokoh-
(Weinstock, 2006). tokoh yang memiliki akses terhadap
Alcoff and Mohanty (2006: 2) simpul-simpul basis massa dalam
menunjukkan bahwa pertarungan politik rangka memperoleh asupan suara yang
yang memanipulasi dengan isu-isu maksimal. Simpul-simpul itu biasanya
identitas akan menyebabkan elite-elite dibangun berdasarkan klan dan hubungan

Politik Identitas 173

02 JURNAL BAWASLU.indd 173 12/6/17 3:47 PM


patronase elite lokal, sehingga pada (Singh, 2003). Sementara Partai Golkar
gilirannya kemudian institusionalisasi yang juga merepresentasikan partai
partai tersebut tetap lemah dan tidak nasionalis sekuler tetapi diwarnai dengan
banyak membantu proses demokratisasi gaya aristokrasi Jawa. Namun, pada
politik (Buehler & Tan, 2007: 65). 1990an kader-kader pemimpin partai
Buehler (2013: 79) mengatakan ini juga diisi oleh tokoh-tokoh organisasi
bahwa lemahnya institusionalisasi partai, sipil Islam, seperti HMI, sehingga
terlebih lagi di tingkat daerah, mendorong dipandang cenderung bersahabat dengan
para politisi lokal bersandar pada broker- kepentingan dan aspirasi umat Islam
broker suara demi meraih kemenangan (Baswedan, 2004).
pemilu. Akibatnya, partai politik menjadi Ketika aliran yang juga
terpersonalisasikan pada figur lokal. menggambarkan identitas politik
Dinamisasi tersebut meningkatkan mempengaruhi spektrum partai, Liddle
pertukaran di antara elite politik pusat, dan Mujani justru menyatakan bahwa
elite politik lokal, dan elite-elite simpul identifikasi partai berbasis latar belakang
massa lokal. Sebagian elite simpul sosiologis tidak lagi berlaku pada
lokal tersebut mengandalkan kelompok pemilu pemilu 1999 dan 2004. Perilaku
berbasis keagamaan yang juga seringkali memilih lebih ditentukan oleh figur
bersifat radikal. Lebih lanjut Buehler juga pemimpin, sehingga konsep aliran pada
menekankan pembuatan kebijakan yang spektrum partai tidak berkorelasi dengan
terkait dengan gerakan sosial di daerah keterpilihan partai. Dari keseluruhan
tidak bertalian dengan partai politik dan responden dalam surveinya itu, sekitar
opini publik, tetapi kelompok-kelompok 88 persen yang memilih Megawati
informal yang tidak terorganisir yang akhirnya memilih PDIP, 89 persen yang
beroperasi di luar politik institusional. memilih Habibie memilih Partai Golkar,
Dalam konteks pemilu di Indonesia, 95 persen yang memilih Abdurrahman
lemahnya insitusionalisasi partai Wahid memilih PKB, dan 75 persen yang
berkelindan dengan penggunaan identitas memilih Amien Rais ternyata memilih
atau aliran sebagai komoditas politik. PAN. Pola yang sama terdapat pada hasil
Berdasarkan konsepsi Geertz (1976), survey pemilu 2004, di mana Yudhoyono
sederhananya aliran dibagi dalam tiga, mendapatkan dukungan dari 82 persen
yaitu santri yang preferensi politiknya pemilih Partai Golkar, 78 persen pemilih
condong pada partai Islam, abangan yang PPP, dan bahkan 29 persen pemilih PDIP.
preferensi pilihannya pada partai sekuler Intinya, dalam konteks pemilu faktor
kiri, dan priayi yang identik dengan identifikasi terhadap figur pemimpin
aristokrat Jawa. Semenjak pemilu 1999, atau elite telah mendominasi pengaruh
partai-partai politik dapat dipetakan pemilih ketimbang politik aliran (Permata
dalam spektrum ideologi nasionalis & Kailani, 2010).
sekuler hingga Islam konservatif. PDIP Namun, King (2003) menunjukkan
yang didirikan oleh Megawati dikenal pendapat yang berbeda. Berdasarkan
dalam kategori sekuler kiri, karena secara kajian perbandingan hasil pemilu 1955
sejarah mereka adalah gabungan partai- dengan 1999, King menemukan pola yang
partai nasionalis, sosialis-kiri, dan Kristen serupa di mana para pemilih terkumpul

174 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 174 12/6/17 3:47 PM


pada partai-partai dengan basis identitas dalam proses meraup suara. Masih dalam
sosial keagamaan. Meskipun dua pemilu konteks Pilpres 2004, misalnya, Megawati
tersebut berjarak lebih dari empat berusaha memperoleh sokongan dari
dekade, preferensi pemilih partai Islam kalangan Islam tradisionalis dengan
(PKB, PAN, dan PPP) pada 1999 ternyata menggaet Hasyim Muzadi sebagai
sama dengan pemilih partai Islam di kandidat wakil presiden. Tetapi, dukungan
pemilu 1955 (Masyumi, Partai NU, PSII). NU terpecah setelah Abdurrahman
Di sisi lain, para pemilih sekular yang Wahid menyiratkan dukungannya
memilih PNI dan PKI pada pemilu 1955 terhadap Yudhoyono (Mietzner, 2009).
memiliki kemiripan dengan pemilih Partai Kemenangan Yudhoyono-Kalla tidak lepas
Golkar dan PDIP pada pemilu 1999. dari keberhasilannya dalam menyatukan
Hal tersebut bermakna identitas yang basis dukungan Muslim tradisionalis,
direpresentasikan melalui konsep aliran yakni dari kalangan NU, dan Muslim
masih berlaku dalam pemilu, tetapi modernis, yang direpresentasikan oleh
kemudian dipengaruhi atau dimediasi oleh PAN dan PKS.
faktor kolaborasi figur ketika konteksnya Pada Pilpres 2009, persona figur
adalah pemilihan presiden. semakin mendominasi preferensi pemilih.
Dalam peristiwa pemilihan presiden, Proyeksi identitas berdasarkan aliran
partai-partai yang berkoalisi tidak terlalu tidak begitu kentara pada figur kandidat.
mempertimbangkan batasan ideologi. Pada pasangan Yudhoyono-Budiono,
Akan tetapi, unsur representasi identitas misalnya, kedua sosok tersebut tidak
pemilih pada masing-masing calon menandakan secara jelas mewakili
kandidat cukup mudah diidentifikasi. golongan mana, terutama Budiono yang
Pada putaran pertama pemilihan presiden berasal dari kalangan teknokrat. Dua
2004, terdapat lima pasang calon yaitu pasangan lainnya, Megawati-Prabowo
pertama, Wiranto-Solahudin Wahid yang dan Jusuf Kalla-Wiranto, juga tidak
diusung Partai Golkar, merepresentasikan begitu merepresentasikan identitas yang
unsur militer dan Islam/NU. Kedua, spesifik, kecuali Megawati yang lekat
Megawati-Hasyim Muzadi yang diusung dengan golongan sekularis kiri. Akan
PDIP merepresentasikan nasionalis tetapi, pengelompokan partai pendukung
sekuler dan Islam/NU. Ketiga, kandidat sedikit banyak menggambarkan
pasangan Amin Rais-Siswono yang preferensi pilihan. Terutamanya pada
diusung PAN merepresentasikan Islam/ pasangan Yudhoyono-Budiono yang
Muhammadiyah dan sekuler kiri. didukung oleh Partai Demokrat, PKS, PKB,
Keempat, Yudhoyono-Jusuf Kalla yang PKNU, PPP dan PBB, di mana partai-partai
diusung koalisi Partai Demokrat, PBB berbasis Islam hadir di sana.
dan PKPI merepresentasikan militer Faktor utama kemenangan
dan nasionalis Islam. Kelima, pasangan Yudhoyono-Budiono adalah elektabilitas
Hamzah Haz-Agung Gumelar yang diusung Yudhoyono yang kokoh di berbagai
PPP merepresentasikan Islam/NU dan polling (Firmanzah, 2011). Di saat yang
militer. bersamaan, suara partai-partai Islam
Upaya-upaya meraih dukungan basis dalam pemilu legislatif 2009 justru
massa berdasarkan identitas berlangsung mengalami penurunan yaitu menjadi

Politik Identitas 175

02 JURNAL BAWASLU.indd 175 12/6/17 3:47 PM


29 persen dari 37 persen di pemilu non-pemerintah selama 10 tahun dan
sebelumnya. Menurut Aspinall (2010), cenderung bersikap sebagai partai oposisi
kemunduran elektoral partai-partai Islam memberikan dampak sulitnya jalinan
dalam pemilu 2009 menandakan lunturnya konsolidasi basis massa Islam dengan
politik aliran. Menguatnya peran media basis massa nasionalis sekuler dan
massa dan model-model kampanye yang turut mendorong tanda-tanda politisasi
modern dan kreatif melemahkan perilaku identitas menjelang pemilu 2014.
pemilih berdasarkan identitas kolektif.
Partai-partai dengan citra identitas 4.2 Politisasi Identitas pasca Pemilu
kolektif yang kuat, seperti PDIP dan 2014
PKB, mengalami penurunan suara yang Fenomena terjadinya politisasi
drastis. Indikasi lain melemahnya politik Identitas berbasis agama dan etnik
aliran adalah berhasilnya partai-partai semakin menguat menjelang dan pasca
yang menggunakan pesona personal yang pemilu 2014. Kubu-kubu pendukung
kuat, seperti Partai Demokrat dan Partai calon presiden pada masa itu saling
Gerindra. Periode 2009 menunjukkan membentuk poros untuk melawan satu
kebangkitan pola pemilih individual yang sama lain melalui identitas yang melekat
merujuk pada karakter kandidat. pada karakter personal kandidat yang
Meskipun konsepsi aliran tidak lagi kemudian diteruskan pada komponen-
sesuai untuk menjelaskan konfigurasi komponen pendukungnya. Polarisasi
Pilpres 2009, politisasi identitas poros kandidat, antara Prabowo dan
sebenarnya masih digunakan oleh para Jokowi terlihat menyiratkan kalangan yang
kandidat Pilpres 2009. Seperti yang dapat dikategorikan berdasarkan identitas
tercermin sikap bersahabat Yudhoyono agama. Partai-partai berbasis Islam
terhadap partai-partai Islam dan ormas- banyak yang mendukung pendukung
ormas Islam menunjukkan bahwa Prabowo-Hatta, seperti PKS, PAN, dan
representasi identitas masih dianggap PPP (kubu Djan Faridz). Sementara
sebagai variabel penting dalam menjaga partai berbasis Islam pendukung Jokowi-
keseimbangan dukungan politik terhadap Jusuf Kalla hanya PKB dan PPP (kubu
pemerintah. Meskipun partai-partai Romahurmuzy). Partai pengusung utama
saat ini telah terdorong pada skema Jokow-Jusuf Kalla, yakni PDIP yang
tindakan pragmatis, tetapi pada saat merepresentasikan nasionalis sekuler-
yang bersamaan mereka pun tidak kiri memberikan warna tersendiri atas
terlepas dari pemanfaatan isu-isu dan kontestasi pemilu dengan nuansa aliran
identitas agama untuk menarik simpati (Herdiansah, Putri, Ashari, & Maduratmi,
pemilih. Partai-partai Islam akan terus 2017).
berupaya untuk menyimbolkan diri, Nuansa identitas-aliran, Islam
walau tidak membatasi diri, sebagai berhadapan dengan nasionalis sekuler,
representasi kalangan santri dan orientasi memenuhi diskursus rivalitas politik
kebijakan yang pro terhadap syariat terutama di media sosial. Sepanjang
atau pro mendudukkan Islam dalam kampanye Pilpres 2014, berbagai
politik (Pepinsky, Liddle, & Mujani, kampanye hitam yang memojokkan
2012). Bertahannya PDIP sebagai partai lawan politik seringkali menyinggung

176 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 176 12/6/17 3:47 PM


karakteristik agama dan etnik kandidat. di Kepulauan Seribu pada September
Misalnya, tuduhan bahwa Jokowi adalah 2016. Setelah potongan video pidato
seorang yang lahir dari simpatisan PKI tersebut tersebar luas di media sosial,
dan keturunan China yang anti-islam. berbagai kelompok Islam melakukan
Sementara Prabowo diidentikkan dengan aksi unjuk rasa baik di Jakarta maupun
sosok militer diktator dan didukung oleh di daerah-daerah. Aksi yang diikuti oleh
kelompok Islam radikal serta intoleran. ratusan ribu hingga jutaan peserta itu
Setelah Pilpres 2014 usai dan dinamai sebagai Aksi Bela Islam yang
dimenangkan oleh Jokowi-Jusuf Kalla, dilakukan tiga kali, yaitu pada 17 Oktober
sentimen berbasis agama dan etnik 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember
kepada Jokowi terus bergulir. Presiden 2016. Mereka menuntut pemerintah
(caretaker) PKS pada waktu itu, Anis supaya proses hukum terhadap Ahok atas
M a t t a , b a h ka n m e n g ga m b a r ka n tuduhan penistaan agama ditegakkan.
suasana politik pasca 2014 sebagai Mereka antara lain Front Pembela Islam
era pertarungan ideologi konservatif (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut
melawan liberalisme (Kompas.com, 21 Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Nasional
September 2014). Konsolidasi politik Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia
yang tersendat di awal pemerintahan (PNPF-MUI), dan puluhan organisasi Islam
turut mendorong instabilitas politik, di lainnya (Herdiansah, Junaidi, et al., 2017).
mana kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Gelombang unjuk rasa yang terjadi
kekuatan oposisi untuk terus menyerang terus menerus tidak hanya ditujukan
kelemahan pemerintah. Isu-isu yang kepada Ahok, tetapi juga Jokowi karena
bersinggungan dengan keagamaan dianggap sebagai pendukung utama
dengan cepat mendapatkan reaksi yang Ahok. Seiring dengan tekanan besar
menganggap pemerintah seolah-olah dari berbagai daerah, elektabilitas
tidak simpati terhadap umat Islam. Ahok terus menyusut (Detik.com, 2016,
Seperti ketika Menteri Dalam Negeri, 1 Desember 2016). Pada akhirnya,
Tjahjo Kumolo, mengusulkan untuk pemilihan gubernur dimenangkan oleh
menghapus kolom agama. Tindakan pasangan Anies-Sandi dengan yang
tersebut kemudian mendapatkan reaksi didukung oleh Partai Gerindra dan PKS
dari kelompok-kelompok keagamaan. NU jumlah suara 57,96 persen (Merdeka.
dan Muhammadiyah keberatan dengan com, 5 Mei 2017). Kedua partai tersebut
penghapusan kolom agama karena selama itu konsisten berseberangan
dikhawatirkan kebebasan menjadi liar dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
(Republika.co.id, 12 Juni 2014). Selain karena faktor limpahan pendukung
Politisasi identitas dalam pemilu Agus-Silvy dan sifat tenang pada diri
mendapatkan momentum pada Pemilihan Anies-Sandi, kemenangan Anies-Sandi
Gubernur DKI Jakarta 2017. Pertarungan pada Pilgub DKI 2017 juga tidak terlepas
memperebutkan kursi DKI 1 kemudian dari sikap sebagian besar pemilih yang
dipenuhi oleh sentimen agama semenjak mementingkan agama dan didukung oleh
Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, kekuatan kelompok-kelompok Islam (BBC.
dituduh melakukan penistaan terhadap com, 27 April 2017).
Islam ketika melakukan pidato kedinasan

Politik Identitas 177

02 JURNAL BAWASLU.indd 177 12/6/17 3:47 PM


Namun demikian, perlu digarisbawahi pasca pemilihan gubernur DKI Jakarta
b a hwa ke m e n a n ga n A n i e s - S a n d i 2017. Kemenangan Anis-Sandi seolah-olah
bukan semata-mata karena politisasi membuktikan bahwa politisasi identitas
identitas. Peristiwa perseteruan Ahok kembali dapat dijadikan kekuatan elektoral
dan pendukungnya dengan kelompok- yang efektif untuk melawan kekuatan
kelompok Islam, sehingga berujung di politik yang dominan. Pola tersebut
peradilan atas kasus penistaan agama berpotensi untuk digunakan pada Pilkada
merupakan faktor pemantik politisasi serentak 2018, terutama di daerah-daerah
identitas pada Pilgub Jakarta. Artinya, berpenduduk banyak seperti di Jawa Barat,
politisasi identitas tidak berdiri sendiri Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebab,
melainkan saling terkait dengan peristiwa kemenangan di daerah-daerah tersebut
dan faktor lainnya, seperti adanya dianggap dapat membuka peluang yang
perasaan tidak nyaman dari sebagian lebih lebar bagi kemenangan pemilu
masyarakat dan marjinalitas kelompok legislatif dan Pilpres 2019.
tertentu. Pada gilirannya, kondisi itulah M o b i l i s a s i ke k u a t a n o p o s i s i
yang dapat dimanfaatkan oleh elite- dapat berjalan dengan massif apabila
elite politik untuk menggunakan isu-isu mendapatkan dukungan luas dari
identitas dalam rangka memaksimalkan masyarakat. Salah satu kunci dukungan
perolehan suara. itu adalah apabila pihak oposisi mampu
Keberhasilan kekuatan kelompok- menjadi kekuatan yang menampung
kelompok Islam pada Pilgub Jakarta atau merepresentasikan keluhan yang
2017 membentuk suatu pola yang dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat.
direplikasi pada ajang pemilu selanjutnya, Karena itu, isu-isu yang sensitif, termasuk
yakni Pilkada serentak 2018 dan Pilpres isu-isu identitas etnik dan keagamaan,
2019. Tetapi tentu saja politisasi identitas dapat dijadikan sebagai modal bagi
tidak serta merta dapat diterapkan. kekuatan oposisi untuk meraih simpati
Apabila pihak petahana dapat menjaga d a r i m a sya ra kat . Pa d a b e r b a ga i
isu-isu identitas supaya tidak sampai kesempatan, politisasi identitas dalam
terangkat di masyarakat, pihak oposisi pemilu termanifestasi pada upaya-upaya
nampaknya akan mengalami kesulitan mobilisasi massa untuk menunjukkan
menggunakan isu-isu tersebut. Sebab, kekuatan jumlah (the power of numbers)
mobilisasi massa yang jumlahnya besar kepada penguasa. Namun, mobilisasi
dapat terwujud apabila terdapat pemicu massa yang berlangsung terus-menerus
yang disadari bersama dan menyentuh tentu akan mengganggu stabilitas politik.
aspek yang paling esensial dari kehidupan Konsentrasi massa di ruang-ruang publik
masyarakat. akan memicu gerakan-gerakan tandingan,
sehingga friksi dan konflik sosial tidak
4.3 Dampak Politisasi Identitas terhadap terhindarkan lagi.
Stabilitas Politik dan Integrasi Mobilisasi massa yang berlangsung
Bangsa secara massif juga dapat menurunkan
Seperti yang telah diuraikan pada tingkat kepercayaan investor untuk
bagian sebelumnya, politisasi identitas menanamkan modalnya di Indonesia.
sepertinya telah menemukan momentum Kekacauan politik sama artinya dengan

178 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 178 12/6/17 3:47 PM


ketidakpastian bagi para pelaku usaha aksi-aksi kolektif juga merupakan jalan
dan tentu dapat mengakibatkan kerugian yang sah bagi kelompok-kelompok yang
baik materi maupun materiil. Ketika tersisih dari aspek sosial ekonomi dan
pemerintah membutuhkan investasi politik untuk meraih kepentingannya,
dari sektor swasta untuk menggulirkan ketika saluran-saluran institusional kurang
program pembangunan, terutama tersedia untuk mereka. Karena itu,
infrastruktur, maka kekacauan akibat Schlesinger (1998) menyarankan supaya
aksi-aksi massa akan menambah kesulitan kelompok-kelompok yang marjinal harus
pemerintah dalam mencapai program- diintegrasikan pada kelompok mainstream
program yang justru semestinya segera daripada terus merayakan perbedaan.
dimanfaatkan oleh masyarakat. Senada dengan itu, Huntington (1993)
Karena upayanya yang bekerja di dalam Clash of Civilization melihat
ranah kesadaran dan emosi masyarakat, bahwa perbedaan yang didominasi politik
politisasi identitas berpotensi mengganggu identitas yang sempit akan menghilangkan
modal sosial dan lebih luas lagi dapat makna nasionalisme. Karena itu, solusi
mengancam integrasi bangsa. Politik yang bisa ditempuh yaitu menekankan
identitas pada dasarnya bersifat self- kembali identitas (re-identity) nilai-nilai
interest, atau mengutamakan pencapaian kebangsaan.
kepentingan kelompoknya. Politisasi
identitas berseberangan dengan semangat 5. Simpulan
kesatuan karena terlalu menekankan Menguatnya politisasi identitas
keragaman. Penekanan politisasi dalam pemilu di Indonesia pasca 2014
solidaritas kelompok yang spesifik dan tidak terlepas dari pola penggunaan
identitas akan merusak kesatuan sosial identitas oleh partai maupun elite
politik, memperparah pembelahan politik dalam menggalang dukungan
sosial yang pada akhirnya justru suara di era sebelumnya. Lemahnya
mengurangi peluang untuk mencapai institusionalisasi partai turut mendorong
tujuan kelompok tersebut, tetapi hanya partai-partai dan para elite politikus
diarahkan untuk meraih tujuan segelintir berkolaborasi dengan elite-elite di ranah
elite (Schlesinger, 1998). Kolaborasi civil society yang memiliki simpul-simpul
partai politik dengan kelompok-kelompok suara. Cara tersebut dipandang lebih
militan dalam upaya memobilisasi suara efektif menggalang dukungan suara,
justru akan semakin memperparah ketimbang harus melakukan sosialisasi
keadaan. Kelompok-kelompok tersebut politik secara intensif yang belum tentu
cenderung menonjolkan perbedaan dapat dipahami oleh sebagian besar
dan menyediakan pedoman perilaku masyarakat. Menguatnya figur nasional dan
serta berupaya memonopoli kebenaran dominannya preferensi yang dimediasi oleh
dan kepatuhan total pada konformitas media massa pada Pilpres 2009 ternyata
kelompoknya (Vertigans, 2008: 52). tidak menghapus pola politisasi identitas.
Namun, politik identitas bukan Simpul-simpul partai yang berbasis pada
berarti tindakan yang selalu dianggap identitas (Islam) sebagai pendukung utama
negatif atau berseberangan dengan kandidat presiden mengambil bentuk lain
demokrasi. Politisasi identitas berupa dari politisasi identitas.

Politik Identitas 179

02 JURNAL BAWASLU.indd 179 12/6/17 3:47 PM


Secara politik dan sosial, politisasi pemenuhan kesejahteraan dan menekan
identitas dapat mengganggu stabilitas angka pengangguran. Persinggungan
nasional. Namun, menguatnya politisasi mereka dengan broker-broker politik
identitas merupakan dampak dari kondisi menjadi hubungan timbal balik yang
sosial ekonomi masyarakat di Indonesia sama-sama menguntungkan. Karena itu,
yang memang tarafnya masih rendah. penguatan civil society yang independen
Suburnya organisasi-organisasi massa dan otonom serta menghindari perayaan
yang seringkali membawa perjuangan perbedaan juga harus dibarengi dengan
identitas menandakan bahwa pemerintah u s a h a - u s a h a u nt u k m em p er keci l
kurang begitu berhasil dalam menyediakan kesenjangan sosial di masyarakat.

180 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 180 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Adediji, A. (2016). The Politicization of Ethnicity as Source of Conflict: The Nigerian


Situation. Berlin: Springer VS.
Alcoff, L. M., & Mohanty, S. P. (2006). Reconsidering Identity Politics: An Introduction.
In L. M. Alcoff, M. Hames-Garcia, S. P. Mohanty, & P. M. L. Moya (Eds.),
Identity Politics Reconsidered. New York: Palgrave Macmillan.
Aspinall, E. (2010). INDONESIA IN 2009: Democratic Triumphs and Trials. Southeast
Asian Affairs, 103–125.
Baswedan, A. R. (2004). Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory.
Asian Survey, 44(5), 669–690.
BBC.com. (2017, April 20). Ketika Anies-Sandi menang dengan kekuatan Islamis -
BBC Indonesia. BBC.com. Retrieved from http://www.bbc.com/indonesia/
indonesia-39644574
Birnir, J. K. (2007). Ethnicity and Electoral Politics. Cambridge: Cambridge University
Press.
Bozeman, B. (2007). Public Values and Public Interest: Counterbalancing Economic
Individualism. Washington: George Washington University Press.
Buehler, M. (2009). Islam and democracy in Indonesia. Insight Turkey, 11(4), 51.
Buehler, M. (2013). Subnational Islamization through Secular Parties: Comparing
“Shari’a” Politics in Two Indonesian Provinces. Comparative Politics, 46(1),
63–82.
Buehler, M., & Tan, P. (2007). Party-candidate relationships in Indonesian local politics:
A case study of the 2005 regional elections in Gowa, South Sulawesi Province.
Indonesia, 84(84), 41–69. https://doi.org/10.2307/40376429
Burke, P. J. (2003). Introduction. In P. J. Burke, T. Owens, R. T. Serpe, & P. A. Thoits
(Eds.), Advances in Identity Theory and Research . New York: Plenum Publishers.
Detik.com. (2016, December 2). Elektabilitas Ahok-Djarot Turun Tajam, ke Mana
Suara Partai Pendukung? Detik.com. Retrieved from https://news.detik.com/
berita/d-3360147/elektabilitas-ahok-djarot-turun-tajam-ke-mana-suara-partai-
pendukung
Eisenberg, A., & Kymlicka, W. (2011). Bringing Institutions Back In: How Public
Institutions Assess Identity. In A. Eisenberg & W. Kymlicka (Eds.), Identity
Politics in the Public Realm: Bringing Institutions Back In. Vancouver: UBC Press.
Firmanzah. (2011). Mengelola Partai politik: Komunikasi dan Posisioning Ideologi di
Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Geertz, C. (1976). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.
Gutmann, A. (2003). Identity in Democracy. Oxfordshire: Princeton University Press.
Herdiansah, A. G., Junaidi, & Ismiati, H. (2017). Pembelahan Ideologi,Kontestasi
Pemilu, dan Ancaman Keamanan Nasional: Spektrum Politik Indonesia Pasca
2014? Jurnal Wacana Politik, 2(1).

Politik Identitas 181

02 JURNAL BAWASLU.indd 181 12/6/17 3:47 PM


Herdiansah, A. G., Putri, D. A., Ashari, L., & Maduratmi, R. (2017). The Islam Defence
Action  : A Challenge of Islamic Movement to Democratic Transition in the
Post 2014 Indonesia. Jurnal Wacana, 20(2), 57–67.
Huntington, S. P. (1993). The Clash of Civilizations? Foreign Affairs, 72(3), 22. https://
doi.org/10.2307/20045621
Ingram, D. (2004). Rights, Democracy, and Fulfillment in the Era of Identity Politics:
Principle Compromises in a Compromised World. Marryland: Rowman and
Littlefield Publishers, Inc.
King, D. Y. (2003). Half-hearted Reform  : Electoral Institutions and the Struggle for
Democracy in Indonesia. Development. Portsmouth: Greenwood Publishing
Group.
Kompas.com. (2014, September 21). Anis Matta Anggap Koalisi Merah Putih Konservatif
dan Koalisi Jokowi-JK Liberal - Kompas.com. Kompas.com. Retrieved from
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/21/11095221/Anis.Matta.Anggap.
Koalisi.Merah.Putih.Konservatif.dan.Koalisi.Jokowi-JK.Liberal.
Mainwaring, S., & Scully, T. (1995). Building Democratic Institutions: Party System in
Latin America. California: Standford University Press.
Merdeka.com. (2017, May 5). Sah! KPU DKI tetapkan Anies-Sandi menang Pilgub DKI
2017 | merdeka.com. Merdeka.com. Retrieved from https://www.merdeka.
com/politik/sah-kpu-dki-tetapkan-anies-sandi-menang-pilgub-dki-2017.html
Mietzner, M. (2009). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent
Transition to Democratic Consolidation. Institute of Southeast Asian Studies.
Mietzner, M. (2014). Indonesia’s 2014 Elections: How Jokowi Won and Democracy
Survived. Journal of Democracy, 25(4), 111–125.
Pepinsky, T. B., Liddle, R. W., & Mujani, S. (2012). Testing Islam’s Political
Advantage:evidence from Indonesia. American Journal of Political Science,
56(3), 584–600. https://doi.org/10.1111/j.1540-5907.2011
Permata, A.-N., & Kailani, N. (2010). Islam and the 2009 Indonesian elections, political
and cultural issues: the case of the Prosperous Justice Party (PKS). (R. Madinier,
Ed.). Bangkok: IRASEC.
Republika.co.id. (2014, June 23). Muhammadiyah-NU Tolak Hapus Kolom Agama |
Republika Online. Republika.co.id. Retrieved from http://www.republika.co.id/
berita/koran/news-update/14/06/23/n7lzeb18-muhammadiyahnu-tolak-hapus-
kolom-agama
Schlesinger, A. M. (1998). The Disuniting of America: Reflections on a Multicultural
Society (Revised Edition). New York: W. W. Norton & Company.
Singh, B. (2003). The 2004 presidential elections in Indonesia: much ado about
nothing? Contemporary Southeast Asia, 25(3), 431–448.
Tornquist, O. (2009). Introduction: The Problem is Representation. In O. Tornquist,
N. Webster, & K. Stokke (Eds.), Rethinking Popular Representation - Google
Books. New York: Palgrave Macmillan.

182 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 182 12/6/17 3:47 PM


Ufen, A. (2008). Political party and party system institutionalization in Southeast Asia  :
lessons for democratic consolidation in Indonesia, the Philippines and Thailand.
The Pasific Review, 21(3), 327–350. https://doi.org/10.1080/09512740802134174
Vertigans, S. (2008). Militant Islam: A Sociology of Charcetristics, Causes and
Consequences. United Kingdom: Taylor & Francis.
Weinstock, D. M. (2006). The Real World of (Global) Democracy. Journal of Social
Philosophy, 37(1), 6–20.
Wiarda, H. J. (2014). Political Culture, Political Science, and Identity Politics: An Uneasy
Alliance. Ashgate.

Politik Identitas 183

02 JURNAL BAWASLU.indd 183 12/6/17 3:47 PM


184 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 184 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Sweinstani, M.K.D & Hasanah, RU.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 185-198

INTEGRASI NASIONAL DAN EKSLUSIONARIS IDENTITAS


DALAM PILKADA 2017: STUDI KASUS PILKADA MALUKU UTARA,
DKI JAKARTA, DAN KALIMANTAN BARAT

Mouliza K.D Sweinstani


Bawaslu RI, Jakarta, Indonesia, moulizadonna@gmail.com

Rury Uswatun Hasanah


Bawaslu RI, Jakarta, Indonesia, ruryuswatunhasanah@gmail.com

ABSTRACT

Primordialism that is understood as something inherent in each individual, often


misunderstood and used for the political interests of some groups. Utilization of
primodialism can be seen through the implementation of elections, including elections
in 2017 in West Kalimantan, North Maluku, and DKI Jakarta which became the locus
of this study. By using explanatory qualitative method, this study aims to explain how
the pattern of identity utilization in the three areas. In addition, the author tries to
identify what kind of utilization patterns are used in each region which will then
be linked to national integration. To understand the case of identity utilization, the
author uses the concept of national integration submitted by Weiner.

Keywords
Identity, Local Executive Election, National Integration, SARA, Primordialism

ABSTRAK

Primordialisme yang dipahami sebagai sesuatu yang melekat dalam diri setiap individu,
kerapkali disalah persepsikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sejumlah
kelompok. Pemanfaatan primodialisme tersebut dapat dilihat melalui penyelenggaraan

Politik Identitas 185

02 JURNAL BAWASLU.indd 185 12/6/17 3:47 PM


Pilkada, termasuk Pilkada tahun 2017 di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan DKI
Jakarta yang menjadi lokus penelitian ini. Dengan menggunakan metode kualitatif
yang bersifat eksplanatory, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana
pola pemanfaatan identitas di tiga daerah tersebut. Di samping itu, penulis mencoba
untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan yang seperti apa yang digunakan pada
masing-masing daerah yang kemudian akan dikaitkan dengan integrasi nasional.
Untuk memahami kasus pemanfaatan identitas, penulis menggunakan konsep integrasi
nasional yang disampaikan oleh Weiner.

Kata Kunci
Identitas, Integrasi Nasional, SARA, Promordialisme, Pilkada Serentak

1. Pendahuluan nasional sebagai negara baru. Berbagai


Pemilihan kepala daerah (Pilkada) negara-negara tersebut antara lain terdiri
secara langsung menjadi saluran bagi atas negara di kawasan Asia dan Afrika,
masyarakat untuk memilih pemimpin seperti Indonesia, Malaya, Burma, India,
sesuai pilihannya. Di samping itu, pilkada Lebanon, Maroko, dan Nigeria. Negara-
secara langsung mampu memberikan negara tersebut menghadapi kebingungan
ruang terhadap masyarakat untuk aktif dalam membentuk sistem politik dan
berpartisipasi dalam politik. Hal ini pemerintahan setelah merdeka. Mereka
berarti Pilkada dapat menjadi salah mengalami pencarian identitas negara
satu cara untuk penguatan demokrasi dan benturan nilai antara nilai lokal dalam
di tingkat lokal. Namun, penguatan masyarakat dan nilai yang dibawa oleh
demokrasi tersebut terganjal oleh isu-isu penjajah mereka.
primordialisme yang digulirkan pada saat Proses pencarian identitas nasional
penyelenggaraan pilkada. Primordialisme terus berlangsung sekalipun negara-
yang dimaksud adalah suatu hal yang negara tersebut telah merdeka beberapa
melekat sejak lahir pada setiap individu. tahun. Selama proses pencarian identitas
Geertz mengklasifikasikan primordialisme tersebut terjadi benturan dan gesekan
menjadi enam jenis, yaitu ikatan darah, nilai dari setiap golongan yang disebut
ras, bahasa, daerah, agama, dan adat sebagai sentimen primordial. Untuk kasus
(Geertz, 1965). di Indonesia, sentimen primordial dapat
Isu-isu primordial yang berkembang ditemukan pada masa Demokrasi Liberal.
pada era saat ini berbeda dengan konteks Pada masa tersebut dapat disaksikan
pada saat Indonesia baru merdeka. terjadi pergantian kabinet secara berkali-
Ketika Indonesia merdeka, suasana kali akibat sentimen primordial demi
dunia internasional yang tengah diwarnai kepentingan politik setiap golongan.
dengan negara-negara baru merdeka Meminjam pandangan Herbert Feith
sehingga isu primordial yang ada pada perbedaan kepentingan politik dan
saat itu sebagai bentuk pencarian identitas kelompok tersebut terjadi sebagai akibat

186 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 186 12/6/17 3:47 PM


penyebaran kekuasaan baik dalam serta bukan pilihan yang dibuat oleh
birokrasi pemerintahan maupun partai- individu tersebut, menjadi sesuatu
partai (Feith, 1973). pembeda dengan pihak lain yang
Sementara, pada saat ini, kerapkali dibenturkan. Seharusnya isu
isu primordial dimanfaatkan untuk primordial tidak perlu untuk kembali
kepentingan politik salah satunya dipermasalahkan karena identitas
dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam nasional bangsa Indonesia (nation-state
konteks pilkada di Indonesia, isu-isu identity) telah terbentuk. Argumen
primordialisme masih ditemukan di tersebut berangkat dari penjelasan James
sejumlah daerah, misalnya di Maluku Kellas menyatakan bahwa pembentukan
Utara, DKI Jakarta, dan Kalimantan negara-bangsa tidaklah berdasarkan
Barat. Pada penyelenggaraan pilkada kepada etnisitas semata. Perbedaan
serentak 2017 di Maluku Utara, isu- etnisitas, budaya, dan identitas tidak
isu primordialisme yang dimanfaatkan perlu dipermasalahkan ketika suatu
bakhkan cenderung mengarah pada negara telah mempunyai nasionalisme
hal-hal destruktif adalah isu-isu yang resmi. Ia mendefinisikan nasionalisme
berkaitan dengan perbedaan suku. resmi sebagai nasionalisme yang tidak
Selama proses kampanye dalam pilkada berdasarkan kepada etnisitas, identitas
tersebut berhembus persoalan tentang bangsa, dan budaya sehingga semua
tidak diperkenankannya untuk memilih orang dapat menjadi warga negara secara
pasangan calon yang berasal dari luar sah dan legal tanpa mempertimbangkan
setiap kabupaten/kota bahkan Provinsi hal-hal tersebut (Kellas, 1998). Namun,
Maluku Utara. Materi kampanye yang pada praktik di Indonesia isu primordial
digencarkan pada saat pilkada serentak dijadikan alat kepentingan politik yang
2017 adalah penekanan untuk memilih apabila terjadi pembiaran terhadap
putera daerah. Berbeda dengan di salah persepsi terhadap primordialisme
Maluku Utara, di DKI Jakarta isu agama tersebut, dapat memunculkan potensi
adalah isu yang dimanfaatkan dalam terganggunya integrasi nasional. Berbagai
penyelenggaraan Pilkada DKI 2017 Pada bentuk ancaman yang berpotensi
saat itu, terdapat isu tentang himbauan menggangu integrasi diantaranya adalah
tidak memilih pasangan calon yang konflik kekerasan dan penyebaran
berbeda agama dengan pemilih. Berbagai kebencian. Persoalan sejenis ini tidak
isu primordial tersebut diangkat menjadi dapat diabaikan dan dibutuhkan
materi kampanye dengan tujuan untuk manajemen atas keberagaman yang ada
memenangkan pasangan calon yang di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan
didukung dan menjatuhkan lawannya. suatu strategi penanganan terhadap
Konsekuensi dari berbagai dampak maraknya penyebaran isu primordial
negatif pemanfaatan identitas dalam yang berpotensi mengancam integrasi
penyelenggaraan Pilkada tersebut adalah nasional.
terbangunnya salah persepsi mengenai Berbagai studi mengenai politik
primordialisme yang seharusnya dipahami identitas telah banyak dituliskan oleh
sebagai suatu hal yang melekat pada sejumlah akademisi. Melalui tulisan
diri setiap orang dan suatu pemberian, yang berjudul Politik Identitas Etnis di

Politik Identitas 187

02 JURNAL BAWASLU.indd 187 12/6/17 3:47 PM


Kalimantan Barat, Tanasaldy menjelaskan suku, dan lainnya memicu konflik
bahwa konflik etnis di Kalimantan Barat tersendiri, termasuk kekerasan. Berbeda
berkembang di masa akhir pemerintahan dengan studi sebelumnya, penelitian
Orde Baru. Konflik tersebut muncul ini menekankan kepada bagaimana
berkaitan dengan perpolitikan dimana keterkaitan primordialisme dengan
etnis Dayak berusaha mendapatkan integrasi nasional. Selain itu, penulis
perwakilan di bidang eksekutif dan akan memulai analisis ini dengan
legislatif setelah sekian lama etnis tersebut mengidentifikasi bagaimana pola unsur
mengalami marjinalisasi (Tanasaldy, 2014). pembentukan identitas yang terjadi
Perebutan posisi strategis menjadi pemicu pada Pilkada tahun 2017. Selanjutnya,
konflik yang berujung kepada kekerasan penulis akan mulai mengidentifikasi
antara etnis Melayu dan Dayak. Studi lain keterkaitan ekslusionarisme1 identitas
yang juga mengangkat politik identitas pada Pilkada 2017 dengan integrasi
adalah disertasi Buchari yang berjudul nasional. Terakhir, strategi menghadapi
Politik Identitas Etnis Dayak Pada Pilkada isu primordialisme menjadi tawaran
Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2007. penulis untuk menangani permasalahan
Melalui tulisannya, Buchari menjelaskan yang berkaitan dengan identitas.
bahwa marjinalisasi dan diskriminasi
etnis Dayak di Kalimantan Barat telah 2. Metode Penelitian
menyebabkan ikatan emosional etnis Metode penelitian yang penulis
Dayak semakin erat dan kuat, sehingga gunakan dalam tulisan ini adalah
memunculkan politik identitas etnis metode kualitatif dengan jenis penelitian
Dayak dan membuat lebih mudah eksplanatori. Penelitian eksplanatori
dikonsolidasikan untuk memilih tokoh dari adalah penelitian yang tidak saja
enis Dayak sebagai Gubernur (Buchari). memberikan gambaran penelitian
Selain itu, keterbukaan akses dan namun juga mencari penyebab dan
kesempatan pada era Reformasi menjadi
titik balik etnis Dayak untuk terlibat dalam
kontestasi di Pilkada. Selanjutnya, Salim
melalui tulisannya dengan judul Politik 1 Craigh menjelaskan bahwa kemungkinan
Identitas di Maluku Utara mengemukakan negatif dari politik identitas adalah
bahwa politik identitas menguatkan posisi eksklusionarisme yang ditandai dengan
elit dan penguasa lokal di Maluku Utara. adanya pemahaman bahwa identitas
sebagai suatu yang bersifat esensialis.
Di samping itu, isu primordial diangkat
Pandangan tersebut berasal dari Isin
dalam konteks perebutan kekuasaan dan Wood yang membedakan identitas
politik di Maluku Utara. menjadi dua kelompok. Pertama,
Studi-studi sebelumnya telah kelompok essensialist yang melilhat
mengutarakan bahwa di berbagai daerah identitas sebagai manifestasi dari
perbedaan yang sangat jelas atau dalam
di Indonesia masih kental dengan isu
istilah Young merupakan kondisi objektif
primordial. Selain itu, isu primordial dari individu, seperti ras, gender, kelas,
menjadi permainan politik dalam etnisitas, dan orientasi seksual. Kedua,
rangka mendapatkan posisi strategis kelompok konstuktif yang memandan
di pemerintahan. Persaingan etnis, identitas sebagai suatu hal yang tidak
tetap dan dapat berubah. (Suseno, 2010)

188 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 188 12/6/17 3:47 PM


alasan atas suatu fenomena. Penelitian akan menjelaskan bagaimana pola
ini berangkat dari suatu teori atau unsur pembentuk identitas yang
fenomena yang telah diketahui dan dimanfaatkan dalam Pilkada Langsung
telah tersedia penjabarannya. Untuk itu, 2017 di beberapa daerah di Indonesia.
dengan melakukan penelitian ini biasanya Penulis juga akan menjelaskan bagaimana
seorang peneliti akan menguji teori atau konsepsi identitas yang dimaknai pada
prinsip yang telah ada tersebut lalu ia pemanfaatan identitas dalam Pilkada
dapat menjabarkan, mengembangkan, tersebut serta bagaimana dampaknya
atau justeru menentang penjelasan teori pada konstruksi identias yang dibangun.
yang telah ada sebelumnya. Dengan kata Menurut Iris Young (1990), kelompok
lain, penelitian jenis ini ujuan utamanya sosial di dalam masyakat tidak hanya
adalah menjelaskan alasan terjadinya diikat oleh atribut-atribut yang bersifat
suatu peristiwa dan untuk membentuk, ekternal yang melekat pada diri mereka
memperdalam, mengembangkan, atau namun juga diikat oleh apa yang disebut
menguji teori (Neuman, 2013). dengan a sense of identity. Sekalipun
Berkaitan dengan riset ini, penulis seseorang tidak memiliki ciri-ciri kondisi
akan menjelaskan bagaimana pola objektif (warna kulit, jenis kelamin,
pemanfaatan identitas pada masing- umur, ras, etnis, kelas, wilayah, dan
masing daerah. Setelah memberikan sebagainaya) yang sama dengan sebagian
penjelasan mengidentifikasi pola besar orang dalam kelompok tersebut,
yang mana yang digunakan pada dengan adanya rasa kesamaan identitas,
masing-masing daerah, penulis akan dia tetap dapat diakui dan mengakui
mengaitkan nya dengan integras i dirinya sebagai bagian dari identitas
nasional. Di sini penulis akan lihat kelompok itu. Rasa kesamaan identitas
bagaimanakah konsep integrase nasional tersebut dapat tumbuh dalam diri
yang dikemukakan oleh Wainer dapat individu maupun kelompok dikarenakan
dijelaskan dengan kasus pemanfaatan terdapat keterkaitan latar belakang
identitas pada penyelenggaraan Pilkada historis dan kultural di antara keduanya
2017. Keseluruhan data yang akan sehingga hal tersebut mampu mengikat
penulis gunakan dapat riset ini adalah individu melampaui hal-hal atributif yang
jenis data primer yang diperoleh melalui menajadi ciri dari identitas. Oleh karena
FGD terhadap pengawas pemilu di itu, identitas (baik kelompok maupun
masing-masing daerah objek studi dan individu) di sini diartikan sebagai bentuk-
data sekunder yang berasal dari laporan bentuk khas narasi-narasi budaya yang
Bawaslu, Koran, Jurnal, dan sebagainya. menciptakan adanya persamaan dan
perbedaan di antara diri kita dengan orang
3. Perspektif Teori lain yang dengan stabil menafsirkan posisi
Teori pertama yang akan penulis sosial mereka (Davis, 2000). Sementara
gunakan dalam tulisan ini adalah Teori politik identitas dengan demikian berarti
Politik Identias yang dikemukakan oleh pemanfaatan identitas individu maupun
Iris Young, Nira Yuval Davis, Isin dan kelompok untuk kepentingan-kepentingan
Wood, dan Craigh. Dengan menggunakan politik tertentu.
pisau analisis politik identitas, penulis

Politik Identitas 189

02 JURNAL BAWASLU.indd 189 12/6/17 3:47 PM


Berkaitan dengan konsep-konsep kemungkinan negatif dari politik identitas.
identitas, Isin dan Wood membedakan Apabila identifikasi identitas selalu
konsep identias menjadi dua kelompok dimaknai sebagai esensialisme, maka
utama. Pertama kelompok essentialist, konstruksi sosial yang demikian dapat
yang melihat identitas sebagai manifestasi menjadi ekslusionarisme yang merupakan
dari perbedaan yang sangat jelas atau akibat dari konstruksi identitas kelompok
dalam istilah Young disebut sebagai yang sangat dramatis.
kondisi objektif seseorang yang berkaitan Selanjutnya berkaitan dnegan
dengan gender, ras, kelas, etnisitas, atau primordiamisme, menurut Geertz pola-
orientasi sosial. Kedua, kelompok yang pola berbeda terkait sentimen primordial
mengembangkan pandangan konstruktif terdiri dari lima pola. Pertama, satu
yang tidak melihat identitas sebagai kelompok dominan dan berjumlah
sesuatu yang tetap dan tidak berubah (Isin sedikit, seperti Siprus dengan Yunani
& Wood, 1999). Pandangan kedua tentang dan Turki. Kedua, satu kelompok sentral
identitas ini lebih mengedepankan pada berdasarkan kedaerahan, seperti Jawa
pemahaman bahwa upaya pembentukan lawan kelompok luar Jawa. Ketiga,
identitas seseorang akan selalu bersifat dua kelompok yang hampir seimbang
adaptif terhadap perkembangan zaman. kedudukannya, seperti kelompok Melayu
Identitas tidak bersifat tetap dan tidak dan Cina di Malaya. Keempat, pola
pernah stabil melainkan identitas gradasi berupa kelompok besar, kelompok
dapat berubah sewaktu-waktu bahkan medium, dan kelompok kecil dalam suatu
adakala identitas yang pada suatu saat negara, seperti di Filipina dan Nigeria.
dimaknai sebagai pembeda dirinya Kelima, terjadi fragmentasi etnis yang
dengan kelompok lain, di lain kesempatan menyebabkan terbentuknya berbagai
identitas tersebut dapat menjadi hal kelompok kecil, seperti di kebanyakan
yang menandakan persamaan dirinya negara Afrika. negara dan cerminan
dengan kelompok lain. Paham kedua negara demokrasi.
tentang identitas ini memercayai bahwa Pe n t i n g nya m e n g e l o l a a n i s u
identitas selalu bersifat relasional, tidak primordialisme di negara-negara plural
pernah selesai, dan sedang dalam proses sesungguhnya tidak lain ditujukan untuk
pembentukan. tercapainya integrasi nasional. Myron
Isin dan Wood menjelaskan bahwa Weiner dalam Flinkle mengetengahkan
konsepsi identitas yang non-esensial di sebuah kualifikasi sifat yang selajutnya
atas berpotensi untuk membuka celah digunakan ketika membicarakan salah
guna memahami lebih baik mengapa satu bentuk dari masalah integrasi.
kelompok mempunyai perasaan yang Ia mengetengahkan beberapa bentuk
sangat kuat akan identitas mereka dan integrasi yaitu, pertama, Integrasi
mengapa mereka menggunakan identias Nasional. Istilah integrasi ini berkaitan
mereka dalam perjuangan mendapatkan dengan pluralitas di dalam suatu nation-
pengakuan. Calhoun Craigh dalam state yang sebetulnya bangunan nation-
bukunya Social Theory and the Politics state ini terdiri dari berbagai macam
of Identity yang dikutip oleh Isin dan bangsa yang memiliki budaya, bahasa,
Wood menyatakkan bahwa terdapat nilai, dan sistem politiknya masing-

