You are on page 1of 40

ANALISIS RISIKO BENCANA GERAKAN TANAH

DI KECAMATAN MOLAWE KABUPATEN KONAWE UTRA


PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PROPOSAL PENELITIAN
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN MENCAPAI DERAJAT
SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH:

HASRUL
R1C115044

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
APRIL 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana dilihat dari aspek


geografis, klimatologis dan demografis. Terdapat bermacam-macam potensi
bencana alam di Indonesia seperti gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, badai, dan
tanah longsor. Secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng
dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu
bergerak dan saling menumbuk. Konsekuensi dari tumbukan tersebut adalah
terbentuknya jalur gunung api di Indonesia. Keberadaan jalur gunung api di wilayah
Indonesia menyebabkan beberapa wilayah Indonesia memiliki bentuk lahan
pegunungan dan perbukitan yang memiliki lereng landai hingga terjal, serta jenis
tanah hasil endapan gunung api yang memiliki tingkat porositas tanah tinggi.
Kondisi seperti ini menyebabkan wilayah-wilayah tersebut rentan longsor
(PVMBG, 2010).

Gerakan tanah merupakan jenis bencana alam yang paling sering terjadi di
Indonesia pada setiap musim penghujan. Potensi gerakan tanah sangat tinggi
terutama pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi, kondisi geologis
terdiri batuan yang telah lapuk, dan kedalaman solum tanah cukup tebal, di bawah
tanah tebal itu terselip lapisan-lapisan batuan yang tidak tembus air (impermeable
layers) yang berfungsi sebagai bidang gelincir, serta mempunyai kemiringan lebih
dari 30 derajat (Sudibyakto, 2011).

Dikutip dari Mongabay.co.id, sekitar 60 persen penduduk Indonesia hidup


dan tinggal di daerah lereng dataran tinggi yang rawan terhadap risiko bencana
tanah longsor. Persentase jumlah penduduk tersebut, mayoritas tinggal di daerah
perdesaan yang memiliki tingkat pendidikan menengah ke bawah. Hal tersebut
menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi
terhadap bencana gerakan tanah karena bertempat tinggal di daerah yang lereng
dataran tinggi yang memiliki bencana tanah longsor. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat juga berpengaruh terhadap tingkat kapasitas dalam
menghadapi bencana gerakan tanah yang akan terjadi.

Berdasarkan kondisi geologi daerah sulawesi tenggara yang unik akibat


tumbukan lempeng tektonik tersebut, maka akan menghasilkan ragam litologi dan
pola struktur geologi yang menghasilkan berbagai potensi geologi. Potensi geologi
bisa bernilai positif seperti munculnya mineral yang khas dan bernilai ekonomis
tinggi seperti nikel, emas, aspal, batugamping (limestone) dan minyak bumi dan gas
(migas). Serta potensi geologi yang bernilai negatif seperti gempa bumi, tanah
longsor, abrasi, land subsidence serta tsunami. Wilayah sulawesi tenggara yang
terletak pada lengan bagian tenggara pulau sulawesi, memiliki daerah rawan
bencana geologi akibat dari kondisi geologinya yang khas. Dengan teknologi
penginderaan jauh, daerah rawan bencana alam geologi di sulawesi tenggara
tersebut dapat dengan mudah dilihat. Kejadian-kejadian yang di akibatkan bencana
alam geologi di daerah sulawesi tenggara sendiri dapat dilihat dari data yang di
miliki oleh dinas energi dan sumberdaya mineral (ESDM) provinsi sulawesi
tenggara.

Kabupaten Konawe Utara merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam
zona rawan bencana pergerakan tanah tertingi di Sulawesi tenggara. Kabupaten
Konawe Utara memiliki topografi permukaan tanah yang pada umumnya
bergunung, bergelombang dan berbukit yang mengelilingi dataran rendah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diambil
beberapa rumusan masalah diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaruh tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas terhadap
terjadinya bencana gerakan tanah di wilayah Kecamatan Salaman?
2. Bagaimana tingkat dan sebaran risiko bencana gerakan tanah di wilayah
Kecamatan Salaman?
3. Bagaimana teknik mitigasi yang sesuai berdasarkan zonasi tingkat risiko yang
telah dibuat?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini bertujuan


untuk:
1. Menganalisis pengaruh tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas terhadap
bencana gerakan tanah di wilayah Kecamatan Salaman.
2. Menganalisis tingkat dan sebaran risiko bencana gerakan tanah di wilayah
Kecamatan Salaman.
3. Menganalisis teknik mitigasi sesuai dengan zonasi tingkat risiko bencana gerakan
tanah di wilayah Kecamatan Salaman.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat dalam dua bidang yaitu secara teoritis dan
praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian penerapan ini memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu
pengetahuan mengenai kajian kebencanaan khususnya yang berkaitan dengan
bencana gerakan tanah dan mitigasinya.
b. Dapat menjadi referensi bagi penelitian yang sejenis pada masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
1) Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi pedoman dalam melakukan mitigasi terutama pada
tahap pencegahan dan kesiapsiagaan sehingga risiko kerugian dapat dikurangi.
2) Bagi Pemerintah
Menjadi pedoman dalam perencanaan tata ruang yang berbasis bencana karena
penelitian ini menyajikan tingkat risiko dan sebaran bencana. Selain itu, penelitian
ini dapat dijadikan pedoman dalam upaya pengurangan risiko bencana melalui
teknik mitigasi yang sesuai.
Halaman Persetujuan

Proposal Penelitian

ANALISIS RISIKO BENCANA GERAKAN TANAH


DI KECAMATAN MOLAWE KABUPATEN KONAWE UTRA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Diajukan oleh:

HASRUL
R1C115044

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Erzam S. Hasan,S.Si.,M.Si Dr.Ir.Muh.Chaerul,ST.,S.KM.,M.Sc


NIP. 19700311199802 1 002 NIDN. 0011118306

Mengetahui,

Ketua Program Studi Teknik Geologi

Erzam S. Hasan,S.Si.,M.Si
NIP. 19700311199802 1 002
BAB II
KAJIANTEORI

A. Kajian Teori

1. Kajian Geografi

a. Pengertian Geografi
Menurut SEMLOK Tahun 1988 di Semarang, geografi merupakan
ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan
sudut pandang kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks keruangan
(Suharyono dan Moch Amin,1994: 15).

