You are on page 1of 16

Laki-laki 38 tahun dengan Kriptokokosis Kutaneous pada Pasien Human

Immunodeficiency Virus

1. PENDAHULUAN

Epidemi HIV telah bergeser selama 30 tahun terakhir, dari kasus pertama yang
dilaporkan pada awal 1980-an, menjadi sekitar 3,7 juta infeksi baru pada tahun 1997,
menjadi menurunnya infeksi baru dan kematian terkait AIDS sepanjang tahun 2000-an. Pada
2012, sekitar 9,7 juta orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah menggunakan
obat antiretroviral (ART). Perluasan cakupan ART ini telah secara dramatis meningkatkan
kelangsungan hidup di antara orang yang hidup dengan HIV (ODHA), yang mengakibatkan
peningkatan jumlah ODHA hingga tertinggi sepanjang masa yang diperkirakan 35,3 juta
pada tahun 2012. WHO mendefinisikan populasi yang rentan dan paling berisiko terhadap
HIV adalah pria yang melakukan hubungan seks dengan pria, orang transgender, orang yang
menyuntikkan narkoba dan pekerja seks.1
HIV diklasifikasikan sebagai anggota keluarga Retroviridae dan genus Lentivirus
berdasarkan sifat biologis, morfologi, dan genetic. Dua jenis HIV telah diisolasi dan
ditemukan dari pasien yang terinfeksi yakni HIV-1 dan HIV-2. Infeksi dengan HIV terjadi
melalui transfer darah, air mani, cairan preseminal, cairan vagina dan cairan dubur. Ada tiga
tahap infeksi HIV. Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi; infeksi HIV
akut, infeksi HIV kronis (infeksi HIV tanpa gejala atau latensi klinis), dan AIDS (tahap akhir
infeksi HIV).2

HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh tidak dapat melawan
infeksi oportunistik dan kanker. Kandidiasis oral dan esofagus adalah infeksi oportunistik
yang paling umum pada pasien. Infeksi oportunistik lain yang telah dilaporkan selama
infeksi HIV akut termasuk infeksi CMV (proktitis, kolitis, dan hepatitis), pneumonia
Pneumocystis jiroveci dan kriptosporidiosis berat yang berkepanjangan dan parah.2

Berikut ini dilaporkan kasus seorang laki-laki 38 tahun dengan diagnosa kriptokokosis
kutaneous pada pasien human immunodeficiency virus disertai infeksi CMV dan Rubella.
2. LAPORAN KASUS