190 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 190 12/6/17 3:47 PM


masing. Keragaman di dalam nation- individu tersebut menjadi faktor yang
state ini sesungguhnya dicirikan dengan penting dalam mendukung pembangunan
dengan tingginya loyalitas budaya yang suatu bangsa (Weiner, 1971).
dijunjung tinggi oleh masing-masing
budaya yang mana pada masa sebelum 4. Hasil dan Pembahasan
menjadi nation-state, loyalitas ini 4.1 Isu-Isu Eksklusionaris Identitas di
terbelenggu oleh kekuatan kolonial untuk Beberapa Daerah Dalam Pilkada
kepentingan kolonial. Oleh karena itu, 2017
Weiner mengemukakan setidaknya ada Berdasarkan pada pengamatan
dua strategi yang dapat dilakukan untuk penulis atas pemanfaatan identitas
membangun integrasi nasional di tengah yang terjadi pada penyelenggaraan
tingginya loyalitas budaya, (1) melakukan Pilkada tahun 2017 di ketiga daerah
eliminasi atas ciri-ciri budaya khas yang penulis jadikan objek studi dalam
masyarakat minoritas menjadi budaya riset ini, maka hampir sebagian besar
nasional, biasaya mengintegrasikannya identitas dimaknai sebagai konsep
menjadi udaya yang dominan. Cara esensialis yang menilai bahwa identitas
ini sering disebut dengan kebijakan yang melekat pada dirinya adalah
asimilasi, atau (2) membangun loyalitas identitas yang menjadi pembeda dirinya
nasional tanpa perlu melakukan eliminasi dengan orang lain. Pemaknaan identitas
terhadap budaya subordinate, atau yang yang demikian praktis hanya dimaknai
lebih dikenal dengan kebijakan unity in secara sempit karena pemaknaan ini
diversity. tidak membuka ruang bagi munculnya
Bentuk kedua adalah Integrasi penafsiran identitas sebagai suatu hal
Teritorial. Intergrasi ini berkaitan dengan yang bersifat adaptif dan sebagai alat
terdapatnya satu kewenangan sentral pemersatu. Oleh karena itu, pemaknaan
yang dapat mengakomodasi seluruh identias pada penyelenggaraan Pilkada
kepentingan kelompok dalam satu tahun 2017 di tiga daerah ini cenderung
territorial tersebut. Ketiga, Integrasi mengarah pada apa yang disebut dengan
Nilai yang dalam pengertian sederhana ekslusionaris yang memberikan dampak
diartikan sebagai terdapatnya prosedur negative terhadap pemanfaatan identitas
yang mudah diterima untuk melakukan dalam konteks kepolitikan. Beberapa
resolusi konflik. Keempat, Integrasi Elit pemanfaatan negative identitas pada
dan Masa. Integrasi ini berhubungan Pilkada tersebut penulis uraian sebagai
dengan bagaimana menyatukan elit dan berikut:
masa yang mana diketahui bahwa elit
dan masa memiliki tujuan dan nilai yang • Maluku Utara
berbeda. Kelima, Perilaku Integratif yang
Isu politik identitas masih menjadi
berkaitan dengan kapasitas dan kesiapan
salah satu isu yang kerapkali muncul
individu untuk bekerja bersama dengan
dalam penyelenggaraan Pilkada. Salah
orang lain dalam sebuah organisasi yang
satu persoalan yang muncul sebagai
memiliki tujuan tertentu untuk sebuah
implikasi dari menguatnya isu etnisitas
pencapaian dalam sebuah masyarakat
adalah sentimen primordial (Salim, 2015).
modern. Perilaku integrated yang dimiliki
Dalam konteks Pilkada tahun 2017 di

Politik Identitas 191

02 JURNAL BAWASLU.indd 191 12/6/17 3:47 PM


Maluku Utara, isu primordial yang paling menjadi alat propaganda elit untuk
kencang dihembuskan adalah untuk mengumpulkan dukungan massa dalam
memilih putera daerah. Sejumlah materi rangka memenangkan pasangan calon
kampanye cukup sering mengutarakan yang diusung dan menjatuhkan lawan
himbauan dan ajakan untuk tidak memilih politik, terutama yang bukan putera
pasangan calon yang bukan berasal baik daerah.
dari Kabupaten/Kota maupun Provinsi
• DKI Jakarta
Maluku Utara. Himbauan dan ajakan
Isu primordialisme yang terjadi
tersebut bahkan disertai dengan iming-
pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
iming berupa pemberian uang untuk
Tahun 2017, dapat dikatakan menjadi isu
tidak memilih pasangan calon yang bukan
pemanfaatan idenitias yang paling massif
kepala daerah. Harga yang ditawarkan
jika dibandingkan dengan daerah-daerah
per kepala keluarga berkisar mulai
lain. Masalah yang diangkat pada Pilgub
dari Rp100.000,00 sampai dengan Rp
DKI 2017 tersebut adalah isu etnis dan
3.000.000,00 (Anonymous, 2017). Hal
isu agama. Seperti yang telah penulis
ini menunjukkan bahwa betapa kuat
jelaskan sebelumnya, terdapat isu di
isu primordial untuk menjegal lawan
tengah masyarakat untuk tidak memilih
yang bukan berasal dari suku yang
salah satu pasangan calon dikarenakan
ada di Maluku Utara. Dalam menjaga
perbedaan agama kandidat dengan
trah kesukuan, tidak jarang dalam
mayoritas agama yang dianut masyarakat.
penyelenggaraan Pilkada di Maluku
Jika dilihat pada asal mula bergulirnya
Utara para peserta yang mencalonkan
isu ini, maka isu ini dilatar belakangi
diri berasal dari keluarga petahana atau
oleh pernyataan Calon Gubernur DKI
mempunyai kekerabatan dengan kepala
Petahana yang berkaitan dengan agama
daerah lain di Provinsi Maluku Utara.
dan kepercayaan masyarakat muslim.
Ditinjau dari perspektif sejarah
Dengan alasan membela agamanya, isu
Maluku Utara, pertarungan identitas
yang timbul di tengah masyarakat justru
etnis selalu mewarnai momentum
membesar dan melebar hingga munculah
politik di Maluku Utara. Sejak masa
himbauan-himbauan untuk tidak memilih
empat Kesultanan Islam berdiri sebagai
candidat non-muslim. Isu ini bahkan
pusat pemerintahan negara dan bangsa,
melebar hingga isu etniisitas, yaitu antara
memberikan gambaran bahwa politik
Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia.
identitas etnis berjalan beriringan (Salim,
Apa yang terjadi di DKI Jakarta, terutama
2015). Dalam pembentukan sistem
berkaitan dengan isu-isu Tionghoa seolah
pemerintahan tidak dapat terlepas
mengingatkan kita kembali pada berbagai
dari basis tradisi atau adat hingga saat
kebijakan yang mengopresi etnis ini di
ini. Dengan begitu, bukan suatu hal
bidang politik dan hanya mengunggulkan
yang baru ketika isu primordial hadir
mereka dibidang bisnis seperti pada masa
dalam dinamika politik lokal di Maluku
Hindia Belanda dan Indonesia merdeka
Utara. Setiap elit politik akan terus
di bawah kepemimpinan Soeharto.
berusaha mengangkat isu identitas etnis
Politik identitas yang dikonsepsikan oleh
dalam perhelatan pemilihan kepada
pemerintah Orde Baru telah berhasil
daerah di Maluku Utara. Isu tersebut
membentuk wacana khusus terhadap

192 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 192 12/6/17 3:47 PM


etnis tionghoa sesuai dengan kebutuhan keseluruhan telah terbelah menjadi
penguasa. Hampir senada dengan apa pribumi-nonpribumi, Islam-NonIslam, dan
yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Pancasilais-Agamis.
Hindia Belanda melalui kebijakan devide
• Kalimantan Barat
et impera, pemerintah Orde Baru
Politik lokal di Kalimantan Barat
telah menempatkan orang tionghoa
tidak dapat dipisahkan dengan urusan
sebagai liyan 2 dalam bangun mosaik
persaingan antar etnik. Seperti diketahui
keindonesiaan. Pemerintah Orde Baru
dua etnik besar yang mendominasi wilayah
menempatkan masyarakat keturunan
Kalimantan Barat adalah etnik Melayu
tionghoa dalam sektor bisnis dan
dan etnik Dayak. Berdasarkan konstruksi
berhasil membentuk wacana khusus
sejarah yang terbentuk di Kalimantan
tentang etnis tionghoa sesuai dengan
Barat, etnik Dayak telah mengalami
kebutuhan penguasa. Penempatan peran
marjinalisasi yang cukup lama. Misalkan
masyarakat etnis tionghoa dalam bidang
pada masa Orde Baru, pemerintahan
ekonomi dan bisnis ini, mengakibatkan
Soeharto tidak pernah menginginkan
munculnya asumsi dalam masyarakat
terbentuknya kepemimpinan lokal yang
yang menyatakan bahwa masyarakat
kuat, termasuk di Kalimantan Barat
keturunan tionghoa adalah makhluk
karena hal tersebut dapat mengancam
ekonomi dengan kehidupan sosialnya
kepemimpinan pusat dan memicu
yang sangat eksklusif (Meij, 2009).
kemunculan separatisme (Tanasaldy,
Dampak dari masifnya penolakan
2014). Dengan begitu, pemimpin lokal di
terhadap pencalonan kandidat non-
Kalimantan Barat berasal atau didatangkan
muslim dan Tionghoa ini sangat besar bagi
dari pusat. Memasuki era Reformasi
bangsa ini. Bangsa Indonesia yang telah
yang ditandai dengan demokratisasi dan
mencapai kesepakatan negara bangsa
desentralisasi, kesempatan pemimpin
yang berdasarkan Pancasila, seolah
lokal yang memang berasal dari
kembali terbelah oleh isu Nasionalis
Kalimantan Barat untuk memimpin
Religius-Nasionalis Sekuler seperti
menjadi terbuka. Namun, keterbukaan
pada masa di mana Indonesia masih
tersebut memperkuat persaingan antar
mencari dasar negara Indonesia merdeka.
kedua etnik besar tersebut. Dalam rangka
Dampak lebih jauh dari kasus ini adalah
untuk mendapatkan posisi strategis baik
seolah masyarakat Indonesia secara
di eksekutif maupun legislatif, sejumlah
kaum elit memainkan isu politik sektarian
yang menuntut penempatan etnik
Dayak dalam posisi strategis tersebut.
2 Istilah liyan adalah pembakuan dari kata
dalam bahasa Inggris “the other”. Liyan Keadaan persaingan kedua etnik menjadi
dalam teori pasca kolonial merupakan lebih terbuka ketika pemilihan kepala
istilah yang sangat penting dalam daerah secara langsung (Kristianus,
melakukan definisi terhadap identitas 2011). Persaingan kedua masih dapat
subjek. Liyan mengacu pada subjek dirasakan dalam Pilkada tahun 2017.
kolonial yang posisinya diletakkan
sebagai manusia marjinal dalam dskursus
Materi kampanye yang bermuatan SARA
imperial. (Aschcroft, Griffiths, & Tiffin, kerapkali muncul untuk menjatuhkan
1999) pihak lawan. Temuan tersebut dapat

Politik Identitas 193

02 JURNAL BAWASLU.indd 193 12/6/17 3:47 PM


dilihat dalam Pilkada di Kabupaten Kubu Kalimantan Barat, persaingan yang terjadi
Raya dan Kabupaten Sanggau. selalu antara etnis Dayak dan Melayu. Hal
Berdasarkan pada ketiga uraian ini disebabkan oleh marjinalisasi etnis
pemanfaatan identitas di atas, dapat Dayak dan dominasi etnis Melayu dalam
diketahui bahwa unsur pembentuk berbagai jabatan di Kalimantan Barat.
identitas (yang dimanfaatkan) dalam Berbeda dengan kedua daerah
penyelenggaraan Pilkada di ketiga daerah tersebut, dalam pilkada DKI Jakarta 2017,
tersebut pada tahun 2017 lebih merujuk isu primordialisme menyentuh ranah suku
pada unsur objektif manusia. Pada Kasus dan agama.
Maluku Utara identitas yang digunakan Dengan demikian, isu di Jakarta menjadi
sebagai alat melawan lawan politik lebih kompleks dibandingkan kedua daerah
lebih didasarkan pada kesamaan suku. tersebut dalam urusan penyelenggaraan
Sementara itu di Kalimantan Barat lebih Pilkada 2017. Pada kasus Pilkada DKI
pada unsur etnisitas. Sedangkan di DKI Jakarta, terdapat integrasi nilai yang
Jakarta identitas masa yang menolak terbentuk dalam kalangan Islam yang
kandidat non-muslim lebih ditentukan disalahpersepsikan untuk memaksakan
oleh idenitas keagamaan dan identitas kepentingan kelompoknya dalam
etnis. Dengan adanya unsur pembentuk penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta
identitas yang demikian, maka wajar 2017. Padahal pemahaman integrasi
jika pemanfaatan identitas cenderung nilai yang ditekankan oleh Weiner adalah
mengarah pada dampak negative karena penyatuan nilai-nilai dalam masyarakat
identitas objektif tersebut hanya dimaknai untuk melakukan resolusi konflik, bukan
secara sempit yang menjadikan seseorang seperti yang terjadi di Jakarta yang justru
hanya akan mengelompokkan diri dengan memperbesar konflik.
mereka yang memiliki kesamaan unsur Persoalan yang terdapat di ketiga
objektif tersebut. daerah tersebut dapat dikatakan
belum mencapai tahapan integrasi
4.2 Identitas dan Integrasi Nasional yang disampaikan Weiner. Berangkat
Mengacu kepada kasus di Maluku dari persoalan masing-masing daerah
Utara, DKI Jakarta, dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa Indonesia baru
terdapat pola pemanfaatan identitas yang menerapkan integrasi nasional dan
berbeda. Dalam konteks Maluku Utara integrasi teritorial. Sementara, tahapan
dan Kalimantan Barat, isu primordialisme integrasi nilai, integrasi elit dan
diangkat berhubungan dengan etnisitas massa, dan perilaku integratif masih
yang berangkat dari sebuah konstruksi belum dicapai oleh negara ini. Hal
sejarah kedua daerah tersebut. Pada ini dapat dirasakan melalui sejumlah
kasus Maluku Utara, sistem pemerintahan elit yang masih suka memainkan isu
tidak dapat dilepaskan dari basis tradisi primordialisme untuk kepentingan
sehingga pemimpin yang diharapkan dalam pilkada. Begitupula, kelompok-
berasal dari suku-suku di daerah tersebut. kelompok tertentu yang memanfaatkan
Dengan begitu, persaingan yang terjadi nilai yang mereka yakini bukan untuk
dalam pilkada selalu berkaitan dengan isu membentuk integrasi nilai, melainkan
putera daerah. Sementara, pada kasus di untuk memaksakan tujuannya. Dengan

194 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 194 12/6/17 3:47 PM


begitu, semakin sulit menuju perilaku Indonesia sebagai negara yang plural
integratif yang menekankan kepada juga dihadapi dengan isu primordial yang
kesediaan dan kesadaran masyarakat dapat dilihat melalui Pilkada tahun 2017
untuk bekerja sama dalam mewujudkan seperti pembahasan sebelumnya. Isu-
tujuan berbangsa dan bernegara. isu primordial tersebut memungkinkan
Untuk kasus tiga daerah tersebut terjadinya gangguan terhadap integrasi
bukan hanya belum memenuhi tahapan nasional apabila tidak ditangani segera.
integrasi Weiner, melainkan juga masih Berdasarkan pandangan Wriggins, ia
terjebak dalam pemaknaan identitas menawarkan lima cara untuk menjaga
secara sempit. Dalam konsep Isin dan integrasi nasional. Pertama, membentuk
Wood pemaknaan sempit tersebut musuh bersama yang berarti membuka
dikenal sebagai pemahaman esensialis kesadaran masyarakat bahwa negaranya
yang memandang identitas sebagai mempunyai ancaman dari luar. Dengan
perbedaan yang sangat jelas. Dengan kesadaran tersebut mampu membentuk
kata lain, pemahaman identitas sebatas rasa kebersamaan dan persatuan
dalam kondisi objektif seseorang yang dalam masyarakat untuk berjuang dan
berkaitan dengan gender, ras, kelas, membela negara dari ancaman musuh
etnisitas, atau orientasi sosial. Pembiaran tersebut. Keberadaan musuh bersama
terhadap pemahaman seperti itu akan tersebut dianggap mampu mengaburkan
memberi ruang terhadap tumbuhnya perbedaan yang ada sehingga masyarakat
ekslusionarisme. tidak merasa dari golongan yang berbeda,
tetapi merasa sebagai bagian dari negara.
4.3 Strategi Menghadapi Ancaman Kedua, gaya politis yang dimiliki para
Integrasi Nasional pemimpin menjadi cara yang menentukan
I nte g ra s i m u n g k i n m e n u n j u k dalam menjaga integrasi nasional. Menurut
kepada pada proses penyatuan berbagai Wriggins, gaya politis tersebut dapat
kelompok budaya dan sosial ke dalam menjaga atau menghancurkan integrasi
satu kesatuan wilayah, dan pada suatu nasional. Integrasi nasional dapat terjaga
pembentukan identitas nasional (Weiner, ketika pemimpin mampu memperlihatkan
1977). Istilah integrasi nasional kerapkali perhatian dan rasa hormat pada semua
dibahasakan di negara-negara yang suku bangsa dan golongan yang berbeda-
majemuk dan plural karena keberagaman beda di negaranya (Wriggins, 1977).
yang ada menjadi tantangan tersendiri Ketiga, penguatan lembaga politis dan
bagi negara-negara tersebut. Pluralisme administraif, berupa birokrasi dan tentara.
selalu dijadikan persoalan ketika identitas Kekuasaan birokratis harus mampu
yang melekat pada setiap individu menanggapi berbagai perbedaan dengan
dijadikan pembeda yang jelas antara baik dan responsif. Misalkan, lembaga
pihak yang satu dengan pihak yang lain. birokrasi memberi kesempatan kerja
Padahal perlu disadari keberagaman yang merata ke seluruh daerah dalam
adalah suatu hal wajar dan tidak dapat suatu negara. Sementara, peran tentara
dihilangkan di negara-negara yang sebagai alat nasionalisasi dan menjaga
multikultur. keutuhan suatu negara. Di samping itu,
lembaga-lembaga lain yang berperan

Politik Identitas 195

02 JURNAL BAWASLU.indd 195 12/6/17 3:47 PM


dalam menjaga integrasi nasional adalah bersama. Ia juga menjelaskan bahwa
badan legislatif dan partai politik. Partai kemampuan pemimpin dalam mengontrol
politik dapat berfungsi sebagai lembaga wilayahnya menjadi cara untuk menjaga
yang memperkecil konflik antar komunal, integrasi nasional. Sebagai contoh,
suku, dan lainnya. Partai politik juga pemimpin pusat mampu mengontrol
berperan dalam mengkompromikan semua pemimpin daerah. Demikian pula,
berbagai perbedaan, tuntutan-tuntan pemimpin daerah mampu mengawal
yang berbenturan, dan menghadapi dan membimbing pemimpin yang lebih
konflik dengan bijaksana. Sementara rendah atau yang ada di bawahnya.
badan legistlatif menjadi lembaga yang Selanjutnya, strategi yang tidak kalah
menampung aspirasi berbagai kelompok penting untuk dijalankan adalah konsensus
dan memperkuat kaum minoritas untuk dan konsolidasi antar kepentingan. Kedua
mau bersatu dengan kaum mayoritas. hal ini dianggap sebagai jalan tengah
Dengan demikian, konflik yang timbul atau cara memediasi berbagai perbedaan
akibat isu primordial dapat diatasi. dalam masyarakat yang menyulut konflik.
Keempat, penguatan pemahaman Terakhir, langkah yang menjadi solusi
tentang ideologi negara merupakan salah dari permasalahan keberagaman, yaitu
satu cara mempertahankan integrasi tingkah laku integratif. Dengan kata lain,
nasional. Pemerintah harus mampu kesediaan setiap individu untuk bekerja
membuat masyarakat meresapi dan sama dengan terorganisir demi mencapai
memahami nilai-nilai yang terkandung tujuan bersama. Selain itu, kesediaan
dalam ideologi negara. Ideologi harus setiap individu untuk berperilaku dengan
dipahami sebagai serangkaian ide tentang cara yang bisa membantu pencapaian
tujuan-tujuan masyarakat dalam berbangsa tujuan-tujuan bersama tersebut (Weiner,
dan bernegara dan petunjuk bagaimana 1977).
cara mencapai tujuan-tujuan tersebut Merujuk kepada Geertz, memperkuat
(Wriggins, 1977). Kelima, membuka supremasi hukum merupakan strategi
kesempatan dan pertumbuhan ekonomi untuk mempertahankan integrasi nasional.
yang luas. Menurut Wriggins, kemacetan Dengan adanya hukum, upaya kelompok-
ekonomi akan mempertajan perselisihan kelompok tertentu untuk memainkan isu
dan persaingan dalam masyarakat. primordial menjadi terhalangi. Mereka
Sebaliknya, kesempatan dan pertumbuhan akan berpikir ulang untuk menciptakan
ekonomi dirasa mampu memasukkan ko n f l i k y a n g m e n g a t a s n a m a k a n
setiap orang dalam kesatuan bangsa. perbedaan identitas karena sewaktu-
Weiner juga menawarkan suatu cara waktu mereka akan terkena hukuman. Ia
untuk menghadapi keberagaman dan juga berbicara tentang perlunya negara
sentimen primordial. Ia menyarankan memperkuat supremasi politik. Hal ini
tentang penanaman kesetiaan nasional berarti pemerintah dapat menggunakan
dalam masyarakat. Dalam artian setiap kekuatan dan kekuasaannya dalam
individu menyadari bahwa di balik menangani persoalan yang ditimbulkan
perbedaan yang mereka miliki, ada suatu atas perbedaan suku, agama,ras, dan
penyatu, yaitu negara yang harus dijaga lainnya. Tidak kalah penting, Geertz
keutuhannya dan merupakan milik menekankan bahwa sentimen primordial

196 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 196 12/6/17 3:47 PM


akan selalu ada dalam negara yang plural. 5. Simpulan
Dalam rangka menghadapi sentimen Primordialisme merupakan
primordial tersebut, langkah yang harus
sebuah keniscayaan yang akan selalu
diambil adalah mengelola pluralisme
ada di sebuah negara yang plural.
tersebut melalui rasa kebersamaan atas
nama negara. Ia juga menamakan rasa
Isu-isu primordialisme tidak dapat
kebersamaan tersebut sebagai kesadaran dihilangkan di negara-negara tersebut.
atas perbedaan dan keberagaman (Geertz, Namun, primordialisme dapat dikelola
1965). Rasa kebersamaan dan persatuan dengan menekankan kepada aspek
tersebut dianggap mampu menjadi kebersamaan. Adapun, strategi lain
fondasi dalam menjaga stabilitas negara. yang paling penting dalam menangkal
Bahkan rasa kebersamaan merupakan isu-isu primordial adalah penerapan
cerminan negara demokrasi. supremasi hukum. Pada kasus DKI
Tidak jauh berbeda dengan Geertz, Jakarta, penerapan supremasi hukum
Rauf berpendapat bahwa konflik sebagai
berhasil mengatasi konflik yang
suatu hal yang wajar dan tidak perlu
berkaitan dengan etnisitas dan agama.
dihilangkan, termasuk konflik etnis,
agama, dan lainnya. Dalam negara
Strategi yang juga dapat
demokrasi, konflik harus dikelola sehingga digunakan untuk menangani isu
rakyat dapat hidup secara damai dan primordialisme, yaitu alkulturasi. Hal
penuh toleransi. Penanganan konflik ini berarti terdapat upaya konsolidasi
yang dianjurkan dalam negara demokrasi terhadap benturan dan gesekan
berupa cara persuasif (Rauf, 2000). yang berhubungan dengan etnisitas.
Cara persuasif yang dimaksud adalah Implementasi dari alkulturasi dapat
penyelesaian konflik secara damai dan dilihat dalam konteks Kalimantan
pendekatan secara personifikasi terhadap Barat.
pihak-pihak yang berkonflik. Dengan
demikian, langkah yang diambil dalam
menangani persoalan primordialisme
tidak menyulut persoalan baru.

Politik Identitas 197

02 JURNAL BAWASLU.indd 197 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2017, Oktober 29). (R. U. Hasanah, Interviewer)


Aschroft, Bill. Gareth Griffith, dan Helen Tiffin. (1995). The Post-colonial Studies
Reader. Routledge
Buchari, S. A. (n.d.). Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Padjadjaran. Retrieved November 5, 2017, from Perpustakaan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran: http://library.fisip.unpad.ac.id/
index.php?p=show_detail&id=31
Davis, N. Y. (2000). Gender and Nation, serial Politics and Culture. London: Sage
Publication.
Feith, H. (1973). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca and
London: Cornell University Press.
Geertz, C. (1965). The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics
in the New States. In C. Geertz, Old Societies and New States (pp. 105-157).
New York: The Free Press.
Isin, E. E., & Wood, P. K. (1999). Citizenship and Identity. London: Sage Publication.
Kellas, J. G. (1998). The Politics of Nationalism and Ethnicity . Houndmills: Macmillan
Press.
Kristianus. (2011). Nasionalisme Etnik di Kalimantan Barat. Masyarakat Indonesia,
XXXVII(2), 147-176.
Meij, L. S. (2009). Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa. Sebuah Kajian Pascakolonial.
Jakarta: Yayasan Obor.
Neuman, L. (2013). Social Research Methods 7th Edition. Boston, USA: Allyn&Bacon.
Rauf, M. (2000). Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Salim, K. (2015). Politik Identitas di Maluku Utara. Jurnal Politik, 11(2), 1667-1678.
Suseno, N. (2010). Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer. Depok:
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
Tanasaldy, T. (2014). Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat. In H. S. Nordholt,
G. v. Klinken, & I. K. Hoogenboom, Politik Lokal di Indonesia (pp. 461-490).
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Weiner, M. (1971). Political Integration and Political Development. In J. Finkle, & R.
Gable, Political Development and Social Change. New York: John Wiley&Son,
Inc.
Weiner, M. (1977). Integrasi Politik dan Pembangunan Politik. In Y. Muhaimin, & C.
MacAndrews, Masalah-masalah Pembangunan Politik (pp. 40-49). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Wriggins, H. (1977). Integrasi Bangsa. In Y. Muhaimin, & C. MacAndrews, Masalah-
masalah Pembangunan Politik (pp. 50-60). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Young, I. M. (1990). Justice and the Politics of Difference. Pricetown: Pricetown
University Press.

198 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 198 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Djuyandi, Y&Azmi, M.F.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 199-211

FUNDAMENTALISME ISLAM DALAM


PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2017

Yusa Djuyandi
Departemen Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Indonesia,
yusa.djuyandi@unpad.ac.id

Mohammad Fazrulzaman Azmi


Mahasiswa Program Pascasarjana, Ilmu Politik,
Universitas Padjadjaran, Indonesia, mfazrulzamanazmi@gmail.com

ABSTRAK

Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 politik identitas muncul dalam berbagai macam
isu, dan salah satu isu yang begitu kuat adalah soal fundamentalisme Islam. Adanya
pernyataan kontroversial dari petahana, Basuki Tjahaja Purnama, terkait Surat Al-
Maidah ayat 51 menjadi pemicu atas membesarnya gerakan fundamentalisme Islam,
sebab sebelumnya gerakan ini kurang mendapat respon dari masyarakat. Atas dasar
persoalan tersebut maka penelitian ini mengangkat isu politik identitas yang terkait
dengan fundamentalisme Islam dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif, dimana data primer bersumber dari hasil observasi
peneliti dan data sekunder berasal dari buku, jurnal, dan pemberitaan media
massa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kaum fundamentalisme Islam
di Indonesia mencoba untuk mengusung konsepsi ke-Islaman bukan hanya sekedar
menjadi aliran dan ritual keagamaan melainkan juga aliran politik, hal ini tampak
dari adanya gerakan, tindakan dan aksi yang mereka lakukan ketika Pilkada DKI
Jakarta tahun 2017. Meskipun gerakan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis
mendapatkan momentum yang tepat untuk meningkatkan atensi masyarakat melalui
kesalahan sikap yang dilakukan oleh petahana, namun konsistensi gerakan mereka

Politik Identitas 199

02 JURNAL BAWASLU.indd 199 12/6/17 3:47 PM


dalam membangun kesadaran terhadap identitas keagamaan yang kemudian pada
akhirnya mampu memunculkan adanya garis pembeda’ atau politik perbedaan antara
calon gubernur yang beragama Islam dan non-Islam.

Kata Kunci: Pilkada, DKI Jakarta, Fundamentalisme, Islam, Gerakan.

ABSTRACT

In the 2017 regional election of DKI Jakarta, political identity emerged in a variety
of issues, and one of the strong issues is Islamic fundamentalism. The existence
of a controversial statement from incumbent, Basuki Tjahaja Purnama, related
Surat Surah Al-Maidah verse 51 which became the trigger for the growing Islamic
fundamentalism movement, because previously this movement received less response
from the community. On the basis of this issue, this research raises the issue of
political identity associated with Islamic fundamentalism in the local elections of
DKI Jakarta in 2017. This research uses qualitative method, where the primary data
comes from the observation of the researcher and the secondary data comes from
books, journals, and news coverage in mass media. Based on the research results can
be seen that the Islamic fundamentalism in Indonesia tries to carry the concept of
Islamization is not just a flow and religious ritual but also the flow of politics, it can
be seen from the movement and action they did in the local elections of DKI Jakarta
2017. Although the movement by fundamentalists gained the right momentum to
increase the attention of the people through the misconduct of the petahana, the
consistency of their movement in building religious religious awareness was finally
able to create a distinctive line or political distinction, between candidate governor
Muslims and non-Muslims.

Keywords: Local Election, DKI Jakarta, Fundamentalism, Islam, Movement

1. Pendahuluan Sehingga, manusia modern menyangka


Ke b a n g k i t a n a ga m a m e n j a d i bahwa kecukupan materi dapat memenuhi
fenomena yang menarik dikarenakan kebahagiaan manusia, dalam konteks
terjadi ketika umumnya orang-orang politik, siapa pun pemimpinnya tidak
berpikir bahwa kekuatan rasional yang menjadi persoalan signifikan, asalkan
berdasarkan sains dan teknologi telah kinerjanya dapat memenuhi kepuasan
berhasil menepikan misteri spiritual publik. Namun dalam situasi tersebut
dari kerangka berpikir manusia modern. muncul gerakan-gerakan fundamentalis

200 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 200 12/6/17 3:47 PM


agama yang terus memperjuangkan apa Ahok yang terdaftar sebagai kandidat
yang menjadi keyakinannya (Jamhari & atau kontestan dalam Pilkada DKI Jakarta
Jahroni, 2004: 11). Fenomena tersebut tahun 2017 menuai pelbagai kecaman
merupakan suatu kebangkitan (revival), dari kelompok-kelompok Agama, hingga
namun sebagian lainnya berpendapat berujung pada proses hukum yang
bahwa hal ini merupakan suatu penemuan merugikannya sebagai kandidat saat
kembali (rediscovery) (Wuthnow, 1987). itu. Begitu masifnya pemberitaan
Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 media massa, kemudian gencarnya
diikuti oleh tiga pasang kandidat yang propaganda-propaganda mengenai kasus
berkontestasi memperebutkan kursi ‘penistaan agama’ menjadi semacam
Gubernur dan Wakil Gubernur di Ibu Kota ‘snow ball’ yang terus membesar dan
Negara Republik Indonesia. Terpilihnya berujung pada kekalahan pasangan
Joko Widodo sebagai Presiden RI dalam nomor urut dua, yakni Basuki-Djarot.
Pilpres 2014 menyebabkan adanya Kontruksi wacana tersebut tidak terlepas
peralihan kursi kepemimpinan Gubernur dari peran gerakan-gerakan kelompok
DKI Jakarta pada wakilnya, yakni Basuki fundamentalisme agama (Islam) yang
T. Purnama. Pergantian kepemimpinan berkepentingan untuk mencegah Basuki
tersebut diikuti oleh terpilihnya Djarot menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta
S. Hidayat sebagai Wakil Gubernur masa bhakti 2017-2022.
menggantikan Basuk T. Purnama. Ahok- Indonesia memiliki penduduk yang
Djarot yang merupakan Gubernur-Wakil mayoritas warga negaranya beragama
Gubernur kembali mengajukan diri Islam, tentu konteks ke-Islaman akan
sebagai kontestan dalam Pilkada DKI sangat berpengaruh terhadap laju atau
Jakarta tahun 2017. perolehan suara dari proses Pemilu
Naiknya, Basuki yang sering disapa yang berlangsung. Isu agama yang
‘ahok’ menjadi Gubernur menggantikan begitu kuat pada Pilkada DKI Jakarta
Jokowi menuai berbagai respon dari tahun 2017 menjadi sebuah wujud dari
pelbagai kalangan, khususnya kaum politik identitas berupa fundamentalisme
fundamentalis Islam. Namun, hal itu tidak Islam yang menekankan pada keutuhan
menimbulkan pengaruh yang signifikan pemaknaan terhadap kasus penistaan
terhadap pemerintahan Ahok saat itu, agama dan sikap politik dari ummat
melainkan perlahan wacana kontra- Islam, khususnya yang ada di wilayah
rezim semakin memudar, seperti halnya DKI Jakarta. Bangkitnya semangat
aksi pengangkatan Gubernur tandingan politik berdasarkan religiusitas dapat
yang dilakukan oleh Front Pembela disebabkan sebagai suatu bentuk dari
Islam (FPI) yang tidak memiliki dampak dedikasi pemeluk agama terhadap ajaran
yang signifikan terhadap konstelasi agamanya.
politik DKI Jakarta saat itu. Hingga Fenomena kebangkitan agama
pada puncaknya, saat begitu masifnya t e rs e b u t m e r u p a ka n p e n g u a t a n
pemberitaan mengenai komentar Ahok paham keagamaan yang berkarakter
terkait Surat Al-Maidah Ayat 51, respon fundamentalis (Jamhari & Jahroni,
dari pelbagai gerakan ke-Islaman semakin 2004: 12). Gellner (dalam Arifin, 2005)
masif adanya. berpendapat bahwa gagasan dasar

Politik Identitas 201

02 JURNAL BAWASLU.indd 201 12/6/17 3:47 PM


fundamentalis adalah suatu agama 3. Perkspektif Teori
tertentu yang dipegang kokoh dalam 3.1 Politik Identitas
bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa Identitas menurut Jeffrey Week
kompromi, pelunakan, reinterpretasi (dalam Widayanti, 2009) berkaitan
dan tanpa pengurangan. Fundamentalis dengan kepemilikan atau keanggotaan
tidak hanya sebatas pada agama, individu dalam kelompok (belonging)
tetapi juga pada politik, sosial budaya. berdasarkan persamaan dengan sejumlah
Karena baginya fundamentalis adalah orang dan apa yang membedakan
suatu pandangan yang di tegakkan atas seseorang dengan yang lain. Sehingga
keyakinan baik bersifat agama, politik, terdapat dua kategori di dalamnya,
maupun budaya yang dianut pendiri yakni identitas sosial mengenai kelas,
dan ajaran-ajarannya ditanamkan dan ras, etnis, gender, dan seksualitas. Hal
senantiasa menjadi rujukan. ini menentukan posisi subjek di dalam
Berdasarkan pada latar belakang relasi atau interaksi sosialnya. Kemudian,
tersebut maka kemudian dirumusan identitas politik mengenai nasionalitas
pertanyaan penelitian sebagai berikut: dan kewarganegaraan (citizenship). Hal
Bagaimana fundamentalisme Islam dalam ini menentukan posisi subjek di dalam
Pilkada DKI Jakarta 2017? suatu komunitas melalui suatu rasa
kepemilikan (sense of bellonging) dan
2. Metode Penelitian sekaligus menandai posisi subjek yang
Penelitian ini menggunakan metode lain di dalam suatu pembedaan (sense
kualitatif. Data primer yang diperoleh of otherness) (Setyaningrum, 2005: 19).
peneliti berasal dari hasil observasi Kemudian, Identitas politik (political
atas aksi-aksi protes yang terjadi identity) merupakan konstruksi yang
menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun menentukan posisi kepentingan subjek
2017. Aksi itu ditujukan sebagai bentuk di dalam ikatan suatu komunitas politik.
protes kepada Basuki Tjahaja Purnama, Sedangkan, politik identitas (political
kandidat Gubernur DKI Jakarta yang juga of identity) mengacu pada mekanisme
merupakan petahana, karena dianggap politik pengorganisasian identitas (baik
menistakan agama Islam. identitas politik maupun identitas
Data penelitian ini juga didukung dari sosial) sebagai sumber dan sarana
sumber-sumber sekunder seperti buku, politik. Oleh karena itu, politik identitas
jurnal, dan pemberitaan media massa sebagai gerakan politik yang fokus
yang relevan dengan kajian penelitian. perhatinnya adalah perbedaan sebagai
Data-data yang diperoleh kemudian suatu kategori politik yang utama.
diverifikasi dan dianalisis dengan metode Morowitz (1998), mendefinisikan politik
analisis deskriptif. Verifikasi data identitas memberikan garis yang tegas
dilakukan melalui teknik triangulasi, yaitu untuk menentukan siapa yang akan
membandingkan data-data yang diperoleh disertakan dan siapa yang akan ditolak.
sehingga sampai pada keyakinan bahwa Karena garis-garis penentuan tersebut
data yang diperoleh adalah valid. tampak tidak dapat dirubah, maka status
sebagai anggota bukan anggota dengan
serta merta tampak bersifat permanen.

202 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 202 12/6/17 3:47 PM


Sehingga dapat kita maknai bahwa politik semua agama, seperti fundamentalisme
identitas merupakan ‘politik berbedaan’. Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhisme.
Ubed Abdillah (2002) menjelaskan Fundamentalisme juga dapat muncul
bahwa terdapat tiga pola perkembangan dalam bentuk apapun dan dimanapun
gerakan politik identitas, yakni pola ketika orang-orang melihat adanya
pramodern, menggambarkan perpecahan kebutuhan untuk melawan budaya
objektif yaitu ketika terdapat perpecahan sekuler (godless), bahkan ketika mereka
fundamental karena terdapat gerakan harus menyimpang dari tradisi ortodoks
sosial yang menyeluruh. Hal ini disebabkan mereka untuk melakukan perlawanan
mobilisasi secara ideologis atas aspirasi (Ratnasari, 2010).
dari pemimpin yang umumnya bertujuan Pada dasarnya, gerakan fundamentalis
untuk merampas kekuasaan. Kemudian, tidak muncul begitu saja sebagai respons
pola modern, hal ini menggunakan spontan terhadap datangnya modernisasi
pendekatan kondisional yaitu ketika yang dianggap sudah keluar terlalu jauh.
keterpecahan membutuhkan sumber- Kaum religius berusaha mereformasi
sumber untuk dimobilisasi. Terdapat tradisi mereka dan memadukannya
keseimbangan dalam pola aksi jenis dengan budaya modern, seperti yang
ini, sehingga terdapat partisipasi yang dilakukan pembaharu Muslim. Ketika
seimbang baik itu dari atas maupun cara-cara moderat dianggap tidak
dari bawah. Model ini lebih bertujuan membantu, beberapa orang menggunakan
pada pembagian kekuasaan. Selain itu, metode yang lebih ekstrem, dan saat
terdapat pola postmodern yang memiliki itulah gerakan fundamentalis lahir.
pola gerakan dari dinamikanya sendiri, William Montgomery Watt (dalam
sehingga protes muncul dari berbagai Arifin, 2005) mendefinisikan bahwa
macam kesempatan individual, dengan kelompok fundamentalis Islam adalah
demikian tidak terdapat perpecahan yang kelompok Muslim yang sepenuhnya
dominan. Pola aksi model ini biasanya menerima pandangan dunia tradisional
muncul karena kesadaran diri yang serta berkehendak mempertahankannya
bertujuan untuk otonomi. secara utuh tanpa adanya suatu arus
modernisasi di dalamnya.
3.2 Fundamentalisme Islam di Indonesia Seiring dengan itu, Martin E.
Istilah fundamentalisme muncul Marty dan R. Scott Appleby (dalam
dari luar tradisi sejarah Islam, dan pada Arifin, 2005) berpendapat istilah
mulanya merupakan gerakan keagamaan fundamentalisme cukup tepat untuk
kaum Protestan di Amerika Serikat menjelaskan fenomena tertentu dari
pada tahun 1920-an. Namun terlepas gerakan keagamaan yang terjadi pada
dari latar belakang tersebut, istilah semua agama, termasuk Islam. Meskipun
fundamentalisme sering digunakan untuk istilah fundamentalisme pada mulanya
menunjuk fenomena keagamaan yang digunakan untuk menjelaskan satu
memiliki kemiripan dengan karakter gerakan Protestan di Amerika, namun
dasar fundamentalisme protestan. Pada ada ciri-ciri tertentu dari gerakan itu yang
dasarnya fenomena pemikiran, gerakan, dapat ditemukan pada gerakan-gerakan
dan kelompok fundamentalisme terjadi di dalam agama-agama lain diseluruh dunia.

