You are on page 1of 16

Kriptokokosis Kutaneous Pada Pasien Dengan Human Immunodeficiency Virus

Gede Putra Kartika Wijaya, Widyawati Djamaluddin, Safruddin Amin, Anni Adriani, Sri
Vitayani, Sri Rimayani, Dirmawati Kadir
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Abstrak
Kriptokokosis adalah infeksi oportunistik yang disebabkan oleh ragi berkapsul cryptococcus neoformans.
Kriptokokosis dialami oleh 5-10% pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) di seluruh dunia.
Kriptokokosis kulit terjadi pada 20% kasus kriptokokosis. Lesi kulit pada kriptokokosis diseminata tidak
patognomonik, jarang mengalami keterlibatan neurologis. Adanya lesi kulit secara signifikans
menunjukkan prognosis yang buruk, namun deteksi dan pengobatan dini akan meningkatkan kelangsungan
hidup. Kami laporkan satu kasus kriptokokosis kutaneous pada pasien HIV yang membaik setelah
pemberian monoterapi flukonazole tablet.
Kata Kunci: cryptococcus neoformans, human immunodeficiency virus, kriptokokosis kutaneous

Abstract
Cryptococcosis is an opportunistic infection caused by encapsulated yeast cryptococcus neoformans. It
affects 5 - 10% of patients with HIV worldwide. Cutaneous cryptococcosis can be found in about 20% of
all cryptococcosis. Skin lesions in disseminated cryptococcosis are not pathognomonic and rarely had
neurological involvement. The significance of skin lesions can provide the first evidence of dissemination
and show a poor prognosis, however, prior recognition and treatment will improve survival. Here we report
a case of cutaneous cryptococcosis in HIV positive patient who received fluconazole tablet monotherapy.
Keywords: cutaneous cryptococcosis, cryptococcus neoformans, human immunodeficiency virus

1
PENDAHULUAN
Pasien yang terinfeksi HIV rentan terhadap infeksi jamur oportunistik. Kriptokokosis
adalah infeksi oportunistik yang disebabkan oleh jamur berkapsul cryptococcus neoformans.
Cryptococcus neoformans banyak terdapat dalam kotoran, tanah, debu dan burung merpati. Rute
infeksi utama adalah inhalasi dalam bentuk ragi kecil yang bersifat aerosol.(1) Infeksi paru adalah
(2)
merupakan infeksi primer dan biasanya sembuh sendiri dan bisa asimtomatik. Terdapat 4
serotipe c. neoformans yaitu c. neoformans var grubii (serotipe A), c. neoformans var. neoformans
(serotipe D), dan c. neoformans var. gattii (serotipe B dan C)(3). Serotipe A, D, atau AD & B atau
C telah diisolasi di Eropa dan Amerika Serikat. C. neoformans ditemukan di daerah tropis,
sedangkan gattii ditemukan di Afrika. Lesi kulit bisa berkembang sebagai hasil penyebaran atau,
jarang, melalui inokulasi. (4)
Kriptokokosis kutaneus terjadi pada 6-13% pasien dengan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS), ketika jumlah CD4 limfosit mereka di bawah 100 cell/ μL.(5) Insiden
kriptokokosis pada pasien AIDS yang tidak diobati bervariasi pada berbagai negara dari 3% - 6%
di Amerika Serikat, 3% di Inggris, lebih dari 12% di beberapa bagian Afrika misalnya, Republik
Demokratik Kongo. Di Brasil dlaporkan dari 2 rumah sakit umum antara tahun 2005 hingga 2010,
11 pasien tercatat memiliki cryptococcus, 81,8% di antaranya adalah laki-laki. (6) Du et al dalam
penelitiannya mendapatkan kriptokokosis kutaneus banyak terjadi pada pria dengan perbandingan
17:4. (7)
AIDS merupakan faktor risiko kriptokokosis yang paling umum. Dengan semakin
meluasnya penggunaan terapi antiretroviral (ARV) insiden telah menurun. Kriptokokus umumnya
menyebar ke daerah lain setelah diseminasi dari paru, walaupun ada kemungkinan infeksi langsung
ke kulit yang disebut sebagai kriptokokosis kutaneus primer. Daerah penyebaran yang paling
sering dari kriptokokosis adalah sistem saraf pusat. Kriptokokosis pada kulit terjadi pada 20%
kasus dan merupakan tanda penyebaran dan merupakan penyakit yang mengancam nyawa dalam
beberapa minggu. Lesi dapat sangat bervariasi dalam morfologi dan dapat menyerupai moluskum
kontagiosum, histoplasmosis, dan penicillium marneffei. Gambaran klinis lain termasuk papula
atau pustula, tumor, plak, abses, selulitis, purpura, fitula, bisul, bula, pembengkakan subkutan, lesi
herpetiform, lesi lichenoid keunguan, erupsi nodular pada dagu, tumor berkutil pada kaki,
pseudofolikulitis dan kriptokokosis yang menyerupai kaposi sarkoma. (2,8) Lesi kulit bisa menjadi
suatu tanda gejala pertama penyakit sistemik.

