You are on page 1of 5

SKEMA FRAUD

ACFE Report to the Nation (RTTN) menyediakan statistik tentang kecurangan secara
berkala sejak tahun 1996. Laporan tersebut menyimpulkan tipe skema kecurangan. Statistik ini
merupakan alat penting untuk memahami dan mempertimbangkan kecurangan.
Karakteristik Kategori Skema
Analisis karakteristik skema fraud dari kasus Hambalang adalah sebagai berikut :
1. Pelaku Fraud
Dalam skema korupsi, pelaku fraud bisa siapa saja tetapi setidaknya selalu ada dua
pihak yang terlibat. Dalam kasus Hambalang ini, skema korupsi dilakukan oleh banyak
pihak mulai dari pihak eksekutif, legislatif, dan pihak-pihak lain dari perusahaan yang
bekerjasama dalam proyek.
2. Ukuran Kecurangan
Statistik RTTN pada tahun 2008 menunjukkan rata-rata kerugian akibat kecurangan
korupsi adalah $250.000 dan termasuk kategori medium. Dan dalam kasus Hambalang ini
kerugian yang terjadi cukup besar karena kerugian yang ditanggung mencapai Rp 463,67
miliar atau sekitar $35 juta.
3. Frekuensi Kecurangan
Beberapa fraudster terkadang melakukan lebih dari satu jenis kecurangan. Skema fraud
korupsi termasuk kecurangan dengan frekuensi medium, yaitu sebesar 30%.
4. Motivasi
Kecurangan korupsi sering didorong oleh motif bisnis (ekonomi), seperti skema suap
untuk mendapatkan akses ke pasar yang sulit diakses. Motif politik juga bisa dikaitkan
dengan kecurangan korupsi. Motivasi pihak eksekutif, legislatif, dan pihak KSO-AW adalah
personal pressure dan bisnis. Personal pressure diantaranya tercermin pada tindakan Anas
Urbaningrum yang menggunakan hasil korupsi untuk memuluskan jalan dalam pemilihan
Ketua Umum Partai Demokrat. Untuk bisnis terlihat pada tindakan pemberian tidak sah oleh
pihak KSO-AW, yaitu Teuku Bagus Mukhamad Noor (sebagai Kepala Divisi Konstruksi
Jakarta I) dan M Arief Taufiqurahman (sebagai Manajer Pemasaran sekaligus Fasilitator
dari Teuku Bagus Mokhamad Noor).
5. Materialitas
Kategori kecurangan berbeda dalam hal materialitas. Korupsi bisa menjadi fraud
dengan kategori material, terutama untuk kecurangan di atas biaya rata-rata kecurangan
korupsi. Namun, bisa juga tidak material tergantung pada ukuran organisasi. Kecurangan
korupsi pada kasus Hambalang termasuk material dikarenakan mencapai Rp 463,67 miliar
atau sekitar $35 juta.
6. Benefactor
Kecurangan korupsi menguntungkan pelaku kecurangan dan diklasifikasikan sebagai
kecurangan orang dalam terhadap organisasi.
7. Ukuran Perusahaan Korban
Ukuran korban pada kasus Hambalang termasuk besar karena kasus ini merugikan
negara dalam jumlah yang besar, serta merugikan banyak pihak.
Skema Fraud (Fraud Tree)
Berdasarkan latar belakang kasus Hambalang yang dikaitkan dengan tiga komponen
utama dalam katogori Skema Fraud (Fraud Tree) yaitu Korupsi, Penyalahgunaan Aset, dan
Laporan Keuangan dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus Hambalang tersebut tergolong dalam
komponen Korupsi.
A. Konflik Kepentingan (Conflicts of Interest)
Pada Oktober Tahun 2009 proyek Hambalang kembali dilanjutkan oleh Menpora Andi
Alfian Mallarangeng yang berhasil terealisasi. Hal tersebut menyebabkan konflik
kepentingan dengan melakukan lobi-lobi untuk kemenangan tender. Konflik kepentingan
untuk kemenangan tender tersebut dimenangkan oleh dua perusahaan kontruktur BUMN
PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya, termasuk perusahaan subkontraktor yang dimiliki
oleh Machfud Suroso sebagai Direktur PT Dutasari Citralaras dan Istri Anas Urbaningrum
sebagai komisaris. Selanjutnya, konflik kepentingan dalam pembebasan lahan tanah di
Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Anas Urbaningrum turut terlibat dalam proyek dengan
melakukan serangkaian pertemuan yang dihadiri Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN)
Joyo Winoto terkait sertifikasi tanah di Hambalang.
B. Penyuapan (Bribery)
Sebelum kerja sama operasi (KSO) PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya terbentuk dari
2009 – 2010, ternyata PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya telah mengalirkan ongkos
komitmen atau melakukan penyuapan (bribery) sebesar Rp 19,32 Miliar ke banyak orang
untuk kemenangan tender proyek Hambalang. Selanjutnya, setelah kerja sama operasi
terbentuk PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya mengeluarkan lagi sebesar 15,22 Miliar
sehingga total dana yang mengalir ke pihak tertentu paling sedikit Rp 34,54 Miliar. Namun
tidak sampai itu, kemenangan kedua tender BUMN yaitu PT Adhi Karya dan PT Wijaya
Karya ternyata tidak gratis. Perusahaan kontraktor BUMN PT Adhi Karya dan PT Wijaya
Karya tersebut menggelontorkan dana terima kasih senilai Rp 100 Miliar yang setengahnya
dipakai untuk pemenangan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan
sisanya dibagi-bagikan, oleh Machfud kepada anggota DPR RI, termasuk kepada Menteri
Pemuda Olahraga (Menpora) Andi Alfian Mallarangeng.
C. Gratifikasi (Illegal Gratuities)
Pada 22 Februari Tahun 2013 saat penetapan tersangka oleh KPK, Anas Urbaningrum
diduga menerima gratifikasi berupa barang dan uang terkait dengan perannya dalam proyek
Hambalang dan KPK membenarkan pemberian mobil Toyota Harrier yang merupakan salah
satu alat bukti yang menjerat Anas Urbaningrum. Menurut Nazaruddin mobil Toyota
Harrier yang berikan olehnya adalah pemeberian dari PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya
atas kemenangan tender dalam proyek Hambalang.

