You are on page 1of 122

Daftar Isi

Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 6, No. 3, 2007

CATATAN REDAKSI :
• Dari Reformasi Hukum Sampai Aparat Yang Bersih 3

ANALISIS :

• Mendesain Presidensial yang Efektif Bukan “Presiden Sial”


Atau Presiden Sialan” : Denny Indrayana 6
• Politik Pembangunan Hukum Nasional
Dalam Era Pasca Reformasi : Satya Arinanto 35
• Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim
Pasca Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial : A. Ahsin Thohari 61
• Sistem Peradilan, Penyimpangan dan Lembaga Pengawasan :
Topo Santoso 70
• Satu Dasa warsa Reformasi Hukum :
Indonesia Di Persimpangan Jalan ? Susi Dwi Harijanti 84
• Reformasi Kelembagaan Negara
Pasca Amendemen UUD 1945 : Lilis Mulyani 101

• RESENSI BUKU :
Berjalan-Jalan di Ranah Hukum
Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H
Dari Reformasi Hukum Sampai Pilkada : V.A. Sapada 117

• BIODATA PENULIS 122


JURNAL DEMOKRASI & HAM

Terbit sejak 20 Mei 2000


ISSN: 1441-4631
Penanggung Jawab Redaksi:
A. Watik Pratiknya
Dewan Redaksi:
Muladi (Ketua)
Indria Samego
Dewi Fortuna Anwar
Umar Juoro
Andrinof A. Chaniago
Pemimpin Redaksi:
Andi Makmur Makka
Redaktur Pelaksana:
Mustofa Kamil Ridwan
Redaktur:
R. Siti Zuhro
Taftazani
Sekretaris:
Produksi:
Ghazali H. Moesa
Usaha:
Achmad Amal
Tata Letak:
A.Mudjazir Unde/Gambar Kulit : Anom Hamzah
Alamat Penerbit dan Redaksi:
Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 – Indonesia
Telp.: (021) 7817211, Fax: (021) 7817212
Website: http://www.habibiecenter.or.id
E-mail: thc@habibiecenter.or.id
Catatan Redaksi : Dari Reformasi Hukum 3
Sampai Aparat Yang Bersih

Catatan Redaksi

DARI REFORMASI HUKUM SAMPAI


APARAT YANG BERSIH

Reformasi hukum di Indonesia dimungkinkan karena terjadinya


gerakan reformasi, hampir satu dasawarsa yang lalu. Pemerintahan
Bacharuddin Jusuf Habibie, walaupun hanya dalam masa waktu tujuh
belas bulan, tidak bisa dinafikkan, telah memulai reformasi hukum dan
menumbuhkan konsep demokratisasi di Indonesia. Agenda reformasi itu
tidak muncul begitu saja, tetapi melalui inventarisasi nilai-nilai dasar
demokrasi atau core values of democracy.
Salah satu agenda demokrasi yang berkali-kali diwacanakan dalam
era pemerintahan B.J.Habibie adalah agenda amandemen UUD 1945.
Proses amandemen UUD 1945 pada masa pemerintahan Kabinet
Reformasi Pembangunan, memang belum dimulai, baru terlaksana pada
pemerintahan selanjutnya. Tetapi sejumlah peraturan perundang-undangan
yang signifikan sudah dimulai. Salah satu misalnya, Undang-Undang
masalah politik yang kemudian melahirkan sejumlah partai yang mengikuti
pemilu l999. Nilai-nilai dasar dalam undang-undang politik yang dibangun
pada masa itu, menjadi sumbangan cukup penting dalam proses
demokratiasi di Indonesia.
Salah satu ide dasar lainnya adalah gagasan bagaimana dapat
menciptakan sebuah sistem kepemerintahan yang baik atau good
governance, dan tidak lain adalah bagaimana dapat membangun
pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi
rakyat. Untuk itulah dibentuk Undang-undang tentang Tindak Pidana
Korupsi, yaitu UU No, 31/ 1999, yang diselesaikan melalui bantuan Menteri
Kehakiman. UU ini merombak total UU No, 3/1971, searah perkembangan-
perkembangan yang terjadi.
Gagasan pembuatan UU untuk memberantas tindak pidana korupsi
tidak dapat dilepaskan dari pesan TAP MPR tentang pemerintahan dan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. TAP MPR itu
4 Reformasi Hukum

dijabarkan dalam UU No, 28/1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan


yang bersih dan bebas KKN. Katakanlah semacam code of conduct.
Selanjutnya disusul UU No 31/ 1999 tentang pembentukan dan pelaporan
harta kekayaan pejabat negara, sekaligus sebagai dasar pembentukan
Komisi Pelaporan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Pada
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, ada yang disebut Pempres No
11 tahun 1963. Pada zaman Orde Baru menjadi UU No II Pempres Tahun
1963. Artinya Pempres itu ditingkatkan statusnya menjadi UU dan posisinya
lebih kuat sehingga ada lembaga Kopkamtip dan lain-lain.
Kemudian, setelah reformasi, UU tersebut dianggap tidak betul, karena
sangat represif, perumusannya samar-samar, gampang menangkap orang
tanpa proses Maka diputuskan mencabut UU yang sudah membawa korban
banyak ini hanya napol yang terkait dengan komunisme masih dimasukkan
di dalam KUHP. Dengan demikian, orang –orang yang menjadi korban
UU subversi berarti harus dibebaskan semuanya. Sejak itu, semua tapol
dan napol yang terkait dengan UU Subversi tahun 1963 dibebaskan.
Agenda lainnya untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi adalah
mengeluarkan sejumlah UU yang dapat menjamin kebebasan sosial,
budaya, dan politik seluruh rakyat di bumi Indonesia. Atau dengan kata
lain, ini berkaitan dengan masalah HAM. Dasarnya juga berupa TAP
MPR sehingga muncullah UU tentang HAM yang juga melatar belakangi
peningkatan bobot hukum Komnas HAM, yang dulu didasari Keppres
ditingkatkan menjadi UU. Selain itu, diratifikasi perjanjian-perjanjian dan
konvensi internasional tentang penyiksaan, tentang masalah hak-hak politik
wanita dan sebagainya.
Menyusul kekuasaan kehakiman yang merdeka dilahirkan dengan
disahkannya UU No 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perlu
dicatat bahwa perundang-undangan yang lahir di era Kabinet Reformasi
Pembangun sampai 67 buah UU. Proses demokratisasi yang direncanakan
dengan sistematis menjadi tiga hal penting. Pertama, rangkaian UU yang
dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah good governance. Kedua,
rangkaian UU untuk pembangunan sosial, politik, budaya, dan HAM.
Dengan langkah-langkah di atas, maka tidak bisa dinafikkan platform
yang telah dikembangkan di era pemerintah ketika itu, terutama dalam
reformasi hukum, merupakan dasar-dasar proses demokratisasi dan dasar-
dasar pembangunan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Inti permasalah yang dibahas dalam edisi ini, tidak jauh dari uraian
Catatan Redaksi : Dari Reformasi Hukum 5
Sampai Aparat Yang Bersih

kita di atas. Bahwa membicarakan reformasi hukum yang kita lakukan


sekarang ini, tidak bisa tidak, mengambil kilas balik masa awal reformasi.
Bahwa reformasi hukum memang harus dimulai dengan merubah undang-
undang dasar, semua itu telah kita lakukan. Perubahan ini, telah diikuti
pembentukan sejumlah lembaga-lembaga hukum, berupa komisi-komisi yang
sudah tidak terbilang jumlahnya. Tetapi ternyata pendirian lembaga-lembaga
itu, tidak serta merta mencapai tujuan seperti yang diharapkan semula.
Ada lembaga yang berkinerja luar biasa, seperti Mahkamah Konstitusi
misalnya. Tetapi ada juga lembaga yang tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, Komisi Yudisial misalnya, bukan karena pelaksananya berkinerja
buruk, tetapi lembaga itu telah mendapat reaksi eksternal dari lembaga
lainnya yang justru harus dinilainya (Mahkamah Agung). Memang ada
kelemahan awal dalam rumusan tugas-tugas lembaga itu, hal ini berpulang
juga kepada perumus dan pembuat undang-undangnya. Pembahasan
mengenai hal ini, terdapat juga pada beberapa tulisan dalam edisi ini.
Suatu hal yang penting dan banyak dilupakan ketika berbicara mengenai
reformasi hukum, adalah karakter dan mentalitas pelaksana hukum itu.
Reformasi kelembagaan hukum akan tidak ada artinya, jika tanpa diikuti
reformasi dan perubahan mentalitas pelaksana hukum. Hal ini membuat
masyarakat mencemooh pelaksana atau aparat hukum sehingga rakyat
trauma berurusan dengan lembaga penegak keadilan. Jargon “Mafia
Peradilan” sudah menjadi populer dalam masyarakat. Dari presiden sampai
rakyat dipinggir jalan, memang sepakat membasminya, tetapi semua itu
hanya terbatas dalam pidato dan wacana, tidak pernah bisa tuntas. Kita
sudah memulai melakukan reformasi hukum, tetapi reformasi hukum
memang bukan hanya merubah dan mendirikan banyak lembaga , tetapi
juga mereformasi mentalitas dan karakter pelaksana dan masyarakat.
Bukankah hukum mencerminankansistem nilai budaya masyarakat. Tanpa
perubahan dan tindakan yang konsisten, reformasi hukum tidak pernah
menjadi kenyataan.(MM)
6 Reformasi Hukum

MENDESAIN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF


Bukan ”Presiden Sial” Atawa ”Presiden Sialan”1

Denny Indrayana

abstrak

Tulisan singkat ini bertujuan akhir untuk mencari dan


mengusulkan desain ketatanegaraan yang melahirkan sistem
presidensial lebih efektif (effective presidential) di Indonesia. Namun,
sebelum memfokuskan diri ke tataran praktik di Indonesia, bagian
pertama akan memaparkan teori dan konsep dasar sistem presidensial
dan bagaimana ia dijalankan di Amerika Serikat – negara pertama
dan contoh paling akurat tentang hidup, serta jatuh-bangunnya,
system presidensial. Bagian Kedua menceritakan pengalaman
Indonesia menerapkan sistem presidensial. Akhirnya, bagian Ketiga
mengusulkan desain system presidensial Indonesia masa depan.

I. SISTEM PRESIDENSIAL: SUATU PENGANTAR


A. Lima Sistem Pemerintahan
Presidensial hanyalah salah satu sistem pemerintahan. Sistem
presidensial (presidential system) berkait erat dengan fungsi eksekutif.
Sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan, pun tidak sama
dengan bentuk negara. Bentuk pemerintahan ada dua: republik dan kerajaan.

1
Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, ”Melanjutkan
Perubahan UUD 1945 Negara RI 1945”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia, Bukit Tinggi, 11 – 13 Mei 2007; serta–sebelum diperbaharui–
pernah dipresentasikan dalam Seminar Sehari,”Memperkuat Sistem Pemerintahan
Presidensiil”, diselenggarakan oleh DPP Partai Demokrat, Forum Komunikasi Partai Politik
dan Politisi untuk Reformasi dan Friedrich Naumann Stifftung, Hotel Acasia, Jakarta, 13
Desember 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 7
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

Bentuk negara terbagi tiga: kesatuan, federal dan konfederasi. Meski


berbeda, system pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk
pemerintahan. Presidensial adalah system pemerintahan dalam bentuk
republik. Sedangkan pemerintahan kerajaan, sistem pemerintahannya
adalah monarki. Korelasi yang serupa, tidak ada antara sistem pemerintahan
dengan bentuk negara. Sistem pemerintahan presidensial terdapat di bentuk
negara kesatuan, federal ataupun konfederasi.
Selain sistem pemerintahan presidensial dan monarki, ada tiga sistem
pemerintahan yang lain: sistem parlementer, sistem campuran (hibrid) dan
sistem kolegial (collegial system). Sistem parlementer diantaranya
dilaksanakan di Inggris, Australia dan Malaysia. Kepala pemerintahan
dipimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana Menteri diangkat dari
partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen.
Sedangkan kepala negara tidak dilaksanakan oleh perdana menteri. Di
Inggris di pegang oleh Ratu; di Malaysia oleh Yang Di Pertuan Agung; di
Australia oleh Gubernur Jenderal, yang masih di bawah pengaruh Ratu
Inggris.
Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya
bertanggungjawab kepada parlemen, dan dapat dijatuhkan melalui mosi
tidak percaya. Sedangkan raja (ratu atau sultan) selaku kepala negara
tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong). Berdasarkan
system pertanggungjawaban demikian maka perdana menteri dan
kabinetnya diklasifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real
executive), di sisi lain, kepala negara hanya merupakan pimpinan simbolik
(nominal executive)2. Sebagai pemimpin simbolik raja lebih banyak
melaksanakan kerjakerja seremonial.
Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial yang hanya
diterapkan dalam bentuk negara republik, sistem parlementer bentuk
pemerintahannya dapat dilaksanakan pada bentuk negara republik maupun
kerajaan.3
Sistem campuran (hibrid) pertama kali dikembangkan oleh Perancis
pada masa republik kelima, dimulai tahun 1958. Karenanya disebut pula
sebagai sistem Perancis (French system) di samping sistem semi-
presidensial (semi-presidential system). Sistem ini menggabungkan
beberapa elemen sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Peran
kepala negara dijalankan oleh presiden, sedangkan kepala pemerintahan
2
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1999) hal. 17.
3
Ibid.
8 Reformasi Hukum

dilakukan oleh perdana menteri. Meski selaku kepala negara, presiden


tidak hanya menjalankan tugas-tugas seremonial yang simbolik. Hal itu
karena presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara
langsung. Berbeda dengan kepala pemerintahan, yang selain bertanggung
jawab kepada presiden, pun bertanggung jawab kepada parlemen.
Ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas di National
Assembly maka Presiden leluasa bekerjasama dengan parlemen dan perdana
menteri. Sebaliknya, jika National Assembly dikuasai oleh lawan politik
presiden, maka ia akan termarginalisasi. Meski perdana menteri dipilih
oleh presiden, sang presiden tetap harus mematuhi aturan parlemen untuk
memilih pemimpin partai mayoritas di parlemen. Jika presiden dan perdana
menteri tidak dalam satu aliansi politik maka terjadilah cohabitation,4 hal
tersebut terjadi di tahun 1985, ketika Presiden Chirac (Partai Sosialis)
dipaksa memberikan lebih banyak kewenangan kepada Perdana Menteri
Miterrand (Partai Gaullist).5 Sistem campuran yang awalnya dikembangkan
oleh Charles de Gaulle ini telah diadopsi antara lain oleh Finlandia, Rusia
dan Sri Lanka.6
Sistem kolegial diterapkan di Swiss. Jabatan kepala negara dipegang
bersama-sama oleh tujuh orang Dewan Federal Swiss. Presiden dipilih
dari Dewan Federal oleh Parlemen Swiss (Federal Assembly). Masa
jabatan presiden adalah satu tahun yang dipilih secara bergantian di antara
ke tujuh anggota Dewan Federal. Pergantian presiden dilakukan setiap
awal tahun baru.7 Meski secara domestik, kepala Negara dijabat secara
bersama oleh tujuh anggota Dewan Federal, secara internasional presiden
terpilih diakui sebagai kepala negara, dan karenanya menerima surat-surat
kepercayaan (Letters of Credence) dari duta besar negara sahabat.8
Sistem monarki meletakkan fungsi kepala negara dan kepala
pemerintahan kepada sang raja. Salah satu ciri khas sistem monarki adalah
jabatan raja diwariskan secara turun temurun. Contoh negara yang masih

4
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
5
Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government (6th edition, 2000) hal.
201, 216.
6
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
7
Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam Gerak Politik yang
Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan (2002) hal. 42 –
43.
8
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 9
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

menerapkan sistem ini adalah Brunei Darussalam dan Saudi Arabia.


Sistem Presidensial meletakkan presiden tidak hanya sebagai pusat
kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan negara. Artinya, presiden
tidak hanya kepala pemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala
negara (chief of state). Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak
hanya menyentuh wilayah eksekutif, tetapi juga sedikit-banyak merambah
pada proses legislasi serta kewenangan di bidang yudikatif.9
B. Sejarah Sistem Presidensial
Jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
pertama kali muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18. Pasal II ayat 1
Konstitusi Amerika Serikat mengatur, ”The executive power shall be
vested in a President of the United States of America.”10
Proses lahirnya presiden di Amerika Serikat cukup berliku. Hasrat
untuk membentuk negara kerajaan – bukan republik – tetap mempunyai
pendukung berani mati. Setahun sebelum konstitusi disetujui, John Jay
mengirim surat kepada George Washington, mempertanyakan apakah tidak
sebaiknya Amerika Serikat berbentuk kerajaan.11 Alexander Hamilton,
meski tidak mendapatkan dukungan berarti, dengan lantang berargumen,
sistem kerajaan Inggris adalah yang terbaik di dunia. Baginya, tidak akan
ada pemerintahan yang baik tanpa eksekutif yang baik. Serta, eksekutif
yang baik tidak akan pernah lahir dari negara republik.12 Pada akhirnya,
setelah melalui perdebatan yang panjang, serta rumit-berbelit, bentuk negara
republik disetujui, system presidensial diadopsi. George Washington dipilih
secara bulat menjadi presiden pertama Amerika Serikat (1789 – 1797).13
Meski memilih presiden dan menolak raja, para perancang konstitusi
Amerika Serikat memutuskan bahwa sang presiden harus mempunyai
kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa.14
Maka dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada
presiden, namun dengan tetap menutup potensi hadirnya pemimpin sejenis
raja yang tiran.15
9
Bagian G tentang tugas dan wewenang presiden akan lebih menjelaskan tentang kekuasaan
presiden.
10
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden (1999) hal. 10.
11
Louis W. Koenig, The Chief Executive (1964) hal.16.
12
Ibid 20.
13
Ibid 19.
14
Jack Bell, The Presidency: Office of Power (1967) hal. 8.
15
Koenig, n 12, hal.19.
10 Reformasi Hukum

Di Eropa, presiden pertama kali muncul di Perancis.16 Meski bentuk


negara republik berawal di tahun 1792, jabatan presiden baru muncul di
era republik kedua (1848 – 1851), dengan Louis Napoleon sebagai presiden.
Sempat menghilang di era Kaisar Napoleon III (1852 – 1870), jabatan
presiden kembali muncul di masa republik ketiga (1875 – 1940). Di Jerman,
jabatan presiden baru muncul setelah selesainya perang dunia I (1918),
yaitu dengan berlakunya konstitusi Weimar. Sempat lenyap di era diktator
Hitler (1934 – 1945), jabatan presiden kembali muncul setelah perang dunia
kedua.17 Di Asia, jabatan presiden dicangkokkan oleh Amerika Serikat
ketika memberikan kemerdekaan yang terbatas kepada Filipina di tahun
1935.18 Di Afrika, presiden Liberia yang hadir pada tahun 1848 adalah
presiden pertama yang diakui dunia internasional.19
C. Sistem Presidensial dan Parlementer
Sistem presidensial mempunyai pesaing utama dan sering
diperhadapkan dengan system parlementer. Karena itu, perlu dipahami
secara benar perbedaan di antara keduanya.
Karakteristik sistem parlementer adalah:
1.Ada kepala negara yang perannya hanya simbolik dan seremonial,
mempunyai pengaruh politik (political influence) yang amat
terbatas. Kepala negara mungkin seorang presiden sebagaimana di
Jerman, India dan Itali; meski di Jepang adalah kaisar atau ratu di
Inggris.
2.Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau
kanselir, yang bersamasama dengan kabinet, adalah bagian dari
parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan
oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
3.Parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, ditentukan
oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau
kanselir.20
Di antara negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, masih

16
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
17
Alrasid, n 11, hal. 11.
18
Ibid.
19
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses pada 27 November
2006.
20
Ball dan Peters, n 6, hal. 62.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 11
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

terdapat perbedaanperbedaan mendasar. Ketaksamaan tersebut


dipengaruhi beberapa faktor: (1) perbedaan jenis parlemen, apakah
unikameral atau bikameral, termasuk perbedaan sistem pemilihan anggota
kamar kedua (second chamber); (2) perbedaan kekuatan eksekutif untuk
membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu, serta sebaliknya
perbedaan kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri;
(3) perbedaan adanya kewenangan judicial review. Di Inggris kewenangan
demikian tiada karena kedaulatan parlemen yang supreme; dan (4)
perbedaan jumlah dan tipe partai politik.21
Ciri sistem presidensial adalah:
1.Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan.
2.Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat
(popular elected).
3.Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan
oleh parlemen, kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment).
4.Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.22
Representasi paling akurat dari sistem presidensial adalah pemerintahan
di Amerika Serikat. Negara lain di wilayah Amerika tengah dan selatan,
kebanyakan hanya menduplikasi system pemerintahan negeri Paman Sam
tersebut.23 Tentu, sebagaimana adanya perbedaan dalam detail penerapan
sistem parlementer, rincian aplikasi sistem presidensial pun berbeda-beda.
Di Filipina misalnya, kongres berwenang mengkonfirmasi kandidat wakil
presiden, yang dinominasikan presiden, yaitu ketika terjadi terjadi
kekosongan posisi wakil di tengah masa jabatan kepresidenan. Lebih jauh,
kandidat wakil presiden harus anggota kongres.24 Di Amerika Serikat,
senat berwenang mengkonfirmasi seluruh ”political appointment”
presiden. Kewenangan konstitusional senat untuk memberi ”advise and
consent” dalam pengangkatan hakim agung, misalnya, membuka
kesempatan bagi parlemen untuk mempengaruhi kebijakan yudisial pada
level federal.25

21
Ibid.
22
Ibid 63.
23
Ibid.
24
Di Indonesia MPR juga berwenang memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan
presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil presiden. Tetapi, tidak ada keharusan
calon wakil presiden berasal dari parlemen, sebagaimana yang disyaratkan di Filipina
25
Ball dan Peters, n 6, hal. 177.
12 Reformasi Hukum