Kajian geografi memusatkan pada perhatian pada gejala alam (fisis) dan kehidupan
di muka bumi, hubungan-hubungannya dan persebaran keruangannya (Suharyono
dan Moch Amin, 1994 : 19).

1) Pendekatan Geografi
Menurut Hadi Sabari Yunus (2010: 41), dalam studi geografi terdapat
3 pendekatan utama yaitu spatial approach, ecological approach, dan regional
complex approach.
a) Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)
Adalah suatu metode untuk memahami gejala tertentu agar mempunyai
pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang yang dalam hal ini
variabel ruang mendapat posisi utama dalam setiap analisis.
b) Pendekatan Kelingkungan (Ecological Approach) Adalah suatu metode
untuk memahami gejala tertentu yang menekankan pada hubungan antara
organisme dengan lingkungan. Dalam pendekatan ini dikenal istilah independent
variable dan dependent variable.
c) Pendekatan Kompleks wilayah (Regional ComplexApproach)
Suatu wilayah yang ada di permukaan bumi ini, di dalamnya terdapat
berbagai sub wilayah yang berbeda satu dengan lainnya. Sementara itu, berbagai
sub wilayah yang ada memiliki elemen wilayah yang berbeda-beda pula yang
terjalin sedemikian rupa dalam sistem keterkaitan yang kemudian dikenal
sebagai wilayah sistem. Masing-masing wilayah sistem berinteraksi dengan
wilayah sistem lainnya dan membentuk suatu sistem keterkaitan yang dikenal
dengan sistem wilayah. Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian
iniadalah pendekatan keruangan (spatial approach). Hal ini dikarenakan,
penelitian ini mengkaji fenomena yang terjadi didalam ruang yaitu bencana
gerakan tanah di Kecamatan Salaman. Pengkajian dilakukan untuk mengetahui
zonasi dan tingkat sebaran risiko bencana kemudian menganalisa berbagai faktor
yang mempengaruhi serta penerapan teknik mitigasi yang sesuai dengan zonasi
tingkat risiko yang telah dibuat.

2) Prinsip-prinsip Geografi
Studi geografi menggunakan beberapa prinsip yang sebagai dasar
uraian, dasar pengkajian, dan dasar pengungkapan gejala. Menurut Nursid
Sumaatmadja (1981: 42-45) terdapat empat prinsip geografi diantara:
a) Prinsip penyebaran
Gejala dan fakta geografi tersebar tidak merata di permukaan bumi, baik yang
berkenaan dengan gejala alam maupun gejala kemanusiaan. Dengan melakukan
pengkajian dan menggambarkannya pada peta dapat diungkapkan hubungan gejala
satu dengan yang lain.
b) Prinsip interelasi
Sesudah memperhatikan penyebaran gejala dan fakta dalam ruang selanjutnya
dicari hubungannya satu sama lain. Diungkapkan hubungan antara faktor fisis
dengan faktor fisis, antara faktor fisis dengan manusia, serta hubungan antara faktor
manusia dengan faktor manusia. Dengan mengkaji hubungan dari berbagai faktor
yang terdapat di suatu tempat atau wilayah maka dapat diungkapkan karakteristik
gejala dan fakta geografi di suatu tempat tertentu di permukaan bumi.
c) Prinsip deskripsi
Penjelasan atau deskripsi merupakan gambaran lebih lanjut tentang gejala dan
fakta geografi yang sedang dipelajari. Untuk lebih memperjelas dan mempermudah
penggambaran berbagai fenomena geografis tersebut maka dapat digunakan peta,
diagram, grafik, tabel, dan sebagainya.
d) Prinsip korologi
Pada prinsip ini fenomena geografis diungkapkan penyebarannya, interelasinya,
dalam hubungan dengan terdapatnya di dalam ruang atau di tempat tertentu.
Menurut prinsip ini sebab akibat terjadinya suatu fenomena tidak dapat dipisahkan
dengan kondisi ruang terdapatnya gejala, karena ruang akan memberikan
karakteristik pada kesatuan gejala, kesatuan fungsi, dan kesatuan bentuk. Prinsip
korologi memperhatikan penyebaran, interelasi-interaksi segala komponen geografi
di suatu tempat atau wilayah tertentu di bumi.

