Professional Documents
Culture Documents
CATATAN REDAKSI :
• Dari Reformasi Hukum Sampai Aparat Yang Bersih 3
ANALISIS :
• RESENSI BUKU :
Berjalan-Jalan di Ranah Hukum
Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H
Dari Reformasi Hukum Sampai Pilkada : V.A. Sapada 117
Catatan Redaksi
Denny Indrayana
abstrak
1
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, ”Melanjutkan
Perubahan UUD 1945 Negara RI 1945”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia, Bukit Tinggi, 11 – 13 Mei 2007; serta–sebelum diperbaharui–
pernah dipresentasikan dalam Seminar Sehari,”Memperkuat Sistem Pemerintahan
Presidensiil”, diselenggarakan oleh DPP Partai Demokrat, Forum Komunikasi Partai Politik
dan Politisi untuk Reformasi dan Friedrich Naumann Stifftung, Hotel Acasia, Jakarta, 13
Desember 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 7
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
4
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
5
Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government (6th edition, 2000) hal.
201, 216.
6
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
7
Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam Gerak Politik yang
Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (2002) hal. 42 –
43.
8
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 9
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
16
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
17
Alrasid, n 11, hal. 11.
18
Ibid.
19
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
20
Ball dan Peters, n 6, hal. 62.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 11
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
21
Ibid.
22
Ibid 63.
23
Ibid.
24
Di Indonesia MPR juga berwenang memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan
presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil presiden. Tetapi, tidak ada keharusan
calon wakil presiden berasal dari parlemen, sebagaimana yang disyaratkan di Filipina
25
Ball dan Peters, n 6, hal. 177.
12 Reformasi Hukum
National Security
Office of the United
Council (NSC)
States Trade
Representative (USTR)
Office of Policy Development
(OPD)-comprising the Domestic
Policy Council (DPC), and the
National Economic Council
(NEC)
38
Ibid 117.
39
Tabel diambil dari Bowles, n 28, hal. 119.
40
Ball dan Peters, n 6, hal. 212 – 213.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 15
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
41
Bowles, n 28, hal. 119.
42
Ball dan Peters, n 6, hal. 202.
43
Bowles, n 28, hal. 114 – 115.
44
Bell, n 15, hal. 10.
45
Bowles, n 28, hal. 100.
16 Reformasi Hukum
hakim agung adalah untuk seumur hidup. Latar belakang calon sangat
mempengaruhi terpilihnya seorang hakim agung. Data hingga awal 1990-
an menunjukkan bahwa 88% hakim berasal dari kelas menengah ke atas.
Seluruh proses rekrutmen hakim agung melibatkan pertimbangan politik.
Di tahun 1969 dan 1970, Presiden Nixon gagal menominasikan dua hakim
agung, yang merupakan kegagalan kedua dan ketiga pada abad ke-20.
Kala itu Haynesworth dan Carswell ditolak senat karena alasan
incompetence, meski alasan sebenarnya adalah alasan etnis. Di tahun
1988, calon hakim agung Bork, nominasi yang diajukan Presiden Reagan,
ditolak oleh senat karena pandangannya yang konservatif, khususnya dalam
hal aborsi. George Bush akhirnya berhasil menggolkan Thomas, seorang
yang merupakan african american, setelah bertarung panjang dan
melelahkan dengan senat.51 PengalamanAmerika tersebut menunjukkan
bahwa jabatan seumur hidup bagi hakim agung tidak memberikan jaminan
pasti independensi kekuasaan kehakiman.50
Presiden mempunyai kewenangan konstitusional untuk memveto suatu
proses legislasi. Hak veto tersebut juga berlaku untuk proses legislasi yang
dilakukan komisi eksekutif dan komisi independen. Hak veto Presiden bukan
berarti ia melakukan intervensi. Veto adalah bentuk checks and balances
yang melekat pada presiden atas kewenangan legislasi cabang kekuasaan
yang lain.51
H. Pemakzulan Presiden
Dalam dunia hukum tata negara ada dua konsep pemecatan presiden:
impeachment dan forum prevelegiatum. Forum previlegiatum adalah
konsep pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui
mekanisme peradilan khusus (special legal proceedings). Artinya,
presiden yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme
pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan
konvensional dari tingkat bawah. Konsep ini diterapkan di Perancis yang
dalam pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat
negara dapat dituntut untuk diberhentikan di dalam forum pengadilan
Mahkamah Agung Perancis karena pengkhianatan kepada negara,
melakukan kejahatan kriminal dan tindakan tidak pantas lainnya.
49
Ball dan Peters, n 6, hal. 251 – 252.
50
Ibid 252
51
Oliver A. Houck, President X and the New (Approved) Decisionmaking, The American
University Law Review (36:1987) hal. 556.
18 Reformasi Hukum
52
Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974) hal. 2.
53
Ibid
54
Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power: Presidential Impeachment
in Comparative Perspective (2003) hal. 1.
55
Ibid
56
Ibid
57
Black, Jr., n 53, hal. 5 – 6.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 19
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
58
Ibid 6
59
Ibid
60
Ibid 7-8
61
Ibid 8
20 Reformasi Hukum
67
Ibid 11
68
Ibid 12
69
Ibid
22 Reformasi Hukum
70
Ibid
71
Ibid 13-14
72
Paparan di bawah ini berasal dari Denny Indrayana, Effective Presidential, Minority
Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 23
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
dijamin dalam konstitusi, dan pada saat yang bersamaan, dikontrol oleh
sistem parlemen yang kritis, sebagai hasil dari sistem kepartaian sederhana.
“Presiden Sialan” adalah presiden yang didukung suara mayoritas
mutlak di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan kolutif
(unified government). Kekuatan politik memusat di tangan presiden, dan
parlemen hanya menjadi “macan ompong”. “Presiden Sialan” lebih mungkin
terjadi dalam sistem presidensial yang berpadu dengan sistem mono-partai,
atau didominasi oleh satu partai.
Di Indonesia, sistem “Presiden Sialan” lahir jika terjadi penggabungan
antara unsur personal yang buruk moral, dengan kekuasaan konstitusional
dan partisan yang tanpa kontrol, ditambah system parlemen dan kepartaian
yang mandul. Itulah sistem presidensial Indonesia sebelum amandemen
UUD 1945. Kekuasaan presiden di dalam konstitusi sangat kokoh. Meski
tidak dipilih langsung oleh rakyat, sang presiden jauh lebih berkuasa daripada
lembaga perwakilan rakyat. Partai politik direkayasa menjadi hanya tiga.
Satu yang asli, dua lainnya hanya sebagai penggembira. Hasilnya,
terbentuklah struktur kekuasaan yang berbentuk piramid, dengan presiden
berada di puncak kekuasaan.73 Lahirlah presiden yang lebih bertingkah-
polah sebagai raja yang hanya wajib disembah dan haram disanggah.
Setelah masa “Presiden Sialan selesai”, Indonesia pernah hidup di
bawah sistem Presiden yang Sial. Secara moral, sang presiden berjiwa
demokrat. Ia amat dekat, bahkan sering bersenda gurau dengan Tuhan,
apalagi rakyat. Banyak yang menyebutnya Kiai, tidak sedikit yang
menganggapnya wali. Sayangnya, ia hanya presiden yang bertahan hanya
dalam hitungan ‘hari’. Selanjutnya – meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan
(Kompas 18/04/2000) – ‘Kiai Sang Presiden’ mengalami ujian langsung
dari Tuhan sahabatnya, dan lulus dengan predikat summa cum laude
sebagai Presiden yang Sial.
Kesialan sang Kiai lebih disebabkan karena empat faktor utama, yaitu:
melemahnya jaminan kekuasaan di tingkat konstitusi, menguatnya kontrol
parlemen, minimnya kekuasaan atau dukungan partisan, sebagai
konsekuensi hadirnya sistem multi partai yang tidak sederhana. Di era
pemerintahannya, Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 dilakukan.
Pasca amandemen ini, desain konstitusi yang muncul adalah presiden
yang bagaikan macan ompong.
73
William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996) hal. 17.
24 Reformasi Hukum
78
Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal. 87 – 88.
79
Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 27
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
dukungan PKB yang terpecah memang tidaklah utuh. Namun tetap saja
hitung-hitungan tersebut menunjukkan bahwa koalisi yang dibentuk Presiden
Yudhoyono adalah koalisi dan kabinet yang kedodoran (oversized
coalition). Tidak mengherankan relasinya dengan parlemen sangat kolutif.
Artinya, DPR amat jarang bersikap kritis terhadap presiden.
Momentum reshuffle kabinet harus menjadi saat untuk kembali
menyehatkan kabinet menjadi ramping alias pas-terbatas, tidak lagi
overweight. Namun, itu semua tergantung pada komitmen Yudhoyono untuk
konsisten dengan ucapannya sendiri untuk menciptakan koalisi terbatas,
sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Sayangnya, keinginan untuk
menguasai parlemen agaknya lebih besar dibandingkan tujuan untuk
membangun relasi yang lebih kontruktif. Di sisi parlemen sendiri, belum
ada partai politik yang sadar bahwa posisi sebagai oposisi juga penting
untuk terciptanya atmosfer politik yang dinamis dan demokratis.