Presiden Amerika Serikat dipilih untuk masa jabatan empat tahun,


dan dibatasi hanya untuk maksimal dua periode masa jabatan, sesuai
Amandemen Ke-22 Konstitusi Amerika Serikat. Sang presiden dipilih
langsung oleh rakyat (melalui Electoral College), tidak oleh kongres, dan
karenanya tidak bertanggung jawab kepada kongres. Meskipun kongres
dapat mengontrol arus keuangan negara, menganulir hak veto presiden
dan menginvestigasi kebijakan presiden; kekuatan kantor kepresidenan tetap
signifikan, tetap masih jauh dari konsep Jeffersonian yang memposisikan
presiden sebagai pelayan keinginan kongres.26
E. Wakil Presiden
The Executive Branch of the government of the United States has
but two elected members: the President and the Vice-President. Only
the former matters for what it is, the latter merely for what he might
become. 27
Di Amerika Serikat, pertumbuhan pemerintahan yang pesat di abad
ke-20 tidak membawa perubahan signifikan pada eksistensi dan fungsi
wakil presiden. Setiap wakil presiden tidak mempunyai peran penting selain
menunggu presiden wafat, atau berharap, magangnya sebagai wakil
presiden berujung pada promosi menjadi presiden.28
Meski pada akhirnya tidak mempunyai kewenangan konstitusional yang
signifikan, seleksi calon wakil presiden tetap dipandang strategis. Calon
wakil presiden dipilih berdasarkan faktor-faktor yang dapat saling
melengkapi dengan kandidat presiden. Contohnya, dengan memilih calon
wakil presiden Walter Mondale, Jimmy Carter mempertimbangkan
pasangan yang berasal dari utara, liberal dan senator partai demokrat yang
terkenal. Faktor-faktor yang tidak dimiliki oleh Jimmy Carter sebagai
kandidat presiden.29
Jimly Asshiddqie mendeskripsikan posisi seorang wakil presiden
terhadap presiden adalah sebagai berikut: Pertama, wakil presiden
merupakan pengganti atau ban serep (reserved power) presiden. Wakil
presiden dapat bertindak untuk jangka waktu sementara atau dapat pula
bertindak untuk seterusnya sampai masa jabatan presiden habis. Kedua,
26
Ibid 202.
27
Nigel Bowles, Government and Politics of the United States (1998) hal. 98.
28
Ibid.
29
Ibid 106. Bagian tentang wakil presiden ini masih belum lengkap dan akan terus direvisi
sesuai dengan makin banyaknya penulis membaca referensi tentang wakil presiden, yang
jumlahnya masih amat terbatas.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 13
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

wakil presiden mewakili presiden dalam melaksanakan tugas-tugas


kepresidenan tertentu yang didelegasikan kepadanya oleh presiden. Dalam
hal demikian, wakil presiden bertindak sebagai petugas negara yang
menjalankan tugas kepresidenan (on behalf of president). Artinya,
kualitas tindakan wakil presiden sama dengan kualitas tindakan presiden
itu sendiri. Ketiga, wakil presiden juga dapat bertindak membantu presiden
melaksanakan seluruh tugas dan kewajiban presiden. Kualitas bantuan
wakil presiden itu jelas berbeda tingkatannya dengan bantuan yang diberikan
oleh para menteri yang juga disebut sebagai pembantu presiden.30
F. Presiden dan Lembaga Kepresidenan
Presiden berbeda dengan lembaga kepresidenan. Presiden
berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, president, ambstrager).
Sedangkan Lembaga Kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan
(institusional, presidency, ambt).31Presiden berasal dari bahasan latin
praesidens, praesidere yang berarti memimpin, bukan raja (monarch).32
Kata latin presidere berasal dari kata prae yang maknanya di depan, dan
sedere yang artinya duduk.33
Berbeda dengan jabatan legislatif dan yudikatif yang ”multiple
membership”, jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, posisi ”a club
of one” yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan.34 Tidak
mengherankan karenanya, seorang presiden akan menikmati legitimasi
pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya national figur yang amat
berpengaruh.36 Mengenai strategisnya pemangku jabatan tunggal tunggal
tersebut, Nigel Bowles:
A President’s greatest political asset is that the executive power in the United States
is not collective but singular … A member of Congress is one of a body 435, a
Senator of a hundred, a Governor of fifty, a President of one.36

Salah satu faktor yang menentukan dalam kesuksesan seorang


presiden adalah dukungan administrasi kantor kepresidenan. Di Amerika
Serikat, kantor Kepresidenan secara resmi dibentuk berdasarkan
Reorganization Act tahun 1933, yang kemudian direvisi di tahun 1939.37
30
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005).
31
Manan, n 3, hal. 1 – 2.
32
Ibid 4.
33
Alrasid, n 11, hal. 10.
34
3Alrasid, n 11, hal. 12; Bowles, n 28, hal. 98.
35
Bowles, n 28, hal. 98.
36
Ibid 111
37
38 Ibid 115 – 117.
14 Reformasi Hukum

Sejak pembentukannya di tahun 1939 Kantor Kepresidenan tumbuh sangat


pesat. Di masa Presiden George Bush, kantor ini mempekerjakan sekitar
1500 orang. Angka sebenarnya lebih dari itu, karena beberapa pekerja
diletakkan di bawah administrasi dan dibayar oleh kantor lain, bukan kantor
kepresidenan.38
White House merupakan bagian dari kantor kepresidenan (executive
of the president) (lihat table di bawah).39 White House membantu relasi
internal kepresidenan, relasi eksternal dengan kongres, relasi eksternal
dengan media massa, memberi nasihat kebijakan, hingga membuat naskah
pidato presiden.40 Namun, staf di Gedung Putih tidak jarang mempunyai
kekuasaan riil yang lebih besar dibandingkan menteri sekalipun. Harry
McPherson, mantan staf senior Gedung Putih paling berpengaruh
berpendapat posisi penasihat Gedung Putih hampir berkebalikan dengan
wakil presiden. Penasihat di Gedung Putih mempunyai kekuasaan strategis
yang kapan saja mungkin tiba-tiba lenyap; sebaliknya wakil presiden meski
powerless, tetapi berkesempatan untuk menggantikan posisi presiden, dan
karenanya menguasai kekuasaan yang luar biasa besar.
The Executive Office of the President Representative

Office of Council on Office of Science Office of


National Drug Environmental and Technologi Administration
Control Policy Quality (CEQ) Policy (OSTP) (OA)
(NDCP)

White House Office of Management


Office (WHO) The President and Budge (OMB)

National Security
Office of the United
Council (NSC)
States Trade
Representative (USTR)
Office of Policy Development
(OPD)-comprising the Domestic
Policy Council (DPC), and the
National Economic Council
(NEC)

Council of Office of the


E c o n o m i c Vi c e - P r e s i d e n t
Advisers (CEA) (V-P)

38
Ibid 117.
39
Tabel diambil dari Bowles, n 28, hal. 119.
40
Ball dan Peters, n 6, hal. 212 – 213.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 15
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

Meskipun secara formal merupakan bagian dari Executive of the


President, White House Office secara factual berdiri terpisah dari struktur
Kantor Kepresidenan. Tidak sebagaimana keanggotaan staff kepresidenan
lain yang diatur dengan peraturan perundangan, staff gedung putih – sekitar
400 orang – ditentukan langsung oleh presiden, tanpa ada campur tangan
Kongres. Orang-orang gedung putih adalah ”the President’s most intimate
advisers”. 41
Di Amerika Serikat, presiden cenderung semakin bebas menentukan
personil kabinet dan penasihat kepresidenan – bebas dari tekanan politik.
Dikalkulasi, pada kurun waktu 1861 – 1896, 37% menteri kabinet berasal
dari kongres. Persentase tersebut menurun menjadi hanya 15% di tahun
1941 – 1963. Mayoritas anggota kabinet berasal dari universitas, pengusaha
dan ahli hukum.42 Pengalaman Amerika Serikat, pembentukan kabinet
mempunyai lima fungsi strategis: (1) membalas jasa pendukung utama
presiden; (2) membangun dukungan dari kelompok yang sebelumnya tidak
mendukung, atau bahkan mantan lawan politik; (3) membangun dukungan
dari kongres; (4) memperkuat jejaring dukungan dari kelompok kunci (key
racial groups). Semua presiden masa Amerika Serikat modern
mengangkat minimal satu orang menteri dari African american dan
perempuan; dan (5) mengkonsolidasi lingkaran dalam tim kepresidenan.43
G. Tugas dan Wewenang
Presiden mempunyai beberapa fungsi strategis. Berdasarkan Konstitusi
Amerika Serikat, presiden menguasai tujuh peran: kepala negara (chief of
state); kepala pemerintahan (chief of executive); panglima tertinggi
angkatan bersenjata (comander-in-chief of the armed forces); pemimpin
diplomasi (chief diplomat); pemimpin pembuat peraturan perundangan
(chief legislator); chief magistrate for enforcement of laws; dan
dispenser of pardons.4445 Merangkum Konstitusi Amerika Serikat, Nigel
Bowles merumuskan:45

41
Bowles, n 28, hal. 119.
42
Ball dan Peters, n 6, hal. 202.
43
Bowles, n 28, hal. 114 – 115.
44
Bell, n 15, hal. 10.
45
Bowles, n 28, hal. 100.
16 Reformasi Hukum

The Office of the Presidency: Article II of the Constitution

• The executive power of the Federal Government is vested in the President.


• The President has the power to appoint ambassadors, members of the
Cabinet, Justices of the Supreme Court and Judges of Lower Federal
Courts, with the advice and consent of the Senate.
• The President may recommend to the Congress such legislative measures
as he deems appropriate, and subject two-thirds of both Houses of
Congress overriding his decision, veto bills emerging from Congress.
• The President has the power to make treaties with foreign nations, with
the advice and consent of two-thirds of the Senate.
• The President is Commander-in-Chief of the armed forces of the United
States.
• The President may require the opinion in writing of the principal officer
of each of the Executive Departments.
• The President has the power to grant reprieves and pardons, save in the
cases of impeachment.

Dengan kekuasaan yang sedemikian strategis, tidak mengherankan


jika kantor kepresidenan adalah kantor yang paling menggoda di seluruh
Amerika Serikat.4647 Beberapa kewenangan konstitusional di atas adalah
eksklusif milik presiden. Misalnya pemberian ampunan hukum hanya
dipunyai sang presiden Amerika Serikat. Berbeda dengan proses legislasi,
meski didominasi legislatif, namun eksekutif tetap terlibat melalui hak veto.47
Salah satu kekuatan utama presiden adalah kewenangannya untuk
mengangkat dan memberhentikan (appointment and removal) pejabat
eksekutif. Jika kewenangan mengangkat dan memberhentikan itu mutlak
dimonopoli oleh presiden, itulah yang disebut dengan hak prerogatif
presiden. Hak prerogatif presiden terwujud nyata dalam penyusunan kabinet.
Pengangkatan dan pemberhentian menteri adalah hak prerogatif presiden
sebagai kepala pemerintahan. Kekuatan presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan personil pemerintahan adalah senjata utama presiden untuk
menjaga soliditas tim kepresidenannya.48
Salah satu fungsi rekrutmen presiden menyangkut hakim agung.
Presiden menominasikan hakim agung dengan persetujuan senat. Jabatan
46
Ibid
47
Ibid
48
Clinton Rossiter, The American Presidency (1960) hal. 6 – 7.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 17
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

hakim agung adalah untuk seumur hidup. Latar belakang calon sangat
mempengaruhi terpilihnya seorang hakim agung. Data hingga awal 1990-
an menunjukkan bahwa 88% hakim berasal dari kelas menengah ke atas.
Seluruh proses rekrutmen hakim agung melibatkan pertimbangan politik.
Di tahun 1969 dan 1970, Presiden Nixon gagal menominasikan dua hakim
agung, yang merupakan kegagalan kedua dan ketiga pada abad ke-20.
Kala itu Haynesworth dan Carswell ditolak senat karena alasan
incompetence, meski alasan sebenarnya adalah alasan etnis. Di tahun
1988, calon hakim agung Bork, nominasi yang diajukan Presiden Reagan,
ditolak oleh senat karena pandangannya yang konservatif, khususnya dalam
hal aborsi. George Bush akhirnya berhasil menggolkan Thomas, seorang
yang merupakan african american, setelah bertarung panjang dan
melelahkan dengan senat.51 PengalamanAmerika tersebut menunjukkan
bahwa jabatan seumur hidup bagi hakim agung tidak memberikan jaminan
pasti independensi kekuasaan kehakiman.50
Presiden mempunyai kewenangan konstitusional untuk memveto suatu
proses legislasi. Hak veto tersebut juga berlaku untuk proses legislasi yang
dilakukan komisi eksekutif dan komisi independen. Hak veto Presiden bukan
berarti ia melakukan intervensi. Veto adalah bentuk checks and balances
yang melekat pada presiden atas kewenangan legislasi cabang kekuasaan
yang lain.51
H. Pemakzulan Presiden
Dalam dunia hukum tata negara ada dua konsep pemecatan presiden:
impeachment dan forum prevelegiatum. Forum previlegiatum adalah
konsep pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui
mekanisme peradilan khusus (special legal proceedings). Artinya,
presiden yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme
pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan
konvensional dari tingkat bawah. Konsep ini diterapkan di Perancis yang
dalam pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat
negara dapat dituntut untuk diberhentikan di dalam forum pengadilan
Mahkamah Agung Perancis karena pengkhianatan kepada negara,
melakukan kejahatan kriminal dan tindakan tidak pantas lainnya.

49
Ball dan Peters, n 6, hal. 251 – 252.
50
Ibid 252
51
Oliver A. Houck, President X and the New (Approved) Decisionmaking, The American
University Law Review (36:1987) hal. 556.
18 Reformasi Hukum

Sedangkan konsep impeachment lahir di zaman Mesir kuno dengan


istilah iesangelia, yang pada abad ke-17 diadopsi pemerintahan Inggris
dan dimasukkan ke dalam konstitusi Amerika Serikat di akhir abad ke-18.
Perlu dicatat bahwa konsep impeachment dalam sistem ketatanegaraan
Amerika Serikat adalah mekanisme pemberhentian para pejabat negara –
termasuk para hakim federal karena melanggar pasal-pasal impeachment,
yaitu: penghianatan terhadap negara, penyuapan, kejahatan tingkat tinggi
lainnya dan perbuatan tercela (treason, bribery, or other high crimes
and misdemeanors).52
Pemakzulan (impeachment) presiden adalah proses pemberhentian
yang dilakukan oleh parlemen. Secara tekstual, impeachment berarti
dakwaan atau tuntutan.53 Hingga awal tahun 2000 diidentifikasi 93 negara
yang konstitusinya secara eksplisit mengadopsi konsep impeachment bagi
presiden. Meski demikian, hingga akhir 2002, baru tercatat 12 negara yang
pernah mencoba memakzulkan presidennya, serta hanya Amerika Serikat
yang pernah lebih dari satu kali melaksanakan proses impeachment dalam
kurun waktu dua abad terakhir.54
Pemakzulan presiden jelas bukan perkara biasa, ia adalah ”political
earthquake” dan ”extraordinary political event”.55 Yang terkena dampak
buruk dari proses pemakzulan tidak hanya presiden yang menjadi terdakwa,
namun juga pejabat negara lain yang terkait. Misalnya, akibat proses
pemakzulan Presiden William Clinton, juru bicara House Newt Gingrich
dan Bob Livingstone jatuh dari kursi kekuasaannya.56
Menurut Konstitusi Amerika Serikat, House of Representatives
memiliki “the sole power of impeachment”, yaitu kewenangan untuk
mendakwa presiden dengan pasal-pasal pemakzulan. Dakwaan yang
dimulai dengan voting mayoritas sederhana dari anggota House dilanjutkan
dengan persidangan di Senate yang memeriksa dakwaan dan memutuskan
berdasarkan buktibukti yang dihadirkan. Setiap pasal yang didakwakan,
diperiksa satu-persatu. Akhirnya, persetujuan dua pertiga dari senator
yang hadir disyaratkan untuk memakzulkan presiden.57 Dua tahap
pemakzulan di House dan Senate tersebut, diadopsi dari model

52
Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974) hal. 2.
53
Ibid
54
Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power: Presidential Impeachment
in Comparative Perspective (2003) hal. 1.
55
Ibid
56
Ibid
57
Black, Jr., n 53, hal. 5 – 6.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 19
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

impeachment di Inggris yang melibatkan House of Commons dan House


of Lords.58
Proses Pemakzulan di House. Meski konstitusi tidak mensyaratkan,
House menugaskan Komisi
Hukumnya untuk menyelidiki dan membuat laporan atas dugaan
pemakzulan, termasuk pemakzulan kepada presiden. Dalam sejarahnya,
hanya ada satu kasus dimana impeachment diputuskan House tanpa
rekomendasi dari Komisi Hukum.59 Komisi Hukum memeriksa bukti-bukti
berkait dengan dugaan pelanggaran pasal-pasal pemakzulan (impeachment
articles). Jika ditemukan bukti-bukti kuat, Komisi Hukum melaporkan
temuannya kepada House dengan rekomendasi pasal pemakzulan yang
digunakan untuk menjerat pelaku pelanggaran. Rekomendasi Komisi dapat
saja dirubah oleh House, biasanya dengan mengurangi pasal yang menjadi
dasar pemakzulan; tetapi tidak dengan menambah dakwaan pasal baru.
Karena, menambah dakwaan baru, tanpa rekomendasi Komisi Hukum,
akan dilihat sebagai kelemahan pada tahap persidangan di Senate.60 Di
House tidak lagi diadakan pemeriksaan barang bukti, melainkan hanya
pengambilan keputusan atas dakwaan pasal-pasal yang direkomendasikan
oleh Komisi Hukum. Pengambilan keputusan dilakukan atas semua pasal
dakwaan secara bersamaan, ataupun secara terpisah, satu-persatu.61
Alternatif proses lainnya, pada tahap awal, Komisi Hukum hanya
merekomendasikan dakwaan pemakzulan secara umum, tanpa pasal
dakwaan yang spesifik. House kemudian mengambil keputusan dari
rekomendasi umum tersebut. Jika diputuskan untuk meneruskan proses
pemakzulan, maka Komisi Hukum ditugaskan untuk mempersiapkan
rancangan impeachment lengkap dengan pasal yang didakwakan. Pasal
dakwaan tersebut kembali diputuskan melalui pemungutan suara di House.
Kuorum pungutan suara pemakzulan adalah disetujui oleh mayoritas
sederhana dari anggota House yang hadir. Berkait dengan kehadiran, dalam
hal pemakzulan presiden, anggota House amat jarang untuk membolos,
karena akan sulit mempertanggungjawabkannya kepada konstituen.
Pemungutan suara menghindari keadaan ”a close vote along party
lines”, yaitu hasil voting yang secara nyata membagi kubu Partai Republik
dan Demokrat. Hasil voting demikian akan sulit meyakinkan Senate, apalagi

58
Ibid 6
59
Ibid
60
Ibid 7-8
61
Ibid 8
20 Reformasi Hukum

masyarakat, karena kepentingan politik partai akan dianggap


mengkontaminasi dakwaan pemakzulan.62 Dakwaan pemakzulan yang
disetujui House, dalam format Bill of Impeachment, dikirim ke Senate
untuk disidangkan dan dijatuhkan vonisnya.63
Tugas House selanjutnya adalah menentukan ”Jaksa” yang
mempersiapkan tuntutan pemecatan sang presiden pada sidang Senate.
”Jaksa” yang profesional dan berkualitas sangat penting karena, dalam
persidangan impeachment, House akan berperan sebagai penuntut umum.
Para Jaksa tersebut adalah anggota House – biasanya berasal dari Komisi
Hukum – yang dalam menyiapkan tuntutan pemakzulan akan dibantu oleh
staff ahli. Mereka dipilih melalui pemungutan suara di House, atau cukup
oleh pimpinan House. Partai Republik dan Demokrat akan terwakili di
dalam komposisi jaksa penuntut umum impeachment. Tentu saja, anggota
House yang tidak setuju dengan Bill of Impeachment tidak akan terpilih
menjadi sang ”Jaksa”.64
Proses Pemakzulan di Senate. Setelah menerima Bill of
Impeachment dari House, Senate berubah fungsinya menjadi forum
pengadilan. Khusus untuk pemakzulan presiden, Ketua Mahkamah Agung
menjadi ketua majelis sidang. Sebelum persidangan, semua senator
melafalkan sumpah khusus untuk ”do impartial justice according to the
Constitution and laws.” Kehadiran Ketua Mahkamah Agung dan
pelafalan sumpah tersebut menunjukkan, dalam hal pemakzulan presiden,
Senate sedang memerankan tugas yang berbeda, dari fungsi rutinnya
sebagai lembaga legislatif.65
Sebenarnya, sejarah perumusan konstitusi Amerika Serikat hingga
tahap akhir Constitutional Convention di tahun 1787, menentukan
Mahkamah Agung sebagai forum persidangan impeachment. Karenanya,
ketika pada akhirnya ditentukan Senate sebagai forum impeachment,
format persidangan perkara hukum amat kental. Perbedaan mendasar
antara kejahatan lain dengan impeachment adalah pemeriksaannya yang
tanpa melibatkan sistem juri. Selebihnya, proses persidangan diharapkan
mampu memverifikasi fakta dan korelasinya dengan aturan hukum, dengan
meminimalkan sifat partisan atau bias kepentingan politik. Kesimpulannya,
desain Senate sebagai forum pemakzulan paling tidak diarahkan sebagai
quasi-judicial. 66
62
Ibid
63
Ibid
64
Ibid 8-9
65
Ibid 10
66
Ibid
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 21
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

Namun desain yang ideal itu tentu sulit diaplikasikan di lapangan.


Misalnya, banyak senator yang mengalami benturan kepentingan karena
merupakan sahabat karib dari presiden. Dalam persidangan kasus biasa,
benturan kepentingan demikian dapat menyebabkan seseorang
didiskualifikasi sebagai hakim atau juri. Tetapi dalam hal impeachment
sistem diskualifikasi demikian tidak dapat diterapkan, karena berpotensi
melahirkan persidangan dengan jumlah senator minimal yang jauh dari
memadai. Untuk keluar dari masalah demikian, tidak ada jalan lain kecuali
usaha keras senator sendiri untuk bersikap profesional, independen dan
imparsial.67
Di persidangan, Senate memeriksa bukti yang berkait dengan setiap
dakwaan pemakzulan. ”Jaksa” dari House mempresentasikan
dakwaannya. Presiden pun akan didampingi oleh penasihat hukum, layaknya
persidangan kriminal biasa, meski tidak tertutup kemungkinan presiden hadir
sendiri. Para pihak berhak mengajukan saksi-saksi dan menunjukkan bukti
pendukung. Setiap ada masalah hukum acara, ketua Mahkamah Agung –
selaku ketua majelis – akan membuat keputusan, meskipun keputusannya
dapat dibatalkan oleh voting mayoritas sederhana senator yang menghadiri
sidang. Setelah pemeriksaan seluruh alat bukti selesai, tahap selanjutnya
adalah pemberian argumentasi dari masing-masing pihak.68
Peraturan Tata Tertib Senate mengatur, dalam pemeriksaan kasus
pemakzulan, Senate dapat memilih Komisi Dua Belas (Committee of
Twelve) untuk lebih fokus memeriksa pembuktian dan membuat laporan
kepada seluruh anggota Senate. Komisi demikian agaknya diambil dari
system juri dalam pemeriksaan kasus kriminal biasa. Namun, untuk
pemakzulan presiden yang teramat penting, konsep komisi demikian akan
problematik sisi konstitusionalitasnya. Konstitusi secara jelas memberikan
kewenangan persidangan impeachment kepada seluruh senator dan tidak
kepada dua belas orang saja.69
Setelah pemeriksaan pembuktian dan jawab-menjawab argumen
selesai dilakukan, Senate melakukan pemungutan suara. Voting dilakukan
terpisah untuk masing-masing pasal tuntutan impeachment. Jika tidak ada
pasal impeachment yang memenuhi syarat kuorum minimal disetujui dua
pertiga anggota Senate, maka keputusan demikian diumumkan dan
didokumentasikan. Sebaliknya, jika ada tuntutan impeachment yang

67
Ibid 11
68
Ibid 12
69
Ibid
22 Reformasi Hukum

dianggap terbukti dan presiden dinyatakan bersalah keputusan demikian


dibacakan oleh Ketua Mahkamah Agung selaku pimpinan persidangan.70
Akhirnya, perlu digarisbawahi bahwa peran senator dalam mengambil
keputusan pemakzulan presiden terbatas hanya pada tuntutan yang diajukan
oleh House. Senate tidak boleh memutuskan presiden bersalah atas hal-
hal yang tidak dituntut House. Meskipun tentu, hal-hal yang terungkap
dalam persidangan impeachment di Senate dapat menjadi embrio bagi
dakwaan impeachment baru yang bisa diajukan oleh House.71
Berkait dengan hukuman impeachment yang dijatuhkan Senate,
konstitusi mengatur bahwa terdakwa impeachment harus dimakzulkan.
Meski demikian timbul pertanyaan apakah kalimat ”shall be removed” di
dalam konstitusi merupakan hukuman yang wajib dilaksanakan, atau
merupakan alternatif hukuman. Namun pertanyaan demikian mungkin
relevan untuk kasus impeachment selain presiden. Untuk presiden yang
terbukti bersalah dalam kasus impeachment, akan sulit membayangkan ia
akan tetap diterima rakyatnya setelah terbukti menghianati negara,
melakukan atau menerima penyuapan, terjerat kejahatan tingkat tinggi
lainnya, ataupun melakukan perbuatan tercela.
Setelah membahas teori-konsep presidensial di atas, kini tiba gilirannya
untuk melihat penerapannya di Indonesia.
II. SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA
A. Presidensial, Presiden Sial dan “Presiden Sialan”
Berdasarkan pengalaman Indonesia, penulis mengklasifikasikan ada
tiga macam sistem pemerintahan presidensial: (1) presiden sial (minority
presidential); (2) “presiden sialan” (majority presidential); dan (3)
presidensial (effective presidential).72
Sistem presidensial akan menjadi pemerintahan yang efektif dan
demokratis bila ditopang dua hal utama: personal presiden yang baik dan
design konstitutional yang demokratik (lihat table Lampiran I). Namun
keduanya tidak pernah hadir secara bersamaan di Indonesia. Yang pernah
terjadi justru, adanya seorang presiden yang bermoral problematik dengan
sistem konstitusi yang buruk. Atau, kalaupun presidennya relatif baik, design
konstitusinya relatif buruk. Seharusnya sistem presidensial yang kokoh