Seorang pria 35 tahun, datang dengan bintil-bintil dan benjolan kulit di hampir
seluruh tubuh yang terasa sangat nyeri sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya
terdapat bintik kecil di tangan kanan yang membesar, lalu pecah dan mengeluarkan cairan
kuning, lalu menyebar ke hampir seluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada sendi
saat bergerak. Pasien dinyatakan terinfeksi HIV, dan telah minum ARV sejak 1 tahun yang
lalu, tapi berhenti sejak 1 bulan terakhir karena dirasakan tidak ada perubahan pada
badannya. Pasien memiliki riwayat TBC paru, sudah mengkonsumsi obat MDT-TB tapi
tidak tuntas, riwayat seksual pasien mengaku sebagai heteroseksual, riwayat penyakit infeksi
menular sebelumnya disangkal, riwayat pengobatan sebelumnya disangkal, alergi disangkal,
riwayat nyeri kepala tidak ada, kejang tidak ada, penurunan kesadaran tidak ada, lemah atau
lumpuh ekstrimitas juga tidak ada. Pasien tidak memelihara binatang atau unggas, namun
ada tetangga yang memelihara burung, riwayat kontak dengan tanah disangkal, tertusuk duri
atau tergores tanaman disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran baik. Pada
pemeriksaan dermatologi didapatkan papul multipes dengan umbilikasi dan nodul multipel
berkonfluens, pada hampir seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta kemerahan
diatasnya. Tidak ada lesi yang terlihat pada telapak tangan, telapak kaki, mukosa mulut dan
alat kelamin. Tidak ada limfadenopati servikal atau aksila. Pemeriksaan sistem saraf normal
tanpa tanda-tanda iritasi meningeal dan kekakuan leher. Tidak ada hepatosplenomegali dan
paru-paru normal.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan white blood cell (WBC) 4,6 x
103/uL, penurunan hemoglobin 9 gr/dl, platelet 266 x 103/uL, gula darah sewaktu 111 mg/dl,
ureum 21 mg/dl, kreatinin 0.59 mg/dl, SGOT 62 U/L, SGPT 32 U/L, CD4 1 cell/ uL. Hasil
serologi anti citomegalovirus (CMV) IgM 0,21 COI, anti CMV IgG 66 IU/ml, anti-Rubella
IgM 0,16 COI, anti-Rubella IgG 71 IU/ml. Hasil rontgen dada menunjukan tidak ada
kelainan pada paru. Pemeriksaan histopatologi kulit menunjukkan epidermis yang
mengalami hiperplasia psoasiform irregular dan terdapat area mikroulseratif. Di dalam
dermis tidak terdapat proliferasi pembuluh darah, hanya tampak serbukan sel radang
limfosit, histiosit, netrofil yang padat. Pada pewarnaan Periodic Acid Stain (PAS) ditemukan
banyak spora yang sesuai dengan cryptococcus (PAS positif). Kultur menunjukkan
pertumbuhan lendir berwarna krem terlihat pada media Saboraud Dextrose Agar (SDA) yang
konsisten dengan cryptococcus neoformans var. neoformans. Pemeriksaan tinta india
didapatkan c. neoformans tampak kapsul putih.

Gambar 1. Foto klinis pasien dengan lesi kulit papul multipel berumbilikasi dan nodul multipel
berkonfluens, pada hampir seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta kemerahan diatasnya

2.A 2.B 2.C

Gambar 2A. Kultur SDA tampak depan, tampak pertumbuhan mucoid warna creamy konsisten dengan
gambaran c. neoformans
Gambar 2B. Kultur SDA tampak belakang,
Gambar 2C. Kultur SDA dari jarak yang lebih dekat
3

Gambar 3. C. neoformans pada pewarnaan tinta india tampak kapsul putih

4a.

Gambar 4a. Epidermis mengalami hiperplasia psoarisiform ireguler


4b

Gambar 4b. Epidermis dengan mikroulserasi

4c.

Gambar 4c. Dermis terdapat serbukan sel radang limfosit, histiosit, neutrofil
4d.

Gambar 4d. Spora c. neoformans


Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien merupakan pasien HIV, dan
tetangga memelihara burung; pada pemeriksaan fisik didapatkan papul multipes
dengan umbilikasi dan nodul multipel berkonfluens, pada hampir seluruh tubuh dengan
beberapa lesi ada krusta kemerahan di atasnya; pada pemeriksaan histopatologi,
pewarnaan PAS, pemeriksaan tinta india didapatkan c. neoformans tampak kapsul
putih, oleh karena dapat ditegakkan diagnosis kriptokokosis kutaneus.
Pasien diberikan pada cairan intravena NaCl 0,9% 28 tetes permenit,
parasetamol 1 gram/8 jam/intravena, lanzoprazole 30mg/24 jam/oral, valcyclovir 900
mg/ 24 jam/oral, ciprofloxazine 200 mg/12 jam/intravena, triple adult 1 tablet/24
jam/oral, pirimetamin 25mg/8jam/oral. Dari teman sejawat kulit kelamin diberi terapi
flukonazol 150mg/12 jam/oral, paracetamol 1gr/8jam/intravena, lansoprazole
30mg/24jam/intravena, kotrimoxazole 960mg/24jam/oral.

