You are on page 1of 9

BAB.

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pertanian modern merupakan sistem pertanian yang menerapkan


penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida untuk penanggulangan
hama/penyakit dan pupuk-pupuk anorganik (urea, SP-36, KCl, Super fosfat).
Sistem tersebut telah memberikan pengaruh yang besar bagi peningkatan hasil
pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas serta pola perilaku masyarakat.
Pertanian modern menyebabkan masyarakat selalu bergantung pada penggunaan
bahan-bahan kimia dalam mengatasi masalah pertanian. Keadaan ini yang
sementara terjadi di Indonesia yakni peningkatan kebutuhan pupuk buatan
(anorganik) secara tajam sejak tahun 1968 (Pradopo, 2000).
Pertanian modern dengan masukan bahan-bahan kimia yang tinggi secara
terus-menerus menyebabkan penurunan kualitas tanah. keadaan ini disebabkan
karena berkurangnya bahan organik yang berakibat pada pengerasan tanah,
terjadinya kekahatan hara, rendahnya daya ikat tanah terhadap air, rendahnya
populasi dan aktifitas mikroba, tanah mengalami kejenuhan dan secara umum
pada rendahnya tingkat kesuburan dan produktifitas tanah (Notohardiprawiro,
2006). Mengacu pada pengaruh negatif akan peningkatan penggunaan pupuk
anorganik maka penggunaan pupuk organik diharapkan dapat mengurangi
pengaruh negatif tersebut. Penggunaan bahan organik dalam tanah dapat
memperbaiki sifat-sifat tanah (sifat fisik, kimia dan biologi) sehingga kesehatan
dan kelestarian tanah dapat terpelihara dengan baik untuk kegiatan pertanian yang
berkelanjutan (Sutanto, 2003).
Bahan organik berfungsi mengikat butiran primer tanah menjadi butiran
sekunder dalam pembentukan agregat tanah. Hal ini berpengaruh besar pada
porositas, penyimpanan dan penyediaan air serta aerasi dan temperature tanah.
Banyak hal yang ada di alam ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk
organik (Pradopo, 2000). Sumber-sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan
dapat berasal dari limbah tumbuhan atau hewan seperti kotoran binatang, jerami,
residu tanaman, rumput-rumputan, pohon seperti lamtoro dan nitas serta yang
bersal dari gulma liar seperti Kirinyu dan Tithonia
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu
tertentu dan tidak dikehendaki oleh manusia. Banyak spesies gulma yang tumbuh
di lahan kering, sehingga untuk mengenal dan menentukan cara pengendaliannya
perlu diketahui sifat-sifat dan biologi gulma terutama cara berkembang biak.
Disamping itu juga penggolongan yang mencirikan berbagai sifat
karakteristiknya. Assosiasi jenis gulma tertentu dengan tanaman pokok dan
habitat, perannya terhadap tanaman budidaya serta penggolongan yang dikaitkan
dengan responnya terhadap cara pengendalian Gulma tidak dikehendaki karena
bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan biaya pengendalian
yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi (Soerjani et al. 1996).
Gulma pada mulanya merupakan tumbuhan pengganggu yang merugikan
karena mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
dibudidayakan. Salah satu gulma yang dapat digunakan adalah ki runyuh atau
semak bunga putih (Chromolaena odorata) dimana kehadirannya tidak
dikehendaki dalam suatu areal tertentu karena dianggap mengganggu tanaman
pertanian maupun rumput yang merupakan pakan ternak sehingga terus
diupayakan pemusnahannya. Karena sifat merugikan tersebut, maka di mana pun
gulma tumbuh selalu dicabut, disiang, dan bahkan dibakar. Sebenarnya bila
dikelola dengan benar dan optimal, gulma akan memberikan manfaat dan
meningkatkan produktivitas lahan. Di samping itu, beberapa jenis gulma dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau untuk membuat kompos dengan status
ketersediaan hara sedang sampai tinggi.
Berdasarkan urian tersebut maka dibuatlah makalah mengenai
