Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
4
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
kuliah Etika dan Undang-undang Farmasi dan untuk mengkaji studi-studi
kasus pelanggaran oleh profesi kesehatan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dari asul-usul katanya, etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan yang baik.Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin,
yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat
kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang
baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Bertolak
dari kata tersebut, akhirnyaetika berkembang menjadi studi tentang
kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu
yang berbeda.
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: usila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih
baik (su). Dan yang kedua adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika
berarti ilmu akhlak.
6
yang berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang bermakna kebiasaan
atau adat-istiadat.
b. Bertens dalam Etika seri Filsafat Atma Jaya (1993:4) memaparkan
pengertian etika dalam dalam bentuk jamak ta etha yang juga berarti
adat kebiasaan.
c. Riady dalam Filsafat Kuno dan Manajemen Modern (2008:189)
menjelaskan bahwa etika dalam bahasa Latin diartikan
sebagai Moralis yang berasal dari kata Mores dengan makna adat-
istiadat yang realistis bukan teoritis.
d. Abdullah dalam buku yang berjudul Pengantar Studi
Etika (2006:12) mengatakan bahwa secara umum, ruang lingkup etika
meliputi :
Menyelidiki sejarah tentang tingkah laku manusia.
Membahas cara menghukum dan menilai baik buruknya suatu
tindakan.
Menyelidiki faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia.
Untuk menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Untuk meningkatkan budi pekerti.
Untuk menegaskan arti dan tujuan hidup sebenarnya.
e. Menurut Profesor Robert Salomon, etika dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu :
a) Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termausk
bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian
ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang
beretika.
b) Etika merupakan hukum sosial. Etika merupakan hukum yang
mengatur, mengendalikan serta membatasi perilaku manusia.
2.2 Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan
kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores).
Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu
memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara
7
kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan
jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.
Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang
dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai
berikut:
1) Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam
hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai
nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan
situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa
tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam
suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
2) Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan
oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi
Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar
manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk,
sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat.
8
Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma,
karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika
menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
c) Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat
normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya
terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan
adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan.
Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
9
2.3.2 Defenisi Profesi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.
a. K. Bertens
Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang
memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama.
b. Siti Nafsiah
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan sebagai sarana untuk
mencari nafkah hidup sekaligus sebagai sarana untuk mengabdi
kepada kepentingan orang lain (orang banyak) yang harus diiringi
pula dengan keahlian, ketrampilan, profesionalisme, dan tanggung
jawab.
c. Doni Koesoema A
Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di
dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta
memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayananbaku
terhadap masyarakat.
Maka Kesimpulannya pekerjaan tidak sama dengan profesi. Istilah yang
mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah: sebuah profesi sudah pasti
menjadi sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi
sebuah profesi. Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus
dipenuhi sebagai suatu ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak
memiliki aturan yang rumit seperti itu. Hal inilah yang harus diluruskan di
masyarakat, karena hampir semua orang menganggap bahwa pekerjaan dan
profesi adalah sama.
10
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya
setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana
profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan
masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan
selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai
kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan
sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih
dahulu ada izin khusus. Kaum profesional biasanya menjadi anggota
dari suatu profesi.
11
masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat
yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama.
12
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Kasus
Apotek X berada di kota Metro. Letaknya sangat strategis berada di tengah
kota, buka pelayanan tiap hari jam 08.00 – 22.00. pasien sangat ramai serta
jumlah resep yang banyak dilayani. Setiap hari rata-rata 50 lembar resep.
APA juga merupakan PNS di Kabupaten Lampung Timur dan masuk apotek
jam 19.30. Karena banyaknya pasien yang dilayani, penyerahan obat oleh
tenaga teknis kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang cukup
dan Apotek X juga menjual Antibiok secara bebas serta menjual psikotropika.
13
yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”
14
Pasal 19.
( 1 ) “ Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan
tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus
menunjuk Apoteker pendamping.”
(2)“Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker
Pendamping karena h a l - h a l tertentu berhalangan
melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik
menunjuk .Apoteker Pengganti”
15
Sumber Daya
“Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang
professional yang senantiasa mampu melaksanakan dan
memberikan pelayanan yang baik.”
