You are on page 1of 22

PROPOSAL PENELITIAN MAGISTER

HUBUNGAN KADAR GLYCOSYLATED


HEMOGLOBIN DENGAN ANGKA KEJADIAN
KAKI DIABETIK DI RSUP H. ADAM MALIK
Oleh

FERNANDO SILALAHI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL PENELITIAN : HUBUNGAN GLYCOSYLATED HEMOGLOBIN

DENGAN ANGKA KEJADIAN KAKI DIABETIK DI


RSUP H. ADAM MALIK
NAMA PENELITI : Dr. Fernando Silalahi
NIM : 117041048
PROGRAM STUDI : Kedokteran / Ilmu Bedah
KATEGORI : Bedah Thorak Kardiovaskuler

Proposal Penelitian Magister Kedokteran Klinik ini telah diperiksa dan disetujui oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II

Dr. Marshal, SpB, SpBTKV(K)


NIP. 19610316 198611 1 001

Ketua Departemen Ilmu Bedah Ketua Program Studi Ilmu Bedah

Ilmu Bedah FK USU Ilmu Bedah FK USU

Dr. Emir Taris Pasaribu, SpB(K)Onk Dr. Marshal, SpB, SpBTKV(K)

NIP. 19520304 198002 1 001 NIP. 19610316 198611 1 00


SURAT KETERANGAN

Sudah diperiksa Proposal Penelitian Magister

Judul Penelitian : HUBUNGAN GLYCOSYLATED HEMOGLOBIN DENGAN

ANGKA KEJADIAN KAKI DIABETIK DI RSUP H. ADAM

MALIK

Nama Peneliti : Dr. Fernando Silalahi

NIM : 117041048

Program Studi : Kedokteran / Ilmu Bedah

Kategori : Bedah Thorak Kardiovaskuler

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Juni 2016

Konsultan Metodologi Penelitian

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK

NIP. 19511202 197902 1 003


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka

insidens dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya

peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang.

Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000

menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di

Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe-2 antara

0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era

2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di

Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun

1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta. Berdasarkan

data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di

atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar

14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang

diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan

pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk

yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural

(7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta

di daerah rural (Perkeni 2011).


Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yangprevalensinya

meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlahpenduduk yang melebihi 200.000.000

jiwa, sejak awal abad ini telah menjadinegara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak

didunia. (1) DM tipe 2merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun

khronik.Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan.

Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksifaktor-faktor risiko penyakit

kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi

insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi

fokus utama.

PATOFISIOLOGI DIABETES TIPE 2

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:

1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel β pancreas

Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dansebagainya.

Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapatbekerja optimal pada sel-sel

targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar.


Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel β pancreas mensekresi insulin dalam

kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankanhomeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi

hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu

dariperjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun

dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak

bebas dalam darah. Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin

relative (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel β pancreas

mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa

Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2.

Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel β pancreas yang

menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan

puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus berkembang, masih banyak

hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak pada pengobatan DM tipe 2 yang

mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga para ahli masih bersikap hati-hati dalam

membuat panduan pengobatan.

Dalam aliran darah glukosa beraksi terhadap hemoglobin membentuk molekul hemoglobin

yang disebut hemoglobin A1c (HbA1c), semakin banyak gula dalam darah, semakin banyak

HbA1c yang terbentuk dalam darah. Sekitar 90 % hemoglobin adalah hemoglobin A, kira kira

8% dari hemoglobin A dibuat dari komponen minor yang secara kimiawi sedikit berbeda.

Komponen minor ini meliputi hemoglobin A1c, A1b, A1a1 dan A1a2. Hemoglobin A1c adalah

komponen minor dari hemoglobin dimana glukosa berikatan. Oleh karenanya dirujuk sebagai

glycosylated hemoglobin atau glucosylated hemoglobin

Kadar gula darah merupakan determinan dari HbA1c, yang secara jelas menunjukkan kontrol

dari kontrol diabetes melitus selama 2 bulan terakhir. Telah disebutkan dalam penelitian-

penelitian klinis sebelumnya bahwa diabetes melitus yang tidak terkontrol memiliki hubungan
dengan peningkatan kadar HbA1c yang berhubungan dengan perkembangan retinopati

sebagaimana komplikasi lainnya (Zubair 2015).