2
LAPORAN KASUS
Seorang pria 35 tahun, datang dengan bintil-bintil dan benjolan kulit di hampir seluruh
tubuh yang terasa sangat nyeri sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Awalnya terdapat bintik
kecil di tangan kanan yang membesar, lalu pecah dan mengeluarkan cairan kuning, lalu menyebar
ke hampir seluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada sendi saat bergerak. Pasien
dinyatakan terinfeksi HIV, dan telah minum ARV sejak 1 tahun yang lalu, tapi berhenti sejak 1
bulan terakhir karena dirasakan tidak ada perubahan pada badannya. Pasien memiliki riwayat TBC
paru, sudah mengkonsumsi obat MDT-TB tapi tidak tuntas, riwayat seksual pasien mengaku
sebagai heteroseksual, riwayat penyakit infeksi menular sebelumnya disangkal, riwayat
pengobatan sebelumnya disangkal, alergi disangkal, riwayat nyeri kepala tidak ada, kejang tidak
ada, penurunan kesadaran tidak ada, lemah atau lumpuh ekstrimitas juga tidak ada. Pasien tidak
memelihara binatang atau unggas, namun ada tetangga yang memelihara burung, riwayat kontak
dengan tanah disangkal, tertusuk duri atau tergores tanaman disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran baik. Pada
pemeriksaan dermatologi didapatkan papul multipes dengan umbilikasi dan nodul multipel
berkonfluens, pada hampir seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta kemerahan diatasnya.
Tidak ada lesi yang terlihat pada telapak tangan, telapak kaki, mukosa mulut dan alat kelamin.
Tidak ada limfadenopati servikal atau aksila. Pemeriksaan sistem saraf normal tanpa tanda-tanda
iritasi meningeal dan kekakuan leher. Tidak ada hepatosplenomegali dan paru-paru normal.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan white blood cell (WBC) 4,6 x 103/uL,
penurunan hemoglobin 9 gr/dl, platelet 266 x 103/uL, gula darah sewaktu 111 mg/dl, ureum 21
mg/dl, kreatinin 0.59 mg/dl, SGOT 62 U/L, SGPT 32 U/L, CD4 1 cell/ uL. Hasil serologi anti
citomegalovirus (CMV) IgM 0,21 COI, anti CMV IgG 66 IU/ml, anti-Rubella IgM 0,16 COI,
anti-Rubella IgG 71 IU/ml. Hasil ronsen dada menunjukan tidak ada kelainan pada paru.
Pemeriksaan histopatologi kulit menunjukkan epidermis yang mengalami hiperplasia psoasiform
irregular dan terdapat area mikroulseratif. Di dalam dermis tidak terdapat proliferasi pembuluh
darah, hanya tampak serbukan sel radang limfosit, histiosit, netrofil yang padat. Pada pewarnaan
Periodic Acid Stain (PAS) ditemukan banyak spora yang sesuai dengan cryptococcus (PAS
positif). Kultur menunjukkan pertumbuhan lendir berwarna krem terlihat pada media Saboraud
Dextrose Agar (SDA) yang konsisten dengan cryptococcus neoformans var. neoformans.
Pemeriksaan tinta india didapatkan c. neoformans tampak kapsul putih.

3
Perawatan Hari Ke-1 Perawatan Hari Ke-22

1a 1b

2a 2b

4
3a 3b

4a 4b

5a 5b

5
6a 6b

7a 7b

8a 8b

6
9a 9b

10a 10b

7
11a 11b

12a 12b

Gambar 1-12a. Papul multipel berumbilikasi dan nodul multipel berkonfluens, pada hampir
seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta kemerahan diatasnya
Gambar 1-12b. Papul dan nodul tampak mengecil, dan mengering pada hampir seluruh
tubuh.