70
Ibid
71
Ibid 13-14
72
Paparan di bawah ini berasal dari Denny Indrayana, Effective Presidential, Minority
Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 23
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

dijamin dalam konstitusi, dan pada saat yang bersamaan, dikontrol oleh
sistem parlemen yang kritis, sebagai hasil dari sistem kepartaian sederhana.
“Presiden Sialan” adalah presiden yang didukung suara mayoritas
mutlak di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan kolutif
(unified government). Kekuatan politik memusat di tangan presiden, dan
parlemen hanya menjadi “macan ompong”. “Presiden Sialan” lebih mungkin
terjadi dalam sistem presidensial yang berpadu dengan sistem mono-partai,
atau didominasi oleh satu partai.
Di Indonesia, sistem “Presiden Sialan” lahir jika terjadi penggabungan
antara unsur personal yang buruk moral, dengan kekuasaan konstitusional
dan partisan yang tanpa kontrol, ditambah system parlemen dan kepartaian
yang mandul. Itulah sistem presidensial Indonesia sebelum amandemen
UUD 1945. Kekuasaan presiden di dalam konstitusi sangat kokoh. Meski
tidak dipilih langsung oleh rakyat, sang presiden jauh lebih berkuasa daripada
lembaga perwakilan rakyat. Partai politik direkayasa menjadi hanya tiga.
Satu yang asli, dua lainnya hanya sebagai penggembira. Hasilnya,
terbentuklah struktur kekuasaan yang berbentuk piramid, dengan presiden
berada di puncak kekuasaan.73 Lahirlah presiden yang lebih bertingkah-
polah sebagai raja yang hanya wajib disembah dan haram disanggah.
Setelah masa “Presiden Sialan selesai”, Indonesia pernah hidup di
bawah sistem Presiden yang Sial. Secara moral, sang presiden berjiwa
demokrat. Ia amat dekat, bahkan sering bersenda gurau dengan Tuhan,
apalagi rakyat. Banyak yang menyebutnya Kiai, tidak sedikit yang
menganggapnya wali. Sayangnya, ia hanya presiden yang bertahan hanya
dalam hitungan ‘hari’. Selanjutnya – meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan
(Kompas 18/04/2000) – ‘Kiai Sang Presiden’ mengalami ujian langsung
dari Tuhan sahabatnya, dan lulus dengan predikat summa cum laude
sebagai Presiden yang Sial.
Kesialan sang Kiai lebih disebabkan karena empat faktor utama, yaitu:
melemahnya jaminan kekuasaan di tingkat konstitusi, menguatnya kontrol
parlemen, minimnya kekuasaan atau dukungan partisan, sebagai
konsekuensi hadirnya sistem multi partai yang tidak sederhana. Di era
pemerintahannya, Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 dilakukan.
Pasca amandemen ini, desain konstitusi yang muncul adalah presiden
yang bagaikan macan ompong.

73
William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996) hal. 17.
24 Reformasi Hukum

Presiden sial adalah presiden yang disokong suara minoritas di


parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan terbelah
(divided government). Kekuatan politik terpecah antara presiden dan
parlemen. Presiden sial lebih mungkin terjadi jika sistem presidensial
dipadukan dengan sistem multi-partai.74
Pasca sistem presiden yang sialan dan presiden yang sial, rakyat
Indonesia banyak belajar. Peta perjalanan untuk menuju sistem presidensial
yang efektif dan demokratis sudah mulai dibaca dengan seksama. Mengacu
pada pengalaman negara-negara di Amerika Latin, resep Mainwaring coba
diterapkan. Jaminan kekuasaan konstitusi (constitutional power) lebih
ditingkatkan. Dukungan kekuasaan partisan (partisan power) di parlemen
lebih diupayakan.75
Di tingkat konstitusi setelah amandemen keempat, Indonesia lebih
menuju sistem presidensial murni.76 Perubahan Ketiga dan Keempat UUD
1945, mengadopsi bahwa presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung
oleh rakyat dan sistem pemakzulan presiden dijadikan jauh lebih sulit.
Namun, untuk lebih menguatkan kemurnian itu, hak veto presiden dalam
legislasi seharusnya diberikan. Peluang majunya calon presiden independen
juga harus mendapat tempat di konstitusi. Untuk dua hal ini, hasil kajian
Komisi Konstitusi yang baru saja diserahkan ke MPR menjadi penting
untuk dipertimbangkan.
77
B. Presidensial di Era Yudhoyono
Bagaimana dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?
Beberapa kalangan berpendapat bahwa Yudhoyono akan menjadi presiden
sial. Penulis berbeda pendapat. Personality Yudhoyono, aturan konstitusi
dan arah koalisi akan menyebabkan Yudhoyono dapat bertahan sebagai
presiden mulai 2004 hingga 2009.
Secara formal, memang Yudhoyono adalah presiden sial. Modal awal
Yudhoyono hanya 55 kursi Partai Demokrat, 10 persen kursi di DPR, lebih
sedikit daripada persentase kursi PKB yang mendukung presiden sial
Wahid. Namun, pribadi Yudhoyono berbeda dengan Wahid. Yudhoyono
cenderung lebih akomodatif, sikap politik yang mau-tidak-mau diperlukan
74
Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and Democracy in Latin America
(1990).
75
Ibid.
76
Andrew Ellis, ‘The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism or Fundamental
Change’ (2002) 6, Singapore Journal of International and Comparative Law.
77
Paparan ini berasal dari Denny Indrayana, Presidensial di Indonesia, Tempo No. 34/
XXXIV/18 - 24 Oktober 2004.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 25
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

oleh seorang presiden minoritas. Wahid cenderung lebih destruktif, sikap


politik yang justru membuatnya semakin miskin sokongan di parlemen.
Aturan konstitusi juga berpihak kepada Yudhoyono dibandingkan
Wahid. Sepanjang pemerintahan Wahid, konflik antara presiden dan
parlemen tidak mempunyai saluran penyelesaian konstitusional. Yang terjadi
akhirnya adalah pertandingan tak berujung, tanpa wasit yang imparsial.
Jika kemudian MPR memakzulkan Wahid, hal itu tidak lain karena MPR
sendiri merupakan unsure parlemen yang ikut bermain dalam pertandingan
presiden versus parlemen. Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, bila
terjadi konflik kewenangan antara presiden dengan parlemen, Mahkamah
Konstitusi adalah hakim yang menentukan kebenaran konstitusional.
Lebih jauh, berdasar konstitusi, Yudhoyono akan lebih sulit dimakzulkan
dibandingkan Wahid. Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, alasan
impeachment lebih yuridis ketimbang politis. Selain parlemen (DPR dan
MPR), konfirmasi dari Mahkamah Konstitusi, bahwa presiden memang
dapat dimakzulkan, merupakan syarat konstitusional yang harus dipenuhi
dalam proses pemakzulan. Prosedur yang lebih rumit ini menyebabkan
pemakzulan presiden akan lebih sulit di masa depan.
Arah koalisi partai politik juga berpihak pada Yudhoyono. Kecerdasan
pemilih yang memberikan mandat terpisah (ticket splitting), dengan
memilih partai tertentu di pemilu legislatif, tetapi memilih calon presiden
dari partai lain di pemilu eksekutif, menyebabkan konfigurasi politik presiden
dan parlemen mengarah kepada dua kubu yang berbeda.
Perlu diingat, sistem presidensial yang bersatu dengan sistem dua
partailah yang mendorong hadirnya presidensial yang efektif (effective
presidential) di Amerika Serikat. Hasilnya, relatif belum pernah ada
presiden Amerika Serikat yang menjadi presiden sial karena dimakzulkan,
ataupun menjadi presiden sialan. Padahal, menurut Giovanni Sartori, dalam
rentang waktu sejak 1950-an sistem presidensial Amerika Serikat juga
didominasi oleh fenomena pemerintahan terbelah. Bahkan dalam rentang
waktu 24 tahun, sejak tahun 1969 hingga 1992, pemerintahan terbelah terjadi
dalam kurun masa 20 tahun. Dalam tahun 1968 hingga 1992, Partai Republik
selalu menduduki Gedung Putih kecuali masa 4 tahun di bawah Presiden
Jimmy Carter. Sebaliknya, Partai Demokrat selalu mendominasi komposisi
kursi di Kongres. Meski demikian, sistem dua partailah yang menyebabkan
mekanisme saling kontrol dapat tetap berjalan antara presiden dan
parlemen.78
26 Reformasi Hukum

Yudhoyono dapat menjadi pelopor bagi tidak sialnya (lagi) presiden


sial Indonesia. Salah satunya dengan terus meneguhkan kekuatan sistem
presidensial dalam penyusunan kabinet dan pengolahan adonan politik
koalisi.
1. Presiden Yudhoyono, Kabinet dan Koalisi
Dengan kabinet pelangi, logikanya setiap kebijakan pemerintah
akan mendapat dukungan parlemen. Nyatanya tidak. Karena itu, lebih
baik ada koalisi terbatas dan oposisi yang kuat dibandingkan
mengakomodasi semua dalam kabinet pelangi. (Susilo Bambang
Yudhoyono: 2004)
Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogatif
presiden. Namun, teori dan praktek seringkali berbeda jalan. Faktanya,
kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogatif, namun juga tergantung
pada kompromi dan akomodasi politik. Justru masalah kompromi inilah
yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. Dominasi tersebut
semakin terang-benderang apabila sistem presidensial berdiri di atas sistem
multi partai. Dalam kondisi demikian, sering terjadi presiden terpilih tidak
menguasai mayoritas suara di parlemen. Hadirlah presiden minoritas,
lahirlah pemerintahan terbelah. Yaitu pemerintahan yang agenda politik
eksekutifnya berseberangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik di
legislatif.
Perbedaan yang parah antara presiden dan parlemen dapat berujung
pada pemakzulan (impeachment) presiden. Perbedaan yang biasa-biasa
saja sering menghambat agenda-agenda kerja presiden. Untuk
mengantisipasi kesulitan itulah presiden membeli dukungan parlemen dengan
menjual kursi di kabinet. Inilah ciri sistem parlementer yang diadopsi oleh
system presidensial dengan multi partai. Muncullah koalisi pemerintahan,
ciri utama sistem parlementer. Untuk menciptakan keseimbangan,
seharusnya kelahiran koalisi itu diikuti dengan hadirnya oposisi. Namun,
keinginan untuk menduduki kursi menteri, menyebabkan posisi koalisi lebih
bergengsi dibandingkan oposisi.
Koalisi pemerintahan dapat dibagi tiga: koalisi pas-terbatas (minimal
winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi
kebesaran (oversized coalition).79 Koalisi pas-terbatas adalah koalisi yang
mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Jumlah partai

78
Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal. 87 – 88.
79
Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 27
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mencapai dukungan mayoritas


sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisi yang tidak mendapatkan
dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Sebaliknya, koalisi kebesaran
adalah potret pemerintahan yang nyaris mengikutsertakan semua partai
ke dalam kabinetnya.
Koalisi pemerintahan yang kekecilan memunculkan presiden yang sial,
dan sering dimakzulkan. Sebaliknya, koalisi kebesaran telah menghasilkan
pemerintahan yang terlalu gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya,
untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik ke depan
sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik
di parlemen; Koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan
lamban. Yang ideal adalah dibentuknya Koalisi pas-terbatas, susunan
kabinet yang mengakomodasi kepentingan politik sekaligus tidak
mengorbankan pertimbangan kapasitas dan profesionalitas.
Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas-terbatas diharapkan, karena
melahirkan interaksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen.
Sedangkan bagi partai politik, koalisi pas-terbatas juga menguntungkan.
Terbatasnya jumlah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing)
yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akan lebih besar.
Koalisi dan kabinet kekecilan dihindari karena melahirkan relasi
presiden dan parlemen yang destruktif; sama halnya koalisi dan kabinet
yang kebesaran tidak menjadi pilihan karena menghadirkan hubungan
presiden dan parlemen yang kolutif.
Berapakah angka ideal dukungan politik parlemen yang pas-terbatas
itu? Seharusnya kisarannya adalah antara 275 hingga 300 kursi di DPR.
Mengapa demikian? Dewan Perwakilan Daerah – sayangnya – relatif
dapat dinafikan karena tidak mempunyai kekuatan konstitusi yang berbahaya
bagi Presiden. Sebaliknya, DPR dapat mempelopori proses impeachment,
menghambat proses legislasi dan proses rekrutmen politik orang-orang yang
didukung presiden. Dengan jumlah anggota DPR 550 orang, maka angka
275 hingga 300 adalah dukungan politik yang lebih dari 50%, tidak kekecilan,
namun juga tidak kebesaran, alias pas-terbatas.
Saat ini Kabinet Indonesia bersatu didukung kursi DPR dari Partai
Demokrat (55), Golkar (128), PPP (58), PAN (53), PKB (52), PKS (45),
dan PBB (11). Itu artinya koalisi dan kabinet sekarang sudah membentuk
402 dukungan, atau hampir 75% jumlah kursi di DPR – meski patut dicatat
28 Reformasi Hukum

dukungan PKB yang terpecah memang tidaklah utuh. Namun tetap saja
hitung-hitungan tersebut menunjukkan bahwa koalisi yang dibentuk Presiden
Yudhoyono adalah koalisi dan kabinet yang kedodoran (oversized
coalition). Tidak mengherankan relasinya dengan parlemen sangat kolutif.
Artinya, DPR amat jarang bersikap kritis terhadap presiden.
Momentum reshuffle kabinet harus menjadi saat untuk kembali
menyehatkan kabinet menjadi ramping alias pas-terbatas, tidak lagi
overweight. Namun, itu semua tergantung pada komitmen Yudhoyono untuk
konsisten dengan ucapannya sendiri untuk menciptakan koalisi terbatas,
sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Sayangnya, keinginan untuk
menguasai parlemen agaknya lebih besar dibandingkan tujuan untuk
membangun relasi yang lebih kontruktif. Di sisi parlemen sendiri, belum
ada partai politik yang sadar bahwa posisi sebagai oposisi juga penting
untuk terciptanya atmosfer politik yang dinamis dan demokratis.
Untuk menghindari koalisi dan kabinet semata-mata menjadi dagangan
kekuasaan, kehadiran Undang-undang Kementerian Negara yang mengatur
tentang fungsi dan eksistensi kabinet menjadi wajib adanya. Kebutuhan
akan regulasi tersebut makin nyata karena miskinnya etika politik para elit
kita. Sebab, seandainya integritas poltisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis
hanyalah pelengkap semata. Tapi, agaknya sudah menjadi hukum alam
bahwa etika dan kehidupan politik bukanlah kawan sejalan, melainkan lawan
yang tak pernah searah setujuan.
80
2. Presiden Yudhoyono dan DPR
Beberapa waktu lalu, Amien Rais mengatakan DPR cenderung
kembali menjadi stempel pemerintah. Kerisauan Amien Rais itu agaknya
bermula dari kurang kritisnya DPR dalam menyikapi kebijakan pemerintah
dalam beberapa isu strategis semacam kenaikan harga BBM dan kebijakan
impor beras. Di satu sisi penulis relatif mengamini pernyataan Amien Rais
tersebut, meski di sisi lain saya juga mempertanyakan kenapa Partai
Amanat Nasional, yang sedikit banyak masih berada di bawah bayang-
bayang Amien Rais sendiri, ikut-ikutan menjadi stempel dari kebijakan-
kebijakan pemerintah tersebut.
Pengalaman kita sebagai bangsa telah lengkap menghadirkan potret
relasi presiden dengan parlemen. Di masa Presiden Soeharto, hubungan
presiden dengan DPR amatlah kolutif. Presiden seakan-akan adalah atasan
langsung dari DPR. Apapun kebijakan Soeharto akan disambut dengan
81
Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas 20 Februari 2006.
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 29
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

paduan suara yes men di DPR dan MPR. Akibatnya, Soeharto bertahan
hingga lebih dari tiga puluh dua tahun. Pada titik ekstrim lainnya, di masa
Presiden Abdurrahman Wahid, relasi presiden dengan parlemen amatlah
konfrontatif. Presiden Wahid gagal membangun dukungan yang solid di
DPR. Sebaliknya ia terus-menerus berkonflik dengan parlemen. Akibatnya,
masa kepresidenan Wahid hanya bertahan satu setengah tahun.
Baik hubungan yang kolutif maupun konfrontatif sama-sama bukanlah
relasi yang ideal antara presiden dengan parlemen. Keduanya seharusnya
membangun hubungan yang saling kontrol dan saling imbang (checks and
balances), yaitu hubungan yang konstruktif untuk bersama-sama
mendorong agenda pembangunan bangsa dengan tetap membuka pintu
bagi perbedaan pendapat dan ruang untuk saling mengingatkan.
Relasi yang konstruktif itulah yang sedikit banyak terjadi di masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono). Sebagai presiden
minoritas (minority president), Yudhoyono yang hanya didukung modal
awal 7% suara di DPR telah cukup berhasil mengelola irama konfliknya
dengan DPR. Memang dalam isu makro politik DPR terlihat knock out
dihajar serangan beruntun dari sang presiden. Namun dibandingkan di masa
Presiden Soeharto, tidak sedikit perbedaan pendapat yang berani dilontarkan
oleh para anggota DPR, khususnya dalam masalah mikro politik. Namun
kekritisan di isu-isu mikro tersebut, misalnya dalam penyusunan pasal
undang-undang, dan kritisnya pertanyaan-pertanyaan dalam dengar
pendapat dengan pemerintah, cenderung tenggelam secara pemberitaan
media masa terutama karena dalam isu-isu populis, DPR lebih sering pasrah
bongkokan kepada kebijakan Presiden.
Kepasrahan tersebut karena bangunan koalisi yang dibangun
Yudhoyono terbukti lebih solid dibandingkan poros tengah yang awalnya
sempat mendukung Wahid. Padahal Presiden Wahid mempunyai modal
awal yang lebih besar, yaitu pasukan berani mati PKB yang menduduki
11% kursi DPR. Gaya kepemimpinan Yudhoyono yang lebih akomodatif,
dibandingkan Wahid yang lebih konfrontatif menyebabkan hasil akhir relasi
presiden dan parlemen menjadi berbeda. Meski keduanya sama-sama
merupakan presiden minoritas. Hal itu membuktikan sistem ketatanegaraan
kita masih kental diwarnai gaya personal sang pemimpin.
Sistem ketatanegaraan yang personal itu sebaiknya dihindari. Ke depan
sistem politik kita harus lebih bersandar kepada sistem yang demokratis,
bukan kepada orang. Itu artinya diperlukan rekayasa konstitusi
(constitutional engineering) untuk membangun hubungan presiden dan
30 Reformasi Hukum

parlemen yang lebih konstruktif dan dinamis.


III. Mencari Lembaga Kepresidenan yang Efektif
Berangkat dari pendasaran teori, pengalaman paradoks serta anomali
sistem presidensial Indonesia tersebut di atas; sebuah pertanyaan krusial
sangat mendesak untuk dikemukakan: apakah solusi untuk keluar dari
buah simalakama presiden sial atau presiden sialan? Bagaimanakah
sebenarnya format ideal sistem presidensial yang efektif?
Yang dimaksudkan dengan efektifitas di sini adalah suatu keadaan
atau situasi dimana lembaga kepresidenan (dengan segala kewenangan
yang dimilikinya) bisa merealisasikan platform politik dan program kerja
pemerintahan secara efektif karena adanya hubungan konstruktif – bukan
kolutif ataupun konfrontatif – dengan semua lembaga negara yang lain,
khususnya parlemen. Untuk menciptakan lembaga kepresidenan yang
efektif di tengah sistem multi partai maka perlu dilakukan beberapa langkah
rekayasa hukum yang cerdas, sekaligus tetap demokratis.
Pertama, sistem multipartai adalah keniscayaan bagi heterogennya
alur dan pola pikir politik masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, Orde
Baru mempunyai kesalahan fatal ketika mendesakkan penyederhanaan
sistem kepartaian menjadi tiga: Golkar, PPP dan PDI. Bentuk
pengkerangkengan partai politik melalui rekayasa politik dari atas (top down)
tersebut jelas membunuh demokrasi dan mematikan keberagaman yang
nyata-nyata ada di Indonesia.
Sistem multipartai karenanya tidak bisa dihilangkan. Yang perlu
dilakukan berkait dengan penciptaan lembaga kepresidenan yang efektif
adalah mengarahkan agar sistem multipartai itu menjadi lebih sederhana.
Pengarahan dilakukan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alam
melalui pemilu. Itu artinya mekanisme electotral threshold yang sekarang
sudah diadopsi oleh undang-undang tentang partai politik dan pemilu
sudahlah tepat.
Kedua, namun dalam praktiknya, electoral threshold itu masih diakali
dan disimpangi. Partai-partai yang tidak lolos ambang batas masih saja
melakukan manipulasi politik-hukum sehingga mereinkarnasi partainya
untuk tetap menjadi peserta pemilu. Maka, penerapan ambang batas harus
lebih tegas diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, di samping itu, ambang
batas tidak hanya diberlakukan kepada partai politik, namun larangan
menjadi peserta pemilu juga wajib diberlakukan kepada orang atau pengurus
partai yang partainya tidak lolos electoral threshold. Meski, agar tidak
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 31
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

bertentangan dengan hak asasi untuk berserikat dan berkumpul, maka


pelarangan itu hanya diberlakukan untuk satu kali pemilu. Dengan larangan
tidak hanya partai tetapi juga orang demikian, maka petualang politik yang
membuat partai semata untuk kepentingan sesaat akan berkurang dan
akhirnya tujuan penyederhanaan partai akan mungkin diwujudkan.
Ketiga, perlu diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden haruslah
berasal dari partai yang sama, atau keduanya adalah calon independen
sama sekali di luar partai. Hal ini penting untuk menyamakan platform
politik lembaga kepresidenan. Tanpa antisipasi yang cerdas tidak mustahil
ke depan pemerintahan tidak hanya terbelah antara presiden dengan
parlemen (divided government), tetapi bahkan sudah terbelah secara
internal di antara presiden dengan wakil presidennya – salah satunya –
karena perbedaan partai dan kepentingan politik antara keduanya. Aturan
demikian sebaiknya ada dalam undang-undang pemilihan presiden dan wakil
presiden.
Keempat, perlu disegerakan lahirnya undang-undang tentang
Kementerian Negara yang akan membantu terciptanya koalisi pas-terbatas
(minimal winning coalition) serta kabinet yang profesional. Undang-
undang demikian akan meminimalisir terlalu bebasnya seorang presiden
membentuk dan/atau membubarkan departemen semata-mata karena ingin
mengakomodasi kawan politiknya, atau membunuh lawan politiknya.
Kabinet yang gemuk dan tidak efisien hasil dagang sapi politik antara
presiden dengan partai politik akan terkontrol dengan jelasnya departemen-
departemen apa yang sewajibnya ada. Polemik seputar reshuffle kedua
yang dilakukan Presiden Yudhoyono makin meneguhkan perlunya aturan
main kementerian untuk menghindari posisi menteri hanya menjadi jualan
politik yang menafikan kepentingan publik.
Kelima, undang-undang dewan pertimbangan presiden yang sudah
menghasilkan para penasihat presiden harus segera bekerja untuk memberi
masukan yang berbobot. Meskipun bobot masukan itu hanya berupa
pertimbangan, namun jika kualitasnya terjaga tidak ada alasan bagi presiden
untuk tidak memperhatikannya.
Perbaikan di atas sebagian besar dapat dilakukan pada level
amandemen Undang-undang. Kecuali masalah calon presiden yang harus
dibuka pada level aturan konstitusi. Karena monopoli pencalonan presiden
oleh partai politik atau koalisi parpol saat ini adalah materi muatan konstitusi.
Di luar pengaturan internal kepresidenan, sistem checks and balances
pada level UUD 1945 juga harus diperbaiki, itu artinya tidak hanya relasi
32 Reformasi Hukum

presiden DPR yang harus diperbaiki, tetapi peran Dewan Perwakilan


Daerah juga ada baiknya diperbaiki. Dengan DPD yang berdaya kontrol
dan dinamisnya kehidupan di internal parlemen akan terjadi, membatasi
kewenangan oligarki partai yang saat ini nyaris tidak tertandingi.(*)
DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Ball dan B. Guy Peters, Modern Politics and Government
(6th edition, 2000).
Andrew Ellis, ‘The Indonesian Constitutional Transition: Conservatism
or Fundamental Change’ (2002) 6, Singapore Journal of
International and Comparative Law.
Arendt Lijphart, Pattern of Democracy (1999).
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1999).
Charles L. Black, Jr., Impeachment: A Handbook (1974).
Clinton Rossiter, The American Presidency (1960).
Denny Indrayana, Effective Presidential, Minority Presidential,
Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004.
Denny Indrayana, Presiden dan DPR Sekutu atau Seteru, Kompas
20 Februari 2006.
Denny Indrayana, Presiden yang Terpenjara, Media Indonesia 9
November 2006.
Denny Indrayana, Presidensial di Indonesia, Tempo No. 34/XXXIV/
18 - 24 Oktober 2004.
Ensiklopedi Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/President diakses
pada 27 November 2006.
Giovanni Sartori, Comparative Constitutiona Engineering (1997) hal.
87 – 88.
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden (1999).
Jack Bell, The Presidency: Office of Power (1967).
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
(2005).
Jimly Asshiddiqie, Presidensialisme Versus Parlementarisme dalam
Gerak Politik yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-prinsip
Lembaga Kepresidenan (2002).
Mendesain Presidensial yang Efekti fBukan 33
“Presiden Sial” atau “Presiden Sialan”