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara kadar
glycosylated hemoglobin dengan angka kejadian kaki diabetik di Divisi Bedah Torak, Kardiak
dan Vaskuler RSUP H Adam Malik Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar glycosylated
hemoglobin dengan angka kejadian kaki diabetik di Divisi Bedah Torak, Kardiak dan Vaskuler
RSUP H Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1 Bidang Akademik / Ilmiah
Meningkatkan pengetahuan peneliti dibidang bedah Toraks Kardiak dan Vaskular
mengenai hubungan kadar glycosylated hemoglobin dengan angka kejadian kaki diabetik.

1.4.2. Bidang Pelayanan Masyarakat


Meningkatkan pelayanan penderita kaki diabetiksehingga dapat dijadikan sebagai
deteksi dini untuk mencegah terjadinya komplikasi mikrovaskular salah satunya amputasi
extremitas.

1.4.3. Bidang Pengembangan Penelitian


Memberikan data awal terhadap Divisi Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular RSUP H.
Adam Malik Medan mengenai hubungan kadar glycosylated hemoglobin dengan angka
kejadian kaki diabetik.

1.5 Hipotesis Penelitian


Terdapat hubungan kadarglycosylated hemoglobin dengan angka kejadian kaki diabetik di
RSUP H. Adam Malik Medan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah sebuah kelainan metabolik dengan disebabkan oleh berbagai
jenis factor yang dikarakteristikkan oleh hiperglikemia kronik disertai gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh defek dari sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya (WHO n.d.).

2.1.1 Epidemiologi Diabetes Melitus


Prevalensi diabetes pada pasien yang berasal dari berbagai kelompok usia di perkirakan untuk
dapat meningkat dari 2.8% di tahun 2000 menjadi 4.4% padatahun 2030. Jumlah total penderita
diabetes diproyeksikan untuk bertambah dari 171 juta di tahun 2000 menjadi 366 juta pada
tahun 2030. Prevalensi diabetes ditemukan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan
erempuan. Penduduk – penduduk di kota besar dengan diabetes mellitus di Negara berkembang
diperkirakanakan bertambah menjadi dua kali lipat diantara tahun 2000 dan 2030. Perubahan
demografis terpenting adalah dimana peningkatan prevalensi penderita diabetes terjadi pada
populasi lanjut usia (65 tahun keatas) (Wild et al. 2004).

Menurut WHO, angka kejadian DM di Indonesia menempati urutan keeempat tertinggi di


dunia, yaitu 8,4 juta jiwa, pada tahun 2000. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
memperlihatkan, prevalensi atau angkat kejadian DM meningkat dari tahun 2001 sebesar 7,5%
menjadi 10,4% pada tahun 2004. Adapun hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2003
menunjukkan prevalensi DM 14,7% di perkotaan dan 7,2% di pedesaan.Dengan melihat angka
prevalensi yang tinggi ini tentu DM menjadi ancaman bagi masyarakat. Jika dibiarkan tidak
dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik. Komplikasi kronik
DM dibagi menjadi dua besar yaitu mikroangiopati dan makroangiopati.

2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan dalah pemeriksaan
glukosa degna cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Namun dapat juga digunakan
bahan darah utuh, vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (WHO n.d.).
Toleransi terhadap glukosa di klasifikasikan menjadi 3 kategori berdasarkan Fasting Plasma
Glucose (FPG), yaitu :

1. FPG <6.1mmol/L (110mg/dl)  normal

2. FPG ≥6.1mmol/L (110mg/dl) tapi <7.0mmol/L (126mg/dl) Impaired Fasting


Glucose (IFG)

3. FPG ≥7.0mmol/L (126mg/dl)  DM

IFG merupakan kategori diagnostik terbaru yang dibuat oleh Expert Committee on the
Diagnosis and Classification of DM. IFG analog dengan IGT, yaitu kadar glukosa plasma
antara 7.8mmol/L (140 dan 200 mg/dl dalam dua jam setelah tes toleransi glukosa oral
(TTGO). Individu dengan IFG atau IGT memiliki risiko untuk menderita DM tipe 2 dan
penyakit kardiovaskular di masa depan (WHO n.d.).

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan klasik DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan kemungkinan lain.
Dapat juga ditemukan keluhan lain berupa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfunsgi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita (WHO n.d.).