Sarana dan Prasarana
“Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan
mudah oleh apoteker untuk menerima konseling dan
informasi.”
Pelayanan resep: Apoteker melakukan skrining resep hingga
penyiapan obat
“Pelayanan resep yang dilakukan oleh apoteker yang
di apotek yang dimulai dari skrining resep meliputi:
persyaratan administratif (Nama, SIP dan alamat
dokter,tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter penulis
resep, nama, alamat, umur, jeniskelamin dan berat badan
pasien, nama obat, potensi, dosis, dan jumlah obat,
cara pemakaian yang jelas), kesesuaian farmasetik (bentuk
sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan
lama pemberian) dan pertimbangan klinis (efek samping,
interaksi, kesesuaian). Selain itu, apoteker juga memiliki
tugas untuk melakukan penyiapan obat meliputi tahap:
peracikan dengan memperhatikan dosis, jenis dan
jumlah obat, etiket yang jelas, kemasan obat yang
diserahkan dengan rapidan terjaga kualitas.
Pelayanan Resep : Apoteker melakukan penyerahan obat.
“ Sebelum obat diserahkan, obat harus dicek kembali antara
obat dan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker
sambil dilakukan pemberian informasi obat sekurang-
kurangnya: cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka
waktu pengobatan,aktivitas serta makanan dan minuman
yang harus dihindari; dan dilakukan konseling untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien.
16
Promosi dan Edukasi “Dalam meningkatkan pemberdayaan
masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam
promosi dan edukasi kesehatan.”
Dari kasus di atas “Pasien atau konsumen ketika membeli obat di apotek hanya
dilakukan oleh asisten apoteker”. Hal ini melanggar pasal-pasal di atas. Pelayanan
kefarmasian diapotek harus dilakukan oleh apoteker, jika apoteker berhalangan
hadir seharusnya digantikan oleh apoteker pendamping dan jika apoteker
pendamping berhalangan hadir seharusnya digantikan oleh apoteker pengganti
bukan digantikan oleh asisten apoteker atau tenaga kefarmasian lainnya. Tenaga
kefarmasian dalam hal ini asisten apoteker hanya membantu pelayanan
kefarmasian bukan menggantikan tugas apoteker.
17
3.3 Sanksi
Ketika seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya tidak mematuhi kode
etik apoteker, maka sesuai dengan kode etik apoteker Indonesia pasal 115
yang berbunyi
“Jika seorang apoteker baik dengan sengaja maupun tidak disengaja
melanggar atau tidak memenuhi kode etik apoteker Indonesia, maka dia wajib
mangakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi
yang menanganinya (IAI), dan mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa”.
Sehingga seorang apoteker bisa mendapatkan sanksi sebagai berikut:
1. Teguran dari IAI terhadap apoteker maupun apotek yang
bersangkutan.
2. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang kesehatan :
a. Pasal 198 : Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
b. Pasal 201
a) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat
(1), pasal 191, pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199,
pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain dipidana penjaradan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidanadenda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal
191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,Pasal 199, dan Pasal
200
b) Selain pidana denda sebagaiman dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
i. Pencabutan izin usaha; dan/atau
ii. Pencabutan status badan hukum.
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 K e s i m p u l a n
Berdasarkan keterangan diatas, praktek kefarmasian di apotek
melanggar beberapa ketentuan, yaitu : Undang-undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan pasa l5, pasal 8 dan pasal 108 Tentang Kesehatan, Undang-
Undang No. 8 Tahun 1998 pasal 4Tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 2009 pasal 1 ayat 13, pasal 20, pasal 21 ayat 1
dan 2, pasal 19 ayat ayat 1 tentang pekerjaan kefarmasian, Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/PER/SK/X/2002 pasal 19 ayat 1
dan 2 Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek, Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1072/MENKES/PER/SK/X/2004 Tentang Standar
Pelayanan di Apotek, Kode etik apoteker pasal 3 dan 5, lafal sumpah atau
janji apoteker.
19
DAFTAR PUSTAKA
20