2. Kajian Gerakan Tanah

a. Pengertian Gerakan Tanah


Gerakan tanah merupakan perpindahan material pembentuk
lereng, berupa batuan, bahan timbunan, tanah atau material campuran tersebut,
bergerak ke arah bawah dan keluar lereng (Varnes, 1978 dalam Widiatmoko
Indrayana, 2011: 16).
Pendapat lain dikemukakan oleh Djauhari Noor (2006: 106) yang
mengatakan gerakan tanah adalah proses perpindahan suatu massa tanah akibat
gaya gravitasi. Gerakan tanah seringkali disebut sebagai longsoran dari massa
tanah/batuan dan secara umum diartikan sebagai suatu gerakan tanah dan atau
batuan dari tempat asalnya karena pengaruh gaya berat (gravitasi).
b. Jenis-jenis Gerakan Tanah
Jenis Gerakan Tanah berdasar Klasifikasi Varnes (1978) dan Direktorat
Geologi Tata Lingkungan (1996) dalam Widiatmoko Indrayana (2011: 17-25)
terdiri dari:
1) Runtuhan (falls) adalah runtuhnya/jatuhnya sebagian massa batuan atau tanah
penyusun lereng yang terjal, dengan sedikit atau tanpa disertai terjadinya
pergeseran antara massa yang runtuh dengan massa yang tidak runtuh. Hal ini
berarti runtuhnya massa batuan atau tanah umumnya dengan cara jatuh bebas,
meloncat atau menggelinding tanpa melalui bidang gelincir. Proses terjadinya
runtuhan pada lereng dapat berlangsung sangat cepat, yaitu lebih dari 3 m/menit.
2) Robohan (topples) adalah robohnya batuan yang umumnya bergerak melalui
bidang-bidang diskontinuitas (bidang- bidang yang tidak menerus) yang sangat
tegak pada lereng. Seperti halnya pada runtuhan, bidang-bidang diskontinuitas ini
berupa bidang-bidang kekar atau retakan pada batuan.
3) Longsoran (slide) adalah gerakan menuruni lereng oleh suatu massa tanah dan
atau batuan penyusun lereng, melalui bidang gelincir pada lereng, atau pada bidang
regangan geser yang relatif tipis.
4) Bidang gelincir atau bidang regangan geser ini dapat berupa bidang yang
relatif lurus (translasi) ataupun bidang lengkung ke atas (rotasi).
5) Pencaran lateral (lateral spread) adalah material tanah atau batuan yang
bergerak dengan cara perpindahan translasi pada bidang dengan kemiringan landai
sampai datar, pergerakan terjadi pada lereng atau lahan yang tersusun oleh lapisan
tanah/batuan yang lunak, yang terbebani oleh massa tanah/batuan yang berada di
atasnya.
6) Aliran (flows) yaitu aliran massa yang bersifat plastik atau berupa aliran fluida
kental. Aliran ini dapat juga terjadi pada batuan tetapi lebih sering terjadi pada
bahan rombakan yang merupakan percampuran antara material tanah (berbutir
halus) dan hancuran-hancuran batuan (berbutir kasar).
Djauhari Noordalam Geologi Lingkungan (2006: 106-107), juga
mengklasifikasikan tipe gerakan tanah menjadi tiga yaitu:
1) Gerakan tanah tipe aliran lambat (slow fowage) terdiri dari:
a) Rayapan (Creep): perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng
dengan pergerakan yang sangat lambat.
b) Rayapan tanah (Soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng.
c) Rayapan talus (Talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material
talus/scree.
d) Rayapan batuan (Rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-
blok batuan.
e) Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep):perpindahan ke arah kaki
lereng dari limbah batuan.
f)Solifluction/Liquefaction: aliran yang sangat perlahan ke arah kaki lereng dari
material debris batuan yang jenuh air.

2) Gerakan tanah tipe aliran cepat (rapid flowage) terdiri dari:a) Aliran Lumpur
(mudflows): perpindahan dari material lempung dan lanau yang jenuh air pada teras
yang berlereng landai.
b) Aliran massa tanah dan batuan (Earthflow): perpindahan secara cepat dari
amterial debris batuan yang jenuh air.
c) Aliran campuran masa tanah dan batuan (Debris avalanche): suatu aliran yang
meluncur dari debris batuan pada celah yang sempit dan berlereng terjal. 3)
Gerakan tanah tipe aliran luncuran (landslides) terdiri dari:
a) Nendatan (slump): luncuran ke bawah dari satu atau beberapa debris batuan,
umumnya membentuk gerakan rotasional.
b) Luncuran dari campuran masa tanah dan batuan (Debris slide): luncuran
yang sangat cepat ke arah kaki lereng dari material tanah yang tidak terkonsolidasi
(debris) dan hasil luncuran ini ditandai oleh suatu bidang rotasi pada bagian
belakang bidang luncurnya.
c) Gerakan jatuh bebas dari campuran massa tanah dan batuan (Debris fall):
luncuran material debris tanah secara vertikal akibat gravitasi.
d) Luncuran masa batuan (Rock slides): luncuran dari amsa batuan melalui
bidang perlapisan, joint (kekar), atau permukaan patahan/sesar.
e) Gerakan jatuh bebas masa batuan (Rock fall): luncuran jatuh bebas dari blok
batuan pada lereng-lereng yang sangat terjal.
f)Amblesan (Subsidence): penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh
pemadatan dan isostasi/garvitasi.