pemanfaatan gulma sebagai bahan utama pembuatan pupuk organik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu pupuk organik dan bagaimana keterkaitannya dengan gulma ?
2. Uraikan jenis-jenis gulma yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pupuk organik dan keterkaitannya dengan gulma
2. Untuk mengetahui jenis-jenis gulma yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Apa itu pupuk organik dan bagaimana keterkaitannya dengan gulma ?
Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup,
seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat
berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada
kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk
kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut
kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan
limbah kota (sampah).
Gulma pada mulanya merupakan tumbuhan pengganggu yang merugikan
karena mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
dibudidayakan. Sebagai contoh, gulma kirinyu yang tumbuh diantara tanaman
budidaya dapat mengakibatkan persaingan pengambilan air, unsur hara dan sinar
matahari. Akan tetapi, biomassa gulma bila dikelola dengan benar dan optimal
akan meningkatkan produktifitas lahan. Pertanian modern dengan masukan
bahan-bahan kimia yang tinggi secara terus-menerus menyebabkan penurunan
kualitas tanah. keadaan ini disebabkan karena berkurangnya bahan organik yang
berakibat pada pengerasan tanah, terjadinya kekahatan hara, rendahnya daya ikat
tanah terhadap air, rendahnya populasi dan aktifitas mikroba, tanah mengalami
kejenuhan dan secara umum pada rendahnya tingkat kesuburan dan produktifitas
tanah (Notohardiprawiro, 2006). Mengacu pada pengaruh negatif akan
peningkatan penggunaan pupuk anorganik maka penggunaan pupuk organik
diharapkan dapat mengurangi pengaruh negatif tersebut. Alternatif penggunaan
pupuk organik yang terdapat di sekitar lingkungan dapat membantu petani
menaikan keuntungan karena biaya produksi yang lebih rendah dan juga karena
ramah lingkungan. Penggunaan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki
sifat-sifat tanah (sifat fisik, kimia dan biologi) sehingga kesehatan dan kelestarian
tanah dapat terpelihara dengan baik untuk kegiatan pertanian yang berkelanjutan
(Sutanto, 2003).
2.2 Uraikan jenis-jenis gulma yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu
tertentu dan tidak dikehendaki oleh manusia. Banyak spesies gulma yang tumbuh
di lahan kering, sehingga untuk mengenal dan menentukan cara pengendaliannya
perlu diketahui sifat-sifat dan biologi gulma terutama cara berkembang biak.
Disamping itu juga penggolongan yang mencirikan berbagai sifat
karakteristiknya. Assosiasi jenis gulma tertentu dengan tanaman pokok dan
habitat, perannya terhadap tanaman budidaya serta penggolongan yang dikaitkan
dengan responnya terhadap cara pengendalian Gulma tidak dikehendaki karena
bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan biaya pengendalian
yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi (Soerjani et al. 1996).
Gulma pada mulanya merupakan tumbuhan pengganggu yang merugikan
karena mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
dibudidayakan. Salah satu gulma yang dapat digunakan adalah ki runyuh atau
semak bunga putih (Chromolaena odorata) dimana kehadirannya tidak
dikehendaki dalam suatu areal tertentu karena dianggap mengganggu tanaman
pertanian maupun rumput yang merupakan pakan ternak sehingga terus
diupayakan pemusnahannya. Karena sifat merugikan tersebut, maka di mana pun
gulma tumbuh selalu dicabut, disiang, dan bahkan dibakar. Sebenarnya bila
dikelola dengan benar dan optimal, gulma akan memberikan manfaat dan
meningkatkan produktivitas lahan. Di samping itu, beberapa jenis gulma dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau untuk membuat kompos dengan status
ketersediaan hara sedang sampai tinggi.