Jody C. Baumgartner dan Naoko Kada, Checking Executive Power:


Presidential Impeachment in Comparative Perspective (2003).
Louis W. Koenig, The Chief Executive (1964).
Nigel Bowles, Government and Politics of the United States (1998).
Oliver A. Houck, President X and the New (Approved)
Decisionmaking, The American University Law Review (36:1987).
Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart, Presidentialism and
Democracy in Latin America
(1990).
William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996).
34
Lampiran I
Perbandingan Sistem Presidensial, Presiden Sial dan
“Presiden Sialan”

Disain Konstitusional
Reformasi Hukum

Tipe Lembaga Moralitas


Kepresidenan Personal
Kekuatan Komstitusi Kekuatan Partisan Sistem Kepartaian Kontrol
Parlemen
(Constitusional Power) (Partisan Power)

Presidensial Baik Kuat Kuat Dwi Partai atau Multi Tinngi


Partai Sederhana
(Effective President) Minimal winning
coalition

Presiden Sial Baik / Buruk Lemah Lemah Multi Partai tidak Tinggi
sederhana
(Minority President) Oversized coalition

“Presiden Sialan” Buruk Kuat Kuat Satu partai yang dikontrol Rendah
oleh penguasa
(Minority President) Undersized Coalition
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 35
Era Pasca Reformasi

POLITIK PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL


DALAM ERA PASCA REFORMASI1

Satya Arinanto

Abstrak
Perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat di berbagai
belahan dunia dalam konteks akademik telah melahirkan berbagai teori
tentang transisi, baik dalam konteks politik, ekonomi, hukum, dan
konteks-konteks lainnya. Dalam konteks politik, makna “transisi politik”
antara lain diartikan sebagai peralihan atau perubahan pemerintahan
yang terjadi di berbagai negara.

Pengantar: Transisi Politik, Ekonomi, dan Hukum


Dari selatan Afrika ke Uni Soviet, hingga ke Amerika Latin dan tempat-
tempat lain di dunia, suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasi-
otokrasi politik dan mengisolasinya bagaikan para pelaut yang berada pada
bagian bawah dari gelombang air pasang.2 Semenjak tahun 1989, sejumlah
besar negara di pelbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan
reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan
kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM

1
Semula disampaikan dalam acara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum
Universitas Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, 18
Maret 2006.
2
Di Jerman, terjadi peristiwa runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman
Barat dan Jerman Timur, yang kemudian diikuti dengan reunifikasi Jerman pada tanggal 3
Oktober 1990. Semenjak saat itu terdapatlah satu Konstitusi Republik Federal Jerman
(Basic Law for the Federal Republic of Germany) yang baru. Dalam Kata Pendahuluannya
Prof. Roman Herzog – Mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Federal (Federal
Constitutional Court) Jerman yang kemudian juga pernah menjadi Presiden Republik Federal
Jerman – menilai bahwa Konstitusi Republik Federal Jerman tersebut sebagai berikut: “It is
the most liberal constitution the Germans have ever had and has served as a model for many
other democratic constitutions. We Germans have every reason to be proud of our Basic
Law and to defend it to the best of our ability”. Lihat Kata Pendahuluan Herzog dalam Basic
Law for the Federal Republic of Germany (Promulgated by the Parliamentary Council on
23 May 1949) (Bonn: The Press and Information Service of the Federal Government,
1995), hal. 3.
36 Reformasi Hukum

internasional dengan tulus.3


Di beberapa negara, kekuatan-kekuatan oposisi telah berubah menjadi
penguasa; sementara itu di sebagian negara-negara lainnya, walaupun tidak
sepenuhnya terputuskan dengan rezim sebelumnya yang lalim, namun telah
menjauhkan dirinya dari mereka dan dari warisan pelanggaran-pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya yang bersifat otoriter.4
Dalam beberapa kasus, arah transisi politik telah menuju demokrasi,
baik dengan cara memulihkan suatu bentuk demokrasi dari pemerintahan
yang telah dirusak oleh suatu rezim yang diktator, atau melalui langkah-
langkah untuk membentuk suatu pemerintahan demokrasi yang baru,
dimana tak satu pihak pun dari rezim sebelumnya yang dilibatkan. Di
beberapa negara lainnya, rezim yang baru belum dipilih secara demokratis,
atau bahkan mereka masuk ke dalam kekuasaan melalui kekuatan, namun
mereka telah mengembangkan penghormatan terhadap HAM. Dalam
beberapa situasi yang lain, pemerintahan yang baru menyalahkan kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan lalim sebelumnya, dan
menghukum mereka-mereka yang dinyatakan bersalah; namun mereka
kemudian juga terlibat dalam praktek-praktek represif sebagaimana
dilakukan oleh rezim sebelumnya, meskipun dalam wujud karakter yang
berbeda atau diarahkan pada target-target yang berbeda.5
Dalam konteks ekonomi, proses transisi yang terjadi sejak tahun 1989
juga menumbuhkan berbagai teori transisi ekonomi beserta aspek-aspek
geopolitiknya. Menurut John Pickles dan Adrian Smith dalam Pengantar dari
buku yang dieditnya, berbagai pengalaman yang berbeda dari transisi telah
menumbuhkan dua isu krusial dalam pemahaman kita terhadap politik ekonomi
dari perubahan yang terjadi, baik di negara-negara Timur dan Tengah Eropa
(Eastern and Central Europe, atau ECE) dan pascakomunisme serta
sosialisme pasar dari negara-negara sekelilingnya. Pertama, pandangan neo-
liberal yang konvensional tentang transisi, yang dipegang oleh lembaga-lembaga

3
Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992), hal. ix; Lihat pula Satya Arinanto,
Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 1 – 2.
4
Lihat José Zalaquett, “Confronting Human Rights Violations Committed by Former
Governments: Principles Applicable and Political Constraints,” dalam Neil J. Kritz, ed.,
Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I:
General Considerations (Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 1995),
hal. 5.
5
Ibid.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 37
Era Pasca Reformasi

multilateral dan para penasihat pemerintah di ECE, bahwa transisi merupakan:6


“a relatively unproblematic implementation of a set of policies
involving economic liberalisation and marketisation alongside
democratisation, enabling the creation of a market economy and a liberal
polity, relies on an under-theorised understanding of change in post-
communism”.
Kedua, berbagai penyebab dari krisis Czech, sebagaimana diidentifikasi
oleh kalangan pers bisnis di Barat, menunjuk secara langsung kepada peranan
sentral dari warisan kerangka-kerangka institusional and hubungan sosial yang
eksis yang diperoleh dari sosialisme negara ke arah suatu pemahaman dari
berbagai jalan dimana transisi memainkan dirinya sendiri. Dalam konteks yang
kedua ini, Pickles dan Smith berpandangan bahwa:7
“transition is not a one-way process of change from one hegemonic
system to another. Rather, a transition constitutes a complex reworking of
old social relations in the light of processes distinct to one of the boldest
projects in contemporary history – the attempt to construct a form of
capitalism on and with the ruins of the communist system”
Sebagaimana kemudian diuraikan dalam bagian-bagian selanjutnya dari
buku yang diedit oleh Pickles dan Smith ini, arus utama teori transisi ekonomi
yang dipaparkan didasarkan pada berbagai diskursus dan praktek dari teori
liberalisasi. Hal ini nampak dari paparannya sebagai berikut:8
“Mainstream transition theory has, then, largely been written in terms
of the discourses and practices of liberalisation. Theorising Transition
attempts to move the ground away from such perspectives by directly
engaging the criticism identified above. Liberalisation can thus be thought
of in terms of what Michael Foucault has called the ‘technologics of the
social body’: as a series of techniques of transformation involving
marketisation of economic relations, privatisation of property, and the
democratisation of political life. Each seeks to de-monopolise the power
of the state and separate the state from the economy and civil society.
Marketisation seeks to free-up the economy. Privatisation aims to break
up economic monopolies in the spheres of production, purchasing and
distribution. Democratisation and de-communisation aim to break the
hold of the Communist Party in political life and to enable a rejuvenated
6
John Pickles dan Adrian Smith, eds., Theorising Transition: The Political Economy of Post-
Communist Transformations (London: Routledge, 1998), hal. 1 - 2.
7
Ibid.
8
Ibid., hal. 2 – 4.
38 Reformasi Hukum

civil society to emerge. Each technique has, in turn, its own specific
instruments: for example, the creation of markets and price reform for
marketisation; restitution, voucher schemes, and share ownership, and
the selling off of state property for privatisation; multy-partyism and
parliamentary democracy for democratisation.”
Dalam konteks hukum, masalah transisi ini antara lain memunculkan
terminologi keadilan transisional (transitional justice). Keadilan transisional
adalah keadilan dalam masa transisi politik. Dalam perspektif Ruti G. Teitel,
konsepsi keadilan dalam periode perubahan politik bersifat luar biasa dan
konstruktif: Hal ini secara bergantian dibentuk oleh, dan merupakan inti dari,
transisi politik. Konsepsi keadilan yang timbul bersifat kontekstual dan parsial:
Apa yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang “adil” bersifat tidak pasti dan
dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang; dan hal ini didasarkan atas
informasi dari ketidakadilan sebelumnya. Respon-respon terhadap pemerintahan
yang represif memberikan arti terhadap rule of law.9
Dengan berbagai cara, HAM telah menjadi pusat dari revolusi demokratis
yang telah menyentuh setiap bagian dari belahan dunia dalam beberapa tahun
terakhir ini. Walaupun arus demokrasi telah mengalir dengan cepat, demokrasi-
demokrasi yang muncul masih menghadapi hambatan-hambatan yang
menakutkan dalam menegakkan aturan-aturan hukum dan membentuk jaminan
yang kokoh terhadap HAM. Pemerintahan-pemerintahan yang demokratis ini
seringkali merupakan ahli waris dari rezim-rezim diktator yang mempraktekkan
berbagai pelanggaran HAM berat seperti eksekusi di luar hukum, “orang hilang”,
penyiksaan sistematis, dan penahanan rahasia.10
Problematika yang dihadapi oleh negara-negara demokratis baru ini adalah
bagaimana mereka harus memperlakukan pihak-pihak yang telah bersalah
melakukan berbagai kejahatan tersebut dalam rezim yang lama. Kesulitan yang
muncul dalam mencapai suatu solusi yang adil yang dapat diterima oleh
masyarakat yang telah lama menderita dan yang mengarahkan kepada kedua
pihak, baik pihak yang melakukan pembunuhan maupun pihak yang menutup-

9
Ruti G. Teitel, Transitional Justice (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 6. Menurut
Teitel, ketika suatu negara mengalami transisi politik, warisan ketidakadilan berhubungan
dengan apa yang dianggap bersifat transformatif. Untuk beberapa konteks tertentu, timbulnya
respon-respon hukum semacam ini telah memberi contoh transisi politik. Dari berbagai
wacana yang ada, semakin terbukti bahwa peranan hukum dalam masa transisi politik
bersifat kompleks.
10
Jamal Benomar, “Justice After Transition,” dalam Kritz, ed., Transitional Justice: How
Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations,
op. cit., hal. 32.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 39
Era Pasca Reformasi

nutupi perbuatan tersebut. Bagaimanapun pedihnya penderitaan para korban


yang kemudian membuat mereka menuntut keadilan, para pengambil keputusan
tetap harus menimbang-nimbang risiko-risiko untuk memulai suatu proses yang
bisa menakutkan pihak militer atau kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kaitan
dengan orde sebelumnya sangat berpotensi untuk merusak transisi politik menuju
demokrasi.11
Indonesia dalam Masa Reformasi
Walaupun tidak dapat dikatakan berlangsung dengan mulus, dalam periode
hampir 8 (delapan) tahun terakhir ini bangsa Indonesia telah memasuki masa
reformasi. Dalam khazanah politik Indonesia, pengertian era reformasi merujuk
pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.) Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998. Berhentinya Soeharto
tersebut antara lain diakibatkan adanya protes yang bertubi-tubi dan terus-
menerus dari rakyat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya, di
tengah-tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.12 Sebagaimana
diketahui, Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian dilantik sebagai Presiden
untuk menggantikan Soeharto.
Berbagai tuntutan pun kemudian disuarakan oleh elemen-elemen
masyarakat untuk memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan pasca
Orde Baru. Tuntutan-tuntutan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: (1)
amandemen UUD 1945; (2) penghapusan Dwifungsi ABRI; (3) penegakan
supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (4) desentralisasi dan
hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah (otonomi daerah); (5) mewujudkan
kebebasan pers; dan (6) mewujudkan kehidupan demokrasi.13 Dalam
pandangan Internasional IDEA, suatu lembaga internasional untuk bantuan
demokrasi dan pemilihan umum (pemilu) yang berpusat di Swedia, agenda
reformasi yang terjadi di Indonesia pasca berhentinya Soeharto meliputi
beberapa bidang sebagai berikut: (1) konstitusionalisme dan aturan hukum; (2)
otonomi daerah; (3) hubungan sipil–militer; (4) masyarakat sipil; (5) reformasi
tata pemerintahan dan pembangunan sosial–ekonomi; (6) jender; dan (7)
11
Ibid.
12
Donald K. Emmerson, ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat,
Transisi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation,
2001), hal. xi.
13
Untuk mendalami hal ini, lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR
RI), Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,
2003), hal. 6.
40 Reformasi Hukum

pluralisme agama.14
Era ini di antaranya kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet
Reformasi Pembangunan. Namun Kabinet ini tidak berumur panjang. Sekitar
13 (tiga belas) bulan kemudian, diselenggarakanlah pemilihan umum tahun
1999, yang – disamping adanya berbagai kekurangan – telah diakui sebagai
penyelenggaraan pemilu demokratis kedua setelah pemilu pertama tahun 1955.
Satu setengah tahun setelah berkuasa, Presiden B.J. Habibie pun terpaksa
harus meletakkan jabatannya setelah pidato pertanggungjawabannya ditolak
oleh MPR dalam Sidang Umumnya pada tanggal 19 Oktober 1999.15 Padahal
sebenarnya ia bisa saja tetap mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden
berikutnya, karena tidak ada larangan bagi seorang Presiden yang telah ditolak
pidato pertanggungjawabannya untuk tetap mencalonkan diri; walaupun juga
tidak ada jaminan bahwa ia akan bisa terpilih kembali setelah pidato
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Setelah melakukan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPR Nomor
II/MPR/1973 tentang “Tatacara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia”16 menjadi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang
“Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia”,17 maka MPR pun kemudian mengangkat K.H. Abdurrahman Wahid
menjadi Presiden RI18 dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden
RI.19
Namun pemerintahan Presiden Wahid ini tidak berlangsung lama,
melainkan hanya sekitar 20 bulan. Setelah diguncang oleh Skandal Bulog yang
pertama atau yang lebih dikenal sebagai Buloggate I, dan setelah melalui 2
(dua) kali Memorandum DPR, maka melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/
14
Untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut, lihat International IDEA (Lembaga Internasional
untuk Bantuan Demokrasi dan Pemilu), Penilaian Demokratisasi di Indonesia
(Pengembangan Kapasitas Seri 8) (Jakarta: International IDEA, 2000).
15
Lihat Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1999 tentang “Pertanggungjawaban Presiden
Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie” dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 1999), hal. 45 – 50.
16
Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 47 – 54.
17
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999,
op. cit., hal. 89 – 96.
18
Ibid., lihat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Presiden Republik
Indonesia”, hal. 97 – 101.
19
Ibid., lihat Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Wakil Presiden
Republik Indonesia”, hal. 103 – 107.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 41
Era Pasca Reformasi

2001 tentang “Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H.


Abdurrahman Wahid”,20 MPR akhirnya memutuskan untuk memberhentikan
Wahid sebagai Presiden RI serta menyatakan tidak berlaku Ketetapan MPR
Nomor VII/MPR/1999 tentang “Pengangkatan Presiden Republik Indonesia”.21
Putusan ini diambil setelah Presiden Wahid tidak hadir dan menolak untuk
memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001
serta penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001 yang dinilai telah
sungguh-sungguh melanggar haluan negara.22
Sejalan dengan hal itu, melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001
tentang “Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia”,23 MPR kemudian
mengangkat Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI
menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid.24 Masa jabatan Presiden Megawati
adalah terhitung sejak diucapkannya sumpah atau janji di hadapan Rapat
Paripurna MPR sampai habis sisa masa jabatan Presiden RI 1999 – 2004.25
Sebagai hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan
secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia pada tahun 2004, terpilihlah
pasangan Presiden dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M.
Yusuf Kalla. Dalam pelaksanaan pemilihan umum 2004 tersebut, tidak hanya
Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung, tetapi juga para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Proses demokratisasi
itu kemudian berlanjut dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara langsung yang mulai diselenggarakan di berbagai
daerah pada tahun 2005.
Indonesia Memasuki Era Pasca Reformasi
Dengan telah diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan
terbentuknya berbagai pranata baru yang makin mendorong langkah-langkah
menuju demokratisasi - diantaranya dengan telah dipemenuhinya beberapa
tuntutan masyarakat yang mengemuka pada masa-masa awal reformasi
sebagaimana disebutkan di muka, walaupun dalam kenyataannya tidak dapat
berlangsung dengan mulus - tahap demi tahap bangsa Indonesia telah memasuki
20
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Istimewa MPR RI
Tahun 2001 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001), hal. 11 – 17.
21
Ibid., Pasal 2.
22
Ibid., Pasal 1.
23
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Istimewa MPR RI
Tahun 2001, op. cit., hal. 19 – 24.
24
Ibid., Pasal 1.
25
Ibid., Pasal 2.
42 Reformasi Hukum

era pasca reformasi.