2.2 Defenisi Kaki Diabetik

Kaki diabetik merupakan kelainan tungkai bawah yang disebabkan oleh gangguan pembuluh
darah, gangguan persyarafan dan infeksiakibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan
baik. Kaki diabetik pada penderita diabetes melitus diawali dengan adanya lesi hingga
terbentuknya ulkus yang sering disebut ulkus kaki diabetik. Ulkus kaki diabetik dan infeksi
yang menyertai adalah salah satu komplikasi yang paling sering pada pasien diabetes melitus
(Frykberg et al. 2006; Clayton 2009).

2.2.1 Epidemiologi Kaki Diabetik

,
Peningkatan populasi penderita diabetes mellitus (DM), berdampak pada peningkatan kejadian
ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana sebanyak 15-25% penderita DM
akan mengalami ulkus kaki diabetik dalam hidup mereka. Diperkirakan 16 juta orang Amerika
Serikat diketahui menderita diabetes, dan jutaan diantaranya beresiko untuk menderita
diabetes. Dari keseluruhan penderita diabetes, 15 % menderita ulkus di kaki, dan 12 – 14 %
dari yang menderita ulkus di kaki memerlukan amputasi (Clayton 2009; Singh 2013).
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang paling ditakuti.
Sering diabetes berakhir dengan kecacatan atau kematian. Lebih dari separuh amputasi non
trauma merupakan akibat dari komplikasi ulkus diabetes dan disertai dengan tingginya angka
mortalitas, reamputasi dan amputasi kaki kontralateral (Frykberg et al. 2006).
.

2.2.2 Patogenesis Kaki Diabetik

Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan oleh
Diabetes Melitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler serta infeksi. Pada
penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya
penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan
kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit
kering dan hilang rasa, apabila penderita diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma
yang akan menyebabkan lesi dan menjadi ulkus kaki diabetes.
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam
jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh
hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (Clayton 2009;
Frykberg & Moines 2002).
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian
jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita
diabetes mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi
pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes.
Pada penderita diabetes mellitus yang kadar gula darahnya tidak terkendali akan menyebabkan
penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan
pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler sehingga
mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yangmengakibatkan
ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali akan
meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di
jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang mengganggu
sirkulasijaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya
timbul ulkus kaki diabetes (Clayton 2009; Frykberg & Moines 2002).

Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya


agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan memudahkan
terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.
Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera
jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya aterosklerosis.
Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki menjadi
atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul
ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (Frykberg & Moines 2002).

2.2.3 Klasifikasi Kaki Diabetik Wagner


Klasifikasi Wagner

Grade 0 Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi

Grade I Ulkus superfisial terlokalisir.

Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum mengenai
tulang, tanpa selulitis atau abses

Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi osteomielitis,
abses atau selulitis.

Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal.

Grade V Gangren luas pada seluruh kaki.

2.2.4 Diagnosis Kaki Diabetik


Gejala neuropati perifer meliputi hipesthesia, hiperesthesia, paresthesia,disesthesia,radicular
pain dan anhidrosis. sebagian besar orang yang menderitapenyakit atherosklerosis pada
ekstremitas bawah tidak menunjukkan gejala(asimtomatik), Penderita yang menunjukkan
gejala didapatkan claudicatio, nyeriiskemik saat istirahat, luka yang tidak sembuh dan nyeri
kaki yang jelas. Kram,kelemahan dan rasa tidak nyaman pada kaki sering dirasakan oleh
penderitadiabetes karena kecenderungannya menderita oklusi aterosklerosis tibioperoneal.

Penyebab ulkus diabetes dapat ditentukan secara tepat melalui anamnesis riwayat dan
pemeriksaan fisik yang teliti. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu Inspeksi kaki untuk
mengamati terdapat luka ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi
vibrasi rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau
hilang. Selain pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti X-ray, EMG
(Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus kaki
diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.

2.2.5 Prognosis Kaki Diabetik

Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada kaki dan 1 diantara
100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh karena itu, diabetes merupakan
faktor penyebab utama amputasi non trauma ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Amputasi
kontralateral akan dilakukan pada 50 % penderita ini selama rentang 5 tahun ke depan
(Chadwick n.d.).
Neuropati perifer yang terjadi pada 60% penderita diabetes merupakan resiko terbesar
terjadinya ulkus pada kaki, diikuti dengan penyakit mikrovaskuler dan regulasi glukosa darah
yang buruk. Pada penderita diabetes dengan neuropati, meskipun hasil penyembuhan ulkus
tersebut baik, angka kekambuhan 66% dan angka amputasi meningkat menjadi 12% (Frykberg
et al. 2006).