Untuk menghindari koalisi dan kabinet semata-mata menjadi dagangan
kekuasaan, kehadiran Undang-undang Kementerian Negara yang mengatur
tentang fungsi dan eksistensi kabinet menjadi wajib adanya. Kebutuhan
akan regulasi tersebut makin nyata karena miskinnya etika politik para elit
kita. Sebab, seandainya integritas poltisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis
hanyalah pelengkap semata. Tapi, agaknya sudah menjadi hukum alam
bahwa etika dan kehidupan politik bukanlah kawan sejalan, melainkan lawan
yang tak pernah searah setujuan.
80
2. Presiden Yudhoyono dan DPR
Beberapa waktu lalu, Amien Rais mengatakan DPR cenderung
kembali menjadi stempel pemerintah. Kerisauan Amien Rais itu agaknya
bermula dari kurang kritisnya DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah
dalam beberapa isu strategis semacam kenaikan harga BBM dan kebijakan
impor beras. Di satu sisi penulis relatif mengamini pernyataan Amien Rais
tersebut, meski di sisi lain saya juga mempertanyakan kenapa Partai
Amanat Nasional, yang sedikit banyak masih berada di bawah bayang-
bayang Amien Rais sendiri, ikut-ikutan menjadi stempel dari kebijakan-
kebijakan pemerintah tersebut.
Pengalaman kita sebagai bangsa telah lengkap menghadirkan potret
relasi presiden dengan parlemen. Di masa Presiden Soeharto, hubungan
presiden dengan DPR amatlah kolutif. Presiden seakan-akan adalah atasan
langsung dari DPR. Apapun kebijakan Soeharto akan disambut dengan
81
Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas 20 Februari 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 29
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”
paduan suara yes men di DPR dan MPR. Akibatnya, Soeharto bertahan
hingga lebih dari tiga puluh dua tahun. Pada titik ekstrim lainnya, di masa
Presiden Abdurrahman Wahid, relasi presiden dengan parlemen amatlah
konfrontatif. Presiden Wahid gagal membangun dukungan yang solid di
DPR. Sebaliknya ia terus-menerus berkonflik dengan parlemen. Akibatnya,
masa kepresidenan Wahid hanya bertahan satu setengah tahun.
Baik hubungan yang kolutif maupun konfrontatif sama-sama bukanlah
relasi yang ideal antara presiden dengan parlemen. Keduanya seharusnya
membangun hubungan yang saling kontrol dan saling imbang (checks and
balances), yaitu hubungan yang konstruktif untuk bersama-sama
mendorong agenda pembangunan bangsa dengan tetap membuka pintu
bagi perbedaan pendapat dan ruang untuk saling mengingatkan.
Relasi yang konstruktif itulah yang sedikit banyak terjadi di masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono). Sebagai presiden
minoritas (minority president), Yudhoyono yang hanya didukung modal
awal 7% suara di DPR telah cukup berhasil mengelola irama konfliknya
dengan DPR. Memang dalam isu makro politik DPR terlihat knock out
dihajar serangan beruntun dari sang presiden. Namun dibandingkan di masa
Presiden Soeharto, tidak sedikit perbedaan pendapat yang berani dilontarkan
oleh para anggota DPR, khususnya dalam masalah mikro politik. Namun
kekritisan di isu-isu mikro tersebut, misalnya dalam penyusunan pasal
undang-undang, dan kritisnya pertanyaan-pertanyaan dalam dengar
pendapat dengan pemerintah, cenderung tenggelam secara pemberitaan
media masa terutama karena dalam isu-isu populis, DPR lebih sering pasrah
bongkokan kepada kebijakan Presiden.
Kepasrahan tersebut karena bangunan koalisi yang dibangun
Yudhoyono terbukti lebih solid dibandingkan poros tengah yang awalnya
sempat mendukung Wahid. Padahal Presiden Wahid mempunyai modal
awal yang lebih besar, yaitu pasukan berani mati PKB yang menduduki
11% kursi DPR. Gaya kepemimpinan Yudhoyono yang lebih akomodatif,
dibandingkan Wahid yang lebih konfrontatif menyebabkan hasil akhir relasi
presiden dan parlemen menjadi berbeda. Meski keduanya sama-sama
merupakan presiden minoritas. Hal itu membuktikan sistem ketatanegaraan
kita masih kental diwarnai gaya personal sang pemimpin.
Sistem ketatanegaraan yang personal itu sebaiknya dihindari. Ke depan
sistem politik kita harus lebih bersandar kepada sistem yang demokratis,
bukan kepada orang. Itu artinya diperlukan rekayasa konstitusi
(constitutional engineering) untuk membangun hubungan presiden dan
30 Reformasi Hukum
Disain Konstitusional
Reformasi Hukum
Presiden Sial Baik / Buruk Lemah Lemah Multi Partai tidak Tinggi
sederhana
(Minority President) Oversized coalition
“Presiden Sialan” Buruk Kuat Kuat Satu partai yang dikontrol Rendah
oleh penguasa
(Minority President) Undersized Coalition
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 35
Era Pasca Reformasi
Satya Arinanto
Abstrak
Perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat di berbagai
belahan dunia dalam konteks akademik telah melahirkan berbagai teori
tentang transisi, baik dalam konteks politik, ekonomi, hukum, dan
konteks-konteks lainnya. Dalam konteks politik, makna “transisi politik”
antara lain diartikan sebagai peralihan atau perubahan pemerintahan
yang terjadi di berbagai negara.
1
Semula disampaikan dalam acara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum
Universitas Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, 18
Maret 2006.
2
Di Jerman, terjadi peristiwa runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman
Barat dan Jerman Timur, yang kemudian diikuti dengan reunifikasi Jerman pada tanggal 3
Oktober 1990. Semenjak saat itu terdapatlah satu Konstitusi Republik Federal Jerman
(Basic Law for the Federal Republic of Germany) yang baru. Dalam Kata Pendahuluannya
Prof. Roman Herzog – Mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Federal (Federal
Constitutional Court) Jerman yang kemudian juga pernah menjadi Presiden Republik Federal
Jerman – menilai bahwa Konstitusi Republik Federal Jerman tersebut sebagai berikut: “It is
the most liberal constitution the Germans have ever had and has served as a model for many
other democratic constitutions. We Germans have every reason to be proud of our Basic
Law and to defend it to the best of our ability”. Lihat Kata Pendahuluan Herzog dalam Basic
Law for the Federal Republic of Germany (Promulgated by the Parliamentary Council on
23 May 1949) (Bonn: The Press and Information Service of the Federal Government,
1995), hal. 3.
36 Reformasi Hukum
3
Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992), hal. ix; Lihat pula Satya Arinanto,
Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 1 – 2.
4
Lihat José Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former
Governments: Principles Applicable and Political Constraints,” dalam Neil J. Kritz, ed.,
Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I:
General Considerations (Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 1995),
hal. 5.
5
Ibid.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 37
Era Pasca Reformasi
civil society to emerge. Each technique has, in turn, its own specific
instruments: for example, the creation of markets and price reform for
marketisation; restitution, voucher schemes, and share ownership, and
the selling off of state property for privatisation; multy-partyism and
parliamentary democracy for democratisation.”
Dalam konteks hukum, masalah transisi ini antara lain memunculkan
terminologi keadilan transisional (transitional justice). Keadilan transisional
adalah keadilan dalam masa transisi politik. Dalam perspektif Ruti G. Teitel,
konsepsi keadilan dalam periode perubahan politik bersifat luar biasa dan
konstruktif: Hal ini secara bergantian dibentuk oleh, dan merupakan inti dari,
transisi politik. Konsepsi keadilan yang timbul bersifat kontekstual dan parsial:
Apa yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang “adil” bersifat tidak pasti dan
dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang; dan hal ini didasarkan atas
informasi dari ketidakadilan sebelumnya. Respon-respon terhadap pemerintahan
yang represif memberikan arti terhadap rule of law.9
Dengan berbagai cara, HAM telah menjadi pusat dari revolusi demokratis
yang telah menyentuh setiap bagian dari belahan dunia dalam beberapa tahun
terakhir ini. Walaupun arus demokrasi telah mengalir dengan cepat, demokrasi-
demokrasi yang muncul masih menghadapi hambatan-hambatan yang
menakutkan dalam menegakkan aturan-aturan hukum dan membentuk jaminan
yang kokoh terhadap HAM. Pemerintahan-pemerintahan yang demokratis ini
seringkali merupakan ahli waris dari rezim-rezim diktator yang mempraktekkan
berbagai pelanggaran HAM berat seperti eksekusi di luar hukum, “orang hilang”,
penyiksaan sistematis, dan penahanan rahasia.10
Problematika yang dihadapi oleh negara-negara demokratis baru ini adalah
bagaimana mereka harus memperlakukan pihak-pihak yang telah bersalah
melakukan berbagai kejahatan tersebut dalam rezim yang lama. Kesulitan yang
muncul dalam mencapai suatu solusi yang adil yang dapat diterima oleh
masyarakat yang telah lama menderita dan yang mengarahkan kepada kedua
pihak, baik pihak yang melakukan pembunuhan maupun pihak yang menutup-
9
Ruti G. Teitel, Transitional Justice (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 6. Menurut
Teitel, ketika suatu negara mengalami transisi politik, warisan ketidakadilan berhubungan
dengan apa yang dianggap bersifat transformatif. Untuk beberapa konteks tertentu, timbulnya
respon-respon hukum semacam ini telah memberi contoh transisi politik. Dari berbagai
wacana yang ada, semakin terbukti bahwa peranan hukum dalam masa transisi politik
bersifat kompleks.