Politik Identitas 203

02 JURNAL BAWASLU.indd 203 12/6/17 3:47 PM


Marty dan Appleby (dalam Arifin, 2005) Islam di Pakistan. Dengan menggunakan
menyebutkan bahwa fundamentalisme prespektif bahwa fundamentalisme dan
merupakan respons terhadap modernitas. modernism bukan sekedar sebagai aliran
Fundamentalisme Islam di Indonesia keagamaan namun juga sebagai aliran
dapat dibedakan menjadi dua, yakni politik (Mahendra, 1999).
tradisional dan modern. Fundamentalisme Berikut terdapat beberapa contoh
tradisional diwakili oleh kelompok yang gerakan fundamentalisme agama di
menekankan pendekatan literal dan Indonesia:
skriptural terhadap sumber Islam, seperti • H i z b u t Ta h r i r , g e r a k a n i n i
Persatuan Islam (Persis), dan dalam merupakan organisasi atau gerakan
konteks mutakhir Majelis Ulama Indonesia yang mendasarkan dirinya pada
(MUI) melalui fatwa-fatwanya. Sementara pemikiran-pemikiran Islam, dimana
itu, fundamentalisme modern atau neo- aktivitas mereka yakni mengemban
fundamentalisme dalam politik diwakili Islam sebagai sarana mengubah
misalnya oleh partai politik Islam seperti realitas masyarakat yang “rusak”
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai kemudian mentransformasikannya
Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai menjadi masyarakat yang Islami,
Islam lain yang bercita-cita mendirikan dalam hal lain hizbut tahrir juga
“negara Islam” dengan dasar syariah dan selalu memperhatikan hukum Shara’
ideologi Islam (Mahendra, 1999). sebagai cara mereka menyelesaikan
Mereka yang memperjuangkan Piagam u r u s a n d e n ga n m a s y a ra k a t .
Jakarta sebagai dasar negara termasuk HT dapat diikategorikan sebagai
dalam kelompok fundamentalisme atau ke l o m p o k f u n d a m e n t a l i s m e .
neo-fundamentalisme. Mereka tidak Sejak awal berdirinya hinggapada
mempersoalkan watak negara-bangsa perkembangannya saat ini khittah
dengan demokrasi sekularnya. Namun, gerakan HT adalah politik. Bagi hizbut
secara substansial sesungguhnya terdapat tahrir, politik merupakan instrumen
paradoks antara penerimaan mereka yang sangat penting dalam mengentas
terhadap sistem politik sekular dengan persoalan keterpurukan ummat Islam
perjuangan mereka menerapkan syariat dan membawanya kembali seperti
Islam. Jadi, ditemukan adanya sikap pada masa kejayaannya. Politik
kompromistis atau bahkan pragmatis di yang dikehendakinya adalah suatu
kalangan kelompok fundamentalis Islam sistem yang memiliki landasan kuat
ini, tidak lagi taktik politik. Munculnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Salah
beberapa gerakan fundamentalisme satu aktivitas atau juga komitmen
dapat dilihat dari penelitian Yusril yang menonjol Hizbut tahrir dalam
Ihza Mahendra yang bertitik tolak bidang politik yakni Hizbut Tahrir
pada perspektif sosiologis mengenai ini menentang kekufuran, keyakinan
fundamentalisme. Dalam penelitian yang ‘keliru’ dengan menjelaskannya
te rs e b u t d i ga m b a r ka n m e n ge n a i akan kekeliruannya kepada ummat
institusi politik yang menjadi pengaruh dan kerusakannya serta menjelaskan
fundamentalisme dan modernism yaitu hukum Islam dalam masalah tersebut.
Masyumi di Indonesia dan Jama’ati (Faidah, 2008: 3-4)

204 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 204 12/6/17 3:47 PM


• Front Pembela Islam atau yang ketua umum FPI. Sebagai doktrin
disingkat FPI merupakan organisasi kepada pengikut gerakan FPI bahwa
sosial keagamaan di Indonesia. pemimpin mereka adalah para
Aktivitas yang dilakukan FPI yakni haba’ib dan ulama yang merupakan
melakukan penertiban terhadap cerminan orang-orang suci yang
kegiatan-kegiatan yang dianggap m e n d a p at l e g i t i m a s i a ga m a .
m a k s i a t a ta u ke g i a ta n ya n g (Syaefudin, 2014: 260-262)
bertentangan dengan Syari’at Agama • Laskar Jihad, dibentuk tanggal 30
Islam yang sering berujung pada Januari 2000 tidak lama setelah
Kekerasan. Latar belakang sosial runtuhnya Orde Baru sebagai
- Politik berdirinya Front Pembela tanggapan atas kekerasan agama
Islam yakni adanya penderitaan yang antara kaum Muslimin dan Nasrani di
panjang yang di alami ummat Islam Maluku. Laskar ini merupakan sayap
di Indonesia sebagai akibat adanya paramiliter dari Forum Komunikasi
pelanggaran HAM yang di lakukan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (FKAWJ)
oleh pihak penguasa, Kegagalan yang didirikan dua tahun sebelumnya.
aparat negara untuk menegakan FKAWJ secara formal didirikan oleh
hukum dan menjamin ketertiban pembentuk Laskar Jihad, yakni
masyarakat, Adanya kewajiban Ja’far Umar Thalib, ketika dia dan
bagi setiap Muslim untuk menjaga para pengikutnya mengadakan
dan mempertahankan harkat dan tabligh akbar di Solo, Jawa Tengah,
martabat Islam, Adanya kewajiban 14 Februari 1998. Laskar Jihad
bagi setiap Muslim untuk dapat sebagai sayap para militer FKAWJ,
menegakkan Amar Makruf Nahi mencerminkan struktur formal
Munkar. militer Indonesia terdiri dari brigade,
Tujuan berdirinya FPI yakni batalion, kompi, peleton dan regu,
untuk membantu pemerintah dan bahkan memiliki badan intelejen
dalam menumpas problem sosial sendiri. Ditunjuk sebagai panglima
kemasyarakatan, seperti prostitusi, Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib
perjudian, serta transaksi miras didukung oleh sebagian komandan
dan narkoba. Untuk merealisasikan lapangan, termasuk Ali Fauzi dan
tujuannya, Juga dalam Abu Bakar Wahid al-Banjari (Hasan,
memaksimalkan kerja organisasi, 2005).
FPI membentuk 2 struktur organisasi Adapun keberadaan Laskar
yakni, Jamaah FPI melaksanakan Jihad adalah sebuah reaksi atas apa
ke g i a t a n s o s i a l ke a g a m a a n , yang mereka persepsikan sebagai
seperti pengajian, bakti sosial dan kezaliman atas kaum Muslimin di
pendidikan. Sedangkan, laskar FPI Maluku. Dalam hal ini, menurut
melakukan Pressure atau tekanan Noorhadi, pada dasarnya Laskar
fisik untuk penyerbuan tempat Jihad percaya akan adanya konspirasi
hiburan, sweeping, dan demonstrasi. tingkat dunia yang dipimpin oleh
Laskar ini lebih menyerupai militer Amerika Serikat, yang bermaksud
atau milisi di bawah komando sang merendahkan Islam dan kaum

Politik Identitas 205

02 JURNAL BAWASLU.indd 205 12/6/17 3:47 PM


Muslimin. Mereka meyakini bahwa oleh BTP, dan mewujudkan Gubernur atau
kaum Muslimin adalah korban pemimpin daerah yang beragama Islam
ya n g te ra n g b e n d e ra n g d a r i di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
konspirasi global tersebut. Pada Agama merupakan suatu identitas,
tanggal 12 Oktober 2002, Laskar yang lazimnya akan senantiasa melekat
Jihad dibubarkan berdasarkan pada disetiap individu, khususnya di Indonesia,
sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh mengingat bahwa setiap warga negara
Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, salah berkewajiban untuk melaksanakan
seorang tokoh salafi terkemuka Pancasila, terutama sila pertama, yakni
dari Yaman yang menjadi panutan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun,
aktivis salafi di Indonesia. Alasan kesadaran terhadap identitas keagamaan
pembubaran dalam fatwa tersebut tersebut cenderung fluktuatif atau dinamis,
karena gerakan ini telah menyimpang seiring dengan tingkat pemahaman
dari tujuan semula untuk berjihad tentang keagamaan dari seseorang dan
membela kaum Muslimin di Maluku. konsistensi dalam melaksanakan aturan
Selain itu, Ja’far Umar Thalib juga agama tersebut. Pada prinsipnya, agama
menambahkan bahwa situasi menjadi pandangan mendasar atau
di Maluku telah pulih sehingga pedoman bagi manusia dalam menjalani
Laskar Jihad tidak lagi diperlukan kesehariannya, terlebih bagi ummat Islam
terlibat dalam penanganan konflik yang memiliki petunjuk atau tata cara
(Sholehuddin, 2013). beragama yang begitu komprehensif.
Akan tetapi, sejatinya setiap agama
4. Hasil dan Pembahasan memiliki pedoman masing-masing,
Po l i t i k i d e n t i t a s m e r u p a ka n yang dituliskan dalam suatu ‘kitab suci’,
suatu mekanisme pengelolaan atau seperti halnya bagi ummat Islam adalah
pengorganisasian identitas politik atau Al-Qur’an, kemudian Al-Kitab (Injil) bagi
identitas sosial sebagai sumber atau ummat Kristen, dan lain sebagainya.
modal politik, sehingga identitas tersebut Kemudian, apakah kesadaran
dapat membantu yang berkepentingan terhadap identitas keagamaan tersebut
dalam mencapai tujuannya. Seiring dapat menjadi kesadaran atau identitas
dengan pendapat Morowitz (1998) yang politik, yang digunakan sebagai dasar
menjelaskan bahwa politik identitas atau perspektif utama dalam menyeleksi
memberikan garis yang tegas untuk kandidat atau pemimpin yang akan kita
menentukan siapa yang akan disertakan pilih? Bagi peneliti, hal tersebut sangat
dan siapa yang akan ditolak. Sehingga, memungkinkan terjadi, terlebih apabila
dalam konteks ini terdapat penekanan dalam suatu agama tersebut terdapat
antara kelompok yang diakui dan ayat atau aturan yang berkaitan dengan
kelompok yang tidak diakui. Penekanan sikap politik penganut agama tersebut
terhadap perbedaan tersebut, menjadi dalam memilih pemimpin atau dalam
strategi tersendiri bagi kelompok- menggunakan hak politiknya. Selain itu,
kelompok fundamentalis Islam dalam kesadaran identitas keagamaan tersebut
mencapai tujuannya untuk memproses dapat menjadi identitas politik, bila
kasus ‘penistaan agama’ yang dilakukan terdapat persinggungan antara aspek

206 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 206 12/6/17 3:47 PM


keagamaan dan aspek politik atau 2017-2022. Hal-hal yang dilakukan oleh
kekuasaan, sehingga kedua instrumen kelompok fundamentalis tersebut tiada
tersebut saling mempengaruhi, dan lain berasaskan pada garis pembeda,
mewujudkan sikap politik seseorang yakni perbedaan agama yang dianut oleh
dalam merespon suatu fenomena politik. BTP dan mayoritas warga DKI Jakarta yang
Identitas politik merupakan konstruksi beragama Islam.
pada subjek, sehingga menentukan Berdasarkan ‘garis pembeda’
posisi kepentingannya dalam suatu ikatan tersebut, serta kasus penistaan agama
komunitas politik. Dengan demikian, yang dilakukan oleh BTP, memunculkan
subjek memiliki suatu rasa kepemilikan pelbagai gerakan yang membangkitkan
terhadap suatu identitas, sehingga hal fundamentalisme Islam sebagai kekuatan
tersebut menandai posisi subjek dan politik yang sulit dibendung oleh kelompok
yang lainnya dalam suatu pembedaan. manapun. Melihat dinamika tersebut
Maka dari itu, akan menjadi semakin jelas tidak hanya menarik perhatian warga DKI
titik perbedaan tersebut apabila terdapat Jakarta semata, melainkan seluruh ummat
garis penegas yang membedakaan antara Muslim di Indonesia, bahkan menuai
satu identitas dan identitas lainnya. berbagai kecaman dari ummat Muslim
Terlebih apabila garis penegas dari di dunia. Masifnya pemberitaan terkait
perbedaan tersebut dimunculkan melalui dengan kasus penistaan agama yang
konflik yang berpotensi menimbulkan awalnya disebabkan oleh komentar BTP
‘political effect’ yang lebih besar terhadap soal Surat Al-Maidah Ayat 51, memberikan
dinamika politik di suatu daerah. kesadaran bagi ummat Muslim, khususnya
Menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun mengenai implementasi dari Surat Al-
2017, muncul pemberitaan yang begitu Maidah Ayat 51. Beragamnya tingkat
masif, terkait dengan dugaan penistaan pemahaman seorang Muslim mengenai
agama yang dilakukan oleh Basuki ayat tersebut, atau bahkan sebelumnya
Tjahaja Purnama (BTP) di Kepulauan banyak yang tidak mengetahui substansi
Seribu saat kunjungan kerja. Setelah dari ayat tersebut, kemudian telah
diproses, kasus tersebut menyebabkan memberikan input soal penistaan agama
BTP harus mendekam dalam tahanan yang dilakukan oleh BTP. Melalui pelbagai
selama dua tahun. Fenomena tersebut propaganda, baik dalam dunia ‘real’ atau
menuai pelbagai dinamika, terlebih virtual, Ummat Islam diberikan stimulan
sangat mempengaruhi prediksi dari untuk menelaah ayat tersebut dan
kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta meyakini secara mendalam (fundamental)
tahun 2017. Hal-hal yang dilakukan terhadap subtansinya. Sehingga dengan
BTP tersebut telah menuai kecaman demikian, semakin menarik partisipasi
dari pelbagai kelompok, terlebih bagi ummat Islam dalam menyikapi Pilkada
kelompok-kelompok fundamentalis Islam, DKI Jakarta berdasarkan substansi dari
terutama FPI, HTI, dan lain sebagainya. ayat tersebut.
Disisi lain, kelompok tersebut memang Berdasarkan fenomena di atas, Politik
menunjukan sikap kontra terhadap identitas dapat dimaknai sebagai gerakan
kepemimpinan BTP dan menginginkan politik yang terfokus pada perbedaan
pergantian kepemimpinan di periode sebagai hal utama. Sehingga terdapat

Politik Identitas 207

02 JURNAL BAWASLU.indd 207 12/6/17 3:47 PM


ketegasan dalam menentukan siapa yang Mereka dianggap sebagai kelompok
disertakan dan siapa yang akan ditolak. pembangkang, banyak melakukan tindak
Hal itu dikarenakan garis pembatas yang kekerasan seperti melakukan teror,
menentukan dan memiliki ketentuan intimidasi, bahkan pembunuhan dalam
yang tidak dapat dirubah. Maka dari itu, mencapai tujuannya.
status anggota dan bukan anggota akan Terlepas dari segala kontroversi,
tampak dan bersifat permanen. Dengan fundamentalisme Islam pada Pilkada
demikian, umumnya politik identitas DKI Jakarta tahun 2017, fenomena ini
dimaknai sebagai politik perbedaan. telah menimbulkan gerakan-gerakan
Berdasarkan pada fenomena yang masif dengan jumlah massa yang ‘luar
menimpa BTP pada Pilkada DKI Jakarta biasa’, terlebih pada aksi ‘bela Islam’
tahun 2017, dapat dianalisis bahwa tanggal 2 Desember 2016 (aksi 212),
kelompok-kelompok fundamentalis yang melibatkan begitu banyak massa
agama berhasil meningkatkan kesadaran ummat Islam hingga dapat memenuhi
identitas keagamaan ummat Islam, area monumen nasional dan sekitarnya.
dan memberikan pemahaman yang Terdapat pelbagai respon dari peristiwa
fundamental mengenai substansi tersebut, baik itu yang pro maupun
dari Surat Al-Maidah Ayat 51. Hal ini kontra, termasuk respon dari aparat
berimplikasi pada munculnya identitas kepolisian yang menduga bawah ada
politik ummat Islam yang menghayati tujuan makar dari pihak-pihak yang
subtansi ayat tersebut, kemudian memanfaatkan aksi tersebut.
mewujudkan sikap politiknya untuk Tidak dipungkiri bahwa di balik setiap
tidak memilih BTP dalam ajang kontestasi aksi massa selalu ada potensi politik
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-
Istilah fundamentalis muncul di kelompok politik yang berkepentingan,
lingkungan agama Nasrani khususnya di tujuannya tentu untuk untuk mendapat
Amerika Serikat, merujuk pada bentuk- keuntungan politik mejelang Pilkada,
bentuk konservatif protestanisme. dan hal ini juga terjadi dalam Pilkada
Gerakan ini pada umumnya mengarah DKI Jakarta 2017. Isu-isu agama yang
pada anti kaum modernis dengan muncul memang memberikan stigma
interpretasi yang terbatas terhadap adanya politisasi agama, namun hal itu
kitab Injil dan sangat menekankan etika juga sebenarnya lahir karena adanya
tradisional Kristen (Denny, 1987: 117). momentum yang memunculkan aksi
Fundamentalisme merupakan sebuah tersebut, yaitu adanya blunder politik
aliran atau paham yang berpegang teguh yang dilakukan oleh petahana (Basuki
pada dasar-dasar agama secara ketat Tjahaja Purnama) dengan mengomentari
melalui penafsiran terhadap kitab suci soal dari Surat Al-Maidah Ayat 51.
secara rigid dan literalis (Azra, 1993). Bagi peneliti, fenomena aksi oleh
Akan tetapi, istilah ini seakan menjadi kelompok Islam jelas dapat dianalisa
stigma negatif bagi kelompok-kelompok dari unsur politis, karena bersinggungan
Islam konservatif dan sering diposisikan dengan kekuasaan. Namun mengenai
dan disifati dengan hal-hal yang identik grand design utama yang memprakarsai
dengan pejoratif (bersifat merendahkan). penyelenggaraan gerakan-gerakan bela

208 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 208 12/6/17 3:47 PM


Islam tersebut dibutuhkan penelitian melainkan kembali membangkitkan
lebih mendalam. Akan tetapi, penulis wacana fundamental, salah satu
beranggapan bahwa fenomena tersebut diantaranya adalah aspek keagamaan.
merupakan suatu bentuk dari bangkitnya Agama dapat menjadi sarana politik
fundamentalisme Islam, atau kesadaran identitas dalam mewujudkan suatu
warga negara, khususnya yang beragama kepentingan politik, sehingga penulis
Islam, terhadap aturan keagamaan yang berpendapat bahwa agama dan politik
harus mereka taati. Sehingga misi politik tidak dapat dipisahkan, terlebih apabila
dari gerakan-gerakan fundamentalis Islam terdapat kelompok-kelompok atau tokoh-
yang mewacanakan pemimpin harus tokoh fundamentalis yang memiliki
dari Islam di wilayah mayoritas Muslim pengaruh besar terhadap dinamika politik
dapat diterima oleh khalayak ummat dalam suatu wilayah tertentu.
Islam. Dengan demikian, memunculkan Indonesia sebagai negara Pancasila,
gerakan-gerakan signifikan yang dapat hendaknya dapat menyikapi dengan ‘arif’
meruntuhkan rezim BTP saat itu. fenomena politik identitas berdasarkan
Bangkitnya kesadaran identitas keagamaan. Hal ini bertujuan untuk
ke-Islaman sebagai suatu identitas memperkuat persatuan bangsa, yaitu
politik menjadi wacana yang sukar bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya
dijelaskan secara nalar, terlebih hal menekankan warga negara untuk kembali
tersebut merupakan aspek spiritual yang pada kesepakatan umum terhadap dasar
bersifat bhatiniyyah (terdapat dalam negara (Pancasila) dan Undang-Undang
hati atu berkaitan dengan aspek batin 1945 yang disahkan pada tanggal 18
seseorang) dapat dirasakan langsung Agustus 1945, yang secara jelas memuat
oleh setiap pemeluk agama terhadap poin penting terkait dengan persatuan
keyakinannya masing-masing. Oleh bangsa. Sehingga ego atau politik identitas
karena itu, fenomena fundamentalisme kedaerahan atau keagamaan yang terlalu
ini disertai dengan gerakan-gerakan yang tinggi hendaknya diminimalisir untuk
di luar nalar, seperti halnya gerakan kepentingan nasional, demi terciptanya
jalan dari Ciamis menuju Jakarta untuk integrasi nasional dan kondusifitas
mengikuti aksi 212, yang dipandang pemerintahan.
sebagai langkah jihad. Fenomena yang diangkat dalam
Para pemimpin atau politisi seringkali penelitian ini lebih condong pada konteks
menggunakan politik identitas sebagai bangkitnya fundamentalisme Islam. Ubed
retorika politik, dengan sebutan ‘putra Abdillah (2002) menjelaskan bahwa
daerah’ yang memiliki kesempatan terdapat pola dalam gerakan politik
lebih dalam memperoleh kekuasaan identitas, yakni ketika terdapat perpecahan
dibandingkan dengan ‘pendatang ’. fundamental karena gerakan sosial yang
Sehingga politik identitas dijadikan menyeluruh sehingga memunculkan
sebagai alat politik dalam menggalang adanya mobilisasi secara ideologis atas
simpati publik dan memenuhi kepentingan aspirasi yang ada untuk menumbangkan
ekonomi dan politiknya. Namun, wacana kekuasaan. Namun dalam konteks
hari ini politik identitas tidak hanya ini, penulis mengapresiasi kesadaran
berhenti pada aspek ‘kedaerahan’, demokrasi dari ummat Islam, khususnya

Politik Identitas 209

02 JURNAL BAWASLU.indd 209 12/6/17 3:47 PM


yang berstatus sebagai warga DKI Jakarta. sekuler (godless), bahkan ketika mereka
Perbedaan pandangan yang fundamental, harus menyimpang dari tradisi ortodoks
serta adanya politik identitas dalam ajang untuk melakukan perlawanan. Kaum
kontestasi Pilgub DKI, tidak menyebabkan fundamentalisme di Indonesia mencoba
konflik yang berimplikasi pada kekerasan untuk mengusung konsepsi ke-Islaman
atau konflik fisik. dalam setiap tindakan dan aksinya.
Selain itu, penulis beranggapan Dengan demikian, fundamentalisme
bahwa apabila fundamentalisme bukan sekedar sebagai aliran keagamaan
dengan menggunakan keagamaan ingin namun juga sebagai aliran politik.
dijalankan secara konsisten maka hal Pada konteks ini, fundamentalisme hadir
itu tidak boleh berhenti pada konteks sebagai wacana politik identitas yang
perebutan kekuasaan semata atau ajang menghasilkan dukungan serta partisipasi
kontestasi Pilkada. Fundamentalisme yang luar biasa dari berbagai elemen
berdasarkan kesadaran agama tersebut ummat Islam, bahkan di luar daerah DKI
juga seharusnya dapat membangun Jakarta. Gerakan-gerakan fundamental
kesadaran ummat Islam untuk turut menghasilkan pemahaman terhadap
serta mengawal pemerintahan agar tidak identitas keagamaan yang berimplikasi
menyimpang, turut serta mewujudkan pada munculnya sikap politik warga
konsolidasi politik, demi kehidupan Muslim DKI, berdasarkan pemahaman
masyarakat yang maju, damai, adil substantif dari fenomena penistaan
dan sejahtera. Sehingga setiap ummat agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja
beragama dapat menjalankan kegiatannya Purnama di kepulauan seribu. Oleh karena
dengan baik, satu sama lainnya saling itu garis pembeda atau politik perbedaan
menghargai perbedaan dalam tatanan antara non Muslim dan Muslim yang
kehidupan yang demokratis. layak dipilih sebagai Gubernur menjadi
pengaruh penting bagi mereka yang
5. Simpulan menghayati secara fundamental substansi
Fundamentalisme dapat muncul dari Surat Al-Maidah Ayat 51.
dalam bentuk apapun dan dimanapun
ketika orang-orang melihat adanya
kebutuhan untuk melawan budaya

210 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 210 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, U.(2002). Politik Identitas Etnis. Magelang: IndonesiaTera.


Arifin, S. (2005). Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis. Malang:
UMM Press.
Azra, Azyumardi. (1993). “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam” dalam Ulumul
Qur’an No. 3 Vol. IV.
Chandakirana, K. (1989). “Geertz dan Masalah Kesukuan”. Jakarta. Prisma No. 2/1989.
Denny, Frederick, M. (1987). Islam and The Muslim Community. New York: Herper
& Row
Faidah, M. (2008). Konstruksi Ideologis Gerakan Islam Hizbut Tahrir. E-journal Unesa.
Hasan, N. (2005). Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity
in Post New Order Indonesia. New York: Cornell Southeast Asia Program.
Jamhari, & Jahroni, J. (2004). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Mahendra, Y. I. (1999). Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’ati Islam Pakistan.
Jakarta: Paramadina.
Morowitz, D.L. (1998). “Demokrasi Pada Masyarakat Majemuk’”. Dalam Larry Diamond
dan Mars F Plattner. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. Bandung:
ITB Pres.
Ratnasari, Dwi. (2010). Fundamentalisme Islam. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol
4. No 1. Hal 40-57.
Sholehuddin, M. (2013). Ideologi Religio-Politik gerakan Salafi Laskar Jihad Indonesia.
Jurnal Politik , Vol 03 Nomor 01.
Syaefudin, M. (2014). Reinterpretasi Gerakan Dakwah Front Pembela Islam (FPI).
Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 3, Nomor 2 .
Wuthnow, R. (1987). Meaning adn Moral Order. California: The University of California
Press.

Politik Identitas 211

02 JURNAL BAWASLU.indd 211 12/6/17 3:47 PM


212 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 212 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Apriani, K.D&Irhamna.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 213-226

POTENSI POLITISASI ISU-ISU IDENTITAS DALAM PEMILIHAN


KEPALA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT 2018

Kadek Dwita Apriani


Universitas Indonesia, Depok, Indonesia,
kadek88@gmail.com

Irhamna
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia,
irhamna.irham@gmail.com

ABSTRACT

Identity becomes vulnerable when it comes to politicization. Identity has been politicized
in many electoral momentums, specifically in highly diverse region. West Kalimantan
is suited those characters. There are three major ethnic groups, Melayu, Dayak, and
Tionghoa whose have lived side by side in harmony. Yet, people are being forewarned;
concerns related to politicization of identity in 2018 West Kalimantan Local Election
has been raised. Using quantitative method through surveys to 1000 respondents
which proportionally spread across all districts in West Kalimantan, conducted in July-
August 2017. This study suggests that the politicization of identity might potentially
be used in 2018 West Kalimantan Local Election.

Keywords
Identity, politicization, West Kalimantan, Local Election

Politik Identitas 213

02 JURNAL BAWASLU.indd 213 12/6/17 3:47 PM


ABSTRAK

Identitas menjadi unsur yang rentan dipolitisasi dalam pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada). Politisasi isu-isu identitas dalam sebuah momentum elektoral umumnya
muncul di wilayah dengan tingkat heterogenitas tinggi.Kalimantan Barat adalah
salah satu dari wilayah dengan karakter tersebut. Di provinsi ini terdapat tiga etnis
besar yang hidup berdampingan, yakni Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Kekhawatiran
mengenai politisasi isu-isu identitas di Kalbar dikemukakan banyak pihak menjelang
pemilukada 2018. Dengan menggunakan metode kuantitatif melalui survei terhadap
1000 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh kabupaten/kota di
Kalimantan Barat pada bulan Juli-Agustus 2017, penelitian ini menemukan bahwa
potensi politisasi isu-isu identitas cukup besar dalam proses Pilkada Kalbar 2018.

Kata kunci
Identitas, politisasi, Pilkada, Kalimantan Barat

1. Pendahuluan Dayak, dan Tionghoa. Dalam komposisi


Dinamika politik lokal di Kalimantan etnis di Kalbar, Melayu tetap mayoritas,
Barat pascareformasi menunjukkan isu jumlah etnis ini mencapai 43% dari total
identitas dan etnis yang cukup mencolok. populasi (Badan Pusat Statistik, 2010).
Dayak dan Melayu menjadi dua suku yang Sementara itu, etnis Dayak menempati
paling besar dalam perebutan kekuasaan, urutan kedua dengan jumlah 26% dari
dan kepentingan politik(Tanasaldy, 2007). total populasi Kalimantan Barat. Pada
Kondisi ini kemudian didukung oleh urutan ketiga secara jumlah ada etnis
penyelenggaraan otonomi daerah yang Tionghoa yang mencapai 8% dari total
kemudian memberikan dampak signifikan populasi, jumlah yang sama dengan etnis
dalam dinamika politik lokal, dalam proses Jawa (Badan Pusat Statistik, 2010).
rekrutmen calon kepala daerah misalnya Beberapa kelompok etnik memiliki
terdapat kecenderungan pemilihan wilayah (teritori) tersendiri, misalnya
berdasarkan identitas, dalam bentuk Kabupaten Sambas menjadi teritori
asal-usul daerah, etnis, dan agama. dari Melayu Sambas, dan Kabupaten
Menguatnya penggunaan politik identitas Mempawah menjadi teritori dari Melayu
etnis dan agama dalam pemilihan kepala Mempawah. Untuk etnis Dayak, Kabupaten
daerah di Kalimantan Barat telah menjadi Bengkayang menjadi teritori dari Dayak
fenomena umum(Jumadi & Yaakop, Bekati, Kabupaten Landak menjadi
2013). teritori dari Dayak Kanayatan, Sekadau
Secara demografis, persebaran suku untuk Dayak Mualang, dan Melawi untuk
bangsa di Kalimantan Barat dapat dibagi Dayak Keninjal (Kristianus, 2011). Etnis
dalam tiga kelompok utama: Melayu, Tionghoa menguasai teritori yang penting
di sekitar kawasan perkotaan dan pusat

214 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 214 12/6/17 3:47 PM


perdagangan seperti di Kota Pontianak, satu yang indikasinya adalah munculnya
dan Kota Singkawang. kegaduhan dalam Aksi Bela Ulama 205
Pada Pilkada 2012 yang lalu, terdapat (20 Mei 2017). Aksi 205 mengambil waktu
empat pasangan calon gubernur dan yang bersamaan dengan pelaksanaan
wakil gubernur: (1) Drs. Cornelis, M.H Festival Gawai Dayak 2017. Festival
dan Drs. Christiandy Sanjaya, S.E., M.M tersebut merupakan agenda kebudayaan
yang diusung oleh Partai Demokrasi tahunan Provinsi Kalimantan Barat.
Indonesia-Perjuangan, Partai Demokrat, Festival ini pada intinya adalah upacara
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai menyambut panen padi, yang sudah
Sejahtera, dan PIB; (2) H. Armyn Ali berlangsung selama 32 tahun, dan
Anyang dan Ir. H. Fathan A. Rasyid, berpusat di kawasan Rumah Adat Radakng.
M.Ag yang diusung oleh Partai Persatuan Sementara itu, Aksi 205 merupakan
Pembangunan, Partai Hanura, dan Partai kegiatan penyampaian pendapat yang
Bulan Bintang; (3) H. Morkes Effendi, berpusat di Masjid Raya Mujahidin,
S.Pd., M.H., dan Ir. H. Burhanuddin A. Pontianak. Kegiatan ini memiliki agenda
Rasyid yang diusung oleh Partai Golkar, untuk mendesak aparat untuk segera
Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan memproses dugaan pelanggaran yang
Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, dan dilakukan oleh Gubernur Cornelis
PKNU; dan (4) Drs. H. Abang Tambul dalam pidatonya (Baiduri, 2017). Dalam
Husin dan Pdt. Barnabas Simin, M.Pd.K, sebuah pidato di Kabupaten Landak,
yang diusung oleh Partai Gerindra dan Gubernur Cornelis diduga menyampaikan
gabungan 18 partai politik (Handoko, pidato yang bernada provokatif dengan
2012). Pilkada Kalimantan Barat 2012 m e n ga j a k wa rga u nt u k m e n o l a k
dimenangkan oleh pasangan Cornelis- kehadiran Imam Besar Front Pembela
Christandy Sanjaya dengan perolehan Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, dan
suara mencapai 52,1%, yang berturut- Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama
turut diikuti oleh Morkes Effendi- Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen jika
Burhanuddin Rasyid (25,2%), Armyn datang ke Kalimantan Barat. Sebagian
Ali-Fathan Rasyid (15,4%), dan Tambul kalangan menganggap bahwa pidato ini
Husin-Barnabas Simin (7,3%). berpotensi memecah belah persatuan
Gubernur terpilih Cornelis merupakan dan kehormatan antar etnis dan agama
putra daerah yang bersuku Dayak dan di Kalimantan Barat (Eddy, 2017).
Wakil Gubernur terpilih, Chistiandy Pilkada Kalimantan 2018 tidak lagi
Sanjaya berasal dari etnis Tionghoa. bisa diikuti oleh gubernur petahana,
Komposisi ini menjadi kekuatan tersendiri Cornelis, karena sudah melewati dua kali
bagi pasangan calon untuk dapat masa jabatan. Meskipun demikian, kursi
memenangkan Pemilihan Kepala Daerah gubernur Kalimantan Barat berpotensi
Kalimantan Barat periode 2013-2018, kembali diperebutkan oleh dua etnis
karena berhasil mengalahkan kelompok terbesar, Melayu dan Dayak. Terdapat
Melayu. dua bakal calon gubernur yang cukup
Setelah sempat reda, isu politik kuat untuk bertarung dalam Pilgub Kalbar
identitas dan pemilihan kepala daerah 2018 menurut hasil survei beberapa
kembali menggeliat di Kalbar. Salah lembaga survei yang menyelenggarakan

Politik Identitas 215

02 JURNAL BAWASLU.indd 215 12/6/17 3:47 PM


surveinya di Kalbar sejak awal tahun kuesioner. Jumlah responden dalam
2017. Dua bakal calon tersebut adalah: penelitian ini sebanyak 1.000 orang
Karolin Margaret Natassa, dan Sutarmidji. sehingga tingkat kepercayaan dalam riset
Karolin merupakan anak dari Gubernur ini adalah 95% dengan Margin of Error
Cornelis dan saat ini menjabat sebagai (MoE) 3% (de Vaus, 2006). Pengambilan
Bupati Kabupaten Landak dengan latar sampel pada survei ini dilakukan dengan
belakang etnis Dayak dan beragama multistage random sampling, dengan
Katolik.Di sisi lain ada nama Sutarmidji, memperhatikan proporsi penduduk di 14
Walikota Pontianak, yang berlatar kabupaten/kota yang ada di Kalimantan
belakang Melayu-Muslim. Barat. Di masing-masing kabupaten
Dengan sejarah konflik dan peta politik diambil beberapa desa/kelurahan secara
seperti yang digambarkan di atas, muncul acak sesuai proporsi penduduk di seluruh
kekhawatiran banyak pihak akan potensi kabupaten/kota yang ada di Kalimantan
politisasi isu-isu identitas di Kalimantan Barat. Di masing-masing desa diambil
Barat menjelang pemilukada 2018 5 RT/kampung dengan acak sederhana.
mendatang. Hal tersebut membutuhkan Kemudian di masing-masing RT/kampung
kajian pendahuluan yang baik sehingga diambil 2 KK dengan acak sederhana, lalu
seluruh pemangku kepentingan dapat di tiap KK diambil 1 responden dengan
mengantisipasi potensi tersebut. sistem Kish Grid. Proporsi gender dalam
Dari uraian diatas penelitian ini penelitian ini juga dijaga agar 50:50
akan menjawab pertanyaan: bagaimana dengan mekanisme nomor kuesioner
potensi pemanfaatan isu politik identitas ganjil untuk laki-laki dan genap untuk
menjelang Pemilukada Kalimantan Barat responden perempuan. Tahapan-tahapan
2018?. Penelitian ini bertujuan untuk dalam Multistage Random Sampling yang
melakukan pemetaan terhadap potensi dilakukan terhadap populasi penduduk
konflik politik, dan mengantisipasi di masing-masing provinsi digambarkan
terjadinya konflik politik. Penelitian ini dalam skema di bawah ini.
juga akan memberikan pembuktian
ilmiah atas kekhawatiran berbagai pihak
terhadap potensi politisiasi isu identitas
dalam Pemilukada Kalimantan Barat 2018.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif berjenis deskriptif karena
tujuan penelitian ini adalah untuk memberi
gambaran tentang persepsi masyarakat Gambar 1. Metode Pengambilan
Kalimantan Barat mengenai isu-isu politik Sampel Sumber: Diolah oleh Penulis.
identitas menjelang pemilukada 2018,
bukan mencari hubungan sebab akibat Responden dalam penelitian ini
antar variabel. Pengumpulan data utama diwawancarai dengan tatap muka (face to
dilakukan dengan wawancara terstruktur face). Pengambilan data dilakukan pada
terhadap responden dengan menggunakan bulan Juli tahun 2017.

216 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 216 12/6/17 3:47 PM


3. Perspektif Teori 2008). Hal itu berarti karakteristik sosial
Dalam mengkaji potensi pemanfaatan menentukan kecenderungan politik
isu-isu identitas dalam momentum seseorang. Pengelompokan sosial yang
elektoral seperti pemilukada, teori yang dimaksud disini adalah usia, gender,
akan digunakan adalah teori perilaku agama, etnis, pekerjaan, kelas sosial
memilih (voting behavior) khususnya ekonomi, kedaerahan, latar belakang
pendekatan sosiologis karena pendekatan keluarga, kegiatan-kegiatan dalam
ini menekankan bagaimana peran kelompok-kelompok formal dan informal
kelompok sosial dalam pertimbangan yang diikuti. Kelompok-kelompok sosial
pemilih saat menentukan pilihan ini dipandang berpengaruh besar dalam
politiknya. keputusan memilih karena kelompok-
Sebelum membahas mengenai kelompok tersebut berperan dalam
perilaku memilih, terlebih dahulu harus pembentukan sikap, persepsi dan
dipahami mengenai voting itu sendiri. orientasi seseorang.
Kegiatan voting pada dasarnya tidak Pendekatan sosiologis dalam perilaku
jauh berbeda dengan kegiatan memilih memilihmenyebutkanbahwa faktor
yang biasa kita lakukan dalam kehidupan yang paling mempengaruhi pilihan
sehari-hari, seperti misalnya memilih masyarakat adalah karakteristik dan
barang (Evans, 2004). Ada satu hal yang pengelompokan sosial. Dieter Roth
harus dicatat dari pilihan tersebut, Ia tidak menyebutkan bahwa perilaku pemilih
hanya berimbas pada individu, melainkan seseorang berkenaan dengan kelompok
memiliki efek kolektif. Inilah yang menjadi sosial dari mana individu itu berasal
pembeda dasar antara voting dan choice. (Roth, 2008).Hal itu berarti karakteristik
Jika kita memilih barang di pasar untuk sosialmenentukan kecenderungan
kita beli dan bawa pulang, lalu kita politik seseorang. Pengelompokan sosial
gunakan untuk memenuhi kebutuhan, yang dimaksud disini adalah usia, jenis
maka efeknya akan kita nikmati sendiri. kelamin, agama, pekerjaan, kelas sosial
Hal yang demikian tidak terjadi dalam ekonomi, kedaerahan, latar belakang
voting.Di dalam teori perilaku memilih keluarga, kegiatan-kegiatan dalam
terdapat tiga pendekatan utama yaitu kelompok-kelompok formal dan informal.
pendekatan sosiologis atau sosial Kelompok-kelompok sosial ini dipandang
struktural; pendekatan psikologis dan berpengaruh besar dalam keputusan
pendekatan pilihan rasional. Dalam studi memilih karenakelompok-kelompok
ini, pendekatan yang digunakan hanya tersebut berperan dalam pembentukan
satu pendekatan yangkni pendekatan sikap, persepsi dan orientasi seseorang.
sosiologis. Penelitian tentang perilaku memilih
Pendekatan sosiologis dalam perilaku di negara yang mengalami transisi
memilihmenyebutkan bahwa faktor yang dilakukan di Philipina oleh Steven Rood,
paling mempengaruhi pilihan masyarakat dan di salah satu negara di kawasan
dalam pemilu adalah karakteristik dan Afrika, Malawi. Dari hasil penelitian
pengelompokan sosial. Perilaku memilih yang berbeda tersebut dapat ditarik satu
seseorang berkenaan dengan kelompok kesimpulan yang memiliki kemiripan.
sosial darimana individu itu berasal(Roth, Perilaku memilih di negara yang sedang

Politik Identitas 217

02 JURNAL BAWASLU.indd 217 12/6/17 3:47 PM


mengalami transisi tidak dipengaruhi seperti etnis dalam mempengaruhi
secara signifikan oleh isu kebijakan pilihan politik rakyat juga dikemukakan
dan orientasi partai, melainkan lebih oleh Benny Subianto yang meneliti Pilkada
banyak dipengaruhi oleh faktor isu yang di enam kabupaten di Kalimantan Barat.
berhubungan dengan kandidat dan juga Faktor ini berpengaruh karena loyalitas
ikatan-ikatan seperti etnis, daerah asal masyarakat terhadap etnisnya masih
dan hubungan klientelistik dalam struktur tinggi, dan mereka memandang bahwa
sosial masyarakatnya (Rood, 1991). etnis yang sama berarti memiliki nilai
Dalam pemilihan kandidat perorangan budaya yang sama, karenanya perilaku
di Philipina, seperti pemilihan presiden, sosial politik dipandang sebagai cermin
faktor yang paling kuat mempengaruhi identitas (Sulistiyanto & Erb, 2009).
pilihan politik warganya adalah faktor Faktor sosiologis atau kelompok
kandidat. Faktor lain yang harus sosial dan pengaruhnya terhadap perilaku
dilihat adalah etnis dari kandidat yang memilih masyarakat Indonesia diteliti
bersangkutan dan struktur patron klien oleh Saiful Mujani dan kawan-kawan
yang masih kental dalam masyarakatnya. dengan menganalisis data empiris yang
Masyarakat lebih suka memilih kandidat dihasilkan melalui survei nasional pada
yang berasal dari etnis yang sama dengan tahun 2004 dan 2009. Temuan Mujani
mereka dan dapat berkomunikasi dengan memperlihatkan bahwa variabel sosiologis
bahasa etnis yang bersangkutan(Rood, yang berpengaruh secara signifikan pada
1991). Sedangkan di Malawi ditemukan pilihan politik masyarakat Indonesia
fakta bahwa masyarakat menentukan dalam Pemilu dan Pilpres tahun 2004 dan
pilihan politiknya berdasarkan faktor 2009 ada tiga, yaitu agama, kedaerahan,
etnis dan daerah asal mereka karena dan tingkat pendidikan (Mujani, Liddle, &
masyarakat mengidentifikasi diri mereka Ambardi, 2011).
sesuai dengan kekuatan politik masa lalu
yang mereka hadirkan kembali dalam • Konsep Identitas
perebutan kekuasaan melalui pemilu Identitas dapat ditafsirkan sebagai
(Rood, 1991). s e b u a h p e ra s a a n ke i n d i v i d u a l a n
Penelitian mengenai perilaku secara sosial yang berbentuk narasi
memilih di Indonesia yang pernah atau persepsi tentang diri kita sebagai
dilakukan Afan Gaffar, menekankan individu atau bagian dari kolektivitas.
pentingnya karakteristik sosial, khususnya Dalam konsep yang dikemukakan oleh
orientasi sosio-religius dalam melihat Yuval-Davis (Soeseno, 2011), individu
perilaku pemilih di Pulau Jawa (Gaffar, merupakan subyek yang bersifat pasif
1992). Penelitian lainnya mengenai dalam proses pembentukan identitas.
perilaku memilih di Indonesia dilakukan Sebaliknya, Epstein menganggap bahwa
dengan melihat pemilu 1999. Hasilnya individu adalah subyek yang aktif dalam
menyebutkan bahwa ikatan sosial pembentukan identitas, individu terlibat
terutama faktor etnis penting untuk aktif dan melakukan inkorporasi dengan
diperhatikan saat kita ingin mengamati pihak-pihak lain sehingga membentuk
perilaku memilih masyarakat Indonesia identitas masing-masing.
(King, 2003). Pentingnya ikatan sosial

218 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 218 12/6/17 3:47 PM


Globalisasi yang terjadi juga memiliki atas pengaruh dari stigma-stigma dari
pengaruh terhadap pembentukan pihak yang melakukan dominasi yang
identitas seseorang atau kelompok. kemudian membangun pertahanan
Bagaimana kemudian dengan dunia dan perlawanan. 1) Resistence identity
yang terkesan tidak memiliki batas kemudian mengarahkan ke pembentukan
membentuk identitas-identitas baru komunitas yang kuat dan menjadi
bagi individu. Mereka tidak lagi memiliki dominan dalam institusi masyarakat
identitas sebagai bagian dari sebuah sehingga bertransformasi ke dalam bentuk
komunitas atau kelompok tertentu, tetapi legitimizing identity. 2) Legitimizing
mereka juga memperkenalkan diri mereka identity diperkenalkan oleh institusi
sebagai warga dunia (global citizenship). yang dominan dari masyarakat untuk
Munculnya organisasi internasional atau memperluas dan merasionalisasikan
perusahaan multinasional menjadi faktor dominasi aktor-aktor sosial, bentuk
pendorong kearah terbentuknya identitas identitas ini dapat sejalan dengan teori-
tunggal sebagai warga dunia, mereka teori mengenai nasionalisme, secara
kemudian tidak sungkan lagi untuk singkat legitimizing identity lekat dengan
mengatakan bahwa dia adalah warga otoritas dan dominasi. 3) Project Identity
dunia, bukan warga negara dimana dia merupakan pembentukan identitas ketika
berasal. aktor-aktor membangun sebuah identitas
Identita s merupakan s umber baru yang mendefisikan ulang posisi
pemaknaan bagi aktor itu sendiri dan mereka dalam masyarakat, berasal dari
oleh mereka sendiri, yang dikonstruksikan suatu bentuk pertahanan atau perlawanan
melalui proses individuasi. Meskipun juga yang biasanya mengkonstruksi kelompok
identitas dapat pula berasal dari institusi identitas dan kemudian menjadi dominan
yang dominan, yang mana mereka dalam masyarakat (Castells, 2004).
menjadi sebuah identitas hanya ketika dan Lijphart (1984) mengemukakan
jika aktor-aktor sosial menginternalisasi istilah consociational democracy untuk
m e re ka , d a n m e n g ko s nt r u ks i ka n menggambarkan kondisi demokrasi
pemaknaan seperti nilai dan norma yang diformulasikan untuk mengatasi
melalui proses internalisasi ini. Identitas masyarakat yang majemuk (pluralisme
merupakan sumber pemaknaan yang budaya). Model ini juga dikenal
dimiliki oleh individu ataupun entitas dengan istilah consensus democracy
yang sifatnya lebih kuat dibandingkan (Kellas, 1998). Dalam bentuk idealnya,
peran atau role karena proses dari self- consociational democracy memiliki
construction dan individuation yang beberapa pelembagaan institusi yang
terkandung didalamnya. penting: koalisi besar, sistem pemilu
Manuel Castells (2004) dalam bukunya proporsional, hak veto yang bersifat
The Power of Identity, menjelaskan bahwa timbal-balik (mutual), dan otonomi bagi
identitas dapat dibagi menjadi tiga: setiap segmen. Koalisi besar (grand
resistance identity, legitimizing identity, coalition) adalah bentuk akomodasi
projector identity. Resistance identity untuk elit, mereka diberikan kesempatan
dihasilkan oleh aktor-aktor yang berada untuk menjadi perwakilan dari segmen-
dalam posisi dan kondisi yang lemah segmen yang ada untuk kemudian duduk

Politik Identitas 219

02 JURNAL BAWASLU.indd 219 12/6/17 3:47 PM


bersama merumuskan masalah. Bentuk dalam pluralisme budaya yang dibahas
kedua, yaitu sistem perwakilan yang secara amat baik oleh Jamie S. Davidson
proporsional, dapat menjadi jawaban dan David Henley (2007) dalam buku
dari kelompok non-elit untuk bisa mereka The Revival of Tradition in
memberikan kontribusi mereka. Menurut Indonesian Politics: The Development
penulis, hak veto dan otonomi menjadi of Adat from Colonialism to Indigenism.
win-win solution bagi setiap segmen Buku tersebut menjelaskan kebangkitan
atau kelompok dalam upaya menjamin kembali masyarakat adat nusantara dan
kepentingan mereka dapat diakomdasi keinginan mereka untuk dapat dilibatkan
dalam proses pengambilan kebijakan. secara aktif dalam proses pengambilan
Masalah dalam consociationalism kebijakan. Kejatuhan rezim sentralistik
biasanya ada karena dorongan dari Orde Baru, dan pemberlakukan praktik
internal dan eksternal, dimana terdapat desentralisasi melalui otonomi daerah
elit yang merasa tidak diakomodasi. menjadi ruang yang dimafaatkan dengan
Faktor kepemimpinan memainkan peran sangat baik oleh kelompok adat untuk
kunci disini. mengembalikan klaim atas hak-hak
Horowitz dalam bukunya Ethnic mereka yang selama rezim Orde Baru
Groups in Conflict (Kellas, 1998) dirampas. Manifestasi dari gerakan adat
menjelaskan bahwa dalam mencari ini salah satu bentuk nyatanya adalah
sistem politik yang dapat meredam konflik berkembangnya wacara ‘putra daerah’
etnis, Horowitz menemukan kegagalan yang harus menjadi pemimpin pada
dari consociationalism dalam bentuk daerah-daerah otonomi (Davidson &
asumsi a priori tentang pembahsan secara Henley, 2007)
konstitusional terhadap konflik etnis. Dia
kemudian menawarkan ‘lima mekanisme 4. Hasil dan Pembahasan
dalam meredam konflik’, yaitu; pertama, Sampel yang diambil adalam
melakukan pemisahan kekuasaan antara penelitian ini dapat dikatakan
pemerintah pusat dan pemerintah representatif. Hal ini terlihat dalam
daerah; kedua, memberikan perhatian sebaran demografi responden dari hasil
yang lebih terhdap konflik intraetnis survei yang dilakukan. Perimbangan
dibandingkan konflik internetnis; ketiga, gender laki -laki berbanding perempuan
membentuk kebijakan yang memberikan tetap terjaga 50:50. Sebaran usia
insentif terhdap kerjasama interetnis; responden memperlihatkan bahwa
keempat, membentuk kebijakan yang pemilih terbanyak berada pada rentang
lebih mengutamakan pembentukan koalisi usia 36-45 tahun (25,2%), diikuti oleh
berdasarkan pengaruh, dibandingkan penduduk berusia 26-35 tahun (24,9%).
dengan etnisitas; kelima, menurunkan Secara lebih detail dapat dilihat dalam
disparitas antar kelompok sehingga rasa grafik dibawah ini:
ketidakpuasan dapat menurun.
Dalam konteks Indonesia, terdapat
salah satu bentuk politik akomodatif

220 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 220 12/6/17 3:47 PM


Grafik 1. Sebaran Usia Responden Berikutnya, hasil survei ini
menemukan bebera fakta menarik
tentang pemilih di Kalbar dan potensi
isu-isu identitas menjelang momentum
pemilukada 2018 yang dipotret melalui
beberapa temuan angka untuk indikator
berikut:
• Sebanyak 10% responden tidak
Sumber: Diolah oleh Penulis. nyaman bertetangga dengan keluarga
yang berbeda agama dengan mereka;
Untuk komposisi agama dan suku • K u r a n g d a r i 5 0 % ( 4 9 , 1 % )
bangsa responden dalam penelitian ini masyarakat yang mengaku tidak
dapat dilihat dalam grafik dibawah ini: mempermasalahkan latar belakang
dan identitas keagamaan dari calon
Grafik 2. Sebaran Responden kepala daerah dan calon wakil kepala
Berdasarkan Agama daerah;
• L e b i h d a r i 2 5 % r e s p o n d e n
menyatakan secara eksplisit bahwa
merekalebih menginginkan Gubernur
Kalimantan Barat adalah seorang
Muslim, dan Wakil Gubernur Non-
Muslim. Sebaliknya, ada 10,8%
responden menginginkan Gubernur
Kalimantan Barat Non-Muslim, dan
Sumber: Diolah oleh Penulis Wakil Gubernur Kalimantan Barat
adalah Muslim. Hal ini berarti bahwa
Grafik 3. Sebaran Responden preferensi pilihan politik warga Kalbar
Berdasarkan Suku salah satunya masih bergantung pada
faktor identitas agama kandidat;
• Hanya 49,3% responden yang
menyatakan tidak mempermaslahkan
latar belakang dan identitas kesukuan
dari pasangan calon kepala daerah dan
calon wakil kepala daerah. Sebanyak
20,6% responden menginginkan
agar Gubernur dijabat oleh suku
Sumber: Diolah oleh Penulis. MelayuSebanyak 10,7% responden
menginginkan agar Gubernur dijabat
Data demografis di atas telah oleh suku Dayak. Kecenderungan
memperlihatkan keberagaman masyarakat tentang latar belakang identitas
Kalbar yang terepresentasi dalam kesukuan terlihat mirip dengan latar
responden penelitian ini. belakang agama kandidat di mata
pemilih Kalbar.