2.3 Ankle – Brachial Index


2.3.1 Tujuan ABI
Ankle Brachial Index (ABI) merupakan prosedur pemeriksaan diagnostik sistem vaskularisasi
tubuh yang membandingkan rasio tekanan darah ekstremitas atas dengan ekstremitas bawah.
Tujuan dari dilakukannya pemeriksaan ABI adalah untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyakit arteri perifer, seperti misalnya pada kasus kaki diabetik. Tekanan yang diukur adalah
dengan menggunakan tekanan sistolik tertinggi yang didapatkan dari pengukuran brachial dan
ankle. Tekanan ekstremitas bawah yang lebih rendah dari ekstremitas atas menunjukkan
adanya gambaran penyakit arteri perifer (Nicolaï 2009).
2.3.2 Keterbatasan ABI
Pemeriksaan ABI memiliki beberapa keterbatasan pada aplikasinya dalam praktek
kedokteran (Nicolaïet al. 2009; Jiwakanon 2012) :

a. Pengukuran ABI tidak terlalu akurat pada pasien yang mengalami kalsifikasi dinding
arteri (pendebalan / pengerasan dinding pembuluh arteri). Kemudian kalsifikasi ini
akan mengakibatkan dinding arteri yang keras tidak dapat terbendung saat dilakukan
pemeriksaan. Dengan demikian akan memberikan false negative effect pada
peningkatan tekanan sistolik.
b. Pengukuran ABI saat pasien istirahat (resting ABI) tidak dapat mendeteksi penyakit
pembuluh perifer yang masih kondisi ringan. Untuk mengakalinya dapat dilakukan
treadmill test selama 6 menit sebelum dilakukan pengukuran. Namun demikian,
terkadang treadmill test pun tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
obesitas atau komorbid lain seperti aneurisma.
c. Pengukuran ABI juga bergantung pada kemampuan dari operator (operator dependent)
karena tidak ada standar baku atau protocol pemeriksaan yang jelas. Hal ini juga
berakibat pada rendahnya nilai reliabilitas pemeriksaan ABI

2.3.3 Indikasi ABI


Pemeriksaan ABI (Nicolaï et al. 2009; Davies, Kenkre &Williams 2014) diindikasikan untuk
tujuan klinis sebagai berikut :

a. Mendeteksi adanya insufisiensi arteri yang dapat mengakibatkan penyakit arteri perifer
pada pasien tanpa gejala dengan risiko tinggi seperti: DM tipe 2 yang tidak terkontrol,
hiperkolesterol, hipertrigliserida, perokok berat , dan lainnya
b. Pada pasien dengan gejala seperti luka kaki diabetik, pemeriksaan ABI diindikasikan
untuk menegakkan diagnosis penyakit arteri perifer sekaligus membedakan antara
venous ulcer, arterial ulcer, atau mixed ulcer.
c. Pemeriksaan ABI dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil penatalaksanaan atau
pengobatan

2.3.4 Kontraindikasi ABI


Pemeriksaan ABI memerlukan pasien untuk dapat berbaring tenang dan dapat dipasang manset
untuk diukur tekanan sistolik pada ekstremitas atas dan bawah. Oleh karena itu, pemeriksaan
ini (Nicolaïet al. 2009; Taylor 2015; Forbang et al. 2015) dikontraindikasikan pada kondisi
dimana :

a. Pasien tidak mampu berbaring pada posisi supine dalam waktu yang cukup untuk
dilakukan pengukuran ABI, misalnya pada pasien dengan gaduh gelisah.
b. Pada kondisi dimana cedera ekstremitas dapat diperparah dengan pemeriksaan ABI
yang mengakibatkan oklusi arteri, misalnya pada trauma ekstremitas yang berat.