3. DISKUSI

Human immunodeficiency virus (HIV) berasal dari virus yang menginfeksi


monyet. HIV diklasifikasikan sebagai anggota keluarga Retroviridae dan genus
Lentivirus berdasarkan sifat biologis, morfologi, dan genetik . Kasus awal HIV
dilaporkan pada tahun 1981 ke Center for Disease Control, dan virus pertama kali
diisolasi dari pasien dengan defisiensi imun yang parah, kemudian disebut sebagai
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dua jenis HIV telah diisolasi dan
ditemukan dari pasien yang terinfeksi yakni HIV-1 dan HIV-2.2

Infeksi dengan HIV terjadi melalui transfer darah, air mani, cairan preseminal,
cairan vagina dan cairan dubur. Dalam cairan tubuh ini, HIV hadir sebagai partikel
virus bebas dan dalam sel kekebalan yang terinfeksi. Individu tidak dapat terinfeksi
melalui kontak sehari-hari seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi
benda pribadi, makanan atau air. Pria yang berhubungan seks dengan pria, orang yang
menyuntikkan narkoba, pekerja seks, orang transgender adalah populasi yang berisiko
tinggi.3 Pada kasus ini pasien adalah seorang heteroseksual.
Ada tiga tahap infeksi HIV. Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap
infeksi; infeksi HIV akut, infeksi HIV kronis (infeksi HIV tanpa gejala atau latensi
klinis), dan AIDS (tahap akhir infeksi HIV). Beberapa minggu pertama setelah infeksi
awal, individu mungkin tidak mengalami gejala atau gejala seperti flu yang dapat
meliputi: demam, kedinginan, ruam, keringat malam, nyeri otot, sakit tenggorokan,
kelelahan, pembengkakan kelenjar getah bening dan borok mulut. Gejala-gejala ini
dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Virus ini menyerang
dan menghancurkan sel CD4 yang melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. HIV
dapat ditularkan selama semua tahap infeksi, tetapi risikonya paling besar selama
infeksi HIV akut. Selama waktu ini, infeksi HIV mungkin tidak muncul pada tes HIV.3

Tahap kedua infeksi HIV adalah infeksi HIV kronis. Selama tahap penyakit ini,
HIV terus berkembang biak di dalam tubuh tetapi pada tingkat yang sangat rendah.
Orang dengan infeksi HIV kronis mungkin tidak memiliki gejala terkait HIV. AIDS
adalah tahap akhir dari infeksi HIV. Karena HIV telah menghancurkan sistem
kekebalan tubuh, tubuh tidak dapat melawan infeksi oportunistik dan kanker.
Kandidiasis oral dan esofagus adalah infeksi oportunistik yang paling umum pada
pasien. Infeksi oportunistik lain yang telah dilaporkan selama infeksi HIV akut
termasuk infeksi CMV (proktitis, kolitis, dan hepatitis), pneumonia Pneumocystis
jiroveci dan kriptosporidiosis berat yang berkepanjangan dan parah.3 Pada pasien telah
ditemukan infeksi opportunistic yakni infeksi CMV dan Rubella.
Gambar 5. Perjalanan klinis infeksi HIV

HIV didiagnosis dengan banyak cara dengan deteksi antibodi dalam serum atau
plasma pasien yang mewakili keberadaan asam nukleat virus baik melalui PCR chain
reaction, antigen p24, atau peningkatan virus pada kultur sel. Tes antibodi adalah yang
paling umumu digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV. Antigen P24 dapat menjadi
terdeteksi sebelum deteksi antibodi.2

