Professional Documents
Culture Documents
FERNANDO SILALAHI
MEDAN
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Proposal Penelitian Magister Kedokteran Klinik ini telah diperiksa dan disetujui oleh :
Pembimbing I, Pembimbing II
MALIK
NIM : 117041048
Fakultas Kedokteran
PENDAHULUAN
insidens dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya
peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang.
Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di
Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980 menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe-2 antara
0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era
2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di
Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun
1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di
atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar
14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang
diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan
pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk
yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural
(7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta
meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlahpenduduk yang melebihi 200.000.000
jiwa, sejak awal abad ini telah menjadinegara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak
didunia. (1) DM tipe 2merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun
khronik.Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan.
insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi
fokus utama.
1. Resistensi insulin
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dansebagainya.
Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapatbekerja optimal pada sel-sel
kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankanhomeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi
dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak
bebas dalam darah. Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin
mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa
Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel β pancreas yang
menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan
puasa. Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus berkembang, masih banyak
hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak pada pengobatan DM tipe 2 yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga para ahli masih bersikap hati-hati dalam
Dalam aliran darah glukosa beraksi terhadap hemoglobin membentuk molekul hemoglobin
yang disebut hemoglobin A1c (HbA1c), semakin banyak gula dalam darah, semakin banyak
HbA1c yang terbentuk dalam darah. Sekitar 90 % hemoglobin adalah hemoglobin A, kira kira
8% dari hemoglobin A dibuat dari komponen minor yang secara kimiawi sedikit berbeda.
Komponen minor ini meliputi hemoglobin A1c, A1b, A1a1 dan A1a2. Hemoglobin A1c adalah
komponen minor dari hemoglobin dimana glukosa berikatan. Oleh karenanya dirujuk sebagai
Kadar gula darah merupakan determinan dari HbA1c, yang secara jelas menunjukkan kontrol
dari kontrol diabetes melitus selama 2 bulan terakhir. Telah disebutkan dalam penelitian-
penelitian klinis sebelumnya bahwa diabetes melitus yang tidak terkontrol memiliki hubungan
dengan peningkatan kadar HbA1c yang berhubungan dengan perkembangan retinopati
IFG merupakan kategori diagnostik terbaru yang dibuat oleh Expert Committee on the
Diagnosis and Classification of DM. IFG analog dengan IGT, yaitu kadar glukosa plasma
antara 7.8mmol/L (140 dan 200 mg/dl dalam dua jam setelah tes toleransi glukosa oral
(TTGO). Individu dengan IFG atau IGT memiliki risiko untuk menderita DM tipe 2 dan
penyakit kardiovaskular di masa depan (WHO n.d.).
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan klasik DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan kemungkinan lain.
Dapat juga ditemukan keluhan lain berupa lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfunsgi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita (WHO n.d.).
Kaki diabetik merupakan kelainan tungkai bawah yang disebabkan oleh gangguan pembuluh
darah, gangguan persyarafan dan infeksiakibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan
baik. Kaki diabetik pada penderita diabetes melitus diawali dengan adanya lesi hingga
terbentuknya ulkus yang sering disebut ulkus kaki diabetik. Ulkus kaki diabetik dan infeksi
yang menyertai adalah salah satu komplikasi yang paling sering pada pasien diabetes melitus
(Frykberg et al. 2006; Clayton 2009).
,
Peningkatan populasi penderita diabetes mellitus (DM), berdampak pada peningkatan kejadian
ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana sebanyak 15-25% penderita DM
akan mengalami ulkus kaki diabetik dalam hidup mereka. Diperkirakan 16 juta orang Amerika
Serikat diketahui menderita diabetes, dan jutaan diantaranya beresiko untuk menderita
diabetes. Dari keseluruhan penderita diabetes, 15 % menderita ulkus di kaki, dan 12 – 14 %
dari yang menderita ulkus di kaki memerlukan amputasi (Clayton 2009; Singh 2013).
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang paling ditakuti.
Sering diabetes berakhir dengan kecacatan atau kematian. Lebih dari separuh amputasi non
trauma merupakan akibat dari komplikasi ulkus diabetes dan disertai dengan tingginya angka
mortalitas, reamputasi dan amputasi kaki kontralateral (Frykberg et al. 2006).
