Professional Documents
Culture Documents
SINDROM NEFROTIK
Disusun Oleh:
MEA KURAINI SYAFITRI
180070300111013
SINDROM NEFROTIK
Oleh :
Hari :
Tanggal :
( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), Penyebab Sindrom nefrotik yang pasti
belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu
suatu reaksi antigen antibody. Umumnya etiologi dibagi menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap suatu pengobatan. Gejala pada masa neonatus. Pernah dicoba
pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan
biasanya pasien meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miks.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga,
bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Adalah Sindrom nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya atau juga
disebut sindrom nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada
biopsy ginjal dengan pemeriksaan mikroskopi biasa dan mikroskopi electron,
Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu kelainan minimal, nefropati
membranosa, glomerulonefritis proliferatif, glomerulosklerosis fokal segmental.
C. EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal
(75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan
laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak
nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-
laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan
pada dewasa 3/1000.000/tahun.
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul
secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase
awal edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum
atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari.
Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien
dengan tipe yang lain.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5
g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai
1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
E. PATOFISIOLOGI
Menurut Betz & Sowden (2009), Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang
disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma menimbulkan protein, hipoalbumin, hiperlipidemia dan
edema. Hilangnya protein dari rongga vaskuler menyebabkan penurunan tekanan
osmotik plasma dan peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan dalam rongga interstisial dan rongga abdomen. Penurunan volume
cairan vaskuler menstimulasi system renin– angiotensin yang mengakibatkan
diskresikannya hormone antidiuretik dan aldosterone. Reabsorsi tubular terhadap
natrium (Na) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume
intravaskuler. Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan edema. Koagulasi dan
thrombosis vena dapat terjadi karena penurunan volume vaskuler yang
mengakibatkan hemokonsentrasi dan hilangnya urine dari koagulasi protein.
Kehilangan immunoglobulin pada urine dapat mengarah pada peningkatan
kerentanan terhadap infeksi
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Betz & Sowden (2009), Pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Uji urine
a. Urinalisis : proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2 g/m2/hari), bentuk hialin
dan granular, hematuria
b. Uji dipstick urine : hasil positif untuk protein dan darah
c. Berat jenis urine : meningkat palsu karena proteinuria
d. Osmolalitas urine : meningkat
2. Uji darah
a. Kadar albumin serum : menurun (kurang dari 2 g/dl)
b. Kadar kolesterol serum : meningkat (dapat mencapai 450 sampai 1000
mg/dl)
c. Kadar trigliserid serum : meningkat
d. Kadar hemoglobin dan hematokrit : meningkat
e. Hitung trombosit: meningkat (mencapai 500.000 sampai
1.000.000/ul)
f. Kadar elektrolit serum : bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
perorangan
3. Uji diagnostik
Biopsi ginjal (tidak dilakukan secara rutin)
G. PENATALAKSANAAN
1. Istirahat sampai tinggal edema sedikit.
2. Makanan yang mengandung protein sebanyak 3-4 mg/kgBB/hari :minimun
bila edema masih berat. Bila edema berkurang diberi garam sedikit.
3. Mencegah infeksi. Diperiksa apakah anak tidak menderita TBC.
4. Diuretika.
5. Inter national Cooperatife study of Kidney disease in Children mengajukan:
a.) Selama 28 hari prednison per os sebanyak 2 kg/kgBB/sehari dengan
maksimun sehari 80 mg.
b.) Kemudian prednison per os selama 28 hari sebanyak 1,5 mg/kgBB /
hari setiap 3hari dalam 1mingggu dengan dosis maksimun sehari :
60mg . Bila terdapat respons selama (b) maka dilanjutkan dengan 4
minggu secara intermiten.
c.) Pengobatan prednison dihentikan. Bila terjadi relaps maka seperti pada
terapi permulaan diberi setiap hari prednison sampai urine bebas
protein. Kemudian seperti terapi permulaan selama 5 minggu tetapi
secara interminten.
6. Antibiotika hanya diberikan jika ada infeksi.
7. Lain-lain: Fungsi acites, Fungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.
Bila ada dekompensasi jantung diberikan digitalisasi.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom nefrotik adalah:
- Hiperlipidemia dan lipiduria
- Hiperkoagulasi
- Gangguan metabolisme kalsium dan tulang
- Infeksi
- Gangguan fungsi ginjal
I. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Menurut Wong, (2008), Pengkajian kasus Sindrom nefrotik sebagai
berikut :
- Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
- Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya
peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
- Observasi adanya manifestasi dari sindrom nefrotik : kenaikan berat
badan, edema, bengkak pada wajah (khususnya di sekitar mata yang
timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari),
pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas (efusi pleura), pucat
pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urine (peningkatan volume,
urine berbusa).
- Pengkajian diagnostik meliputi analisa urin untuk protein, dan sel
darah merah, analisa darah untuk serum protein (total
albumin/globulin ratio, kolesterol) jumlah darah, serum sodium.
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Tekanan darah sistolik >200 170 – 190 160 – 170 140 – 150 120 –
mmHg mmHg mmHg mmHg 130
mmHg
3 Edema +4 +3 +2 +1 Tidak
(kedalaman (kedalaman (kedalaman (kedalam ada
>7mm, 5 – 7 mm, 3 – 5 mm, an 1 – 3 edema
waktu kembali 7 kemali 5 mm,
kembali detik) detik) kembali 3
>7detik) detik)
4 Urine output < 0,35 0,35 – 0,39 0,40 – 0,44 0,45 – 0,5-1
cc/kgBB cc/kgBB cc/kgBB 0,49 cc/kgBB
cc/kgBB
Intervensi :