Dalam era yang disebut sebagai pasca reformasi ini, beberapa tuntutan
yang dikemukakan masyarakat akan tetap ada, terutama yang terkait dengan
sektor-sektor yang belum tercapai pada masa reformasi. Dalam kaitan dengan
topik Pidato Pengukuhan ini, sektor-sektor tersebut diantaranya adalah yang
berkaitan dengan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Disamping itu juga akan selalu muncul
tuntutan terhadap pemenuhan keadilan dalam bidang ekonomi. Agenda
reformasi sebagaimana tersebut di muka terus bergulir dari semenjak masa
kepresidenan B.J. Habibie, dan terus berlanjut pada masa kepresidenan
Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu muara inti dari berbagai tuntutan
yang diajukan masyarakat tersebut adalah terpenuhinya rasa keadilan
masyarakat. Namun demikian, dalam realitanya, ukuran rasa keadilan
masyarakat itu tidak jelas. Karena itulah isu pembangunan hukum
sebagaimana dibahas dalam Pidato Pengukuhan ini akan menjadi sangat
penting dalam era ini. Namun demikian karena terbatasnya alokasi waktu
yang diberikan untuk membacakan pidato, dan juga terbatasnya jumlah
halaman yang lazim diterapkan untuk suatu Pidato Pengukuhan, tidak
mungkin semua hal tersebut akan dapat terbahas tuntas di dalamnya.
Sistem Hukum dan Sistem Hukum Indonesia
Salah satu permasalahan mendasar yang sering diwacanakan dalam era
reformasi ini adalah mengenai aspek hukum. Aspek hukum yang dimaksudkan
di sini mencakup berbagai dimensi yang luas, yang secara mendasar dapat
disarikan menjadi 3 (tiga) anasir sebagai berikut: (1) structure (tatanan
kelembagaan dan kinerja lembaga); (2) substance (materi hukum); dan (3)
legal culture (budaya hukum). Ketiga aspek ini – yang diambil dari pendapat
Lawrence M. Friedman – sangat sering dirujuk dalam berbagai penelitian dan
kajian tentang sistem hukum di Indonesia.26
Dalam berbagai penelitian dan kajian di Indonesia, karya Friedman ini
memang sering dijadikan sebagai semacam rujukan standar untuk
mendeskripsikan elemen-elemen dari sistem hukum. Friedman
menggambarkan sistem hukum dalam kalimat-kalimat sebagai berikut:
“In modern American society, the legal system is everywhere with
us and around us. To be sure, most of us do not have much contact

26
Mengenai hal ini lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction (New York:
W.W. Norton dan Company, 1984). Lihat pula Lawrence M. Friedman, A History of American
Law (New York: Simon and Schuster), 1973.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 43
Era Pasca Reformasi

with courts and lawyers except in emergencies. But not a day goes by,
and hardly a waking hour, without contact with law in its broader
sense – or with people whose behavior is modified or influence by
law. Law is vast, though sometimes invisible, presence”.27
Elemen pertama yang disebut Friedman adalah structure (tatanan
kelembagaan dan kinerja lembaga), yang dideskripsikannya sebagai berikut:
“We now have a preliminary, rough idea of what we mean when
we talk about our legal system. There are other ways to analyze this
complicated and important set of institutions. To begin with, the legal
system has structure. The system is constantly changing; but parts of
it change at different speeds, and not every part changes as fast as
certain other parts. There are persistent, long-term patterns – aspects
of the system that were here yesterday (or even in the last century)
and will be around for a long time to come. This is the structure of the
legal system – its skeleton or framework, the durable part, which
gives a kind of shape and definition to the whole”.28
Sedangkan elemen kedua yang dipaparkan oleh Friedman adalah
substance (ketentuan perundang-undangan) yang digambarkannya sebagai
berikut:
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is
meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside
the system. This is, first of all, “the law” in the popular sense of the
term – the fact that the speed limit is fifty-five miles an hour, that
burglars can be sent to prison, that “by law” a pickle maker has to
list his ingredients on the label of the jar”.29
Sedangkan tentang elemen ketiga adalah legal culture (budaya
hukum). Mengenai legal culture ini Friedman antara mendeskripsikannya
sebagai berikut:
27
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit., hal. 1; Sebagai bahan diskusi, lihat pula
Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan Hukum di Indonesia,” dalam Guru Pinandita:
Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2006), hal. 569 – 590.
28
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit.., hal. 5; Lihat pula Satya Arinanto,
“Empat Tahun Reformasi Hukum,” Koran Tempo, 15 Mei 2002, hal. B7.
29
Friedman, American Law: An Introduction, op. cit., hal. 6 - 7; Lihat pula Satya Arinanto,
“Beberapa Catatan tentang Sistem Hukum” (Makalah disampaikan dalam Pra Seminar
Hukum Nasional dengan tema “Reformasi Hukum Melalui Peningkatan Kinerja Lembaga-
lembaga Hukum” yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Komisi Hukum Nasional (KHN) RI di
Jakarta, 31 Oktober – 1 November 2002).
44 Reformasi Hukum

“By this we mean people’s attitudes toward law and the legal
system – their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words,
it is that part of the general culture which concerns the legal system.
… The legal culture, in other words, is the climate of social thought
and social force which determines how law is used, avoided, or
abused. Without legal culture, the legal system is inert – a dead fish
lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”.30
Pengaruh dari pandangan Friedman ini, khususnya yang terkait dengan 3
(tiga) unsur sistem hukum, bahkan tetap ada hingga saat ini, yakni dalam politik
hukum yang diberlakukan dalam era pasca reformasi. Yang dimaksud dengan
politik hukum dalam era pasca reformasi ini secara khusus merujuk pada
beberapa arahan yang bertajuk “Pembenahan dan Sistem Politik Hukum” yang
merupakan salah satu bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009.31 Dengan demikian pembahasan dalam bagian
berikutnya ini juga akan didasarkan pada ketiga unsur sistem hukum tersebut.
RPJMN ini bahkan dapat dilihat sebagai semacam Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) dalam era Orde Lama dan Orde Baru. Sebagai
akibat dari proses perubahan UUD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran
perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR,32 maka
semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak
lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN. Padahal selama ini GBHN
merupakan salah satu sumber untuk meninjau politik hukum dalam arti legal
policy, baik yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena
30
Ibid. Dalam pengamatan penulis, ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh
Friedman ini sangat mempengaruhi pendapat para sarjana hukum Indonesia dalam
merumuskan berbagai pandangan mengenai hukum dan sistem hukum. Misalnya sebagaimana
dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia ketika merumuskan unsur-unsur sistem hukum Indonesia. Menurut BPHN, sistem
hukum Indonesia terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: (1) materi hukum (tatanan
hukum), termasuk di dalamnya ialah: (a) perencanaan hukum, (b) pembentukan hukum, (c)
penelitian hukum, dan (d) pengembangan hukum. Untuk membentuk materi hukum harus
diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan, yang dapat berbeda dari waktu ke waktu
karena adanya kepentingan dan kebutuhan; (2) aparatur hukum, yakni mereka yang
mempunyai tugas dan fungsi: (a) penyuluhan hukum, (b) penerapan hukum, (c) penegakan
hukum, dan (d) pelayanan hukum. Adanya aparatur hukum tertentu tidak bisa dilepaskan
kaitannya dengan politik hukum yang dianut; (3) sarana dan prasarana hukum, yang meliputi
hal-hal yang bersifat fisik; (4) budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk
para pejabatnya; dan (5) pendidikan hukum; Sebagai bahan diskusi lihat pula Tim Sejarah
BPHN, Sejarah Badan Pembinaan Hukum Nasional (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005).
31
Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Perpres Nomor 7 Tahun
2005, LN Nomor 11 Tahun 2005.
32
Adapun dasar-dasar pemikiran perubahan UUD 1945 yang dilakukan antara tahun 1999 –
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 45
Era Pasca Reformasi

2002 antara lain meliputi peninjauan dan penataan kembali hal-hal yang terkait dengan
permasalahan sebagai berikut: (1) UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang
bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan
kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-
institusi ketatanegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kata kunci bagi kekuasaan
pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada hubungannya lagi dengan rakyat; (2)
UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif
(presiden). Sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah executive heavy, yakni kekuasaan
dominan berada di tangan presiden. Pada diri presiden terpusat kekuasaan menjalankan
pemerintahan (chief executive) yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang
lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi)
dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk UU. Hal ini tercermin jelas
dalam Penjelasan UUD 1945, yang berbunyi Presiden ialah penyelenggara pemerintah
Negara yang tertinggi di bawah Majelis. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya
dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda tetapi nyatanya berada di satu
tangan (Presiden) yang menyebabkan tidak bekerjanya prinsip checks and balances dan
berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter; (3) UUD 1945 mengandung pasal-
pasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir),
misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Rumusan pasal itu dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni tafsir pertama bahwa presiden dan
wakil presiden dapat dipilih berkali-kali dan tafsir kedua yang menyatakan bahwa presiden
dan wakil presiden hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak
boleh dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diubah) yang
berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. UUD 1945 tidak memberikan penjelasan
dan memberikan arti kata “orang Indonesia asli” itu, sehingga rumusan ini membuka
penafsiran beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia yang
lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya adalah orang Indonesia;
(4) UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk
mengatur hal-hal penting dengan undang-undang (UU). UUD 1945 menetapkan bahwa
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal
penting sesuai kehendaknya dalam UU. Hal ini menyebabkan pengaturan mengenai MPR,
DPR, BPK, MA, DPA, dan Pemerintahan Daerah disusun oleh Presiden dalam bentuk
pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR; dan (5) Rumusan UUD 1945
tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang
memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hokum, pemberdayaan
rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang
bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan
UUD 1945, antara lain sebagai berikut: (a) tidak adanya checks and balances antarlembaga
negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden; (b) infrastruktur politik yang dibentuk, antara
lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi
sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; (c) pemilihan umum (pemilu)
diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan
tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; dan (d) kesejahteraan sosial berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah system monopoli,
oligopoli, dan monopsoni. Disamping dasar-dasar pemikiran tersebut, dalam proses perubahan
UUD 1945 juga ada beberapa kesepakatan dasar sebagai berikut: (1) tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI); (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensiil; (4) Penjelasan UUD 1945
ditiadakan, serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukan ke dalam pasal-pasal; dan
(5) perubahan dilakukan dengan cara “addendum”. Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op. cit., hal. 11 – 15 dan hal. 25.
46 Reformasi Hukum

itu, untuk menganalisis politik pembangunan hukum nasional dalam era pasca
reformasi, salah satu rujukan utama kita adalah pada naskah RPJMN tersebut.
Namun demikian sebelum meninjau politik pembangunan hukum nasional dalam
era pasca reformasi, akan kita tinjau lebih dahulu aspek historisnya, yakni politik
pembangunan hukum nasional pada era sebelum masa reformasi dan pada
masa reformasi.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Sebelum
Reformasi
Sebagaimana disinggung di muka, sebelum masa reformasi, politik
pembangunan hukum nasional didasarkan pada beberapa GBHN. Pada masa
Orde Lama, landasan hukum GBHN tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor
I/MPRS/1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-
Garis Besar Daripada Haluan Negara” yang ditetapkan di Bandung pada
tanggal 19 Nopember 1960 dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960
tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahap Pertama 1961 – 1969” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal 3
Desember 1960.33 Namun demikian, dalam kedua Ketetapan MPRS dan
sekaligus GBHN pertama di Indonesia, ini, tidak ditemui pengaturan yang
spesifik yang bisa dijadikan landasan hukum politik pembangunan hukum nasional.
Kondisi yang sama juga terjadi pada Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/
1963 tentang “Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan
Negara dan Haluan Pembangunan” yang ditetapkan di Bandung pada tanggal
22 Mei 1963. Ketetapan ini sama sekali tidak memberikan landasan hukum
yang bersifat spesifik bagi politik pembangunan hukum nasional.34
Ketetapan MPRS pertama yang terkait secara langsung dengan bidang
hukum adalah Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
“Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia
dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia” yang ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1966.35 Walaupun tidak mengatur atau terkait
secara langsung dengan GBHN, namun dalam Ketetapan ini tercantum
beberapa landasan pembangunan politik hukum nasional untuk masa itu.
Selanjutnya politik pembangunan hukum nasional secara nyata tercantum
dalam beberapa Ketetapan MPR tentang GBHN yang berlaku pada masa

33
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS
dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002),
hal. 3 – 17.
34
Ibid., hal. 25 – 29.
35
Ibid., hal. 133 – 150.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 47
Era Pasca Reformasi

Orde Baru, yang terdiri dari sebagai berikut:


a. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 22 Maret 1973;36
b. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 22 Maret 1978;37
c. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 9 Maret 1983;38
d. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 9 Maret 1988;39
e. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 9 Maret 1993; 40 dan
f. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 yang ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 9 Maret 1998.41
Pelaksanaan reformasi hukum sebenarnya telah mendapatkan
landasan politik pembangunan hukum nasional yang lebih signifikan dalam
GBHN 199342 dan 1998.43 Semenjak berlakunya kedua GBHN tersebut,
legal policy dalam bidang hukum telah mengalami dua perkembangan
sebagai berikut: (1) legal policy yang semenjak tahun GBHN 1973
pengaturannya dimasukkan ke dalam peringkat “Sektor” – dalam GBHN
1973 misalnya bersama-sama dengan Sektor Politik, Aparatur Pemerintah,
dan Hubungan Luar Negeri -,44 dalam GBHN 1998 telah dimasukkan
36
Ibid., lihat khususnya pada hal. 456, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum
Pelita Kedua”.
37
Ibid., khususnya pada hal. 627 – 628, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum
Pelita Ketiga”.
38
Ibid., khususnya pada hal. 781 – 782, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum
Pelita Keempat”.
39
Ibid., khususnya pada hal. 914 – 915, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pola Umum
Pelita Kelima”.
40
Ibid., khususnya pada hal. 1072 – 1073, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pembangunan
Lima Tahun Keenam”.
41
Ibid., khususnya pada hal. 1247 – 1252, dan tercantum dalam Bab IV tentang “Pembangunan
Lima Tahun Ketujuh”.
42
Lihat Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
dalam Ketetapan-ketetapan MPR RI 1993 Beserta Susunan Kabinet Pembangunan VI
(Semarang: Aneka Ilmu, 1993), hal. 11 – 133.
43
Lihat Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998 (Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 1998), hal. 9 – 156.
44
Departemen Penerangan Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973, op. cit., hal. 94 – 98. yang menggantikan Indische
Comptabiliteits Wet (ICW) (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448).
45
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1998, op. cit., hal. 137 – 142.
48 Reformasi Hukum

pengaturannya ke dalam peringkat “Bidang”;45 dan (2) bila dalam GBHN


1993 hanya diatur mengenai 3 (tiga) Subbidang legal policy, yakni: (a)
Materi Hukum; (b) Aparatur Hukum; dan (c) Sarana dan Prasarana
Hukum. Sedangkan dalam GBHN 1998 terdapat dua tambahan Subbidang,
yakni: (d) Budaya Hukum dan (e) Hak Asasi Manusia.
Adapun pengaruh dari pemikiran Friedman mulai tampak dalam GBHN
1993, yakni ketika arahan-arahan Bidang Hukum dibagi menjadi 3 (tiga)
Subbidang, yakni: (a) Materi Hukum; (b) Aparatur Hukum; dan (c) Sarana
dan Prasarana Hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejak tahun
1993, landasan dasar dari legal policy yang mengarahkan politik pembangunan
hukum nasional kita sangat dipengaruhi oleh pandangan Friedman.
Sebagai observasi umum, dapat dikatakan bahwa dalam era sebelum
reformasi ini semangat pembaruan hukum di Indonesia sebenarnya juga sudah
banyak dikemukakan. Dalam catatan Teuku Mohammad Radhie,46 dalam Pidato
Dies Natalis di Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Kedudukan Hukum
Adat di Kemudian Hari” pada tahun 1947, Prof. Dr. Mr. R. Supomo47 telah
mengutarakan cita-cita tentang kebutuhan suatu tata hukum yang kualitasnya
sejajar dengan tata hukum dari negara-negara yang maju; suatu kesatuan hukum
sipil untuk semua golongan warga negara; dan suatu sistem hukum yang
mencakup segala aliran pikiran modern di dunia. Supomo juga menunjukkan
bahwa suatu susunan ekonomi baru, cita-cita industrialisasi, hubungan-hubungan
dagang dengan luar negeri akan membutuhkan pembentukan hukum sipil baru
yang sesuai dengan hukum sipil di negara-negara maju.48
Selanjutnya Radhie juga mencatat bahwa dalam ceramahnya di hadapan
para Anggota Perhimpunan Ahli Hukum Indonesia dan Ikatan Sarjana Hukum
Indonesia di Jakarta pada tahun 1955, Mr. Soewandi dalam makalahnya yang
berjudul “Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia” juga telah
mengemukakan pandangannya mengenai perubahan-perubahan hukum yang
diperlukan di negara kita yang merdeka. Dikemukakan bahwa sebagai negara
yang memegang kehormatan diri sendiri, Republik Indonesia tidak dapat
mengelakkan diri dari kewajiban untuk menciptakan sendiri hukum nasionalnya;
tidak hanya meneruskan warisan dari zaman lampau saja, zaman yang dalam

46
Yang semasa hayatnya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, disamping sebagai Pengajar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
47
Semasa hayatnya pernah menjabat sebagai Presiden – sekarang disebut Rektor -Universitas
Indonesia yang ke-2 dan Menteri Kehakiman RI yang pertama.
48
Radhie, loc. cit., hal. 570; Sebagai bahan diskusi, lihat pula Francis Fukuyama, State Building:
Governance and World Order in the Twenty-First Century (London: Profile Books, 2005).
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 49
Era Pasca Reformasi

dasar-dasarnya sudah sama sekali berubah dari zaman kita saat ini, zaman
yang tidak kita harapkan kembalinya.49
Dalam perkembangan selanjutnya tidak tercatat lagi banyaknya sarjana
hukum dan institusi-institusi pendidikan dan penelitian hukum yang
mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai berbagai aspek
pembaruan hukum di Indonesia. Pandangan-pandangan dan pemikiran-
pemikiran tersebut begitu kaya dan beragam, namun demikian dampaknya
dalam konteks pembaruan hukum dalam realitanya terasa belum begitu
menyentuh.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Reformasi
Dalam era reformasi, MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa pada
bulan November 1998. Salah satu hasil dari Sidang Istimewa tersebut adalah
Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional Sebagai Haluan Negara” yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13
November 1998.50 Dalam Ketetapan MPR yang juga dikenal sebagai “GBHN
Mini” ini dimuat beberapa arahan politik pembangunan hukum nasional sebagai
berikut:51
1.Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan
terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban,
ketenangan, dan ketenteraman masyarakat. Agenda yang harus
dijalankan adalah :
a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak
hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas, dan
integritas yang utuh.
b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana dan prasarana hukum
yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya
hukum sebagai pengatur kehidupan nasional.
c. Memantapkan penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran
hukum bagi seluruh masyarakat.
d. Membentuk Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara

49
Ibid. Dalam melakukan pengutipan ini penulis juga melakukan beberapa pengeditan bahasa,
agar konteksnya bisa lebih dipahami sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang berlaku
pada saat ini.
50
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS
dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002, op. cit.., hal. 1315 – 1331.
51
Ibid., hal. 1328.
50 Reformasi Hukum

sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang akan dicabut.
2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilaksanakan untuk mendukung
penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan
adalah:
a. Pemisahan yang tegas antarfungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional
secara terpadu.
c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para
penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi
hukum yang berlaku.
Dalam konteks “GBHN Mini” ini, sangat jelas terlihat bahwa politik
pembangunan hukum nasional diarahkan untuk menanggulangi krisis di bidang
hukum. Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk tegak dan
terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan
ketenteraman masyarakat.
Selanjutnya, kira-kira 11 bulan kemudian, MPR hasil pemilihan umum
tahun 1999 mengadakan sidang. Salah satu hasil dari Sidang MPR tersebut
adalah Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang “Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999 – 2004” yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal
19 Oktober 1999.52 Politik pembangunan hukum nasional dalam konteks
legal policy pada saat itu memiliki tolok ukur 10 (sepuluh) butir arahan
GBHN sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/
1999. Kesepuluh arahan tersebut adalah sebagai berikut:53
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk
terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi
hukum dan tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan jender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian
52
Ibid., hal. 1509 – 1528.
53
Ibid., hal. 1524.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 51
Era Pasca Reformasi

hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai


hak asasi manusia.
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan
dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
bangsa dalam bentuk undang-undang.
5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak
hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk
menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan
kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta
pengawasan yang efektif.
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh
penguasa dan pihak mana pun.
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung
kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas
tanpa merugikan kepentingan nasional.
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan
terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap
menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan
perlindungan, penghormatan, dan penegakkan hak asasi manusia dalam
seluruh aspek kehidupan.
10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Jika dilakukan peninjauan secara komprehensif, politik pembangunan
hukum nasional yang diarahkan pada era pasca reformasi ini masih terkena
pengaruh pandangan Friedman, walaupun pengaruhnya – terutama dalam
konteks pemberian judul-judul Bidang atau Subbidangnya, karena memang
tidak dibagi atas hal-hal tersebut – tidak sebesar pengaruhnya dalam GBHN
1993. Namun pengaruh ini akan terlihat lebih jelas lagi pada politik pembangunan
hukum nasional dalam era pasca reformasi.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi
Dalam era pasca reformasi, sebagaimana disinggung di muka, politik
pembangunan hukum nasional merujuk pada beberapa arahan yang bertajuk
“Pembenahan dan Sistem Politik Hukum” yang merupakan salah satu bagian
dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-
2009.54 Dengan demikian pembahasan dalam bagian berikutnya ini juga akan
54
Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, loc. cit.
52 Reformasi Hukum

didasarkan pada ketiga unsur sistem hukum tersebut.


Dalam Perpres ini pengaruh Friedman sangat tampak pada bagian-bagian
awal, dimana permasalahan politik pembangunan hukum nasional ditinjau dari
3 (tiga) hal: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam konteks
substansi hukum, terdapat beberapa permasalahan yang mengemuka antara
lain sebagai berikut: terjadinya tumpang tindih dan inkosistensi peraturan
perundang-undangan dan implementasi undang-undang terhambat peraturan
pelaksanaannya.55
Selanjutnya dalam konteks struktur hukum juga disebutkan beberapa
kendala antara lain sebagai berikut: kurangnya independensi dan akuntabilitas
kelembagaan hukum, padahal faktor independensi dan akuntabilitas merupakan
dua sisi mata uang logam. Selanjutnya disinggung pula mengenai kualitas sumber
daya manusia di bidang hukum – mulai dari peneliti hukum, perancang peraturan
perundang-undangan sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum – masih
memerlukan peningkatan. Ditegaskan pula mengenai permasalahan sistem
peradilan yang transparan dan terbuka. Konteks ini juga menyarankan perlunya
pelaksanaan pembinaan satu atap oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai upaya
untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan
putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial).
Terakhir, dalam konteks budaya hukum, disoroti beberapa permasalahan
antara lain sebagai berikut: timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan
masyarakat. Gejala ini ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan
menurunnya tingkat apreasiasi masyarakat, baik kepada substansi hukum
maupun kepada struktur hukum yang ada. Selanjutnya disinggung pula
permasalahan menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum dalam
masyarakat.
Sehubungan dengan beberapa permasalahan tersebut, menurut Perpres
tersebut, sasaran yang akan dilakukan dalam tahun 2004 – 2009 adalah
terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif
(termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias jender); terjaminnya
konsistensi sekuruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan
daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; dan
kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional
dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan masyarakat secara keseluruhan
kepada hukum.56
55
Ibid., khususnya pada Bab 9 mengenai “Pembenahan Sistem dan Politik Hukum”, khususnya
pada bagian “Permasalahan”.
56
Ibid., khususnya bagian “Sasaran”.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 53
Era Pasca Reformasi

Berkaitan dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di muka, “politik


pembangunan hukum nasional”57 antara tahun 2004 – 2009 diarahkan pada
kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan)
hukum, dan kultur (budaya) hukum, melalui upaya:58
1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan
kembali peraturan perundang-undangan untuk memperhatikan tertib
perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki
perundang-undangan; dan menghormati serta memperkuat kearifan
lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan
peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari
upaya pembaruan materi hukum nasional.
2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan
kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf
peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan;
menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar
peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa
hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran;
memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya
sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi
sebagai bagian dari upaya pembaruan hukum nasional.
3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan
sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku
keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan
menaati hukum serta penegakan supremasi hukum.
Untuk melakukan pembaruan terhadap substansi (materi) hukum nasional,
diperlukan penelitian yang bersifat mendalam, agar tujuan meniadakan tumpang
tindih dan inkonsistensi peraturan sebagaimana dikemukakan di muka dapat
dihindari. Karena adanya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,59 pasca
Proklamasi Kemerdekaan masih terjadi keanekaragaman hukum. Berdasarkan
hal tersebut, banyak peraturan dari masa kolonial yang masih berlaku. Data
pada sekitar tahun 1992 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 400 (empat
ratus) peraturan dari masa kolonial yang masih berlaku hingga saat itu.
57
Atau diistilahkan oleh Perpres Nomor 7 Tahun 2005 sebagai “pembenahan sistem dan
politik hukum”.
58
Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, loc. cit., bagian “Arah
Kebijakan”.
59
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang dimaksud terutama adalah ketentuan yang ada di
dalam naskah asli UUD 1945 (sebelum diubah), yang menyatakan sebagai berikut: “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
54 Reformasi Hukum

Berdasarkan data dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),


diperkirakan bahwa peraturan-peraturan yang pernah dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan tahun 1949 berjumlah sekitar 7.000
peraturan. Jika dikaitkan dengan jumlah peraturan yang dikeluarkan per tahun
sejak tahun 1819 – 1949 di dalam Buku Kumpulan Peraturan Perundang-
undangan Hindia Belanda yang disusun oleh Mr. E.M.L. Engelbrecht (terbitan
tahun 1960), maka jumlah tersebut dapat dikatakan mendekati kebenaran.60
Dengan adanya pemberlakuan beberapa peraturan baru untuk menggantikan
peratruran-peraturan lama tersebut, jumlah yang tersisa tidak lagi sekitar 400
peraturan, tetapi telah agak berkurang.61
Karena itu maka permasalahan utama politik pembangunan hukum nasional
antara lain adalah sebagai berikut: (1) memperbarui atau mengganti peraturan
hukum dari masa kolonial yang masih berlaku melalui Aturan Peralihan UUD
1945; dan (2) menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945 (termasuk Perubahan-perubahannya), sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional,
dan internasional dalam era globalisasi.62
Untuk mencapai berbagai tujuan yang disebutkan di muka, Perpres
menetapkan berbagai program pembangunan yang mencakup 5 (lima) hal
sebagai berikut:63
60
Untuk mendapatkan data yang lebih detail mengenai hal ini, lihat Roesminah, et. al. “Laporan
Akhir Tim Penyusunan Rencana Pencabutan Peraturan Perundang-undangan Kolonial”. Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1991/1992. Menurut
pengamatan penulis, hingga saat ini belum ada langkah-langkah tindak lanjut yang signifikan
terhadap hasil penelitian ini, dalam arti belum ada langkah-langkah kongkrit untuk melakukan
penggantian secara progresif terhadap peraturan perundang-undangan kolonial. Hal ini misalnya
dapat dilihat dari naskah “Program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009”; dari sekitar 284
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diprogramkan untuk diselesaikan antara tahun 2005 –
2009 – atau yang nota bene bisa dikatakan sebagai politik (pembangunan) perundang-undangan
kita pada era pasca reformasi – sangat sedikit sekali (atau bisa dikatakan hampir-hampir tidak
ada) peraturan perundang-undangan kolonial yang diprogramkan untuk diganti.
61
Diantara peraturan-peraturan baru yang diberlakukan untuk menggantikan peraturan-
peraturan lama tersebut ialah UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang “Perbendaharaan Negara”,
yang menggantikan Indische Comptabiliteits Wet (ICW) (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
448).
62
Untuk memahami mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan globalisasi, lihat Joseph
Stiglitz, Globalization and Its Discontents (London: Penguin Books, 2002). Penulis buku
ini memenangkan Hadiah Nobel untuk bidang Ekonomi pada tahun 2001; Sebagai bahan
diskusi lihat pula Sunaryati Hartono, “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi
Masyarakat Dunia.” (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran pada tanggal 1 Agustus 1991).
63
Lihat Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, loc. cit., bagian “Program-
program Pembangunan”; Bandingkan juga beberapa program reformasi hukum yang diuraikan
dalam Firoz Gaffar dan Ifdhal Kasim, eds. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta:
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 55
Era Pasca Reformasi

1. program perencanaan hukum;


2. program pembentukan hukum;
3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga
penegakan hukum lainnya;
4. program peningkatan kualitas profesi hukum;
5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.
Penutup
Berdasarkan berbagai uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa
pembangunan hukum nasional merupakan salah satu bidang pembangunan
yang penting, yang juga memerlukan perhatian dan penanganan secara intensif
sebagaimana bidang-bidang pembangunan lainnya. Dari tinjauan historis tampak
bahwa terjadi permasalahan yang terkait dengan inkonsistensi dan tumpang
tindihnya berbagai peraturan dalam pelbagai bidang. Inkonsistensi dan tumpang
tindihnya berbagai peraturan ini menyebabkan upaya pembangunan hukum
nasional menjadi agak sulit dilakukan.
Politik pembangunan hukum nasional yang diberlakukan sejak masa Orde
Lama hingga era Pasca Reformasi saat ini sebenarnya cukup memberikan
akomodasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sebagaimana
disebutkan di muka, namun demikian dalam realitanya politik pembangunan
hukum nasional tersebut terkesan agak sulit diterapkan, sehingga dalam
beberapa sisi, politik pembangunan hukum nasional dimaksud terkesan agak
menjadi sloganistis.
Sehubungan dengan hal tersbut dibutuhkan suatu politik pembangunan
hukum nasional yang komprehensif untuk memperbaiki dan menyempurnakan
tatanan hukum dalam era pasca reformasi. Sehubungan dengan hal tersebut,
permasalahan utama politik pembangunan hukum nasional antara lain adalah
sebagai berikut: (1) memperbarui atau mengganti peraturan hukum dari masa
kolonial yang masih berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945; dan (2)
menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945 (termasuk Perubahan-perubahannya), sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat pada tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional
dalam era globalisasi.