c. Faktor Penyebab Gerakan Tanah


Faktor-faktor penyebab gerakan tanah merupakan fenomena yang
mengkondisikan suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak atau longsor,
meskipun pada saat ini lereng tersebut masih stabil (belum longsor). Lereng yang
berpotensi untuk bergerak ini baru akan bergerak apabila ada gangguan yang
memicu terjadinya gerakan. Faktor-faktor penyebab ini umumnya merupakan
fenomena alam (meskipun ada yang bersifat nonalamiah), sedangkan gangguan
pada lereng atau faktor penyebab dapat berupa proses alamiah atau pengaruh dari
aktivitas manusia ataupun kombinasi antara keduanya. Beberapa faktor pengontrol
terjadinya gerakan tanah diantaranya sebagai beriku (Varnes, 1978 dan Direktorat
Geologi Tata Lingkungan, 1996 dalam Widiatmoko Indrayana, 2011: 23-28).
1). Kondisi geomorfologi (kemiringan lereng)
Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan wilayah perbukitan
dan pegunungan, sehingga banyak dijumpai lahan yang miring. Lereng atau lahan
yang miring ini berpotensi atau berbakat untuk mengalami gerakan tanah. Semakin
besar kemiringan suatu lereng dapat mengakibatkan semakin besarnya gaya
penggerak massa tanah/batuan penyusun lereng.
Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua lahan yang miring selalu
rentan untuk bergerak. Jenis, struktur, dan komposisi tanah/batuan penyusun lereng
juga berperan penting dalam mengontrol terjadinya gerakan tanah. Sering kita
jumpai di lapangan, lereng batuan yang kompak dan masif akan tetap berciri tegak
dan stabil, meskipun lereng tersebut merupakan tebing yang curam. Hal ini
disebabkan karena masif dan kompaknya batuan penyusun lereng (kohesi dan kuat
gesernya cukup besar untuk mempertahankan kestabilan lereng). Gerakan tipe
luncuran dan nendatan cenderung terjadi pada lereng lebih curam dari 20°.
Sebaliknya, gerakan tipe rayapan akan terjadi pada lereng dengan kemiringan
landai (20°).
2) Kondisi tanah/batuan penyusun lereng
Kondisi tanah/batuan penyusun lereng sangat berperan dalam
mengontrol terjadinya gerakan tanah. Meskipun suatu lereng cukup curam, namun
gerakan tanah belum tentu terjadi apabila kondisi tanah/batuan penyusun lereng
tersebut cukup kompak dan kuat. Perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng
dapat menyebabkan terjadinya longsoran atau gerakan tanah, misalnya perlapisan
pada batubara, napal dan batulempung.
Batuan-batuan tersebut umumnya terpotong-potong oleh kekar-kekar
(retakan-retakan), sehingga sangat labil atau berpotensi untuk meluncur/bergerak
disepanjang bidang perlapisan atau bidang kekar tersebut. Penggalian- penggalian
pada lereng batuan sangat berpotensi untuk memicu terjadinya luncuran/gerakan
batuan-batuan tersebut.
3) Kondisi iklim
Kondisi iklim di Indonesia sangat berperan dalam mengontrol
terjadinya longsoran. Temperatur dan curah hujan yang tinggi sangat
mendukung terjadinya proses pelapukan batuan pada lereng (proses pembentukan
tanah). Akibatnya adalah sangat sering dijumpai lereng yang tersusun oleh
tumpukan tanah yang ketebalannya dapat mencapai lebih dari 10 meter.Berdasarkan
hasil pengamatan lapangan dapat diketahui bahwa lereng dengan tumpukan tanah
yang lebih tebal relatif lebih rentan terhadap gerakan tanah.
Curah hujan yang tinggi atau curah hujan tidak terlalu tinggi tetapi
berlangsung lama, sangat berperan dalam memicu terjadinya gerakan tanah. Air
hujan yang meresap ke dalam lereng dapat meningkatkan penjenuhan tanah pada
lereng sehingga tekanan air yang merenggangkan ikatan antar butir tanah
meningkat, akhirnya massa tanah tersebut bergerak longsor.
4) Kondisi hidrologi lereng
Kondisi hidrologi dalam lereng berperan dalam hal meningkatkan
tekanan hidrostatis air dalam tanah/batuan sehingga kuat geser tanah/batuan akan
sangat berkurang dan gerakan tanah dapat terjadi.
Lereng yang muka air tanahnya dangkal atau lereng dengan akuifer menggantung,
sangat sensitif mengalami kenaikan tekanan hidrostatis apabila air permukaan
meresap ke dalam lereng. Selain itu, jalur-jalur pipa alamiah/retakan batuan sering
pula menjadi tempat masuknya air ke dalam lereng. Apabila semakin banyak air
yang masuk melewati jalur tersebut, tekanan air juga akan semakin meningkat.
Mengingat jalur - jalur tersebut merupakan bidang yang kuat gesernya lemah
(umumnya kohesi dan sudut gesekan dalamnya rendah), maka kenaikan tekanan air
ini akan sangat mudah menggerakkan lereng melalui jalur tersebut.
5) Erosi sungai
Gerakan tanah akibat erosi sungai umumnya terjadi pada kelokan sungai.
Hal ini terjadi karena pada bagian bawah lereng tererosi sehingga lereng menjadi
tidak stabil.
6) Getaran
Getaran memicu longsoron dengan cara melemahkan atau memutuskan
hubungan antar butir partikel-partikel penyusun tanah/batuan pada lereng. Jadi
getaran berperan dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus mengurangi gaya
penahan. Contoh getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempa bumi yang
diikuti dengan peristiwa liquifaction.
Liquifaction terjadi apabila pada lapisan pasir atau lempung jenuh air
terjadi getaran yang periodik. Pengaruh getaran tersebut akan menyebabkan
butiran-butiran pada lapisan akan saling menekan dan kandungan airnya akan
mempunyai tekanan yang besar terhadap lapisan di atasnya. Akibat peristiwa
tersebut lapisan di atasnya akan seperti mengambang, karena getaran tersebut
dapat mengakibatkan perpindahan massa di atasnya dengan cepat.
7) Aktivitas manusia
Faktor aktivitas manusia seperti pola penggunaan lahan juga berperan
penting dalam memicu terjadinya longsoran, Pembukaan hutan secara
sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu
rapat, pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman merupakan pola
penggunaan lahan yang dijumpai di daerah yang longsor.
Pembukaan hutan dan pencurian kayu hutan untuk keperluan manusia,
seperti misalnya untuk mencukupi kebutuhan hidup, perladangan, persawahan
dengan irigasi, kolam-kolam dan penanaman tumbuhan yang berakar serabut
dapat berakibat menggemburkan tanah. Peningkatan kegemburan tanah ini akan
menambah daya resap tanah terhadap air, akan tetapi air yang meresap ke dalam
tanah tidak dapat banyak terserap oleh akar-akar tanaman serabut. Hal ini berakibat
air hanya terakumulasi dalam tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan
ikatan-ikatan antar butir tanah. Besarnya curah hujan yang meresap menyebabkan
longsoran tanah akan terjadi.
Pemotongan lereng untuk jalan, penambangan dan pemukiman juga
dapat mengakibatkan hilangnya peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini
selanjutnya mengakibatkan kekuatan geser lereng untuk melawan pergerakan
massa tanah terlampaui oleh tegangan penggerak massa tanah. Akhirnya longsoran
tanah pada lereng akan terjadi.
Sedangkan Menurut Djauhari Noor (2006 : 108), faktor-faktor yang mempengaruhi
gerakan tanah dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor yang bersifat pasif dan
aktif.
1) Faktor yang bersifat pasif
a) Litologi yaitu material yang tidak terkonsolidasi atau rentan dan mudah
meluncur karena basah akibat masuknya air ke dalam tanah.
b) Stratigrafi yaitu perlapisan batuan atau perselingan batuan antara batuan
lunak dan batuan keras atau perselingan antara batuan yang permeable dan batuan
impermeable.
c) Struktur geologi yaitu jarak antara rekahan/joint pada batuan, petahan, zona
hancuran, bidang foliasi, dan kemiringan lapisan batuan yang besar.
d) Topografi yaitu lereng yang terjal atau vertikal e) Iklim yaitu temperatur
tahunan yang ekstrim dengan frekuensi hujan yang intensif.
f) Material organik, berkaitan dengan lebat atau jarangnya vegetasi.
2) Faktor yang bersifat aktif
a) Gangguan yang terjadi secara alamiah maupun buatan.
b) Kemiringan lereng yang menjadi terjal karena aliran air.
c) Pengisian air ke dalam tanah yang melebihi kapasitasnya sehingga tanah
menjadi jenuh air.
d) Getaran-getaran tanah yang diakibatkan oleh seismitas atau kendaraan berat.