2.2.1 Kirinyu/Komba-komba

Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah gulma berbentuk semak berkayu


yang dapat berkembang cepat sehingga sulit dikendalikan. Tumbuhan ini
merupakan gulma padang rumput yang sangat merugikan karena dapat
mengurangi daya tampung padang penggembalaan. Selain sebagai pesaing
agresif, kirinyu diduga memiliki efek allelopati serta menyebabkan keracunan
bahkan kematian pada ternak. Hasil penelitian menunjukkan gulma ini dapat
menjadi insektisida nabati karena mengandung pryrrolizidine alkaloids yang
bersifat racun terhadap serangga.

Ki rinyuh berasal dari Amerika Tengah, tetapi kini telah tersebar di daerah-
daerah tropis dan subtropis. Gulma ini dapat tumbuh baik pada berbagai jenis
tanah dan akan tumbuh lebih baik lagi apabila mendapat cahaya matahari yang
cukup (Vanderwoude et al. 2005). Kondisi yang ideal bagi gulma ini adalah
wilayah dengan curah hujan > 1000 mm/tahun (Binggeli, 1997). Dengan
demikian, gulma ini tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka seperti
padang rumput, tanah terlantar dan pinggir-pinggir jalan yang tidak terawat.
Mc Fadyen dalam Wilson dan Widayanto (2004) memperkirakan bahwa
Ki rinyuh menyebar di kepulauan Indonesia sejak Perang Dunia II. Dengan
penyebaran itu kini Ki rinyuh dapat dijumpai di semua pulau-pulau besar di
Indonesia. Di lain pihak Sipayung et al. (1991) memperkirakan Ki rinyuh telah
ada di Indonesia sebelum tahun 1912. Ki rinyuh tidak hanya ditemukan di Pulau
Jawa, tetapi juga ditemukan di seluruh Indonesia seperti di Sumatera (Sipayung et
al., 1991), di Kalimantan (De Chenon et al., 2003), di Lombok, Sumbawa, Flores,
Timor (Wilson Dan Widayanto, 2004; De Chenon et al., 2003; Mcfayden, 2004),
Sulawesi dan Irian Jaya (Sipayung et al., 1991; Wilson dan Widayanto, 2004).
Gulma Ki Rinyuh atau Semak Bunga Putih (Chromolaena odorata)
Ki rinyuh (Sunda) atau dalam bahasa Inggris disebut siam weed
(Chromolaena odorata (L) R.M. King and H. Robinson) merupakan salah satu
gulma padang rumput yang penting di Indonesia, di samping saliara (Lantana
camara). Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun 1910-an
(Sipayung et al., 1991), namun keberadaannya kurang mendapat perhatian,
kecuali oleh kalangan perkebunan karet, karena selain merupakan gulma di
padang rumput, Ki rinyuh juga gulma yang sangat merugikan perkebunan karet
(Sipayung et al., 1991).
Prawiradiputra (2008), tanaman ini dianggap suatu gulma yang sangat
merugikan karena: (1) dapat mengurangi kapasitas tampung padang
penggembalaan, (2) dapat menyebabkan keracunan, bahkan mungkin sekali
kematian ternak, (3) menimbulkan persaingan dengan rumput pakan, sehingga
mengurangi produktivitas padang rumput, dan (4) dapat menimbulkan bahaya
kebakaran terutama pada musim kemarau.
Biomassa kirinyu memiliki kandungan hara N 2.65 %, P 0.53 % dan K 1.9
% sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang potensial
untuk perbaikan kesuburan tanah (Chandrasekar dan Gajanana, 1998). Hasil
kajian kandungan hara pada kirinyu oleh Nguru dan Gandut (2007) adalah: a)
pada batang kandungan N 1.00 %, P 0.23 %, K 1.73 %, Ca 0.37 %, Mg 0.18 %,
Na 0.01. b) pada daun N 5.89 %, P 0.74%, K 3.13%, Ca 3.30 %, Mg 0.83 %, Na
0.01 %. Dengan demikian pemanfaatan biomassa gulma kirinyu sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai sumber pupuk organik dalam perbaikan Sifat Fisik
Tanah

2.2.2 Tumbuhan alang-alang

Tumbuhan alang-alang (Imperata cylindrica L.) atau ilalang lebih sering


dikenal sebagai tumbuhan penggangu atau gulma. Di Indonesia alang-alang
menyebar di seluruh pulau. Tumbuhan ini banyak tumbuh liar di tanah yang
kering dan banyak mendapat sinar matahari. Alang-alang memiliki kemampuan
bersaing yang tinggi dengan tanaman lain dalam penggunaan hara dan air, dapat
mengeluarkan zat yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman lain
(allelopathy) dan rentan terhadap bahaya kebakaran (Kharisma, 2006). Mengingat
jumlahnya yang melimpah, maka merupakan langkah positif bila terdapat usaha-
usaha untuk meningkatkan nilai manfaat dari alang-alang.
Daun alang-alang merupakan bahan organik yang mengandung unsur
makro dan mikro yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara bagi
pertumbuhan tanaman. Menurut Rauf dan Ritonga (1998) dalam Gusniwati, dkk.,
(2008), kandungan unsur makro dan mikro pada daun alang-alang adalah 0,71%
N; 0,67% P, 1,07% K; 0,76% Ca; 0,55% Mg; 5,32% Si. Dilihat dari kandungan
unsur makro dan mikro pada alang-alang, diketahui bahwa alang-alang
merupakan sumber hara yang jumlahnya cukup besar dan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku kompos. Namun alang-alang memiliki nisbah C/N yang
cukup tinggi sekitar 87,44 pada keadaan kering (Quddusy, 1999). Nisbah C/N
yang tinggi pada bahan organik tidak dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
jika tidak dikomposkan terlebih dahulu. Sebab proses penguraian bahan organik
tersebut akan terjadi di dalam tanah, yang berakibat terjadinya persaingan antara
tanaman dan mikroba dalam memperbutkan unsur makro dan mikro yang terdapat
di dalam tanah. Selain itu nisbah C/N yang tinggi akan membuat proses
pengomposan semakin lama. Sehingga perlu ditambahkan bahan lain seperti
kotoran ternak yang memiliki nisbah C/N yang rendah.