Cyberconsult, 2000; Lihat pula beberapa hasil studi dari Komisi Hukum Nasional (KHN)
Republik Indonesia, antara lain Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum:
Suatu Rekomendasi (Jakarta: KHN, 2003).
56 Reformasi Hukum

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Apeldoorn, L.J. van. Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse
Recht, atau Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1981.
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
Asshiddiqie, Jimly. Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Berman, Harold J. Law and Revolution: The Formation of the
Western Legal Tradition. Cambridge: Harvard University Press, 1983.
Claude, Richard Pierre dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in
the World Community. Philadelphia: University of Pennsylvania Press,
1992.
Coper, Michael and George Williams, eds. The Cauldron of
Constitutional Change. Canberra: Centre for International and Public
Law Faculty of Law Australian National University, 1997.
Dallmayr, Fred R. Achieving Our World: Toward a Global and
Plural Democracy. Lanham: Rowman dan Littlefield Publishers, Inc., 2001.
Dallmayr, Fred dan José M. Rosales, eds. Beyond Nationalism?:
Sovereignty and Citizenship. Lanham: Lexington Books, 2001.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dalam Proses Demokratisasi: Laporan
Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPR RI pada Sidang
Tahunan MPR RI, Tahun Pertama 1999 – 2000. Jakarta: Agustus 2000
_______. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam
Proses Demokratisasi: Laporan Pelaksanaan Fungsi, Tugas, dan
Wewenang DPR RI pada Sidang Tahunan MPR RI, Tahun Kedua 2000
– 2001. Jakarta: November 2001.
Emmerson, Donald K., ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
bekerja sama dengan The Asia Foundation, 2001.
Farnsworth, E. Allan. An Introduction to the Legal System of the
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 57
Era Pasca Reformasi

United States. Oceana: 1983.


Finer, S.E., Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden. Comparing
Constitutions. Oxford: Clarendon Press, 1995.
Friedman, Lawrence M. A History of American Law. New York:
Simon and Schuster, 1973.
_______. American Law: An Introduction. New York: W.W. Norton
dan Company, 1984.
Friedmann, Wolfgang. Law in a Changing Society. Middlesex:
Penguin Books, 1972.
_______. Legal Theory. New York: Columbia University Press, 1967.
Fukuyama, Francis. State Building: Governance and World Order
in the Twenty-First Century. London: Profile Books, 2005.
Gaffar, Firoz dan Ifdhal Kasim, eds. Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Cyberconsult, 2000.
International IDEA (Lembaga Internasional untuk Bantuan Demokrasi
dan Pemilu. Penilaian Demokratisasi di Indonesia. Pengembangan
Kapasitas Seri 8. Jakarta: International IDEA, 2000.
Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, antara lain
Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu
Rekomendasi (Jakarta: KHN, 2003).
Kritz, Neil J., ed. Transitional Justice: How Emerging Democracies
Reckon with Former Regimes, Volume I: General Considerations.
Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 1995.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003.
Merryman, John Henry. The Civil Law Tradition: An Introduction
to the Legal Western Europe and Latin America. Stanford: Stanford
University Press, 1985.
Pickles, John dan Adrian Smith, eds. Theorising Transition: The
Political Economy of Post-Communist Transformations. London:
Routledge, 1998.
58 Reformasi Hukum

Stiglitz, Joseph. Globalization and Its Discontents. London: Penguin


Books, 2002.
Teitel, Ruti G. Transitional Justice. Oxford: Oxford University Press,
2000.
Tim Sejarah BPHN. Sejarah Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, 2005.
B. Artikel
Arinanto, Satya. “Kinerja Kabinet Persatuan Nasional Menjelang 100
Hari: Beberapa Catatan Bidang Hukum.” Makalah disampaikan dalam
Seminar Sehari “Kinerja Kabinet Persatuan Nasional Menjelang 100 Hari”
yang diselenggarakan oleh Panitia Sembilan di Jakarta, 24 Januari 2000.
_______. “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.” Pidato Ilmiah
Dies Natalis XIV dan Wisuda Sarjana Strata Satu (S1) Sekolah Tinggi
Hukum Indonesia Jakarta di Jakarta, 15 Juni 2002.
_______. “Beberapa Catatan tentang Sistem Hukum.” Makalah
disampaikan dalam Pra Seminar Hukum Nasional dengan tema “Reformasi
Hukum Melalui Peningkatan Kinerja Lembaga-lembaga Hukum” yang
diselenggarakan atas kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Departemen Kehakiman dan HAM RI dan Komisi Hukum
Nasional (KHN) RI di Jakarta, 31 Oktober – 1 November 2002.
Radhie, Teuku Mohammad. “Pembaruan Hukum di Indonesia,” dalam
Guru Pinandita: Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2006, hal. 569
– 590.
Schmitter, Philippe C. “Recent Developments in the Academic Study
of Democratization: Lesson for Indonesia from ‘Transitology’ and
‘Consolidology’.” Paper presented on the Inauguration and Colloquium of
the Habibie Center in Jakarta, 22 – 24 May, 2000.
C. Majalah Ilmiah
Arinanto, Satya. “Reformasi Hukum, Demokratisasi, dan Hak-hak
Asasi Manusia,” Hukum dan Pembangunan, Nomor 1 – 3, Tahun XXVIII,
Januari – Juni 1998, hal. 124 – 125.
_______.“Implementation of the House of Representatives’s
Legislation Function,” TRACeS, Volume III, Number 1, January 2002, hal.
Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam 59
Era Pasca Reformasi

22.
Kommers, Donald P. “German Constitutionalism: A Prolegomenon,”
Emory Law Journal, Volume 40, Number 3, Summer 1991, hal. 837 –
873.
Teitel, Ruti G. “Transitional Jurisprudence: The Role of Law in Political
Transformation,” The Yale Law Journal, Volume 106, Issue 7, May 1997,
hal. 2009 – 2080.
D. Suratkabar
Arinanto, Satya. “Konstitusi Baru dan Komisi Konstitusi,” Kompas, 8
Mei 2001, hal. 7.
_______. “Empat Tahun Reformasi Hukum,” Koran Tempo, 15 Mei
2002, hal. B7.
Schmemann, Serge. “Ideas and Trends: Transitional Justice; How to
Face the Past, Then Close the Door,” The New York Times, Premium
Archive, 8 April 2001.
T07/Elok Dyah Messwati/Budiman Tanoredjo. “Indonesia Baru, Kultur
Lama,” Kompas, 12 Agustus 2002, hal. 25.
E. Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan
Arinanto, Satya. “Constitutional Law and Democratization in
Indonesia.” Jakarta: Publishing House Faculty of Law University of
Indonesia, 2000.
Hartono, Sunaryati. “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana
Globalisasi Masyarakat Dunia.” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tanggal 1
Agustus 1991.
Roesminah, et. al. “Laporan Akhir Tim Penyusunan Rencana Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan Kolonial”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman RI, 1991/1992.
F. Internet
Ima “Hasil Amandemen Keempat UUD 1945 Diusulkan Dijadikan
Konstitusi Transisi.” .(http://www.kompas.com/utama/news/0204/24/
022847.htm). 24 April 2002.
Oki“Perlu Kesepakatan tentang Masa Transisi: Untuk Penerapan
“Transitional Justice.” (http://www.kompas.com/kompascetak/0010/26/
60 Reformasi Hukum

nasional/perl07.htm).24 Oktober 2000.


Prim “Konstitusi Transisi Ganggu Kehidupan Bangsa dan Negara.” (http:/
/www.kompas.com/utama/news/0204/30/051735.htm) 30 April 2002.
G. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-undangan
Basic Law for the Federal Republic of Germany. Promulgated by
the Parliamentary Council on 23 May 1949. Bonn: Press and Information
Office of the Federal Government, 1995.
Departemen Penerangan Republik Indonesia. Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1973.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.
Ketetapan-ketetapan MPR RI 1993 Beserta Susunan Kabinet
Pembangunan VI. Semarang: Aneka Ilmu, 1993.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan-
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 1998. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 1998.
.Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Ketetapan-
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil
Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 1999.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan
Sidang Istimewa MPR RI Tahun 2001. Jakarta: Sekretariat Jenderal
MPR RI, 2001.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Himpunan
Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan 2002. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.
Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Perbendaharaan
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004, LN Nomor 5 Tahun 2004, TLN Nomor
4355.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009, Perpres Nomor 7 Tahun 2005, LN Nomor 11 Tahun 2005.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim 61
Pascapengujian Undang-Undang

MENATA ULANG PENGAWASAN


EKSTERNAL HAKIM
Pascapengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial

A. Ahsin Thohari

Abstrak
Tidak ada lagi pengawasan eksternal hakim! Itulah kesimpulan
yang dapat diperoleh setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memereteli
kewenangan lembaga pengawas eksternal hakim––Komisi Yudisial
(KY)––melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan
23 Agustus 2006. Tidak tanggung-tanggung, putusan itu seperti
mencabut separuh nyawa kewenangan KY: pengawasan terhadap
perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim. Kini, KY hanya hidup dengan
separuh nyawa kewenangan lain: mengusulkan pengangkatan hakim
agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), suatu wewenang
yang sangat sumir bagi lembaga negara yang wewenangnya
bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power).
Ironisnya, pembuat undang-undang (DPR dan Presiden) sampai saat
ini belum melakukan perbaikan (legislative review) terhadap Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Padahal,
jika pengawasan eksternal hakim tidak bisa dijalankan, hanya
pengawasan internal hakim di Mahkamah Agung yang penuh distorsi,
manipulasi, dan perlindungan semangat korps yang dapat
diandalkan.

Pendahuluan
Hampir setahun berlalu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap
permohonan pengujian undang-undang (judicial review) yang diajukan
31 (tiga puluh satu) hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) Republik
Indonesia. Para hakim agung itu menganggap hak dan kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22
62 Reformasi Hukum

Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY),1 khususnya yang berkaitan
dengan “pengawasan hakim” yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan
Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta yang berkaitan dengan “usul
penjatuhan sanksi” yang diatur dalam Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4)
dihubungkan dengan Bab I Pasal 1 butir 5 UU KY. Pasal-pasal tersebut
dianggap menimbulkan kerugian pada para pemohon karena hakim agung
(juga hakim konstitusi) menjadi objek pengawasan serta dapat diusulkan
sebagai objek penjatuhan sanksi oleh KY.
Sebagaimana diketahui, akhirnya MK mengabulkan sebagian
permohonan pemohon. Putusan MK itu mengakibatkan: (1) hakim konstitusi
tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus diawasi KY; dan (2)
KY tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan. Dengan demikian, saat
ini tidak ada lagi ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah
konstitusi yang mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim.
Singkatnya, saat ini terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) di bidang
pengawasan eksternal hakim. Padahal, pengawasan internal yang dilakukan
MA sampai saat ini dapat dikatakan masih belum efektif. Ketua Komisi
III DPR Trimedya Panjaitan bahkan secara ekstrem menilai, MA tidak
mengalami kemajuan apa pun dalam pengawasan internal.2
Di lain pihak, dengan putusan itu, keberadaan KY pun menjadi tidak
terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya
hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR––
“wewenang sumir” yang seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia
yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee),
bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber
langsung dari konstitusi (constitutionally based power).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah putusan MK yang sudah
memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Agustus 2006 yang lalu, tetapi
hanya ingin mendiskusikan apa yang “tersisa” dan masih bisa dilakukan
perbaikan ke depan seperlunya setelah pasal-pasal inti (core provisons)
UU KY yang menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan
dan perilaku hakim dinilai MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN
No. 89, TLN No. 4415.
2
Lihat ANA, “Pengawasan Tak Efektif: Kresna Menon Dipromosikan Jadi Wakil Ketua PN
Bandung”, Harian Kompas, Edisi Rabu, 25 April 2007, hal.3.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim 63
Pascapengujian Undang-Undang

(UUD) 1945. Hal ini mengingat, sebagaimana diakui oleh Ketua KY Busyro
Muqoddas, KY belakangan ini mengalami keterbatasan ruang gerak dalam
mengawasi perilaku hakim, menyusul putusan MK yang menganulir
beberapa kewenangan KY.3
Lalu, apa yang bisa ditawarkan kepada semua pemangku kepentingan
hukum agar pengawasan eksternal dapat segera diwujudkan kembali sesuai
dengan amanat Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang mengandung
semangat bahwa pembentukan KY dimaksudkan agar masyarakat di luar
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim?4
Selain itu, apa upaya-upaya bisa ditawarkan kepada semua pemangku
kepentingan hukum agar KY dapat “diselamatkan” keberadaannya,
sehingga tidak terjerumus menjadi organ konstitusional dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang mubazir karena hanya memiliki wewenang
yang semestinya cukup diperankan panitia seleksi insidental yang menginduk
departemen teknis tertentu?
Menolak Gagasan Ketua MA
Di saat pengawasan eksternal hakim tidak bisa lagi diperankan KY
karena putusan MK, Ketua MA Bagir Manan justru melontarkan gagasan
kontroversial agar KY dipimpin oleh Ketua MA secara ex officio.5 Gagasan
ini seperti menjadi bukti bahwa elit MA sendiri justru alergi dengan
pengawasan eksternal hakim dan ingin mengukuhkan kembali pengawasan
internal hakim seperti sebelum lahirnya KY. Terlepas dari apakah gagasan
itu etis atau tidak dilontarkan oleh Ketua MA, melihat sikap-sikap Ketua
MA dan hakim agung lain terhadap KY sebelumnya dan pengalaman
sejarah pengawasan hakim kita yang dikelola secara “kekeluargaan”,
gagasan itu boleh dibilang sangat tendensius dan ahistoris.
Tendensius karena selama ini Ketua MA menampilkan sikap yang
tidak bersahabat dan resisten terhadap kehadiran KY yang ditandai dengan
mengabaikan semua rekomendasinya dan sejumlah hakim agung
mengajukan permohonan pengujian UU KY kepada MK sebagaimana
disinggung di atas. Ahistoris karena munculnya gagasan pembentukan KY
sebagai pengawas eksternal hakim di Indonesia justru dipicu oleh tidak
3
ANS, “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim Nakal”, Harian Kompas, Edisi
Senin, 23 April 2007, hal. 3.
4
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 42.
5
ANA, “Gagasan Bagir Dikritik: Mengusulkan Komisi Yudisial Dipimpin Ketua MA secara
‘Ex Officio’”, Harian Kompas, Edisi Jumat, 2 Maret 2007, hal.3.
64 Reformasi Hukum

pengawasan hakim seperti sebab utama pembentukan KY di Indonesia.


Dengan demikian, sangat tidak adil membandingkan dua lembaga di negara
berbeda yang dibentuk dengan alasan dan latar belakang sejarah berbeda
pula. Oleh karena itu, penulis cenderung menolak gagasan Ketua MA.
Pada titik ini, respons-respons Ketua MA yang kurang menghargai
sepak terjang KY bisa diartikan sebagai––sekali lagi––sikap alergi MA
terhadap perubahan. Tampaknya MA terlanjur menikmati tirani yudikatif
yang dikelola secara tertutup, sehingga tidak mau berbagi tugas pengawasan
terhadap hakim dengan pihak lain.
Dengan uraian tersebut, sangat naif untuk mengatakan bahwa gagasan
Ketua MA agar KY dipimpin oleh Ketua MA secara ex officio tidak ada
kaitan dengan episode perseteruan MA-KY sebelumnya. Sebagaimana
diketahui, konflik terbuka MA-KY dapat dilihat sejak rencana KY
menyeleksi ulang hakim agung yang dibalas MA dengan usulan menyeleksi
ulang anggota KY; KY mengumumkan hakim bermasalah pada tahap
pemeriksaan awal yang menurut MA seharusnya menjadi rahasia; dan
rekomendasi sanksi KY terhadap sejumlah hakim yang diabaikan MA.10
Jadi, reformasi peradilan gagal justru di tangan benteng terakhir
peradilan sendiri, sebuah ironi luar biasa mengingat semangat reformasi
peradilan merupakan perintah langsung dari Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.11
Undang-undang itu memerintahkan upaya-upaya pemberdayaan peradilan
dengan cara meningkatkan pengawasan proses peradilan secara
transparan, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan
dan pembenahan sistem manajemen dan administrasi peradilan, menyusun
sistem perekrutan dan promosi hakim dan penegak hukum lain yang lebih
ketat, serta mengembangkan pengawasan terhadap proses perekrutan dan

Comparative Perspective for the Establishment of Judicial Commission in Indonesia”,


(makalah disampikan dalam Seminar Sehari Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama
antara Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal
Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002), hal. 1-2..
10
Sebagai catatan, menurut Ketua KY Busyro Muqoddas, sampai dengan dibuatnya tulisan ini,
KY sudah merekomendasikan 18 (delapan belas) hakim yang diduga melanggar kode etik
atau melakukan penyimpangan agar diberi sanksi oleh MA sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, belum satu pun rekomendasi KY yang ditindaklanjuti
MA. Lihat ANS, loc. cit. Selain itu, seakan ingin meruntuhkan moral KY, Ketua MA Bagir
Manan justru mempromosikan Kresna Menon––hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang pernah direkomendasikan KY diberhentikan sementara selama setahun––sebagai
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung. Lihat ANA, “Pengawasan..., loc. cit.
11
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004, UU No. 25 Tahun 2000, LN No. 206 Tahun 2000.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim 65
Pascapengujian Undang-Undang

promosi hakim dan penegak hukum lain. Untuk memuluskan langkah itu,
salah satunya diamanatkanlah pembentukan KY.
Kesalahan Rancang Bangun
Secara kelembagaan, KY dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki
keunikan jika dibandingkan dengan komisi lain. Pertama, berbeda dengan
komisi-komisi yang lain, kewenangan KY diberikan langsung oleh UUD
1945, yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai
kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 22E
ayat (5), tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut
bukan sebuah nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf
kapital, yang menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Kedua, Berbeda
dengan komisi-komisi yang lain, KY secara tegas dan tanpa keraguan
merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam
pengertian sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya
ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD
1945.12
Pengaturan KY dalam UUD 1945 itu tidak terlepas dari adanya upaya
untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum
yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim
agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas
di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya
sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak
tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam
kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945
yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan
terbentuknya lembaga yang disebut KY.13
Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUD 1945 cenderung lebih
menempatkan KY sebagai penjaga (watchdog) yang hanya didesain untuk
mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparring

12
A. Ahsin Thohari, “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006, hal. 34.
13
A. Ahsin Thohari, “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan Gagasan Checks
and Balances System di Cabang Kekuasaan Kehakiman”, (makalah disampaikan dalam
Diskusi Mimbar Konstitusi dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan:
Menyambut Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atau Puslitka MK
RI, di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005), hal. 1.
66 Reformasi Hukum

partner) yang––selain mencari kesalahan––juga bisa memberikan


penghargaan terhadap prestasi, bahkan memperjuangkan
kesejahteraannya. Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal
24B UUD 1945 hanya memberikan kewenangan kepada KY untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku
hakim. Kewenangan itu diterjemahkan menjadi bentuk pengawasan yang
didesain secara tidak maksimal oleh UU KY, sehingga akhirnya dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Ini berbeda dengan konstitusi
Italia, misalnya, di mana selain berwenang melakukan pengangkatan dan
pemberhentian serta tindakan pendisiplinan hakim, Superior Council of the
Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.14 Jadi,
peran KY sebenarnya tidak hanya di ranah preventif-represif, tetapi juga
konsultatif-protektif. Itu sebabnya di beberapa negara nomenklatur untuk
KY adalah Komisi Pelayanan Yudisial (Judicial Service Commission).
Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur dalam konstitusi
kita. Semestinya UU KY perbaikan kelak dapat mengatur fungsi ini.
Berlarut-larutnya perseteruan kedua organ konstitusional itu, hemat
penulis, salah satunya disebabkan oleh adanya kesalahan rancang bangun
kelembagaan KY pada tingkat konstitusi, yang kemudian diperparah dengan
undang-undang di bawahnya yang tidak sempurna.
Catatan Akhir
Tujuan semula (original intention) Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD
1945 pada saat dibuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana
tertulis dalam buku Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar
Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kehadiran KY di
Indonesia didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di MA dan
para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam
perjuangan menegakkan hukum dan keadilan, apalagi hakim agung duduk
pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara
hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh
hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya
menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah
negara hukum. Melalui KY ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga
peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan
14
The Constitution of Italy, the translation of the later amendments by Bernard E. DeLury, Jr.,
published in 1994.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim 67
Pascapengujian Undang-Undang

penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang


terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.15
Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan hukum sebaiknya tidak
boleh lupa terhadap original intention tersebut, sehingga (1) masyarakat
di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim;
dan (2) KY tidak terjerumus menjadi organ konstitusional dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang mubazir karena hanya memiliki wewenang
yang semestinya cukup diperankan panitia seleksi insidental yang menginduk
departemen teknis tertentu.
Palu sudah diketuk oleh Ketua MK. Putusan MK juga sudah
memperoleh kekuatan hukum mengikat (legal binding force) sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Meskipun putusan itu
masih dapat diperdebatkan di ruang wacana, namun tetap berlaku asas
hukum res judicata pro veritate habetur atau de inhoud van het vonnis
geld als waard (apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai
benar).
Berkaca pada beberapa uraian di atas, beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian bersama adalah:
1. Pengawasan hakim oleh lembaga eksternal tetap diperlukan untuk
menghindari distorsi, manipulasi, dan munculnya semangat korps
yang selama ini ditunjukkan pengawasan internal;
2. Pola hubungan yang harus dibangun antara MA-KY seyogianya
adalah mitra sejajar (sparring partner), di mana KY selain berperan
sebagai pengawas hakim (watchdog) juga berperan sebagai pihak
yang dapat memperjuangkan kepentingan hakim tanpa harus
membuat keduanya kehilangan kemandirian. Dalam bahasa Putusan
MK Nomor 005/PUU-IV/2006, hubungan MA-KY sebaiknya
bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but
interrelated);16 dan
3.Revisi terhadap UU KY perlu segera dilakukan untuk
menyelamatkan KY dengan mengakomodasi Putusan MK Nomor
005/PUU-IV/2006, mengingat KY adalah organ konstitusional yang
15
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses
dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hal. 195.
16
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan
pada Rabu 23 Agustus 2006.
68 Reformasi Hukum

semestinya dimaksimalkan wewenangnya oleh undang-undang,


bukan justru undang-undang itu menghambat wewenang KY dalam
melakukan pengawasan eksternal hakim sebagaimana diamanatkan
konstitusi.
***
Daftar Pustaka
ANA, 2007. “Gagasan Bagir Dikritik, Mengusulkan Komisi Yudisial
Dipimpin Ketua MA secara ‘Ex Officio’”, Harian Kompas. Edisi Jumat,
2 Maret 2007.
_______, 2007. “Pengawasan Tak Efektif: Kresna Menon
Dipromosikan Jadi Wakil Ketua PN Bandung”, Harian Kompas. Edisi
Rabu, 25 April 2007.
ANS, 2007. “Komisi Yudisial: MA Belum Pernah Tangani Hakim
Nakal”, Harian Kompas. Edisi Senin, 23 April 2007.
Assegaf, Rifqi S., dan Josi Khatarina, 2005. Membuka Ketertutupan
Pengadilan, Pokok Pemikiran dan Usulan Rancangan SK Ketua
Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Hak Masyarakat
Memperoleh Informasi Pengadilan. Jakarta: Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan/LeIP didukung oleh The Asia
Foundation dan USAID.
Asshiddiqie, Jimly, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
HK, 1968. “Mahkamah Agung sebagai Puncak Keempat Macam
Peradilan Menjurus ke Peradilan Terpimpin”. Harian Kompas, Edisi
Djum’at, 1 Nopember 1968.
_______, 1968. “RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah
Agung Dibitjarakan DPRGR”, Harian Kompas. Edisi Senin, 21 Oktober
1968.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 005/PUU-
IV/2006, diucapkan pada Rabu, 23 Agustus 2006.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003. Panduan
dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menata Ulang Pengawasan Eksternal Hakim 69
Pascapengujian Undang-Undang

Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.


Schmatt, Ernest, 2002. “Implementation of Judicial Commission in
New South Wales as a Comparative Perspective for the Establishment of
Judicial Commission in Indonesia”, makalah disampikan dalam Seminar
Sehari Komisi Yudisial, diselenggarakan kerja sama antara Puslitbang
Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dengan Australian Legal
Resources International, Jakarta, 24 Juli 2002.
The Constitution of Italy. The translation of the later amendments
by Bernard E. DeLury, Jr., published in 1994.
Thohari, A. Ahsin, 2006. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 Tahun
III, April-Juni 2006.
_______, 2004. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan. Cetakan
Pertama, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM.
_______, 2004. “Membangun Komisi Yudisial”, Harian Kompas, Edisi
Jumat, 23 Januari 2004.
_______, 2005. “Peranan Komisi Yudisial dalam Rangka Mewujudkan
Gagasan Checks and Balances System di Cabang Kekuasaan
Kehakiman”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Mimbar Konstitusi
dengan tema “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan: Menyambut
Terbentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia”, diselenggarakan oleh
Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(Puslitka MK RI), di Hotel Millenium, Jakarta, Kamis, 28 April 2005.
Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang tentang Komisi Yudisial.
UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.
_______, 2004. Undang-undang tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. UU No. 25 Tahun 2000, LN
No. 206 Tahun 2000.
70 Reformasi Hukum

SISTEM PERADILAN, PENYIMPANGAN DAN


LEMBAGA PENGAWASAN

Topo Santoso

Abstarak

Tulisan ini membahas mengenai kondisi umum dan masalah yang


terjadi dalam sistem peradilan pidana (termasuk penyimpangannya)
dan bagaimana peranan lembaga-lembaga negara bidang hukum
yang terkait dengan sistem ini. Selama ini memang sudah ada
pengawasan internal dalam sistem peradilan pidana, tetapi
menipisnya kepercayaan publik telah mendorong lahirnya lembaga-
lembaga pengawas (atau paling tidak yang menerima laporan/
keluhan publik), yang menjadi pertanyaan sejauh mana lembaga-
lembaga semacam itu dapat bekerja memenuhi harapan publik dan
perbaikan apa yang perlu dilakukan ke depan. Secara umum,
tampaknya perhatian terhadap lembaga peradilan cukup tinggi,
sementara lembaga pemasyarakatan sangat rendah sehingga perlu
ditingkatkan.
A. Sistem Peradilan di Indonesia dan Masalahnya
Saat ini terdapat sejumlah lembaga hukum di Indonesia baik yang diatur
secara eksplisit dalam UUD 1945 maupun dalam peraturan perundang-
undangan lain, yaitu Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat (2) dan 24 a UUD
1945 dan diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung), Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) dan
24 c UUD 1945 dan Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi) dan Komisi Yudisial (Pasal 24 b UUD 1945 dan
UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial).
Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara serta Mahkamah
Konstitusi (MK) menjalankan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 71
Lembaga Pengawasan

mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu,


memutus impeachmen presiden, pembubaran parpol, dan pengujian undang-
undang, serta sengketa antar lembaga negara. Komisi Yudisial (KY)
merupakan komisi yang bersifat mandiri, berwenang untuk mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan menjalankan wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Kepolisian sebagai alat negara juga disebut langsung dalam Pasal 30
ayat (3) UUD 1945 dengan tugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum, dan lebih khususnya diatur dalam
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Selain
lembaga hukum yang diatur dalam konstitusi, terdapat lembaga hukum lain
yaitu Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) (UU No. 30 Tahun 2002), serta Komisi Nasional HAM
(KOMNAS HAM) yang lahir berdasarkan Keputusan Presiden No. 50
Tahun 1993 yang kemudian diganti dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Di luar itu masih ada Komisi Ombudsman Nasional
(KON). Dalam jajaran eksekutif sebenarnya secara khusus ada
Departemen Hukum dan HAM yang di dalamnya ada BPHN. Setiap
departemen juga memiliki biro hukum-nya masing-masing. Di daerah, setiap
pemerintah daerah juga dilengkapi dengan biro hukum atau bagian hukum.
Keseluruhan lembaga-lembaga di atas memiliki peran dalam pembangunan
dan penegakan hukum sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangan
masing-masing.
Persoalannya bagaimana peran itu telah dilakukan? Apa inisiatif dan
peranan masing-masing lembaga dalam melakukan reformasi hukum?
Untuk mengetahui hal ini tampaknya perlu dilakukan kajian lebih lanjut.
Selama tahun 2005-2006, dua instansi dalam Departemen Hukum dan HAM
menerima kritik keras dari masyarakat yaitu Imigrasi dengan banyaknya
pelaku kejahatan yang berhasi lari ke luar negeri serta Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) berhubungan dengan metode pembinaan,
pengawasan dan kesejahteraan wargabinaan yang jauh melebihi kapasitas
Lapas.
Mengenai kinerja masing-masing lembaga tampaknya hasil-hasil survey
dan jajak pendapat yang ada menunjukkan banyaknya ketidakpuasan. Jika
perhatian akan dikhususkan mengenai kinerja Kejaksaaan maka perspektif
masyarakat akan kinerja Kejaksaan sebagai suatu organisasi yang
menjalankan penegakan hukum ternyata digambarkan secara buruk. Hal
72 Reformasi Hukum

ini ternyata dari polling yang diadakan Harian Kompas, 29 November


20041, dimana 54.8 persen responden berpendapat bahwa kinerja Kejaksaan
masih buruk, hanya 31.4 persen yang berpendapat kinerja Kejaksaan baik,
dan 13.8 persen responden mengaku tidak mengetahui kinerja lembaga
yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan ini.
Dalam beberapa penelitian atau asessment atas organisasi Kejaksaan
yang pernah dilakukan seperti Governance Audit oleh Price Waterhouse
Cooper (PWC) pada tahun 2001, penelitian Standar Minimum Profesi
Jaksa, Asessment Sistem Rekrutmen Jaksa dan Penelitian Sistem
Pengawasan Kejaksaan yang dilakukan oleh MaPPI dan KHN, terdapat
kesamaan temuan mendasar atas permasalahan yang dihadapi oleh
Kejaksaan saat ini yang bermuara pada sumber daya manusia (SDM)
Kejaksaan dalam menjalankan tugas serta wewenangnya. Belum lagi akhir-
akhir ini Kejaksaan sedang didera dengan terkuaknya praktek intervensi
dalam pelaksanaan pembuatan tuntutan tiga tahun penjara terhadap
Hariono Agus Cahyono, terdakwa dalam kasus kepemilikan 20 kg sabu-
sabu di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang tidak layak.
Tidak saja Kejaksaan, MA juga menghadapi kritik yang berat khususnya
berkaitan dengan anggapan resistennya MA terhadap pengawasan yang
dilakukan oleh KY sampai MA mengajukan judicial review terhadap UU
KY ke MK, ditambah dengan kode etik hakim yang dikeluarkan MA yang
dinilai oleh sebagian besar masyarakat “kontroversial” karena mentolerir
praktek pemberian hadiah. Permohonan judicial review MA atas UU
KY, sudah terjawab dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No.
005/PUU-IV/2006 yang mengabulkan hampir semua permohonan uji materi
UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY). Kewenangan KY
untuk mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim yang perilakunya
tidak menunjang tegaknya kehormatan dan keluhuran martabat hakim kini
dihilangkan.
Di luar permasalahan di atas, MA tetap disorot karena sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman tertinggi dianggap belum mampu
menjaga kinerja para hakim dan memberantas mafia peradilan. Kinerja
para hakim baik pada tingkat pertama, banding, serta kasasi dalam mengadili
berbagai kasus dianggap masih jauh dari kekuatan hukum para hakim itu
sendiri. Menurut jajak pendapat yang diadakan oleh harian Kompas, 4
April 20052, hampir tiga dari empat responden (73 persen) menilai kinerja
1
Polling Gambaran Kejaksaan Saat Ini, Kompas, 29 November 2004.
2
Keadilan dan Kepastian Hukum Masih Menggantung, (http://www.kompas.com/kompas-cetak/
htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 73
Lembaga Pengawasan

para hakim masih bergantung pada pihak lain. Kepentingan-kepentingan


dari luar yang begitu besar, baik kepentingan ekonomi, kepentingan politik,
atau kepentingan hukum itu sendiri dianggap sebagai hambatan.
Tampaknya sudah menjadi rahasia umum, campur tangan pihak di luar
yang selalu dominan justru menghambat jalannya proses kasus hukum.
Tidak jarang pula persoalan hukum yang ditengarai sarat dengan muatan
praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme memberi dampak pada
kemandirian hakim dalam memperkarakan kasus hukum. Hal ini pun diyakini
oleh 86 persen responden yang menilai belum bebasnya kinerja para hakim
di pengadilan dari praktik yang menghambat penegakan hukum itu sendiri.
Hanya 7 persen responden yang meyakini sudah bebasnya para hakim
dari praktik politik uang. Indikasi mafia peradilan bahkan terjadi di lingkungan
MA dengan mencuatnya kasus suap mantan hakim tinggi yang menjadi
pengacara seorang pengusaha Probosutedjo pada kasus korupsi. Kabarnya
kasus ini sampai melibatkan ketua MA. Banyaknya kasus korupsi,
pembakalan liar dan pelanggaran HAM yang bebas baik di tingkat pertama,
banding, serta kasasi juga mendapat kritik masyarakat.
Dunia Kepolisian juga tidak luput dari berbagai skandal. Walaupun
secara umum hasil jajak pendapat yang diadakan oleh harian Kompas, 3
Juli 2006,3 memperlihatkan kinerja Polri pada usianya yang ke-60 tahun
menunjukkan peningkatan yang kian positif. Paling tidak, lebih dari separuh
bagian (55,8 persen) responden mengungkapkan kinerja Polri saat ini
semakin baik daripada tahun sebelumnya. Bahkan, dari segi citra pun terjadi
peningkatan apresiasi yang cukup drastis dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Kalau tahun sebelumnya mereka yang menganggap citra polisi
baik hanya disuarakan rata-rata di bawah 40 persen responden, kini
disuarakan oleh 51 persen. Tetapi dalam beberapa segi kinerja Polri
dipandang belum memuaskan.
Dalam penegakan hukum, Polri dinilai masih banyak meninggalkan
pekerjaan rumah kepada masyarakat, terutama dalam kasus-kasus hukum
yang besar, dan juga “keterlibatan” oknum Kepolisian dalam mafia
peradilan. Terseretnya mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri
Komisaris Jenderal Suyitno Landung dan mantan Kepala Unit II/Perbankan
dan Pencucian Uang Bareskrim Komisaris Besar Irman Santosa dalam
perkara pembobolan Bank BNI oleh Grup Gramarindo tahun 2002-2003
seolah menguatkan dugaan publik betapa parahnya jaring-jaring korupsi

3
Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor, (http://www.kompas.com/ kompas-
cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
74 Reformasi Hukum

telah merasuk ke dalam institusi Polri. Di satu sisi Kepolisian telah


mengalami kemajuan positif dimana membaiknya kinerja Kepolisian dan
berani tegas terhadap para perwiranya, tetapi di sisi lain justru
menghawatirkan karena reformasi di tubuh Polri belum optimal, praktik-
praktik mafia peradilan masih juga terjadi.
Berbeda dengan penegak hukum lainnya, kinerja KPK dipandang cukup
baik oleh berbagai kalangan karena keberhasilannya dalam menyidik dan
menuntut kasus-kasus korupsi. Akan tetapi lembaga inipun tidak luput dari
kritik, yaitu mengintervensi pengadilan korupsi, melakukan praktek tebang
pilih (khususnya dalam kasus korupsi di KPU), tidak dapat menangani
banyak kasus korupsi yang dilaporkan. Terakhir, mencuatnya kasus
pemerasan oleh penyidik KPK membuktikan KPK tidak immune dari
penyakit korup yang melanda Indonesia.
Ujung dari sistem peradilan pidana adalah lembaga lembaga
pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan (Lembaga Pemasyarakatan/
LP) merupakan salah satu institusi yang menjadi bagian dalam sistem
peradilan pidana. Lembaga pemasyarakat merupakan muara dari peradilan
pidana yang menjatuhkan pidana penjara pada para Terpidana. Pelaksanaan
hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata sebagai sebuah
upaya balas dendam dan menjauhkan Narpidana dari masyarakat.
Pemenjaraan terhadap Narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem
Pemasyarakatan.
Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak memberikan
nilai tambah bagi seorang Narapidana dalam memperbaiki hidupnya.
Pemenjaraan menurut sistem pemasyarakatan tidak ditujukan untuk
membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat perbuatan
jahat yang telah dilakukannya. Sistem pemasyarakatan dikembangkan
dengan maksud agar Terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan
dapat hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.
Menilik tujuan yang hendak dicapai maka pemenuhan hak dasar para
narapidana menjadi suatu yang tidak dapat dihindarkan.
Sistem pemasyarakatan yang dijalankan berdasarkan undang-undang
tersebut menempatkan para narapidana sebagai seorang manusia yang
melakukan kesalahan dan harus dibina untuk kembali ke jalan yang lurus.
Hal itu ditunjukan dengan penyebutan Narapidana dengan sebutan Warga
Binaan. Namun upaya tersebut nampaknya tidak seindah konsep yang
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 75
Lembaga Pengawasan

ditawarkan karena pelaksanaan sistem pemasyarakatan menimbulkan


permasalahan. Permasalahan yang sering kali mengemuka adalah tidak
ada persamaan perlakuan dan pelayanan kepada para warga binaan,
seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan untuk bertemu
dengan pihak keluarga, adanya kesan bahwa Lembaga Pemasyarakatan
merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas
seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan
masih banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera
dibenahi. Berbagai permasalahan yang timbul merupakan imbas dari
kurangnya perhatian masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan.
Selain itu, di dalam Lembaga Pemasyarakatan kerap kali terjadi tindak
kekerasan terhadap narapidana. Tindak kekerasan ini terutama dilakukan
oleh pejabat sipir penjara. Hasil penelitian LBH Jakarta di 5 wilayah Jakarta
menemukan, kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama
2003-2005, 25 % diantaranya dilakukan di dalam penjara. Dalam Lembaga
Pemasyarakatan juga sering terdengar adanya pungutan liar (korupsi) yang
dilakukan petugas kepada para pengunjung. Bahkan tidak sedikit narapidana
yang bertambah jahat setelah keluar dari penjara.
Dari kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan adanya persoalan yang
serius di dalam penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Jika
dikualifikasikan persoalan-persoalan tersebut adalah pertama, masih
minimnya jaminan perlindungan hak-hak narapidana. Kedua, tidak adanya
pengawasan yang efektif terhadap penyelenggaraan Lembaga
Pemasyarakatan. Ketiga, lemahnya regulasi (kebijakan) yang berimplikasi
pada penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan. Beberapa kelemahan
yang ditenggarai terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakatan harus
dicarikan jalan jalan keluar yang tidak sekedar tambal sulam antara satu
kebijakan dengan kebijakan yang lainnya. Untuk mengetahui permasalahaan
yang terjadi di tubuh lembaga pemasyarakatan dan untuk mencari jalan
penyelesaian yang akan ditempuh maka perlu dilakukan sejumlah penelitian,
meskipun kelemhana yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemasyarakat
seringkali diberitakan oleh media massa. Gambaran yang diberikan oleh
media massa belum cukup memadai untuk melihat secara seksama
permasalahan yang terjadi di dalamnya.
C. Kehadiran Komisi-Komisi Negara terkait Sistem Peradilan
Jika lembaga-lembaga negara di atas merupakan komponen dalam
sistem peradilan pidana, ada juga lembaga-lembaga hukum yang terkait
dan baru hadir kemudian. Kehadiran komisi-komisi negara bidang hukum
76 Reformasi Hukum

yang memiliki tugas terkait komponen-komponen dalam system peradilan


pidana (kepolisian, kejaksaaan, hakim) di Indonesia membuat harapan
masyarakat akan tegaknya hukum dan peradilan semakin meningkat.
Selama ini memang banyak kritik dari dalam dan luar negeri yang
dialamatkan baik kepada kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Dengan
adanya komisi-komisi baru diharapkan semakin ada kontrol dan ada ruang
bagi publik untuk menyalurkan keluhan. Tapi persoalannya, apakah komisi-
komisi terkait sistem peradilan pidana itu telah bekerja secara optimal ?
Maraknya tuduhan korupsi-kolusi-nepotisme di ketiga lembaga
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan) telah mendorong upaya reformasi hukum
dan peradilan, antara lain tercermin dari lahirnya Komisi Yudisial (KY)
melalui Pasal 25 B UUD 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004.
Meskipu tidak diatur dalam konstitusi, lahir juga dua lembaga lainnya yaitu
Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) yang lahir berdasarkan
Undang-Undang Kepolisian dan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005
serta Komisi Kejaksanaan (KK) yang lahir berdasarkan Undang-Undang
Kejaksaan dan dan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2005. Selain ketiga
lembaga itu, komisi negara bidang hukum lainnya adalah Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Komisi Hukum Nasional
(KHN) yang bertugas memberikan masukan kepada Presiden mengenai
reformasi bidang hukum.
Mengenai Komisi Yudisial, Pasal 25 B UUD 1945 menyatakan bahwa
salah satu wewenang lembaga ini adalah “menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim”. Latar belakang
dibentuknya komisi ini adalah karena dalam waktu cukup lama, praktik
peradilan telah tercemar dan mengalami public distrust. Dalam
pertimbangan UU No. 22 Tahun 2004 dinyatakan bahwa komisi yudisial
mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta
pengawasan hakim yang transparan dan partisipatif.
Mengenai Komisi Kepolisian, Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 17
Tahun 2005 menyatakan bahwa salah satu wewenang Kompolnas adalah
menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan
menyampaikannya kepada Presiden.
Mengenai Komisi Kejaksaan, Pasal 10 Peraturan Presiden No. 18 Tahun
2005 menyatakan bahwa Komisi kejaksaan mempunyai tugas antara lain
melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja jaksa
dan pegawai kejaksaan dan melakukan pengawasan, pemantauan, dan
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 77
Lembaga Pengawasan

penilaian terhadap sikap dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan.