2.3.5 Penatalaksanaan ABI


Pasien yang akan melakukan pemeriksaan diagnostic ABI tidak memerlukan penatalaksanaan
khusus sebelum dilakukan tindakan. Penggunaan zat sedasi atau analgesia juga tidak
diperlukan dalam persiapan prosedur ini. Setelah pemeriksaan, pasien tidak membutuhkan
penatalaksanaan spesifik akibat pemeriksaan, sehingga dapat segera dilanjutkan dengan
rencana pengobatan penyakit pasien (Nicolaïet al. 2009; ; Jiwakanon 2012; Davies, Kenkre &
Williams 2014)
2.3.6 Prosedur ABI
Prosedur pemeriksaan ABI (Nicolaïet al. 2009) dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Pasien diposisikan supine (telentang), dimana ketinggian kaki sama dengan ketinggian
jantung
2) Pasang manset di lengan atas dan tempatkan probe vascular Doppler ultrasound di
posisi arteri brachialis dengan sudut 45 derajat.
3) Palpasi nadi radialis, bila sudah teraba pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan
darah sistolik per palpasi.
4) Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe, hasilnya
merupakan tekanan darah systolic brachialis.
5) Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki dan tempatkan probe vascular Doppler
ultrasound di posisi arteri dorsalis pedis atau arteri tibilias dengan sudut 45 derajat.
6) Ulangi langkah 4) dan 5) pada lengan sebelahnya
7) Palpasi nadi dorsalis pedis, bila sudah teraba pompa manset hingga 20 mmHg diatas
tekanan darah sistolik per palpasi.
8) Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya
merupakan tekanan darah systolic ankle
9) Ulangi langkah 7) dan 8) pada kaki sebelahnya
10) Pilih tekanan darah systolic brachialis tertinggi (diantara lengan kanan dan kiri) dan
tekanan darah systolic ankle teritnggi (diantara kaki kanan dan kaki kiri)

2.3.7 Gambaran ABI Penderita Kaki Diabetik


Interpretasi hasil pemeriksaan ABI dapat dilihat sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 1. Nilai Ankle Brachial Index (ABI)

Keparahan ABI
penyakit Istirahat Latihan
Normal >0.9 >0.9
Ringan 0.8-0.9 0.5-0.9
Sedang 0.5-0.79 0.15-0.49
Berat <0.5 <0.15

Tabel 2: Kriteria diagnostik PAD berdasarkan pengukuran ABI


(Nicolaï et al. 2009; ; Jiwakanon 2012; Davies, Kenkre &Williams 2014)

Rentang Diagnosis
0.91-1.30 Normal
0.70-0.90 Obstruksi ringan
0.40-0.69 Obstruksi sedang
<0,4 Obstruksi berat
> 1.30 Gangguan kompresi

2.3.8 Cara Pengukuran ABI


Pengukuran dilakukan dengan cara seperti pada gambar 1 di bawah :
Gambar 1. Pengukuran tekanan sistolik
(Nicolaï et al. 2009; ; Jiwakanon 2012; Davies, Kenkre &Williams 2014)

Kemudian nilai ABI diukur dengan perhitungan sebagai berikut:

Keterangan:
Pankle: tekanan sistolik tertinggi pada ankle (arteri dorsalis pedis atau arteri posterior tibial)
Pbrachial: tekanan sistolik tertinggi pada lengan (arteri brachialis)
(Nicolaï et al. 2009; ; Jiwakanon 2012; Davies, Kenkre & Williams 2014)

2.4 Defenisi Glycosylated Hemoglobin

Glycosilated hemoglobin atau hemoglobin terglikosilasi adalah keadaan dimana glukosa terikat
dengan protein plasma pada sirkulasi sistemik termasuk hemoglobin yang ada pada sel darah
merah (Tio, Ilhamuddin & Ramadhany 2011)

2.4.1 Pemeriksaan Glycosylated Hemoglobin

Pemeriksaan Glycosylated Hemoglobin merupakan suatu cara yang digunakan untuk menilai
dan mengevaluasi hasil terapi control gula darah dalam rentang 8-12 minggu sebelum
pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.
Pemeriksaan Glycosylated Hemoglobin digunakan sebagai acuan dalam penilaian
pengendalian DM dengan mengacu pada nilai HbA1c < 7% makan dikatakan pengendalian
DM telah dilakukan dengan baik (Perkeni 2011).
2.4.2 Hubungan Glycosylated Hemoglobin dengan Kaki Diabetik
Padapenelitian yang dilakukan oleh Hasan (2013), didapati bahwa kadar HbA1c yang tidak

terkontrol merupakan indikator yang kuat terhadap kadar gula darah yang juga tidak terkontrol.

Kadar HbA1c yang tidak terkontrol pada penderita DM berakibat pada terjadinya gangguan

metabolik yang pada akhirnya membua terjadinya gangguan pada metabolism protein dan

lemak. Terjadinya gangguan pada metabolism protein dan lemak mengakibatkan terjadinya

gangguan pada proses granulasi luka.