.
Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan oleh
Diabetes Melitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler serta infeksi. Pada
penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya
penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan
kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit
kering dan hilang rasa, apabila penderita diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma
yang akan menyebabkan lesi dan menjadi ulkus kaki diabetes.
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam
jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh
hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (Clayton 2009;
Frykberg & Moines 2002).
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena
penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat
mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian
jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita
diabetes mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi
pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes.
Pada penderita diabetes mellitus yang kadar gula darahnya tidak terkendali akan menyebabkan
penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan
pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler sehingga
mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yangmengakibatkan
ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali akan
meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di
jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang mengganggu
sirkulasijaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya
timbul ulkus kaki diabetes (Clayton 2009; Frykberg & Moines 2002).
Grade II Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum mengenai
tulang, tanpa selulitis atau abses
Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi osteomielitis,
abses atau selulitis.
Penyebab ulkus diabetes dapat ditentukan secara tepat melalui anamnesis riwayat dan
pemeriksaan fisik yang teliti. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu Inspeksi kaki untuk
mengamati terdapat luka ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi
vibrasi rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau
hilang. Selain pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti X-ray, EMG
(Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus kaki
diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.
Pada penderita diabetes, 1 diantara 20 penderita akan menderita ulkus pada kaki dan 1 diantara
100 penderita akan membutuhkan amputasi setiap tahun. Oleh karena itu, diabetes merupakan
faktor penyebab utama amputasi non trauma ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Amputasi
kontralateral akan dilakukan pada 50 % penderita ini selama rentang 5 tahun ke depan
(Chadwick n.d.).
Neuropati perifer yang terjadi pada 60% penderita diabetes merupakan resiko terbesar
terjadinya ulkus pada kaki, diikuti dengan penyakit mikrovaskuler dan regulasi glukosa darah
yang buruk. Pada penderita diabetes dengan neuropati, meskipun hasil penyembuhan ulkus
tersebut baik, angka kekambuhan 66% dan angka amputasi meningkat menjadi 12% (Frykberg
et al. 2006).
a. Pengukuran ABI tidak terlalu akurat pada pasien yang mengalami kalsifikasi dinding
arteri (pendebalan / pengerasan dinding pembuluh arteri). Kemudian kalsifikasi ini
akan mengakibatkan dinding arteri yang keras tidak dapat terbendung saat dilakukan
pemeriksaan. Dengan demikian akan memberikan false negative effect pada
peningkatan tekanan sistolik.
b. Pengukuran ABI saat pasien istirahat (resting ABI) tidak dapat mendeteksi penyakit
pembuluh perifer yang masih kondisi ringan. Untuk mengakalinya dapat dilakukan
treadmill test selama 6 menit sebelum dilakukan pengukuran. Namun demikian,
terkadang treadmill test pun tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami
obesitas atau komorbid lain seperti aneurisma.
c. Pengukuran ABI juga bergantung pada kemampuan dari operator (operator dependent)
karena tidak ada standar baku atau protocol pemeriksaan yang jelas. Hal ini juga
berakibat pada rendahnya nilai reliabilitas pemeriksaan ABI
a. Mendeteksi adanya insufisiensi arteri yang dapat mengakibatkan penyakit arteri perifer
pada pasien tanpa gejala dengan risiko tinggi seperti: DM tipe 2 yang tidak terkontrol,
hiperkolesterol, hipertrigliserida, perokok berat , dan lainnya
b. Pada pasien dengan gejala seperti luka kaki diabetik, pemeriksaan ABI diindikasikan
untuk menegakkan diagnosis penyakit arteri perifer sekaligus membedakan antara
venous ulcer, arterial ulcer, atau mixed ulcer.
c. Pemeriksaan ABI dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil penatalaksanaan atau
pengobatan
a. Pasien tidak mampu berbaring pada posisi supine dalam waktu yang cukup untuk
dilakukan pengukuran ABI, misalnya pada pasien dengan gaduh gelisah.
b. Pada kondisi dimana cedera ekstremitas dapat diperparah dengan pemeriksaan ABI
yang mengakibatkan oklusi arteri, misalnya pada trauma ekstremitas yang berat.