d. Tanda-tanda Gerakan Tanah


Gerakan tanah dapat diidentifikasikan melalui tanda-tanda sebagai
berikut (Hary Christady Hardiyatmo, 2012: 24).
1) Munculnya retak tarik dan kerutan-kerutan di permukaan lereng.
2) Patahnya pipa dan tiang listrik.
3) Miringnya pohon-pohonan.
4) Perkerasan jalan yang terletak pada timbunan mengalami amblas.
5) Rusaknya perlengkapan jalan (seperti pagar pengaman) dan saluran drainase.
6) Tertutupnya sambungan ekspansi pada pelat jembatan atau perkerasan batu.
7) Hilangnya kelurusan dari fondasi bangunan.
8) Tembok bangunan retak-retak.
9) Dinding penahan tanah retak dan miring ke depan, dsb.

3. Kajian Kebencanaan

a. Pengertian Bencana

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana, bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Peristiwa yang ditimbulkan oleh gejala alam maupun yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia baru dapat disebut bencana ketika
masyarakat/manusia yang terkena dampak oleh peristiwa tersebut tidak mampu
untuk menanggulanginya (Nurjannah, 2013: 13).
b. Jenis-Jenis Bencana

Jenis-jenis bencana menurut UU Nomor 24 tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana dibagi menjadi tiga yaitu bencana alam, bencana
nonalam, dan bencana sosial.
1) Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain kebakaran hutan yang disebabkan
oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi, dampak industri,
ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan.
3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror.

c. Bahaya

Bahaya adalah keadaan alam yang menimbulkan potensi terjadinya


bencana. Bencana juga diartikan sebagai suatu fenomena alam atau buatan yang
mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan
kerusakan lingkungan (Bakornas PB, 2007: 8).
Bencana/ancaman (hazard) adalah suatu keadaan alam yang menimbulkan
potensi terjadinya bencana. Menurut Lutfi Muta’ali,2012: 223-224, aspek-aspek
yang perlu diperhatikan dalam analisis ancaman diantaranya
(1) sumber penyebab terjadinya ancaman,
(2) kekuatan,
(3) kecepatan,
(4) frekwensi,
(5) durasi, dan
(6) sebaran atau cakupan ancaman

d. Kerentanan

Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau


masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam
menghadapi ancaman bencana (Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012
mengenai Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana).Kerentanan
(vulnerability) adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia
(hasil dari proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang
mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya. Tingkat
kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial
kependudukan, dan ekonomi (Lutfi Muta’ali, 2012: 224).

Menurut Lufti Muta’ali (2012: 224-225), kerentanan fisik (infrastuktur)


menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor
bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai
indikator sebagai berikut: persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan,
persentase bangunan konstruksi, darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan,
jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, dan jalan KA. Kerentanan sosial
menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya
(hazard). Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain kepadatan penduduk,
laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua, balita dan penduduk
wanita. Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan
ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya (hazard). Beberapa indikator
kerapuhan ekonomi diantaranya persentase rumah tangga yang bekerja di sektor
rentan dan persentase rumah tangga miskin.

B. Geologi regional daerah penelitian


1. Geomorfologi Regional

Setidaknya ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra IFSAR
di bagian tengah dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan pegunungan,
perbukitan tinggi, perbukitan rendah, dataran rendah dan karst .Uraian dibawah ini
merupakan perian secara singkat dari satuan morfologi daerah penelitian.
Satuan morfologi pebukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan
Tenggara, terutama di selatan Kendari.Satuan ini terdiri atas bukit – bukit yang mencapai
ketinggian 500 mdpl dengan morfologi kasar. Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan
sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier.
Satuan morfologi pebukitan rendah melampar luas di utara Kendari dan ujung
selatan Lengan Tenggara.Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan morfologi
yang bergelombang.Batuan penyusun satuan ini terutama batuan sedimen klastika
Mesozoikum dan Tersier.
2. Stratigrafi Regional

Peta geologi daerah penelitian berada pada bagian utara Peta Geologi Lembar
Lasusua-Kendari, Sulawesi (Rusmana dkk., 1993).
Kompleks Ofiolit di Lengan Tenggara Sulawesi merupakan bagian dari lajur
ofiolit Sulawesi Timur. Batuan pembentuk lajur ini di dominasi oleh batuan ultramafik dan
mafik serta sedimen pelagik. Batuan ultramafik terdiri atas harzburgit, dunit, werlit, lerzolit,
websterit, serpentinit dan piroksinit. Sementara batuan mafik terdiri atas gabro, basalt,
dolerite, mikrogabro dan amfobolit. Sedimen pelagiknya tersusun oleh batugamping laut
dalam dan rijang radiolaria. Radiolaria yang dijumpai di Lengan Timur menunjukkan umur
Senomanian. Penarikkan umur mutlak K/Ar dari Sembilan Sembilan percontoh yang diambil
dari Lengan Timur menunjukkan umur Senomanian – Eosen.
Formasi Meluhu (Trjm), formasi ini terdiri dari berbagai jenis batuan seperti batu
pasir, kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit, batu sabak, batu gamping, dan batu lanau.
Formasi ini berdasarkan fosil Halobia sp. dan Daonella sp, yang dikandungnya diduga
berumur Trias Tengah hingga Trias Akhir, dan terbentuk dalam lingkungan laut dangkal
hingga laguna. Tebal seluruhnya diperkirakan mencapai 1000 m bahkan lebih. Satuan ini
menindih secara tak selaras Batuan Malihan Mekongga dan Batuan Malihan Tamosi.
Hubungannya dengan batuan ofiolit berupa.
Selain Kompleks Ofiolit dan Formasi Meluhu terdapat formasi lainnya yang
berada pada daerah penelitian yaitu Formasi Pandua,serta formasi Aluvium.
3. Struktur Geologi Regional