8
2.A 2.B 2.C

Gambar 2A. Kultur SDA tampak depan, tampak pertumbuhan mucoid warna creamy konsisten
dengan gambaran c. neoformans
Gambar 2B. Kultur SDA tampak belakang,
Gambar 2C. Kultur SDA dari jarak yang lebih dekat

Gambar 3. C. neoformans pada pewarnaan tinta india tampak kapsul putih

9
4a.

Gambar 4a. Epidermis mengalami hiperplasia psoarisiform ireguler

4b

Gambar 4b. Epidermis dengan mikroulserasi

10
4c.

Gambar 4c. Dermis terdapat serbukan sel radang limfosit, histiosit, neutrofil

4d.

Gambar 4d. Spora c. neoformans

11
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien merupakan pasien HIV, dan tetangga
memelihara burung; pada pemeriksaan fisik didapatkan papul multipes dengan umbilikasi dan
nodul multipel berkonfluens, pada hampir seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta
kemerahan diatasnya; pada pemeriksaan histopatologi, pewarnaan PAS, pemeriksaan tinta india
didapatkan c. neoformans tampak kapsul putih, oleh karena dapat ditegakkan diagnosis
kriptokokosis kutaneus.
Pasien diberikan pada cairan intravena NaCl 0,9% 28 tetes permenit, flukonazol 150mg/12
jam/oral, paracetamol 1gr/8jam/intravena, lansoprazole 30mg/24jam/intravena, kotrimoxazole
960mg/24jam/oral. Dari bagian penyakit dalam pasien juga didiagnosis dengan sitomegalovirus
dan rubella. Pasien mendapat parasetamol 1 gram/8 jam/intravena, lanzoprazole 30mg/24 jam/oral,
valcyclovir 900 mg/ 24 jam/oral, ciprofloxazine 200 mg/12 jam/intravena, triple adult 1 tablet/24
jam/oral, pirimetamin 25mg/8jam/oral.

DISKUSI
Kriptokokosis merupakan infeksi jamur sistemik, dapat bersifat infeksi akut, subakut atau
kronis yang disebabkan oleh ragi berkapsul c. neoformans. Pada pasien ini keluhan dialami sejak
1 bulan yang lalu, datang dengan bintil-bintil dan benjolan kulit di hampir seluruh tubuh yang
terasa sangat nyeri. Awalnya terdapat bintik kecil di tangan kanan yang membesar, lalu pecah dan
mengeluarkan cairan kuning, lalu menyebar ke hampir seluruh tubuh.
Pasien adalah pria 35 tahun, sesuai kepustakaan dimana kelompok usia yang paling sering
mengalami adalah antara 20-50 tahun, infeksi ini jarang ditemui pada anak-anak(9). Di Brasil
dlaporkan 81,8% pasien dengan kriptokokosis adalah laki-laki. Dari anamnesis pasien mengaku
bahwa ada tetangga yang memelihara burung, dimana c. neoformans banyak terdapat dalam
kotoran, tanah, debu dan burung merpati. Du et al dalam penelitiannya mendapatkan kriptokokosis
kutaneus banyak terjadi pada pria dengan perbandingan 17:4. (7)
Faktor predisposisi meliputi keadaan imunodefisiensi/AIDS, limfoma maligna,
sarkoidosis, penyakit kolagen, karsinoma, terapi kortikosteroid sistemik & pasien dengan
imunosupresi setelah transplantasi ginjal (10). Kriptokokosis dialami 5 - 10% pasien dengan AIDS
di seluruh dunia. Pada pasien ini kondisi imunodefisiensi/AIDS merupakan predisposisi dengan
CD 4 1 cell/ uL.