1) Pasien diposisikan supine (telentang), dimana ketinggian kaki sama dengan ketinggian
jantung
2) Pasang manset di lengan atas dan tempatkan probe vascular Doppler ultrasound di
posisi arteri brachialis dengan sudut 45 derajat.
3) Palpasi nadi radialis, bila sudah teraba pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan
darah sistolik per palpasi.
4) Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe, hasilnya
merupakan tekanan darah systolic brachialis.
5) Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki dan tempatkan probe vascular Doppler
ultrasound di posisi arteri dorsalis pedis atau arteri tibilias dengan sudut 45 derajat.
6) Ulangi langkah 4) dan 5) pada lengan sebelahnya
7) Palpasi nadi dorsalis pedis, bila sudah teraba pompa manset hingga 20 mmHg diatas
tekanan darah sistolik per palpasi.
8) Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya
merupakan tekanan darah systolic ankle
9) Ulangi langkah 7) dan 8) pada kaki sebelahnya
10) Pilih tekanan darah systolic brachialis tertinggi (diantara lengan kanan dan kiri) dan
tekanan darah systolic ankle teritnggi (diantara kaki kanan dan kaki kiri)
Keparahan ABI
penyakit Istirahat Latihan
Normal >0.9 >0.9
Ringan 0.8-0.9 0.5-0.9
Sedang 0.5-0.79 0.15-0.49
Berat <0.5 <0.15
Rentang Diagnosis
0.91-1.30 Normal
0.70-0.90 Obstruksi ringan
0.40-0.69 Obstruksi sedang
<0,4 Obstruksi berat
> 1.30 Gangguan kompresi
Keterangan:
Pankle: tekanan sistolik tertinggi pada ankle (arteri dorsalis pedis atau arteri posterior tibial)
Pbrachial: tekanan sistolik tertinggi pada lengan (arteri brachialis)
(Nicolaï et al. 2009; ; Jiwakanon 2012; Davies, Kenkre & Williams 2014)
Glycosilated hemoglobin atau hemoglobin terglikosilasi adalah keadaan dimana glukosa terikat
dengan protein plasma pada sirkulasi sistemik termasuk hemoglobin yang ada pada sel darah
merah (Tio, Ilhamuddin & Ramadhany 2011)
Pemeriksaan Glycosylated Hemoglobin merupakan suatu cara yang digunakan untuk menilai
dan mengevaluasi hasil terapi control gula darah dalam rentang 8-12 minggu sebelum
pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.
Pemeriksaan Glycosylated Hemoglobin digunakan sebagai acuan dalam penilaian
pengendalian DM dengan mengacu pada nilai HbA1c < 7% makan dikatakan pengendalian
DM telah dilakukan dengan baik (Perkeni 2011).
2.4.2 Hubungan Glycosylated Hemoglobin dengan Kaki Diabetik
Padapenelitian yang dilakukan oleh Hasan (2013), didapati bahwa kadar HbA1c yang tidak
terkontrol merupakan indikator yang kuat terhadap kadar gula darah yang juga tidak terkontrol.
Kadar HbA1c yang tidak terkontrol pada penderita DM berakibat pada terjadinya gangguan
metabolik yang pada akhirnya membua terjadinya gangguan pada metabolism protein dan
lemak. Terjadinya gangguan pada metabolism protein dan lemak mengakibatkan terjadinya
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional
Penelitian dilakukan di Poliklinik Bedah Torak, Kardiak dan Vaskuler Departemen Ilmu Bedah
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita DM dengan diagnosis kaki diabetik dan
Sampel penelitian adalah penderita DM dengan diagnosis kaki diabetik di Poliklinik Bedah
Torak, Kardiak dan Vaskular Departemen Ilmu Bedah dan ruang rawat inap RSUP H. Adam
Malik Medan.
penyakit Buerger
Data yang sudah dikumpulkan, diolah, dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel atau
diagram. Penjelasan tabel dan diagram. Penjelasan tabel dan diagram akan disajikan dalam
Karena peneliti menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, maka sebagai manusia harus
mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia bersedia untuk menjadi subjek atau tidak tanpa
sanksi apapun. Responden juga mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberitakan
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya namanya (anonimity) dan confidentiality
diberi penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan.