You are on page 1of 32

MAKALAH

PERENCANAAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG


DOMESTIK
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perencanaan Pajak dengan dosen
pengampu Juwenah, SE., M.Sc., Ak., CA

Disusun Oleh:
Lulu Permata 116040104
Alvin Alfian Farhan 116040107
Devi Sofiyanti 116040108
Marlina Ulfah Soeryadi 116040110
Dita Lestari 116040112

Kelas
B Rumpun Perpajakan

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Perencanaan Pajak. Pada
kesempatan kali ini kami menulis makalah dengan judul “Perencanaan Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Domestik”.
Secara garis besar makalah ini disusun secara ringkas dan sistematis agar
para pembaca lebih mudah memahami isi makalah ini. Isi makalah ini tersusun
atas pendahuluan, pembahasan, dan penutup yang sudah ditulis secara singkat dan
jelas.
Pengetahuan ini masih jauh dari lengkap dan sempurna untuk menjangkau
pengetahuan-pengetahuan yang semakin hari banyak berkembang.
Menyadari kekurangan yang ada pada makalah ini, dengan kerendahan hati
penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun supaya
makalah kami yang akan datang lebih baik dan sempurna. Kami sebagai penyusun
beharap semoga makalah yang telah ditulis ini bermanfaat bagi para pembaca.
Aamiin.

Cirebon, Mei 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 1
1.3. Tujuan Penulisan.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
2.1. Perencanaan Pajak Untuk Mengefisienkan Beban Pajak................. 3
2.2. Perencanaan Pajak Untuk Pajak Penghasilan................................... 7
2.3. Strategi Yang Dapat Digunakan Untuk Mengefisienkan Beban
PPh Badan ....................................................................................... 18
BAB III PENUTUP..................................................................................... 29
3.1. Kesimpulan....................................................................................... 29
3.2. Saran................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perencanaan pajak yang baik memerlukan suatu pemahaman terhadap
undng-undang dan peraturan pajak. Undang-undang pajak dari waktu ke
waktu selalu mengalami perkembangan, terakhir dengan serangkaian
undang-undang pajak tahun 2000 yang akan diberlakukan mulai tahun
2001. Untuk pajak penghasilan sebelum tahun 2001 tidak dibedakan antara
struktur tarif untuk orang pribadi maupun badan.
Namun, mulai tahun 2001 tarif pajak orang pribadi dan badan
dibedakan. Untuk orang pribadi tarif tertinggi dari 30 persen sekarang naik
menjadi 35 pesen, begitu juga untuk tarif terendah dari 10 persen turun
menjadi 5 persen. Sedangkan untuk badan tarif tidak mengalami
perubahan, yang berubah hanya lapisannya. Dalam perancangan ulang
struktur tingkat pajak, khususnya untuk orang pribadi, pemerintah
tampaknya ingin memberikan insentif dengan menurunkan tarif pajak
terendah karena pemerintah ingin memperluas jumlah wajib pajak yang
rata-rata berpendapatan menengah, sedangkan untuk wajib pajak yang
pendapatannya tinggi, tarif pajaknya ditingkatkan juga sehingga tarif yang
baru lebih progresif dan diharapkan bisa memberikan keadilan. Setiap
perencanaan pajak untuk strategi-strategi keuangan harus
memperhitungkan perubahan-perubahan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana perencanaan pajak untuk mengefisienkan beban pajak?
2. Bagaimana perencanaan pajak untuk pajak penghasilan?
3. Bagaimana srategi yang dapat digunakan untuk mengefisienkan
beban PPh badan?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui perencanaan pajak untuk mengefisienkan beban
pajak.
2. Untuk mengetahui perencanaan pajak untuk pajak penghasilan.

1
3. Untuk mengetahui strategi yang dapat digunakan untuk
mengefisienkan beban PPh badan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perencanaan Pajak Untuk Mengefisienkan Beban Pajak
Suandy (2017:55) menyatakan bahwa strategi mengefisienkan beban pajak
(penghematan pajak) yang dilakukan oleh perusahaan harus bersifat legal,
supaya tidak dapat menghindari sanksi-sanksi pajak di kemudian hari. Secara
umum penghematan pajak menganut prinsip the least and latest, yaitu
membayar dalam jumlah seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang
masih diizinkan oleh undang-undang dan peraturan perpajakan. Strategi
mengefisienkan beban pajak tersebut dari berbagai literatur dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (ilegal
entity) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha. Bila dilihat
dari prespektif perpajakan, terkadang pemilihan bentuk badan hukum.
Bentuk perseorangan, firma, dan persekutuan adalah bentuk yang lebih
menguntungkan daripada perseroan terbatas (PT). Pada PT yang pemegang
sahamnya perorangan atau badan tetapi kurang dari 25 persen (dua puluh
lima persen) akan mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan
dikenakan dua kali, yakni pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak
perseroan dan pada saat penghasilan dibagikan kepadan peegang saham
perseorangan ata badan yang memiliki saham kurang dari 25 persen (dua
puluh lima persen).
2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah
memberikan semacam intensif pajak/fsilitas perpajakan khususnya untuk
daerah tertentu (misalnya, di Indonesia bagian Timur), banyak
pengurangan Pajak Penghasilan yang diberikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000. Di samping itu,
juga diberikan fasilitas seperti penyusutan dan amortisasi yang
dipercepaat, kompensasi kerugian yang lebih lama dari seharusnya, dan
sebagainya.
3. Mengambil keuntungan sebesar-bearnya atau semaksimal mungkin dari
berbagai pengecualian, potongan, atau pengurangan atas Penghasilan Kena