12
Kriptokokosis memiliki predileksi pada otak dan meninges, kadang-kadang paru-paru dan
kulit. Rute infeksi utama kriptokokosis adalah inhalasi dalam bentuk ragi kecil yang bersifat
aerosol(1) dan infeksi paru adalah merupakan infeksi primer, sehingga pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan foto ronsen dada dan tidak ditemukan adanya kelainan paru. Pada individu yang
imunokompromais, central nerve system adalah sistem yang paling umum yang terlibat.
Manifestasi klinis kriptokokosis pada CNS meliputi tanda-tanda klasik meningismus, sakit kepala,
neuropati kranial, perubahan kesadaran, perubahan mental, letargi, gangguan memori, serebral
palsi dan tanda iritasi meningeal.(11) Pada pasien AIDS, gejala meningitis bisa minimal. Pada
pasien ini telah dilakukan pemeriksaan saraf, kesadaran normal, tidak ditemukan tanda kelainan
saraf, dan tanda iritasi meningens tidak ditemukan.
Lesi kriptokokosis kutaneus menyerupai lesi moluskum kontagiosum, yaitu papula atau
nodul yang berwarna pada kulit. Ini merupakan morfologi paling umum dari kriptokokosis
kutaneus pada 54% pasien.(8) Daerah yang paling umum adalah kepala dan leher yang terjadi pada
78% kasus,(12) dan juga dapat ditemukan ditemukan abses. Pada pemeriksaan dematologi pada
pasien ini didapatkan papul multipel umbilikasi dan nodul multipel berkonfluens, pada hampir
seluruh tubuh dengan beberapa lesi ada krusta kemerahan diatasnya. Dengan gambaran tersebut
diferensial yang paling umum adalah moluskum kontagiosum, kaposi sarcoma, dan mikosis
sistemik lain seperti histoplasmosis dan infeksi seperti penicillium marneffi.
Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan penurunan hemoglobin 9 gr/dl,
dimana pada laporan kasus di Cina di dapatkan terjadi penurunan haemoglobin pada 26,9% kasus
kriptokokosis.(9) Pemeriksaan penunjang adalah dengan kultur pus pada agar SDA. Karakteristik
kultur c.neoformans akan menunjukkan pertumbuhan koloni yang lembut, berwarna krem atau
coklat pucat dan berlendir.(13) Pada SDA dijumpai koloni yang lembut, dan berwarna krem yang
konsisten dengan cryptococcus neoformans var. neoformans. Kemudian biakan kultur diambil dan
dilanjutkan dengan pewarnaan tinta india. Pemeriksaan tinta india akan didapatkan gambaran
globular, ragi berkapsul, dengan atau tanpa budding berdiameter 5-20 μm. Sensitivitas tinta india
pada pasien HIV hingga 80%, (5) pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tinta india dan
didapatkan c. neoformans tampak kapsul putih (Gambar 3).
Diagnosis kutaneus kriptokokosis dikonfirmasi oleh biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histopatologi kulit pasien ini menunjukkan epidermis yang mengalami hiperplasia psoasiform
irregular, terdapat area mikroulserasi, di dalam dermis tidak terdapat proliferasi pembuluh darah,

13
tampak serbukan sel radang limfosit, histiosit, netrofil yang padat. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan bahwa pada histopatologi akan terdapat infiltrat difus di dermis, yang terdiri dari
limfosit, sel plasma dan histiosit tanpa granuloma atau sel raksasa multinuklear.(14) Pada
pewarnaan PAS ditemukan banyak spora yang sesuai dengan cryptococcus (PAS positif). Pada
kepustakaan disebutkan histopatologi jaringan dengan pewarnaan PAS akan menunjukkan spora
berkapsul besar berbentuk bulat dengan sedikit peradangan atau reaksi granulomatosa.(8,15)
Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan jamur penyebab pada bahan klinik (16).
Pilihan pengobatan untuk c.neoformans ditentukan oleh keterlibatan sistemik dan status
imun pejamu. Berdasarkan rekomendasi panduan Infectious Disease Society of America (IDSA)
untuk pasien tanpa keterlibatan CNS, tanpa adanya gejala sistemik, dapat diberikan flukonazol
200-400 mg / hari selama 6-12 bulan.(3,17) Pada pasien ini mendapatkan flukonazole monoterapi
dengan dosis 150 mg/12 jam/oral dan setelah 2 minggu mengalami perbaikan secara klinis dengan
lesi yang mengempis dan mengering, rasa nyeri pada perabaan di kulit menghilang. Pada
penelitian Wang et all tahun 2015, prognosis kriptokokosis kutaneous primer cukup baik, pasien
sembuh beberapa minggu hingga 10 bulan setelah terapi antijamur. Selain itu, flukonazol
monoterapi semakin banyak dilaporkan dalam literatur medis terbaru, digunakan pada 17 kasus
sejak 2011 dan 5 kasus sebelum 2011. Pada kasus yang dilaporkan oleh kelompok studi
kriptokokosis Perancis, dimana flukonazol monoterapi diberikan pada 20 pasien tanpa melihat
status kekebalan dengan median durasi terapi 32 hari, didapatkan 75% pasien membaik dan 15%
mengalami sedikit perbaikan.(17) Namun, apabila ada koinfeksi lain maka diperlukan pendekatan
multidisipliner. Koinfeksi c. neoformans dengan infeksi lain bisa berakibat buruk terutama pada
pasien imunokompromais.(18)