Diagnosis yang tepat tergantung pada tes yang akurat oleh laboratorium disertai
ketersediaan riwayat klinis pasien termasuk gejala berisiko tinggi yang terkait dengan
penyakit serokonversi. Hasil reaktif dapat dikonfirmasi dengan menggunakan
pendekatan uji alternatif. Tes generasi keempat yang sangat sensitif dapat digunakan
untuk konfirmasi dan deteksi antigen p24 dan antibodi HIV. Banyak pendekatan yang
tersedia secara komersial saat ini untuk diagnosis HIV dan semua didasarkan pada
prinsip kompleks antigen-antibodi. Tersedia tes modern yang efisien dan dapat
menghasilkan hasil dalam waktu kurang dari 1 jam. Dalam sistem tersebut, kompleks
antigen-antibodi virus difiksasi pada media yang padat. Metode ini dinamakan
microparticle enzyme immunoassay. Western blot adalah imunoblot sensitif tinggi
lainnya yang digunakan sebagai tes konfirmasi. Jika pengujian antibodi tidak
mencukupi, tes DNA PCR dilakukan untuk memeriksa integrasi genom virus dalam
genom inang. Sebagian besar dilakukan pada anak-anak dari ibu yang HIV-positif
setelah usia 15 bulan. Ini juga dilakukan pada pasien dengan infeksi HIV lanjut tetapi
tanpa gejala. 2

Sebagian besar infeksi kriptokokus yang berkaitan dengan infeksi HIV


disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, tetapi kadang-kadang Cryptococcus gattii
adalah penyebabnya. C. neoformans ditemukan di seluruh dunia, sedangkan C. gattii
paling sering ditemukan di Australia dan daerah subtropis yang serupa dan di Pasifik
Barat Laut. Infeksi paru adalah lokasi primer dan biasanya sembuh sendiri dan mungkin
tanpa gejala. Sebelum era terapi antiretroviral (ART) yang efektif, sekitar 5% hingga
8% pasien yang terinfeksi HIV di negara maju didiagnosis dengan cryptococcosis.
Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa setiap tahun, hampir 1 juta kasus meningitis
kriptokokus didiagnosis di seluruh dunia dan penyakit ini menyebabkan lebih dari
600.000 kematian. Dengan ketersediaan ART yang efektif, kejadian penyakit ini
menurun secara bermakna di daerah dengan akses ART, dan sebagian besar infeksi
baru sedang dikenali pada pasien yang baru didiagnosis dengan infeksi HIV. Sebagian
besar kasus diamati pada pasien yang memiliki jumlah CD4 T limfosit (CD4) <100 sel
/ μL.3,4,5