RED FLAGS
Red Flags Umum
Kasus Hambalang tergolong dalam red flags karyawan, terhadap organisasi untuk
kepentingan karyawan. Red flags umum digunakan untuk mengidentifikasi hubungan
seseorang di dalam dengan seseorang di luar. Red Flags umum dalam kasus ini yang, antara
lain :
a) Anomali dalam menyetujui vendor
Pemilihan PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya tidak sesuai prosedur yang ada yaitu
meliputi:
- Penggunaan standar penilaian yang berbeda dalam mengevaluasi pra kualifikasi antara
PT Adhi Karya/PT Wijaya Karya dengan rekanan lain dimana standar untuk PT Adhi
Karya/PT Wijaya menggunakan nilai untuk pekerjaan sebesar Rp 1,2 triliun sedangkan
rekanan lain senilai Rp 262 miliar.
- Pengumuman lelang dengan informasi yang tidak benar dan tidak lengkap.
- Penyimpangan dalam penetapan pemenang lelang konstruksi dimana SesKemenpora
melampaui wewenangnya dengan menetapkan pemenang lelang untuk pekerjaan
bernilai diatas Rp 50 miliar tanpa mendapat pelimpahan wewenang dari Menpora
sebagai pejabat yang berwenang menetapkan.
b) Hubungan antara karyawan kunci dan vendor resmi
Adanya sejumlah pertemuan antara peserta lelang dengan panitia pengadaan untuk
menentukan pemenang lelang.
c) Anomali dalam pencatatan transaksi
- Anggaran untuk proyek hambalang yang semula dianggarkan sebesar Rp 125 miliar
kemudian dirubah menjadi Rp 2,5 trilliun.
- Ditetapkannya kontrak tahun jamak (multi-years) pada proyek Hambalang.
- Izin penetapan lokasi, site plan dan izin mendirikan bangunan oleh Pemkab Bogor
belum disertai adanya studi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
d) Kelemahan Pengecekan Ulang Persetujuan
- Pembiaran terhadap Sekretaris Menpora, yaitu Wafid Muharam melampaui
wewenangnya dalam menandatangani surat permohonan kontrak tahun jamak (multi-
years) terkait proyek Hambalang tanpa mendapat pendelegasian dari Menpora.
- Pencairan dana proyek Hambalang yang menjadi wewenang Agus selaku Menteri
Keuangan dan Anny Ratnawaty selaku Dirjen Keuangan dianggap menyalahi aturan
karena pengajuan anggaran hanya ditanda tangani Sekretaris Menpora yang mana
seharusnya ditanda tangani oleh 2 pihak yaitu Menteri pengguna anggaran dalam hal
ini Menpora dan Menteri Pekerjaan Umum.