Politik Identitas 221

02 JURNAL BAWASLU.indd 221 12/6/17 3:47 PM


Beberapa temuan di atas merupakan pemilukada 2018 tersebut sangat
indikator yang dapat digunakan dalam berimbang. Selisih antar keduanya hanya
melihat bagaimana masyarakat melihat 0,3% dalam margin of error 3%, namun
identitas sebagai sesuatu yang harus tetap ada pemilih sebanyak 25% yang
terepresentasi dalam politik elektoral. belum menentukan pilihannya. Hal ini
Hingga penelitian ini dilaksanakan, wajar karena pengambilan data lapangan
memang belum terdapat pasangan pada penelitian ini sebelum ada calon
calon yang secara resmi mendapatkan yang definitif.
rekomendasi dari partai politik, namun Berikutnya dilakukan tabulasi silang
dalam survei yang dilakukan terdapat antara variabel kandidat pilihan dengan
simulasi dua nama yang diduga merupakan agama pemilih; kandidat pilihan dengan
kandidat terkuat dan memiliki peluang suku pemilih; dan kandidat pilihan
paling besar memperoleh rekomendasi dengan kabupaten/kota tempat tinggal
dari beberapa parpol, yakni Karolin pemilih. Hasil tabulasi silang tersebut
Margaret Natassa dan Sutarmidji. Dua dapat dilihat dalam tabel 1, tabel 2, dan
nama ini mewakili dua kelompok etnis tabel 3 berikut ini.
besar, Dayak, dan Melayu, seperti yang
telah dijelaskan di bagian terdahulu. Tabel 1. Tabulasi Silang
Latar belakang etnis dan agama kedua Variabel Agama
kandidat dalam simulasi elektabilitas ini
dapat digunakan dalam melihat preferensi
pemilih berdasarkan suku dan agama
pemilih dengan menggunakan teknik
tabulasi silang. Survei ini menemukan
angka elektabilitas simulasi dua nama
calon gubernur Kalbar pada bulan
Juli 2017 seperti terlihat dalam grafik
dibawah ini.
Sumber: Diolah oleh Penulis.
Grafik 4. Simulasi Elektabilitas
Dua Nama Dalam Tabel 1 terlihat bahwa
responden yang beragama Islam memiliki
kecenderungan memilih Sutarmidji
(55,1%) yang berlatar belakang muslim,
sementara itu mayoritas responden
yang beragama Kristen dan Katolik
(70,6% dan 80,3%) memilih Karolin yang
berlatar belakang non-muslim. Data pada
Sumber: Diolah oleh Penulis. tabel 1 ini menjelaskan bahwa pemilih
masih menjadikan kesamaan agama
Grafik di atas menunjukkan bahwa sebagai salah satu pertimbangan dalam
perolehan suara kedua tokoh yang menentukan pilihan politiknya dalam
digadang-gadang akan maju dalam momentum elektoral, meski dalam

222 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 222 12/6/17 3:47 PM


data yang disajikan sebelumnya dalam etnis terbesar ketiga, Tionghoa hampir
bentuk frekuensi, jumlah mereka yang separuhnya belum menentukan pilihan
menginginkan pemimpin dengan agama mereka.
tertentu kurang dari 40%, namun data Dalam tabulasi silang selanjutnya
tabulasi silang di atas memperlihatkan terlihat sentimen asal wilayah yang juga
kecenderungan yang lebih jelas. cukup kuat dam dapat dilihat sebagai
Tabulasi silang berikutnya yang salah satu identitas yang mungkin
tergambar dalam tabel 2 di bawah ini dimanfaatkan menjelang pemilukada
adalah tabulasi silang antara variabel suku Kalbar mendatang.
dan preferensi pilihan bakal calon kepala
daerah simulasi 2 nama. Tabel 3. Tabulasi Silang Variabel
Daerah Asal
Tabel 2. Tabulasi Silang Variabel Suku

Sumber: Diolah oleh Penulis

Data yang tersaji dalam tabel 2


memperlihatkan kecenderungan yang Sumber: Diolah oleh Penulis
hampir sama dengan Tabel 1, yaitu
preferensi pemilih dalam menentukan Dalam Tabel 3 terlihat bahwa pemlih
kandidat pilihannya masih dipengaruhi masih mempertimbangkan daerah asal
oleh kesamaan latar belakang identitas sebagai dasar menentukan pilihan politik
etnis/suku antara kandidat dan diri dalam pemilukada. Data menunjukkan,
pemilih. Sebanyak 79,2% responden yang sebanyak 76,9% responden di Kota
bersuku Dayak akan memilih Karolin yang Pontianak akan memilih Sutarmidji,
juga merupakan orang Dayak sebagai walikota pontianak saat ini sebagai
gubernur Kalbar mendatang. Sementara Gubernur, dan 90% responden di
itu, sebanyak 54,6% orang Melayu akan Kabupaten Landak akan memilih Karolin
memilih Sutarmidji yang notabena yang merupakan bupati Landak saat
dianggap merepresentasikan kelompok ini. Daerah atau teritori yang menjadi
etnis ini. Suku Jawa yang memiliki wilayah pengaruh suku Dayak seperti:
identifikasi agama yang sama dengan Bengkayang, Kapuas Hulu, Melawi,
suku Melayu (sama-sama Islam) juga Sekadau dan Sanggau juga menunjukkan
cenderung memilih Sutarmidji. Sementara kecenderungan untuk memilih Karolin.
itu, data juga memperlihatkan bahwa Sementara itu, pada daerah yang menjadi

Politik Identitas 223

02 JURNAL BAWASLU.indd 223 12/6/17 3:47 PM


wilayah pengaruh suku Melayu seperti positif pada pelestarian dan keberlanjutan
Sambas, dan Kubu Raya menunjukkan dari identitas tersebut, tetapi jika melewati
kecenderungan untuk memilih Sutarmidji. titik keseimbangannya, identitas akan
Data pada tabel 3 ini memberi penguatan membuka ruang konflik antaridentitas.
pada data pada tabel 1 dan 2 di atas. Momentum PIlkada 2018 memiliki
Berbagai temuan data di atas potensi pergeseran titik keseimbangan
memperlihatkan bahwa teori perilaku dalam konsep identitas. Hal ini dibuktikan
memilih pendekatan sosiologis yang melalui data yang berhasil dihimpun,
menyebutkan faktor paling berpengaruh bahwa lebih dari separuh (50,9%)
dalam pilihan masyarakat dalam pemilu menjadikan asal daerah, agama, dan
adalah karakteristik dan pengelompokan suku sebagai bahan pertimbangan dalam
sosial, dapat terlihat di Kalimantan Barat. memilih calon kepala daerah. Kondisi ini
Pengelompokan sosial yang penting sedikit berbeda sejak otonomi daerah
diperhatikan menjelang pemilukada dimulai. Perbedaan yang paling prinsip
Kalbar 2018 adalah suku/etnis, agama, adalah sentimen kedaerahan dan identitas
dan asal wilayah. yang dibawa menjadi semakin lokal. Jika
Pertarungan identitas yang menjadi dulu pada masa awal otonomi daerah
pengamatan adalah Melayu-Muslim tuntutannya adalah kepala daerah yang
dengan Dayak-Kristen/Katolik yang merupakan orang asli daerah tersebut,
kemudian berpotensi untuk dipolitisasi maka sekarang konteksnya menjadi lebih
menjelang pemilihan kepala daerah. sempit, yaitu mereka yang berasal dari
Sentimen kesukuan yang bercampur kabupaten/kota yang sama. Penguatan
dengan sentimen keagamaan menjadi identitas kelokalan ini yang kemudian
hal yang perlu diwaspadai oleh Badan perlu untuk diperhatikan secara seksama.
Pengawas Pemilu. Politisasi isu identitas Ketakutan akan tercerabutnya identitas
dapat merugikan pasangan calon yang karena peleburan batas-batas melalui
menjadi korban dari framing lawan globalisasi menjadi kurang relevan ketika
politiknya. berhadapan dengan kebangkitan kembali
Mengacu kepada konsep identitas sentimen identitas yang lebih lokal.
yang dijelaskan pada awal tulisan ini, Penjelasan Lijphart (1984) tentang
bahwa sentimen kedaerahan (orang asli consociational democracy menjadi
daerah) masih menjadi fenomena umum relevan untuk mengakomodasi perbedaan
di Kalimantan Barat. Asal daerah masih dalam pluralisme budaya yang ada di
menjadi preferensi dalam memilih kepala Kalimantan Barat. Heterogenitas yang
daerah. Kecenderungan warga di masing- tinggi, serta pluralisme budaya yang telah
masing kabupaten asal untuk memilih terjalin sejak lama perlu untuk terus
bakal calon gubernur yang berasal dari dibina. Persaingan yang terjadi antara
daerah yang sama masih sangat tinggi. tiga kelompok etnis terbesar ini perlu
Tingginya kecenderungan menggunakan dicarikan solusi yang terbaik, dimana
isu-isu identitas mengindikasikan bahwa kepentingan dari seluruh pihak dapat
ikatan dan kolektivitas dari masing-masing terakomodasi dengan baik.
kelompok masih kuat. Dalam satu sisi, Pilihan kebijakan dalam meredam
menguatnya identitas dapat berdampak terjadinya konflik interetnis di Kalimantan

224 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 224 12/6/17 3:47 PM


Barat dapat mengacu kepada dua dari 5. Simpulan
lima aspek yang dijelaskan oleh Horowitz Secara umum, temuan dari
(dalam Kellas, 1998) yaitu: penelitian ini menunjukkan adanya
• Memberikan insentif atas kerjasama potensi penggunaan isu identitas dalam
i n t e re t n i s . Ko n d i s i i n i a ka n pelaksanaan Pilkada Kalimantan Barat
mendorong terbentuknya kerjasama 2018. Masyarakat Kalimantan Barat masih
interetnis sehingga mereka lebih tergolong sebagai pemilih tradisional yg
mengutamakan tujuan bersama mengedepankan faktor sosiologis. Ikatan
daripada kepentingan golongan. kedaerahan, agama, dan suku masih
• Menurunkan disparitas interetnis. menjadi pertimbangan utama lebih dari
Kesetaraan akses dan distribusi separuh masyarakat Kalimantan Barat
sumber daya yang merata menjadi dalam menentukan pilihan politiknya.
kunci penting dalam menjaga Politik identitas dalam beberapa
hubungan interetnis agar tidak waktu terakhir menjadi perhatian serius
terjadi saling cemburu yang dapat berbagai kalangan. Penguatan identitas
berujung kepada konflik. lokal menjadi pisau bermata dua yang
Lebih lanjut, jika mengacu kepada harus dikelola dengan baik. Kewaspadaan
Castells (2004) maka identitas yang memang perlu ditingkatkan menjelang
sekarang yang dimiliki perlu dibentuk tahun politik datang, tetapi tidak berarti
sebuah project identity, tentang harus terkungkung dalam paranoia dan
pembentukan identitas baru yang segala bentuk ketakutan yang tidak
akomodatif. Tantangannya adalah beralasan. Masih terdapat variabel lain
membentuk identitas Kalimantan yang belum dijelaskan dalam penelitian
Barat, bukan memperkuat identitas yang singkat ini, dan secara resmi belum
kelokalan, Dayak, Melayu, atau Tionghoa ada pasangan calon yang mendaftar
dan Jawa. Tetapi, bagaimana dengan sebagai bakal calon gubernur dan wakil
ragam identitas yang dimiliki tersebut gubernur. Seperti yang dijelaskan pada
masyarakat Kalimantan Barat memiliki bagian awal, temuan dari penelitian
kebanggaan atas identitas baru mereka ini setidaknhya mampu memberikan
yang lebih akomodatif, tanpa mengurangi peringatan dini dan pemetaan potensi
kadar kebanggaan mereka atas identitas konflik politik yang mungkin akan terjadi.
asal. Kalimantan Barat dapat menjadi B a w a s l u s e b a ga i l e m b a ga y a n g
laboratorium mini dalam melihat eksistensi bertanggung jawab atas pengawasan
kebhinekaan, hidup berdampingan dalam pemilu perlu untuk merumuskan persiapan
damai dan harmoni meski memilki banyak yang matang dalam menghadapi potensi
perbedaan. penggunaan politisasi isu identitas dalam
Pilkada Kalimantan Barat 2018.

Politik Identitas 225

02 JURNAL BAWASLU.indd 225 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2010). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa
Sehari-hari Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Baiduri, N. I. (2017, Mei 20). Aksi Bela Ulama 205 Kisruh, Pontianak Berstatus Siaga.
Diakses pada Oktober 24, 2017, dari Tempo.Co: https://nasional.tempo.co/
read/877179/aksi-bela-ulama-205-kisruh-pontianak-berstatus-siaga
Castells, M. (2004). The Power of Identity, The Information Age: Economy, Society,
and Culture Volume II. Cambridge: Blackwell .
Davidson, J. S., & Henley, D. (2007). The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The
Development of Adat from Colonialism to Indigenism. New York: Routledge.
de Vaus, D. (2006). Research Design in Social Research. London: SAGE Publication.
Eddy, G. (2017, Mei 21). Kapolda Janji Proses Hukum Bernada Provokasi Gubernur
Kalbar. Diakses dari Seputar Indonesia: https://daerah.sindonews.com/
read/1206904/174/kapolda-janji-proses-hukum-pidato-bernada-provokasi-
gubernur-kalbar-1495358386
Evans, J. A. (2004). Voting and Voters: An Introduction. London: SAGE Publications.
Gaffar, A. (1992). Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic
Party-System. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Handoko, A. (2012, Agustus 5). Cornelis-Christandy Dapat Nomor Urut Satu. Diakses
pada Oktober 29, 2017, dari Kompas.com: http://regional.kompas.com/
read/2012/08/06/15485347/Cornelis-Christiandy.Dapat.Nomor.Urut.1
Jumadi, & Yaakop, M. (2013). Keterwakilan Etnis dalam Kepemimpinan Politik Pasca
Orde Baru. Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Vol. 2 (No.11), 81-90.
Kellas, J. G. (1998). The Politics of Nationalism and Ethinicity. London: Macmillan Press.
King, D. Y. (2003). Half-Hearted Reform: Electoral Institution and Struggle for Democracy
in Indonesia. Westport: Preager Publisher.
Kristianus. (2011). Nasionalisme Etnik di Kalimantan Barat. Masyarakat Indonesia,
Vol.XXXVII (No.2), 147-175.
Mujani, S., Liddle, R., & Ambardi, K. (2011). Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku
Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru.
Jakarta: Mizan.
Rood, S. (1991). Perspective on the Electorals Behaviour of Baguio City (Philliphines):
Voters in Transititon Era. Journal of South East Asian Studies, Vol.22 (No.1),
86-87.
Roth, D. (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode. Jakarta:
Friedrich-Naumann Stiftung.
Soeseno, N. (2011). Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer. Depok:
Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Sulistiyanto, P., & Erb, M. (2009). Deepening Democracy in Indonesia: Direct Election
for Local Leaders. Singapore: ISEAS.
Tanasaldy, T. (2007). Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat. In H. S. Nordholt,
& G. van Klinken, Politik Lokal di Indonesia (pp. 461-490). Jakarta: Yayasan
Obor dan KITLV-Jakarta.

226 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 226 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Saepudin&Firmansyah, J.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 227-239

JAWARA DAN PEMILU: PERAN JAWARA SEBAGAI IDENTITAS


POLITIK DI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH BANTEN

Saepudin
Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, saepudin.
albantani88@gmail.com

Joni Firmansyah
Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Indonesia,
jonifirmansyah2050@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to find out how the identity of jawara in Banten society so that it
has influence in local politics. The influence jawara is increasing in social, economic,
and political fields during the reform era that open community participation. This
research methodology used qualitative method with descriptive-analysis approach.
The findings and conclusions are jawara become identity that have influence because
have magical power and experience social mobility so that dominating of economy
and also influence politics to defend their interest. Their abilities are also supported
by the patron-client relationship between the jawara and some jawaras have been
institutionalized and rooted from the center to the regions. While jawara relationship
with the ruler is more driven by the relationship of mutualism symbiosis because jawara
needs the support of power to maintain their interests. While the ruler need their
support to be re-elected in the local elections. Jawara can be a supporter and vote
getter because it has a mass base. So the jawara can be decisive in Banten because
of their network spread in political parties, legislative and executive institutions.

Keywords
Local Election, Election, Jawara’s Role, Power

Politik Identitas 227

02 JURNAL BAWASLU.indd 227 12/6/17 3:47 PM


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identitas jawara dalam


masyarakat Banten sehingga mempunyai pengaruh dalam politik lokal. Pengaruh
jawara semakin terasa dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik ketika era reformasi
yang membuka partisipasi masyarakat. Metodologi penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analisis. Temuan dan kesimpulannya adalah
jawara menjadi identitas yang mempunyai pengaruh karena mempunyai kekuatan
magis dan mengalami mobilitas sosial sehingga menguasai bidang ekonomi dan
turut juga mempengaruhi politik untuk memepertahankan kepentingan mereka.
Kemampuan mereka juga ditunjang oleh hubungan patron-klien diantara jawara
dan beberapa jawara terlembagakan menjadi organisasi dan mengakar dari pusat
sampai daerah. Sedangkan hubungan jawara dengan penguasa lebih didorong oleh
hubungan simbiosis mutualisme karena jawara membutuhkan dukungan kekuasaan
untuk memepertahankan kepentingan mereka. Sedangkan penguasa membutuhkan
dukungan mereka untuk terpilih kembali dalam pilkada. Jawara bisa menjadi supporter
dan vote getter karena mempunyai basis massa. Kemudian jawara bisa menjadi
penentu kebijakan di Banten karena jaringan mereka yang menyebar di partai politik,
lembaga legislatif maupun eksekutif.

Kata Kunci
Pilkada, Pemilu, Peran Jawara, Kekuasaan

1. Pendahuluan serasi antara pusat dan daerah serta


Dengan jatuhnya rezim Suharto yang antar daerah dalam rangka menjaga
berkuasa selama 32 tahun memberikan keutuhan Negara Kesatuan Republik
dampak kepada perubahan sistem Indonesia (NKRI); ketiga, mengembangkan
dan tatanan politik Indonesia. Era kehidupan demokrasi, keadilan dan
reformasi sebagai hasil dari perubahan itu pemerataan (Leo Agustino, 2009: 26).
diharapkan membawa Indonesia kepada Kemudian demokratisasi di Indonesia
pemerintahan yang lebih adil, demokratis, ditandai dengan dilakukannya pemilihan
dan sejahtera. Perubahan kekuasaan umum secara langsung yang bebas, jujur,
juga mempengaruhi hubungan struktur dan adil sebagai bentuk perwujudan hak-
kekuasaan pusat dengan daerah yaitu hak asasi.
dengan diberlakukannya otonomi daerah. Dengan adanya pemilihan kepala
Ide dasar dari otonomi daerah adalah; daerah (Pilkada) secara langsung
pertama, meningkatkan pelayanan dan sehingga mengubah pola pemilihan
kesejahteraan masyarakat yang semakin yang sebelumnya dilakukan oleh elit
baik; kedua, memelihara hubungan yang dengan perwakilannya di DPRD (elite
vote) ke model pemilhan yang dipilih

228 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 228 12/6/17 3:47 PM


langsung oleh masyarakat (popular dalam politik lokal baik formal maupun
vote). Ada beberapa kelebihan pilkada informal. Pada awalnya jawara dan
langsung diantaranya political equality, kyai adalah satu entitas yang tidak bisa
local accountability, dan local response dipisahkan, namun dengan dinamika dan
yang diharapkan munculnya partisipasi situasi yang berubah khususnya ketika Orde
masyarakat dan adanya peningkatan Baru, dimana kyai semakin termajinalkan
efisiensi pemerintahan lokal (Amirudin dalam politik dan perannya bergeser
dan A. Zaini Bisri, 2006). Namun, dengan kepada peran informal, sedangkan peran
adanya desentralisasi berupa otonomi formal dalam pemerintahan banyak
daerah yang diharapkan kekuasaan bisa didominasi oleh kalangan jawara
disitribusikan secara adil dan merata tidak Pada pemilihan kepada daerah setelah
berkorelasi positif dengan penguatan reformasi baik yang masih dilakukan
demokrasi. Hal ini ditandai dengan oleh DPRD maupun pemilihan secara
lahirnya kekuatan orang kuat lokal di langsung, jawara selalu terlibat dalam
berbagai negara berkembang dan di dinamika memperebutkan pengaruh dan
Indonesia. kekuasaan. Pada pemilihan Gubernur
Di Banten dengan tumbangnya rezim dan Wakil Gubernur Banten tahun
Orde Baru, justru semakin menguatkan 2001 yang dimenangkan oleh pasangan
peran jawara dalam bidang sosial, Djoko-Atut memperlihatkan pengaruh
politik dan ekonomi. Dominasi itu dapat jawara dalam memenangkan pasangan
dimengerti karena ketika Suharto berkuasa tersebut. Ketika pemilihan kepala derah
jawara (selain kyai) adalah salah satu dilakukan secara langsung, ternyata peran
kekuatan lokal yang dikooptasi pemerintah jawara tidak hanya berpengaruh untuk
untuk mempertahankan kekuasaannya. salah satu kandidat saja, tetapi mereka
Peran jawara sebagai identitas kekuatan memepunyai pengaruh terhadap semua
politik lokal sudah dimulai semenjak kandidat sebagai salah satu faktor untuk
zaman kolonialisme, dimana jawara mendulang suara. Dukungan jawara
selalu terlibat dalam pemberontakan- selalu diberikan kepada setiap pasangan
pemberontakan menentang Belanda. kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur
Sekarang di era reformasi jawara banyak baik dalam pilkada tahun 2006, 2011,
menguasai sumber ekonomi dan politik dan 2017. Hal ini memperlihatkan
karena banyak terlibat dalam Kamar kalau jawara sebagai identitas lokal
Dagang Indonesia (KADIN), Lembaga Banten yang mempunyai pengaruh untuk
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), dan mempengaruhi preferensi masyarkaat
Gabungan Pengusaha Nasional Seluruh dalam menentukan sikapnya dalam politik
Indonesia (GAPENSI). Sedangkan dalam terutama pilkada.
perpolitikkan lokal, mereka mendominasi Berdasarkan pemaparan di atas,
dan menempatkan orang-orangnya di jawara merupakan salah satu subkultur
pemerintahan baik di lembaga legislatif sosial di Banten yang selalu terlibat
maupun eksekutif. dalam politik lokal dan mempengaruhi
Banten sebenarnya daerah yang perubahan sosial masyarakat khususnya
didominasi oleh dua subkultur yaitu kyai dalam kontestasi pemenangan kepala
dan jawara yang mempunyai pengaruh daerah. Oleh karena itu penelitian ini

Politik Identitas 229

02 JURNAL BAWASLU.indd 229 12/6/17 3:47 PM


akan mengkaji dan menjawab bagaimana simbol sebagai bentuk kontrol sosial
keterlibatan jawara sebagai kekuatan atas masyarakat. “Orang kuat lokal”
politik dalam pemilu kepada daerah beroperasi di negara pascakolonial
Banten? dari benua Asia dan Afrika yang masih
lemah melakukan kontrol sosial atas
2. Metode Penelitian masyarakatnya terutama di tingkat
Jenis penelitian yang penulis gunakan lokal. Kontrol sosial terutama dilakukan
dalam penelitian ini adalah penelitian untuk mengatur relasi sosial di dalam
kualitatif dengan pendekatan deskriptif- masyarakat, melakukan penetrasi di
analitis. Menurut Lawrence Neuman, dalam masyarakat, mengambil sumber
pendekatan kualitatif bertujuan untuk daya yang ada di dalam masyarakat dan
mendapatkan gambaran yang jelas menggunakan sumber daya yang ada
mengenai pertanyaan penelitian yang di dalam masyarakat (Joel S. Migdal,
telah dirumuskan sebelumnya dengan 1988: 3-41).
metode induktif. Namun tidak menutup Dalam sebuah arena politik lokal,
kemungkinan untuk menggunakan data- “orang kuat lokal” bersama birokrat di
data kuantitatif yang terkait dengan tingkat lokal yang menjalankan kebijakan
subjek ataupun masalah penelitian, untuk pemerintah dan politisi lokal yang terdiri
memperkuat data-data yang terkumpul dari partai politik dan pemimpin formal
selama penelitian (Lawrence Neuman, di tingkat lokal, membentuk segitiga
2000: 88-91). akomodasi yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya. Mereka membangun
apa yang disebut Joel Migdal sebagai
3. Perspektif Teori
jejaring pertukaran sosial ekonomi dan
3.1 Local Strongman
politik. “Orang kuat lokal” melakukan
Joel Migdal memberikan definisi tawar menawar dengan birokrat dan
mengenai “orang kuat lokal” sebagai politisi yang menghasilkan kompromi atau
pemimpin nonformal negara seperti tuan kompetisi. “Orang kuat lokal” menawarkan
tanah, tengkulak, pengusaha, kepala stabilitas lokal yang ditukar dengan
suku, panglima perang, bos, petani kaya, jaminan tidak mengganggu kekuasaan
pemimpin klan, za’im, effendi, agha, mereka yang telah berlangsung. Bahkan
cacique dan kulaks, yang membangun mereka menawar untuk dapat terlibat
organisasi sosialnya yang berbentuk langsung memengaruhi keputusan
jejaring dalam rangka menjalankan penting mengenai alokasi sumber daya
kontrol sosial atas masyarakat untuk dan aplikasi aturan-aturan kebijakan
menguasai keseluruhan populasi yang negara dengan cara menempatkan
mendiami wilayah tertentu. Para anggota keluarga mereka pada sejumlah
“orang kuat lokal” melakukan berbagai jabatan penting demi menjamin alokasi
kegiatan seperti pemberian kredit, sumber daya berjalan sesuai dengan
pemberian akses rakyat kepada tanah, aturan mereka sendiri (Joel S. Migdal,
perlindungan keamanan, pemerasan 1988: 238-258).
dan tindakan lainnya. Mereka juga
menerapkan hadiah, hukuman dan

230 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 230 12/6/17 3:47 PM


3.2 Teori Patron-Klien dan mempunya beberapa klien sendiri
James C. Scott, memberikan definisi (Maswadi Rauf, 2001: 99). Maswadi
patron-klien sebagai hubungan timbal Rauf berpendapat bahwa seorang
balik di antara dua peran yang dapat patron dalam kelompok patron-klien
diartikan sebagai sebuah kasus khusus karena kepemilikan sumber-sumber
yang melibatkan kekawanan secara luas kebutuhan hidup. Faktor penting yang
dimana individu yang satu memiliki menyebabkan seseorang menjadi patron
status sosial ekonomi yang lebih tinggi dalam kelompok patron-klien adalah
(patron) yang menggunakan pengaruh ketergantungan para klien secara materil
dan sumber-sumber yang dimilikinya kepada patron. Sebagai akibatnya adalah
untuk memberikan perlindungan atau bahwa ketergantungan itu menyebabkan
keuntungan-keuntungan kepada individu para klien menggantungkan sumber-
yang lain yang memiliki status yang lebih sumber penghasilannya kepada patron.
rendah (klien), dimana klien mempunyai Para klien dan keluarganya memperoleh
kewajiban membalas dengan memberikan pekerjaan dan penghasilan dari resources
dukungan dan bantuan secara umum, yang diberikan oleh patron (Maswadi
termasuk pelayanan-pelayanan pribadi Rauf, 2001: 102).
kepada patron (James C. Scott : 92).
Hubungan pertukaran antara patron 4. Hasil dan Pembahasan
dan klien adalah hubungan yang tidak 4.1 Identifikasi Jawara Sebagai Kekuatan
seimbang yang mencerminkan perbedaan Politik Lokal Banten
status. Hubungan tersebut yang kemudian Istilah jawara sendiri dalam sejarahnya
menimbulkan perasaan hutang budi klien mempunyai berbagai macam versi karena
kepada patron dan kemudian membalas tidak adanya bukti sejarah yang mencatat
jasa patron. Selain itu hubungannya bisa secara terperinci tentang jawara. Hal ini
bersifat personal yang konsekuensinya disebabkan jawara sendiri lahir dari rakyat
menciptakan loyalitas, kepercayaan, dan biasa, bukan dari golongan atas seperti
kasih sayang dalam hubungan diantara sultan, raja, kaum bangsawan, maupuan
mereka. pemimpin lainnya yang sering dicatat
Bentuk hubungan patron-klien bisa dalam sejarah. Sejarah jawara menurut
berbentuk bola gugus (patron-client para peneliti, umumnya bisa ditelusuri
cluster) dan pola piramida (patron- dengan pemberontakan-pemberontakan
client pyramid). Pola gugus adalah yang dilakukan masyarakat Banten
bentuk hubungan seorang patron dengan terhadap kolonialisme Belanda sebagai
beberapa klien, sedang pola piramida bentuk protes terhadap penjajahan yang
adalah gabungan dari beberapa gugus menimbulkan penderitaan rakyat.
patron-klien yang dipimpin seorang Menurut Sartono Kartodirdjo,
patron sebagai patron tertinggi. Dalam golongan jawara pada umumnya adalah
patron-klien piramida, seorang klien dari orang-orang yang tidak mempunyai
patron tertinggi adalah juga seorang pekerjaan tetap dan sering melakukan
patron dari beberapa orang klien. Dengan tindakan kriminal (Sartono Kartodirdjo,
demikian ada beberapa patron kecil 2015: 56). Sementara menurut Michael
yang menjadi klien patron tertinggi C. Williams, istilah jawara sendiri merujuk

Politik Identitas 231

02 JURNAL BAWASLU.indd 231 12/6/17 3:47 PM


kepada seseorang yang tidak hanya siap menunjang keunggulan tersebut mereka
menentang hukum-hukum dan segala membutuhkan magi walaupun dalam
macam aturan-aturan legal yang ada, bentuk yang paling mudah, seperti jimat,
namun juga melawan siapapun demi rajah dan sebagainya yang diperoleh
meraih tujuan mereka. Golongan ini dominan dari kiai. Walaupun pada zaman
terdapat di pedesaan Banten yang sarat sekarang, jawara dalam arti fisik dengan
akan intrik dan sampai sekarang masih ciri-ciri tersebut sudah tidak ada, yang
berkembang (Michael C. Williams, 2003: ada hanya dalam arti simbolik dengan
54). Jawara adalah istilah di Banten untuk kecenderungan menetukan beberapa ciri-
orang-orang yang memiliki kepandaian ciri saja, yaitu mengandalkan keberanian
bermain silat dan memiliki keterampilan- dan kekuatan fisik, agresif, terbuka (blak-
keterampilan tertentu. Berbeda dengan blakan) dan sompral (Tihami, 1992: 13).
perampok dan pencuri, mereka adalah Sumber kekuasaan jawara secara
figur yang mampu menjaga keselamatan tradisional bisa dibedakan dengan sumber
dan keamanan desa, sehingga masyarakat kekuasaan jawara ketika mengalami
menghormati keberadaan mereka. Pada mobilitas sosial dimulai ketika Orde
umumnya jawara sangat patuh kepada Baru yang mempunyai kepentingan
ulama karena semangat dalam jiwa mempertahankan kekuasaanya dengan
mereka diperoleh dari ulama. Tetapi ada dukungan jawara. Kekuasaan jawara
sebagian yang berperilaku negatif, namun secara tradisional karena mereka
biasanya itu bisa diatasi oleh rekan-rekan mempunyai magi yang dapat dipercaya
mereka sendiri. mempunyai dan memberikan keuntungan
Pemaknaan yang cenderung positif dalam kehidupan sehari-hari. Sumber
terhadap jawara disampaikan oleh kekusaan jawara yang berkaitan dengan
Tihami, dimana jawara menjadi bagian magi tidak bisa dilepaskan dari kyai yang
dari orang-orang yang pernah dididik di menurunkan ilmunya kepada santi dan
pesantren. Jawara sesunguhnya murid jawara, walaupun secara proporsi ada
kiai yang mendalami ilmu-ilmu agama perbedaan ilmu yang diturunkan kepada
di pesantren. Selain itu, mereka juga santri dan jawara.
mendalami ilmu-ilmu kanuragan dari kiai Jawara menjadi local strongman
yang pada akhirnya menjadi orientasi karena kemampuan mereka untuk
pilihan yang dikembangkan. Namun citra memanimpulasi kekautan magis yang
jawara di zaman sekarang cenderung kemudian mengalami mobilitas sosial
negatif, dimana sebagian jawara lebih dalam bidang sumber daya ekonomi.
suka identifikasi diri mereka dengan Dengan penguasaan sumber daya
sebutan pendekar. ekonomi tersebut membuat mereka
Pada zaman sekarang eksistensi jawara mempunyai pengaruh dalam politik lokal
masih diakui di Banten, walaupun Banten sebagai identitas yang akan diikuti
sudah disebutkan sebelumnya jawara oleh masyarakat.
cenderung berkonotasi negatif. Jawara Menurut Mohammad Hudaeri, peran-
adalah seseorang atau kelompok peran sosial jawara adalah sebagai berikut
masyarakat di Banten yang mempunyai (Mohammad Hudaeri, 2002) :
keunggulan secara fisik, dan untuk

232 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 232 12/6/17 3:47 PM


• Jaro para jawara adalah brajamusti
Jaro atau biasa disebut dengan (kemampuan untuk melakukan
kepala desa yang memimpin sebuah pukulan dahsyat), ziyad (mengendali
kelurahan. Pada zaman kesultanan sesuatu dari jauh), jimat atau rajah
jaro diangkat oleh sultan dengan untuk mencari kewibawaan, kekayaan
tugas utamanya adalah mengurus atau dicintai seseorang, putter
kepentingan kesultanan, seperti gilling (untuk memutar kembali atau
memungut upeti dan mengerahkan menemukan kembali orang yang
tenaga kerja untuk kerja bakti. Dalam hilang atau kabur), elmu (untuk
menjalankan pekerjaan sehari- menaklukan binatang yang berbisa
hari, jaro dibantu oleh pejabat atau berbahaya) dan sebagainya.
lainnya seperti carik (sekretaris • Pemain Debus
jaro), jagakersa (bagian keamanan), Peran jawara yang masih dekat
pancalang (pengatur surat), amil dengan kesaktian adalah permainan
(pemungut zakat dan pajak), merbot debus. Permainan debus ini banyak
atau modin (pengurus masalah dilakukan oleh para jawara, yang
keagamaan dan masjid). dianggap sudah memiliki kesaktian
• Guru Silat yang cukup. Jadi tidak semua jawara
Pada masa pra-Islam telah dikenal dapat melakukan permainan debus,
istilah perguron atau padepokan karena bagi yang tidak mampu
di daerah sekitar Gunung Karang, justru akan mendatangkan bencana
Pandeglang. Dalam masyarakat atau kecelakaan. Di Banten ada
Banten dikenal berbagai macam beberapa macam debus, yakni
perguron atau organisasi bela diri, debus al-madad, surosowan dan
seperti Terumbu, Bandrong, Paku langitan. Dinamakan debus al-madad
Banten, Jalak Rawi, Cimande, Si Pecut (artinya meminta bantuan dan
dan sebagainya. Setiap peguron pertolongan) karena para pemainnya
mempunyai karakteristik dalam jurus setiap kali melakukan aksinya selalu
dan sejarah kelahirannya. mengucapkan kata-kata al-madad,
• Guru Ilmu Batin (Magis) yang seolah meng gambarkan
Untuk menjadi seorang jawara yang bahwa tindakan ini didasarkan atas
terkenal harus ditunjang dengan pertolongan dari Allah SWT. Debus
kemampuan bela diri yang baik serta al-madad merupakan debus yang
memiliki ilmu batin atau magis, yakni paling berat karena untuk melakukan
kemampuan untuk memanipulasi permainan ini khalifahnya (pemimpin
kekuatan supranatural dan untuk grup) harus melakukan amalan yang
memenuhi kebutuhan praktisnya, sangat panjang dan berat. Amalan-
seperti kebal dari berbagai senjata amalan khalifah debus ini diambil
tajam, tahan api, juru ramal, pengusir dari terekat Rifa’iyah atau Qodariyah.
jin dan setan, pengendali roh dan • Khodim Kyai
pengobatan, seperti patah tulang J awara yang sebenarnya adalah
dan tukang pijit. Bentuk-bentuk khodim kiai. Peran sebagai khodim
elmu yang sering dipergunakan kiai maksudnya berperan sesuai

Politik Identitas 233

02 JURNAL BAWASLU.indd 233 12/6/17 3:47 PM


yang diajarkan kiai, yakni membela seperti organsisasi Tjimande Tari Kolot
ke b e n a ra n , b e r p i h a k ke p a d a Kebon Djeruk Hilir (TTKKDH), Terumbu,
masyarakat yang lemah, beperilaku Bandrong, Haji Salim, Ulim Makao, dan
santun dan tidak sombong dan masih banyak lagi organisasi jawara di
sejumlah aturan normatif lainnya. Banten (Facal, 2016). Terdapat organisasi
Peran-peran yang ideal itu semakin jawara yang melakukan kegiatannya
kurang dilakukan oleh para jawara dengan menguasai berbagai tempat
di tengah kepungan kehidupan yang untuk memberikan keamanan di wilayah
materialistik. tersebut. Bahkan dari mereka menjadi
jasa keamanan di sebuah acara atau
Jika Joel Migdal memberikan definisi
peristiwa tertentu.
mengenai orang kuat lokal sebagai
Di dalam politik jawara bersama
pemimpin non formal yang membangun
birokrat lokal melakukan simbiosis
organisasi sosialnya yang berbentuk
mutualisme karena adanya kepentingan
jejaring dalam rangka menjalankan
bersama yang saling menguntungkan satu
konrtol sosial atas masyarakat untuk
sama lain. Birokrat lokal membutuhkan
menguasai kesuluruhan populasi yang
jawara untuk mempertahankan
mendiami wilayah tersebut. Maka, di
kekuasaan dan memberikan dukungan
Banten sendiri jawara bisa disebut sebagai
kepadanya terutama pada saat pemilihan
orang kuat lokal karena pengaruh mereka
kepala daerah. Sedangkan jawara
dapat melakukan kontrol sosial di dalam
membutuhkan birokrat lokal untuk
masyarakat selain melakukan kontrol
mempertahankan sumber ekonomi
politik karena berhasil menempatkan
mereka dan menawarkan stabilitas sosial
orang-orangnya baik di dalam lembaga
dan memberikan keamanan kepada
legislatif maupun eksekutif dan menguasai
penguasa. Proses pertukaran tersebut apa
berbagai sumber ekonomi lainnya. Tetapi
yang disebut Joel Migdal sebagai jejaring
orang kuat lokal di Banten bukan sama
pertukaran sosial ekonomi dan politik.
sebagai pemimpin non formal tetapi
jawara sendiri setelah masa reformasi
4.2 Eksistensi Jawara dalam Pemilihan
justru menyebar ke berbagai partai politik
Umum Kepala Daerah
sehingga menempatkan orang-orangnya
untuk menduduki jabatan tertentu. Sedangkan peran jawara pada
Pada awalnya, jawara sendiri lebih masa reformasi bisa dilihat pada saat
banyak menempati sebagai pemipnin Pilkada Banten tahun 2001 yang masih
informal, namun keadaan itu berubah dipilih oleh DPRD. Dalam pemilihan
karena jawara mengalami mobilitas sosial ini jawara mempunyai pengaruh untuk
terutama ketika Orde Baru dan dikooptasi memenagkan kandidat yang mereka
pemerintah untuk mempertahankan usung. Dalam pilkada tersebut terdapat
kekuasaannya dan banyak dari jawara anak jawara terkenal yang akan maju
menempati posisi pemimpin formal menjadi Wakil Gubernur Banten yaitu
dalam pemerintahan. Ratu Atut Chosiyah. Sebelumnya Ratu
Banyak dari jawara membentuk Atut Chosiyah lebih banyak menjalankan
sebuah organisasi yang mempunyai bisnis perusahaan orang tuanya yaitu
struktur dari pusat sampai daerah PT. Sinar Ciomas Group. Menurut Boyke

234 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 234 12/6/17 3:47 PM


Pribadi pengajar Universitas Tirtayasa DPRD. Sebagai bentuk konkret dukungan
(Untirta), “Golkar mendukung Atut tidak tokoh jawara terhadap pasangan yang
terlepas dari peran besar ayahnya, Tokoh didukunggnya, ia duduk di tepat duduk
Jawara. Ia adalah tokoh yang dianggap undangan VIP. Selain itu dukungan
memiliki banyak jasa terhadap Golkar” jawara tidak terlepas dari motivasi untuk
(Lili Romli, 2007: 143). Hal ini dapat menguasai sumber daya ekonomi (Lili
dimengerti karena tokoh jawara tersebut Romli, 2007: 151-153).
menjadi pendukung Orde Baru dan Kemudian dalam pilkada Gubernur
ikut mengamankan kebijakan-kebijakan dan Wakil Gubernur Banten 2006
pemerintah ketika itu. yang secara langsung dilakukan oleh
Dukungan jawara terhadap Ratu masyarakat, jawara ikut terlibat kembali
Atut Chosiyah bisa terlihat dari adanya dalam dukung-mendukung pasangan
dukungan organisasi Persatuan Pendekar gubernur dan wakil gubernur. Dalam
Persilatan dan Seni Budaya Banten pilkada tersebut terdapat empat pasang
Indonesia (PPPSBBI) yang disampaikan calon yang ditetapkan KPUD yaitu Tb.
pada tanggal 18 September 2001. Tryana Sjam’un-Benyamin Davnie, Ratu
PPPSBBI sendiri diketuai oleh tokoh Atut Chosiyah-HM. Masduki, Irsyad
jawara yang tidak lain orang tua Ratu Djuweli-Mas Achmad Daniri, dan terakhir
Atut Chosiyah. Dukungan PPPSBBI berupa Zulkiflimansyah-Marissa Haque. Setiap
adanya surat yang ditunjukan langsung pasangan kandidat didukung oleh jawara,
kepada Panitia Pemilihan Gubernur dan baik dari jawara yang memang telah
Wakil Gubernur Banten. Adanya surat terorganisir dalam sebuah organisasi
tersebut mengindikasikan beberapa hal atau jawara yang memang mempunyai
diantaranya. Pertama, surat dukungan kemampuan personal untuk diikuti. Tabel
tersebut secara eksplisit telah memberikan di bawah ini memperlihatkan dukungan
sinyal tentang keberpihakan jawara jawara kepada setiap pasangan calon
terhadap calon wakil Gubernur Ratu Atut Gubernur dan Wakil Gubernur dalam
Chosiyah, dan siapapun calon gubernur Pilkada Banten 2006.
yang akan berpasangan dengan yang asangan Tryana Sjam’un-Benjamin
bersangkutan. Kedua, surat dukungan Davnie didukung diantarnya oleh jawara
tersebut juga merefleksikan salah satu TTKKDH yang merupakan salah satu
bentuk awal dari keterlibatan para jawara organisasi jawara yang mempunyai
dalam proses pemilihan Gubernur dan jaringan luas di Banten dan mengakar.
Wakil Gubernur (Lili Romli, 2007: 151). Secara jawara perorangan didukung oleh
Keterlibatan jawara dalam pilkada Buya Karis, Apih Juli yang sebelumnya
Banten 2001 terlihat dengan keterlibatan anggota dari Relawan Banten Bersatu
dalam bentuk mobilisasi massa. Para (RBB), H. Suraka sebagai jawara yang
jawara juga melakukan intimidasi atas banyak malang melintang di Jakarta.
calon dan para pendukung pasangan Pasangan Ratu Atut Chosiyah juga didukung
calon Gubernur-Wakil Gubernur tertentu. oleh TTKKDH terutama para dedengkot
Selanjutnya dalam bentuk pengamanan (pini sepuh). Selain itu pasangan ini
dalam pemilihan dengan mengerahkan didukung oleh PPPSBBI yang merupakan
massanya untuk mengamankan gedung organisasi pendekar pimpinan Tokoh

Politik Identitas 235

02 JURNAL BAWASLU.indd 235 12/6/17 3:47 PM


Jawara. Pasangan Zulkiflimansyah-Marissa mendeklarasikan diri untuk mendukung
Haque dan Irsyad Juseli-A Daniri tidak baik itu pasangan Wahidin Halim-Andika
begitu banyak didukung jawara seperti Hazrumy maupun pasangan Rano Karno-
pasangan yang lain. Diantara pasangan Embay Mulya Syarief.
yang mendukung Zulkiflimansyah-Marisa Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
Haque adalah Sudirman, selain itu para Jawara merupakan suatu entitas politik
jawara yang berafiliasi kepada PDIP juga yang banyak mempengaruhi peta
mendukung kampanye Marissa (Lili Romli, perpolitikan di Banten. Keterlibatan
2007: 179-188). kelompok ini di dalam politik, banyak
Dalam Pilkada Banten 2017, terdapat terlihat dari eksistensi mereka pada
dua kandidat yang bertarung yaitu pemilihan umum di mana peran mereka
pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy cukup dominan. Pada Pemilukada Banten
dan pasangan Rano Karno-Embay Mulya tahun 2017, peran Jawara sebagai suatu
Syarief. Wahidin Halim adalah mantan kekuatan politik tidak bisa diabaikan.
Wali Kota Tangerang dua periode yang Beberapa organisasi Jawara ikut terlibat
dinilai berhasil memajukan Kota Tangerang yang terbagi ke dalam beberapa kubu
oleh masyarakat. Indikasi ini bisa dilihat peserta pemilukada. Keikutsertaan
dari kemenagannya yang telak di Kota Jawara di dalam pemilukada tersebut
Tangerang ketika kontestasi Pilkada dapat dianalisis ke dalam beberapa hal.
Banten 2017. Sedangkan Rano Karno Pertama, adanya simbiosis mutualisme
merupakan petahana yang menggantikan antara Jawara dan kandidat politik pada
Ratu Atut Chosiyah karena tersandung suatu pemilu. Simbiosis yang saling
kasus hukum. menguntungkan ini merupakan bentuk
Hal yang menarik dari pertarungan konsensus dari perspektif patron-klien
Pilkada Banten 2017 adalah unsur jawara di antara mereka. Biasanya patron-
dalam penetapan calon Wakil Gubernur klien ditandai oleh adanya pihak yang
Banten. Andika Hazrumy adalah anak lebih berkuasa (patron), terhadap pihak
dari Ratu Atut Chosiyah dan anak dari yang membutuhkan sehinga muncul
Alm. Chasan Sochib yang merupakan hutang budi bagi pihak lainnya (klien).
jawara yang disegani di Banten. Walaupun Tetapi, di dalam melihat peran Jawara
Chasan Sochib sudah meninggal, tetapi ini, posisi antara Jawara dan kandidat
Andika Hazrumy bisa memanfaatkan politik sama rata atau seimbang.
jejaring yang sudah dibentuk sejak awal Tidak ada pihak-pihak yang superior
keluarganya berkiprah di dunia politik atau mendominasi, melainkan saling
yang memanfaatkan organisasi jawara. membutuhkan satu dengan yang lainnya.
(Witantra & Nesia). Sedangkan Embay Jawara membutuhkan ranah eksistensi,
Mulya Syarief yang lebih dikenal dengan baik dalam bentuk status sosial maupun
jawara putih. (Mahyadi, 2016). Selaint itu kebutuhan ekonomi, sementara kandidat
terdapat organisasi jawara di Banten yang membutuhkan dukungan elit lokal sebagai
selalu terlibat dalam Pilkada Banten untuk penguat modal politik dan vote getter di
ikut andil dalam memenangkan salah satu dalam pemilu.
calon. Di Pilkada Banten 2017, organisasi Kedua, kehadiran Jawara ini dapat
Jawara TTKKDH adalah organisasi yang ikut dilihat sebagai suatu peran politik yang