Saat ini, AIDS merupakan faktor risiko yang paling umum. Kriptokokosis
memiliki predileksi pada otak dan meninges, kadang-kadang paru-paru dan kulit. Rute
infeksi utama kriptokokosis adalah inhalasi dalam bentuk ragi kecil yang bersifat
aerosol(1) dan ineksi paru adalah merupakan infeksi primer, sehingga pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada dan tidak ditemukan adanya kelainan paru.
Pada individu yang imunokompromais, central nerve system adalah sistem yang paling
umum yang terlibat. Manifestasi klinis kriptokokosis pada CNS meliputi tanda-tanda
klasik meningismus, sakit kepala, neuropati kranial, perubahan kesadaran, perubahan
mental, letargi, gangguan memori, serebral palsi dan tanda iritasi meningeal.(11) Pada
pasien AIDS, gejala meningitis bisa minimal. Pada pasien ini telah dilakukan
pemeriksaan saraf, kesadaran normal, tidak ditemukan tanda kelainan saraf, dan tanda
iritasi meningens tidak ditemukan. 3,4,6
Cryptococcosis cutaneous jarang ditemukan (20%) dan merupakan tanda
diseminasi dan dapat mendahului penyakit yang mengancam jiwa dalam beberapa
minggu. Lesi dapat sangat bervariasi dari morfologinya dan mirip dengan moluskum
kontagiosum atau penicillium marneffei. Presentasi lain termasuk papula atau pustula
akneiformis, tumor, plak, abses, selulitis, purpura, sinus drainase, ulkus, bulla,
pembengkakan subkutan, lesi herpetiform, erupsi lichenoid yang parah, erupsi nodular
pada dagu, tumor pada kaki yang berkaki, pseudofolliculitis & cryptocosis yang
mimikri dengan sarkoma Kaposi. Lesi kriptokokosis kutaneus menyerupai lesi
moluskum kontagiosum, yaitu papula atau nodul yang berwarna pada kulit. Ini
merupakan morfologi paling umum dari kriptokokosis kutaneus pada 54% pasien.
Daerah yang paling umum adalah kepala dan leher yang terjadi pada 78% kasus, dan
juga dapat ditemukan ditemukan abses. Pada pemeriksaan dematologi pada pasien ini
didapatkan papul multipel umbilikasi dan nodul multipel berkonfluens, pada hampir
seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta kemerahan diatasnya. Dengan gambaran
tersebut diferensial yang paling umum adalah moluskum kontagiosum, kaposi
sarcoma, dan mikosis sistemik lain seperti histoplasmosis dan infeksi seperti
penicillium marneffi.7,8,9
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan penurunan hemoglobin 9
gr/dl, dimana pada laporan kasus di Cina di dapatkan terjadi penurunan haemoglobin
pada 26,9% kasus kriptokokosis.7 Pemeriksaan penunjang adalah dengan kultur pus
pada agar SDA. Karakteristik kultur c.neoformans akan menunjukkan pertumbuhan
koloni yang lembut, berwarna krem atau coklat pucat dan berlendir.9,10 Pada SDA
dijumpai koloni yang lembut, dan berwarna krem yang konsisten dengan cryptococcus
neoformans var. neoformans. Kemudian biakan kultur diambil dan dilanjutkan dengan
pewarnaan tinta india. Pemeriksaan tinta india akan didapatkan gambaran globular, ragi
berkapsul, dengan atau tanpa budding berdiameter 5-20 μm. Sensitivitas tinta india
pada pasien HIV hingga 80%, 9 pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tinta india
dan didapatkan c. neoformans tampak kapsul putih (Gambar 3).
Diagnosis kutaneus kriptokokosis dikonfirmasi oleh biopsi kulit. Pada
pemeriksaan histopatologi kulit pasien ini menunjukkan epidermis yang mengalami
hiperplasia psoasiform irregular, terdapat area mikroulserasi, di dalam dermis tidak
terdapat proliferasi pembuluh darah, tampak serbukan sel radang limfosit, histiosit,
netrofil yang padat. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada histopatologi akan
terdapat infiltrat difus di dermis, yang terdiri dari limfosit, sel plasma dan histiosit tanpa
granuloma atau sel raksasa multinuklear.13 Pada pewarnaan PAS ditemukan banyak
spora yang sesuai dengan cryptococcus (PAS positif). Pada kepustakaan disebutkan
histopatologi jaringan dengan pewarnaan PAS akan menunjukkan spora berkapsul
besar berbentuk bulat dengan sedikit peradangan atau reaksi granulomatosa.14
Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan jamur penyebab pada bahan klinik15.
Berdasarkan pedoman infection disease society of America, Mengobati
cryptococcosis ekstrapulmoner sama dengan cryptococcosis meningitis, terdiri dari tiga
fase: induksi, konsolidasi, dan maintenance atau terapi pemeliharaan.4

1. Terapi Induksi (Minimal 2 Minggu, Diikuti Terapi Konsolidasi)

Regimen yang dipilih:

• Amfoterisin Liposomal B 3–4 mg / kg IV setiap hari ditambah flusitosin 25


mg / kg PO 4x1; atau

• Amfoterisin B deoxycholate 0,7–1,0 mg / kg IV setiap hari ditambah flusitosin


25 mg / kg PO 4X1 —jika biaya menjadi masalah dan risiko disfungsi ginjal
rendah

Catatan: Dosis flusitosin harus disesuaikan pada gangguan ginjal.