Pulau Sulawesi pada umunya lineasi terdapat pada batuan offiolit, dan batuan
yang berumur lebih tua dari Miosen (satuan malihan). Batuan yang tergabung dalam Molasa
Sulawesi, dan batuan sedimen Kuarter jarang menampakan lineasi. Arah utama lineasi yaitu
barat laut dan timur laut yang relatif sejajar dengan arah sesar utama yang berkembang
dilengan tenggara Sistem sesar mayor lawanopo dan sesar lasolo. System sesar lawanopo
termasuk sesar-sesar berarah utama barat laut-tenggara yang memanjang sekitar 260 km
dari utara Malili sampai tanjung Toronipa. Ujung barat laut sesar ini menyambung dengan
sesar Matano,sementara ujung tenggaranya bersambung dengan sesar Hamilton,yang
memotong sesar naik Tolo.Sistem ini diberi nama sesar Lwanopo oleh Hamilton(1979)
berdasarkan dataran Lawanopo yang ditorehnya.Oleh sebab itu, sangat mungkin arah
utama barat laut ini berhubungan dengan sesar utama tersebut.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain Penelitian merupakan semua proses yang diperlukan dalam


perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Desain penelitian harus dapat
menerjemahkan model-model ilmiah ke dalam operasional penelitian secara
praktis (Juliansyah Noor, 2011: 107). Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kuantitatif dengan metode survei. Penelitian ini mendekripsikan semua
gejala yang berhubungan dengan bahaya gerakan tanah di Kecamatan Salaman
yang mendasarkan interpretasi pada data kuantitatif. Survei dalam penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas masyarakat
dalam menghadapi ancaman bahaya gerakan tanah sehingga dapat diketahui
tingkat risiko bencana. Selanjutnya dilakukan penyusunan teknik mitigasi untuk
mengurangi tingkat risiko bencana gerakan tanah.
B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Salaman yang merupakan


salah satu wilayah di Kabupaten Magelang dengan tingkat gerakan tanah
menengah hingga tinggi berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
Provinsi Jawa Tengah yang diterbitkan oleh Dinas ESDM bulan Desember2014.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2018 sampai Februari
2019.
C. Variabel dan Definisi Operasional Variabel
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau
kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,2013: 60). Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari tiga yaitu variabel bahaya, variabel kerentanan, dan
variabel kapasitas. Berikut ini merupakan definisi operasional dari masing-masing
variabel.
1. Bahaya
Variabel bahaya dalam penelitian ditentukan oleh curah hujan,
kemiringan lereng, ketebalan tanah, dan geologi. Berikut ini merupakan penejlasan
dari variabel tersebut.
a. Curah Hujan
Curah hujan merupakan akumulasi titik-titik air yang jatuh selama satu
tahun dan dinyatakan dalam satuan mm/tahun.
b. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng merupakan derajat kemiringan suatu lereng yang
dinyatakan dalam persen atau %.
c. Ketebalan Tanah
Ketebalan tanah merupakan salah satu faktor pengontrol gerakan tanah
(BAPPEDA, 2002 : II-9). Ketebalan tanah yaitu kondisi tebal tipisnya tanah yang
dinyatakan dalam satuan meter
d. Geologi
Geologi merupakan struktur penyusun batuan permukaan bumi, dalam
hal ini yang berhubungan dengan potensi bencana gerakan tanah.

2. Kerentanan
a. Kerentanan Fisik
1) Jumlah Rumah
Jumlah rumah adalah banyaknya tempat tinggal penduduk yang ada di
suatu wilayah. Banyaknya jumlah rumah dalam penelitian ini dinyatakan dalam
buah.
2) Jumlah Fasilitas Umum
Jumlah fasilitas umum adalah banyaknya fasilitas milik bersama yang
terdapat di suatu wilayah. Misalnya: Sekolah, fasilitas kesehatan, kantor
pemerintahan, pasar, terminal, tempat ibadah, dan SPBU. Banyaknya jumlah
fasilitas umum dalam penelitian ini dinyatakan dalam buah.
b. Kerentanan Sosial
1) Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah banyaknya penduduk yang menempati suatu
wilayah tertentu yang dinyatakan dalam jiwa.
2) Tingkat Kepadatan Penduduk
Tingkat kepadatan penduduk merupakan perbandingan jumlah

penduduk dengan luas wilayah yang dinyatakan dalam jiwa/km2.


d. Geologi

Geologi merupakan struktur penyusun batuan permukaan bumi, dalam

hal ini yang berhubungan dengan potensi bencana gerakan tanah.

2. Kerentanan

a. Kerentanan Fisik

1) Jumlah Rumah

Jumlah rumah adalah banyaknya tempat tinggal penduduk yang ada di

suatu wilayah. Banyaknya jumlah rumah dalam penelitian ini dinyatakan dalam

buah.

2) Jumlah Fasilitas Umum

Jumlah fasilitas umum adalah banyaknya fasilitas milik bersama yang

terdapat di suatu wilayah. Misalnya: Sekolah, fasilitas kesehatan, kantor

pemerintahan, pasar, terminal, tempat ibadah, dan SPBU. Banyaknya jumlah

fasilitas umum dalam penelitian ini dinyatakan dalam buah.


b. Kerentanan Sosial

1) Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk adalah banyaknya penduduk yang menempati suatu

wilayah tertentu yang dinyatakan dalam jiwa.