10
Jamal Benomar, “Justice After Transition,” dalam Kritz, ed., Transitional Justice: How
Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations,
op. cit., hal. 32.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 39
Era Pasca Reformasi
pluralisme agama.14
Era ini di antaranya kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet
Reformasi Pembangunan. Namun Kabinet ini tidak berumur panjang. Sekitar
13 (tiga belas) bulan kemudian, diselenggarakanlah pemilihan umum tahun
1999, yang – disamping adanya berbagai kekurangan – telah diakui sebagai
penyelenggaraan pemilu demokratis kedua setelah pemilu pertama tahun 1955.
Satu setengah tahun setelah berkuasa, Presiden B.J. Habibie pun terpaksa
harus meletakkan jabatannya setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak
oleh MPR dalam Sidang Umumnya pada tanggal 19 Oktober 1999.15 Padahal
sebenarnya ia bisa saja tetap mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden
berikutnya, karena tidak ada larangan bagi seorang Presiden yang telah ditolak
pidato pertanggungjawabannya untuk tetap mencalonkan diri; walaupun juga
tidak ada jaminan bahwa ia akan bisa terpilih kembali setelah pidato
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Setelah melakukan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1973 tentang “Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia”16 menjadi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang
“Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia”,17 maka MPR pun kemudian mengangkat K.H. Abdurrahman Wahid
menjadi Presiden RI18 dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden
RI.19
Namun pemerintahan Presiden Wahid ini tidak berlangsung lama,
melainkan hanya sekitar 20 bulan. Setelah diguncang oleh Skandal Bulog yang
pertama atau yang lebih dikenal sebagai Buloggate I, dan setelah melalui 2
(dua) kali Memorandum DPR, maka melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/
14
Untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut, lihat International IDEA (Lembaga Internasional
untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu), Penilaian Demokratisasi di Indonesia
(Pengembangan Kapasitas Seri 8) (Jakarta: International IDEA, 2000).
15
Lihat Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1999 tentang “Pertanggungjawaban Presiden
Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie” dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 1999), hal. 45 – 50.
16
Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 47 – 54.
17
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999,
op. cit., hal. 89 – 96.
18
Ibid., lihat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Presiden Republik
Indonesia”, hal. 97 – 101.
19
Ibid., lihat Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Wakil Presiden
Republik Indonesia”, hal. 103 – 107.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 41
Era Pasca Reformasi
26
Mengenai hal ini lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction (New York:
W.W. Norton dan Company, 1984). Lihat pula Lawrence M. Friedman, A History of American
Law (New York: Simon and Schuster), 1973.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 43
Era Pasca Reformasi
with courts and lawyers except in emergencies. But not a day goes by,
and hardly a waking hour, without contact with law in its broader
sense – or with people whose behavior is modified or influence by
law. Law is vast, though sometimes invisible, presence”.27
Elemen pertama yang disebut Friedman adalah structure (tatanan
kelembagaan dan kinerja lembaga), yang dideskripsikannya sebagai berikut:
“We now have a preliminary, rough idea of what we mean when
we talk about our legal system. There are other ways to analyze this
complicated and important set of institutions. To begin with, the legal
system has structure. The system is constantly changing; but parts of
it change at different speeds, and not every part changes as fast as
certain other parts. There are persistent, long-term patterns – aspects
of the system that were here yesterday (or even in the last century)
and will be around for a long time to come. This is the structure of the
legal system – its skeleton or framework, the durable part, which
gives a kind of shape and definition to the whole”.28
Sedangkan elemen kedua yang dipaparkan oleh Friedman adalah
substance (ketentuan perundang-undangan) yang digambarkannya sebagai
berikut:
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is
meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside
the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of the
term – the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that
burglars can be sent to prison, that “by law” a pickle maker has to
list his ingredients on the label of the jar”.29
Sedangkan tentang elemen ketiga adalah legal culture (budaya
hukum). Mengenai legal culture ini Friedman antara mendeskripsikannya
sebagai berikut:
27
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit., hal. 1; Sebagai bahan diskusi, lihat pula
Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan Hukum di Indonesia,” dalam Guru Pinandita:
Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2006), hal. 569 – 590.
28
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit.., hal. 5; Lihat pula Satya Arinanto,
“Empat Tahun Reformasi Hukum,” Koran Tempo, 15 Mei 2002, hal. B7.
29
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit., hal. 6 - 7; Lihat pula Satya Arinanto,
“Beberapa Catatan tentang Sistem Hukum” (Makalah disampaikan dalam Pra Seminar
Hukum Nasional dengan tema “Reformasi Hukum Melalui Peningkatan Kinerja Lembaga-
lembaga Hukum” yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Komisi Hukum Nasional (KHN) RI di
Jakarta, 31 Oktober – 1 November 2002).
44 Reformasi Hukum
“By this we mean people’s attitudes toward law and the legal
system – their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words,
it is that part of the general culture which concerns the legal system.
… The legal culture, in other words, is the climate of social thought
and social force which determines how law is used, avoided, or
abused. Without legal culture, the legal system is inert – a dead fish
lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”.30
Pengaruh dari pandangan Friedman ini, khususnya yang terkait dengan 3
(tiga) unsur sistem hukum, bahkan tetap ada hingga saat ini, yakni dalam politik
hukum yang diberlakukan dalam era pasca reformasi. Yang dimaksud dengan
politik hukum dalam era pasca reformasi ini secara khusus merujuk pada
beberapa arahan yang bertajuk “Pembenahan dan Sistem Politik Hukum” yang
merupakan salah satu bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009.31 Dengan demikian pembahasan dalam bagian
berikutnya ini juga akan didasarkan pada ketiga unsur sistem hukum tersebut.
RPJMN ini bahkan dapat dilihat sebagai semacam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) dalam era Orde Lama dan Orde Baru. Sebagai
akibat dari proses perubahan UUD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran
perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR,32 maka
semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak
lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN. Padahal selama ini GBHN
merupakan salah satu sumber untuk meninjau politik hukum dalam arti legal
policy, baik yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena
30
Ibid. Dalam pengamatan penulis, ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh
Friedman ini sangat mempengaruhi pendapat para sarjana hukum Indonesia dalam
merumuskan berbagai pandangan mengenai hukum dan sistem hukum. Misalnya sebagaimana
dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia ketika merumuskan unsur-unsur sistem hukum Indonesia. Menurut BPHN, sistem
hukum Indonesia terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: (1) materi hukum (tatanan
hukum), termasuk di dalamnya ialah: (a) perencanaan hukum, (b) pembentukan hukum, (c)
penelitian hukum, dan (d) pengembangan hukum. Untuk membentuk materi hukum harus
diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan, yang dapat berbeda dari waktu ke waktu
karena adanya kepentingan dan kebutuhan; (2) aparatur hukum, yakni mereka yang
mempunyai tugas dan fungsi: (a) penyuluhan hukum, (b) penerapan hukum, (c) penegakan
hukum, dan (d) pelayanan hukum. Adanya aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan
kaitannya dengan politik hukum yang dianut; (3) sarana dan prasarana hukum, yang meliputi
hal-hal yang bersifat fisik; (4) budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk
para pejabatnya; dan (5) pendidikan hukum; Sebagai bahan diskusi lihat pula Tim Sejarah
BPHN, Sejarah Badan Pembinaan Hukum Nasional (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005).
31
Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Perpres Nomor 7 Tahun
2005, LN Nomor 11 Tahun 2005.
32
Adapun dasar-dasar pemikiran perubahan UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999 –
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 45
Era Pasca Reformasi
2002 antara lain meliputi peninjauan dan penataan kembali hal-hal yang terkait dengan
permasalahan sebagai berikut: (1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang
bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan
kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-
institusi ketatanegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kata kunci bagi kekuasaan
pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada hubungannya lagi dengan rakyat; (2)
UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif
(presiden). Sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah executive heavy, yakni kekuasaan
dominan berada di tangan presiden. Pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan
pemerintahan (chief executive) yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang
lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi)
dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk UU. Hal ini tercermin jelas
dalam Penjelasan UUD 1945, yang berbunyi Presiden ialah penyelenggara pemerintah
Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya
dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu
tangan (Presiden) yang menyebabkan tidak bekerjanya prinsip checks and balances dan
berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter; (3) UUD 1945 mengandung pasal-
pasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir),
misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Rumusan pasal itu dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni tafsir pertama bahwa presiden dan
wakil presiden dapat dipilih berkali-kali dan tafsir kedua yang menyatakan bahwa presiden
dan wakil presiden hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak
boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diubah) yang
berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. UUD 1945 tidak memberikan penjelasan
dan memberikan arti kata “orang Indonesia asli” itu, sehingga rumusan ini membuka
penafsiran beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang
lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia;
(4) UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan undang-undang (UU). UUD 1945 menetapkan bahwa
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal
penting sesuai kehendaknya dalam UU. Hal ini menyebabkan pengaturan mengenai MPR,
DPR, BPK, MA, DPA, dan Pemerintahan Daerah disusun oleh Presiden dalam bentuk
pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR; dan (5) Rumusan UUD 1945
tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang
memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hokum, pemberdayaan
rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang
bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan
UUD 1945, antara lain sebagai berikut: (a) tidak adanya checks and balances antarlembaga
negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden; (b) infrastruktur politik yang dibentuk, antara
lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi
sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; (c) pemilihan umum (pemilu)
diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan
tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; dan (d) kesejahteraan sosial berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah system monopoli,
oligopoli, dan monopsoni. Disamping dasar-dasar pemikiran tersebut, dalam proses perubahan
UUD 1945 juga ada beberapa kesepakatan dasar sebagai berikut: (1) tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI); (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensiil; (4) Penjelasan UUD 1945
ditiadakan, serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukan ke dalam pasal-pasal; dan
(5) perubahan dilakukan dengan cara “addendum”. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op. cit., hal. 11 – 15 dan hal. 25.