Regimen Alternatif:

• amfoterisin B lipid Kompleks 5 mg / kg IV setiap hari ditambah flusitosin 25


mg / kg PO 4X1 ; atau
• Amfoterisin B liposomal 3-4 mg / kg IV harian ditambah flukonazol 800 mg
PO atau IV setiap hari ; atau

• Amfoterisin B (deoksikolat 0,7-1,0 mg / kg IV setiap hari) ditambah


flukonazol 800 mg PO atau IV setiap hari; atau

• Amfoterisin B Liposomal 3–4 mg / kg IV setiap hari saja; atau

• Amfoterisin B deoksikolat 0,7-1,0 mg / kg IV setiap hari saja ; atau

• Flukonazol 400 mg PO atau IV setiap hari ditambah flusitosin 25 mg / kg PO


4X1; atau

• Flukonazol 800 mg PO atau IV setiap hari ditambah flusitosin 25 mg / kg PO


4X1; atau

• Flukonazol 1200 mg PO atau IV setiap hari saja

2. Terapi Konsolidasi (Minimal 8 Minggu, Diikuti oleh Terapi Pemeliharaan)

Regimen pilihan:

• Flukonazol 400 mg PO atau IV sekali sehari

Regimen Alternatif:

• Itrakonazol 200 mg PO 2X1

3. Terapi Maintenance

Regimen pilihan:

• Flukonazol 200 mg PO minimal 1 tahun

Menghentikan terapi maintenance jika kriteria berikut terpenuhi:

• Terapi awal lengkap (induksi, konsolidasi), dan setidaknya 1 tahun pada terapi
pemeliharaan, dan

 Asimtomatik dari infeksi kriptokokus, dan


• Jumlah CD4 ≥ 100 untuk ≥ 3 bulan dan menekan viral load HIV sebagai
tanggapan terhadap ART yang efektif

Restarting Maintenance Therapy:

• Jika jumlah CD4 menurun menjadi ≤100 sel / μL

Pada pasien ini mendapatkan flukonazole monoterapi dengan dosis 150 mg/12
jam/oral dan setelah 2 minggu mengalami perbaikan secara klinis dengan lesi yang
mengempis dan mengering, rasa nyeri pada perabaan di kulit menghilang. Pada
penelitian Wang et all tahun 2015, prognosis kriptokokosis kutaneous primer cukup
baik, pasien sembuh beberapa minggu hingga 10 bulan setelah terapi antijamur.
Selain itu, flukonazol monoterapi semakin banyak dilaporkan dalam literatur medis
terbaru, digunakan pada 17 kasus sejak 2011 dan 5 kasus sebelum 2011. Pada kasus
yang dilaporkan oleh kelompok studi kriptokokosis Perancis, dimana flukonazol
monoterapi diberikan pada 20 pasien tanpa melihat status kekebalan dengan median
durasi terapi 32 hari, didapatkan 75% pasien membaik dan 15% mengalami sedikit
perbaikan.16 Namun, apabila ada koinfeksi lain maka diperlukan pendekatan
multidisipliner. Koinfeksi c. neoformans dengan infeksi lain bisa berakibat buruk
terutama pada pasien imunokompromais.17

4. RINGKASAN
Berikut ini dilaporkan kasus seorang laki-laki 38 tahun dengan diagnosa
kriptokokosis kutaneous pada pasien human immunodeficiency virus disertai infeksi
CMV dan Rubella yang selama perawatannya mengalami perbaikan klinis dengan
mendapat terapi suportif dan simptomatik yakni cairan intravena NaCl 0,9% 28 tetes
permenit, parasetamol 1 gram/8 jam/intravena, lanzoprazole 30mg/24 jam/oral,
valcyclovir 900 mg/ 24 jam/oral, ciprofloxazine 200 mg/12 jam/intravena, triple
adult 1 tablet/24 jam/oral, pirimetamin 25mg/8jam/oral, flukonazol 150mg/12
jam/oral, paracetamol 1gr/8jam/intravena, lansoprazole 30mg/24jam/intravena,
kotrimoxazole 960mg/24jam/oral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fettig Jade, Mahesh S, Christopher S, Jonathan E. Global Epidemiology of