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Bedah Torak, Kardiak dan Vaskuler Departemen Ilmu Bedah

dan ruang rawat inp RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita DM dengan diagnosis kaki diabetik dan

penderita DM tanpa diagnosis kaki diabetik di RSUP H. Adam Malik Medan

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah penderita DM dengan diagnosis kaki diabetik di Poliklinik Bedah

Torak, Kardiak dan Vaskular Departemen Ilmu Bedah dan ruang rawat inap RSUP H. Adam

Malik Medan.

3.4 Besar Sampel

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

 Jenis kelamin laki-laki dan perempuan

 Penderita Diabetes Melitus disertai gejala kaki diabetik


 Penderita Diabetes Melitus tanpa disertai gejala kaki diabetik

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

 Penderita yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian

 Penderita yang tidak dilakukan pemeriksaan glycosylated hemoglobin

 Mempunyai riwayat kelainan pembuluh darah perifer sebelumnya, contoh : PAD,

penyakit Buerger

3.7 Alat dan Bahan

Berikut alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian :

3.8 Analisis Data

Data yang sudah dikumpulkan, diolah, dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel atau

diagram. Penjelasan tabel dan diagram. Penjelasan tabel dan diagram akan disajikan dalam

bentuk narasi. Data diolah dengan menggunakan SPSS v20

3.9 Defenisi Operasional

3.10 Perimbangan Etik

Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka sebagai manusia harus

dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dalam pertimbangan etik yaitu : responden

mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia bersedia untuk menjadi subjek atau tidak tanpa

sanksi apapun. Responden juga mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberitakan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya namanya (anonimity) dan confidentiality

3.11 Persetujuan setelah penjelasan


Semua subjek penelitian akan dimintai persetujuan dari pasien dan keluarga pasien setelah

diberi penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan.

3.12 Kerangka Konsep


DAFTAR PUSTAKA

1. Chadwick P, Edmonds M, McCardle J, Armstrong D, Apelqvist J, Botros M, et al. 2009.


Best practice guidelines : Wound management in diabetic food ulcers.
2. Clayton W, Elasy TA. 2009. A review of the pathophysiology, classification, and
treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clin diabetes;27(2):52–8.
3. Davies JH, Kenkre J, Williams EM. 2014. Current utility of the ankle-brachial index
(ABI) in general practice : implications for its use in cardiovascular disease screening.
BMC Fam Pract [Internet]. BMC Family Practice;15(1):1–11. Available from: BMC
Family Practice.
4. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate hyperglycemia. WHO, Int
Diabetes Fed.
5. Forbang NI, McDermott MM, Liao Y, Ix JH, Allison MA, Liu K, et al. 2015.
Associations of Diabetes Mellitus and Other Cardiovascular Disease Risk Factors with
Decline in the Ankle Brachial Index. Vasc Med;19(6):465–72.
6. Frykberg RG, Moines D. 2002. Diabetic foot ulcers : Pathogenesis and management. Am
Fam Physician;1655–62.
7. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, Kravitz SR, et al. 2006.
A Supplement to : Diabeteic foot disorders a clinical practice guideline. J Foot Ankle
Surg;45(5).
8. Hasan CMM, Parial R, Islam MM, Ahmad MNU, Kasru A. 2013. Association of HbA1c,
creatinine and lipid profile in patients with diabetic foot ulcer. Middle East J Sci
Res;16(11):1508–11.
9. Jiwakanon S, Adler S, Mehrotra R. 2012. Change in ankle-brachial index over time and
mortality in diabetics with proteinuria. Clin Nephrol;78(5):335–45.
10. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
Perkeni, Jakarta.
11. Nicolaï SPA, Kruidenier LM, Rouwet E V, Bartelink MEL, Prins MH, Teijink JAW.
June 2009. Ankle brachial index measurement in primary care : are we doing it right ?.
422–7.
12. Singh S, Pai DR, Yuhhui C. 2013. Clinical research on foot & ankle diabetic foot ulcer –
diagnosis and management. Clin Res Foot Ankle.;1(3):1–9.
13. Taylor-piliae RE, Fair JM, Varady AN, Mark A, Norton LC, Iribarren C, et al. 2015.
Ankle brachial index screening in asymptomatic older adults. Am Hear J.;161(5):979–
85.
14. Tio M, Ilhamuddin, Ramadhany S. 2011. Hubungan antara kadar Hba1c dengan kejadian
ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Makassar.
15. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H, 2004. Global prevalence of diabetes,
estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care;27(5):1047–53.

You might also like