46 Reformasi Hukum
itu, untuk menganalisis politik pembangunan hukum nasional dalam era pasca
reformasi, salah satu rujukan utama kita adalah pada naskah RPJMN tersebut.
Namun demikian sebelum meninjau politik pembangunan hukum nasional dalam
era pasca reformasi, akan kita tinjau lebih dahulu aspek historisnya, yakni politik
pembangunan hukum nasional pada era sebelum masa reformasi dan pada
masa reformasi.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Sebelum
Reformasi
Sebagaimana disinggung di muka, sebelum masa reformasi, politik
pembangunan hukum nasional didasarkan pada beberapa GBHN. Pada masa
Orde Lama, landasan hukum GBHN tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor
I/MPRS/1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-
Garis Besar Daripada Haluan Negara” yang ditetapkan di Bandung pada
tanggal 19 Nopember 1960 dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960
tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahap Pertama 1961 – 1969” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal 3
Desember 1960.33 Namun demikian, dalam kedua Ketetapan MPRS dan
sekaligus GBHN pertama di Indonesia, ini, tidak ditemui pengaturan yang
spesifik yang bisa dijadikan landasan hukum politik pembangunan hukum nasional.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/
1963 tentang “Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan
Negara dan Haluan Pembangunan” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal
22 Mei 1963. Ketetapan ini sama sekali tidak memberikan landasan hukum
yang bersifat spesifik bagi politik pembangunan hukum nasional.34
Ketetapan MPRS pertama yang terkait secara langsung dengan bidang
hukum adalah Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
“Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia” yang ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1966.35 Walaupun tidak mengatur atau terkait
secara langsung dengan GBHN, namun dalam Ketetapan ini tercantum
beberapa landasan pembangunan politik hukum nasional untuk masa itu.
Selanjutnya politik pembangunan hukum nasional secara nyata tercantum
dalam beberapa Ketetapan MPR tentang GBHN yang berlaku pada masa
33
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS
dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002),
hal. 3 – 17.
34
Ibid., hal. 25 – 29.
35
Ibid., hal. 133 – 150.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 47
Era Pasca Reformasi
46
Yang semasa hayatnya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, disamping sebagai Pengajar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
47
Semasa hayatnya pernah menjabat sebagai Presiden – sekarang disebut Rektor -Universitas
Indonesia yang ke-2 dan Menteri Kehakiman RI yang pertama.
48
Radhie, loc. cit., hal. 570; Sebagai bahan diskusi, lihat pula Francis Fukuyama, State Building:
Governance and World Order in the Twenty-First Century (London: Profile Books, 2005).
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 49
Era Pasca Reformasi
dasar-dasarnya sudah sama sekali berubah dari zaman kita saat ini, zaman
yang tidak kita harapkan kembalinya.49
Dalam perkembangan selanjutnya tidak tercatat lagi banyaknya sarjana
hukum dan institusi-institusi pendidikan dan penelitian hukum yang
mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai berbagai aspek
pembaruan hukum di Indonesia. Pandangan-pandangan dan pemikiran-
pemikiran tersebut begitu kaya dan beragam, namun demikian dampaknya
dalam konteks pembaruan hukum dalam realitanya terasa belum begitu
menyentuh.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Reformasi
Dalam era reformasi, MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa pada
bulan November 1998. Salah satu hasil dari Sidang Istimewa tersebut adalah
Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional Sebagai Haluan Negara” yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13
November 1998.50 Dalam Ketetapan MPR yang juga dikenal sebagai “GBHN
Mini” ini dimuat beberapa arahan politik pembangunan hukum nasional sebagai
berikut:51
1.Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan
terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban,
ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Agenda yang harus
dijalankan adalah :
a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak
hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan
integritas yang utuh.
b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana dan prasarana hukum
yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya
hukum sebagai pengatur kehidupan nasional.
c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran
hukum bagi seluruh masyarakat.
d. Membentuk Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara
49
Ibid. Dalam melakukan pengutipan ini penulis juga melakukan beberapa pengeditan bahasa,
agar konteksnya bisa lebih dipahami sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang berlaku
pada saat ini.
50
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS
dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002, op. cit.., hal. 1315 – 1331.
51
Ibid., hal. 1328.
50 Reformasi Hukum
Cyberconsult, 2000; Lihat pula beberapa hasil studi dari Komisi Hukum Nasional (KHN)
Republik Indonesia, antara lain Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum:
Suatu Rekomendasi (Jakarta: KHN, 2003).
56 Reformasi Hukum
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Apeldoorn, L.J. van. Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse
Recht, atau Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1981.
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Berman, Harold J. Law and Revolution: The Formation of the
Western Legal Tradition. Cambridge: Harvard University Press, 1983.
Claude, Richard Pierre dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in
the World Community. Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1992.
Coper, Michael and George Williams, eds. The Cauldron of
Constitutional Change. Canberra: Centre for International and Public
Law Faculty of Law Australian National University, 1997.
Dallmayr, Fred R. Achieving Our World: Toward a Global and
Plural Democracy. Lanham: Rowman dan Littlefield Publishers, Inc., 2001.
Dallmayr, Fred dan José M. Rosales, eds. Beyond Nationalism?:
Sovereignty and Citizenship. Lanham: Lexington Books, 2001.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dalam Proses Demokratisasi: Laporan
Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPR RI pada Sidang
Tahunan MPR RI, Tahun Pertama 1999 – 2000. Jakarta: Agustus 2000
_______. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam
Proses Demokratisasi: Laporan Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan
Wewenang DPR RI pada Sidang Tahunan MPR RI, Tahun Kedua 2000
– 2001. Jakarta: November 2001.
Emmerson, Donald K., ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
bekerja sama dengan The Asia Foundation, 2001.
Farnsworth, E. Allan. An Introduction to the Legal System of the
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 57
Era Pasca Reformasi
22.
Kommers, Donald P. “German Constitutionalism: A Prolegomenon,”
Emory Law Journal, Volume 40, Number 3, Summer 1991, hal. 837 –
873.
Teitel, Ruti G. “Transitional Jurisprudence: The Role of Law in Political
Transformation,” The Yale Law Journal, Volume 106, Issue 7, May 1997,
hal. 2009 – 2080.
D. Suratkabar
Arinanto, Satya. “Konstitusi Baru dan Komisi Konstitusi,” Kompas, 8
Mei 2001, hal. 7.
_______. “Empat Tahun Reformasi Hukum,” Koran Tempo, 15 Mei
2002, hal. B7.
Schmemann, Serge. “Ideas and Trends: Transitional Justice; How to
Face the Past, Then Close the Door,” The New York Times, Premium
Archive, 8 April 2001.
T07/Elok Dyah Messwati/Budiman Tanoredjo. “Indonesia Baru, Kultur
Lama,” Kompas, 12 Agustus 2002, hal. 25.
E. Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan
Arinanto, Satya. “Constitutional Law and Democratization in
Indonesia.” Jakarta: Publishing House Faculty of Law University of
Indonesia, 2000.
Hartono, Sunaryati. “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana
Globalisasi Masyarakat Dunia.” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tanggal 1
Agustus 1991.
Roesminah, et. al. “Laporan Akhir Tim Penyusunan Rencana Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan Kolonial”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman RI, 1991/1992.
F. Internet
Ima “Hasil Amandemen Keempat UUD 1945 Diusulkan Dijadikan
Konstitusi Transisi.” .(http://www.kompas.com/utama/news/0204/24/
022847.htm). 24 April 2002.
Oki“Perlu Kesepakatan tentang Masa Transisi: Untuk Penerapan
“Transitional Justice.” (http://www.kompas.com/kompascetak/0010/26/
60 Reformasi Hukum
A. Ahsin Thohari
Abstrak
Tidak ada lagi pengawasan eksternal hakim! Itulah kesimpulan
yang dapat diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memereteli
kewenangan lembaga pengawas eksternal hakim––Komisi Yudisial
(KY)––melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan
23 Agustus 2006. Tidak tanggung-tanggung, putusan itu seperti
mencabut separuh nyawa kewenangan KY: pengawasan terhadap
perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim. Kini, KY hanya hidup dengan
separuh nyawa kewenangan lain: mengusulkan pengangkatan hakim
agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), suatu wewenang
yang sangat sumir bagi lembaga negara yang wewenangnya
bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power).
Ironisnya, pembuat undang-undang (DPR dan Presiden) sampai saat
ini belum melakukan perbaikan (legislative review) terhadap Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Padahal,
jika pengawasan eksternal hakim tidak bisa dijalankan, hanya
pengawasan internal hakim di Mahkamah Agung yang penuh distorsi,
manipulasi, dan perlindungan semangat korps yang dapat
diandalkan.