HIV. Infect Dis Clin North Am. 2014 September ; 28(3): 323–337.
2. Zulfiqar HF, Aneeqa J, Sumbal, Bakht A, Qurban A, Khadija A et al. HIV
diagnosed and treatment through advanced technologies. Frontiers in public
health. 2017.
3. Tüzüner Uğur , Begüm SG, Mehmet O. Laboratory Algorithm in HIV
Infection Diagnosis.2016. J HIV Clin Scientific Res 3(1): 007-010.
4. Yadalla HKK, Gandikota R. Cutaneous Cryptococcosis: A Marker Of Life
Threatening Disseminated Cryptococcosis In HIV AIDS. Our Dermatol Online.
2011; 2(4): 203-206.
5. Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in
HIV-Infected Adults and Adolescents. Recommendations from the Centers for
Disease Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV
Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America;2018.
6. Kiertiburanakul Sasisopin, Pawinee L, Somnuek S. Clinical Characteristics of
HIV-Infected Patients Who Survive after the Diagnosis of HIV Infection for
More Than 10 Years in a Resource-Limited Setting. Journal of the International
Association of Physicians in AIDS Care 11(6) 361-365.
7. Zacharia Annett, Muhammad FK, Anne EH, Appalanaidu S,Michael
AL,Joanne TM. Case of Disseminated Cryptococcosis With Skin
Manifestations in a Patient With Newly Diagnosed HIV. J La State Med Soc;
2013.
8. Srivastava, Ragini T, Jyoti Y, Manish B, Cutaneous Cryptococcus: marker for
disseminated infection . BMJ Case Rep 2015.
9. Li Wei Gao, An Xia Jiao, Xi Rong Wu, Shun Ying Zhao, Yun Ma, Gang Liu,
Ju Yin, Bao Ping Xu KLS. Clinical characteristics of disseminated
cryptococcosis in previously healthy children in China. BMC Infect Dis.
2017;17:359.
10. adalla H, Rao G. Cutaneous cryptococcosis: A marker of life threatening
disseminated cryptococcosis in HIV AIDS. Our Dermatol Online.
2011;2(4):203–6.
11. Islam Amna, Imran A. Cryptococcal Meningitis: A Deadly Fungal Disease of
Peoples Living with HIV/ AIDS: Improving Access to Essential Antifungal
Medicines: A Review Study. J Prev Infect Cntrol; 2018. Vol.4.
12. Eileen K. Maziarz JRP. Cryptococcosis. Infect Dis Clin North Am.
2016;30(1):179–206.
13. Drogari‐Apiranthitou M, Theodoropoulos K, Petrikkos G, Tsiodras S,
Chrisofos M, Tofas P, et al. Primary cutaneous cryptococcosis and a surprise
finding in a chronically immunosuppressed patient. JMM Case Reports.
2014;1(3).
14. Ying-Yi Lu, Chieh-Shan Wu C-HH. Primary cutaneous cryptococcosis in an
immunocompetent man: A case report. Dermatologica Sin. 2013;31:90–3.
15. Robiatul Adawiyah RW. Kriptokokosis : Epidemiologi, Manifestasi Klinis dan
Diagnosis. Maj Kedokt FK UKI. 2012;28(3):133–43
16. Jennifer Wang, Luther Bartelt, Deborah Yu, Anjali Joshi, Bradley Weinbaum,
Tiffany Pierson, Michael Patrizio, Cirle A. Warren, Molly A. Hughes GD.
Primary Cutaneous Cryptococcosis Treated with Debridement and Fluconazole
Monotherapy in an Immunosuppressed Patient: A Case Report and Review of
the Literature. Case Rep Infect Dis. 2015;1–8
17. I. Samad, M. C. Wang VHC. Intracerebral coinfection with Burkholderia
pseudomallei and Cryptococcus neo- formans in a patient with systemic lupus
erythematosus. Southeast Asian J Trop Med Public Heal. 2014;45(2):352–356.
.

You might also like