236 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 236 12/6/17 3:47 PM


berfungsi sebagai supporter dan vote Baru, di era reformasi mereka hadir
getter di dalam pemilu. Mereka memiliki secara equal atau sama rata. Sehingga
basis massa, memiliki simpatisan serta kehadiran mereka pada agenda-agenda
kultur politik yang telah terbina dengan politik menjadi jauh lebih berpengaruh
cukup lama sehingga terlibat di dalam dibandingkan pada era Orde Baru.
pemilu merupakan tradisi politik bagi Meluasnya peran dan eksistensi
mereka. Melalui kehadiran mereka Jawara di dalam pemilu inilah yang
yang banyak di ruang publik, Jawara membentuk identitas politik bagi
dapat dimanfaatkan sebagai penyampai kalangan tersebut. Mereka memiliki
pesan politik untuk mempengaruhi kesempatan dan kekuatan untuk
preferensi politik publik. Hal ini pernah mengintervensi, mempengaruhi hingga
terlihat dari peran Jawara di era Orde mengambilalih pemerintahan melalui
Baru dimana Jawara bersama dengan dinasti-dinasti politik yang mengakar.
Kyai hadir sebagai mesin politik untuk Melalui agenda politik dan pemerintahan
memperkuat dukungan publik kepada ini, Jawara memiliki kesempatan untuk
Golkar sebagai partai pemerintah. merambah pengaruhnya pada bidang
Hasilnya cukup signifkan, yaitu sepanjang lainnya, yaitu pada bidang usaha atau
pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu bisnis dan bidang-bidang yang dinilai
menjadi pemenang pemilu di Banten (Lili menguntungkan. Legitimasi inilah yang
Romli: 197) kerap menjadi pertimbangan mendasar
Ketiga, Jawara hadir sebagai kekuatan bagi Jawara untuk terjun ke dalam ranah
politik lokal yang menjadi salah satu politik. Karena apabila mereka mampu
penentu arah kebijakan di Banten. Hal memenangkan kandidat yang mereka
ini dapat ditelusuri dari pergantian rezim usung, maka akses dan jaringan akan
yang terjadi di Indonesia. Jika sebelumnya mudah untuk mereka peroleh.
Jawara terkooptasi ke dalam satu partai Sejalan dengan fenomena
politik binaan pemerintah, yaitu Golkar, eksistensi Jawara di dalam setiap
pasca Orde Baru runtuh, eksistensi pemilu yang terselenggara di Banten,
Jawara terpecah ke dalam beberapa muncul perubahan peran yang terjadi
partai bentukan di era reformasi. Oleh sebagaimana landasan teori patron-klien
sebab itu, Jawara tidak lagi menjadi yang telah dijelaskan sebelumnya. Peran
satu indentitas tunggal, melainkan Jawara yang semula menjadi klien bagi
menyebar ke dalam beberapa organisasi penguasa Orde Baru, berubah menjadi
massa dan partai politik yang berfungsi hubungan timbal balik yang setara di
sebagai kelompok penekan (pressure antara keduanya, yaitu antara Jawara
group) dan kelompok kepentingan dan kandidat politik atau pemegang
(interest group). Kehadiran mereka pada kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa
ruang publik yang baru, memberikan sistem demokrasi tidak menghapus oligarki
kesempatan bagi mereka untuk hadir Jawara, melainkan memberikannya jalan
dan berperan langsung di dalam setiap untuk menyesuaikan diri terhadap sistem
perumusan kebijakan. Terjadi perubahan demokrasi yang berlaku.
peran Jawara yang sebelumnya bersifat James C. Scott menjelaskan patron-
klientalisme terhadap hegemoni Orde klien sebagai hubungan timbal balik di

Politik Identitas 237

02 JURNAL BAWASLU.indd 237 12/6/17 3:47 PM


antara dua peran yang dapat diartikan Jawara dalam organisasi PPPSBBI. Selain
sebagai sebuah kasus khusus yang PPPSBBI terdapat organisasi jawara lain
melibatkan kekawanan secara luas dimana yang mempunyai struktur dan mengakar
individu memiliki status ekonomi yang di masyarakat Banten. Oleh karena itu
lebih tinggi (patron) untuk mempengaruhi jawara menjadi orang kuat lokal karena
status yang lebih rendah (klien) dan klien mempunyai ilmu magis dan kemampuan
mempunyai kewajiban untuk membalas dalam sumber daya ekonomi yang
jasa kepada patron. Jawara Banten merambah ke dominasi politik.
hubungan patron-klien yang terjadi Hubungan jawara dengan jawara pada
memang ada yang berdasarkan materi, dasarnya dibangun dengan hubungan
namun jika ditelusuri hubungan tersbut patron-klien karena ada ketergantungan
tidak selamanya berdasarkan materi. ekonomi. Namun, hubungan tersebut
Sebagai contoh di TTKKDH terdapat tidak selamanya dipengaruhi oleh
istilah yang disebut dengan pertalekan materi, karena ada faktor tradisional
atau sumpah setia, dimana anggota harus yang turut mempengaruhi hubungan
taat dan patuh kepada ketua. Di dalam antar jawara. Sedangkan hubungan
sebuah organisasi jawara hubungan jawara dengan penguasa lebih didorong
parton-klien berbentuk pola piramida oleh simbiosis mutualisme diantara
(patron-client pyramid) karena pemimpin mereka, dimana penguasa membutuhkan
mempunyai pengaruh yang harus diikuti dukungan jawara untuk mendapatkan dan
oleh setiap anggota. Namun pola ini mempertahankan kekuasaan sedangkan
menjadi simbiosis mutualisme ketika jawara sendiri membutuhkan penguasa
berinteraksi dengan penguasa lokal di untuk mempertahankan sumber-sumber
Banten. ekonomi mereka. Untuk itu dalam setiap
pilkada, identitas jawara akan selalu
5. Simpulan dijadikan rebutan oleh setiap kandidat
Jawara sebagai identitas politik di pasangan untuk menarik dukungan dari
Banten mempunyai pengaruh dalam masyarakat karena jawara mempunyai
mempengaruhi preferensi masyarkat pengaruh untuk menentukan pilihan
dalam kontestasi pemilihan kepala daerah masyarakat Banten.
di Banten. Identitas mereka sebagai orang Di dalam setiap kontestasi pemilihan
kuat lokal karena mereka mempunyai kepala daerah ada beberapa hal yang bisa
kelebihan dibandingkan masyarakat pada dianalisis dari jawara. Pertama, adanya
umumnya. Kelebihan jawara pada mulanya simbiosis mutualisme antara jawara dan
berupa manipulasi kekuatan magis, dan penguasa lokal. Kedua, sebagai supporter
mengalami mobilitas sosial pada masa dan vote getter dalam pilkada karena
Orde Baru dengan dikuasainya sumber- memiliki basis massa. Ketiga, jawara
sumber ekonomi dan politik oleh mereka. bisa menetukan arah kebijakan di Banten
Kekuatan jawara yang pada mulanya karena jaringan mereka menyebar ke
terpecah belah, kemudian disatukan partai politik, legislatif maupun eksekutif.
dalam satu kekuatan terutama oleh Tokoh

238 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 238 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo (2011). Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amirudin dan A. Zaini Bisri (2006). Pilkada Langsung Problem dan Prospek Sketsa
Singkat Perjalanan Pilkada 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hudaeri, Mohammad. (2002). Tasbih dan Golok: Studi Tentang Kedudukan, Peran
dan Jaringan Kyai dan Jawara di Banten, Serang: Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Kartodirdjo, Sartono. (1984). Pemberontakan Petani Banten 1838, Jakarta: Pustaka Jaya.
Migdal, Joel S. (1988). Strong Societies and Weak States : State-Society Relations and
State Capabilities in the Third World, Princeton: Princeton University Press
Neuman, Lawrence (2000). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach, Boston: Boston Allyn and Bacon
Rauf, Maswadi. (2001). Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Depdiknas,
Romli. L. (2007). Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)
(Disertasi), Depok, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Tihami. (1992). Kyai dan Jawara di Banten: Studi Tentang Agama, Magi dan
Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang Banten (Tesis), Depok, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
William, Michael C. (2003). Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di
Banten, Yogyakarta: Syarikat

Politik Identitas 239

02 JURNAL BAWASLU.indd 239 12/6/17 3:47 PM


240 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 240 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Anugrah, I.P.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 241-252

ISU IDENTITAS AGAMA DAN PERILAKU MEMILIH WARGA:


PELAKSANAAN PILKADA DKI JAKARTA PUTARAN I TAHUN 2017
DI RUMAH SUSUN TANAH ABANG

Insan Praditya Anugrah


Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Indonesia,
insanradit@gmail.com

ABSTRACT

This paper examines of how religious issues In Jakarta Governor Election influence the
voting behavior of people in Rumah Susun Tanah Abang. This paper using theory of
politics of identity by Eisenberg and Will Kymlicka. In their perspectives politics of identity
divided into two category, normative view of politics of identity and empirical view
of politics of identity. The empirical view is the suitable one, that see the politization
of collective identity by elites such as religion identity. Besides the theory of identity
this paper also using theory of lifetime socialization prosscess by Almond dan Powell.
This paper also relate the Political Socialization with voting behavior approaches. In
this theory, there are three approach that explain that determine voting behaviour
1) Sociological approach, stated that social class,religion, subculture and ethnicity are
the factors that determine voting behaviour 2) Psychological approach that focus on
party oorientation and candidate orientation issue that determine voting behaviour
and 3) Rational choice focus on cost and benefit consideration of what voterg get if
they chose a candidate. According to those concepts, this paper will analyze of how
votng behaviour works in Rumah Susun Tanah Abang

Keywords
Pilkada, Election, Voting Behaviour, Political Socialization

Politik Identitas 241

02 JURNAL BAWASLU.indd 241 12/6/17 3:47 PM


ABSTRAK

Tulisan ini membahas mengenai bagaimana isu agama di Pilkada DKI Jakarta memiliki
pengaruh terhadap perilaku memilih warga Rumah Susun Tanah Abang. Makalah
ini memakai teori politik identitas yang dikemukakan oleh Eisenberg dan Kymlicka.
Dalam pemaparan mereka, politik identitas terbagi dua yakni politik identitas normatif
dan politik identitas empirik. Adapun yang akan dipakai untuk membaca fenomena
ini adalah politik identitas empirik, yang melihat bahwa didalam proses politik dan
sosial, yang terjadi adalah politisasi identitas kolektif tertentu, dalam hal ini agama
oleh para elit-elit politik. Selain perspektif identitas, tulisan ini juga menggunakan
konsep sosialisasi politik sebagai proes sepanjang hayat yang diutarakan oleh Almond
dan Powell. Sosialisasi politik ini terkait dengan konsep teori perilaku pemilih (voting
behavior). Dalam teori ini, terdapat tiga pendekatan yang dapat menerangkan
mengenai perilaku pemilih diantaranya adalah 1) Pendekatan Sosiologis, yang
menyatakan bahwa kelas sosial, agama, subkultur dan asal etnik merupakan hal yang
menentukan perilaku memilih 2) Pendekatan Psikologis fokus kepada identifikasi
partai, orientasi dan isu orientasi kandidat dan 3) Pendekatan Rasional fokus kepada
pertimbangan biaya dan keuntungan apa yang pemilih dapatkan apabila memilih
salah satu kandidat. Berdasarkan konsep-konsep tersebut, penulis akan menganalisis
bagaimana perilaku memilih warga masyarakat di Rumah Susun Tanah Abang.

Kata Kunci
Pilkada, Pemilu, Perilaku Memilih, Sosialisasi Politik

1. Pendahuluan Wakil Presiden secara langsung oleh


Pasca tumbangnya rejim Orde Baru rakyat. Pemilihan umum Presiden
oleh mahasiswa dan aktivis pada 1998, dilakukan dua putaran yakni pada tanggal
Indonesia memasuki era demokratisasi. 5 Juli 2004 untuk putaran pertama
Pemilihan umum merupakan salah dan tanggal 20 September 2004 untuk
satu hal yang terpenting dalam putaran kedua,
pelaksanaan demokrasi. Pada tahun Selain Pemilu (Pemilihan Umum),
1999 dilaksanakan pemilu yang diikuti terdapat pula Pemilihan kepala daerah
oleh banyak partai politik, namun masih (Pilkada), yang penyelenggaraannya secara
belum memilih kepala Negara. Pemilihan langsung digelar di Indonesia pertama kali
umum secara langsung dan demokratis pada bulan Juni tahun 2005. Dalam setiap
baru dilangsungkan pada tahun 2004. pelaksanaan pemilihan kepala daerah,
Tahun 2004 menjadi bersejarah karena dari tahap awal hingga akhir, mulai saat
untuk pertamakalinya pemilihan umum pasangan kandidat melakukan deklarasi,
melibatkan seluruh takyat Indonesia pendaftaran, pemeriksaan kesehatan,
dalam bentuk pemilihan Presiden dan penetapan calon, pengumuman harta

242 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 242 12/6/17 3:47 PM


kekayaan, pengambilan nomor urut, politik. Masalah penistaan agama dan
kampanye, pemaparan visi-misi, debat menjadi sebuah bola salju yang semakin
kandidat, minggu tenang hingga hari besar dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
pencoblosan selalu saja ada dinamika selama ini menjadi lawan politik, seperti
yang berkembang, seperti masalah daftar Front Pembela Islam (FPI). FPI bahkan
pemilih tetap,kampanye negative hingga kemudian menjadi motor utama gerakan-
kampanye hitam terkait isu suku, ras dan geraan aksi bela Islam, mulai dari aksi 4
politisasi agama. November 2016, gerakan 2 Desember
Menjelang Pilkada DKI 2017, politik 2016 dan sebagainya.
identitas menjadi salah satu instrument
elit untuk memenangi kontestasi pilkada 2. Permasalahan
(Hakim, 2017). Di Pilkada DKI ini tersebar Di Jakarta Pusat, daerah Tanah
seruan di masyarakat muslim untuk tidak Abang merupakan salah satu wilayah
memilih pemimpin non-muslim, dengan dengan basis Islam terkuat di Jakarta,
merujuk kepada Al-Quran Surat Al-Maidah sebagaimana diketahui bahwa Front
ayat 51 yang berisi hal tersebut. Bagi para Pembela Islam (FPI) yang merupakan
pesaing politiknya, tentunya ini merupakan Ormas yang paling mengecam pernyataan
kampanye hitam yang ditujukan untuk Basuki Tjahaja Purnama bermarkas di
menghancurkan elektabilitas Basuki Peramburan, Tanah Abang.
Tjahaja purnama yang sulit ditandingi. Untuk itu penting untuk mengamati
Sayangnya, hal ini ditanggapi oleh cagub proses pemilihan umum di salah satu
nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama daerah di Tanah Abang, diantaranya
dengan pernyataan yang kontra-produktif adalah Rumah Susun Tanah Abang
memberikan pidato di kepulauan seribu. terkait bagaimana sosialisasi politik
Dalam kesempatan tersebut Basuki masyarakat yang ditentukan oleh kondisi
melakukan kunjungan kerja di Pulau sosial keagamaan merespon isu politik
Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 identitas terkait agama di Pilkada DKI
September 2016 datang untuk meninjau Jakarta 2017 ini.
program pemberdayaan budi daya kerapu. Seiring dengan permasalahan isu
Menurutnya, program itu akan tetap penistaan agama tersebut, menarik untuk
dilanjutkan meski dia nanti tak terpilih lagi mengetahui perilaku memilih masyarakat
menjadi gubernur di pilgub Februari 2017, di salah satu pemukiman di Tanah Abang,
sehingga warga tidak harus memilihnya dalam hal ini penulis memutuskan untuk
hanya semata-mata hanya ingin program meneliti Rumah Susun Tanah Abang.
itu terus dilanjutkan, namun disela-sela Adapun alasan pemilihan lokasi Rumah
pidato Basuki menyinggung surat Al- Susun Tanah Abang adalah karena warga
Maidah 51 yang menurutnya dipakai Rumah Susun Tanah Abang berasal dari
sebagai alat politik. segala lapisan etnis di Indonesia dan
Pernyataan ini membuat kegaduhan di berpendidikan hingga Perguruan Tinggi,
masyarakat, yang terjadi justru isu agama namun disisi lain mereka berada di
justru semakin besar dan berkembang lingkungan dimana para tokoh masyarakat
menjadi dugaan penistaan agama yang lokal Tanah Abang beridentitas Betawi-
malah merugikan posisi Basuki secara Islam masih memiliki pengaruh yang kuat.

Politik Identitas 243

02 JURNAL BAWASLU.indd 243 12/6/17 3:47 PM


Salah satu tokoh masyarakat di Tanah identitas, kita dapat melihatnya dari
Abang adalah Abraham Lunggana yang dua sudut pandang yakni pendekatan
merupakan pejabat DPRD yang memiliki normatif dan sudut pandang empirik
visi yang berseberangan dengan Gubernur (Eisenberg & Kymlicka,2011). Politik
Basuki Tjahaja Purnama. Adapun fokus identitas berdasarkan sudut pandang
permasalahan pada penelitian ini adalah normatif adalah sebuah pandangan
bagaimana perilaku memilih masyarakat yang berusaha menjelaskan bagaimana
di Rumah Susun Tanah Abang di Pilkada tuntutan atas pengakuan dan penerimaan
DKI Jakarta 2017 seiring dengan isu identitas berhubungan dengan prinsip-
penistaan agama tersebut. prinsip seperti keadilan, kebebasan, hak
asasi manusia dan kewarganegaraan yang
3. Metode Penelitian demokratis. Adapun pengertian di atas
Metode penelitian yang dipakai seringkali disebut sebagai etika tuntutan
dalam tulisan ini adalah metode identitas.
penelitian kualitatif. Dalam penelitian Pengertian kedua adalah pengertian
kualitatif ini, penulis mengumpulkan data politik identitas dari sudut pandang
dengan cara turun lapangan langsung empirik, yang melihat bahwa didalam
serta membaca literature teoritis proses politik dan sosial, yang terjadi
dari berbagai buku maupun jurnal. adalah politisasi atas kelompok-kelompok
Penulis melakukan wawancara dengan identitas. Pendekatan ini melihat
beberapa warga maupun pengurus bagaimana elit melakukan mobilisasi
RT/RW di Rumah Susun Tanah Abang dari gerakan politik berbasis identitas.
terkait. Untuk memvalidasi data, Pendekatan ini melihat bagaimana
penulis melakukan verifikasi dengan mobilisasi elit akan menentukan tujuan
membandingkan masing-masing sumber dan taktik dari masyarakat di akar
baik dari literature buku,jurnal,media rumput untuk menuntut hak-hak mereka
online maupun sumber wawancara,serta terkait identitas yang dianggap belum
hasil observasi lapangan langsung untuk terpenuhi(Eisenberg & Kymlicka,2011).
membandingkan apakah informasi Dalam tulisan ini, yang akan dijelaskan
yang didapat sesuai maupun saling adalah politik identitas, dari pendekatan
mendukung satu dengan lainnya. Apabila empirk dalam melihat politik dientitas
terdapat ketidaksesuaian maupun indikasi dalam Pilkada DKI Jakarta. Dalam
subjektifitas yang terlalu besar dalam melihat isu identitas dari pengertian
informasi tersebut, maka informasi politik identitas secara empirik ini, dalam
tersebut tidak dimasukan kedalam pulgub DKI Jakarta 2017 yakni identitas
tulisan ini. agama Islam. Identitas agama Islam disini
dimanfaatkan oleh elit politik untuk
merugikan calon Gubernur tertentu
4. Perspektif Teori
dikarenakan terdapat tafsir surat Al-
Dalam menjelaskan masalah ini, Maidah ayat 51 untuk tidak memilih
akan digunakan teori mengenai politik pemimpin yang bukan muslim. Selain itu,
identitas dan teori mengenai perilaku reaksi gubernur Basuki yang ditanggapi
memilih. Terkait pengertian politik negative oleh sebagian public sebagai

244 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 244 12/6/17 3:47 PM


penistaan terhadap agama Islam semakin Kecenderungan pada budaya politik
menguatkan kuatnya politik identitas kontemporer pada saat ini adalah
yang membawa keuntungan kepada para sekuler dan menganut modernisme,
elit pengusung calon Gubernur yang manusia percaya dapat mengendalikan
beragama Islam. alam (tidak lagi memandang segala
Ubed Abdilah (2012) menyatakan fenomena merupakan kehendak tuhan).
bahwa para sarjana sejak era Yunani Kecenderungan berikutnya adalah
sepakat bahwa karakteristik agama postmodernisme, dimana masyarakat
memiliki ciri khas dipandang sebagai hal yang telah lahir di era mapan cenderung
sesuatu yang tanpa cacat, dipelihara dan tidak lagi memikirkan bagaimana
dilindungi karena terkait erat dengan cara mencapai dan mempertahankan
hubungan manusia dengan sang pencipta. kemakmuran, mereka lebih peduli dengan
Karena ciri yang melekat tersebut lah isu-isu seperti pluralisme, persamaan
kemudian politik identitas yakni sentiment hak, anti (dampak negatif globalisasi),
permusuhan antar pemeluk agama tidak kebebasan berekspresi, dll.
terhindarkan, karena masing-masing D e m o k ra t i s a s i j u ga m e n j a d i
merasa agama mereka paling benar kecenderungan arah budaya politik
dan dipercaya berasal dari tuhan yang dewasa ini, masyarakat semakin kritis dan
menciptakan manusia dan kehidupan ini. mempertanyakan legitimasi Negara serta
Menurut Almond dan Powell(1996) kepercayaan mereka kepada pemerintah.
mendefinisikan sosialisasi politik sebagai Dalam demokrasi pula, masyarakat
proses dimana induvidu memperoleh semakin memperhatikan hal-hal seperti
kepercayaan, nilai-nilai dan sikap-sikap prinsip menentukan nasib sendiri serta
terkait sistem politik tertentu. Sosialisasi menginginkan kebebasan lebih di akses
politik sendiri diperoleh baik secara internet, berbicara dan akses terhadap
langsung maupun tidak langsung dan berbagai media. Pada intinya, budaya
prosesnya berlangsung sepanjang hayat. politik dan sosialisasi ini adalah fenomena
Hal-hal yang mempengaruhi sosialisasi ini yang dinamis, terus berubah sejalan
tentunya yang dialami sepanjang hidup dengan perkembangan zaman.
seperti masa kecil, pernikahan, kematian, Sosialisasi politik ini kemudian terkait
mengurus anak, era krisis dan pekerjaan. dengan perilaku memilih masyarakat, teori
Penyatuan dan perpecahan juga terjadi perilaku pemilih (voting behavior). Dalam
karena pengaruh sosialisasi tadi. teori ini, terdapat tiga pendekatan yang
Kelompok-kelompok sosial yang dapat menerangkan mengenai perilaku
memiliki sumber berita sendiri, serta pemilih diantaranya adalah 1) Pendekatan
budaya politik sendiri yang berbeda Sosiologis, yang menyatakan bahwa kelas
dengan masyarakat secara umum. sosial, agama, subkultur dan asal etnik
Adapun agen-agen sosialisasi ini seperti merupakan hal yang menentukan perilaku
keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, memilih 2) Pendekatan Psikologis fokus
teman-teman dekat, kelas sosial dan kepada identifikasi partai, orientasi dan
gender, media, kelompok kepentingan, isu orientasi kandidat dan 3) Pendekatan
partai politik serta persentuhan langsung Rasional fokus kepada pertimbangan
dengan struktur pemerintahan. biaya dan keuntungan apa yang pemilih

Politik Identitas 245

02 JURNAL BAWASLU.indd 245 12/6/17 3:47 PM


dapatkan apabila memilih salah satu
kandidat (Attunes,2010) .
Analisis dari pendekatan sosiologis
mengaitkan perilaku memilih dengan
struktur dan pengelompokan sosial-
masyarakatnya baik secara formal
maupun informal. Hal ini berarti analisis
didasarkan pada lingkungan sekitar
masyarakat seperti kelas sosial, afiliasi
Gambar 1. Perolehan Suara Pilkada
keagamaan, keluarga,profesi kelompok
DKI Jakarta Putaran 1 Kecamatan
etnik dan subkultur politik tertentu dimana
Tanah Abang
masyarakat tersebut menjadi bagian
Sumber: KPU RI, 2017
didalamya. Didalam pengelompokan
sosial baik informal maupun formal inilah
R u m a h S u s u n Ta n a h A b a n g
masyarakat mendapatkan informasi-
merupakan bagian dari kelurahan Kebon
informasi dan preferensi politik untuk
Kacang, di kecamatan Tanah Abang.
menentukan pilihanya.
Di kelurahan Kebon Kacang tersebut,
hasil Pilkada Putaran 1 menunjukkan
5. Hasil Pemantauan Teknis
kemenangan pasangan Anies-Sandi
Pilkada DKI Jakarta 2017 Putaran I dengan 44,1% atau sebesar 5.910 suara,
di Kecamatan Tanah Abang dimenangkan disusul pasangan Basuki-Djarot dengan
oleh pasangan Annies Baswedan-Sandiaga 35,7% atau sebesar 4.788 suara dan
Uno, dengan 46,84% yakni sebesar 40.394 pasangan Agus-Silvy dengan perolehan
sara disusul pasangan Basuki-Djarot 20,2% atau sebesar 2.714 suara. Hasil
sebesar 33,68% atau sebesar 29.046 kelurahan Kebon Kacang tersebut
suara dan Agus-Silvy sebesar 19,48% atau diperoleh dari 28 jumlah TPS yang ada
sebesar 16.797 suara. didalamnnya.
Dari 28 TPS yang ada di kelurahan
Kebon kacang, 4 diantaranya merupakan
TPS yang berada di Rumah Susun Tanah
Abang, yakni TPS 25,26 27 dan 28.
Dengan masing-masing warga Blok A
Rumah Susun Tanah Abang memilih di
TPS 25 dan 26 sedangkan warga Blok B
Rumah Susun Tanah Abang menyalurkan
hak pilih di TPS 27 dan 28. Karena dalam
situs Komisi Pemilihan Umum, publikasi
suara hanya sampai pada tingkat kelurahan
Kebon kacang, maka penulis melakukan
pengolahan perolehan suara para calon
khusus Rumah Susun Tanah Abang pada
Pilkada DKI Jakarta putaran I.

246 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 246 12/6/17 3:47 PM


Jalannya pemilihan sendiri berlangsung Meskipun begitu, Hal ini mengisyaratkan
dengan aman dan relatif terkendali. Proses jumlah silent voters yang signigikan
di setiap TPS dikawal dari awal hingga memilih pasangan nomor urut dua namun
akhir oleh seorang dari TNI dan seorang tidak ingin mengutarakannya secara
dari POLRI. Masing-masing petugas TNI terang-terangan.
dan POLRI terlihat turut mencatat hasil
pemungutan suara final yang tertera
pada formulir C1 di masing-masaing TPS.
Pada setiap TPS, terdapat tiga orang saksi
dari masing-masing pasangan calon yang
berada didalam, juga terdapat beberapa
orang berpakaian preman yang berada
di sekitar TPS dan menanyakan asal-usul
orang-orang yang berdiri untuk menonton
diluar TPS.
Dalam satu lokasi TPS terdapat
pula seorang tenaga survey lepas dari Gambar 2. Hasil Pengolahan Data
Lembaga Survei Indonesia, yang diketahui Perolehan Suara Pilkada DKI Jakarta
masih merupakan mahasiswa aktif salah Putaran 1 Rumah Susun Tanah Abang
satu perguruan tinggi Negeri di Jakarta. Sumber: Diolah Dari KPU RI, 2017
Terdapat pula tiga orang berbaju kotak-
kotak berdiri diluar TPS, yang diketahui Dapat dilihat dari gambar diatas
sebagai simpatisan pasangan calon nomor bahwa khusus perolehan keseluruhan
urut 2, yakni pasangan Basuki-Djarot. suara di Rumah Susun Tanah Abang,
Dalam penelitian lapangan ini, penulis Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful
menemukan bahwa di TPS 25 petugas TPS Hidayat menang dengan perolehan suara
yang bertugas menerima pemilih diketahui 715, disusul Anies baswedan-Sandiaga
bernama Syahril sempat membisikkan Uno dengan 705 suara, peringkat ketiga
kepada beberapa pemilih muslim untuk adalah pasangan Agus Yudhoyono dan
memusatkan suara di pasangan tertentu, Sylviana Murni dengan 164 suara.
hal ini kemungkinan untuk menghindari
kemenangan pasangan calon nomor urut
2 Basuki-Djarot. Sebagaimana diketahui
dari wawancara peneliti dengan beberapa
tokoh masyarakat di rumah susun Tanah
Abang.
Pada proses pemungutan suara,
terlihat bahwa masa di sekitar TPS
mayoritas mendukung pasangan nomor
urut 3, bahkan sempat ketika nomor 3
disebut sempat ada yang mengucapkan Gambar 3. Anggota Polri dan Anggota
takbir, di sisi lain pasangan calon nomor TNI Mengkonfirmasi Perolehan Suara
urut 2 tampak tidak diharapkan menang. Kepada Ketua TPS

Politik Identitas 247

02 JURNAL BAWASLU.indd 247 12/6/17 3:47 PM


Hasil ini menarik karena dari empat perguruan tinggi Negeri di Jakarta.
TPS yang ada tersebut, Basuki Tjahaja Terdapat pula 3 orang berbaju kotak-kotak
Purnama kalah tipis di tiga TPS yakni berdiri diluar TPS, yang diketahui sebagai
TPS 25, TPS 27 dan TPS 28. Di TPS 25 simpatisan pasangan calon nomor urut 2
pasangan Anies baswedan-Sandiaga Uno Basuki-Djarot.
dengan 201 suara, disusul pasangan Salah satu petugas KPPS yang bertugas
Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful menerima pemilih sempat membisikkan
Hidayat memperoleh suara 184 serta kepada beberapa pemilih muslim untuk
pasangan Agus Yudhoyono dan Sylviana memusatkan suara di pasangan tertentu,
Murni dengan 49 suara. Di TPS 27 hal ini kemungkinan untuk menghindari
pasangan Anies baswedan-Sandiaga Uno kemenangan pasangan calon nomor urut
menang tipis dengan 172 suara, Basuki 2 Basuki-Djarot terpilih.
Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful Hidayat
memperoleh suara 168, serta pasangan 6. Isu Identitas Agama Di Rumah Susun
Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni Tanah Abang
dengan 45 suara. Pada proses pemungutan suara,
Di TPS 28 pasangan Anies baswedan- begitu terasa atmosfer bahwa mayoritas
Sandiaga Uno menang tipis dengan masyarakat mendukung pasangan
161 suara, Basuki Tjahaja Purnama- nomor urut 3, calon nomor urut 3
Djarot Syaiful Hidayat memperoleh suara dianggap sebagai representasi muslim
159, serta pasangan Agus Yudhoyono dibandingkan calon nomor urut 1,
dan Sylviana Murni dengan 25 suara sedangkan calon nomor urut 2 dianggap
Meskipun begitu, di TPS 26 Basuki sebagai representasi pemimpin non-
memperoleh kemenangan dengan jarak muslim yang harus dihindari. Hampir
yang relatif besar dibandingkan suara setiap kali suara untuk kandidat nomor
terbanyak berikutnya, yakni pasangan 3 disebut sempat ada yang mengucapkan
Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful takbir, di sisi lain pasangan calon nomor
Hidayat mendapatkan 204 suara, disusul urut 2 tampak tidak diharapkan menang..
pasangan Anies baswedan-Sandiaga Uno Meskipun begitu, jumlah perolehan
dengan 171 suara serta pasangan Agus suara di Rumah Susun Tamah Abang
Yudhoyono dan Sylviana Murni dengan dimana pasangan nomor urut dua
46 suara. justru menang mengisyaratkan terdapat
Di TPS 26 inilah Basuki-Djarot unggul banyak jumlah silent voters yang memilih
hingga 33 suara dibandingkan pasangan pasangan nomor urut 2 namun tidak ingin
Anies-Sandi, sedangkan kekalahan Basuki mengutarakannya secara terang-terangan,
pada tiga TPS lainnya dari pasangan karena wacana mayoritas yang ada di
Anies-Sandi hanya 23 suara, dan Basuki lingkungan sekitar bersifat negatif. Selain
pun menang 10 suara atas pesaing karena dengung tafsir perintah surat
terdekatnya Anies-Sandi di Rumah Susun Al-Maidah ayat 51 yang mengharuskan
Tanah Abang. Terdapat pula seorang seluruh muslim memilih pemimpin
tenaga survey lepas dari Lembaga muslim. Sentimen negatif terhadap calon
Survei Indonesia, yang diketahui masih nomor urut 2 pun ditambah dengan
merupakan mahasiswa aktif salah satu

248 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 248 12/6/17 3:47 PM


reaksinya di Kepulauan Seribu yang dinilai diterima dan melekat dengan kalangan
menistakan agama Islam. “pribumi”. Hal ini berbeda dengan agama
Hasil ini mendorong peneliti untuk Kristen yang diidentifikasikan sebagai
melakukan wawancara dengan beberapa agama penjajah. Dalam hal ini, semakin
warga Rumah Susun Tanah Abang terkait mudah politik identitas “non-pribumi”
orientasi memilih mereka. Hasilnya, dan “non-muslim” melekat dalam citra
wawancara dengan para tokoh masyarakat Gubernur Pertahana, Basuki Tjahaja
dan ketua RW didapatkan informasi bahwa Purnama.
kebanyakan warga Rumah Susun Tanah Dari hasil wawancara penulis
Abang didalam forum-forum keagamaan menemukan bahwa, kalangan warga
di masjid maupun musyawarah warga m a sya ra kat ya n g s u d a h p en s i u n
telah sepakat menyatakan untuk tidak mendapatkan sosialisasi politiknya dari
mendukung pasangan calon nomor urut institusi keagamaan yaitu masjid setempat
2 karena menurut mereka seruan di serta memiliki waktu lebih banyak
surat Al-Maidah sudah jelas secara literal untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan RT
menjelaskan bahwa kaum muslim tidak maupun RW maupun pengajian di masjid
boleh memilih pemimpin dari kalangan setempat.
non-muslim. Oleh karena itu mereka yang
Menarik ketika penulis menemukan mendapatkan sosialisasi politik dari
terdapat narasumber yang berargumen dalam lingkungan Rumah Susun dan
bahwa hingga etnisitas Tionghoa juga masjid setempat inilah yang bersepakat
menjadi pertimbangan untuk tidak untuk tidak memilih pemimpin muslim,
memilih pasangan Calon nomor urut 2. selain karena perintah kitab suci hal ini
Menurutnya selain Islam pemimpin juga juga disebabkan oleh rasa kekecewaan
seharusnya merupakan orang “pribumi”, kolektif terhadap pernyataan Gubernur
dan bahaya memberikan kekuasaan Basuki di Kepulauan Seribu. Hal ini senada
kepada etnis Tionghoa karena dicurigai dengan ungkapan peneliti LIPI Sri Yanuarti
memiliki keterkaitan dengan Negara RRC bahwa terjadi penggiringan opini yang
yang komunis untuk menguasai Indonesia massive di rumah ibadah (Masjid) terkait
secara perlahan. politik identitas untuk tidak memilih calon
Terdapat pula ungkapan warga yang Gubernur tertentu (Hakim, 2017)
menyebutkan bahwa kebangkitan orang Sementara itu warga masyarakat yang
Tionghoa di Indonesia sama saja dengan masih produktif,aktif bekerja di ibukota
kebangkitan kembali Partai Komunis baik di swasta maupun pemerintahan,
Indonesia (PKI) yang dinyatakan terlarang sering bersentuhan dengan birokrasi
pada masa Orde Baru. Tampak bahwa pemerintahan mendapatkan sosialisasi
isu identitas dalam perilaku memilih di politik dari lingkungan kerja maupun
Pilkada DKI ini tidak berhenti pada isu lingkungan lain diluar Rumah Susun.
agama saja tetapi juga banyak hal lain. Masyarakat yang masih produktif ini
Temuan ini seperti halnya penjelasan memiliki perilaku memilih dengan
Ubed Abdilah (2012) yang menyatakan pertimbangan yang cenderung rasional
bahwa agama Islam di Negara-negara yakni apakah calon gubernur kemudahan
yang sebelumnya terjajah lebih mudah akses birokrasi dan perbaikan infrastruktur

Politik Identitas 249

02 JURNAL BAWASLU.indd 249 12/6/17 3:47 PM


atau tidak, karena selama ini hal tersebut Sebagai salah satu pemukiman yang
terkait erat dengan kelancaran pekerjaan ada di wilayah basis Islam Tanah Abang.
mereka. Identitas agama terbukti merupakan hal
Sementara itu,warga masyarakat yang begitu sensitif dan menjadi alat
u s i a re l a t i f m u d a n a m u n t i d a k bagi elit untuk memperoleh keuntungan
produktif bekerja cenderung memiliki politik melalui penyebaran isu-isu terkait
perilaku memilih yang sama yakni politik identitas. Hasilnya isu agama
mempertimbangkan masalah agama memang memiliki pengaruh besar, karena
meskipun mengakui kinerja pertahana tercipta sentiment di masyarakat untuk
yang baik. Rasa ketersinggungan terhadap tidak memilih pasangan nomor urut dua
ucapan pasangan calon nomor urut 2 dengan pertimbangan non-muslim.
terhadap surat Al-Maidah di kepulauan Selain pertimbangan non-muslim,
seribu juga menjadi pertimbangan dalam unsur etnisitas Tionghoa sebagai etnis
menentukan pilihan. “non-pribumi” juga dikaitkan dan menjadi
G e n e ra s i ya n g re l at i f m u d a , isu yang campurkan dalam kampanye
memiliki pekerjaan (profesi) tanpa politik identitas untuk tidak memilih
disadari cenderung menganut nilai-nilai pasangan nomor urut dua. Dapat dilihat
postmodernisme yang kritis terhadap pula bahwa identitas agama Islam
informasi yang provokatif, mengedepankan meskipun bukan agama asli Indonesia
pluralisme dan kebebasan berekspresi namun memiliki kedekatan emosional
bagi siapa saja tanpa memandang dengan identitas “pribumi”, sedangkan
etnis. Sosialisasi ini yang didapatkan di agama lain (Kristen) justru cenderung
lingkungan pekerjaan karena mereka tidak diasosiasikan dengan “pribumi”.
bergaul dan berkoordinasi dengan banyak Sosialisasi politik masyarakat Rumah
orang dari berbagai kalangan, agama Susun Tanah Abang terbukti dipengaruhi
maupun etnisitas. oleh sikap lingkungan sekitar yang lebih
besar yakni Tanah Abang, sehingga
7. Simpulan para pengurus RT/RW serta watrga
Reformasi telah membuka gerbang yang aktif di lingkungan Rumah Susun
bagi Indonesia untuk berdemokrasi, memiliki pandangan politik yang sama
pemilihan kepala daerah dilangsungkan yang dibentuk di masjid dan forum-
s e b a ga i w u j u d d a r i ko m i t m e n forum bersama warga, mereka dengan
p e m e r i nta h a n d ewa s a i n i u nt u k jelas memilih pemimpin yang muslim
memeratakan demokrasi ke seluruh dibandingkan pemimpin yang non-muslim
pelosok tanah air mulai dari pemilihan terutama sejak kasus di Kepulauan seribu
walikota hingga Presiden pun dilaksanakan yang dinilai sebagai tindakan penistaan
langsung. Isu agama pada Pilkada DKI agama dari Gubernur Basuki.
Jakarta menjadi satu-satunya isu yang Meskipun begitu kemenangan
dapat dimainkan lawan politik dan Basuki Tjahaja Purnama di pemukiman
hal ini terbukti membuat Gubernur ini ditengah wacana kolektif menolak
Basuki terpancing untuk mengeluarkan pemimpin non muslim, yang bahkan
pernyataan-pernyataan yang kontra begitu terlihat di hari pencoblosan
produktif dan mergugikan dirinya sendiri. mengindikasikan terdapat banyak silent

250 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 250 12/6/17 3:47 PM


voters dar mereka yang tidak ikut didalam berlebihan kepada etnis Tionghoa,
pembentukan wacana di forum-forum bahkan ada yang mengaitkannya dengan
warga serta tidak hanya mendapatkan kebangkitan PKI.
sosialisasi politik dari dalam Rumah Sementara itu mereka yang produktif
Susun Tanah Abang tetapi juga lingkungan dan mendapatkan sosialisasi politik dari
tempat kerja dan lingkungan lainnya luar lingkup pemukiman akan mengetahui
karena usia mereka yang masih produktif. fakta—fakta lapangan mengenai kinerja
Mereka yang ikut dalam forum-forum dan perkembangan kerja Gubernur,
warga dan pembentukan perilaku memilih sehingga pertimbangan agama sebagai
di Masjid cenderung akan mengedepankan fa ktor s o s i ol og i s u nt u k m em i l i h
orientasi muslim sebagai pemimpin, seorang pemimpin dikesampingkan dan
bahkan beberapa mengaitkan dengan pertimbangan rasional mengenai apa
sentiment etnis, seperti bahayanya yang didapat penduduk DKI dengan
apabila memberikan kekuasaan eksekutif kinerja Gubernur menjadi lebih penting.

Politik Identitas 251

02 JURNAL BAWASLU.indd 251 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Abdilah S, U, (2012). Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas.


Almon,G,A. & Powell, G, B. (1996). Comparative Politics Today : A World View. Harper
Collins College Publisher.
Anonim .(2017,Maret 17)Politisasi Agama Menodai Demokrasi. Beritasatu.com/
Diakses dari
Attunes, R, (2010). Theoretocal Models of Voting Behavior. Jurnal Exedra No.4,
Data Komisi Pemilihan Umum, (2017)
Diakses Dari http://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/15201311/peneliti.lipi.dampak.
politik.identitas.pilkada.dki.jadi.persoalan.besar
Eisenberg ,A. & Kymlicka, W. (2011). Identity Politics In The Public Realm : Bringing
Institutions Back In. Toronto : UBC Press.
Faqih, F,. (2017, Maret 24). Reaksi Ahok dapat dukungan di wilayah Markas FPI.
Diakses Dari https://www.merdeka.com/jakarta/reaksi-ahok-dapat-dukungan-di-
wilayah-markas-fpi.html
Hakim,R,N,. (2017, Mei 3) Peneliti LIPI: Dampak Politik Identitas Pilkada DKI Jadi
Persoalan Besar.
hlm. 146-156
http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/5235-politisasi-agama-menodai-demokrasi.html https://
pilkada2017.kpu.go.id/hasil/image/c1/25823/25879/28
May 20, hlm. 1
Penulis KPU. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Diakses dari
http://www.kpu-tangerangkota.go.id/p/pemilihan-umum-kepala-daerah-dan-wakil.html
Tim Penulis BBC. (2016, November 2016). Pidato di Kepulauan Seribu dan hari-hari
hingga Ahok menjadi tersangka. Diakses Dari http://www.bbc.com/indonesia/
indonesia-37996601
Vaughn, B,.(2005). Indonesian Election. Congress Research Service-The Library of
Congress
Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Andi Awaluddin (51 Tahun), Tokoh
Masyarakatdan Ketua Rukun Warga RW 010 Rumah Susun Tanah Abang
Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Anonim (26 Tahun), Warga Rumah Susun
Tanah Abang, berprofesi sebagai pengusaha bidang jasa.
Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Endang Ruchimat (67 Tahun), Tokoh
Masyarakat dan Mantan Sekretaris RW 010 Rumah Susun Tanah Abang.
Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Sayadi Aru Lio (31 Tahun), Warga Rumah
Susun Tanah Abang, berprofesi Karyawan Swasta.
Wawancara pada 15 Februari 2015 dengan Thamrin Datuk Tumanggung (72 Tahun),
Tokoh Masyarakat dan Pembina Perhumpunan Penghuni Rumah Susun Tanah
Abang

252 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 252 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Widodo, I.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 253-267

ANALISIS KELEMBAGAAN BARU PENANGANAN MUATAN KEBENCIAN


BERBASIS POLITIK IDENTITAS DI INTERNET DI INDONESIA:
SEBUAH KAJIAN AWAL

Isto Widodo
Voxpol Research and Consulting, Jakarta

ABSTRACT

This paper objective is to explores how Indonesia handle hate speech based on
identity politics. I use Theory of New Institutionalism in Economic Sociology (NIES) by
Victor Nee and operate it in qualitative method by document studies. There are three
main findings: (1) inclusivity of online communication is not always results positive
condition for national development and democracy in Indonesia; (2) Indonesia is on
the right track to overcome negative impacts of the online communication inclusivity
on political identity based hate speech. Indonesia attempt effort to make single identity
for netizen based on real identity; (3) Indonesia has not gain optimal condition in
such effort for it is need adequate time to be institutionalized. As this paper is based
on institutionalism, it doesn’t reach structural aspect of the problems. Again, as it is
just preliminary studies, further studies is needed.

Keyword: Political Identitiy, Hate Speech, New Institutionalism In Economic Sociology

ABSTRAK

Makalah ini bertujuan untuk mengeskplorasi penanganan muatan kebencian berbasis


politik identitas di internet oleh otoritas pemerintah Indonesia. Kerangka teori
yang digunakan adalah Teori Kelembagaan Baru dalam Sosiologi Ekonomi (New
Institutionalism in Economic Sociology/NIES) menurut Victor Nee. Metode yang

Politik Identitas 253

02 JURNAL BAWASLU.indd 253 12/6/17 3:47 PM


digunakan adalah metode studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan beberapa hal
sebagai berikut: (1) Inklusifitas komunikasi di internet tidak selalu berdampak baik
bagi demokrasi dan pembangunan nasional Indonesia (2) upaya pemerintah sudah
berada dalam jalur yang tepat dilihat dari perspketif kelembagaan baru. Upaya untuk
menyelaraskan identitas maya dan identitas riil serta upaya mengembalikan kendali
institusi atas aktor adalah langkah yang memang dibutuhkan; (3) Belum optimalnya
langkah tersebut disebabkan belum tercapainya internalisasi dan institusionalisasi
yang dibutuhkan. Penelitian ini memakai kerangka institusionalisme sehingga tidak
menjangkau aspek-aspek structural dan relasi kekuasaan diantara para aktor.
Penelitian ini juga hanya merupakan penelitian awal dan terbatas pada data-data
awal yang sifatnya sekunder. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperdalam
kajian mengenai topik ini.

Kata Kunci: muatan kebencian, politik identitas, Kelembagaan Baru dalam Sosiologi
Ekonomi

1. Pendahuluan (Font-12, Bold) Tabel 1.


Secara historis, ada beberapa fase
revolusi media komunikasi dimana
penemuan internet adalah fase paling
mutakhir dari revolusi media komunikasi
ini. Saat ini, internet telah menjadi media
komunikasi yang makin umum digunakan
di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Inovasi dalam hal piranti keras (hardware)
dan piranti lunak (software) memperluas
akses penggunaan internet dengan harga
yang makin terjangkau. Terjadi lonjakan
akses internet selama dua dekade ini di
seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Sumber: https://lokadata.beritagar.id/topik/
teknologi?page=11

Dari tabel terlihat bahwa terjadi


lonjakan akses internet di Indonesia.
Pada tahun 2005 akses internet baru
dinikmati oleh sekitar 16 juta pengguna.

254 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 254 12/6/17 3:47 PM


Pada tahun 2016 jumlahnya menjadi 132 perilaku komunikasi di internet yang
juta pengguna internet di Indonesia. dihadapi masyarakat dan otoritas
Akses terbanyak dilakukan dengan piranti kebijakan di Indonesia adalah maraknya
telepon genggam. muatan kebencian berbasis politik
Perubahan penggunaan media identitas. Ada beberapa konteks yang
komunikasi ini berimbas secara luas turut mempengaruhi kemunculan dan
terhadap pola dan perilaku komunikasi berkembangnya ujaran kebencian
secara keseluruhan. Demikian pula dengan tersebut, yaitu: pertama, konteks sosial
penggunaan media komunikasi berbasis masyarakat Indonesia sendiri yang
internet. Penelitian yang dilakukan oleh sangat plural. Kedua, konteks demokrasi,
Mc.Grath misalnya menunjukkan bahwa otonomi daerah dan pemilihan umum
komunikasi di media sosial berpengaruh eksekutif secara langsung. Alih-alih
pada interaksi antar individu di rumah membuka deliberasi seluas-luasnya,
tangga. Sementara itu, Mathias Kamp kontestasi elektoral ini justru kemudian
et al dalam Assessing The Impact Of sering membawa pada segregasi sosial
Social Media on Political Communication yang cukup tajam.
and Civic Engagement in Uganda Dalam kerangka itu, produksi dan
menunjukkan bahwa penggunaan internet distribusi ujaran kebencian berbasis
juga mengubah pola komunikasi politik di politik identitas menjadi fenomena
Uganda. Secara keseluruhan memang masif di internet. Pemerintah Indonesia
terdapat indikasi bahwa perubahan media telah melakukan berbagai cara untuk
komunikasi berdampak pula pada relasi meminimalisasi hal ini dengan berbagai
sosial baik dalam tataran mikro, meso instrument institusional. Hasilnya
maupun makro. menurut klaim Kepolisian Negara Republik
Dari berbagai penelitian, didapatkan Indonesia (Polri), jumlah ujaran kebencian
data bahwa ada empat karakter khas telah menurun menjadi sekitar 30%
dari komunikasi di internet: pertama, di pertengahan akhir 2017. Namun
inklusifitas dimana semua orang bisa pada tahun 2018 dan 2019 perilaku
menjadi produsen dan distributor sekaligus produksi dan distribusi ujaran kebencian,
konsumen dari berita, wacana, opini fitnah dan hoax diperkirakan akan
bahkan propaganda; Kedua, karakter meningkat kembali berkaitan dengan
lintas batas atau bahkan sering disebut akan diadakannya Pemilu 2019.
tak berbatas (borderless); Ketiga karakter Dengan uraian masalah seperti itu,
cepat dan bahkan saat itu juga (real time); penelitian ini mengajukan pertanyaan:
Keempat, terdiskursusnya otoritas dan (1) dalam perspektif kelembagaan baru,
nilai tradisional dalam berkomunikasi. bagaimana penanganan yang dilakukan
Bagi otoritas politik dan pembuat oleh pemerintah Indonesia terhadap
kebijakan, atau bahkan institusi sosial, muatan kebencian berbasis politik
karakter-karakter tersebut menimbulkan identitas ini? (2) Apa kelemahan dari
konsekuensi-konsekuensi yang belum penanganan terhadap ujaran kebencian
pernah dihadapi sebelumnya dalam berbasis politik Identitas yang sudah
komunikasi dengan media konvensional. dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
Salah satu konsekuensi dari pola dan

Politik Identitas 255

02 JURNAL BAWASLU.indd 255 12/6/17 3:47 PM


2. Metode Penelitian lain-lain. Dari data-data itu diharapkan
Penelitian ini menggunakan metode dapat diketahui bagaimana institusi
kualitatif dengan teknik pengambilan menetapkan kerangka komunikasi dan
data kajian dokumen. Penelitian kualitatif sejauhmana aktor lain mendukung
adalah metode yang bertujuan untuk dan mengikuti kerangka yang sudah
mengkonstruksi realitas dan memahami ditetapkan.
maknanya (Somantri R. G., 2005).
Metode ini dilandasi oleh pradigma 3. Teori New Institutionalism in
interpretatif-naturalistik. Menurut Economic Sociology (NIES)
Somantri, berbeda dengan penelitian NIES menurut Victor Nee adalah
kuantitatif yang berusaha mencari pola Teori yang melihat bahwa institusi
dan generalisasi, penelitian ini bertujuan berperan dalam menentukan batasan
untuk mengungkapkan secara mendalam pilihan-pilihan tindakan individu untuk
mengenai sebuah fenomena (ibid.,59). mengejar kepentingannya. (Nee, 2005).
Penelitian dokumen adalah salah Institusi merupakan struktur sosial yang
satu terapan teknik pengambilan data menyediakan pedoman tindakan bersama
dalam metode ualitatif. Jenis data yang dengan cara mengatur kepentingan
didapat dari penelitian dokumen untuk masing-masing orang dan bagaimana
konteks terbaru bisa berjenis data primer mencapainya serta menjadi landasan
maupun sekunder. Contoh data primer hubungan antar mereka (ibid, 2005:
dalam teknik studi dokumen adalah 40). Institusi dengan demikian juga
dari rekaman suara, rekaman video dan menyediakan struktur insentif bagi para
risalah atau notulensi. Sedangkan jenis aktor untuk bertindak.
data sekunder dari studi dokumen bisa Dalam Pendekatan Kelembagaan,
berupa laporan, berita, analisis maupun individu sebagai aktor ekonomi bukanlah
komentar dari fenomena atau pernyataan entitas atomic yang terlepas dari struktur
sumber primer. Penelitian ini memakai sosialnya, namun pada saat yang sama
perspektif institusionalis dan bersifat ia juga punya otonomi relatif terhadap
sebagai studi awal (preliminary studies) institusi sehingga tidak selalu patuh
sehingga data dari dokumen cukup untuk sepenuhnya pada institusi itu. Tingkah
memberikan data-data yang diperlukan. laku individu atau aktor selalu melekat
Dokumen yang dikaji berupa pada fakta relasi sosial. Dalam tulisannya
dokumen tercetak maupun dokumen Paul Ingram dan Karen Clay meringkas
digital berupa berita, paparan, makalah, Teori Kelembagaan baru ini dengan satu
video dan infografis. Sebagaimana tujuan kalimat ringkas yaitu, “choice within
dan pertanyaan penelitian, dokumen constraint” (pilihan dalam batasan)
yang akan dikaji adalah tentang: kerangka (Clay, 2000. 26). Sedangkan Nee berkata,
institusional tentang larangan ujaran “actors are motivated by interest and
kebencian dan politik identitas, pola preferences, often formed and sustained
kerja produsen dan distributor ujaran within such groups (aktor dimotivasi
kebencian serta data tentang penegakan oleh kepentingan dan preferensi yang
etika, norma dan nilai-nilai komunikasi sering dibentuk dan dijaga dalam sebuah
oleh institusi sosial, asosiasi profesi dan kelompok) (Nee, The New Institutionalism

256 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 256 12/6/17 3:47 PM


in Economics and Sociology. Forthcoming: Sedangkan pengaturan institusional adalah
Handbook for Economic Sociology, eds, kesepakatan unit ekonomi untuk mengelola
2003).” dan mencari jalan agar hubungan antar
Institusi terdiri dari elemen formal unit tersebut dalam sebuah kesepakatan.
dan informal. Elemen formal seperti Dalam pengaturan institusional ada alokasi
norma, aturan dan konvensi. Sedangkan hak-hak kepemilikan kepada kelompok,
elemen informal adalah kepercayaan, individu maupun pemerintah. Alokasi
nilai dan kebiasaan. Baik elemen ini diatur melalui kesepakatan lembaga
formal maupun elemen informal ini apakah akan dilakukan melalui pasar,
saling terhubung. Keduanya, menjadi pengaturan publik atau model kontrak
dasar tindakan individu-individu dalam dengan hirarki.
melakukan tindakan untuk mencapai Dalam kaitannya dengan pilihan
kepentingan mereka. Sebagai landasan tindakan yang dilakukan oleh individu,
tindakan yang bukan saja meliputi aspek NIES berangkat dari konsep kemelekatan
kognitif-teknis-mekanis tetapi juga aspek (embeddedness). Yang dimaksud dengan
filosofis-ideologis maupun aspek afektif, kemelekatan adalah bagaimana individu
institusi menjadi entitas yang dominan. melekat kepada struktur dan relasi
Perubahan terhadap institusi akan berarti sosial yang berlangsung dalam jaringan
juga perubahan terhadap relasi antar individu dari para aktor. Williamson
aktor dan pilihan tindakan yang rasional dalam hal ini melihat keterlekatan itu
bagi para aktor. dalam perspektif yang lebih formal
Menurut Ingram dan Clay, Teori dan administratif. Ia melihat bahwa
Kelembagaan baru ini berakar dari hubungan sosial dalam relasi hierarkis
asumsi pendekatan perilaku (behavioral memunculkan perkembangan ekonomi.
assumptions). Sejalan dengan itu Anil Menurut Granovetter, relasi tidak hanya
Hira and Ron Hira melihat bahwa bisa dilihat dalam tataran legal yang
Kelembagaan Baru ini adalah format berkaitan dengan otoritas tersebut. ia
teori yang berusaha mempertahankan berpendapat bahwa faktor kepercayaan
pendekatan Pilihan Rasional (Anil Hira and (trust) dan solidaritas berperan penting
Ron Hira, Apr., 2000). Sedangkan Victor dalam ketermelekatan individu pada
Nee menilai teori ini menlandaskan diri lingkungan sosial serta relasi dengan
pada metode sosiologi yang dirumuskan individu yang lain. Dengan demikian,
oleh Emile Durkheim. berbeda dengan Williamson, Granovetter
Dengan melihat asumsi NIES di atas, membagi dua kelekatan yaitu kelekatan
NIES beroperasi pada dua dimensi yaitu relasional dan kelekatan struktural.
lingkungan kelembagaan (institutional Kelekatan relasional meliputi bidang
environment) dan pengaturan kelembagaan yang luas dan dibentuk oleh relasi lintas
(institutional arrangement). Williamson struktur. Sedangkan kelekatan structural
dalam Yustika mendefinisikan lingkungan dibentuk oleh struktur yang lebih hirarkis
institusional sebagai seperangkat struktur dan berkaitan dengan lingkup otoritas.
aturan politik, sosial dan hukum yang Selanjutnya, Nee membuat model
memapankan kegiatan produksi, pertukaran NIES sebagai berikut:
(transaksi) dan distribusi (Yustika, 2013).

Politik Identitas 257

02 JURNAL BAWASLU.indd 257 12/6/17 3:47 PM


4. Pembahasan
4.1. Faktor Lingkungan: Isu SARA di
Indonesia Pasca Orde Baru
Masalah suku, agama, ras dan
antar golongan (disingkat SARA) adalah
masalah krusial dalam pembangunan
nasional (national building) di Indonesia
disebabkan oleh pluralitas masyarakat
Indonesia sendiri. Menurut data
kementerian dalam negeri terdapat
1340 suku bangsa yang tergabung dalam
300 kelompok etnik, 6 agama besar dan
ratusan kepercayaan (agama) lokal dan
lebih dari 700 bahasa (BPS, 2015). Sangat
Gambar 1. Model New Institutionalism
beragamnya komposisi masyarakat itu
in Economic Sociology
dengan sendirinya akan menjadi potensi
Sumber: Victor Nee, The New
Institutionalism in Economics and Sociology, pengelompokan pada momen-momen
hal 36. tertentu seperti dalam pemilukada
langsung maupun pemilu nasional.
Model tersebut mengilustrasikan Terdapat fenomena unik dalam hal
bagaimana institusi memberikan kerangka politik identitas sejak era Reformasi
bagi tindakan aktor untuk menghasilkan hingga saat ini. Dalam hal kedua kesatuan
keluaran bersama. Institusi memberikan identitas tersebut terdapat pasang surut.
insentif dan membentuk preferensi. Pada awal Reformasi pengelompokan
Kepada institusi level meso, institusi berdasarkan suku dan agama tidak terlalu
makro memberikan aturan dan pada menimbulkan friksi antar kelompok. Hal
saat yang sama ada mekanisme pasar ini dapat diduga terjadi karena dua hal:
yang berpengaruh. Kepada aktor di pertama, karena terdapat fragmentasi
tingkat mikro, institusi meso melakukan yang memecah pengelompokan identitas
pengawasan dan penegakan aturan tersebut dalam berbagai partai politik.
(enforcement). Aktor mikor akan Anies Baswedan mencatat bahwa
memenuhi hal itu. terdapat euforia Islamisme setelah Orde
Jika terjadi ketidakpuasan oleh aktor Baru tumbang (Baswedan, 2004). Namun
mikro, menurut model itu, aktor akan fragmentasi partai memecah konsentrasi
menyalurkan ketidakpuasan itu melalui euforia islamisme itu. Pemilu 1999 diikuti
institusi meso. Institusi meso inilah yang oleh 48 partai politik. Dari jumlah itu
akan menjadi sarana tindakan bersama terdapat 15 partai politik yang memakai
(collectif action) untuk mengubah nama dan basis organisasi Islam, 2 partai
kerangka institusi yang telah ditetapkan Katolik dan 1 partai berbasis organisasi
institusi makro. serta pemilih Kristen. Identitas Islam
dan Muslim dalam 15 partai itupun
terbagi dalam berbagai sub identitas,
utamanya adalah partai Islam berbasis

258 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 258 12/6/17 3:47 PM


pembaharuan dan revivalisme Islam serta Kedua, kebangkitan politik identitas
partai Islam yang nasionalis. berbasis agama pada awal Reformasi
Penggunaan identitas agama muncul mungkin juga disebabkan oleh belum
cukup kentara pada saat pemilihan terlalu kuatnya proses santrinisasi di
presiden di MPR. Isu yang dimainkan Indonesia pasca Orde Baru. Santrinisasi
waktu itu adalah isu soal boleh tidaknya sendiri sebenarnya terminologi yang
kepala negara perempuan. Akibat dari problematik. Ia berasal dari konsep
mengemukanya isu ini Abdurrahman kategorisasi masyarakat Jawa seperti
Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden yang disebutkan oleh Clifford Geertz yang
mengalahkan Megawati Soekarnoputri. menunjukkan kategori Santri, Abangan
Setelah itu, politik identitas agama dan priyayi dalam struktur masyarakat
terutama yang berkaitan dengan isu Jawa (Geertz, 1976). Santrinisasi berarti
revivalisme nilai Islam kurang menonjol. meningkatnya kesadaran dan bangkitnya
Hal ini ditandai dengan menurunnya revivalisme nilai Islam dari semula
perolehan partai berbasis identitas ini masyarakat yang lebih ‘abangan’ atau
yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai nasionalis. Selain istilah santrinisasi istilah
Keadilan Sejahtera. Bahkan meskipun lain yang bisa digunakan barangkali
PKS meningkat perolehan suaranya pada adalah meluasnya pengaruh muslim
Pemilu 2009 isu identitas berbasis agama urban modernis maupun revivalis. Pada
kurang mengemuka. intinya keduanya merujuk pada deskripsi
Sedangkan dalam hal politik perubahan sosial politik yang sama yaitu
identitas berdasarkan identitas etnik meningkatnya jumlah dan kesadaran
dan kesukuan, friksi dan konflik banyak kelompok Islam di Indonesia.
terjadi sejak diberlakukannya pemilukada Ketiga, belum masifnya politik
s e c a ra l a n g s u n g . N a m u n d a l a m identitas berbasis identitas agama dapat
perkembangannya terdapat pergeseran diduga karena tiadanya momentum
isu. Semula isunya berkaitan dengan putra yang berkelanjutan cukup kuat untuk
daerah; artinya, mereka yang berhak membingkai kemunculannya. Isu presiden
menjadi kepala daerah adalah orang perempuan mungkin adalah isu yang
yang punya etnisitas atau berasal dari sempat muncul, namun kemudian tidak
suku yang terdapat di daerah tersebut. mempunyai efek keberlanjutan. Ini
Pada perkembangan selanjutnya, isunya berbeda dengan politik identitas yang
bergeser menjadi friksi internal antar terjadi mulai tahun 2010 hingga saat ini.
suku-suku di daerah tersebut. hal ini Pada periode waktu ini kemunculan Joko
misalnya terdapat di Nusa Tenggara Barat Widodo yang diframing oleh kelompok
dimana suku Sumba dan Bojo bersaing tertentu sebagai ‘musuh Islam’, ‘PKI’,
dengan suku-suku di Pulau Lombok. Selain “liberal’ dan berbagai stigma lainnya
itu terdapat juga fenomena akomodasi yang diidentikkan dengan sebagai ‘lawan
terhadap suku-suku pendatang. Hal Islam dan muslim’ menjaga isu identitas
ini misalnya terjadi di Sumatera Utara berbasis agama terus-menerus terjadi
dan Lampung dimana suku Jawa yang hingga saat ini.
sebenarnya pendatang justru mayoritas. Selain faktor kemunculan Jokowi
Sampai saat ini politik identitas berbasis sebagai penanda masifnya penggunaan
suku dan etnis masih terjadi.
Politik Identitas 259

02 JURNAL BAWASLU.indd 259 12/6/17 3:47 PM


ujaran kebencian dan politik identitas politik. Stigmatisasi ini, dalam perspektif
di Indonesia, terjaganya isu ini juga sosiologis, berguna untuk memberikan
disebabkan oleh kemajuan teknologi petunjuk bagi para pengikut mengenai
informasi. Kemajuan teknologi informasi siapa yang masuk dalam kelompok
memungkinkan persebaran berita dan “kita” dan “mereka”. Semakin intens
opini secara masif dalam waktu yang sebuah stigmatisasi maka akan semakin
singkat. Ini adalah alat yang sangat intens juga pembelahan masyarakat.
efektif untuk melakukan propaganda dan Dalam sudut pandang seperti itu ujaran
mobilisasi. kebencian sangat berbahaya bagi proses
Kemajuan teknologi informasi juga demokrasi maupun dalam pembangunan
disebut telah menimbulkan culture shock nasional, terutama untuk konteks
dan perubahan pola relasi sosial dimana Indonesia. Dalam upaya konsolidasi
hirarki dan otoritas sosial tradisional demokrasi, ujaran kebencian akan
didekonstruksi. Untuk kasus Indonesia, menjadi cara seleksi yang tidak sehat
dengan literasi yang rendah, proses bagi proses elektoral maupun dalam
seleksi terhadap informasi dan opini kebijakan publik. ujaran kebencian akan
yang beredar seringkali tidak berjalan menyingkirkan kemungkinan munculnya
dengan semestinya. Pendapat para ahli pilihan terbaik dalam proses demokrasi
agama, misalnya, sering dikalahkan oleh dan pemerintahan. Sedangkan dalam
opini awam. Berita di media mainstream perpsektif pembangunan bangsa, ujaran
sering kalah dari berita dengan standar kebencian berbasis politik identitas akan
jurnalisme yang tidak jelas.Hal serupa menimbulkan pembelahan-pembelahan
berlaku untuk topik-topik dan bidang lain. dan merusak integrasi bangsa.
Kemajuan teknologi informasi
meskipun memungkinkan hubungan 4.2. Insentif dan Disinsentif
real time antara pihak-pihak yang Menurut Teori NIES, aktor-aktor
berkomunikasi ternyata juga rentan berperilaku berdasarkan motivasi,
terhadap distorsi komunikasi. Bahasa- preferensi dan batasan yang diberikan
bahasa tulisan misalnya sering menjadi oleh insitusi. Institusi membentuk pasar
sarana untuk melakukan distorsi ini. dan memberikan kerangka berupa elemen
Bukan hanya dilakukan oleh orang awam, formal dan elemen non formal. Dengan
distorsi ini juga sering ditemui pada mengemukakan terlebih dahulu kerangka
tulisan-tulisan di media arus utama. institusi ini, dapat dianalisis apakah pola
Kesemua faktor itu menjadi masalah penanganan dampaknya sudah berada
serius dalam menata komunikasi di pada jalur yang tepat atau belum.
dunia maya. Salah satu modus yang Kerangka institusi pertama dalam
dipakai untuk menjaga politik identitas kasus ini adalah demokrasi Indonesia.
ini adalah dengan kampanye hitam Demokrasi menjadi arena baru bagi
dimana ujaran kebencian menjadi bagian perebutan pengaruh dan tarik ulur
di dalamnya. Ujaran kebencian, yang politik dengan memanfaatkan opini
dapat dimasukkan dalam kategorisasi rakyat. Setiap politikus dan partai politik
framing negatif memang penting untuk berusaha mendapatkan legitimasi publik
melakukan stigmatisasi terhadap lawan dengan melakukan dua hal: (1) pencitraan

260 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 260 12/6/17 3:47 PM


(political imaging); (2) propaganda mendistribusikan gagasan, opini dan
negatif. Pencitraan politik dilakukan propaganda.
untuk memberikan kesan positif bagi Insentif selanjutnya yang diberikan
publik dengan imbal balik popularitas oleh institusi adalah sistem ekonomi
dan elektabilitas. Sedangkan propaganda yang cenderung bebas. Sistem
negatif dilakukan untuk melakukan hal ekonomi pasar bebas memberikan
yang sebaliknya pada competitor atau dampak positif bagi makin mudahnya
lawan politik. Imbal balik dari propaganda kepemilikan dan akses komunikasi bagi
negatif ini adalah stigma negatif dan masyarakat. Dengan kepemilikan dan
delegitimasi citra dan kebijakan yang kases terhadap piranti lunak maupun
dibuat oleh lawan politik. keras komunikasi ini, publik sendiri bisa
Demokrasi juga berarti kebebasan memproduksi dan mendistribusikan
berpendapat. Indonesia pasca Orde Baru gagasan, opini dan wacana. Namun
mengadopsi kebebasan berpendapat pada saat yang sama, kebebasan ini juga
ini. Menurut Freedom House, dalam menghasilkan tantangan bagi negara
hal kebebasan sipil dan hak politik untuk mengantisipasi dampak negatifnya.
Indonesia termasuk dalam kategori Dampak negatif yang kemudian timbul
negara yang bebas (Freedom in The salah satunya di lingkup media dimana
World: Indonesia, 2017)). Publik Indonesia muncul sangat banyak media baru dengan
punya kebebasan untuk berkomentar, pengawasan yang tidak memadai.
mengevaluasi dan menilai politikus, Dalam berbagai insentif itu aktor-
pemerintah maupun kebijakannya. Dalam aktor mengejar kepentingan mereka
konteks penggunaan media online, publik masing-masing. Pada tingkat mikro,
Indonesia juga dikenal sangat cerewet setidaknya ada enam jenis aktor yang
(Minat Baca Rendah, Tapi Cerewet terlibat, antara lain: politikus, partai
Banget! Itulah Netizen Indonesia?, 2017). politik, individu anggota masyarakat,
Hal tersebut mengindikasikan bahwa organisasi massa (ormas) media dan
publik Indonesia memang relatif sangat buzzer. Menurut Teori NIES, setiap aktor
bebas mengeluarkan pendapat. mengejar kepentingan masing-masing
Insentif yang berkaitan dengan berdasarkan struktur insentif yang
demokrasi adalah kompetisi yang bebas. diberikan oleh institusi. Dalam hal ini
Meskipun kebebasan ini diragukan dapat dijelaskan kepentingan aktor-aktor
berkaitan dengan politicking yang yang terlibat dalam upaya pembentukan
dilakukan baik oleh aktor individu, komunikasi politik yang bebas dari ucapan
lembaga politik maupun lembaga negara kebencian berbasis isu SARA sebagai
itu sendiri, namun kompetisi wacana di berikut:
Indonesia relatif sangat bebas. Kekuatan- Aktor pertama yaitu politikus
kekuatan politik di Indonesia tidak mempunyai tujuan utama dari politikus
hanya mengandalkan media arus utama. secara umum adalah memperoleh
Kemajuan teknologi memungkinkan modal sosial, modal politik dan modal
media-media alternatif termasuk ekonomi untuk kemudian dimanfaatkan
media sosial untuk memproduksi dan dalam kontestasi politik demi meraih
jabatan publik, previlege maupun konsesi

Politik Identitas 261

02 JURNAL BAWASLU.indd 261 12/6/17 3:47 PM


sumberdaya lainnya. Jadi, modal sosial, kandidat yang kalah bisa ditransaksikan
modal politik dan modal ekonomi dengan calon pemenang. Perolehan
adalah tujuan antara; sedangkan tujuan seperti ini bisa dimungkinkan dalam
utamanya adalah jabatan publik, privilege sistem pemilihan umum proporsional
dan konsesi sumberdaya. Dalam konteks dan kurangnya kerangka institusi untuk
Indonesia, tujuan ini disediakan oleh menjangkau pelanggaran ini.
institusi. Secara normatif, semua politikus Aktor kedua, partai politik mempunyai
yang berhasil memenangkan kandidasi tujuan yang hampir serupa dengan
akan memperoleh jabatan-jabatan politikus. Mereka mengejar tujuan
politik yang diperebutkan; misalnya yang insentifnya dibentuk oleh institusi.
menjadi seorang bupati, gubernur atau Partai politik yang berhasil mengirim
anggota legislatif. Pada jabatan publik wakilnya menjadi anggota legislatif
tersebut melekat hak-hak otoritatif dan atau menduduki jabatan eksekutif
konsesi untuk mengelola sumberdaya- akan memperoleh sejumlah konsesi,
sumberdaya publik. Selanjutnya, untuk akses terhadap pengaturan alokasi dan
konteks Indonesia, para pejabat publik distribusi sumberdaya serta sejumlah
biasanya juga punya semacam privilege privilege.
dan prominence. Privilege berupa akses- Aktor keempat yaitu Individu anggota
akses kepada saluran dan sumberdaya masyarakat. Afiliasi individu terhadap
yang tidak dimiliki oleh selain pejabat ideologi maupun kelompok yang dianggap
publik. sedangkan prominence biasanya punya satu nilai dan kepercayaan adalah
berkaitan dengan status sosial. Seorang sebuah kewajaran dalam perspektif
pejabat biasanya dianggap punya sosiologi. Dalam analisis kebijakan publik
status sosial yang tinggi dan mendapat yang dipengaruhi oleh perpesktif sosiologi,
penghormatan dari masyarakat. Secara individu-individu yang punya kesamaan
umum, masyarakat Indonesia sangat kepercayaan dan nilai bersama akan
menghormati pejabat publik berkaitan membentuk jaring-jaring kebijakan.
dengan budaya yang masih sangat Begitu pula dalam Teori Perilaku Pemilih
terpengaruh budaya feodalistik. Bagi para perspektif Sosiologi menyatakan bahwa
politikus, ini adalah insentif. Struktur pilihan seseorang ditentukan oleh
insentif ini untuk konteks Indonesia juga kelompok sosial dimana individu tersebut
tidak hanya disediakan secara formal. berasal. Individu yang bersangkutan akan
Prominence seperti disebutkan di atas memilih kandidat atau berperilaku sesuai
termasuk insentif yang diberikan secara dengan nilai dan keyakinan yang ia miliki.
informal. Selain itu, insentif ekonomi Dalam konteks ini, komunikasi politik yang
juga bisa didapatkan melalui insentif dilakukan individu anggota masyarakat
nonformal. Misalnya, meskipun sang baik berupa sosialisasi, kampanye maupun
kandidat tidak memenangkan kandidasi, propaganda didasari oleh kepentingannya
namun suara yang ia dapat bisa dikonversi agar ideologi, nilai dan kepercayaan
menjadi keuntungan ekonomi. Hal ini yang ia miliki dikenali, diterima, diadopsi
umum terjadi di pemilihan anggota atau bahkan jika mungkin mendominasi
legislatif dimana untuk kepentingan aktor dalam pemilihan kandidat pejabat publik
tertentu, jumlah suara yang didapat oleh maupun dalam kebijakan publik.

262 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 262 12/6/17 3:47 PM


Aktor keempat yaitu ormas atau Kerangka institusi baik elemen
civil society dalam arti yang lebih formal maupun elemen non formal selain
luas merupakan kumpulan individu- berperan membentuk struktur insentif
individu yang bersifat pastisipatoris dan juga menjadi batasan atau menjadi
mempunyai kemandirian baik terhadap disinsentif bagi perilaku aktor. Dalam
masyarakat politik maupun terhadap perspektif pilihan rasional, tindakan aktor
masyarakat ekonomi. Ada dua jenis CSO, akan ditujukan semaksimal mungkin bagi
yaitu CSO yang berbasis pada ideologi kepentingan dirinya. Kerangka institusi
dan CSO yang bergerak berdasarkan isu membatasi itu sehingga pilihan-pilihan
tertentu. CSO yang bergerak berbasis yang tersedia tergantung dari bagaimana
ideologi berkepentingan agar ideologi insentif/disinsentif yang disediakan oleh
yang dianut bisa diterima, diakomodasi institusi.
atau bahkan bisa mendominasi kebijakan Ada beberapa kerangka disinsentif
publik. Sedangkan CSO yang berlandaskan bagi tindakan aktor yang sebebas-
pada isu tertentu akan berjuang agar isu b e b a s nya d a l a m h a l ko m u n i ka s i
yang dimaksud bisa menjadi kebijakan. politik yang berkaitan dengan SARA di
Misalnya, isu ekologi dalam proyek Indonesia. Kerangka pertama berupa
reklamasi Teluk Jakarta. elemen non formal yaitu kebiasaan,
Aktor kelima adalah media massa nilai dan konvensi antara lain berupa
sering dibicarakan berkaitan dengan penghormatan terhadap otoritas
hubungannya dengan demokrasi dan keilmuan, nilai kejujuran, penghormatan
dengan kepemilikan modal. Di satu terhadap persatuan dan keberagaman,
sisi, media dianggap menjadi sarana penghormatan terhadap pendapat
komunikasi politik yang dituntut netral. orang lain, consensus kebangsaan dan
Namun di sisi lain, media sebagai sebuah sebagainya.
perusahaan juga dihadapkan pada S e c a r a p a r t i k u l e r, m a s i n g -
tuntutan untuk mencari keuntungan masing kelompok sosial dan profesi
sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini sebenarnya punya nilai-nilai sendiri.
terdapat tarik ulur yang intens antara Nilai-nilai itu terlembaga dalam masing-
aspek etik dengan aspek pragmatis. masing kelompok. Pada kelompok
Aktor terakhir adalah buzzer yang sosial yang memakai landasan atau
berbeda dengan media. Buzzer pada mengatasnamakan agama misalnya ada
dasarnya memang sebuah perusahaan/ banyak nilai-nilai baik yang seharusnya
lembaga/kelompok individu yang membatasi tindakan sekehendak hati,
mencari keuntungan sepenuhnya dengan termasuk dalam berkomunikasi. Demikian
memanfaatkan kompetisi dan kontestasi. pula dengan nilai-nilai adat, budaya dan
Mereka bekerja berdasarkan pesanan lain-lain. Asosiasi profesi yang berkaitan
untuk melakukan sorotan besar-besaran dengan media bahkan telah memiliki
(blow up) terhadap sebuah isu atau tokoh nilai-nilai yang sudah terkodifikasi,
tertentu. Selama ini tidak ada batasan etik misalnya kode etik jurnalistik.
terhadap buzzer dan karenanya, Buzzer Sedangkan disinsentif yang berupa
paling berpeluang untuk melakukan elemen formal terdiri dari aturan-aturan
pelanggaran komunikasi politik. hukum (state regulation) terdiri dari

Politik Identitas 263

02 JURNAL BAWASLU.indd 263 12/6/17 3:47 PM


perundang-undangan dalam hukum Data menunjukkan bahwa sampai saat
pidana (Kitab Undang-Undang Hukum ini perilaku komunikasi dengan muatan
Pidana/KUHP), Undang-Undang Informasi kebencian berbasis politik identitas masih
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan sering dilakukan. Meskipun demikian,
Surat Edaran Kapolri. diklaim oleh Polri jumlahnya telah
menurun hingga 30% pada awal tahun
4.3 Perilaku Aktor 2017. Dengan memakai bagan di atas
Hubungan antara perilaku aktor dapat dilihat bahwa hal itu merupakan
dengan insentif maupun disinsentif itu hasil dari menguatnya disinsentif yang
dapat diilustrasikan dengan bagan sebagai diberlakukan oleh negara dengan aparat-
berikut: aparatnya.
Berikut adalah tabel yang
menunjukkan perubahan kerangka
institusi penanganan muatan kebencian
berbasis politik identitas di internet:
a. sebelum tahun 2016

Bagan tersebut menunjukkan bahwa Penegakan


Disinsentif Ada/belum
(enforcement)
perilaku aktor sangat ditentukan oleh
bagaimana kondisi insentif dan disinsentif Pasal 335 ayat
Sudah Belum masif
(1) UU KUHP
itu. Komunikasi yang baik-dalam hal
UU No. 40
ini tanpa muatan kebencian berbasis Tahun 2008
Sudah ada Belum massif
politik identitas-sangat ditentukan dari
perpaduan insentif dan disinsentif UU ITE Sudah ada Belum masif

tersebut. Dalam kasus ini, insentif Surat Edaran


lebih cenderung mengarahkan pada (SE) No.
6/X/2015
komunikasi yang bebas tanpa batasan Baru ada Tahap
Tentang
tahun 2015 sosialisasi
elemen formal dan elemen non formal. Penanganan
Ujaran
Dengan insentif tersebut, aktor cenderung Kebencian
mengejar kepentingannya sendiri atas
Identitas
nama kebebasan dan kompetisi yang Belum ada -
tunggal
bebas. Selain itu, insentif yang berupa
Fatwa MUI Belum
kemajuan teknologi mengarahkan pada tentang ada (baru
kreasi dan distribusi wacana, opini, berita larangan hoax, ada pada -
fitnah dan pertengahan
dan gagasan yang bebas sesuai keinginan kebencian 2016)
individu tanpa batasan tradisional yang
Nilai-nilai
ketat. Sebaliknya, diinsentif cenderung social dan Sudah ada Melemah
mengarahkan pola komunikasi yang kebangsaan
m e m p e r h at i ka n b ata s a n - b ata s a n
tradisional yang lebih sesuai untuk
pengaturan komunikasi tanpa muatan
kebencian berbasis politik identitas.

264 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 264 12/6/17 3:47 PM


b. tahun 2016 dan 2017 kepada situs/web, akun maupun pada
penyedia platform komunikasi seperti
Penegakan
Disinsentif Ada/belum aplikasi Telegram. Dalam melaksanakan
(enforcement)
Pasal 335 fungsi ini partisipasi masyarakat dibuka,
ayat (1) UU Sudah Massif khususnya dalam hal pengaduan konten.
KUHP
Untuk muatan SARA sendiri, pada Bulan
UU No. 40 Sosialisasi
Tahun 2008
Sudah ada
gencar Januari 2017 saja jumlah aduan mencapai
5.142 (Islami, 2017)
UU ITE Sudah ada Massif
Untuk mencapai maksud
Identitas
tunggal
Baru dimulai - pembentukan kerangka kelembagaan
Fatwa MUI
dalam penanganan muatan kebencian
tentang Kurang itu pemerintah bukan hanya melibatkan
larangan sosialisasi, institusi meso dari internal lembaga
Ada
hoax, cenderung
fitnah dan diabaikan negara/pemerintah saja, tetapi juga civil
kebencian society. Pemerintah misalnya mengajak
Nilai-nilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai
social dan Sudah ada Melemah
kebangsaan mitra. MUI kemudian mengeluarkan
fatwa (himbauan) haram untuk perilaku
Dilihat dari dua tabel di atas, maka pembuatan dan penyebaran (Waluyo,
dapat dilihat bahwa masalahnya ada 2017). Selain MUI lembaga agama yang
pada penegakan (enforcement). Secara juga didorong perannya adalah Nahdlatul
teknis, enforcement elemen formal itu Ulama, GP Ansor dan juga dari kalangan
dijalankan melalui beberapa tahapan, agama selain Islam.
yaitu sosialisasi, dan penegakan hukum Namun penegakan elemen formal
(enforcement). Sosialisasi dilakukan baik dan non formal itu belum dilakukan
dalam aspek formal maupun informal. secara massif dan integrative sebelum
Aspek formal dilakukan untuk mendorong tahun 2016. Enforcement masih berjalan
literasi dan kepatuhan hukum dalam secara reaktif dan kerangka yang mapan
berkomunikasi di internet. Sedangkan belum diadopsi.Hal ini menyebabkan
sosialisasi elemen informal dilakukan aktor merasa tidak punya kewajiban untuk
untuk membentuk nilai khususnya memenuhi tuntutan tersebut. Akhirnya,
dalam berkomunikasi dan umumnya sebagaimana dikatakan oleh NIES, aktor
dalam kehidupan bernegara. Sosialisasi cenderung untuk mengambil tindakan dari
dalam hal ini adalah sosialisasi nilai- yang ditetapkan institusi (decoupling).
nilai keberagaman yang dilakukan baik Dari berbagai penelitian yang
dengan cara langsung (offline) maupun kemudian dilihat dalam kasus Indonesia,
di dunia maya (online). Sosialisasi berupa n a m p a k nya ka ra k te r i n k l u s i f i ta s
kampanye keberagaman sangat massif komunikasi di dunia internet bisa
setelah terjadi berbagai demo terhadap berdampak ganda bagi masyarakat.
Ahok pada tahun 2016. Untuk konteks kasus ini, sifat inklusifitas
Fungsi enforcement dilakukan baik pembuatan berita dan opini di internet
melalui teguran, pemblokiran hingga mengakibatkan kurangnya kontrol
pemidanaan. Hal ini diterapkan baik institusi-institusi formal maupun non

Politik Identitas 265

02 JURNAL BAWASLU.indd 265 12/6/17 3:47 PM


formal serta makro maupun meso pelanggaran hukum dan norma sosial.
terhadap individu. Sebagaimana pada inklusifitas mengakibatkan melunturnya
kasus media dan profesi jurnalisme, kendali institusi makro, meso maupun
terdapat petunjuk bahwa institusi resmi mikro atas aktor. Hal ini membuat aktor
kehilangan sebagian otoritas untuk tidak lagi bisa selalu diharapkan untuk
mengendalikan aktor di tingkat mikro. menghasilkan pola komunikasi yang
Pola ini mengikuti argumen Kenichi sehat, khususnya komunikasi yang tidak
Ohmae tentang globalisasi dimana bermuatan kebencian berbasis politik
batasan-batasan tradisional menjadi identitas.
makin kurang berarti (Ohmae, 1995). Secara umum pemerintah Indonesia
Pada tahun 2016 penegakan mulai dalam perspektif kelembagaan baru sudah
massif digencarkan. Hal ini terus berlanjut melakukan langkah yang tepat. Pemerintah
pada tahun 2017. Maka, tidak heran Indonesia berusaha memperkuat kendali
jika terjadi penurunan jumlah muatan institusi atas perilaku aktor baik dengan
kebencian berbasis politik identitas pada membangkitkan kembali (reinforce) elemen
2017. Namun, sifatnya yang masih baru, formal maupun informal. Upaya pemerintah
belum konsisten dan masih mencoba untuk menyelaraskan identitas dunia maya
mencari bentuk yang mapan diperkirakan dengan identitas riil dunia nyata juga
akan memungkinkan titik balik pada merupakan langkah yang tepat.
tahun 2018 dan 2019. Selain itu, elemen Bahwa langkah-langkah itu
non formal baik nilai sosial maupun belum menghasilkan keluaran yang
kebangsaan nampak belum menunjukkan optimal dalam mengeliminasi muatan
penguatan yang signifikan. kebencian berdasar politik identitas
Langkah pemerintah untuk dapat diduga merupakan hasil dari
memberlakukan identitas tunggal patut dua hal: pertama, langkah-langkah
diapresiasi karena akan menyelaraskan pemerintah itu belum efektif karena
identitas dunia maya dan identitas riil. sinergi antar internal pemerintah maupun
Usaha-usaha lain yang harus diperkuat dengan institusi meso di luar pemerintah
adalah sosialisasi nilai-nilai sosial dan belum sepenuhnya terbangun; kedua,
kebangsaan. Perhatian khusus patut diperlukan lebih banyak waktu lagi
diperhatikan pada penguatan sosialisasi untuk menginternalisasi nilai dan norma
berbasis nilai agama. Hal ini didasarkan menjadi kebiasaan dan budaya; Ketiga,
pada survey Gallup yang menyatakan terdapat faktor oposan dari upaya-upaya
bahwa Indonesia ada di antara 8 negara yang dilakukan pemerintah. Faktor oposan
yang warganya mendukung superioritas yang dimaksud adalah kemajuan teknologi
agama (Wadrianto, 2017). informasi itu sendiri yang mengakibatkan
berbagai inovasi yang memungkinkan
5. Kesimpulan kembali tidak efektifnya kerangka institusi
Ditemukan paradox dalam penelitian yang dibangun. Tingkat inovasi berbasis
ini. Inklusifitas di dunia maya berdampak teknologi inovasi berkembang cepat
negatif dalam mewujudkan demokratisasi sedangkan adaptasi sistem dan birokrasi
dan komunikasi yang interaktif namun pemerintahan dalam menangani hal itu
juga berpotensi untuk menjadi sarana lebih terbatas geraknya.

266 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 266 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Anil Hira and Ron Hira. (Apr., 2000). The New Institutionalism: Contradictory Notions
of Change . The American Journal of Economics and Sociology, Vol. 59, No.
2 , pp.267-282.
Baswedan, A. R. ( 2004, September/October). Political Islam in Indonesia: Present
and Future Trajectory. Asian Survey Vol. 44 No. 5 , pp. 669-690.
BPS. (2015, April 11). Retrieved November 6, 2017, from https://www.bps.go.id/
KegiatanLain/view/id/127
Clay, P. I. ( 2000. 26). The Choice Within Constraints: New Institutionalism and Its
Impact for Sociology. Annu. Rev. Sociol. , 525–46.
Geertz, C. (1976). Religions of Java. Chicago: Chicago Unifrsity Press.
Islami, N. (2017). https://kominfo.go.id. Retrieved November 6, 2017, from Kemkominfo
Rilis Aduan Konten untuk Tampung Laporan Masyarakat Terkait Hoaks: https://
kominfo.go.id/content/detail/10335/kemkominfo-rilis-aduan-konten-untuk-
tampung-laporan-masyarakat-terkait-hoaks/0/sorotan_media
J P, R . P. ( 2 0 1 7 , A u g u s t 2 8 ) . h t t p s : / / w w w . c n n i n d o n e s i a . c o m /
nasional/20170826121903-20-237431/paslon-penyebar-kebencian-di-pemilu-
bisa-didiskualifikasi/. Retrieved November 6, 2017, from https://www.
cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com
Nee, V. (2005). The New Institutionalism in Economics and Sociology. CSES Working
Paper Series , 1-72.
Nee, V. (2003). The New Institutionalism in Economics and Sociology. Forthcoming:
Handbook for Economic Sociology, eds. Princeton: Princeton Unifrsity Press.
Somantri, G. R. (Desember 2005). MEMAHAMI METODE KUALITATIF. Jurnal Makara
, 57-65.
Somantri, R. G. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Jurnal Makara , 57-65.
Wadrianto, G. K. (2017, April 2016). Retrieved November 6, 2017, from http://
internasional.kompas.com/read/2017/06/02/20485791/survei.dunia.soal.
superioritas.agama.ada.di.mana.indonesia.
Waluyo, A. (2017, June 6). https://www.voaindonesia.com/a/mui-terbitkan-fatwa-
penggunaan-medsos-untuk-cegah-penyebaran-ujaran-kebencian/3888880.
html. Retrieved November 6, 2017, from https://www.voaindonesia.com:
https://www.voaindonesia.com/a/mui-terbitkan-fatwa-penggunaan-medsos-
untuk-cegah-penyebaran-ujaran-kebencian/3888880.html

Politik Identitas 267

02 JURNAL BAWASLU.indd 267 12/6/17 3:47 PM


268 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 268 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Adiwilaga, R., Ridha., Mustofa, M.U.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 269-284

PEMILU DAN KENISCAYAAN POLITIK IDENTITAS ETNIS DI


INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN TEORITIS

Rendy Adiwilaga
Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Bale Bandung, Indonesia,
rendyadiwilaga@gmail.com

M. Ridha TR
Peneliti Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Indonesia,
m.ridhotaufik@gmail.com

Mustabsyirotul Ummah Mustofa


Program Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Padjadjaran, Indonesia,
mustabs.mails@gmail.com

ABSTRACT

The emergence of Political identity in a State is one of the logical consequences


of the application of democratic understanding. This identity politics, formed as a
manifestation of the interaction that occurs between the values ​​of democracy that
become mainstream with local values ​​or other values ​​that have been formed as
a social structure in society. In Indonesia itself, the issues of identity politics have
sprung up. Ethnicity is a base that often underlies the emergence of identity politics
in Indonesia. This is certainly not surprising because Indonesia is a country that
has ethnic and cultural diversity that has value, views, identification, and wisdom
respectively. Ethnicity-based identity politics becomes very important, to avoid excessive
expression of political identity that can threaten the integrity of the Indonesian nation.
In this paper, we will discuss how to look at identity politics in political contexts
through democratic electoral mechanisms that are not based on the oppression

Politik Identitas 269

02 JURNAL BAWASLU.indd 269 12/6/17 3:47 PM


or marginalization of ethnic society so as to compete for power through electoral
mechanism, but rather to consciousness to contribute ideas and ideas for the nation
based on local values ​​to be an answer and solution to the nation’s problems.

Keywords
political identity, election, democracy

ABSTRAK

Kemunculan Politik identitas dalam sebuah Negara merupakan salah satu konsekuensi
logis dari diterapkannya paham demokrasi di Negara tersebut. Politik identitas ini,
terbentuk sebagai wujud dari interaksi yang terjadi antara nilai-nilai demokrasi
yang menjadi mainstream dengan nilai-nilai lokal atau nilai-nilai lain yang sudah
terbentuk sebagai sebuah struktur sosial di masyarakat. Di Indonesia sendiri, isu-isu
mengenai politik identitas sudah banyak bermunculan. Etnisitas merupakan basis yang
sering mendasari munculnya politik identitas di Indonesia. Hal ini tentunya bukan
merupakan sesuatu yang mengejutkan karena Indonesia merupakan Negara yang
memiliki keragaman etnis dan budaya yang memiliki nilai, pandangan, identifikasi,
dan kearifannya masing-masing. politik identitas berbasis etnisitas menjadi sangat
penting, untuk menghindari ekspresi politik identitas yang berlebihan yang dapat
mengancam integritas bangsa Indonesia. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai
bagaimana memandang politik identitas dalam kontestasi politik melalui mekanisme
pemilu yang demokratis yang bukan didasari pada ketertindasan atau marjinalisasi
masyarakat etnis sehingga berlomba-lomba memperoleh kekuasaan melalui mekanisme
pemilu, tetapi lebih kepada kesadaran untuk menyumbang ide dan pemikiran untuk
bangsa, yang didasarkan pada nilai-nilai lokal untuk menjadi sebuah jawaban dan
solusi atas permasalahan bangsa.