3
Pajak yang diperbolehkan oleh Undang-Undang. Sebagai contoh, jika
diketahui bahwa Penghasilan Kena Pajak (laba) perusahaan besar dan akan
dikenaan tarif pajak tinggi/tertinggi, maka sebaiknya perusahaan
membelanjakan sebagian laba peruahaan untuk hal-hal yang bermanfaat
secara langsung untuk perusahaan, dengan catatan tentunya biaya yang
dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dalam
mebghitung Penghasilan Kena Pajak. Sebagai contoh, biaya untuk
penelitian dan pengembangan, biaya pendidikan dan latihan pegawai,
biaya perbaikan kantor, biaya pemasaran, dan masih banyak biaya lainnya
yang dapat dimanfaatkan. Hal ini bergantung kepada jenis usaha dan
peraturan pajak yang berlaku.
4. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga diatur mengenai
penggunaan tarif pajak yang paling menguntungkan antara masing-masing
badan usaha. Hal ini bisa dilakukan mengingat bahwa banyak negara
termasuk Indonesia mengatur bahwa pembagian dividen anatarkorporat
tidak dikenakan pajak. Contohnya, PT X pabrik CPO; PT Y pabrik minyak
goreng; dan PT Z adalah distributornya, maka diantara mereka dapat
diataur sejumlah keuntungan (margin) yang sekiranya dapat meringankan
pajak mereka. Setelah itu, baru dibagikan dalam bentuk dividen.
5. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai pusat laba (profit center) dan ada
yang hanya berfungsi sebagai pusat biaya (cost center). Dar hal tersebut
dapat diperoleh manfaat dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi
pendapatan bagi beberapa Wajib Pajak didalam satu grup, begitu juga
terhadap biaya, sehingga dapat diperoleh keuntungan atas pergeseran pajak
(tax shifting), yakni menghindari tarif paling tinggi (maksimum). Tentunya
proes ini dapat dijalankan apabila sistem tarif pajak yang berlaku progresif
dan penghasilan kena pajak sudah melewati lapisan tarif yang terendah.
6. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang dan natura
dan kenikmatan (fringe benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk
menghindari lapisan tarif pajak maksimum (shift to lawer bracket). Karena
pada dasarnya pemberian dalam bentuk kenikmataan/natura dapat
dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian

4
terebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi
pegawai yang menerimanya.
7. Pemilian metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian
persediaan yang diizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-
rata (average method) dan metode masuk-pertama keluar-pertama (first in
first out- FIFO method). Dalam komdisi perekonomian yang cenderung
mengalami inflasi, metode rata-rata akan menghasilkan beban pokok
penjualan yang lebih tinggi dari pada metode FIFO. Beban pokok
penjualan yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih
kecil sehingga penghasilan kena pajak juga akan menjadi lebih kecil.
8. Untuk pendanaan aset tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease), disamping pembelian langsung, karena
jangka waktu sewa guna usaha umumnya lebih pendek dari umur aset dan
pembayaran sewa guna usaha dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan
demikian, aset tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui
penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung.
9. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan
perpaakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunai prediksi laba yang
cukup besar maka dapat dipakai metode penyusutan yang yang dipercepat
(saldo menurun) sehingga beban penyusutan tersebut dapat mengurangi
laba kena pajak, dan sebaliknya. Jika perkirakan pada awal-awal tahun
investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian maka
pilihiannya adalah menggunakan metode penyusutan yang memberikan
biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya beban penyusutan dapat ditunda
untuk tahu beriutnya.
10. Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada
transaksi yang bukan obek pajak. Sebagai contoh, utuk jenis usaha yang
PPh badannya dikenakan pajak secara final, efisiensi PPh pasal 21
karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin
tunjangan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pemberian natura
bukan objek PPh Pasal 21.
11. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan. Dalam hal ini, wajib
Pajak arus jeli untuk memperoleh informasi mengena pembayaran paak