Pendahuluan
Hampir setahun berlalu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap
permohonan pengujian undang-undang (judicial review) yang diajukan
31 (tiga puluh satu) hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) Republik
Indonesia. Para hakim agung itu menganggap hak dan kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22
62 Reformasi Hukum
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY),1 khususnya yang berkaitan
dengan “pengawasan hakim” yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan
Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan “usul
penjatuhan sanksi” yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4)
dihubungkan dengan Bab I Pasal 1 butir 5 UU KY. Pasal-pasal tersebut
dianggap menimbulkan kerugian pada para pemohon karena hakim agung
(juga hakim konstitusi) menjadi objek pengawasan serta dapat diusulkan
sebagai objek penjatuhan sanksi oleh KY.
Sebagaimana diketahui, akhirnya MK mengabulkan sebagian
permohonan pemohon. Putusan MK itu mengakibatkan: (1) hakim konstitusi
tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi KY; dan (2)
KY tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, saat
ini tidak ada lagi ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah
konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim.
Singkatnya, saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang
pengawasan eksternal hakim. Padahal, pengawasan internal yang dilakukan
MA sampai saat ini dapat dikatakan masih belum efektif. Ketua Komisi
III DPR Trimedya Panjaitan bahkan secara ekstrem menilai, MA tidak
mengalami kemajuan apa pun dalam pengawasan internal.2
Di lain pihak, dengan putusan itu, keberadaan KY pun menjadi tidak
terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya
hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR––
“wewenang sumir” yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia
yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee),
bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber
langsung dari konstitusi (constitutionally based power).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah putusan MK yang sudah
memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Agustus 2006 yang lalu, tetapi
hanya ingin mendiskusikan apa yang “tersisa” dan masih bisa dilakukan
perbaikan ke depan seperlunya setelah pasal-pasal inti (core provisons)
UU KY yang menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan
dan perilaku hakim dinilai MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN
No. 89, TLN No. 4415.
2
Lihat ANA, “Pengawasan Tak Efektif: Kresna Menon Dipromosikan Jadi Wakil Ketua PN
Bandung”, Harian Kompas, Edisi Rabu, 25 April 2007, hal.3.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim 63
Pascapengujian Undang-Undang
(UUD) 1945. Hal ini mengingat, sebagaimana diakui oleh Ketua KY Busyro
Muqoddas, KY belakangan ini mengalami keterbatasan ruang gerak dalam
mengawasi perilaku hakim, menyusul putusan MK yang menganulir
beberapa kewenangan KY.3
Lalu, apa yang bisa ditawarkan kepada semua pemangku kepentingan
hukum agar pengawasan eksternal dapat segera diwujudkan kembali sesuai
dengan amanat Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang mengandung
semangat bahwa pembentukan KY dimaksudkan agar masyarakat di luar
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim?4
Selain itu, apa upaya-upaya bisa ditawarkan kepada semua pemangku
kepentingan hukum agar KY dapat “diselamatkan” keberadaannya,
sehingga tidak terjerumus menjadi organ konstitusional dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang mubazir karena hanya memiliki wewenang
yang semestinya cukup diperankan panitia seleksi insidental yang menginduk
departemen teknis tertentu?
Menolak Gagasan Ketua MA
Di saat pengawasan eksternal hakim tidak bisa lagi diperankan KY
karena putusan MK, Ketua MA Bagir Manan justru melontarkan gagasan
kontroversial agar KY dipimpin oleh Ketua MA secara ex officio.5 Gagasan
ini seperti menjadi bukti bahwa elit MA sendiri justru alergi dengan
pengawasan eksternal hakim dan ingin mengukuhkan kembali pengawasan
internal hakim seperti sebelum lahirnya KY. Terlepas dari apakah gagasan
itu etis atau tidak dilontarkan oleh Ketua MA, melihat sikap-sikap Ketua
MA dan hakim agung lain terhadap KY sebelumnya dan pengalaman
sejarah pengawasan hakim kita yang dikelola secara “kekeluargaan”,
gagasan itu boleh dibilang sangat tendensius dan ahistoris.
Tendensius karena selama ini Ketua MA menampilkan sikap yang
tidak bersahabat dan resisten terhadap kehadiran KY yang ditandai dengan
mengabaikan semua rekomendasinya dan sejumlah hakim agung
mengajukan permohonan pengujian UU KY kepada MK sebagaimana
disinggung di atas. Ahistoris karena munculnya gagasan pembentukan KY
sebagai pengawas eksternal hakim di Indonesia justru dipicu oleh tidak
3
ANS, “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim Nakal”, Harian Kompas, Edisi
Senin, 23 April 2007, hal. 3.
4
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 42.
5
ANA, “Gagasan Bagir Dikritik: Mengusulkan Komisi Yudisial Dipimpin Ketua MA secara
‘Ex Officio’”, Harian Kompas, Edisi Jumat, 2 Maret 2007, hal.3.
64 Reformasi Hukum
promosi hakim dan penegak hukum lain. Untuk memuluskan langkah itu,
salah satunya diamanatkanlah pembentukan KY.
Kesalahan Rancang Bangun
Secara kelembagaan, KY dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki
keunikan jika dibandingkan dengan komisi lain. Pertama, berbeda dengan
komisi-komisi yang lain, kewenangan KY diberikan langsung oleh UUD
1945, yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai
kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 22E
ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut
bukan sebuah nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf
kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Kedua, Berbeda
dengan komisi-komisi yang lain, KY secara tegas dan tanpa keraguan
merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam
pengertian sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya
ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD
1945.12
Pengaturan KY dalam UUD 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya
untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum
yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim
agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas
di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya
sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak
tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam
kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945
yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan
terbentuknya lembaga yang disebut KY.13
Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUD 1945 cenderung lebih
menempatkan KY sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain untuk
mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparring
12
A. Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006, hal. 34.
13
A. Ahsin Thohari, “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks
and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”, (makalah disampaikan dalam
Diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan:
Menyambut Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau Puslitka MK
RI, di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005), hal. 1.
66 Reformasi Hukum
Topo Santoso
Abstarak
3
Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor, (http://www.kompas.com/ kompas-
cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
74 Reformasi Hukum
telah menjadi kesepakatan antara Komisi dengan Polri dimana saran dan
keliuhan masyarakat dapat langsung diberikan kepada Polri sebagai bahan
perbaikan kinerja Polri.
Keterbukaan Polri dalam menerima saran dan keluhan masyarakat
melalui komisi kepolisian nasional merupakan sisi positif yang dapat
digunakan secara maksimal untuk meningkatkan kinerja Polri. Dengan
demikian komisi kepolisian dapat memanfaatkan situasi ini dengan sebaik-
baiknya dengan jalan membangun atau memperbaiki mekanisme
penerimaan saran dan keluhan masyarakat serta mengkajinya dan
meneruskannya kepada Presiden dan kepada Polri.
Salah satu kendala dalam menerima dan menindaklanjuri saran dan
keluhan masyarakat adalah mengingat luasnya wilayah Indonesia dimana
saran dan keluhan masyarakat mungkin berasal dari seluruh pelosok tanak
air, padahal komisi hanya berkedudukan di tingkat pusat. Untuk mengatasi
kendalam tersebut ada beberapa metode yang telah difikirkan oleh komisi
kepolisian nasional, antara lain dengan membangun jejaring di seluruh
Indonesia yang diperkuat dengan suatu kesepakatan (memorandum of
understanding) atau dengan membangun struktur di bawah Kompolnas
hingga tingkat provinsi. Mengenai yang terakhir undang-undang memang
tidak jelas memerintahkan, tetapi juga tidak ada larangan mengenai hal ini.
Meskipun Kompolnas telah membuat Organisasi dan tata kerja
Kompolnas, telah menyusun kode etik anggota Kompolnas, telah membuat
Rencana Kerja Tahunan, dan telah membuat Tata Cara Penanganan
Laporan, akan tetapi ada beberapa hal yang belum dilakukan yaitu
bagaimana Kompolnas dapat mengukur kinerja mereka, apa rencana
strategis yang akan dilakukan selama masa jabatan anggotanya, dan
bagaimana mengevaluasi pelaksanaan wewenangnya mereka (misalnya
bagaimana komisi ini menerima dan menindaklanjuti saran dan keluhan
masyarakat).
Problem lainnya adalah berkaitan dengan tugas dan wewenang
Kompolnas yaitu membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk melaksanakan tugas ini
Kompolnas berwenang (a) mengumpulkan dan menganalisis data sebagai
bahan pemberian saran kepada presiden yang berkaitan dengan anggaran
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya
manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana
dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) memberikan
saran dan pertimbangan lain kepada presiden dalam upaya mewujudkan
80 Reformasi Hukum
4
Mardi P, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
5
Mardi P, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 81
Lembaga Pengawasan
8
Rifqi Assegaf, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 83
Lembaga Pengawasan
Daftar Pustaka
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2006
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2007.
Tim Rancang Tindak Pembaruan Hukum dan Peradilan. “Pembenahan
Lembaga Penegakan Hukum dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan
Masyarakat terhadap Supremasi Hukum”, Jakarta : Kemitraan, 2004.
Laporan Tahun 2006 Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2007.
ADB dan Kemitraan, Laporan Penilaian Tata Pemerintahan Negara
Indonesia, 2004.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Satu Tahun Komisi Yudisial 2006,
Jakarta, 2006. Kompas, 29 November 2004.