Kata Kunci
Politik Identitas, pemilu, demokrasi

270 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 270 12/6/17 3:47 PM


1. Pendahuluan masyarakat menjadi terpecah belah dan
Runtuhnya rezim otoriter orde mengarahkan Negara pada keadaan
baru untuk kemudian digantikan failed state yang tentunya sangat tidak
oleh munculnya gerakan reformasi diharapkan.
yang menjunjung tinggi demokrasi, Salah satu tulisan yang mengkaji
menimbulkan banyak ekses dalam mengenai politik identitas etnis tersebut
segala aspek kehidupan masyarakat di adalah tulisan Donald L. Horowitz (1993)
Indonesia, baik itu aspek sosial, budaya, yang berjudul Democracy in Divided
ekonomi, hingga tentunya politik. Salah Societies. Dalam tulisannya ini Horowitz
satu ekses dari sistem demokrasi yang melihat perkembangan di beberapa
diterapkan di Indonesia adalah munculnya Negara di Asia, Afrika, Eropa Timur,
fenomena politik identitas. Semua entitas dan Negara-negara pecahan Uni Soviet
yang ada di Indonesia berusaha untuk dimana kegagalan demokrasi di Negara-
mengekspresikan preferensi politik, yang negara tersebut lebih banyak disebabkan
didasarkan pada identitas yang melekat oleh adanya konflik etnis. Demokrasi
pada dirinya, baik itu identitas agama, menurut Horowitz, akan selalu berbicara
identitas etnis, dan sebagainya. mengenai inklusi dan eksklusi, mengenai
Namun dewasa ini, ada satu isu yang akses pada kekuasaan, serta mengenai
menjadi perhatian dan permasalahan keistimewaan yang datang bersama
bersama yakni, isu kepemimpinan inklusi, dan konsekuensi hukuman yang
sebagai ekses dari pemilihan umum datang bersama eksklusi. Dalam Negara-
yang dilaksanakan secara langsung. negara yang didalamnya terdapat konflik
Kepemimpinan dianggap menjadi akar berbasis etnis, identitas etnis menjadi
permasalahan yang menyebabkan sebuah garis pembatas yang jelas untuk
terjadinya berbagai masalah di negeri ini. menentukan who will be included and
Meledaknya fenomena Jokowi, meskipun who will be excluded (Horowitz, 1993).
dengan berbagai kontroversi pro dan Pemaknaaan inklusi dan ekslusi
kontranya, cukup untuk membuktikan ini dipengaruhi dan didasarkan benar-
bahwa isu kepemimpinan nasional sudah benar kepada identitas etnis. Pemerintah
menjadi salah satu isu bersama yang yang berkuasa akan menyingkirkan
sangat menarik perhatian masyarakat. kelompok-kelompok lain yang berbeda
Pada akhirnya, untuk menjawab secara etnis dengan dirinya, dan etnis
permasalahan isu kepemimpinan ini, yang berbeda dari pemerintah yang
setiap identitas politik berusaha untuk berkuasa itu akan selalu menjadi oposisi,
memunculkan konsep kepemimpinan bukan didasarkan pada perbedaan
berdasarkan pada identitasnya tersebut. ideologi, pemikiran, atau konsep tentang
Kajian-kajian yang berfokus kepada politik bagaimana mencapai sebuah tatanan
identitas yang berbasis etnis ini sudah yang dapat mengakomodasi kepentingan
cukup banyak. Namun, kajian-kajian masyarakat agar masyarakat dapat
sebelumnya lebih banyak melihat dari sejahtera. Kesimpulan dari tulisan
sisi ancaman politik identitas etnis ini Horowitz ini adalah bahwa ekspresi
terhadap keberlangsungan demokrasi. politik identitas etnis yang terlalu
Politik identitas etnis dapat menyebabkan ekstrim dan tanpa memandang nilai-nilai

Politik Identitas 271

02 JURNAL BAWASLU.indd 271 12/6/17 3:47 PM


penting multikulturalisme akan membuat dominasi yang dilakukan oleh satu etnis
demokrasi tidak berjalan. Politik identitas terhadap etnis lain yang menyebabkan
ini pada akhirnya akan menciptakan perlawanan dan resistensi dari etnis yang
konflik antar etnis yang menyebabkan merasa ditindas. Kemunculannya, pada
masyarakat menjadi terpecah belah dan akhirnya dapat menjadi hambatan bagi
membawa negara pada kondisi failed demokrasi yang bercita-cita mengenai
state yang disebabkan oleh etnis yang adanya heterogenitas dan kemajemukan
berkuasa akan selalu berusaha agar masyarakat yang dapat mengartikulasikan
kekuasaan dan sumber daya yang ada, kepentingannya melalui ekspresi yang
mengalir untuk kelompok etnisnya, bukan demokratis.
berusaha untuk mewujudkan yang terbaik Namun kedua tulisan tersebut, tidak
bagi masyarakatnya. menyinggung bagaimana politik identitas
Selain tulisan Horowitz, tulisan etnis yang muncul bukan karena adanya
lain yang mengkaji politik identitas konflik etnis yang mendasarinya. Maka dari
etnis adalah buku yang berjudul itu, berbeda dengan kajian-kajian diatas,
Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik dalam kajian ini penulis melihat politik
Kebudayaan yang ditulis oleh Yekti identitas dapat muncul dari kesadaran
Maunati. Dalam tulisannya, Maunati bahwa ada permasalahan bangsa yang
melihat politik identitas masyarakat Dayak dianggap dapat diselesaikan dengan
yang mulai muncul sejak runtuhnya orde menerapkan nilai-nilai yang berasal dari
baru dan meletusnya konflik etnis yang kearifan lokal budaya, dimana nilai-nilai
terjadi di Kalimantan. Menurut Maunati, tersebut bersifat universal dan dapat
konflik tersebut merupakan ekses dari diterapkan tanpa mengakibatkan konflik
adanya marginalisasi secara ekonomi etnis yang berujung pada terjerumusnya
dan politik terhadap etnis Dayak yang Indonesia kedalam kondisi-kondisi yang
telah lama dilakukan oleh pemerintahan menjadi ciri dari failed state.
orde baru. Disisi lain, ekspansi etnis
Madura sebagai pendatang dirasakan 2. Metode Penelitian
mengganggu kehormatan etnis Dayak Kajian ini menggunakan studi literatur
sebagai masyarakat asli Kalimantan. sebagai metode dengan pendekatan
Kemudian dengan mengutip pernyataan kualitatif, dengan mengumpulkan
Eriksen (1993), Maunati berargumentasi berbagai sumber bacaan mengenai politik
bahwa politik identitas etnis akan bangkit identitas baik yang merupakan sumber
ketika kelompok atau etnis itu terancam. primer maupun sumber sekunder sebagai
Kedua tulisan diatas meskipun pendukung sumber utama.
memiliki lokus dan fokus yang berbeda, Dalam kajian ini penulis menelaah
namun memiliki kesamaan perspektif konsep-konsep politik identitas yang
dalam melihat politik identitas etnis di kemudian dielaborasikan dengan
sebuah negara. Keduanya melihat bahwa fakta-fakta kontemporer, yang pada
kemunculan politik identitas berawal dari akhirnya menghantarkan penulis kepada
konflik etnis yang dapat menyebabkan suatu pemikiran yang argumentatif
masyarakat yang terpecah belah. Politik dalam memilah fakta dan konsep yang
identitas muncul akibat adanya sebuah menampakkan dirinya yang berkaitan

272 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 272 12/6/17 3:47 PM


dengan politik identitas sebagai sebuah objek yang dapat mengkategorikan,
keniscayaan yang tidak bisa dinafikan mengklasifikasikan, atau menamai dirinya
melekat dalam demokrasi dan hadir dalam cara-cara tertentu dalam kaitannya
dalam pemilu di Indonesia. dengan kategori atau klasifikasi sosial
lainnya (Stets and Burke, 2000). Stets
3. Perspektif Teori dan Burke kemudian menambahkan
Menurut Anthony Giddens, bahwa konsekuensi dari kategorisasi
identitas diri dipahami dengan keahlian diri ini adalah adanya penekanan dari
menarasikan tentang diri, dengan kesamaan persepsi antara diri dan
demikian menceritakan perasaan yang anggota lain di dalam kelompok, dan
konsisten tentang kontinyuitas biografi. adanya penekanan terhadap perbedaan
Cerita identitas berupaya menjawab persepsi antara diri dan orang lain diluar
pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa yang kelompok. Penekanan atas kesamaan
dikerjakan? Bagaimana melakukannya? dan perbedaan ini dilakukan berdasarkan
Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha pada semua sikap, keyakinan dan nilai-
mengkonstruksi cerita identitas yang nilai, reaksi afektif, norma perilaku, gaya
saling bertalian di mana diri membentuk berbicara, dan properti lainnya yang
lintasan perkembangan dari pengalaman diyakini berkorelasi dengan kategorisasi
masa lalu menuju masa depan (Giddens, kelompok yang relevan.
1991). Identitas maupun etnisitas Seperti yang dikatakan lebih
diciptakan oleh proses sejarah yang lanjut oleh Sets dan Burke, bahwa
menggabungkan kelompok-kelompok sebuah identitas sosial yang menonjol
sosial yang berbeda ke dalam suatu adalah identitas yang berfungsi secara
struktur politik yang tunggal di bawah psikologis untuk meningkatkan pengaruh
kondisi-kondisi sosial tertentu (Schultz, keanggotaan seseorang dalam kelompok
Emily and Lavenda, 2001). Giddens itu pada persepsi dan perilaku. Untuk
menegaskan bahwa etnisitas itu selalu membuat identitas itu menonjol,
berpusat pada identitas individu dan diperlukan adanya komitmen dari para
kelompok. Pentingnya identitas ini anggota kelompok tersebut. Komitmen
bagi sebuah kelompok etnik, menurut ini memiliki dua aspek, yakni, pertama
Giddens lagi, dikarenakan “It can provide adalah kuantitatif-jumlah orang kepada
an important thread of continuity with siapa yang diikat melalui identitas.
past and is often kept alive through the Semakin banyak orang yang terikat
practice of cultural traditions” (Giddens, dengan memegang identitas (yaitu,
1991). semakin besar melekatnya identitas
Sebuah identitas tentunya tidak dalam struktur sosial), semakin besar
terbentuk begitu saja tanpa melewati kemungkinan adalah bahwa identitas akan
berbagai proses. Menurut Jan E. Stets diaktifkan dalam suatu situasi. Singkatnya,
and Peter J. Burke mengemukakan semakin kuat komitmen, semakin besar
bahwa Identitas dapat terbentuk melalui ciri khas tersebut; Kedua dari komitmen
proses kategorisasi dan identifikasi diri, adalah kualitatif, yakni kekuatan relatif
dimana proses tersebut adalah proses atau kedalaman hubungan dengan orang
merefleksikan diri menjadi sebuah lain. Hubungan yang lebih kuat kepada

Politik Identitas 273

02 JURNAL BAWASLU.indd 273 12/6/17 3:47 PM


orang lain melalui memimpin identitas tumbuh subur dan berkembang secara
ke identitas lebih menonjol (Stets and pesat dan menjadi bagian dari proses
Burke, 2000). perkembangan demokrasi itu sendiri.
Namun, kemunculan politik identitas
4. Hasil dan Pembahasan ini banyak mendapat sorotan dan
4.1. Politik Identitas dalam Negara pandangan dari banyak ilmuwan sosial. Hal
Demokrasi ini dikarenakan, munculnya kekhawatiran
Politik identitas dalam sebuah dari para ilmuwan sosial bahwa politik
Negara demokrasi merupakan sebuah identitas akan menjadi sebuah tantangan
keniscayaan. Kemunculannya merupakan dan hambatan bagi demokrasi karena
salah satu konsekuensi logis dari dianggap dapat membuat masyarakat
diterapkannya paham demokrasi dalam menjadi terpecah belah dan terpolarisasi
sebuah Negara, dimana salah satu asas berdasarkan identifikasi identitasnya
demokrasi yang paling penting adalah masing-masing, sehingga dapat secara
pemenuhan hak-hak dasar masyarakat langsung mengancam nasionalisme
yang dijunjung tinggi oleh Negara. Hak- dan pluralisme sebuah Negara. Namun
hak dasar tersebut diantaranya adalah demikian, tidak sedikit pula yang
freedom of expression yang menjamin berpendapat bahwa politik identitas ini
setiap individu untuk menentukan tidak akan mengancam nasionalisme
preferensi politiknya, tentang suatu dan pluralisme sebuah negara, jika para
masalah, terutama yang menyangkut ilmuwan politik mencarikannya sebuah
dirinya dan masyarakat di sekitarnya. konsep agar menjadi cara sehingga politik
Freedom of expression ini yang menjadi identitas tidak menjadi sandungan bagi
dasar bagi beberapa individu yang merasa demokrasi itu sendiri.
memiliki kesamaan baik secara pemikiran, Kajian mengenai politik identitas
ideologi, dan identifikasi tertentu untuk ini mulai menarik perhatian para
sepakat membentuk sebuah identitas ilmuwan sosial pada 1970-an, bermula
dengan tujuan mengartikulasikan di Amerika Serikat. Ketika itu pemerintah
kepentingan yang didasarkan pada AS menghadapi masalah minoritas,
identitas tersebut. jender, feminisme, ras, etnisitas, dan
Politik identitas ini, terbentuk kelompok-kelompok sosial lainnya
sebagai wujud dari interaksi yang yang merasa terpinggirkan, merasa
terjadi antara nilai-nilai demokrasi yang teraniaya. Kemudian, didasarkan pada
menjadi mainstream dengan nilai-nilai kesamaan-kesamaan tersebut, mereka
lokal atau nilai-nilai lain yang sudah mencoba untuk menuntut hak-haknya
terbentuk sebagai sebuah struktur sosial agar dipenuhi oleh negara. Dalam
di masyarakat. Persinggungan diantara perkembangan selanjutnya cakupan
nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai politik identitas ini meluas kepada
lokal yang sudah ada di masyarakat, masalah agama, kepercayaan, dan
serta ditambah kesadaran masyarakat ikatan-ikatan kultural yang beragam,
sebagai sebuah entitas dalam demokrasi hingga kepentingan-kepentingan lain
yang perlu dijunjung tinggi hak-hak yang diartikulasikan sebagai identitas
dasarnya, membuat politik identitas diri dan kelompoknya. Kemunculan

274 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 274 12/6/17 3:47 PM


politik identitas ini disebabkan oleh Negara yang memiliki keragaman
beberapa hal, diantaranya adalah adanya etnis dan budaya yang memiliki nilai,
perlakuan yang tidak adil terhadap kaum pandangan, identifikasi, dan kearifannya
minoritas dan ingin diberlakukannya masing-masing. Setiap etnis ini tentunya
prinsip persamaan (equality) dalam juga memiliki cara yang berbeda dalam
masyarakat luas. Kemudian, selain itu, beradaptasi dan berinteraksi dengan
politik identitas ini muncul karena adanya sistem demokrasi yang diterapkan di
kepentingan anggota-anggota sebuah Indonesia untuk tetap menjaga eksistensi
kelompok sosial yang merasa diperas etnis dan kebudayaannya. Ada yang
dan tersingkir oleh dominasi arus besar mengekspresikan identitas etnisnya
dalam sebuah bangsa atau negara. namun tetap berusaha untuk berada
Di Indonesia sendiri, isu-isu dalam jalur nasionalisme ke-Indonesia-an,
mengenai politik identitas sudah banyak ada pula yang dengan ekstrim berekspresi
bermunculan. Disini politik identitas lebih untuk menunjukkan perbedaannya dan
terkait dengan masalah etnisitas, agama, ingin melepaskan diri dari kesatuan dan
ideologi, dan kepentingan-kepentingan integrasi bangsa Indonesia. Ungkapan-
lokal yang diwakili pada umumnya oleh ungkapan seperti “Presiden Indonesia
para elit dengan artikulasinya masing- haruslah orang jawa”, “sudah saatnya
masing. Bahkan politik identitas banyak kepemimpinan sunda muncul menjadi
menjadi hal yang mendasari sebuah presiden” menjadi contoh ekspresi politik
gerakan untuk menekan pemerintah agar identitas berbasis etnis namun masih
dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang dalam kapasitas etnisnya sebagai bagian
menjadi kepentingan identitasnya. Kita bisa dari integritas bangsa. Berbeda halnya
melihat bagaimana kelompok-kelompok dengan gerakan separatis seperti OPM
yang merupakan wujud politik identitas (Organisasi Papua Merdeka) di Papua
berbasis agama seperti Hizbuttahrir atau GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di
Indonesia, yang dengan konsep Daulah Aceh yang menyatakan bahwa mereka
Khilafiah-nya mencoba untuk mengubah bukanlah bagian dari Indonesia maka dari
Indonesia menjadi Negara dengan sistem itu harus memisahkan diri dari Indonesia
khilafah. Atau Front Pembela Islam yang dan mendirikan Negara sendiri.
teridentifikasi sebagai bentuk radikalisme Hal ini tentunya membuat kajian
islam, melakukan segala cara bahkan mengenai politik identitas berbasis
hingga melakukan kekerasan untuk etnisitas menjadi sangat penting, untuk
menegakkan syariat islam. Politik identitas menghindari ekspresi politik identitas
berbasis agama ini yang banyak dipandang yang berlebihan yang dapat mengancam
sebagai ancaman bagi pluralitas dan integritas bangsa Indonesia, tetapi lebih
integrasi bangsa Indonesia. lanjut mengarahkan politik identitas ini
Selain politik identitas yang berbasis sebagai ekspresi yang dapat membantu
agama, etnisitas juga merupakan basis Indonesia dalam perjalanannya menuju
yang sering mendasari munculnya demokrasi yang dapat mengadaptasi
politik identitas di Indonesia. Hal ini kearifan-kearifan lokal yang ada di
tentunya bukan merupakan sesuatu yang Indonesia dan mengakomodasi semua
mengejutkan karena Indonesia merupakan kepentingannya.

Politik Identitas 275

02 JURNAL BAWASLU.indd 275 12/6/17 3:47 PM


4.2 Etnis Sebagai Basis Politik Identitas identitas dapat memunculkan toleransi
Politik identitas pada hakikatnya dan kebebasan, namun di lain pihak,
merupakan sebuah fenomena menarik politik identitas juga akan memunculkan
pasca usainya perang dunia II, yang juga pola-pola intoleransi, kekerasan, dan
mengawali kebangkitan perang dingin pertentangan etnis.
hingga usainya pada akhir dekade 90-an. Melengkapi perspektif sebelumnya,
Hal ini menarik mengingat politik identitas Kemala Chandrakirana (1989) dalam
menjadi “senjata” tersendiri bagi kaum a rt i kel nya “G eert z d a n M a s a l a h
minoritas dalam memperjuangkan hak- Kesukuan” menuturkan bahwa politik
hak dasarnya. Hal ini senada dengan apa identitas biasanya digunakan oleh
yang diutarakan oleh Kauffman, Menurut para pemimpin sebagai retorika politik
Kauffman (dalam Maarif, 2012) politik dengan sebutan kami bagi “orang asli”
identitas diawali dari adanya kepentingan yang menghendaki kekuasaan dan
anggota-anggota sebuah kelompok sosial mereka bagi “orang pendatang” yang
yang merasa tersingkir oleh dominasi harus melepaskan kekuasaan. Jadi,
kelompok lainnya di dalam sebuah singkatnya politik identitas sekedar
bangsa atau negara. Politik identitas, yang untuk dijadikan alat untuk menggalang
muncul pada 1970-an di Amerika Serikat, politik guna rnemenuhi kepentingan
banyak berbicara mengenai isu gender, ekonomi dan politiknya. Pendapat
feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok tersebut juga sekaligus mengelaborasi
sosial lainnya yang merasa terpinggirkan kemungkinan kedua yang dikemukakan
dan teraniaya. oleh Heller perihal pola intoleransi
Jauh sebelum fenomena perang maupun pertentangan etnis.
dingin dan kebangkitan budaya pop, Praktik-praktik perebutan kekuasaan
praktek politik identitas sejatinya oleh kaum minoritas yang terlembagakan
telah berlangsung dari masa ke masa. dapat dilihat dari bagaimana Louis
Perlawanan terhadap kolonialisme Farrakhan dengan The Nation of Islam-
di berbagai negara Asia juga diawali nya di Amerika Serikat, Martin Luther
melalui semangat etnisitas dan kelompok King dan Malcolm X dengan gerakan kulit
minoritas. Hanya memang politik hitam nya yang juga berbasis di Amerika
identitas tersebut baru terkonsepsi secara Serikat, serta bagaimana negara-negara
terminologis pasca lahirnya pemikir- pecahan Uni Soviet dengan identitas nya
pemikir ulung seperti halnya Antonio masing-masing berhasil memerdekakan
Gramsci, Gayatri C. Spivak, dan sarjana diri. Bentuk paling ekstrim dari politik
lainnya yang memodifikasi politik identitas identitas, yakni separatisme, juga dapat
dengan mengikuti perkembangan zaman. dilihat dari bagaimana wilayah Quebec
Agnes Heller (Ubed Abdillah, 2002: (berbahasa dan berbudaya Prancis) yang
22) memiliki pandangan yang lebih ingin merdeka dari Kanada (berbahasa
spesifik mengenai politik identitas itu Inggris), serta dewasa ini wilayah
sendiri. Heller menilai bahwa politik Catalunya yang ingin memisahkan diri
identitas adalah strategi politik yang dari Kerajaan Spanyol.
memfokuskan pada pembedaan sebagai “Medan perang” yang legal bagi
kategori utamanya. Menurutnya politik para pelaku politik identitas sendiri

276 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 276 12/6/17 3:47 PM


merujuk pada representasi demokrasi Kekuatan ideologi politik pun tak
yakni pemilihan umum maupun jajak kalah sengit. Dalam percaturan politik
pendapat. Catalunya sendiri telah berhasil Indonesia, beberapa ideologi mulai
mendorong ke arah tersebut walaupun dari yang diimpor langsung dari luar
hambatan teknis dan besar masih seperti sosialisme, komunisme, dan
melanda, khususnya dari kerajaan Spanyol nasionalisme, hingga ideologi lama seperti
dan Negara-negara Uni Eropa. Dalam tradisionalisme jawa, cukup memberikan
skup yang lebih kecil, fenomena politik situasi dinamis dalam sejarah perpolitikan
identitas di Indonesia juga pernah Indonesia. Komunisme, yang notabennya
mengemuka baik masa pra kemerdekaan merupakan ideologi terlarang dewasa ini,
maupun pasca kemerdekaan. Kebanyakan bahkan sempat menjadi panglima pada
dari aktor tersebut berasal dari identitas periode 1959-1965 (Mortimer, 2006: 1)
kekuatan agama, kekuatan ideologi dimana kader-kadernya berhasil mengisi
politik, dan kekuatan etnis. pos strategis di pemerintahan pusat
Kekuatan agama sebagai wujud bahkan pemerintahan desa. Dinamika
politik identitas di Indonesia diwarnai oleh tersebut, lagi-lagi mengendur dibawah
corak-corak menarik yang diberikan oleh kepemimpinan Soeharto karena adanya
Sarikat Islam pada masa prakemerdekaan. upaya generalisasi ideologi yang mengacu
Transformasi kekuatan kelompok Islam pada Pancasila versi pemerintah.
kemudian dilanjut oleh dua kutub Terakhir ialah kekuatan etnis. Kekuatan
kekuatan. Yang pertama ialah kekuatan etnis sendiri bukan lah barang aneh jika
moderat yang diprakarsai pimpinan kita menilik pada keragaman budaya
Masyumi dalam Majelis Konstituante dan suku yang terdapat di Indonesia.
(1956-1959) dan kekuatan radikal yang Beberapa perang kemerdekaan, seperti
diwakili oleh Darul Islam pimpinan S.M halnya perang Aceh dan Pemberontakan
Kartosoewirjo yang kemudian berhasil Nuku menggambarkan bahwa identitas
ditumpas oleh pemerintahan Soekarno. etnis pernah menjadi kekuatan positif
Estafet kekuatan Islam dalam kontestasi yang mampu memberikan perlawanan
politik kemudian mengendur dibawah besar terhadap kolonialisme. Pasca
kepemimpinan rezim Soeharto, hingga kemerdekaan, praktik-praktik politik
kemudian babak baru kekuatan Islam i d e nt i ta s d a l a m b e nt u k e kst r i m
politik sebagai syariat negara mengemuka (separatisme) lahir akibat ketidakpuasan
kembali pasca masuknya Hizbut Tahrir daerah terhadap pemerintahan muda
Indonesia (HTI) dan berdirinya Front Soekarno. Sebut saja Republik Maluku
Pembela Islam (FPI) serta Majelis Selatan (RMS), dan periode selanjutnya
Mujahidin Indonesia (MMI). Di sisi dilanjut oleh lahirnya Gerakan Aceh
lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Merdeka (GAM), serta Gerakan Papua
sebagai wujud baru gerakan tarbiyah Merdeka (GPM). Rekonsiliasi di wilayah
yang mendamba lahirnya negara syariah Aceh bahkan melahirkan wajah menarik
juga muncul sebagai poros kekuatan dalam kontestasi politik dimana pada
baru Islam yang moderat dan bersedia prosesnya kemudian, banyak partai-partai
mengikuti mekanisme demokrasi. lokal Aceh yang mengikuti Pemilihan
Umum.

Politik Identitas 277

02 JURNAL BAWASLU.indd 277 12/6/17 3:47 PM


Kemudian dalam skup yang lebih yang berhasil menancapkan kukunya lebih
mikro, politik identitas di Indonesia juga dalam lagi pada era reformasi adalah
tidak bisa dipisahkan dari fenomena ‘broker lama’ yang pada masa sebelumnya
local strongmen khususnya di daerah- telah menjadi klien penguasa orde baru.
daerah. Penulis tidak menarik jauh pada Tetapi karena kemampuannya untuk
masa feodalisme karena pada masa ini, melakukan reorganisasi kekuatan –selama
kekuasaan di daerah dikuasai oleh hukum masa transisi menuju demokrasi- mereka
adat tradisional yang bersifat totaliter berhasil memanipulasi state of minds
dengan mencitrakan masyarakat sebagai publik sehingga menempatkan orang
“hamba” (Agustino, 2014), namun penulis kuat lokal menjadi semakin berkuasa
mencoba merujuk pada periodisasi dan berpengaruh di banding masa
kedatangan kolonial, dimana pada masa- sebelumnya”
masa tersebut, local strongmen memiliki Perpaduan local strongmen dengan
citra positif akibat adanya pembelaan kebangkitan politik identitas di daerah,
terhadap kepentingan rakyat yang sejatinya dapat memicu fenomena-
tertindas. Sayangnya, pasca kemerdekaan, fenomena yang cukup menarik, entah
terlebih pada masa kepemimpinan bermuara ke hasil positif maupun negatif.
Soeharto, local strongmen dibentuk Beberapa kasus di Indonesia di antaranya
sebagai kepanjangan tangan pusat, dan ialah perseteruan Kristen dan Muslim
bahkan cenderung menjadi kekuatan di Ambon serta tempat-tempat lain di
baru daerah yang sejatinya menjadi Maluku, kemudian kompetisi kekuasaan
pengejawantahan pusat. di kesultanan Ternate dan Tidore yang
Agustino kemudian memaparkan melahirkan friksi politik yang tajam di aras
bahwa local strongmen mengalami lokal di Maluku Utara (Van Klinken, 2007),
pergeseran peran pasca reformasi. persaingan etnik di Kalimantan Tengah
Perbedaan haluan dari ‘politik lama’ yang perlahan berkembang menjadi
yang tersentralisasi dan terkontrol kepada pertentangan dalam pemilihan umum
‘politik baru’ yang lebih terdesentralisasi dan Pilkada (Tansaldy, 2007), hingga
dan egaliter. Menurutnya: perseteruan antar elit dalam rangka
“setelah melewati bulan madu pembentukan daerah otonomi baru.
reformasi yang sebentar, para broker
politik dan local strongmen di level 4.3 Politik Etnis dan Upaya Mengelola
lokal mulai mengambil alih kekosongan Pemilu yang Demokratis
maupun memperkuat akses kontrolnya Dalam perkembangnya, demokrasi
terhadap politik lokal. Para broker dan saat ini memasuki tahap representasi
local strongmen yang mengambil alih politik yang tinggi. Pemilihan umum
kekosongan pemain dalam arena politik dianggap sebagai sarana partisipasi
lokal orde reformasi biasanya adalah politik. Pemilihan umum atau demokrasi
‘broker lama’ yang pada masa sebelumnya prosedural ini adalah pengejawantahan
tidak mampu atau tidak mendapatkan dari pengertian pemerintahan yang
kesempatan untuk bersaing dengan local diselenggaralan dari rakyat, oleh rakyat
strongmen sokongan rezim orde baru. dan untuk rakyat. Pemilu adalah lembaga
Sedangkan broker dan local strongmen sekaligus prosedur praktik politik untuk

278 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 278 12/6/17 3:47 PM


mewujudkan kedaulatan rakyat yang kompeten dalam perjuangan kompetitif
memungkinkan terbentuknya sebuah untuk suara dan kekuasaan (Held, 2007).
pemerintahan perwakilan (representative Seperti lazimnya kontes atau
government) yang menurut Robert Dahl kompetisi lain, dalam proses demokrasi
merupakan gambaran ideal dan maksimal peserta-peserta juga harus menyiapkan
bagi suatu pemerintahan demokrasi di diri menjadi yang paling layak untuk
zaman modern. Lev mendeskripsikan menang. Dalam hal pemilihan umum ini,
demokrasi sebagai ‘virtous conceit’ yang peserta pemilihan umum dituntut untuk
berarti bahwa demokrasi adalah sistem menggunakan berbagai cara agar menjadi
pemilihan representatif dengan aktualisasi layak dipilih oleh masyarakat, atau paling
dan potensi partisipasi yang derajatnya tidak terlihat layak dipilih. Pada akhirnya
cukup tinggi (Kingsbury, 2007). Demokrasi pemilihan umum dimaknai sebagai proses
kini tidak dapat secara harfiah hadir demokrasi untuk menentukan aktor-aktor
sebagai pemerintahan oleh rakyat, rakyat yang menduduki jabatan pemerintah
harus menunjuk wakil-wakilnya untuk yang nantinya berperan besar dalam
mengelola negara. Nilai-nilai demokrasi penentuan arah pemerintahan.
yang mementingkan kepentingan rakyat Pemilu sebagai salah satu mekanisme
tentu tidak dapat begitu saja dihilangkan demokrasi menjadi elemen kunci
dalam demokrasi kekinian. Pihak yang dalam demokrasi itu sendiri. Tanpa
dipilih oleh masyarakat sebagai wakilnya kompetisi pemilu bebas, adil dan teratur,
harus benar-benar mampu menjadi wakil pemerintah tidak dapat diadakan benar-
dan mendapat legitimasi dari masyarakat. benar bertanggung jawab terhadap
Schumpeter mendefinisikan rakyat. Pemilu adalah sebuah mekanisme
demokrasi sebagai kompetisi terbuka politik untuk mengartikulasikan aspirasi
diantara seluruh pemimpin politik d a n ke p e nt i n ga n wa rga N e ga ra .
dimana peran masyarakat adalah Setidaknya ada empat fungsi pemilu yang
mengalokasikan legitimasi kepada terpenting: legitimasi politik, terciptanya
seseorang atau sekelompok orang yang perwakilan politik, sirkulasi elite politik,
akan menjadi penguasa (Kingsbury, dan pendidikan politik (Hikam, 1999).
2007). Demokrasi sebagai sebuah model Karenanya, pemilihan umum hingga saat
politik, sebuah mekanisme untuk memilih ini adalah salah satu sistem yang paling
pemimpin politik dan kemampuan representatif atas berjalannya proses
dalam memilih para pemimpin politik demokrasi, hingga ada sebuah adagium
pada saat pemilihan. Menurutnya, bahwa “tidak pernah ada demokrasi
metode demokratis adalah penataan tanpa pemilihan umum”.
kelembagaan untuk sampai kepada Dalam sudut pandang representasi,
keputusan politik di mana individu meraih teori identitas sosial bisa digunakan
kekuasaan untuk mengambil keputusan untuk menjelaskan berhubungan antar
melalui perjuangan kompetitif untuk kelompok-yaitu, bagaimana orang datang
meraih suara. Demokrasi itu seperti untuk melihat diri mereka sebagai
‘pasar’, satu mekanisme institusional anggota dari satu kelompok / kategori
untuk menyisihkan yang terlemah (in-group) dibandingkan dengan yang
dan mendukung mereka yang paling lain (out-group), dan konsekuensi dari

Politik Identitas 279

02 JURNAL BAWASLU.indd 279 12/6/17 3:47 PM


kategorisasi ini, seperti etnosentrisme terlibat dalam pemilu dapat memanipulasi
(Turner et al. 1987). Identitas kultural identitas etnis sebagai alat memperoleh
– apakah ia dipahami dalam kaitan kekuasaan dan meributkan hasil pemilu.
dengan identitas ikatan persaudaran, ras, Beberapa konflik pemilu daerah yang
ataupun etnik – dibangun dalam konteks terjadi akibat mobilisasi dukungan politik
yang berhadap-hadapan dengan yang identitas untuk kepentingan elit jangka
lain. Oleh karenanya, batas-batas yang pendek. Simbolisasi ini dengan mudah
akhirnya menjadi diakui antar kelompok kita temukan dalam slogan “putra
etnik adalah produk dari definisi diri daerah”, seperti yang terjadi dalam
secara internal dan definisi eksternal oleh pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dengan
yang lain. Tentunya, rasa kepemilikan identitas betawi dan bukan betawi,
kelompok dan kemampuan membedakan pilgub Maluku Utara antara kelompok
kelompoknya sendiri dengan kelompok Tidore dan Ternate yang sampai masuk
yang lain, merentang jauh ke belakang ke ranah sengketa pemilu di Mahkamah
dalam sejarah masa lalu (Schultz, Emily Konstitusi (Salim, 2015). Yang menarik
and Lavenda, 2001). Memiliki identitas bahwa kebangkitan symbol “putra
sosial tertentu berarti menjadi satu daerah” sejalan dengan kebangkitan
dengan kelompok tertentu, menjadi local strongmen yang juga terlibat dalam
seperti orang lain dalam kelompok, kontestasi pemilu. Terutama setelah
dan melihat sesuatu dari perspektif kebijakan pemilu kepala daerah langsung.
kelompok. Hal mengenai pembentukan Masyarakat dengan mudah digiring kepada
identitas politik ini yang kemudian isu-isu primordial atas nama kedaerahan
serupa dengan pelekatan identitas dan putra daerah yang semu. Bukan
pemimpin populis yang selalu mengacu kepada gagasan membangun daerah
‘atas nama rakyat’ yang membedakan dengan kekhasan nilai-nilai lokal namun
kedudukan antara ‘Kita Vs Mereka’, semata memperoleh kekuasaan elit local
dimana ‘kita’ adalah lowest sector strongmen/putra daerah tersebut dengan
society yang diperjuangkan dan ‘mereka’ modal politik identitas.
adalah para elit politik yang dianggap Identitas yang bersifat primordial
tidak peduli dan bertanggungjawab semacam ini lah yang memang perlu
terhadap masalah publik terutama diluruskan dan diwaspadi sebagai
masyarakat yang tereksklusi. Identitas bibit konflik yang mengancam proses
ini menjadi instrumen demokrasi yang demokratisasi pemilu. Tidak hanya
membuat para aktor politik identitas mengancam konflik komunal, tetapi juga
berjuang untuk meraih kesetaraan politik melanggar substansi representatif pemilu
dengan memasuki ranah politik, dimana karena politik identitas dimaknai hanya
demokrasi sejatinya juga memberi sebatas kendaraan politik para “elit lokal”
mereka kesempatan untuk tidak lagi untuk masuk ke dalam pusaran sirkulasi
tereksklusikan dari politik. elit yang diproseskan lewat pemilu dengan
Politik identitas yang bersifat memanipulasi dukungan kelompok etnis.
material dan hanya digunakan untuk Hal ini memunculkan tantangan bagi
memperebutkan kekuasaanlah yang masyarakat etnis dalam mewujudkan nilai-
mengancam kohesi sosial. Elit politik yang nilai kepemimpinan berdasarkan kearifan

280 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 280 12/6/17 3:47 PM


lokal etnisitas agar dapat diartikulasikan penuh dalam berbagai bidang kegiatan
dalam sebuah kepemimpinan daerah masyarakat terutama dalam pemilihan
maupun nasional, yang berarti masyarakat umum.
etnis harus membuat nilai-nilainya Dengan kebangkitan politik identitas
dapat pula diterima oleh identitas etnis etnis, Indonesia tidak kembali mundur
lain yang ada di Indonesia. Tentunya ke era pemilih kultural namun, basis
untuk menghindari etnosentrisme yang etnis ini dapat dipahami secara rasional
justru, dengan kondisi sosial masyarakat tidak hanya sebatas kesamaan etnis atau
Indonesia yang beragam dan majemuk, sebatas figure aktor politik yang mewakili
akan memicu potensi konflik. Padahal etnis tertentu, tapi melihat nilai politik
dengan memberi ruang kepada politik identitas yang dibawa oleh figur calon
identitas, kemungkinan memperbesar sesuai dengan kearifan lokal identitas
potensi partisipasi politik masyarakat tersebut atau tidak. Sehingga tuduhan-
daerah bisa lebih tinggi. Demokratisasi tuduhan pemilih kultural, pemilih irasional
dan desentraslisasi harus menjadi alasan tidak lagi tersemat dan terstereotipkan
utama meningkatnya partisipasi politik kepada masyarakat Indonesia yang
masyarakat melalui politik identitas. memang memilih berdasarkan preferensi
Tidak lagi ada ekslusi, inferioritas dan politik identitas etnis.
keterkungkungan menentukan nasib Politik identitas etnis harus digiring
daerah, karena melalui pemilu langsung sebagai kesadaran bersama memperkaya
daerah, masyarakat menentukan kearifan lokal dalam mengisi konsep-
representasinya untuk mengubah nasib konsep kepemimpinan dan pembangunan
dan wajah daerahnya secara sadar dan di Indonesia, bukan semata menjadi
bertanggung jawab bersama. kendaraan politik para elit dengan
Untuk itu, masyarakat etnis harus mengatasnamakan etinisitas untuk terlibat
kembali menonjolkan bahwa nilai-nilai dalam sirkulasi elit lewat mekanisme
kepemimpinan berdasarkan keraifan pemilu. Hal ini yang sebenarnya perlu
lokal etnisitas yang harus dijunjung tinggi dihindari. Oleh sebab itu, diperlukan
menjadi sebuah nilai yang universal bukan penguatan institusi politik untuk
mengedepankan “keakuan” identitas memberikan sosialisasi dan pendidikan
etnis semata. Masyarakat etnis harus politik mengenai politik identitas yang
memiliki paham multikulturalisme, esensial mengenai perjuangan hak
dimana multikulturalisme mengakui dan gagasan politik. Partai politik juga
berbagai potensi dan legitimasi keragaman tidak boleh menutup mata dan hanya
dan perbedaan sosio-kultural tiap-tiap menggunakan politik identitas sebagai
kelompok etnis, ras, agama, dan entitas bahan marketing saja. Tentu saja ini
kebudayaan. Dalam pandangan ini baik menjadi tugas bersama, baik dari lembaga
sebagai individu maupun kelompok dari penyelenggara pemilu, partai politik,
berbagai kesatuan sosial bisa bergabung hingga budayawan dan tokoh masyarakat
dalam masyarakat, terlibat dalam societal di daerah.
cohesion tanpa harus kehilangan identitas Membumikan nilai-nilai kearifan lokal
kulturalnya, sekaligus tetap memperoleh sebagai dasar pijakan berpolitik dengan
hak-hak mereka untuk berpartisipasi identitas etnis adalah sebuah hak asasi

Politik Identitas 281

02 JURNAL BAWASLU.indd 281 12/6/17 3:47 PM


yang melekat pada manusia. Sebuah politik identitas yang berbasis etnis,
keniscayaan demokrasi yang dilindungi dan bukan berarti kita kembali kepada
wajib dijaga demi tercapainya kehidupan sebuah bentuk primordialisme, tetapi
demokrasi yang lebih baik. Sehingga bagaimana menciptakan sebuah nilai
Indonesia bisa lebih kaya memproduksi multikulturalisme yang bisa diartikulasikan
pengetahuan melalui konsep-konsep dan secara universal. Multikulturalisme
gagasan lokal tentang kehidupan politik, lebih sekadar dari pengakuan terhadap
sosial, ekonomi, pembangunan dan perbedaan, tetapi membuka ruang
sebagainya yang memang lebih cocok untuk akses dan berekspresi bagi semua
karena hasil ekstraksi dari kebudayaan elemen keanekaragaman tersebut dengan
luhur bangsanya sendiri seperti halnya bersandar pada jati diri masing-masing,
pancasila. Apabila demokrasi Indonesia dan kemudian saling berkomunikasi tanpa
yang saat ini diakui adalah demokrasi harus saling mematikan satu sama lain.
pancasila, maka menjadi kewajiban Pun demikian dengan kepemimpinaan
Negara, setiap etnis dan setiap suku etnis, jika ingin diekspresikan sebagai
di Indonesia dikembangbiakan bibit sebuah bentuk identitas politik dan dapat
demokrasi yang terus menghidupkan diwujudkan secara nyata, adalah dengan
pancasila sebagai landasan politik mencirikan dirinya sebagai paham, jalan
keberagaman. kehidupan yang universal, didasarkan
bukan karena balas dendam masa lalu
5. Simpulan yang merasa tereksklusi politik nasional,
Kajian budaya politik yang tetapi sebagai wujud sumbangsih bagi
kebanyakan menyoroti perilaku politik demokratisasi di Indonesia agar berjalan ke
yang didasarkan pada etnisitas tertentu arah yang sesuai dengan harapan, dengan
dan menganggapnya sebagai bagian cara berusaha mengartikulasikan nilai-
dari hambatan demokratisasi, haruslah nilai kearifan lokal yang diejawantahkan
dirubah. Kita harus memandang politik dalam kepemimpinan etnis baik daerah
identitas etnis dari sudut pandang maupun nasional.
nilai-nilai etnis yang ada di Indonesia Pemilu dengan politik identitas
sebagai suatu nilai yang universal dan jangan lagi dipandang menjadi momok
dapat diterima dan diaplikasikan dalam de-demokratisasi Indonesia melainkan
pemikiran dan perilaku masyarakat menjadi ciri khas demokrasi Indonesia
Indonesia secara keseluruhan, dengan yang mengakui ragam identitas dan
harapan dapat membawa arah merestuinya untuk berkontestasi secara
demokratisasi ke arah yang lebih baik. sehat melalui mekanisme pemilu yang
Merenungkan kearifan lokal bukan demokratis. Tidak hanya aktor politik
berarti kembali ke masa lalu atau identitasnya saja sebagai subjek pemilu,
menjadi masyarakat tradisional lagi, tetapi juga mempromosikan nilai-nilai
namun mencari mutiara-mutiara para identitas dalam bingkai kearifan lokal yang
leluhur dan menjadikannya sebagai disebarluaskan untuk secara konstruktif
pegangan setiap langkah ke depan. membangun Indonesia menjadi lebih
Begitu pun ketika memandang sebuah baik. Sehingga dalam hal ini politik
identitas etnis bukanlah sesuatu yang

282 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 282 12/6/17 3:47 PM


dapat mengancam integrasi dan kesatuan, akan mengantarkan kita untuk dapat
namun sebuah kearifan lokal yang memprediksi apa yang terjadi di masa
universal, nilai-nilai budaya etnis yang mendatang, tentunya untuk tujuan
multikultural, yang dapat menjaga masyarakat yang lebih baik mencapai
harmonisasi dalam kemajemukan dan negara demokrasi yang sejahtera, seperti
pluralitas budaya di Indonesia, juga diungkap oleh John Naisbitt, “the most
sebagai jawaban atas krisis kepemimpinan reliable way to forecast the future is to try
saat ini. Fenomena ini penting untuk understand the present” (Alfian, 2009).
dikaji karena mempelajari kondisi kekinian

Politik Identitas 283

02 JURNAL BAWASLU.indd 283 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. U. (2002). Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesia Tera.


Agustino, L. (2014). Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Bandung: Alfabeta.
Alfian, M. A. (2009). Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Chandakirana, K. (1989). Geertz dan Masalah Kesukuan. Jakarta. Prisma No. 2/1969
Gaffar, A. (2006). Politik Indonesia, Sebuah Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Held, David. (2007). Models of Democracy. Jakarta : Akbar Tandjung Institute.
Hikam, Muhammad AS. 1999. Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokrasi di
Indonesia. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
Horowitz, D. L. (1993). The Challenge of Ethnic Conflict: Democray in Divided Societies.
Journal of Democracy vol. 4, no. 4.
Gandhi, L. (2006). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Yogyakarta:Qalam
Giddens, A. (1991). Modernity and Self-Identity. California: Stanford University Press.
Kingsbury, D. (2007). Political Development. New York : Routledge.
Maarif, A. Syafii. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta:
Democracy Project.
Maunati, Y. (2004). Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta:
LKiS
Mortimer, R. (2006). Indonesian Communism Under Soekarno: Ideology and Politics,
1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, K. (2015). Politik Identitas di Maluku Utara. Jurnal Kajian Politik dan Masalah
Pembangunan Vol 11 No. 02. 2015.
Schultz., et.al (2001). Anthropology:  A Perspective on the Human Condition, Third
Edition. USA: St. Cloud State University
Stets & Burke. (2000). Identity Theory and Social Identity Theory. Social Psychology
Quarterly, Vol. 63, No. 3. American Sociological Association.
Van Klinken, G. (2007). Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small
Town Wars. London: Routledge.

284 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 284 12/6/17 3:47 PM


Jurnal Bawaslu
ISSN 2443-2539
Paskarina, C.
Vol.3 No. 2 2017, Hal. 285-297

NARASI IDENTITAS POPULIS


DALAM DEMOKRASI ELEKTORAL

Caroline Paskarina
Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran/Jatinangor, Indonesia,
caroline.paskarina@unpad.ac.id

ABSTRACT

This article discusses how identity is narrated in the arena of power struggles in the
context of electoral democracy. Narration of identity tends to be strenghten in various
political events, including elections of regional heads. To uncover the narrative, this
article uses populism as a conceptual framework. By conducting a critical literature
review of the conceptualization of populism as identity politics, this article finds that
identity is transformed into a form of nativism that is an expression of a majority
group who feels marginalized. Politicization of identity through this populist narrative
eventually tends to racist practices, and in the end would undermine the democratic
order itself. The strengthening of populism which is signed by politicization of identity
is a warning that needs to be responded by the change of political domination of
the elite, who structurally taking advantage from the formal arrangement of liberal
democracy. The electoral process needs to be balanced with the substantive change
of power relation.

Keywords
Identity, Populism, Electoral Democracy

Politik Identitas 285

02 JURNAL BAWASLU.indd 285 12/6/17 3:47 PM


ABSTRAK

Tulisan ini membahas bagaimana identitas dinarasikan dalam arena pertarungan


kuasa yang berlangsung dalam konteks demokrasi elektoral. Narasi tentang identitas
cenderung menguat dalam berbagai event politik, termasuk pemilihan kepala daerah.
Untuk mengungkap narasi tersebut, tulisan ini menggunakan populisme sebagai
kerangka konseptual. Dengan melakukan kajian literatur terhadap konseptualisasi
populisme sebagai politik identitas, tulisan ini menemukan bahwa telah terjadi
pergeseran politik identitas dalam konteks populisme. Identitas dinarasikan sebagai
bentuk nativisme yang merupakan ekspresi dari kelompok yang secara demografis
mayoritas tapi merasa termarjinalkan. Politisasi identitas melalui narasi populis ini
dalam jangka panjang beresiko mengarahkan demokrasi populer ke dalam praktik-
praktik yang cenderung rasis, yang pada gilirannya melemahkan tatanan demokrasi itu
sendiri. Menguatnya populisme yang ditandai dengan politisasi identitas merupakan
peringatan yang perlu direspon dengan mengubah dominasi politik elit yang secara
struktural diuntungkan oleh pola pengaturan formal demokrasi liberal, sehingga
proses elektoral perlu diimbangi dengan perubahan relasi kekuasaan secara substantif.