Red Flags Khusus


Dalam kasus Hambalang ini terdapat beberapa suatu indikasi terjadinya red flags khusus
sebelum kasus Hambalang tersebut melibatkan para petinggi partai elit Demokrat tersebut yaitu
sebagai berikut:
A. Red Flags Skema Gratifikasi
Red flags gratifikasi ilegal pada kasus Hambalang yaitu adanya pemberian dana yang
diberikan oleh kedua kontraktor BUMN PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya kepada Anas
Urbaningrum setelah keputusan resmi untuk kemenangan kedua tender BUMN tersebut
sebagai tanda ucapan terimakasih atas kesepakatan yang telah selesai, sebesar Rp 100
Miliar. Red flags skema gratifikasi ilegal lainnya yaitu perubahan gaya hidup Anas
Urbaningrum setelah mendapatkan dana sebesar 50 Miliar yang digunakan untuk
pemenangannya sebagai Ketua Partai Demokrat dan mendapatkan barang berupa mobil
Toyota Harrier dari Muhammad Nazaruddin.
Red flags gratifikasi pada kasus Hambalang selanjutnya adalah adanya hubungan antara
kontraktor dan subkontraktor antara PT Adhi Karya dengan subkontraktor PT Dutasari
Citralaras yang dimpin oleh Machfud Suroso sebagai ketua dan Istri Anas Urbaningrum
sebagai komisaris. Subkontraktor PT Dutasari Citralaras yang dipimpin oleh Machfus
Suroso menerima atau mendapat jatah sebesar Rp 63 Miliar dari PT Adhi Karya.
B. Red Flags Skema Penyuapan
Red flags skema penyuapan pada kasus Hambalang dapat dilihat dari adanya tender
yang dilakukan untuk kemenengan kedua kontraktor BUMN PT Adhi Karya dan PT Wijaya
Karya. Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh dan Macfud Suroso
melakukan pertemuan antara peserta lelang dengan panitia pengadaan proyek Hambalang
untuk menentukan kemenangan kedua kontraktor BUMN yaitu Adhi Karya dan PT Wijaya
Karya, dimana sebelum kerja sama operasi (KSO) PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya
terbentuk dari 2009 – 2010. PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya ternyata telah mengalirkan
ongkos komitmen atau melakukan penyuapan (bribery) sebesar Rp 19,32 Miliar ke banyak
orang untuk kemenangan tender proyek Hambalang. Selanjutnya, setelah kerja sama operasi
terbentuk PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya mengeluarkan lagi sebesar 15,22 Miliar
sehingga total dana yang mengalir ke pihak tertentu paling sedikit Rp 34,54 Miliar.
C. Red Flags Skema Konflik Kepentingan
Red flags skema konflik kepentingan pada kasus Hambalang yaitu terungkapnya
hubungan antara pelaku kecurangan (fraud) setelah Kooridinator Anggaran Komisi X DPR
RI yang juga Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, ditangkap.
Muhammad Nazaruddin menungkapkan berbagai aktifitas korupsi pada proyek Hambalang
untuk berbagai konflik kepentingan seperti kemengan tender PT Adhi Karya dan PT Wijaya
Karya serta sertifikat tanah di Hambalang yang melibatkan dedengkot-dedengkot Partai
Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Andi Alfian Mallarangeng, Anggelina Sondakh dan
Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Joyo Winoto.

You might also like