5
yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh, PPh Pasal 22 atas pembelian solar
dari Pertamina bersifat final jika pembeliannya dilakukan oleh perusahaan
yang bergerak dibidang penyaluran migas, tetapi bila pembeliannya
dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dibidan pabrikan, PPh Pasal 22
terserbut dapat dikredikan dengan PPh badan. Pengkreditan ini lebih
menguntungkan dari pada dibebankan sebagai biaya. Keuntungan yang
dapat diperoleh sebesar 70 persen (tujuh puluh persen) dari nilai pajak
yang dikreditkan, dengan asumsi penghasilan Kena Pajaka mencapa
jumlah yang dikenakan tari 30m persen (tiga puluh persen).
12. Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara
melakukan pembayaran pada saat mendekati tangkat jatuh tempo. Khusus
untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda
penerbitan faktur pajak sampai batas waktu yang diperkenankan,
khususnya atas penjualan kredit. Perusahaan dapat menerbitkan faktur
pajak pada akhir bulan setelah bulan penyerahan barang (Keputusan Dirjen
Pajak Nomor 53/PJ/1994).
13. Menghindari pemeriksaan pajak. Pmeriksaan Pajak oleh Direktorat Jendral
Pajak dilakukan terhadap Wajib Paak yang:
a. SPT lebih bayar;
b. SPT rugi;
c. Tidak memasukan SPT atau terlambat memasukan SPT;
d. Terdapat informasi pelanggaran;
e. Memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Menghindari lebih bayar dapat dilakuakan dengan cara sebagai berikut.

1) Megajukan pengurangan pembayaran angsuran masa ( lamp-sum) PPh


Pasal 25 ke KPP yang bersangkutan apabila diperkirakan dalam Tahun
Pajak berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak.
2) Mengajukan permohan pembebasan PPh pasal 22 impor apabila
perusahaan melakukan impor. Pengajuan permohonan pembebasan
PPh Pasal 22 harus melampirkan:
a) Proyeksi impor setiap bulan selama tahun yang bersangkutan;
b) Proyeksi perhitungan laba/rugi tahun yang bersangkutan;

6
c) Proyeksi perhitungan PPh Badan yang terutang dan angsuran PPh
Pasal 25, serta PPH Pasal 22 yang menunjukan lebih bayar apabila
dilakukan pembayaran PPh Pasal 22;
d) Proyeksi neraca pada akhir tahun yang bersangkutan.
14. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan
dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku.

2.2 Perencanaan Pajak Untuk Pajak Penghasilan


1. Laba Akuntansi Versus Penghasilan Kena Pajak
a. Laba Akuntansi
Laba akuntansi (accounting income) atau disebut juga laba komersial
adalah ukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis. Laba
akuntansi dihitung berdarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, di
Indonesia diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Laba akuntansi tersebut penghitungannya bertumpu pada prinsip
penandingan antara pendapatan degan biaya-biaya terkait (maching cost
againt revenue). Dalam salah satu prinsip tersebut terdapat konsep bahwa
pengeluaran perusahaan yang tidak mepunyai manfaaat untuk masa yang
akan datang bukanlah merupakan aset sehingga harus dibebankan sebagai
biaya. Dengan demikian, dalam akuntansi seluruh pengeluaran atau beban
perusahaan, sepanjang memang harus dikelurakan oleh perusahaan diakui
sebagai biaya atau beban.
Berdasarkan laba akuntansi, penghasilan (income) adalah penambahan
aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang
tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi
pendapatan (revenues) dan keuntungan (gains). Pendapatan adalah
penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dikenal
dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees),
bunga, dividen, royalti, dan sewa.
Pendapatan timbul dari transaksi dan peristiwa ekonim berikut ini:
1. Penjualan barang.

7
Barang meliputi barang yang diproduksi oleh peruahaan untuk dijual
dan barang yang dibeli untuk dijual kembali.
2. Penjualan jasa.
Penjualan jasa biasanya menyangkut pelaksanaan tugas yang secara
kontraktual telah disepakati untuk dilaksanakan selama suatu periode
waktu yang disepakati oleh perusahaan. Jasa tersebut dapat diserahkan
selama satu periode atau lebih.
3. Penggunaan aset perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan
bunga, royalti, dan dividen.
a. Bunga, pembeban untuk penggunaan kas atau setara kas atau
jumlah terutang kepada perusahaan.
b. Royalti, pembebanan untuk penggunaan aset jangka panjang
perusahaan, misalnya paten, merek dagang, hak cipta, dan peranti
lunak (software) komputer.
c. Dividen, distribusi laba kepada pemegang investasi ekuitas sesuai
dengan proporsi mereka dari jenis modal tertentu.
Pendapatan harus diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau
yang dapat diterima. Jumlah pendapatan yang timbul dari suatu transaksi
biasanya ditentukan oleh persetujuan antara perusahaan dengan pemebli
atau pengguna aset terebut. Pada umumnyaimblan tersebut berbentuk kas
atau setara kas.
Biaya (cost) adalah semua pengurang terhadap penghasilan. Sehubungan
dengan periode akuntansi, pemanfaatan pengeluaran dipisahkan antara
pengeluaran atau belanja modal (capital expenditure), yaitu pengeluaran
yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan dicatat
sebagai aset, dan pengeluaran penghasilan (revenue expenditure) yang
hanya memberi manfaat untuk satu periode akuntansi yang bersangkutan
dicatat sebagai beban.
Beban (expense) adalah penurunan manfaat ekonomi selama satu periode
akuntansi dalam bentuk arus kas keluar, berkurangnya aset, atau terjadinya
kewajiban yang menyebabkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut
pembagian kepada penanam modal.

8
Beban juga mencakup kerugian yang belum direalisasi, misalnya
kerugian yang timbul dari pengaruh selisih kurs mata uang asing. Beban
diakui dalam laporan laba rugi atas dasar hubungan langsung antara biaya
yang timbul dan penghasilan tertentu yang diperoleh.
Jika manfaat ekonomi yang timbul lebih dari satu periode akuntansi dan
hubungannya dengan penghasilan hanya dapat ditentukan secara luas atau
tidak langsung, beban diakui berdasaran alokasi yang rasional dan
sistematis. Misalnya pengakuan beban yang berkaitan dengan penggunaan
aset tetap, goodwill, paten, dan merek dagang. Beban ini dikenal dengan
istilah penyusutan (depreciation) atau amortisasi (amortization).
b. Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak – PKP (taxable income) merupakan laba yang
dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir kali
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
beserta peraturan pelaksanaannya.
Penghasilan kena pajak berdasarkan prinsip taxability deductability,
dengan prinsip ini suatu biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto apabila pihak yang menerima pengeluaran atas biaya yang
bersangkutan melaporkannya sebagai penghasilan, dan penghasilan tersebut
dikenakan pajak (taxable). Misalnya tunjangan yang diberikan oleh
perusahaan kepada karyawan dapat dianggap sebagai biaya dan mengurangi
laba kotor jika karyawan yang menerima tunjangan tersebut mengakui
tunjangan yang diberikan sebagai bagian dari penghasilan bruto dan
dikenakan pajak (PPh Pasal 21).
Untuk menghitung PKP, minimal ada lima komponen yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1) Penghasilan yang Menjadi Objek Pajak
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, objek
pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Idonesia

9
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalambentuk apapun, termasuk hal dibawah ini.
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus,gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini.
2. Hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena pengalihan harta, termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan
lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.

10
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak.
17. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan; dan
18. Surplus Bank Indonesia.
2) Penghasilan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak
Pengecualian objek pajak diatur dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang
Pajak Penghasilan sebagai berikut.
1. a. Bantuan atau sumsumbangan, termasuk zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak.
b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk

11
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat sebagai berikut:
a. Dividen berasal dari cadangan lba yang ditahan.
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah yang menerima dividen paling rendah 25
persen (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor
dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham
tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud dalam nomor 7, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

12
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan komanditer
(commanditaire vennootschap-CV) yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama lima tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian izin usaha.
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan
keputusan menteri keuangan.
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
3) Penghasilan yang Pajaknya Dikenakan Secara Final
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan
wewenang kepada pemerintah untuk mengatur beberapa pajak tertentu
khusus diluar yang diatur dalam pasal 4 ayat 1 yang dikenal dengan
istilah PPh final.
Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final adalah:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga
obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2. Penghasilan berupa hadiah undian.
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan
tanah dan/atau bangunan.

13
5. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan
peraturan pemerintah.
4) Biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Pajak
Penghasilan sebagai berikut.
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha, antara lain:
a. Biaya pembelian bahan;
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang;
c. Bunga, sewa, dan royalti;
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah;
f. Premi asuransi;
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau
berdasarkkan peraturan menteri keuangan;
h. Biaya administrasi;
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan amortisasi asas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas
biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
3. Iuran pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan atau pengngalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memlihara penghasilan.
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia.

14
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditaguh dengan syarat sebagai
berikut:
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi
komersial.
b. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak
dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan
Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara; atau adanya perjanjian piutang negara; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana
dimkasud dalam pasal 4 ayat 1 huruf k; yang pelaksanaannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan Menteri
Keuangan.
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Sumbangan dalam rangka pennelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
12. Sumbangan fasilits pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya
dengan Peraturan Pemerintah.
Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak.
5) Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto

15
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkkan dalam rangka menghitung
Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koprasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan atau penumpukan dana cadangan, kecuali:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan
usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan
hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang;
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan
sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial;
c. Cadangan pinjaman untuk Lembaga Pinjaman Simpanan;
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan;
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah
industri yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberian kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yanng bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan , kecuali
penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta

16
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di
daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada
pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf a dan b,
kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1
huruf i sampai huruf m, serta zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau yang disahkan
oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan
pemerintah.
8. Pajak Penghasilan.
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
6) Biaya yang Boleh Dikurangkan Sebesar 50 Persen
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebesar 50 persen (lima puluh
persen) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah:
1. Atas biaya perolehan atau pembelian telpon seluller yang dimiliki
dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya.

17
2. Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan
telpon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaan.
3. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar
kendaraan sedan atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan
perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya.
4. Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau
sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai
tertentu karena jabatan atau pekerjaannya.

2.3 Strategi yang Dapat Digunakan Untuk Mengefisienkan Beban PPh Badan
Suandy (2017:146) berpendapat bahwa strategi yang dapat digunakan untuk
mengefisienkan beban PPh Badan adalah:
1. Pemilihan Alternatif Dasar Pembukuan, Basis Kas, Atau Basis Akrual.
Seperti halnya akuntansi dasar pembukuan yang diakui oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah basis akrual dan basis kas yang
dimodifikasi (modified cash basis).
Pada basis akrual, pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada
saat timbulnya hak dan kewajiban, meskipun uangnya belum diterima atau
dibayar. Sedangkan, pada basis kas, pendapatan dan biaya dicatat dan
dilaporkan pada saat terjadinya penerimaaan dan pengeluaran uang.
Basis kas yang dimodifikasi dalam rangka menghitung PPh Badan
sebagai berikut:
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi
seluruh penjualan, baik yang tunai maupun nontunai.
2) Biaya-biaya yang boleh dibebankan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
3) Dalam perolehan harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya yang boleh dibebankan hanya dapat dilakukan
melalui penyusutan dan amortisasi.

18
Jadi, perbedaan antara basis akrual dan basis kas yang dimodifikasi
menurut versi perpajakan terletak pada biaya administrasi dan umum. Pada
basis akrual, abiaya administrasi dan umum dibebankan pada saat
timbulnya kewajiban; sedangkan pada basis kas, biaya tersebut baru
dibebankan pada saat terjadinya pembayaran. Dengan demikian dari sisi
efisien beban pajak lebih menguntungkan memilih basis akrual.
2. Pengelolaan Transaksi Yang Berkaitan Dengan Pemberian Kesejahteraan
Kepada Karyawan.
Perusahaan memiliki banyak peluang untuk melakukan efisiensi PPh
Badan terhadap biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan
karyawan. Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya
kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan
berikut:
1) Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah
dikenakan tarif tertinggi (diatas Rp 100.000.000) dan pengenaan PPh
Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan
kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena
pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2) Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final,
sebaiknya memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura
dan kenikmatan karena pemberian natura dan kenikmatan kepada
karyawan tidak termasuk objek PPh pasal 21, sedangkan pengeluaran
untuk pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak mempengaruhi
besarnya PPh Badan karena PPh Badan final dihitung dari presentase
atas penghasilan bruto sebelum dikurangi biaya-biaya.
3) Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan
akan menurunkan PPh Pasal 21, sementara PPh Badan tetap nihil.
Kesejahteraan karyawan yang dapat direkayasa sebagai berikut.
(1). PPh pasal karyawan:
a. PPh ditanggung karyawan yang bersangkutan.
b. Tunjngan PPh.
c. PPh ditanggung oleh perusahaan.

19
(2). Pengobatan/kesehatan karyawan:
a. Perusahaan mendirikan klinik sendiri atau bekerja sama dengan
pihak rumah sakit tertentu.
b. Karyawan diberikan tunjungan kesehatan secara rutin, baik sakit
maupun tidak.
c. Karyawan diikutsertakan dalam asuransi kesehatan sehinnga
jika karyawan bersangkutan sakit klaim dapat dilakukan ke
perusahaan asuransi.
(3). Pembayaran premi asuransi untuk pegawai:
a. Premi ditanggung perusahaan.
b. Premi ditanggung oleh karyawan yang bersangkutan.
c. Premi sebagian ditangung oleh perusahaan dan sebagian yang
lain ditanggung oleh karyawan.
(4). Iuran pensiundan iuran jaminan hari tua:
a. Iuran ditanggung perusahaan.
b. Iuran ditanggung oleh karyawan yang bersangkutan.
c. Iuran sebagian ditanggung perusahaan dan sebagian yang lain
ditanggung karyawan
(5). Rumah dinas karyawan:
a. Perusahaan menyediakan rumah dinas.
b. Perusahaan memberkan tunjungan perumahan.
(6). Transportasi untuk karyawan:
a. Perusahaan menyediakan mobil dinas.
b. Perusahaan memberikan tunjungan transportasi.
(7). Pakaian kerja karyawan:
a. Pakaian kerja sehubungan dengan lingkungan kerja (misalnya,
satpam, seragam pegawai hotel, pilot, dan sebagainya.
b. Seragam karyawan pada umumnya.
(8). Makanan dan natura lainnya:
a. Perusahaan memberikan beras atau menyediakan katering untuk
karyawan.
b. Tunjungan beras atau uang makan.
(9). Bonus dan jasa produk:
a. Dibebankan dalam tahun berjalan.
b. Dibebankan pada laba yang ditahan.
Pemberian Natura di daerah Terpencil
Pemberian natura dan kenikmatan di daerah terpecil dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto dan tidak menanmbah penghasilan
karyawan karena bukan objek PPh pasal 21 pemberian natura dan

20
kenikmatan di daerah terpencil diatur dalam SE-29/pj4/1995 tanggal 5
Juni 1995 sebagai berikut.
1) Pengertian daerah terpencil
a. Daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang layak
dikembangkan, namundaerah tersebut sulit dijangkau karena sangat
terbatasnya sarana angkutan umum(baik melaui darat, laut, dan
udara) serta sarana dan prasarana lain yang tidak tersedia sehingga
umtuk menjalankan usahanya para penanam modal harus
menyediakan sendiri sarana dan prasarana sosial ekonomi dimaksud
(misalnya, fasilitas jalan, perumahan, listrik, dan air bersih).
b. Daerah perairan laut dengan kedalaman lebih dari 50 meter yang
dasar lautnya memilki cadangan mineral.
2) Nautra dan kenikmatan yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
a. Tempat tinggal termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya
sepanjang di lokasi pekerja tersebut tidak ada tempat tiggal yang
dapat disewa.
b. Makanan dan minuman pegawai sepanjang di lokasi pekerja tersebut
tidak ada tempat penjualan makanan.
c. Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi pekerja tersebut tidak ada
tempat pelayanan kesehatan yang memadai.
d. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya sepanjang di lokasi
pekerja tersebut tidak ada sarana pendidikan yang setara.
e. Pengangkutan bagi pegawai di lokasi pekerja, sedangkan
pengangkutan bagi keluarga terbatas untuk penganggkutan
aehubungan dengan kedatangan pertama ke lokasi pekerja dan
kepergian pegawai dan keluarganya karena terhintinya hubungan
kerja.
f. Olagraga bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi pekerja
tidak ada sarana dimaksud. Sarana olahraga ini tidak termasuk
berlayar, golf, dan pacuan kuda.
3) Pengeluaran perusahaan dalam bentuk nautra di atas bukan merupakan
penghasilan karyawan.
4) Penetapan daerah terpencil diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh)
than dan dapat diperpanjang.

21
5) Permohonan keputusan tentang penetapan daerah terpencil diajukan
kepada kantor wilayah DIP yang membawahi KPP tempat wajib pajak
yang bersangkutan terdaftar.
3. Pemelihan metode penilaian persediaan.
Penentuan metode penilaian persediaan cukup penting dalam perencanaan
pajak terutama untuk perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan
perdagangan. Untuk efesiensi pajak, terutama dalam kondisi perekenomian
yang inflasi di mana harga barang cenderung naik, maka metode rata-rata
akan menghasilkan beban pokok penjualan yang lebih tinggidari pada
metode FIFO. Beban pokok penjualan yang lebih tinggi akan
mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil sehingga penghasilan kena
pajak juga akan menjadi lebih kecil.
4. Pemilihan sumber dana dalam pengadaan aset tetap.
Untuk efesiensi beban paka, sewa guna usaha dengan hak opsi sebaiknya
dipilih karena jangka waktu sewa guna usaha umunya lebih pendek dari
umur aset dan pembayaran sewa guna usaha dapat dibiayai seluruhnya.
Dengan demikian, aset tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan
melalui penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung.
Kriteria transaksi yang harus dipenuhi sebagai transaksi sewa guna usaha
dengan hak opsi antara lain sebagai berikut.
1) Jumlah pembayaran sewa ditambah dengan nilai residu barang modal,
harus dapat menutup harga perolehan barang modal dankeuntungan
lessor.
2) Masa/periode sewa guna usaha sekurang-kurangnya:
a. 2 (dua) tahun untuk barang modal golongan I;
b. 3 (tiga) tahun untuk barang modal golongan II dan III;
c. 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan.
Perlakuan perpajakan atas transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi ini.
(1). Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal yang
disewagunausahakan hingga saat lessee menggunakan hak opsinya
untuk memberi barang modal.

22
(2). Penyusutan dilakukan mulai tahun pajak digunakanya hak opsi.
Dasar penyusutan yang dipakai adalah nilai sisa (residual value)
barang modal yang bersangkutan.
(3). Pembayaran sewa guna usaha yang dilakukan/terutang merupakan
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

5. Pemilihan metode penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tidak


terwujud.
Penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tak berwujud yang diakui
oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri atas dua metode, yaitu:
1) Metode garis lurus.
2) Metode garis menurun.
Penyusutan/amortisasi dengan metode garis lurus akan menghasilkan
beban penyusutan yang sama besarnya setiap periode, sedangkan
penyusutan/amortisasi dengan metode saldo menurun akan menghasilkan
beban penyusutan lebih besar pada awal periode dan semakin menurun
pada periode-periode berikutnya. Pada saat umur ekonomis aset tersebut
habis, maka jumlah akumulasi penyusutan/amortisasi dari kedua metode
ini sama.
Untuk efesien beban pajak, sebelum menentukan metode mana yang
akan digunakan, terlebih dahulu seorang perencana pajak (tax planner)
harus melihat kondisi dari perusahaan yang bersangkutan. Jika kondisi
perusahaan adalah laba dan besarnya penghasilan kena pajak sudah
mencapai tarif pajak yang tinggi atau tertinggi, metode saldo menurun
akan lebih menguntungkan. Sebaiknya, jika kondisi perusahaan rugi maka
lebih baik memilih metode garis lurus.
6. Transaksi yang berkaitan dengan pemungutan pajak (withholding tax).
Selain sebagai pembayar pajak, perusahaan juga sebagai pemotong
pajak terhadap pihak ketiga (withholding tax). Masalah yang sering kali
timbul adalah pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya.
Apabila perusahaan tidak memotong withholding tax (misalnya, PPh pasal
23 atas jasa konsultan), perusahaan akan menanggung akibatnya jika