14
REFERENSI
1. Thomas L. Walsh, Nitin Bhanot, Monika A. Murillo, Jeffrey M. Uchin ZM. Creeping Skin
Lesions: Primary Cutaneous Cryptococcosis. Am J Med. 2017;17:1–6.
2. Quartaralo N, Thomas I, Li H, Weiderkehr, Schwartz RA LW. Cutaneous cryptococcosis.
Acta dermatol. 2002;11(4).
3. Landucci G, Farinelli P, Zavattaro E, Giorgione R, Gironi LC, Veronese F, Astolfi S, Tiberio
R, Boldorini RL CE and SP. Complete Remission of Primary Cutaneous Cryptococcosis in an
Immunosuppressed Patient after Fluconazole Treatment. J Infect Dis Ther. 2017;5(4):1–3.
4. K Wolff, L Goldsmith, S Katz, B Gilchrest, AS Paller DL. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine, 8th Edition. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
5. Eileen K. Maziarz JRP. Cryptococcosis. Infect Dis Clin North Am. 2016;30(1):179–206.
6. Moskowitz DG. Cutaneous Cryptococcus [Internet]. 2016. Available from:
https://emedicine.medscape.com
7. Du L, Yang Y, Gu J, Chen J LW. Systemic Review of Published Reports on Primary
Cutaneous Cryptococcosis in Immunocompetent Patients. Mycopathologia. 2015;180:19–25.
8. Vasanthi S, Padmavathy BK, Gopal R, Sundaram RS, Manoharan G. Cutaneous
cryptococcosis among HIV infected patients. Indian J Med Microbiol [Internet].
2002;20(3):165–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&dopt=Citation&
list_uids=17657060
9. Li Wei Gao, An Xia Jiao, Xi Rong Wu, Shun Ying Zhao, Yun Ma, Gang Liu, Ju Yin, Bao
Ping Xu KLS. Clinical characteristics of disseminated cryptococcosis in previously healthy
children in China. BMC Infect Dis. 2017;17:359.
10. Joshi NS, Fisher BT, Prasad PA Z TE. Epidemiology of cryptococcal infection in hospitalized
children. Pediatr Infect Dis J. 2010;29:91–5.
11. Perfect J. Cryptococcus neoformans and Cryptococcus gattii. In: Mandell, Douglas, and
Bennett’s principles and practice of infectious diseases. 2015. p. 2934–48.
12. Rajetha D, Janaki C, Sentaiselvi G JV. Disseminated cutaneous cryptococcosis in a patient
with HIV infection. Indian J Dermatol. 2004;49:90–2.
13. Yadalla H, Rao G. Cutaneous cryptococcosis: A marker of life threatening disseminated
cryptococcosis in HIV AIDS. Our Dermatol Online. 2011;2(4):203–6.
14. Drogari‐Apiranthitou M, Theodoropoulos K, Petrikkos G, Tsiodras S, Chrisofos M, Tofas P,
et al. Primary cutaneous cryptococcosis and a surprise finding in a chronically
immunosuppressed patient. JMM Case Reports. 2014;1(3).
15. Ying-Yi Lu, Chieh-Shan Wu C-HH. Primary cutaneous cryptococcosis in an
immunocompetent man: A case report. Dermatologica Sin. 2013;31:90–3.
16. Robiatul Adawiyah RW. Kriptokokosis : Epidemiologi, Manifestasi Klinis dan Diagnosis.
Maj Kedokt FK UKI. 2012;28(3):133–43.
17. Jennifer Wang, Luther Bartelt, Deborah Yu, Anjali Joshi, Bradley Weinbaum, Tiffany
Pierson, Michael Patrizio, Cirle A. Warren, Molly A. Hughes GD. Primary Cutaneous
Cryptococcosis Treated with Debridement and Fluconazole Monotherapy in an
Immunosuppressed Patient: A Case Report and Review of the Literature. Case Rep Infect Dis.
2015;1–8.
18. I. Samad, M. C. Wang VHC. Intracerebral coinfection with Burkholderia pseudomallei and
Cryptococcus neo- formans in a patient with systemic lupus erythematosus. Southeast Asian J
Trop Med Public Heal. 2014;45(2):352–356.

15
16

You might also like