Keadilan dan Kepastian Hukum Masih Menggantung, (http://
www.kompas.com/kompas-cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
Konvensi Anti-Korupsi Belum Diratifikasi, Bukti Tidak Adanya Strong
Leadership,(http://hukumonline.com/ detail.asp?id=14043&cl
=Berita)
Management System International, Handbook of Democracy and
Governance Program Indicators. Washington : Center for Democracy and
Governance, 1998. pp. 21.
Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor,(http://
www.kompas.com/ kompas-cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
Peringatan Hari Antikorupsi Diwarnai Unjuk Rasa, (http://
www.liputan6.com/view/1,113888,1,0,1135376028.html), diakses
tanggal 5 Oktober 2006.
Survey Peradilan Indonesia (http://www.ti.or.id/attach/
barometer_2004_release_complete&final.pdf# search=’survey
%2C%20peradilan%2C%2Aindonesia%2C%20korupsi’) diakses
tanggal 8 Oktober 2006. (http://www.unitar.org/ccp/).
84 Reformasi Hukum
Abstrak
PENGANTAR
Tahun 1998 dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu tahun
yang menandai perubahan radikal berbagai tatanan kehidupan melalui
gerakan reformasi. Meskipun pada mulanya reformasi merupakan gerakan
politik karena berkaitan dengan perjuangan pembaharuan tatanan politik,
namun dampak yang ditimbulkannya tidak hanya pada bidang politik,
melainkan menyentuh bidang-bidang lain, misalnya hukum, ekonomi, sosial,
budaya, dan lain-lain.
Tanpa menegasikan pentingnya reformasi di bidang lain, reformasi
hukum tampaknya memiliki arti yang fundamental bagi tercapainya tujuan
gerakan reformasi, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai
aturan dan institusi baru ataupun penguatan lembaga-lembaga hukum yang
ada yang mampu membentuk tata nilai baru yang adil dan mampu memenuhi
kebutuhan baru yang akan melancarkan tercapainya cita-cita reformasi.
Oleh karena itu, minimnya perbaikan-perbaikan di sektor hukum, reformasi
sangat diragukan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Selama sembilan
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 85
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
penegakan hukum; sub sistem pelayanan hukum; sub sistem profesi hukum;
sub sistem pendidikan hukum; dan sub sistem budaya hukum.6 Bagir Manan
memandang perlunya memasukkan budaya hukum sebagai sub sistem
karena : hukum tidak lepas dari masyarakat…maka isi budaya hukum
mencakup segala bentuk tingkah laku sosial (politik, ekonomi, sosial, dan
budaya itu sendiri), yang disatu pihak menjadi sumber tatanan hukum, dipihak
lain merupakan refleksi hukum yang ada.7
Dalam makalahnya, Bagir Manan menjelaskan yang dimaksudkan
dengan reformasi aturan hukum tidak semata-mata diartikan sebagai
reformasi hukum kolonial. Menurutnya, yang tidak kalah penting adalah
pembentukan hukum baru untuk memenuhi tuntutan dan perkembangan
baru yang dapat dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim dengan menggunakan metoda penemuan
hukum.8
Reformasi penegakan hukum menurut Bagir Manan tidak hanya
dikonsentrasikan pada penindakan, melainkan mencakup pula membangun
sistem pencegahan atau penyimpangan terhadap hukum. Selain itu,
reformasi penegakan hukum tidak hanya semata-mata ditujukan pada
proses peradilan karena harus pula memasukkan reformasi penegakan
hukum dalam proses birokrasi.9 Terdapat beberapa alasan mengapa
penegakan hukum perlu dimasukkan sebagai unsur sistem hukum. Pertama,
keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada
penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, maka
tujuan pembentukan peraturan tersebut tidak akan tercapai.10 Kedua,
putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen
kontrol dalam arti putusan-putusan tersebut dapat berfungsi sebagai
feedback bagi pembaharuan atau penyempurnaan peraturan perundang-
undangan.11 Ketiga, penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan
perundang-undangan.12 Hal ini berarti putusan dalam rangka penegakan
hukum dapat menghidupkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat, bahkan, suatu peraturan
perundang-undangan yang kurang baik akan dapat mencapai tujuan hukum
6
Bagir Manan, loc. cit.
7
Ibid.
8
Ibid, hlm 5-6.
9
Ibid, hlm 6-7.
10
Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan”, Makalah pada Penataran Dosen FH/STH PTS
se Indonesia, Bogor, 26 September – 16 Oktober 1993, hlm 4-5.
11
Ibid, hlm 5.
12
Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 87
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
31
J.Faundez, “Legal Reform in Developing and Transition Countries: Making Haste Slowly”,
h t t p : / / b i b l i o i b e r o . f l a s c o . e d u . m x / T E M P F T P / C AT E D R A 4 T R I M O S /
Legal%20reform%20in%20developing%20and%20transition%20countries.pdf, terakhir
dikunjungi 24 Mei 2007.
32
Lihat J. Faundez, “Legal Reform in Developing and Transition Countries: Making Haste
S l o w l y ” , h t t p : / / b i b l i o i b e r o . f l a s c o . e d u . m x / T E M P F T P / C AT E D R A 4 T R I M O S /
Legal%20reform%20in%20developing%20and%20transition%20countries.pdf, terakhir
dikunjungi 24 Mei 2007.
33
Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 91
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Lihat Bagir Manan, “Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah Konstitusi)
dengan Komisi Yudisial, (Suatu Pertanyaan)”, Makalah disampikan pada Diskusi yang
diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di MPR, 9 Maret 2006, hlm 12.
92 Reformasi Hukum
37
James L. Sundquist, Constitutional Reform and Effective Government, 1992, hlm 1.
38
Dikutip dari Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, 2006, hlm 80.
39
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, 2006, hlm 98.
40
Ibid.
41
Lihat, misalnya, Bivitri Susanti, “Menakar bobot legislasi 2006: Selintas Catatan Awal Tahun
PSHK”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 108.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 93
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
negara.64
Namun, berhasil tidaknya reformasi birokrasi juga dipengaruhi oleh
reformasi di bidang lain, terutama politik. Pada negara yang menjalani
periode transisi, administrasi negara seringkali dipengaruhi secara dominan
oleh kepemimpinan politik tertentu. Oleh karena itu, proses demokratisasi
menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi karena netralitas birokrasi
akan ditentukan juga oleh derajat demokrasi. Sejalan dengan pemikiran ini,
Michiel S. de Vries mengatakan ‘bureaucray and democracy need one
another’. 65
D. Membangun budaya hukum
Budaya hukum berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat
tentang hukum.66 Dalam kalimat senada, Moh. Mahfud M.D menyatakan
bahwa budaya hukum diartikan sebagai:
sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang mencakup
kepercayaan, nilai, ide, dan harapan-harapan masyarakat terhadap
hukum.67
Menunjuk pada praktek selama ini, rendahnya budaya hukum
masyarakat Indonesia ditunjuk sebagai penyebab lemahnya penegakan
hukum di Indonesia. Disinyalir budaya yang berkembang di masyarakat
adalah budaya korupsi dan budaya paternalisme serta feodalisme.68 Budaya
korupsi, misalnya, seringkali diperlihatkan dalam praktek penegakan hukum
di pengadilan yang terkenal dengan istilah judicial corruption. Bahkan,
karena dipengaruhi paternalisme dan feodalisme, ‘ucapan’ seorang petinggi
seringkali diartikan sebagai hukum yang harus dilaksanakan.
Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa penegakan hukum pernah
berjalan dengan baik di negeri ini. Hal ini diperlihatkan dengan baik dalam
salah satu disertasi mengenai Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
ditulis oleh Sebastiaan Pompe dimana Pompe mengatakan:
After the 1970 law, the political debate on the place and role of
the judiciary in Indonesia effectively collapsed for many years. The
64
Ibid.
65
Michiel S. de Vries, “Democracy and the Neutrality of Public Bureaucracy” dalam Haile K.
Asmerom dan Elisa P. Reis (eds), Democratization and Bureaucracy Neutrality, 1996,
hlm 80.
66
Bagir Manan, “Reorientasi Politik Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Diskusi
IKAPTISI, Yogyakarta, 1999, hlm 16.
67
Moh. Mahfud M.D, op. cit, hlm 44.
68
Lihat antara lain, Ibid, dan Bagir Manan, “Reorientasi ...”, loc. cit.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 97
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
law showed that the New Order government was not prepared to
change fundamentally political relations in the country. Henceforth,
the issue confronting the judiciary, and the Supreme Court in
particular, was how best to survive in a political environment that
clearly aimed at restricting the role of the courts as much as posible,
if it was not outright hostile to its goal and interests.