23
dilakukan pemeriksaan oleh fiskus karena perusahaan akan dikenakan
kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud ditambah denda
bunga atas keterlambatan penyetoran sebesar 2 persen (dua persen)
sebulan dari pokok pajak.
Untuk mengatasinya, perusahaan sebaiknya me-mark up nilai
transaksi supaya nilai teresebut sudah termasuk pajak karena jika
perusahaan hanya membayar PPh pasal 23 maka PPh yang dibayar oleh
perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Contoh
Perusahaan mengunakan jasa konsultan untuk membantu pihak
manajemen. Pihak konsultan menentukan gaji sebesar Rp 100.000.000
neto (setelah pajak).
1) Jika perusahaan tidak me-mark up nilai transaksi maka jumlah uang
yang dikeluarkan untuk transaksi tersebut adalah Rp100.000.000
ditambah PPh Pasal 23 (6% x Rp100.000.000 = Rp6.000.000)
sehingga jumlah uang yang dikeluarkan adalah Rp106.00.000.
2) Jika perusahaan melakukan mark up maka:
Nilai transaksi = 100/94 x Rp100.000.000 = Rp106.382.978
PPh Pasal 23 = 6% x Rp106.382.978 = Rp6.382.978
Jumlah lebih tinggi dari pada cara I. namun disini ada penghematan
pajak sebesar Rp6.382.978 x 5%= Rp1.595.744. Dengan demikian,
pembayaran neto untuk transaksi ini adalah sebesar Rp106.382.978 –
Rp1.595.744 = Rp104.787.234.
7. Optimalisasi pengkreditan pajak yang telah dibayar.
Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan selain angsuran masa bulanan
(PPh pasal 25) atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah
pajak penghasilan yang dibayar maupun yang dipungut oleh pihak lain
yang bersifat tidak final. PPh yang dapat dikreditkan , antara lain: PPh atas
penghasilan tanah/bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di
bidang reak estat; PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 22 atas pembelian
solar dari pertamina, fiskal luar negeri karyawan (setoran a.n. karyawan

24
q.q. perusahaan berikut NPWP perusahaan): PPh Pasal 23 atas bunga dari
nonbank, royalti; PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri.
8. Permohonan penurunan pembayaran angsuran masa (PPh Pasal 25
bulanan).
Dalam hukum fiskal, PPh pasal 25 merupakan angsuran PPh yang
berlangsung pada tahun berjalan. Untuk jumlah atau besarnya angsuran
akan dihitung berdasarkan PPh tahun sebelumnya dibagi 12, kecuali untuk
wajib pajak tertentu. Bagi wajib pajak tertentu yang disebutkan, yaitu
mereka yang mempunyai kompensasi rugi, penghasilan tidak teratur, dan
terdapat perubahan keadaan usaha. Wajib pajak dapat mengajukan
permohonan penurunan angsuran melalui surat tertulis kepada kepala
kantor pelayanan pajak yang berisi alasan-alasan terjadinya penurunan
omset yang menyebabkan angsuran PPh pasal 25 menurun. Selain itu,
sampaikan laporan keuangan atau laba rugi hingga akhir bulan terakhir
yang diproyeksikan hingga akhir tahun. Sehingga, menyebabkan status
PPh akan menjadi lebih bayar.
9. Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 dan Pasal 23.
Besarnya pembayaran PPh pasal 25 tergantung dari besarnya PPh terutang
tahun lalu atau adanya kenaikan laba pada RKAP tahun berjalan untuk
BUMN/BUMD. Namun, bisa saja terjadi diproyeksikan dalam tahun
berjalan akan terdapat penurunan laba (penghasilan kena pajak), sehingga
jika kita mengangsur PPh pasal 25 yang besarnya berdasarkan tahun lalu
maka kemungkinan pada akhir tahun akan terjadi kelebihan pembayaran
pajak. Untuk itu, perusahaan sebaiknya mengajukan permohonan
penurunan angsuran masa dengan disertai proyek laba pada akhir tahun
dan alasannya terjadi penurunan laba. Hal ini disebabkan jika terjadi
kelebihan pembayaran pajak yang walaupun dapat direstitusi, tetapi
sebelumnya wajib pajak akan dikenakan tindakan pemeriksaan.
Pengajuan pengurangan pembayaran angsuran masa PPh pasal 25
disampaikan ke KPP yang bersangkutan dengan melampirkan:
1) Proyeksi perhitungan laba/rugi tahun yang bersaangkutan;