2) Tingkat Kepadatan Penduduk

Tingkat kepadatan penduduk merupakan perbandingan jumlah

penduduk dengan luas wilayah yang dinyatakan dalam jiwa/km2.

3) Rasio Kelompok Rentan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasio merupakan

perbandingan antara berbagai gejala yang dapat dinyatakan dengan angka. Rasio

kelompok rentan merupakan perbandingan antara kelompok yang mudah terkena

dampak dari sesuatu. Rasio kelompok rentan dibagi menjadi tiga yaitu:

a) Jumlah penduduk perempuan merupakan rasio kelompok rentan berdasarkan

jenis kelamin yaitu perempuan.

b) Jumlah penduduk usia anak-anak dan tua merupakan rasio kelompok rentan

berdasarkan kelompok umur anak-anak (0-14 tahun) dan tua (>64 tahun).

c. Kerentanan Ekonomi

1) Luas Lahan Produktif


Luas lahan produktif merupakan luasan lahan yang dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk kegiatan produktif seperti sawah, kebun, dan tegalan. Dalam

penelitian ini, luas lahan produktif dinyatakan dalam satuan hektar atau ha.

2) Jumlah Ternak

Jumlah ternak merupakan jumlah hewan yang dipelihara dalam suatu


wilayah tertentu yang dinyatakan dalam satuan ekor.
d. Kerentanan Lingkungan (Jenis Penggunaan Lahan)
Kerentanan lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

jenis penggunaan lahan. Jenis penggunaan lahan dapat berupa pemukiman, lahan

kosong, sawah, tegalan, semak belukar, dan hutan.

3. Kapasitas

a. Kelembagaan Organisasi Penanggulangan Bencana

Organisasi penanggulangan bencana merupakan organisasi terstruktur

yang dibentuk oleh pemerintah baik di tingkat daerah atau desa untuk

penanggulangan bencana. Keberadaan organisasi daerah atau desa akan

meningkatkan kesiapsiagaan suatu wilayah dalam mengahadapi bencana.

b. Keberadaan dan Jenis Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)

Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan

sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana

pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Jenis peringatan dini dapat

berupa pemasangan alat pendeteksi gerakan tanah.

c. Keberadaan Sosialisasi Kebencanaan

Sosialisasi kebencanaan adalah serangkaian upaya yang meliputi

kegiatan pencegahan bencana dan tanggap darurat.

d. Keberadaan dan Jenis Pengurangan Faktor Risiko Dasar

Pengurangan risiko bencana adalah serangkaian kegiatan yang


dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana.
e. Keberadaan Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
D. Populasi Penelitian

Populasi adalah himpunan individu atau objek yang banyaknya


terbatas atau tidak terbatas. Populasi geografi adalah himpunan individu atau objek
yang masing-masing mempunyai sifat atau ciri geografi yang sama. Ciri geografi
yang dimaksud bisa berbentuk fisik maupun non fisik (Moh Pabundu Tika, 2005:
24). Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi fisik dan populasi non fisik.
Populasi fisik dalam penelitian berupa satuan geologi di Kecamatan Salaman
sejumlah 8 satuan geologi diantaranya: Qsm, Qsmo, Tmok, Teon, Tmj, Qa, a,
dan Da. Sedangkan populasi nonfisik dalam penelitian ini adalah semua penduduk
yang tinggal di wilayah Kecamatan Salaman sebanyak 68.656 jiwa. Penelitian ini
merupakan penelitian populasi sehingga semua obyek yang ada dicakup dalam
penelitian ini.
E. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan


analisis SIG dan analisis deskriptif. Analisis SIG yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu scoring dan overlay sedangkan analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan hasil analisis SIG. Variabel yang akan diharkat diantaranya:
1. Bahaya

Tingkat bahaya gerakan tanah di Kecamatan Salaman dilakukan


berdasarkan peta bahaya gerakan tanah yang divalidasi dengan data kejadian. Peta
bahaya gerakan tanah tersebut diperoleh melalui overlay beberapa variabel
diantaranya curah hujan, kemiringan lereng, ketebalan tanah, dan geologi.
a. Curah hujan

Tabel 2. Pengharkatan Variabel Curah Hujan


No Kriteria (mm) Tingkat Skor
1 >3500 Tinggi 30
2 2750-3500 Agak tinggi 20
3 2250-2750 Sedang 10
Sumber: Bappeda Kab Magelang, 2010.

Variabel curah hujan diklasifikasikan menjadi tiga tingkat bahaya


diantaranya tingkat bahaya tinggi dengan curah hujan >3500 mm/th, agak tinggi
dengan curah hujan 2750-3500 mm/th, dan tingkat bahaya sedang dengan jumlah
curah hujan 2250-2750 mm/th. Jumlah curah hujan yang semakin tinggi akan
meningkatkan bahaya gerakan tanah di wilayah tersebut. Jumlah curah hujan yang
termasuk dalam tingkat bahaya tinggi memiliki skor paling besar yaitu 30,
sedangkan jumlah curah hujan yang termasuk dalam tingkat bahaya sedang
memiliki skor paling kecil yaitu 10.
b. Ketebalan Tanah

Tabel 3. Pengharkatan Variabel Ketebalan Tanah


No Kriteria (meter) Tingkat Skor
Kemiringan lereng > 8 %
1 >4m Sangat Tinggi 40
2 2-4 m Tinggi 30
3 1-2 m Sedang 20
4 <1 m dan Semua jenis Rendah 10
tebal tanah pada
dataran (kemiringan
Sumber: Bapedda Kabupaten Magelang, 2002.
lereng <8%