Kata Kunci
Identitas, Populisme, Demokrasi Elektoral

1. Pendahuluan penanganan masalah-masalah sosial


Pemilihan Gubernur DKI Jakarta lainnya di Jakarta.
tahun 2017 menjadi event politik Menguatnya politik identitas berbasis
yang paling menarik perhatian publik, agama dalam pemilihan Gubernur DKI
terutama karena isu SARA yang demikian Jakarta menjadi fenomena menarik
pekat mewarnai pertarungan antardua karena muncul dalam bayang-bayang
pasang kandidat yang masuk ke putaran kebangkitan populisme. Dalam konteks
kedua. Bermula dari kasus penistaan global, kebangkitan populisme juga
agama yang dituduhkan kepada Basuki terjadi di berbagai belahan dunia.
Tjahaya Purnama (atau populer dengan Karakter pemerintahan Trump di Amerika
sebutan Ahok), petahana Gubernur Serikat yang ingin membangkitkan
DKI Jakarta, yang kemudian diikuti kembali supremasi Amerika Serikat, dan
dengan rangkaian demonstrasi yang kelanjutan dari sentimen politik Brexit
mengatasnamakan aksi pembelaan akan menyuburkan tumbuhnya kembali
terhadap agama tertentu. Isu penistaan sentimen identitas. Kecenderungan
agama bahkan melampaui isu-isu lain serupa juga menguat di Asia, seiring
yang sebenarnya lebih banyak berkaitan dengan kemenangan figur politisi populis
dengan pengelolaan urusan publik, dalam pemilu di India dan Filipina. Di
seperti isu reklamasi, tata kota, dan Indonesia, menguatnya dukungan pada

286 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 286 12/6/17 3:47 PM


kelompok Islam konservatif, seperti mendorong agenda kapitalisme modern
tampak dalam Pilkada DKI Jakarta, yang berimplikasi pada peminggiran elit-
menjadi indikasi menguatnya populisme. elit lama yang selama ini diuntungkan
Berbagai kecenderungan tersebut dengan modus akumulasi rente. Sementara
menunjukkan bahwa kebangkitan pertentangan nilai-nilai budaya menjadi
populisme, tidak dapat dilepaskan dari pemicu populisme ketika masuknya
politisasi identitas. Politik identitas identitas dan kebudayaan baru menyerang
pada awal perkembangannya dikaji keberadaan nilai-nilai lama yang dianut
sebagai suatu bentuk ekspresi perjuangan oleh mayoritas warga, yang kemudian
dari kelompok-kelompok minoritas memicu respon balik yang reaksioner.
untuk memperoleh pengakuan akan Warga mayoritas ini merasa bahwa mereka
eksistensinya. Hal ini tergambar dari harus mengklaim ulang kepemilikan
banyaknya gerakan politik identitas yang nilai-nilai masyarakat yang ada melalui
muncul sebagai bentuk perjuangan dari penolakan terhadap identitas baru.
kelompok-kelompok etnis, agama, gender Dalam konteks politik populis ini,
atau kelompok-kelompok kepentingan narasi tentang identitas mengalami
lain yang selama ini termarginalkan pergeseran. Politik identitas tidak lagi
oleh kebijakan-kebijakan mayoritas atau menjadi strategi dari kelompok minoritas
kebijakan-kebijakan lain dari kelompok untuk memperjuangkan eksistensinya,
yang dominan. Politik identitas yang tetapi justru yang muncul adalah
muncul sebagai perwujudan populisme, perjuangan kelompok-kelompok mayoritas
sebaliknya, justru menjadi strategi berhadapan dengan kepentingan
politik dari kelompok mayoritas untuk global yang terus mendesak mereka di
mempertahankan eksistensi dirinya. dalam negeri. Populisme menyuarakan
Konteks kapitalisme global telah keterpinggiran kelompok mayoritas di
memunculkan bentuk-bentuk persaingan tengah persaingan ekonomi dan budaya
di mana kelompok mayoritas justru global.
menjadi kelompok yang termarginalkan, Kemunculan populisme juga memicu
sehingga berkembanglah populisme atau perdebatan akademik, menyangkut
praktik politik populis yang muncul untuk dampak positif atau negatif yang
memperjuangkan kelompok-kelompok d i b awa nya te r h a d a p d e m o k ra s i .
mayoritas ketika berhadapan dengan Kelompok yang kontra memandang
tekanan-tekanan global (Inglehart dan populisme sebagai kondisi patologis dari
Norris, 2016; Hadiz, 2016). perkembangan demokrasi liberal. Hal ini
Seperti dikatakan Inglehart dan disebabkan oleh ketidaksiapan sistem
Norris (2016), populisme muncul demokrasi terhadap perubahan relasi
karena 2 kondisi, yakni pertama, karena budaya karena globalisasi, sementara
kesenjangan ekonomi dan yang kedua, relasi kekuasaan masih didominasi oleh
karena pertentangan nilai-nilai budaya kekuatan lama yang masih berada dalam
(kultural). Dalam konteks politik ekonomi, lingkar kekuasaan.
kalangan populis dianggap sebagai bagian Peminggiran akibat kombinasi
dari kekuatan lama yang hendak melawan antara dominasi pengelolaan ekonomi
dominasi elit baru. Elit baru hendak (kapitalisme) neoliberal yang disertai

Politik Identitas 287

02 JURNAL BAWASLU.indd 287 12/6/17 3:47 PM


dengan depolitisasi demokrasi liberal Narasi identitas dalam analisis tulisan
melalui pengerdilan ruang politik sebatas ini menjadi bahan untuk menganalisis
politik formal (pemilu dll), kemudian bagaimana kecenderungan menguatnya
dimanfaatkan oleh elit-elit politik yang populisme sebagai politik identitas perlu
sedang bertarung dengan menggunakan direspon untuk mengantisipasi meluasnya
retorika populis untuk mendapatkan kerentanan sosial, khususnya dalam
dukungan dalam ruang demokrasi yang menghadapi event pemilihan umum
ada. Oleh karenanya, tidak ada yang berikutnya.
alamiah dari identitas atau kebudayaan
suatu masyarakat. Identitas menjadi 2. Metode Penelitian
konstruksi kekuasaan yang diciptakan Tu l i s a n i n i i n g i n m em eta ka n
untuk memperjuangkan eksistensi suatu konseptualisasi populisme sebagai politik
entitas dalam ruang politik. identitas melalui metode tinjauan literatur
Fokus dari tulisan ini adalah kritis. Metode ini dilakukan dengan
mengungkapkan bagaimana identitas menggunakan teknik pemetaan diskursus,
dinarasikan dalam konteks politik populis yang dikembangkan oleh Sujatha Sosale
yang muncul dalam praktik demokrasi (2007), khususnya untuk menyediakan
elektoral. Alih-alih dilihat sebagai kerangka kerja, metode, dan model
patologi, populisme perlu ditempatkan analisis. Menurutnya, sumber-sumber
sebagai gejala dari problem internal untuk memetakan diskursus bisa berasal
ekonomi-politik demokrasi yang berlaku dari serangkaian teks, berupa arsip-arsip
sekarang. Karena kepentingan untuk kebijakan, penerbitan-penerbitan ilmiah,
menciptakan masyarakat pasar yang laporan-laporan, dan dokumen-dokumen
kompetitif, neoliberalisme menciptakan resmi. Kajian atas teks itu bisa memberi
masyarakat yang sangat rentan karena petunjuk untuk melihat upaya berbagai
minimalnya perlindungan negara. Kondisi kelompok dalam periode sejarah tertentu
kerentanan ini semakin parah ketika dalam membangun apa yang disebut
masyarakat tidak memiliki akses ke sebagai selected meaning, sekaligus untuk
saluran-saluran politik formal. Struktur memeriksa gagasan-gagasan apa yang
negara yang ada sudah semakin kebal bekerja di belakangnya, juga preferensi-
dari kepentingan masyarakat yang preferensi teoretis yang dipakainya.
terkena dampak kerentanan itu sendiri. Metode ini secara implisit akan
Oleh karenanya, politik serta capaian dipakai sebagai panduan umum untuk
negara yang ada menjadi sekadar sarana memetakan diskursus populisme. Tentu
penguasaan segelintir kelompok elit. Hal saja ini adalah upaya awal untuk kajian-
inilah yang kemudian menciptakan kondisi kajian serupa yang lebih serius di masa
material bagi tumbuhnya perasaan depan. Tulisan ini hanya akan memberikan
marah dari mereka yang terpinggirkan. pengantar umum khususnya untuk
Kekecewaan dan kemarahan tersebut mendeteksi wacana-wacana besar yang
memicu munculnya gerakan-gerakan sedang berkembang, dan bagaimana
protes bahkan perlawanan terhadap posisi teoretis masing-masing.
sistem politik yang elitis.

288 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 288 12/6/17 3:47 PM


3. Perspektif Teori struktural dalam melawan struktur atau
Populisme memiliki makna yang luas, rezim yang hegemonik.
setidaknya terdapat 4 (empat) perspektif Perspektif ketiga, populisme sebagai
dalam menjelaskan populisme. Pertama, gaya komunikasi politik. Perspektif ini
populisme sebagai ideologi. de Raadt, berangkat dari asumsi bahwa satu-
et.al. (2004) memahami populisme satunya penciri yang sama dari berbagai
sebagai ideologi yang dianut partai politik gerakan populis adalah keterkaitannya
untuk mendefinisikan siapa ‘rakyat’ itu dengan ‘rakyat’, sehingga populisme
dan bagaimana ‘rakyat’ direpresentasikan kemudian dipahami sebagai gaya politik
dalam program-program partai politik. yang dipakai untuk menjangkau berbagai
Dalam konteks ini, populisme lebih kelompok sosial dan politik (Taguieff, 1995;
dari sekedar strategi politik ataupun Moffitt and Tormey, 2014; Grbeša and
gaya komunikasi politik. Sebagai Šalaj, 2016). Populisme bukanlah sebuah
ideologi, populisme diterjemahkan ke ideologi, melainkan sekedar bahasa dan
dalam 3 (tiga) dimensi utama, yakni: retorika politik yang intinya menghendaki
populisme memadukan kehendak untuk kesederhanaan dan hubungan yang
memperjuangkan aspirasi ‘rakyat’ dengan bersifat langsung antara pemimpin dan
kritik terhadap kemapanan sistem. warga negara. Dalam perspektif ini,
Hal ini dilakukan dengan menuntut populisme tidak dapat dipandang sebagai
hubungan langsung antara para pemimpin ideologi karena gerakan-gerakan populis
politik dengan wargan negara (de Raadt, tidak memiliki pernyataan sikap yang
Hollanders, and Krouwel, 2004). jelas dan koheren terhadap sebagian
Dalam perspektif kedua, populisme besar isu-isu politik kontemporer dan di
dimaknai sebagai tantangan terhadap atas segalanya, gerakan-gerakan populis
struktur yang mapan. Canovan (1999) ini tidak memiliki nilai-nilai esensial,
mendefinisikan populisme sebagai seperti kebebasan, kesetaraan, atau
keberpihakan pada ‘rakyat ’ dalam keadilan sosial.
berhadapan dengan struktur kekuasaan Seiring dengan menurunnya peran
yang mapan serta ide-ide dan nilai-nilai partai politik dan perubahan di tataran
yang dominan dalam masyarakat. Dimensi global yang menciptakan ketidakpastian
struktural dalam relasi kekuasaan ini sosio-ekonomi dan berdampak pada
pada gilirannya membentuk karakteristik keresahan sosial, muncul varian baru
populisme dalam menentukan kerangka dari populisme. Perspektif keempat
kerja yang legitimate, gaya politik, memahami populisme sebagai figur
bahkan semangat perjuangan populisme. aktor atau gerakan yang mengusung isu
Populisme tidak hanya menantang para antikemapanan dan berhasil memperoleh
pemegang kekuasaan yang telah mapan, dukungan publik untuk membentuk
tetapi juga nilai-nilai yang dianut dan pemerintahan baru. Kaum populis
diterapkan oleh kalangan elit politik berhasil memobilisasi dukungan publik
(Taggart, 1996 dalam Meny and Surel, dengan ‘menyerang’ kelompok lain yang
2002). Perspektif ini, pada dasarnya, diposisikan sebagai musuh bersama,
memaknai populisme dalam konteks misalnya kelompok-kelompok domestik
atau asing yang dituduh melakukan

Politik Identitas 289

02 JURNAL BAWASLU.indd 289 12/6/17 3:47 PM


eksploitasi atas sumber-sumber daya Ke e m p a t p e r s p e k t i f d i a t a s
ekonomi. Di sisi lain, kelompok populis m e n u n j u k k a n ke l u a s a n l i n g k u p
juga mendekati kaum miskin sebagai populisme secara konseptual, sekaligus
bentuk keberpihakan (Mietzner, 2015). kecenderungan kekinian yang berkembang
D a l a m s e j u m l a h ka s u s , p a ra dalam praktik-praktik bernuansa populis.
pendukung populisme telah berhasil Populisme yang bernuansa pragmatis
meraih kemenangan dalam pemilihan seperti dikemukakan Mietzner (2015)
umum dan mengisi posisi pemerintahan. memunculkan kembali perdebatan tentang
Keberhasilan mereka untuk masuk kaitan populisme dan demokrasi. Panizza
ke d a l a m s i ste m p e m e r i nta h a n , (2017) mempertanyakan apakah populisme
menghadirkan praktik populisme baru, menjadi masalah bagi demokrasi ataukah
bukan sebagai ideologi yang melawan sesungguhnya populisme itu sendiri yang
kemapanan struktur kekuasaan, tetapi problematik karena perwujudannya yang
sebagai figur politisi dengan dukungan semakin pragmatis dalam merespon
popular. Mietzner (2015) menjelaskan perubahan global dan praktik demokrasi
lebih lanjut bahwa populisme baru liberal yang cenderung meminggirkan
ini lebih bersifat pragmatik ketimbang kelompok-kelompok yang tidak memiliki
ideologi. Karenanya, populisme pragmatik posisi tawar cukup untuk berkompetisi.
ini cenderung menampakan diri sebagai Fenomena populisme kontemporer,
sosok yang inklusif, nonkonfrontatif, dan seperti yang berkembang di Eropa dan
mendukung praktik-praktik demokratis. Asia saat ini, menunjukkan kecenderungan
Ketiadaan kritik ideologis terhadap struktur pragmatis ketimbang ideologis. Canovan
kekuasaan yang mapan menjadikan (2004) menyebutnya dengan istilah
populisme baru ini tampak lebih moderat New Populism, yakni gerakan politik
ketimbang populisme yang dipahami ‘kanan’ yang terutama mengkritisi praktik-
dalam perspektif ideologis dan struktural. praktik demokrasi liberal yang dilakukan
Keberpihakan kepada ‘rakyat’ yang partai politik dan kebijakan-kebijakan
digaungkan oleh pengusung populisme mainstream. Gerakan New Populism
sesungguhnya lebih merupakan bagian mengklaim dirinya sebagai representasi
dari konstruksi citranya agar tampak dari ‘rakyat’ sebagai pemegang kekuasaan
s e o l a h - o l a h m e n j a d i p e n d u ku n g yang legitimate, tetapi kepentingan
praktik demokrasi karena berpihak kepentingan dan aspirasinya justru
pada masyarakat umum. Selain itu, diabaikan oleh para politisi yang berkuasa.
kelompok populis juga memanfaatkan Klaim ini yang mendasari gerakan New
gejala ketidakpercayaan publik kepada Populism untuk bersikap pragmatis
politisi dan birokratisasi pelayanan publik dengan menyesuaikan diri dengan
sebagai klaim pembenaran atas tawaran aspirasi yang berkembang di sekitarnya.
perubahan yang berorientasi pada Posisi yang dipilih dan nilai-nilai yang
penyederhanaan dan kelangsungan dalam diperjuangkannya bergantung pada
pola relasi kekuasaan. Isu-isu ini diangkat kemapanan yang dilawannya.
sebagai dasar untuk meraih dukungan Keempat perspektif teoretik tentang
publik melawan otoritas yang berkuasa. populisme juga menegaskan esensi
gagasan populisme adalah keberpihakan

290 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 290 12/6/17 3:47 PM


kepada ‘rakyat’. Dalam konteks ini, berbeda sebagai musuh dari ‘rakyat’,
identitas menjadi faktor penting dalam sehingga mengarah pada polarisasi bahkan
membangun posisi populisme karena konflik sosial.
populisme selalu memperhadapkan sosok Demokrasi elektoral menjadi lahan
diri (‘rakyat’) dengan sosok liyan (the yang subur bagi tumbuhnya para politisi
other), antara sosok yang berkuasa dan yang menggunakan populisme sebagai
yang tuna kuasa, bahkan antara rezim politik identitas. Isu keberpihakan pada
yang mapan dan yang terpinggirkan. ‘rakyat’, bahkan pendefinisian ulang siapa
Sebagai politik identitas, populisme itu ‘rakyat’ memperoleh momentum dalam
beroperasi pada tataran diskursus untuk kompetisi elektoral yang berlangsung di
membentuk praktik-praktik simbolis tengah kondisi ketidakpercayaan publik
yang mempertahankan klaim-klaim yang makin meningkat terhadap institusi
identitas yang saling bertentangan dan politik formal. Populisme dalam kompetisi
terdislokasi (Panizza, 2017). Identitas elektoral tidak hanya mengusung isu-isu
menentukan siapa jatidiri kita, apa antikemapanan, tetapi juga memelihara
yang kita inginkan, bagaimana cara kita sentimen perlawanan terhadap identitas
memandang diri sendiri, dan bagaimana ya n g d i a n g ga p m en ga n ca m b a g i
posisi kita dalam relasi dengan orang keberadaan kelompoknya. Situasi inilah
lain. Karena itu, identitas menjadi hal yang menyebabkan kerentanan sosial
yang kompleks, relasional, sekaligus tidak semakin kuat.
utuh karena sesungguhnya identitas
hanyalah sebutan yang diberikan atas 4. Hasil dan Pembahasan
apa yang dikehendaki tetapi tidak Studi tentang populisme kontemporer
sepenuhnya dapat dicapai (Panizza, menunjukkan bahwa populisme pada
2017). Pembentukan identitas mencakup dasarnya merupakan praktik politik
proses konstruksi pembedaan-pembedaan identitas, dalam pengertian sebagai
dan pertentangan-pertentangan untuk proses pembentukan identitas ‘rakyat’
menentukan batasan antara ‘insiders’ dan berhadapan dengan kelompok lain yang
‘outsiders’, antara diri dan yang liyan. dianggap memarginalkan kepentingan
Müller (2016) menegaskan bahwa ‘rakyat’. Populisme dalam konsepsi
populisme adalah selalu merupakan politik tersebut menunjukkan wajah perlawanan
identitas, tapi sebaliknya, tidak semua yang tidak saja antikemapanan, sekaligus
politik identitas dapat dikategorikan sebagai juga antipluralisme. Hal inilah yang
populisme. Identitas yang dipakai dalam membuat populisme menjadi “pisau
konteks populisme adalah identitas yang bermata dua” bagi pertumbuhan
eksklusif, yang secara tegas memisahkan demokrasi.
antara diri dan kelompok yang lain, Pada bagian pembahasan ini, akan
yang kemudian menyebabkan populisme diuraikan bagaimana identitas dinarasikan
menjadi ancaman bagi demokrasi. dalam konteks populisme di Indonesia.
Keyakinan yang dianut populisme bahwa Untuk memahami narasi tersebut,
identitas dan kelompoknya adalah true terlebih dahulu diuraikan konteks yang
citizen atau ‘rakyat’ itu sendiri menjadikan melatarbelakangi menguatnya populisme
identitas dan kelompok-kelompok yang di Indonesia.

Politik Identitas 291

02 JURNAL BAWASLU.indd 291 12/6/17 3:47 PM


Inglehart dan Norris (2016) keberpihakan kepada kaum miskin dan
mengasumsikan menguatnya populisme masyarakat perdesaan. Kepemimpinan
d i s e b a b ka n o l e h d u a h a l , ya k n i yang kuat menjadi faktor penentu untuk
kesenjangan ekonomi dan pertentangan melakukan perubahan. Prabowo menjadi
kultural. Menariknya, Inglehart dan figur yang merepresentasikan gagasan
Norris (2016) berargumen bahwa populisme klasik yang sepenuhnya
kesenjangan ekonomi bukanlah faktor menentang kemapanan sistem yang
utama. Dukungan terhadap politisi populis berkuasa (Mietzner, 2015).
ternyata tidak menunjukkan korelasi Joko Widodo, sebaliknya, mengusung
kuat dengan tingkat pengangguran, gagasan populisme yang berbeda.
tingkat pendapatan rumah tangga Mietzner (2015) mendeskripsikan gagasan
atau status pekerjaan (terdidik/tidak populisme versi Joko Widodo sebagai
terdidik). Dukungan terhadap populisme populisme teknokratis, di mana: (1) tidak
juga tidak berkorelasi kuat dengan ada tawaran untuk melakukan perubahan
perasaan subjektif tentang kerentanan secara masif dan terstruktur terhadap
ekonomi (economic insecurity). Di sinilah sistem yang sudah ada, tetapi melakukan
mengapa pertentangan kultural (cultural perubahan secara gradual dalam bingkai
backlash)  lebih menjelaskan fenomena sistem demokrasi yang berlaku; (2) tidak
dukungan atas populisme. ada kelompok tertentu yang dianggap
Kemunculan populisme di Indonesia sebagai lawan, bahkan yang dimunculkan
memiliki keunikan dibandingkan di adalah inklusivitas yang merangkul semua
negara-negara lain. Kendati juga dipicu kelompok dan golongan; selain itu, (3)
oleh menurunnya kepercayaan kepada Jokowi cenderung tidak mengeksploitasi
institusi formal dan globalisasi yang retorika antiasing, sebaliknya, ia memilih
membawa serta nilai-nilai baru dalam meningkatkan pelayanan publik untuk
relasi sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi menjamin distribusi sumber daya yang
mayoritas kandidat yang bertarung dalam lebih merata; dan (4) membina kedekatan
proses elektoral di Indonesia membawa hubungan personal dengan rakyat.
isu antikemapanan dan perubahan. Hal Di antara kedua varian populisme
ini menarik karena membuat pemilahan tersebut, populisme teknokratis yang lebih
antara kelompok ‘rakyat’ dan ‘elit’ moderat tampaknya lebih mudah diterima
menjadi samar. oleh sebagian besar pemilih, sehingga
Dalam pemilihan presiden 2014, Jokowi dapat meraih kemenangan
ada dua kandidat yang sama-sama dalam Pemilihan Presiden 2014. Hal ini
mencitrakan diri sebagai politisi populis, menunjukkan bahwa kendati banyak
kendati mengusung isu yang berbeda. kritik dan ketidakpuasan diarahkan
Prabowo Subianto dengan tegas terhadap praktik demokrasi popular
menyatakan bahwa sistem politik yang pascareformasi, tetapi tidak sampai
ada sekarang telah rusak, perekonomian mengarah pada keinginan publik untuk
dikuasai oleh asing, rakyat termarginalkan mengubah rezim demokrasi secara total.
oleh kebijakan-kebijakan yang hanya Publik cenderung menghendaki perbaikan
menguntungkan elit dan kroninya. dalam pelayanan publik, sehingga tawaran
Kampanyenya banyak menyerukan populisme teknokratis yang berfokus pada

292 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 292 12/6/17 3:47 PM


perbaikan tata kelola pemerintahan dalam konfigurasi dan pola relasi kekuasaan
penyediaan kebutuhan publik sehari-hari untuk mengakses dan mendistribusikan
menjadi lebih mudah diterima publik sumber-sumber daya. Konteks politik
ketimbang tawaran populisme klasik untuk te rs e b u t a ka n te r u s m e m b ata s i
mengembalikan kejayaan bangsa dan kemungkinan bagi populisme Indonesia
negara di bawah kepemimpinan yang kuat. untuk menghasilkan terobosan politik
Di sisi lain, sifat inklusif dari populisme yang secara fundamental memperbaiki
teknokratis justru memunculkan dilema kesenjangan ekonomi, kekuasaan,
baru dalam relasi kekuasaan. Tanpa maupun membangun kembali institusi
perubahan radikal dalam sistem politik yang mengalami pelemahan
kekuasaan, kepentingan-kepentingan dari pascapemerintahan otoritarian.
elit lama masih tetap ada, bahkan dapat Keterbatasan kapasitas populisme
mempengaruhi pengambilan keputusan teknokratis di dalam mengubah relasi
dari pemerintahan yang sekarang kekuasaan menyebabkan isu kesenjangan
berlangsung. Kendati gagasan populisme ekonomi dan pertentangan budaya
teknokratis berhasil menempatkan Jokowi (Inglehart & Norris, 2016) menjadi lahan
sebagai presiden terpilih, tetapi gagasan yang potensial untuk menyuburkan
yang sama ternyata belum optimal untuk politisasi identitas. Politik identitas
mewujudkan pemerintahan yang efektif. menjadi ekspresi politik lintas kelas,
Bangkitnya populisme tidak berarti di mana kepentingan tertentu dapat
berakhirnya dominasi oligarkhi atas mendominasi sambil tetap mengklaim
politik seperti yang diidentifikasi oleh bahwa dirinya mengartikulasikan kehendak
Robison dan Hadiz (2004) dan Winters kolektif. Dengan demikian, berbagai jenis
(2013). Sebaliknya, retorika populis populisme dapat muncul, misalnya,
telah menjadi bagian dari pertarungan dari pertemuan antara kepentingan
kekuasaan di dalam oligarki itu sendiri elit perdesaan dan kapitalisme pasar
dan menjadi kendaraan untuk masuknya modern atau yang melibatkan komunitas
aktor-aktor politik baru ke dalam arena perkotaan yang termarginalkan (Hadiz &
kekuasaan. Argumen ini memiliki implikasi Robison, 2012).
penting bagi Indonesia karena kendati Pertemuan berbagai kepentingan
tuntutan populis dapat mempengaruhi lintas kelas ini dapat menjadi legitimasi
bekerjanya politik oligarki, tetapi tidak atas klaim mewakili kepentingan ‘rakyat’
terjadi pemilahan yang signifikan antara secara umum, padahal di dalam diri
populisme dan oligarki. Populisme semata identitas tersebut sesungguhnya ada
menjadi strategi untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kelas yang saling
kekuasaan oligarkis melalui kompetisi bertentangan. Strategi ini menunjukkan
demokratis (Hadiz & Robison, 2017). bahwa populisme sebagai politik
Hal itu terutama terjadi karena identitas dapat mengabaikan perbedaan-
partai politik dan koalisi temporer -- yang perbedaan yang ada antarkelompok, di
dibentuk untuk kepentingan elektoral – mana identitas homogen dari ‘rakyat’
sejak semula masih merupakan warisan diperhadapkan dengan ‘elit ’ atau
dari kekuatan pasca-otoriter, sehingga bahkan dengan ‘asing’ sebagai musuh.
tidak mengubah secara signifikan Dengan demikian, identitas menjadi hal

Politik Identitas 293

02 JURNAL BAWASLU.indd 293 12/6/17 3:47 PM


yang konstruktif dan dinamis karena dengan  political correctness.  Fareed
dapat dibentuk, bukan hanya secara Zakaria mengutip Inglehart dan Norris
ideologis maupun diskursif, tetapi juga (2016), menambahkan bahwa nilai-nilai di
dengan menempatkannya dalam arena atas diterima oleh generasi lebih muda,
pertarungan kekuasaan dan sumber tetapi membuat generasi yang lebih
daya dalam kehidupan sehari-hari. tua merasa tidak aman. Generasi yang
Dengan demikian, kepentingan yang lebih tua melihatnya sebagai serangan
mendasari konstruksi identitas tersebut atas peradaban dan nilai-nilai yang
yang pada akhirnya menentukan siapa mereka anut selama beberapa dekade.
yang ‘termasuk’ dan ‘dikecualikan’ dari Keterbukaan global sekarang menciptakan
definisi ‘rakyat’. ketidakamanan nilai-nilai lama. Hal ini
Pertarungan gagasan populisme kemudian menciptakan respon yang
sejak masa pemilihan presiden 2014 reaksioner, di mana warga mayoritas ini
mengindikasikan 2 (dua) jalur yang merasa bahwa mereka harus mengklaim
berbeda bagi masa depan Indonesia. ulang kepemilikan nilai-nilai masyarakat
Gagasan populisme klasik melihat yang ada melalui penolakan terhadap
kembali pentingnya institusi pengelolaan identitas baru yang dianggap  liyan  oleh
sumber daya yang didominasi oleh mayoritas tersebut (Perdana, 2017).
negara atas dasar cita-cita nasionalisme, Akibatnya, mereka memberikan dukungan
sementara gagasan populisme teknokratis pada partai atau politisi yang mereka
lebih berakar pada gagasan pasar dan anggap bisa menjaga atau nilai-nilai yang
kepentingan kelas menengah. Selain mereka anggap lebih cocok.
kedua gagasan tersebut, kebangkitan Dengan demikian, narasi identitas
populisme di Indonesia juga ditandai oleh dalam populisme Indonesia muncul
menguatnya 2 (dua) bentuk populisme sebagai ekspresi dari kelompok mayoritas
berbasis Islam, yakni yang berupaya tapi merasa termarjinalkan. Keterpinggiran
menumbuhkan kembali praktik-praktik tersebut disebabkan oleh pengelolaan
keagamaan secara konservatif dan yang sumber daya yang elitis dan terbatasnya
berorientasi ke masa depan di mana ruang publik untuk melakukan kontrol
masyarakat dan praktik-praktik politik atas penyelenggaraan kekuasaan oleh
menyatu dengan identitas dan institusi lembaga-lembaga formal. Kesenjangan
keagamaan (Hadiz & Robison, 2017). ekonomi menjadi isu yang muncul sebagai
Menguatnya populisme berbasis penciri dari narasi identitas kelompok-
agama ini merupakan respon terhadap kelompok yang termarginalkan ini,
praktik politik sekuler yang dianggap seperti yang tampak dalam politik populis
mendominasi penyelenggaraan negara yang disuarakan oleh kelompok miskin
(Hadiz & Robison, 2017). Di sisi perkotaan dan kelompok buruh.
lain, populisme berbasis agama juga Narasi identitas dalam populisme
menunjukkan pertentangan nilai, sebagai Indonesia juga sarat dengan penggunaan
konsekuensi dari masuknya nilai-nilai baru narasi  nativisme  untuk memperkuat
yang dibawa globalisasi, seperti feminisme, identitas gerakan. Identitas nativisme ini
multikulturalisme, internasionalisme, muncul sebagai pembeda dengan sosok
dan nilai-nilai lain yang identik liyan, yang tidak hanya berbeda secara

294 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 294 12/6/17 3:47 PM


kultural tetapi juga dianggap sebagai tidak terjadi perubahan fundamental
kelompok yang menguasai sumber- dalam relasi kekuasaan yang oligarkhis.
sumber daya ekonomi. Karena itu, Dalam konteks politik tersebut, populisme
nativitas yang muncul dalam populisme sebagai politik identitas tampil dengan
tidak selalu identik dengan keaslian menarasikan identitas sebagai simbol
secara genealogis, tetapi lebih menunjuk perlawanan dari kelompok mayoritas
pada kemurnian nilai yang diperjuangkan yang merasa termarginalkan akibat
berhadapan dengan nilai-nilai baru, pengelolaan kekuasaan yang oligarkhis.
termasuk terhadap hibriditas nilai Nativisme juga muncul dalam narasi
yang juga dipandang sebagai ancaman identitas populis untuk menegaskan
terhadap nilai-nilai lama. pemilahan posisi berhadapan dengan
Kecenderungan populisme untuk kelompok lawan.
menarasikan identitas sebagai kontekstual, Populisme mengusung gagasan
termasuk dalam mengkonstruksi identitas keberpihakan pada ‘rakyat ’, yang
lintas kelas membuka ruang baru bagi merupakan esensi dari demokrasi. Tetapi,
pembelajaran berdemokrasi, terutama keberpihakan ini tidak cukup karena
untuk mengkritisi politik populis dalam narasi identitas dalam populisme juga
arena kompetisi elektoral yang ternyata dapat dikonstruksi untuk kepentingan
tidak membawa perubahan fundamental legitimasi kekuasaan oligarkhis. Populisme
pada pola relasi kekuasaan yang masih yang muncul sekarang adalah buah dari
berwatak oligarkhis. politisasi faksi elit tertentu yang telah
terpinggirkan dalam pertarungan politik
5. Simpulan formal. Menguatnya politik populis
Ada beragam praktik populisme membuka kemungkinan untuk melawan
yang muncul sebagai respon terhadap dominasi politik elit yang secara struktural
globalisasi dan praktik demokrasi liberal. diuntungkan oleh pola pengaturan formal
Populisme di Indonesia mengalami demokrasi liberal. Karena itu, yang
kecenderungan menguat sejak pemilihan diperlukan adalah menyasar ketimpangan
presiden 2014 seiring dengan kehadiran struktural yang dikritik dalam populisme
figur kandidat yang mengusung dua mengenai sistem demokrasi. Kerentanan
gagasan populisme yang berbeda, yang dihadapi oleh kelompok mayoritas
yakni populisme klasik dan populisme harus diatasi dengan menciptakan agenda
teknokratis. kesejahteraan sosial yang bersifat lintas
Populisme teknokratis yang lebih kelas. Di sini, inklusivitas diterjemahkan
moderat dan inklusif lebih dapat diterima bukan sebagai kompromi dengan para
oleh mayoritas pemilih di Indonesia, elit politik, tetapi sebagai perluasan
tetapi di sisi lain, karakter inklusifnya keberpihakan kepada kelompok-kelompok
menjebak gagasan populisme ini ke dalam yang menerima manfaat dari pengelolaan
praktik politik kompromistis, sehingga urusan publik.

Politik Identitas 295

02 JURNAL BAWASLU.indd 295 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA

Canovan, M. (1999). Trust the people! Populism and the two faces of democracy”.
Political Studies, 41(1), hlm. 2-16.
Canovan, M. (2004). Populism for political theorists? Journal of Political Ideologies,
9(3), hlm. 241–252. https://doi.org/10.1080/1356931042000263500
de Raadt, J. Hollanders, D. & Krouwel, A. (2004, Agustus). Varieties of populism: An
analysis of the programmatic character of six European parties”. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/238086872_Varieties_of_Populism_
An_Analysis_of_the_Programmatic_Character_of_Six_European_Parties
Grbeša, M., & Šalaj, B. (2016). Textual analysis of populist discourse in 2014/2015
presidential election in Croatia”. Contemporary Southeastern Europe, 3(1),
hlm. 106-127.
Hadiz, V. R. & Robison, R. (2012). Political economy and Islamic politics: Insights from
the Indonesian case. New Political Economym 17(2), hlm. 137–155.
Hadiz, V. R. (2016). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
Hadiz, V. R., & Robison, R. (2017). Competing populisms in post-authoritarian
Indonesia. International Political Science Review, 38(4), hlm. 488–502. https://
doi.org/10.1177/0192512117697475
Inglehart, R. & Norris, P. (2016, Agustus 6). Trump, Brexit, and the Rise of Populism:
Economic Have-Nots and Cultural Backlash”. Diakses dari https://papers.ssrn.
com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2818659
Meny, Y., & Surel, Y. (Eds.). (2002). Democracies and populist challenge. New York:
Palgrave Macmillan.
Mietzner, M. (2015). Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and
Political Contestation in Indonesia. Policy Studies (15471349). Diakses dari
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=a9h&AN=10218152
1&site=ehost-live&scope=site
Moffitt, B., & Tormey, S. (2014). Rethinking populism: Mediatisation and political
style”. Political Studies 62(2), hlm. 381-97
Müller, J-W. (2016). What is populism? Philadelphia, Pennsylvania, USA: University
of Pennsylvania Press.
Panizza, F. (2017, April 27). Is populism a problem for democracy?. Diakses dari
http://www.fesprag.cz/fileadmin/public/pdf-events/2017_27-2804_Panizza.pdf
Perdana, A. A. (2017, Januari 23). Menguatnya populisme: Trump, Brexit hingga FPI.
Diakses dari https://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-
brexit-hingga-fpi/
Robison, R. & Hadiz, V.R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of
oligarchy in an age of markets. London: Routledge.

296 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 296 12/6/17 3:47 PM


Sosale, S. (2007), Communication, Development and Democracy: Mapping a Discourse.
New York, USA: Hampton Press.
Taguieff, P. (1995). Political science confronts populism: from a conceptual mirage to
a real problem”. Telos 103, hlm. 9-44.
Winters, J. A. (2013). Oligarchy and democracy in Indonesia. Indonesia, 96(October),
hlm. 11–33.

Politik Identitas 297

02 JURNAL BAWASLU.indd 297 12/6/17 3:47 PM


298 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 298 12/6/17 3:47 PM


TEMPLATE JURNAL BAWASLU

Jurnal Bawaslu
ISSN
Author Name et al.
Vol. 1, No.2, pp. a-b, 14 November 2015 (to be filled by editorial desk)

JUDUL (Font-14, Bold)

Nama Tanpa Gelar 1 (Font-12, Bold)


Institusi, Kota/Kabupaten, Negara, Email (Font-11, Italic)

Nama Tanpa Gelar 2 (Font-12, Bold)


Institusi, Kota/Kabupaten, Negara, Email (Font-11, Italic)

ABSTRACT (Font-12, Bold)

Abstrak harus dalam 100 sampai 300 kata. Font-11, Calibri, Italic, dalam bentuk satu
paragraf, berfokus pada tujuan penelitian, metodologi yang diadopsi, temuan dan
kesimpulan. Gunakan 1.0 baris spasi untuk semua bagian dalam manuskrip. Semua
tulisan harus ditulis dalam gaya Calibri & gunakan margin Layout Halaman Normal.
Di mohon untuk TIDAK mengubah tata letak, spasi, dan huruf dalam template ini.

Keywords (Font-11 Bold)


Pilkada, Pemilu, Bawaslu, Perilaku Pemilih, Keterwakilan (Font-11)

ABSTRAK (Font-12, Bold)

Abstrak harus dalam 100 sampai 300 kata. Font-11, Calibri, Italic, dalam bentuk satu
paragraf, berfokus pada tujuan penelitian, metodologi yang diadopsi, temuan dan
kesimpulan. Gunakan 1.0 baris spasi untuk semua bagian dalam manuskrip. Semua
tulisan harus ditulis dalam gaya Calibri & gunakan margin Layout Halaman Normal.
Di mohon untuk TIDAK mengubah tata letak, spasi, dan huruf dalam template ini.

Keywords (Font-11 Bold)


Pilkada, Pemilu, Bawaslu, Perilaku Pemilih, Keterwakilan (Font-11)

Politik Identitas 299

02 JURNAL BAWASLU.indd 299 12/6/17 3:47 PM


1. Pendahuluan (Font-12, Bold)
Di mohon untuk TIDAK mengubah
tata letak, spasi, dan huruf dalam
template ini. Tulisan harus ditulis dalam Gambar 1. Logo Bawaslu
pilihan gaya font Calibri-11 spasi baris 1.0. Sumber: Bawaslu RI, 2017
Panjang tulisan 3000-5000 kata. Bagian
ini berisi latar belakang permasalahan, 4. Hasil dan Pembahasan (Font-12,
uraian permasalahan dan pertanyaan Bold)
penelitian/hipotesis (bila ada). Tidak Persoalan yang dianalisis dalam
menggunakan catatan kaki. bagian ini harus dituliskan secara jelas,
mendalam dan tajam. Dalam menganalisis
1.1 Subbab (Font-11, Bold) penulis tidak menggunakan terlalu
Penulisan poin-poin uraian banyak kutipan konsep dan teori. Tidak
menggunakan bullets, misalnya: menggunakan catatan kaki.
• Perumusan Misi yang diusung
5. Simpulan (Font-12, Bold)
berdasarkan penilaian situasi,
Simpulan utama dari penelitian ini
• Penentuan kelompok target
disajikan dalam bentuk yang singkat.
• Cara menyampaikan pesan pada
Bagian simpulan harus dapat mengarahkan
kelompok target, dan
pembaca pada hal yang penting dari
• Pemanfaatan Modal Caleg
bagian penelitian. Hal ini juga dapat
diikuti oleh saran atau rekomendasi yang
Tabel 1. Tren Perubahan Kebijakan xx
berkaitan dengan penelitian lebih lanjut.
Tahun UU Kebijakan
2000 Xx Xx
Catatan:
2004 xx xx Kutipan tidak menggunakan Catatan
Sumber : Bawaslu RI, 2017 Kaki. Catatan kaki hanya digunakan
untuk memberikan keterangan lanjutan
2. Metode Penelitian (Font-12, (jika diperlukan. Penulisan Kutipan
Bold) menggunakan running notes
Bagian ini berisi tentang metode yang
akan digunakan dalam penulisan artikel Tata Cara Penulisan kutipan (Menggunakan
ini. Metode peneliain meliputi, jenis format APA) :
metode, data apa saja yang digunakan, Struktur Kutipan : (Nama Belakang
bagaimana cara mengumpulkan data Penulis, Tahun, hlm.1234)
serta bagaimana data divalidasi. Tidak
menggunakan catatan kaki. **Nomor halaman dan paragraf hanya
digunakan untuk pengutipan langsung,
3. Perspektif Teori (Font-12, Bold) contoh:
Bagian ini berisi tentang perspektif “Well, you’re about to enter the
teori yang akan digunakan. Uraikan teori land of the free and the brave.
secara jelas dan tepat pada sasaran. And I don’t know how you got
Tidak menggunakan catatan kaki.

300 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 300 12/6/17 3:47 PM


that stamp on your passport. **Jika nama penulis telah disertakan
The priest must know someone” dalam paragraf, maka hanya menulis
(Tóibín, 2009, hlm. 52). tahun terbitan, contoh:
**Jika hanya merujuk pada sumber (tanpa According to a study done by Kent and
melakukan pengutipan langsung dan Giles (2017), student teachers who
parafrasa), maka format nomor halaman use technology in their lessons tend
atau paragraph tidak perlu digunakan, to continue using technology tools
contoh: throughout their teaching careers.
Student teachers who use
technology in their lessons tend
to continue using technology
tools throughout their teaching
careers (Kent & Giles, 2017).

Politik Identitas 301

02 JURNAL BAWASLU.indd 301 12/6/17 3:47 PM


DAFTAR PUSTAKA (FONT-12 BOLD, APA Format)**

**Daftar Pustaka Ditulis Berdasarkan Urutan Abjad Dari Nama Belakang

Contoh penulisan:
1. Buku dengan satu penulis
Dickens, C. (1942).  Great expectations. New York, NY: Dodd, Mead.

2. Buku dengan dua atau lebih penulis


Goldin, C. D., & Katz, L. F. (2008).  The race between education and technology.
Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
Matthews, G., Smith, Y., & Knowles, G. (2009).  Disaster management in archives,
libraries and museums. Farnham, England: Ashgate.

3. Bab dalam buku dengan editorial


Struktur:
Nama belakang penulis bab, inisial nama depan. (Tahun terbit). Judul Bab. Dalam
inisial nama depan editor. Inisial nama belakang editor (Ed). Judul Buku
(hlm.00). Kota penerbit, Negara: Penerbit.
Contoh:
De Abreu, B.S. (2001). The role of media literacy education within social networking
and the library. In D.E. Agosto & J. Abbas (Eds.),  Teens, libraries, and social
networking  (hlm. 39-48). Santa Barbara, CA: ABC-CLIO.

4. Jurnal Cetak
Struktur:
Nama Belakang Penulis, Inisial Nama depan. (Tahun Terbit). Judul Artikel. Judul
Jurnal, Volume (Seri), rentang halaman artikel.
Contoh:
Gleditsch, N. P., Pinker, S., Thayer, B. A., Levy, J. S., & Thompson, W. R. (2013). The
forum: The decline of war. International Studies Review, 15(3), hlm. 396-419.

5. Jurnal Online dengan DOI


Stuktur:
Nama Belakang Penulis, Inisial Nama depan. (Tahun Terbit). Judul Artikel. Judul
Jurnal, Volume (edisi), rentang halaman artikel. http://dx.doi.org/xxxxx
Contoh:
Sahin, N. T., Pinker, S., Cash, S. S., Schomer, D., & Halgren, E. (2009). Sequential
processing of lexical, grammatical, and phonological information within
Broca’s area.  Science, 326(5951), hlm. 445-449. http://dx.doi.org/xxxxx

302 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 302 12/6/17 3:47 PM


6. Media Cetak
Stuktur:
Nama belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan Tanggal). Judul Artikel. Judul
Koran, Rentang halaman.
Contoh :
Alair, C.H. (2017, September 14). Demokrasi Indonesia. Kompas, hlm. 3-4.

7. Media Online
Struktur:
Nama belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan Tanggal). Judul Artikel. Judul
Koran. Diakses dari http.//xxxxxxxxxxxx
Contoh:
Whiteside, K. (2004, August 31). College athletes want cut of action.  USA Today.
Diakses dari http://www.usatoday.com

8. Majalah Cetak
Struktur:
Nama Belakang, Insial Nama Depan. (Tahun, Bulan). Judul Artikel. Judul Majalah,
Volume(edisi), rentang halaman.
Contoh:
Hasanah, R.U. (2016, Mei). Progres Pembangunan Indonesia. Tempo, 4-10 Mei 2016.
hlm. 23-25.

9. Websites
Struktur:
Nama Belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan tanggal). Judul Artikel. Diakses
dari http.//xxx
Contoh:
Austerlitz, S. (2015, March 3). How long can a spinoff like ‘Better Call Saul’ last?
Diakses dari http://fivethirtyeight.com/features/how-long-can-a-spinoff-like-
better-call-saul-last/

10. Blogs
Struktur:
Nama Belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun, Bulan tanggal). Judul Artikel dalam
blog [Blog post]. Diakses dari http.//xxx
Contoh:
McClintock Miller, S. (2014, January 28). Easy Bib joins the Rainbow Loom project as
we dive into research with the third graders [Blog post]. Diakses dari http://
vanmeterlibraryvoice.blogspot.com

Politik Identitas 303

02 JURNAL BAWASLU.indd 303 12/6/17 3:47 PM


11. Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Struktur:
Nama Belakang, Inisial Nama Depan. (Tahun). Judul Skripsi/Tesis/Disertasi (Skripsi/
Tesis/Disertasi). Kota, Fakultas, Universitas.
Contoh:
Idris, K. (2013). Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Orde Baru (Disertasi). Depok, FISIP,
Universitas Indonesia.

12. YouTube
Struktur:
Nama Belakang penulis, Inisial Nama depan. [YouTube Username]. (Tahun, Bulan,
Tanggal Unggah). Judul Video [Video file]. Diakses dari https://youtu.be/
xxxxxxxx
Contoh:
Damien, M. [Marcelo Damien]. (2014, April 10).  Tiesto @Ultra Buenos Aires 2014
(full set)  [Video file]. Retrieved from https://youtu.be/mr4TDnR0ScM

304 Politik Identitas

02 JURNAL BAWASLU.indd 304 12/6/17 3:47 PM

You might also like