This renewed political marginalization of the judiciary cut deeper
and would last longer than anything before. In the thirty years from
1970 until Reformasi, an entire generation of judges grew up and
made their careers in an environment that accorded neither respect
nor relevance to their function. It deeply demorilized the judiciary,
contributed to the dramatic weakening of its professional capabilities,
and boosted corruption in a service that until 1970 had still relatively
clean (underpaid though it was even then).69
Lebih menyedihkan lagi, dalam melakukan kerjasama dengan donor
asing dalam pembentukan berbagai pranata hukum melalui ‘legal
transplant’, para ahli asing yang terlibat seringkali ‘menganggap remeh’
perihal budaya hukum ini. Tim Lindsey menyebutkan dua alasan utama
mengapa para ahli hukum Barat acapkali gagal membuat design legal
transplant untuk Asia.70 Pertama, para ahli hukum Barat kurang memiliki
pengetahuan memadai dalam hal isi dan seluk beluk operasional legal sistem
Asia.71 Kedua, kesulitan memahami budaya hukum di Asia juga diakibatkan
dari kurang komprehensifnya pengertian budaya itu sendiri yang
mengakibatkan kurangnya perhatian oleh para donor asing terhadap masalah
budaya hukum.72
Agenda reformasi ke depan, mau tidak mau, harus lebih memberikan
penekanan pada isu budaya hukum. Masyarakat harus didorong untuk
memahami bahwa hukum mencakup hampir seluruh kehidupan manusia
dan bahwa sistem hukum itu penting.73
Oleh karena itu, membangun budaya hukum harus dilakukan secara
komprehensif. Pemerintah harus membuat design yang jelas yang tidak
hanya menggunakan pendekatan hukum saja. Pendidikan adalah salah satu
69
Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse,
2005, hlm 111.
70
Tim Lindsey, “History Always Repeats? Corruption, Culture, and ‘Asian Values’ dalam
Tim Lindsey dan Howard Dick (eds), Corruption in Asia: Rethinking the Governance
Paradigm (2002), hlm 3-4.
71
Ibid, hlm 3.
72
Ibid, hlm 4.
98 Reformasi Hukum
kata kunci untuk membangun kesadaran hukum sejak usia dini, yang
melibatkan baik pihak keluarga maupun sekolah. Kurikulum pendidikan
formal dan non-formal harus dibuat sedemikian rupa untuk mendorong
para siswa menghargai hukum dalam kehidupan seharí-hari.
Lebih lanjut, upaya membangun kesadaran hukum tidak terutama
dengan cara-cara menambah pengetahuan masyarakat tentang hukum.74
Malahan, usaha pertama adalah membangun masyarakat yang demokratis
sehingga membangun budaya hukum tidak dapat dilepaskan dari upaya
pembaharuan sosial.75
E. Mereformasi pendidikan tinggi hukum
Bagir Manan berpendapat bahwa reformasi pendidikan hukum
merupakan ‘garda depan reformasi hukum karena out put pendidikan
hukum merupakan sumber yang menentukan corak dan hasil sub sistem
lainnya’.76 Berangkat dari pemikiran tersebut, sudah saatnya ‘para pemain
reformasi hukum’ memberikan perhatian lebih pada bidang ini. Hal ini perlu
ditekankan karena selama hampir satu dekade terakhir ini pendidikan tinggi
hukum seakan-akan tersisih dari perhatian, dan ini terlihat pada minimnya
program-program yang diadakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
hukum di Indonesia pada masa reformasi.77 Padahal, sejak awal tahun
1970-an berbagai langkah pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia
telah ditempuh, termasuk pengenalan pendidikan klinis hukum yang
dipelopori oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan tokoh
utama Mochtar Kusumaatmadja.78
Kritikan-kritikan acapkali dialamatkan kepada fakultas hukum karena
tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai. Meskipun telah mencoba
merespon dengan cara memperkenalkan mata kuliah-mata kuliah kemahiran
dan penulisan akhir berupa memorandum hukum dan studi kasus, namun
tetap saja belum mampu memenuhi harapan pemakai. Hal ini terjadi karena
“kurangnya stakeholders yang memperhatikan perbedaan antara
73
Lihat, misalnya, Kathy Laster, Law as Culture, 2001, hlm 1.
74
Bagir Manan, “Reorientasi ...”, loc. cit.
75
Ibid.
76
Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum …”, op. cit, hlm 9.
77
Berbagai program kerjasama di bidang pendidikan hukum justru terjadi pada masa sebelum
reformasi yang dibiayai oleh berbagai negara donor luar negeri, misalnya Belanda dan Amerika
Serikat. Kerjasama meliputi program penulisan dan penterjemahan buku; penataran dosen-
dosen; dan lain-lain. Lihat Mardjono Reksodipuro, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum dalam
Pembaharuan Hukum Indonesia”, Jentera, PSHK, Jakarta, 2003, hlm 21-27.
78
Lihat Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 99
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?
program.
Oleh karena itu perlu disadari bahwa tidak ada model sempurna bagi
reformasi hukum yang berlaku di semua negara. Atau dengan kata lain,
tidak ada blueprint yang berisi sebuah rencana detail mengenai bentuk
dan isi sebuah proses reformasi karena yang ada adalah ’a simplified
description of what the reform process should achieve and it is used
to assist those in charge of designing and implementing the reform
process’. 85
Beranjak dari pemikiran ini, para pembuat kebijaksanaan di negeri ini
harus melakukan upaya-upaya mengkaji ulang seluruh rencana dan
pelaksanaan reformasi hukum yang telah dilakukan. Dengan demikian dapat
diidentifikasi berbagai kendala yang terjadi, sekaligus dapat menemukan
kebijaksanaan yang tepat bagi pelaksanaan agenda selanjutnya.
85
Ibid.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 101
Amandemen UUD 1945
Lilis Mulyani
Abstrak
A. Pendahuluan
Kompleksitas permasalahan kenegaraan dalam negara dan
masyarakat yang sedang berubah membawa implikasi terhadap struktur
kenegaraan Indonesia. Hal ini diiringi pula dengan bertambah banyaknya
ide-ide atau konsep-konsep baru dari dunia secara global yang sedikit
banyak memengaruhi situasi masyarakat dan negara di Indonesia. Konsep-
konsep tersebut telah membawa pembaruan teoritis dan pembaruan
kelembagaan serta fungsional dari institusi-institusi dalam struktur
kenegaraan yang telah ada. Yang pasti, negara-negara yang berada dalam
situasi transisi menuju demokrasi seperti Indonesia mulai menata kembali
struktur ketatanegaraannya sebagai pra-kondisi menuju terciptanya negara
yang memiliki sistem pemerintahan yang baik dan transparan melalui
pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil; dan
yang terutama adalah yang menghormati dan menegakkan hak asasi
manusia; yang semuanya membentuk suatu kesatuan sistem yang saling
berproses. Sejalan dengan hal ini, terdapat kebutuhan untuk merevisi
cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan teori klasik separation of
power sebagai suatu langkah untuk memahami institusi-institusi kenegaraan
102 Reformasi Hukum
1
Bissera Zankova, 2002, The Independent Bodies and the State Administrative Structure:
The Case of Bulgaria, diambil dari <http://venus.ci.uw.edu.pl/~rubikon/forum/bissera.htm>
4 Oktober 2004 .
2
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Gaya Media
Pratama.
3
Untuk penjabaran mengenai teori fungsi-fungsi Negara ini bisa dilihat di Moh. Kusnardi dan
Bintan Saragih, ibid.
4
Ibid.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 103
Amandemen UUD 1945
6
Istilah yang digunakan di Australia, misalnya. Lihat juga Fink Haysom, 2001, dalam
Firmansyah Arifin, 2004, Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Apa Saja
Problemnya?, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, “Eksistensi Sistem
Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, Hotel Aryaduta, Jakarta 9 September
2004.
7
Abdul Hakim Garuda Nasution
106 Reformasi Hukum
8
Prof.Dr. Sri Soemantri, S.H., dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan
Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004.
9
Firmansyah Arifin, dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara
Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004.
10
Huruf miring dari penulis.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 107
Amandemen UUD 1945
negara yaitu:
1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
dan
2. Lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan peraturan
lain, dalam hal ini bisa berasal dari Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, atau bahkan Keputusan Presiden.
Pembedaan lembaga negara berdasarkan peraturan yang menjadi
dasar pembentukannya sebetulnya tidak bertentangan dengan definisi
konseptual dari keberadaan alat-alat kelengkapan negara, asalkan lembaga-
lembaga ini memang membentuk suatu kesatuan proses dalam menjalankan
fungsi pemerintahan negara. Yang menjadi permasalahan disini adalah bila
kemudian lembaga-lembaga yang kemudian meng’klaim’ diri sebagai
”lembaga negara” memiliki fungsi atau kewenangan yang saling tumpang
tindih atau bahkan berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, ketidakjelasan
yang dinamakan lembaga negara juga dapat menimbulkan konsekuensi
yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena
lembaga-lembaga ini dibayai dari APBN.
Karena satu-satunya pasal yang menjelaskan tentang Lembaga
Negara adalah pasal yang notabene merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, seharusnya jawaban ada pada lembaga yang baru terbentuk
ini. Dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) yaitu Keputusan Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang
perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
terhadap UUD 1945, ada sedikit penjelasan mengenai ”status lembaga
negara”. Meskipun perlu diingat bahwa Keputusan MK sifatnya tidak harus
menjadi jurisprudensi dan otomatis berlaku untuk lembaga lainnya dengan
kata lain, keputusan MK sifatnya per kasus saja, namun penjelasan MK
tentang ”lembaga negara” dalam keputusan ini cukup relevan dan bahkan
penting untuk dibahas. Dalam kasus ini salah satu permohonan yang
diajukan Pemohon11 adalah:
(Point ) 2. Penjelasan tentang KPI sebagai Lembaga Negara.
Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002: KPI sebagai
lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai
penyiaran.
11
Terdiri dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Assosiasi Televisi
Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), dan Komunitas
Televisi Indonesia (KOMTEVE).