25
2) Proyeksi laporan posisi keuangan pada akhir tahun yang
bersangkutan;
3) Proyeksi besarnya PPh badan yang terutang, yang ternyata akan
terjadi kelebihan pembayaran pajak, apabila besarnya angsuran masa
tidak dikurangi.
10. Rekonsiliasi SPT.
Sebaiknya perusahaan melakukan rekonsiliasi secara periodik antara
rekening-rekening yang ada di SPT PPh badan, SPT PPh pasal 21, dan
SPT PPN. Jika ada perbedaan segera dapat dilakukan koreksi. Hal ini
untuk menghindari pengenaan sanksi. Rekonsiliasi dapat dilakukan antara
SPT PPh badan dengan SPT PPh pasal 21 dan antara SPT PPh badan
dengan SPT PPN.
a. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21
Rekonsiliasi SPT PPh badan dengan SPT PPh pasal 21 dalah prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya gaji dan
tunjangan serta biaya lainnya yang dibayarkan kepada pihak
perorangan lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang
tercantum dalam SPT PPh pasal 21. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ini
terdiri dari gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan dan
penghasilan lain yang diberikan kepada pihak perorangan lainnya
yang menjadi objek PPh pasal 21, apakah jumlahnya telah sama antara
yang ada dalam SPT PPh badan dengan SPT PPh pasal 21.
b. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN
Rekonsiliasi SPT PPh badan dengan SPT PPN berkaitan dengan
prosedur pengecekan yang dilakukan KPP untuk mengecek apakah
jumlah omzet menurut SPT PPN bulan Desember tahun yang
bersangkutan sudah sama. Perlu diperhatikan mengapa omzet
penjualan antara yang tercantum dalam SPT PPh badan dengan SPT
PPN bisa berbeda, hal itu dikarenakan hal-hal berikut ini:
1. Omzet penualan yang tercantum dalam SPT PPh adan lebih besar
dari omzet penjualan SPT PPN arena penjualan untuk SPT PPh

26
Badan menggunakan asas basis akrual sehngga atas penjualan
kredit, jika barang telah diserahkan maka penjualannya sudah
dilaporkan; sedangkan pada SPT PPN penjualan kredit baru
dibuat faktur pajaknya pada akhir bulan setelah penyerahan
barang.
2. Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh bisa lebih kecil
dari omzet penjualan di SPT PPN karena uang muka atas
penjualan yang barangnya belum diserahkan sudah harus dibuat
faktur pajaknya, sementara penjualan tersebut baru dilaporkan
setelah penyerahan barang.
11. Penyertaan modal pada perseroan terbatas dalam negeri.
Dividen yang diperoleh dari perseroan terbatas dalam negeri dikecualikan
dari pengenaan PPh dengan syarat jumlah saham yang dimiliki minimal 25
persen (dua puluh lima persen). Dengan demikian, perusahaan dapat
melakukan investasi dengan membeli saham. Hal ini lebih menguntungkan
daripada investasi dalam obligasi atau deposito yang bunganya merupakan
objek pajak.

27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perencanaan pajak yang baik memerlukan suatu pemahaman terhadap
undang-undang dan peraturan pajak. Undang-undang pajak dari waktu ke
waktu selalu mengalami perubahan menyesuaikan dengan perkembangan
ekonomi. Strategi mengefisienkan beban pajak (penghematan pajak) yang
dilakukan oleh perusahaan harus bersifat legal yang secara umum penghematan
pajak menganut prinsip the least and latest, yaitu membayar dalam jumlah
seminimal mungkin dan pada waktu terakhir yang masih diizinkan oleh
undang-undang dan peraturan perpajakan. Dalam perencanaan pajak untuk
pajak penghasilan harus memahami ada perbedaan pengakuan pendapatan
maupun biaya antara laba komersial yang biasa dipakai oleh perusahaan
dengan laba pajak atau penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan. Strategi yang dapat digunakan untuk mengefisienkan
beban PPh badan yaitu pemilihan alternatif dasar pembukuan, basis kas, atau
basis akrual, pengelolaan transaksi yang berkaitan dengan pemberian
kesejahteraan kepada karyawan, pemelihan metode penilaian persediaan,
pemilihan sumber dana dalam pengadaan aset tetap, pemilihan metode
penyusutan aset tetap dan amortisasi aset tidak terwujud, transaksi yang
berkaitan dengan pemungutan pajak (withholding tax), optimalisasi
pengkreditan pajak yang telah dibayar, permohonan penurunan pembayaran
angsuran masa (PPh Pasal 25 bulanan), pengajuan Surat Keterangan Bebas
(SKB) PPh Pasal 22 dan Pasal 23, rekonsiliasi SPT, serta penyertaan modal
pada perseroan terbatas dalam negeri.
3.2 Saran
Seseorang pengambil keputusan hendaknya mampu mengidentifikasi
konsekuensi pajak dan perusahaan harus mempunyai seseorang yang dibekali
pengetahuan dan informasi yang tinggi untuk membuat perencanaan dan
strategi yang akan dijalankan perusahaan dalam mengecilkan beban pajak
secara legal degan memanfaatkan celah undang-undang yang berlaku.

28
DAFTAR PUSTAKA

Pertiwi, Wiwik. 2019. Pengajuan Permohonan Penurunan Angsuran PPh 25


Tahun Berjalan. https://klikpajak.id/penurunan-angsuran-pph-25-tahun-
berjalan/ (di akses 12 Mei 2019)
Suandy, Erly. 2017. Perencanaan Pajak. Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Empat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan

29

You might also like