Ketebalan tanah merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi


tingkat bahaya gerakan tanah. Semakin tebal tanah di suatu tempat maka akan
semakin rentan mengalami gerakan tanah dengan catatan tanah tersebut berada pada
kemiringan >8%. Apabila suatu tempat pada kemiringan < 8% memiliki tanah yang
tebal maka tingkat kerentanannya tetap rendah. Ketebalan tanah dibagi menjadi 4
kriteria yaitu ketebalan tanah >4 meter pada kemiringan >8% memiliki tingkat
bahaya gerakan tanah yang sangat tinggi, ketebalan tanah 2-4 meter pada
kemiringan >8% memiliki tingkat bahaya gerakan tanah yang tinggi, ketebalan
tanah 1-2 meter pada kemiringan lereng >8% tingkat bahaya gerakan tanah sedang,
serta ketebalan tanah <1 meter dan semua jenis tebal tanah dengan kemiringan <8%
termasuk dalam tingkat bahaya gerakan tanah rendah. c. Kemiringan Lereng

Tabel 4. Pengharkatan Variabel Kemiringan Lereng


No Kriteria (%) Tingkat Skor
1 >40 Sangat Tinggi 50
2 25-40 Tinggi 40
3 15-25 Sedang 20
4 8-15 Rendah 20
5 0-8 Sangat Rendah 10
Sumber: Lutfi Muta’ali (2012 : 201)

Kemiringan lereng merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi


tingkat bahaya gerakan tanah. Semakin curam lereng, maka tingkat bahaya gerakan
tanah semakin tinggi. Kemiringan lereng diklasifikasikan menjadi lima kelas.
Kemiringan lereng >40% dengan skor 50, kemiringan lereng 25-40% dengan skor
40, dan kemiringan lereng 15-25% dengan skor 30, kemiringan lereng 8-15%
dengan skor 20, dan kemiringan lereng 0-8% dengan skor 10.
d. Geologi

Tabel 5. Pengharkatan Variabel Geologi


No Kriteria (Batuan) Tingkat Bahaya Skor
1 Bukit basal, clay shale, Tinggi 30
Bukit batuan sedimen
2 Perbukitan granit Sedang 20
3 Dataran aluvial, Rendah 10
perbukitan kapur
Sumber: Paimin et al., 2006 dalam Paimin at al (2009:37)
dengan
modifikasi.

Struktur geologi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi


tingkat bahaya gerakan tanah. Struktur geologi yang berupa bukit basal,
lempung, dan sedimen merupakan struktur geologi yang memiliki tingkat
bahaya gerakan tanah yang tinggi. Struktur geologi berupa perbukitan granit
merupakan struktur geologi yang memiliki tingkat bahaya gerakan tanah sedang.
Struktur geologi yang berupa dataran aluvial dan perbukitan kapur merupakan
struktur geologi yang memiliki tingkat bahaya gerakan tanah rendah.
Tabel 6. Penentuan Kelas Bahaya Gerakan Tanah
Interval Kriteria Kelas Skor
114-150 Tingkat Bahaya Tinggi I 30
77-114 Tingkat Bahaya Sedang II 20
40-76 Tingkat Bahaya Rendah III 10
Sumber: Analisis Data, 2016.

2. Kerentanan

a. Kerentanan Fisik

1) Jumlah Rumah

Tabel 7. Pengharkatan Variabel Jumlah Rumah


No Kriteria (buah) Tingkat Skor
1 >1000 Tinggi 30
2 500-1000 Sedang 20
3 <500 Rendah 10
Sumber: Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 dengan
modifikasi.
Jumlah rumah yang banyak akan menimbulkan tingkat kerentanan
fisik yang tinggi. Semakin banyak jumlah rumah maka tingkat kerentanan fisik
wilayah dalam menghadapi bencana gerakan tanah akan semakin tinggi.
Jumlah rumah
>1000 buah dengan skor 30, jumlah rumah 500-1000 buah dengan skor 20,
dan jumlah rumah <500 buah dengan skor 10.
2) Jumlah Fasilitas Umum

Tabel 8. Pengharkatan Variabel Jumlah Fasilitas Umum


No Kriteria (buah) Tingkat Skor
1 >30 Tinggi 30
2 10-30 Sedang 20
3 <10 Rendah 10
Sumber: Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 dengan
modifikasi.
Jumlah fasilitas umum yang semakin besar akan meningkatkan tingkat
kerentanan fisik suatu wilayah dalam menghadapi bencana gerakan tanah. Jumlah
fasilitas umum dalam suatu wilayah >30 buah dengan skor 30, jumlah fasilitas
umum 10-30 buah dengan skor 20, dan jumlah fasilitas umumb <10 buah dengan
skor 10.

Kerentanan fisik dipengaruhi oleh kedua variabel di atas, namun


pengaruh variabel-variabel tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Persentase pembobotan masing-masing variabel kerentanan fisik yaitu sebagai
berikut.
Tabel 9. Pembobotan Variabel Kerentanan Fisik
No Variabel Bobot (%)
1 Jumlah rumah 60
2 Jumlah Fasilitas Umum 40
Sumber: Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012 dengan
modifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ance Gunarsih Kartasapoetra. 2006. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap


Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.

Akhmad Ganang Hasib. 2014. Analisis Risiko Bencana Erupsi Gunungapi


Sundoro di Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Skripsi.
Yogyakarta: FIS UNY.

Bayong Tjasyono. 2004. Klimatologi. Bandung: ITB.


Data Kejadian Bencana BPBD Kab Magelang
Djauhari Noor. 2006. Geologi Lingkungan. Jakarta: Graha Ilmu

Hadi Sabari Yunus. (2010). Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer.


Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Hari Christady Hardiyatmo. (2012). Tanah Longsor dan Erosi – Kejadian


dan Penanganan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Herman Th. Verstappen. (2013). Garis Besar Geomorfologi Indonesia.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Heru Pramono SU & Arif Ashari. (2014). Geomorfologi Dasar.


Yogyakarta: UNY Press.

Hery Tjahyono. 2009. Kerentanan Medan terhadap Longsoran dan Stabilitas


Lereng di daerah Kecamatan Gunungpati Kota Smearang Suatu
Aplikasi Pendekatan Survey Medan. Tesis. Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM

You might also like