108 Reformasi Hukum
tapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah
dari peraturan di bawah konstitusi, seperti UU dan bahkan Keppres.16
Satu point penting lainnya adalah bahwa dalam salahh satu amar putusannya
MK menyatakan bahwa lembaga negara seperti KPI tidak boleh secara
sekaligus memiliki dan melaksanakan kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yustisi, karenanya KPI yang tujuan awalnya merupakan sebuah lembaga
pengawas, tidak boleh memiliki wewenang membuat peraturan pemerintah
khusus di bidang penyiaran dan MK mengembalikan wewenang ini kepada
Presiden (eksekutif).17
Berdasarkan analisa dan pertimbangan yang diberikan oleh MK ini,
bisa diambil beberapa kesimpulan penafsiran yuridis atas istilah lembaga
negara:
1. “Lembaga Negara” (huruf kapital pada L dan N) harus dibedakan
dengan “lembaga negara” (huruf kecil pada l dan n) karena kedua
penyebutan itu memiliki status dan konsekuensi yang berbeda.
Sayangnya, MK tidak mengelaborasi lebih lanjut lembaga mana
saja yang dimaksud dengan “Lembaga Negara” dan apa
kriterianya;
2. Penyebutan “lembaga negara” (dengan huruf kecil) ditujukan untuk
lembaga-lembaga yang dibiayai oleh negara yaitu melalui APBN,
dimana lembaga ini merupakan lembaga yang independen dan
bebas dari kekuasaan manapun.
3. Komisi independen (merujuk pada KPI sebagai “lembaga negara”)
bertujuan untuk menjalakan prinsip check and balances untuk
kepentingan publik.
4. ‘lembaga negara” tidak boleh melaksanakan secara sekaligus
fungsi legislatif, eksekutif dan yustisi berdasarkan prinsip
pembatasan kekuasaan negara hukum.18
Secara eksplisit MK membedakan antara “status” Lembaga Negara
(huruf kapital) dengan lembaga negara (huruf kecil), meski tidak dijelaskan
apa perbedaan statusnya ini. Namun jika dihubungkan dengan Pasal 24C
ayat 2, status ini bisa berdasarkan kewenangan yang diberikan melalui
UUD atau bukan UUD, atau status sebagai Lembaga Negara yang sifatnya
politis (political institutions) atau bukan. Selain itu, pembatasan yang
berhubungan dengan “lembaga negara” adalah bahwa “lembaga negara”
16
Ibid, hal. 79.
17
Ibid, hal. 80.
19
Ibid, hal. 80.
110 Reformasi Hukum
tidak boleh secara sekaligus melaksanakan tiga fungsi negara yang paling
pokok yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yustisi. Pembatasan ini penting
sebagai sebuah pedoman dalam menentukan kewenangan “lembaga
negara”.
Dengan demikian, lembaga-lembaga yang disebut dalam UUD 1945
pasca Amandemen, diantaranya adalah DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, Menteri-Menteri, Pemerintah Daerah, BPK, MK, MA, Komisi
Yudisial, bank sentral, Kepolisian, dan TNI. Jika merujuk pada argumen
bahwa yang dimaksud Lembaga Negara adalah sebagai institusi politik,
dalam hal ini untuk menjalankan fungsi check and balances antar lembaga
pelaksana fungsi-fungsi negara, maka pilihannya menjadi hanya: DPR dan
DPD (sebagai pelaksana fungsi legislatif), Presiden dan Wakil Presiden
(dalam hal ini beserta Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden), serta
MA (sebagai pelaksana fungsi yudikatif).19 Hal ini berkaitan dengan asas
check and balances antar fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa diambil dua kategori besar
lembaga negara yaitu “Lembaga Negara” (dengan huruf kapital) yang
apabila kita kembali pada konsep negara, fungsi negara dan alat-alat
kelengkapan negara, maka pengertian ini harus dipersempit menjadi
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan, dalam hal ini
adalah eksekutif dan legislatif. Selain itu ada “lembaga negara” (huruf
kecil) yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan dan lembaga negara
yang berfungsi sebagai “pengawas” jalannya pemerintahan.
Sebagai kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas,
ada dua macam lembaga negara, yaitu pertama, lembaga negara yang
kewenangannya diberikan berdasarkan UUD 1945. Untuk lembaga negara
yang diatur dalam UUD 1945 ini, bisa dibagi dua kembali yaitu Lembaga
Negara (dicetak dengan huruf kapital pada huruf L dan N) yang
berdasarkan Pasal 24C bisa menjadi pihak di MK; dan lembaga negara
(huruf kecil) yang tidak bisa menjadi pihak dalam sengketa antar lembaga
negara di MK. Lembaga negara yang kedua adalah lembaga-lembaga
negara yang dasar hukum pembentukannya selain dari UUD 1945 atau
dengan kata lain lembaga negara (huruf kecil) yang kewenangannya
diberikan oleh peraturan lain di luar UUD 1945. Lembaga ini selain
berfungsi sebagai watchdog institutions dari jalannya pemerintahan
negara, juga sebagai.
19
Lihat Bintan R. Saragih, 2004, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan Struktur
Pemerintahan Terkini, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, Hotel Menara
Peninsula, Jumat, …Oktober 2004.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 111
Amandemen UUD 1945
Resensi Buku
undang-undang dasar
yang baru. Faktor lain,
karena karakteristik
dan asas hukum dalam
peraturan perundang-
undangan sudah
bercampuraduk,
Eropah continental,
Anglo Saxon dan
itulah yang membuat
wajah hukum di
negeri ini, bagaikan
kepingan bahan keras
berwarna, disusun
dan direkat seperti
mozaik. Menurut
Laica, unifikasi
hukum nasional yang
idiil adalah
mengakomodasi
perangkat kodifikasi-kodifikasi hukum, namun tetap memerhatikan pelbagai
nilai hukum yang masih hidup dalam masyarakat.
Pada dua bab berikutnya, Laica menuangkan enam tulisan yang
bertema hukum tata negara dan empat tulisan mengenai Mahkamah
Konstitusi dan “judicial review”.Empat tulisan lainnya mengenai otonomi
daerah serta dua tulisan mengenai pilkada.
Hampir rata-rata tulisan pada bab ini, hanya bernilai informatif, terutama
tulisan yang berjudul “Sudi Mampir di Mahkamah Konstitusi”, Laica
menghabiskan beberapa halaman memuat peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara dalam perkara Pengujian Undang-undang
Mahkamah Konstitusi Rep.Indonesia. Laica hanya menengahi, bahkan
seperti memberikan penjelasan saja dalam setiap akhir tulisan pada subjudul
“Post Scriptum”. Pada akhir setiap tulisan, Laica tidak membuat
kesimpulan.
Tulisan terakhir pada inti buku, berjudul : Membangun Sistem
Penegakan Hukum yang Akuntabel”. Pada tulisan ini, Laica berbicara
mengenai perlunya penegakan hukum (“Law enforcement”) dengan
mengutip Apeldoorn, pakar hukum Belanda yang bukunya jadi buku
120 Reformasi Hukum
Biodata Penulis
• Denny Indrayana adalah dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada. Ia lulus PhD dari University of Melbourne pada
tahun 2005; LL.M. dari University of Minnesota tahun 1997 dan Sarjana
Hukum dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1995. Saat ini Denny
juga aktif sebagai Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM
dan Direktur Indonesian Court Monitoring. Kegiatan intelektualnya semakin
lengkap dengan menulis ratusan kolom di berbagai media massa nasional.
• Prof. Dr. Satya Arinanto, adalah Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Pria kelahiran Surabaya 16 November 1965, meraih
gelar SH (1990), Magister Hukum (1997) dan Doktor (2003) semuanya
dari Universitas Indonesia. Selain menjadi pengajar Hukum Tata Negara,
juga menjabat Wakil Direktur II Bidang Penelitian dan Pengembangan
Pusat Studi Jepang UI.
• A. Ahsin Thohari, adalah Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas
Trisakti, Jakarta dan Staf Direktorat Tata Negara Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Mata kuliah yang diasuhnya
adalah Hukum Konstitusi dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Karya-
karyanya yang telah diterbitkan menjadi buku adalah Komisi Yudisial &
Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/
ELSAM, 2004) dan Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004).
• Topo Santoso adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak
1993. Ia juga pernah diangkat menjadi anggota Panwaslu (Pusat) tahun
2003-2004. Saat ini ia menjadi Kandidat Ph.D di Faculty of Law, University
of Malaya, Malaysia dan juga merangkap sebagai National Advisor untuk
Security and Justice Governance di Partnership for Governance in
Indonesia, sejak Oktober 2006. Jabatan lain yang diembannya adalah sebagai
Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM),
sejak 2004 - sekarang.
• Susi Dewi Harijanti, Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran dan Wakil Ketua Paguyuban Hak Asasi Manusia
(PAHAM) pada lembaga yang sama. Melbourne University, Kadindat
Doktor Melbourne.
• Lilis Mulyani, adalah staf peneliti bidang hukum di LIPI dan The Habibie
Center. Menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Padjadjaran
Bandung dan lulus tahun 1998, kemudian setelah menjadi pegawai LIPI
melanjutkan program Master bidang Public and International Law di
University of Melbourne, dan lulus tahun 2004. Saat ini ia aktif melakukan
kajian dalam bidang HAM dan konstitusi.