2.2.3 Tumbuhan bandotan

Tumbuhan bandotan atau babadotan, tidak asing bagi masyarakat yang


tinggal di daerah perkampungan. Nama bandotan atau babadotan itu merujuk pada
bau tak sedap yang dikeluarkan daunnya ketika sudah layu dan membusuk,
menyerupai bau kambing.
Sifat baru seperti itu yang, dikutip dari Wikipedia, menyebabkannya
disebut bandotan atau babadotan (Sunda), atau wedusan (Jawa). Namanya dalam
bahasa Inggris juga tak jauh beda, billygoat-weed atau goatweed, selain juga
disebut chick weed, atau whiteweed.
Bandotan termasuk tumbuhan yang mudah ditemui di pekarangan rumah,
tepi jalan, tanggul, ataupun saluran-saluran air. Termasuk tanaman liar, karena
sifat itu pula bandotan lebih dikenal sebagai gulma alias tanaman pengganggu.
Dari beberapa hasil penelitian, seperti dikutip dari balittra.litbang.pertanian.go.id,
diketahui bandotan dapat digunakan sebagai pupuk organik dan bahan insektisida
nabati. Selain itu, bandotan dapat digunakan sebagai obat, pestisida, herbisida,
bahkan untuk pupuk nabati yang dapat meningkatkan hasil produksi tanaman.
Kandungan kimia yang terkandung dalam bandotan adalah saponin, flavanoid,
polifenol, kumarine, eugenol 5 persen, HCN dan minyak atsiri. Bagian tumbuhan
yang digunakan sebagai pestisida nabati adalah daun. Cara kerjanya adalah
penolak (repellent) dan menghambat perkembangan serangga.
Dr. H. Dian Wahyu Harjanti Phd, dosen Fakultas Peternakan dari
Universitas Diponegoro (Undip), termasuk salah satu peneliti bandotan. Bandotan
yang dianggap gulma itu berhasil diubah menjadi antiseptik dan desinfektans.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu


tertentu dan tidak dikehendaki oleh manusia. Beberapa jenis gulma yang dapat
dijadikan sebagai bahan organik yaitu Kirinyu (Chromolaena odorata), alang-
alang (Imperata cylindrica L.) dan bandotan.(Ageratum conyzoides)

DAFTAR PUSTAKA

Alleyne, E.H. and F.O. Morrison. 1978. The lettuce root aphid, Pemphigus
bursaries L. Homothera:Aphidoidae) in Cquebec Cananada. Ann. Soc. Ent.
Quebec. 22:171-180.

Ardi, 1999. Potensi Alelopati Akar Rimpang Alang- Alang (Imperata cylindrica
( L.) Beauv. Terhadap Mimosa pudica L. Stigma., 7(1):66-68.

Atmojo, 2003. Kepentingan pengelolaan gulma dalam pembangunan pertanian di


Indonesia Bagian Timur. Makalah Utama Kongres dan Seminar Nasional HIGI
XI. Ujung Pandang.

Baron, J.J. and S.F. Gorske. 1981. Soil carbon dioxide level as affected by plastic
mulches. Proc. Natl. Agr. Plastic Congress. 16:149-155.

Decoteau, D.R., M.J. Kasperbauer, D.D. Daniels and P.G. Hunt. 1988. Plastic
mulch color effects on reflected light and tomato plant growth. Scientia Hortic.
34:169-175.

Decoteau, D.R., M.J. Kasperbauer and P.G. Hunt. 1989. Mulch surface color
affects yield of fresh tomato. J. Amer. Soc.Hort. Sci 114:216-219.

Meek. B.F., L.E. Graham., T.J. Donovan, and K.S. Mayberry. 1979. Phosphorus
avaibility in acalcareous soil after high loadinbg rates of animal manure. Soil Sci.,
Am. J. 43: p.741-743.

Sasa, 2011.Www./http.//g ulma/gulma%201.htm.

Soerjani, M., M. Soendaru dan C. Anwar. 1996. Present Status of Weed Problems
and Their Control in Indonesia. Biotrop. Special Publication. No.24.
Sutanto, 2003. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Aninomous, 2004, Laporan Tahunan Dinas Pertanian.

Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Brata karya aksara. Jakarta

Djaja, Willyan. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos Dari Kotoran Ternak:
Agromedia Pustaka, Jakarta.

Hardjowigeno. S. 1989. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Media Tanah Sarana Perkasa,


Bogor.

Hadisuwito, S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair: Agromedia Pustaka,Jakarta.

Harjono, L. 2001. Sistem Pertanian Organik. Angkasa, Solo.

Kartasoeputra, A. G. 1986. Teknik Budidaya Tanaman Pangan di Daerah Tropic.


Bina Aksara, Jakarta.

Merah (Capsicum anuum L.) Varietas Hot Beauty. SkripsiInstitut Pertanian Bogor

Rukmana, R.1995. Bertanam Terung. Kanisius. Yogyakarta

Soetasad, A. Adi. 2000. Budidaya Terung Lokal dan Terung Jepang. Penebar
Swadaya. Jakarta

Suryadi, E.T.M. 1997. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemupukan


TerhadapProduksi Cabai.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan


Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

You might also like