Sementara itu mengenai KPK, Pasal 8 (1) UUU No. 30 Tahun 2002
menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas supervisi KPK berwenang
melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang melaksanakan
pelayanan public.
Ada perbedaan dan persamaan di antara komisi-komisi negara tersebut
baik dalam tugas, wewenang maupun metode dalam melakukan sebagian
dari tugas pengawasan perilaku dan kinerja para penegak hukum yang
tercakup dalam system peradilan pidana, yaitu polisi, jaksa, dan hakim.
Sebagian dari komisi tersebut telah menjalankan tugasnya cukup lama
seperti KHN, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi sebagian
relative baru seperti Komisi Kejaksaan dan Kompolnas.
Komisi-komisi tersebut selama ini juga berhubungan dengan unsure-
unsur masyarakat sipil yang berperan sebagai mitra. Sebagian telah
mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga donor untuk lebih mendorong
pelaksanaan kinerjanya masing-masing. Berdasarkan lingkup tugas dan
wewenang, hubungan dengan berbagai lembaga serta pengalaman selama
ini dalam melaksanakan mandatnya tersebut, maka menjadi sangat penting
untuk mengetahui bagaimana masing-masing komisi dapat mendapatkan
dukungan eksternal, dengan cara belajar dari pengalaman KPK yang selama
ini telah banyak menerima dukungan serta belajar dari Komisi Yudisial
mengenai bagaimana memulai pembentukan jejaring di berbagai daerah.
D. Perkembangan Kompolnas
Dibandingkan Komisi Yudisial, sepak terjang Kompolnas kurang begitu
terdengar padahal lembaga ini mempunyai peranan penting, baik dalam
memberikan masukan kepada Presiden mengenai Polri, pengangkatan
Kapolri serta menerima keluihan masyarakat terkait Polri.
Undang-Undang yang mengatur mengenai kepolisian nasional Indonesia
menyebutkan dengan jelas keberadaan lembaga kepolisian yang bernama
Komisi Kepolisian Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden (Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2002). Komisi ini
bertugas : (1) membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan (2) memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Kepolisian Nasional berwenang
78 Reformasi Hukum

untuk : (a) mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian


saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana
Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) memberikan saran dan
pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan (c) menerima
saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan
menyampaikannya kepada Presiden. (Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2002).
Ketentuan lebih lanjut mengenai komisi ini diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 17 Tahun 2005
Saat ini Komisi Kepolisian Nasional sudah terbentuk dengan Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan selaku ketua merangkap
Anggota dan dua anggota lain dari unsure pemerintah yaitu Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Hukum dan HAM serta enam orang anggota lainnya
dari pakar kepolisian dan tokoh masyarakat. Kiprah dari komisi ini semakin
ditunggu oleh masyarakat karena adanya harapan yang tinggi agar kinerja
kepolisian semakin meningkat. Disamping itu komisi-komisi negara lainnya
yang terkait bidang hukum juga sudah menunjukkan kinerja seperti komisi
yudisial.
Sejak Desember 2006 hingga saat ini, komisi kepolisian telah
menghasilkan beberapa hal. Adapun hasil-hasil Kompolnas selama ini
adalah : telah membuat Organisasi dan tata kerja kompolnas, telah menyusun
kode etik anggota kompolnas, telah membuat Rencana Kerja Tahunan,
dan telah membuat Tata Cara penanganan laporan. Kompolnas juga telah
menerima sekitar 60 saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja
polisi. Keluhan mengenai polisi juga diterima lembaga lainnya seperti Komisi
Ombudsman Nasional (KON) ataupun langsung ke kepolisian daerah.
Laporan-laporan tersebut biasanya ditembuskan ke komisi kepolisian
nasional.
Dewasa ini peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan kinerja
lembaga-lembaga semakin terlihat. Hal itu antara lain diwujudkan dalam
bentuk memberikan saran dan keluhan mengenai lembaga-lembaga negara
di dalam sistem peradilan pidana. Dengan adanya kompolnas yang memiliki
wewenang menerima saran dan keluhan masyarakat maka diharapkan
peran serta masyarakat dapat disalurkan dengan baik. Saran dan keluhan
itu juga dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja kepolisian baik dengan
jalan memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden maupun dengan
jalan memberikan masukan langsung kepada Polri. Hal yang terakhir ini
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 79
Lembaga Pengawasan

telah menjadi kesepakatan antara Komisi dengan Polri dimana saran dan
keliuhan masyarakat dapat langsung diberikan kepada Polri sebagai bahan
perbaikan kinerja Polri.
Keterbukaan Polri dalam menerima saran dan keluhan masyarakat
melalui komisi kepolisian nasional merupakan sisi positif yang dapat
digunakan secara maksimal untuk meningkatkan kinerja Polri. Dengan
demikian komisi kepolisian dapat memanfaatkan situasi ini dengan sebaik-
baiknya dengan jalan membangun atau memperbaiki mekanisme
penerimaan saran dan keluhan masyarakat serta mengkajinya dan
meneruskannya kepada Presiden dan kepada Polri.
Salah satu kendala dalam menerima dan menindaklanjuri saran dan
keluhan masyarakat adalah mengingat luasnya wilayah Indonesia dimana
saran dan keluhan masyarakat mungkin berasal dari seluruh pelosok tanak
air, padahal komisi hanya berkedudukan di tingkat pusat. Untuk mengatasi
kendalam tersebut ada beberapa metode yang telah difikirkan oleh komisi
kepolisian nasional, antara lain dengan membangun jejaring di seluruh
Indonesia yang diperkuat dengan suatu kesepakatan (memorandum of
understanding) atau dengan membangun struktur di bawah Kompolnas
hingga tingkat provinsi. Mengenai yang terakhir undang-undang memang
tidak jelas memerintahkan, tetapi juga tidak ada larangan mengenai hal ini.
Meskipun Kompolnas telah membuat Organisasi dan tata kerja
Kompolnas, telah menyusun kode etik anggota Kompolnas, telah membuat
Rencana Kerja Tahunan, dan telah membuat Tata Cara Penanganan
Laporan, akan tetapi ada beberapa hal yang belum dilakukan yaitu
bagaimana Kompolnas dapat mengukur kinerja mereka, apa rencana
strategis yang akan dilakukan selama masa jabatan anggotanya, dan
bagaimana mengevaluasi pelaksanaan wewenangnya mereka (misalnya
bagaimana komisi ini menerima dan menindaklanjuti saran dan keluhan
masyarakat).
Problem lainnya adalah berkaitan dengan tugas dan wewenang
Kompolnas yaitu membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk melaksanakan tugas ini
Kompolnas berwenang (a) mengumpulkan dan menganalisis data sebagai
bahan pemberian saran kepada presiden yang berkaitan dengan anggaran
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya
manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana
dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) memberikan
saran dan pertimbangan lain kepada presiden dalam upaya mewujudkan
80 Reformasi Hukum

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri. Untuk


melaksanakan tugas dan wewenang di atas Kompolnas perlu
mengumpulkan dan menganalisa data. Pengumpulan dan analisa data itu
tentu
E. Perkembangan dan Kendala Komisi Kejaksaaan dan Komisi
Yudisial
Selain Komisi Kepolisian Nasional, Kiprah Komisi Kejaksaan pun juga
kurang terdengar oleh masyarakat. Padahal sudah cukup banyak laporan
yang masuk dan diproses oleh lembaga ini. Laporan pengaduan masyarakat
sampai Desember 2006 adalah sebanyak 492 laporan. Dari jumlah tersebut
yang sudah diteliti sebanyak 299 laporan. Selanjutnya, yang diteruskan ke
jaksa agung/Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan (jamwas) dan
kemudian sudah diteliti sebanyak 110.
Kinerja jaksa yang dilaporkan antara lain “ menuntut tidak melalui rentut
(rencana penuntutan), menuntut yang berbeda dengan yang disetujui atasan,
pengembalian perkara ke penyidik lebih 2 kali, mengajukan kasasi tidak
membuat memori kasasi.4 Sementara terkait sikap selama ini telah
dilaporkan kepada Komisi Kejaksanaan Sikap/perilaku jaksa yang :
menerima suap, melakukan pemerasan, beristri dua tanpa ijin istri dan
instansi, melakukan selingkuh, serta memasuki daerah “hitam” tanpa alasan.
Menurut salah seorang anggota komisi ini, selama ini masyarakat cukup
antusias, tapi sesudah kita diberi penjelasan mereka kecewa karena KK
hanya terbatas memberikan rekomendasi. Misalnya Jaksa di Depok
memalsukan vonis hakim tapi KK tidak bisa bertindak, hanya bisa
mengajukan surat ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas).5
Kendala yang dihadapi oleh komisi ini, khususnya dalam menuntaskan
laporan ini antara lain komisi tidak boleh menghadiri Majelis Pemeriksaan
Jaksa, serta tidak ada wewenang untuk lakukan pemeriksaan langsung
pada kinerja dan sikap perilaku jaksa bermasalah. Kesulitan lainnya yang
dihadapi adalah terbatasnya anggaran, dimana pada tahun 2005 hanya 5
miliar, Sementara tahun 2007 juga hanya 5 miliar. Mengenai anggaran ini
Komisi Kejaksaan tidak diajak bicara oleh pihak Kejaksaaan Agung
sehingga anggaran sudah ditetapkan hanya 5 miliar, sehingga ketika KK
ajukan lebih dari 5 miliar tidak bisa.
Berbeda dengan Kompolnas dan Komisi Kejaksanaan yang sudah

4
Mardi P, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
5
Mardi P, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 81
Lembaga Pengawasan

dibahas di atas, sepak terjang Komisi Yudisial sudah cukup diketahui


masyarakat. Hal itu terjadi sejak awal dimana KY telah memproses sejumlah
hakim yang dianggap bermasalah. Hubungan yang agak kurang harmonis
dengan Mahkamah Agung juga mencuat dan diperhatikan masyarakat.
Apalagi setelah Undang-Undang yang mengatur komisi ini diuji di
Mahkamah Konstitusi. Tanggal 7 Agustus 2006 dianggap sebagai puncak
pembabatan Komisi Yudisial oleh Mahkamah Konstitusi.
Meski sebagian kewenangan KY telah terpangkas melalui uji materi
tersebut, masyarakat masih tetap menyerahkan pengaduan kepada komisi
ini. Laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh komisi ini begitu
banyak, yaitu sekitar 800-900 laporan.
Dari pengalaman pemeriksaan muncul friksi yang tak terhindarkan dari
MA dan KY misal kewenangan memeriksa. Perdebatan lainnya adalah
tentang kewenangan memeriksa putusan hakim. Kehormatan hakim
tercermin pada putusan hakim, putusan dipelajari apakah ada yang
merendahkan martabat, dilihat ketika memutus apakah ada pelanggaran,
dari sinilah bencana mulai timbul. Menurut salah seorang anggota Komisi
Yudisial, kendala yang dihadapi saat ini adalah temuan yang KY lakukan
tidak ada respon dan pimpinan MA. Tidak satupun rekomendasi KY yang
ditindaklanjuti MA, padahal wajib hukumnya.6
Salah satu tantangan Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan hakim
adalah menyangkut perilaku korup dalam lembaga peradilan yang lebih
dikenal sebagai “mafia peradilan”. Masalah ini sebenarnya juga menjadi
tantangan bagi internal lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Apalagi di MA sudah ada Badan Pengawas internal.
Seorang hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menyatakan bahwa
permasalahan mafia peradilan sudah dibicarakan lama oleh berbagai
kalangan. Menurutnya, terjadinya praktek-praktek menyimpang di dunia
peradilan tidak semata-mata hanya terkait hakim dan panitera saja,
melainkan juga pihak-pihak lain seperti masyarakat yang memberikan uang
untuk mempengaruhi putusan. Guna menanggulangi adanya penyimpangan,
di Mahkamah Agung telah ada Badan Pengawas di bawah salah satu
Ketua Muda MA bidang Pengawasan. Juga telah ada ketentuan dimana
untuk tingkat pertama pengawasan dilakukan oleh Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama dan di tingkat Banding oleh Ketua PT. Oleh karena itu
jika masyarakat mendapati adanya penyimpangan oleh oknum pengadilan
6
Sukotjo Suparto, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
7
Suwardi, Dialog Publik : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Anti Mafia Peradilan,-
Semarang,19 April 2007
82 Reformasi Hukum

maka dapat dilaporkan disertai bukti-buktinya.7 Suwardi, Dialog Publik :


Membangun Budaya Hukum Masyarakat Anti Mafia Peradilan,
Semarang,19 April 2007
F. Tantangan ke Depan
Ada satu masalah mencuat yaitu mengenai bagaimana ukuran
keberhasilan lembaga-lembaga itu. Ada beberapa parameter untuk menilai
baik buruk lembaga, yaitu antara lain dilihat dari kedudukan dan jaminan
hukumnya. Makin kuat maka akan punya impact, secara politis jika
kedudukannya beda maka powernya akan beda, seberapa jauh mandat
yang diberikan peraturan perundangan, bagaimana organisasi dan dukungan
finansial, serta bagaimana mekanisme atau akuntabilitas lembaga tersebut.
Di luar hal itu perlu juga dilihat dua variabel lain yaitu bagaimana komposisi
keanggotaan dan anggotanya serta strategi dan pendekatan anggota.8
Di beberapa negara maju dimana tingkat keberhasilan lembaga-lembaga
hukum cukup tinggi, problemnya bukan pada komisinya tapi partnernya.
Perlu dibuat ketentuan agar partner dari lembaga itu mematuhi rekomendasi
yang dikeluarkan. Yang jelas, komisi-komisi yang terkait sistem peradilan
pidana dapat menjadi kekuatan yang dahsyat dalam mewujudkan Good
Governance. Hal ini mempersyaratkan keterbukaan komisi dalam bekerja,
serta kebijakannya harus bisa diakses masyarakat. Kebijakan yang diambil
komisi harus bisa diukur. Harus bisa dikoreksi. Harus ada sanksi moral
dan hukum kalau komisi ini tidak bekerja.
Memperhatikan hal-hal tersebut maka ada embiro gagasan menarik
untuk didukung yaitu Kompolnas perlu didukung dalam rangka meningkatkan
kinerja Polri melalui peningkatan fungsi dan peranan Kompolnas dalam
memberikan rekomendasi kebijakan Polri serta penerimaan dan penanganan
laporan masyarakat Strategi penguatan fungsi dengan kerjasama bersama
LSM dan Perguruan Tinggi sebagaimana dibangun oleh Komisi Yudisial
perlu digunakan juga oleh Komisi Kejaksaan dan Kompolnas. Performane
indicator dari ketiga komisi mesti ada, dibangun dari sekarang sesuai
standar, mandat dan kewenangan masing-masing. Sementara itu, ada satu
aspek yang sangat minim perhatian yaitu pengawasan terhadap lembaga
pemasyarakatan sebagai salah satu komponen dalam sistem peradilan
pidana. Tampaknya reformasi di bidang ini masih perlu didorong lebih
kuat mengingat banyaknya masalah dan kendala yang dihadapi.

8
Rifqi Assegaf, Diskusi Terbatas Komisi-Komisi Negara, Jakarta 26 Maret 2007
Sistem Peradilan, Penyimpangan dan 83
Lembaga Pengawasan

Daftar Pustaka
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2006
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2007.
Tim Rancang Tindak Pembaruan Hukum dan Peradilan. “Pembenahan
Lembaga Penegakan Hukum dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan
Masyarakat terhadap Supremasi Hukum”, Jakarta : Kemitraan, 2004.
Laporan Tahun 2006 Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2007.
ADB dan Kemitraan, Laporan Penilaian Tata Pemerintahan Negara
Indonesia, 2004.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Satu Tahun Komisi Yudisial 2006,
Jakarta, 2006. Kompas, 29 November 2004.
Keadilan dan Kepastian Hukum Masih Menggantung, (http://
www.kompas.com/kompas-cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
Konvensi Anti-Korupsi Belum Diratifikasi, Bukti Tidak Adanya Strong
Leadership,(http://hukumonline.com/ detail.asp?id=14043&cl
=Berita)
Management System International, Handbook of Democracy and
Governance Program Indicators. Washington : Center for Democracy and
Governance, 1998. pp. 21.
Profesionalitas Polri di Tengah Membaiknya Pamor,(http://
www.kompas.com/ kompas-cetak/htm), diakses tanggal 8 Oktober 2006.
Peringatan Hari Antikorupsi Diwarnai Unjuk Rasa, (http://
www.liputan6.com/view/1,113888,1,0,1135376028.html), diakses
tanggal 5 Oktober 2006.
Survey Peradilan Indonesia (http://www.ti.or.id/attach/
barometer_2004_release_complete&final.pdf# search=’survey
%2C%20peradilan%2C%2Aindonesia%2C%20korupsi’) diakses
tanggal 8 Oktober 2006. (http://www.unitar.org/ccp/).
84 Reformasi Hukum

SATU DASA WARSA REFORMASI HUKUM :


INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN?

Susi Dwi Harijanti*

Abstrak

Tulisan ini hendak mengangkat permasalahan-permasalahan


yang dijumpai dalam pelaksanaan reformasi hukum. Penulis
berpendapat meskipun reformasi hukum menyentuh berbagai bidang
hukum yang secara fundamental berperan untuk membangun kembali
sistem hukum, namun reformasi berjalan dengan lambat bahkan
terkesan tidak dilakukan secara sistematis. Apabila perbaikan
terhadap segala bentuk kekurangan tidak dilakukan dengan
sungguh-sungguh, tujuan reformasi hukum akan sulit dicapai. Pada
bagian akhir dilontarkan beberapa gagasan untuk diwacanakan
kembali.

PENGANTAR
Tahun 1998 dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu tahun
yang menandai perubahan radikal berbagai tatanan kehidupan melalui
gerakan reformasi. Meskipun pada mulanya reformasi merupakan gerakan
politik karena berkaitan dengan perjuangan pembaharuan tatanan politik,
namun dampak yang ditimbulkannya tidak hanya pada bidang politik,
melainkan menyentuh bidang-bidang lain, misalnya hukum, ekonomi, sosial,
budaya, dan lain-lain.
Tanpa menegasikan pentingnya reformasi di bidang lain, reformasi
hukum tampaknya memiliki arti yang fundamental bagi tercapainya tujuan
gerakan reformasi, yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Munculnya berbagai
aturan dan institusi baru ataupun penguatan lembaga-lembaga hukum yang
ada yang mampu membentuk tata nilai baru yang adil dan mampu memenuhi
kebutuhan baru yang akan melancarkan tercapainya cita-cita reformasi.
Oleh karena itu, minimnya perbaikan-perbaikan di sektor hukum, reformasi
sangat diragukan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Selama sembilan
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 85
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

tahun lebih perjalanan reformasi hukum, perbaikan-perbaikan memang


terlaksana meskipun terkesan parsial. Berbagai kekurangan dan kelemahan
masih dijumpai, dapat menjadikan gerakan berbalik arah ke tatanan lama
yang bersifat otoriterisme.
REFORMASI HUKUM: PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP
Titik awal untuk mendapatkan pengertian utuh mengenai reformasi
hukum haruslah dimulai dari pengertian hukum itu sendiri. Bagir Manan
menyatakan bahwa ruang lingkup dan pengertian hukum dalam reformasi
hukum ‘tidak diartikan secara parsial, apalagi hanya fenomena atau
persoalan yang muncul seketika’.1 Misalnya, apabila terdapat kejadian
dimana seorang pegawai MA terlibat penipuan perkara, mendadak timbul
gagasan “mengocok ulang semua Hakim Agung”.2 Cara-cara berpikir
sporadik dan cenderung reaksioner yang tidak didukung oleh landasan
konseptual yang komprehensif dapat berakibat pada munculnya tindakan-
tindakan kontra produktif.3
Agar reformasi hukum dapat menjadi dasar kokoh reformasi maka
lingkup dan pengertian reformasi hukum adalah reformasi sistem hukum.4
Lawrence M. Friedman menawarkan tiga elemen sistem hukum yang
meliputi legal structure (struktur hukum), legal substance (substansi
hukum) dan legal culture (budaya hukum).5 Dalam bukunya Friedman
menjelaskan bahwa struktur hukum menunjuk pada lembaga-lembaga
negara, misalnya: legislatif; eksekutif; dan yudikatif. Substansi hukum
menunjuk pada aturan-aturan, sedangkan budaya hukum berarti persepsi
masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Agar lebih mudah
memahami, Friedman memberikan pengandaian: struktur adalah semacam
mesin; substansi merupakan sesuatu yang diproduksi oleh mesin; sedangkan
budaya hukum adalah apapun atau siapapun yang memutuskan
memutuskan apakah mesin akan dihidupkan atau dimatikan serta bagaimana
mesin itu digunakan.
Agak berbeda dengan Friedman, Bagir Manan berpendapat bahwa
elemen-elemen sistem hukum meliputi: sub sistem aturan hukum; sub sistem
1
Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Reformasi Hukum”, Makalah
disampaikan pada Ceramah Ilmiah pada Minahasa Law Center, Manado, 16 Januari 2007, hlm
3.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid, hlm 4.
5
Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction, 1998, hlm 16-34
86 Reformasi Hukum

penegakan hukum; sub sistem pelayanan hukum; sub sistem profesi hukum;
sub sistem pendidikan hukum; dan sub sistem budaya hukum.6 Bagir Manan
memandang perlunya memasukkan budaya hukum sebagai sub sistem
karena : hukum tidak lepas dari masyarakat…maka isi budaya hukum
mencakup segala bentuk tingkah laku sosial (politik, ekonomi, sosial, dan
budaya itu sendiri), yang disatu pihak menjadi sumber tatanan hukum, dipihak
lain merupakan refleksi hukum yang ada.7
Dalam makalahnya, Bagir Manan menjelaskan yang dimaksudkan
dengan reformasi aturan hukum tidak semata-mata diartikan sebagai
reformasi hukum kolonial. Menurutnya, yang tidak kalah penting adalah
pembentukan hukum baru untuk memenuhi tuntutan dan perkembangan
baru yang dapat dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim dengan menggunakan metoda penemuan
hukum.8
Reformasi penegakan hukum menurut Bagir Manan tidak hanya
dikonsentrasikan pada penindakan, melainkan mencakup pula membangun
sistem pencegahan atau penyimpangan terhadap hukum. Selain itu,
reformasi penegakan hukum tidak hanya semata-mata ditujukan pada
proses peradilan karena harus pula memasukkan reformasi penegakan
hukum dalam proses birokrasi.9 Terdapat beberapa alasan mengapa
penegakan hukum perlu dimasukkan sebagai unsur sistem hukum. Pertama,
keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada
penerapannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, maka
tujuan pembentukan peraturan tersebut tidak akan tercapai.10 Kedua,
putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen
kontrol dalam arti putusan-putusan tersebut dapat berfungsi sebagai
feedback bagi pembaharuan atau penyempurnaan peraturan perundang-
undangan.11 Ketiga, penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan
perundang-undangan.12 Hal ini berarti putusan dalam rangka penegakan
hukum dapat menghidupkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat, bahkan, suatu peraturan
perundang-undangan yang kurang baik akan dapat mencapai tujuan hukum

6
Bagir Manan, loc. cit.
7
Ibid.
8
Ibid, hlm 5-6.
9
Ibid, hlm 6-7.
10
Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan”, Makalah pada Penataran Dosen FH/STH PTS
se Indonesia, Bogor, 26 September – 16 Oktober 1993, hlm 4-5.
11
Ibid, hlm 5.
12
Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 87
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

di tangan para penegak hukum yang baik.13


Dalam kaitan dengan pelayanan hukum, Bagir Manan menyatakan
bahwa pelayanan hukum berpusat pada lingkungan jabatan birokrasi. Oleh
karena itu, pembaharuan birokrasi dalam rangka mewujudkan konsep the
service state dan the welfare state merupakan sub-sistem dari reformasi
sistem hukum.14
Sub sistem profesi hukum berkaitan dengan pekerjaan pelayanan bebas
atas dasar keahlian tertentu, misalnya advokat.15 Sedangkan sub sistem
pendidikan hukum berkaitan dengan pengajaran dan penelitian hukum.16
Dan terakhir, sub-sistem budaya hukum menyoroti sikap masyarakat
terhadap hukum.17
Sebagai pembanding, Moh. Mahfuf MD berpendapat bahwa sistem
hukum nasional Indonesia adalah:
Sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua
unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-
undangan, dan semua sub unsurnya) yang antara satu dengan yang lain
saling bergantung dan yang bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal
UUD 1945.18
Penulis pendapat dengan pemikiran yang dilontarkan oleh Bagir Manan
bahwa reformasi hukum haruslah merupakan gerakan pembaharuan seluruh
elemen sistem hukum yang dilakukan secara serempak dan komprehensif.
Mengenai sub-sistem hukumnya sendiri, penulis mengadaptasi pendapat
Friedman dan Bagir Manan. Hal ini berarti penulis mengambil pendekatan
Friedman sebagai dasar utama penentuan sub-sistem hukum, yakni struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum dengan memasukkan unsur-
unsur penegakan hukum, pelayanan hukum dan pendidikan hukum ke dalam
sub-sistem struktur hukum dan substansi hukum.
Ada beberapa alasan mengapa penulis mengambil pendekatan yang
mengakomodasi kedua pemikiran para ahli hukum tersebut. Pertama,
pendekatan Friedman lebih mudah digunakan untuk melakukan kategorisasi
karena menggunakan pendekatan kelembagaan, materi hukum serta
hubungan masyarakat dengan hukum. Kedua, pendekatan Bagir Manan
13
Ibid.
14
Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum ..., op. cit, hlm 7-8.
15
Ibid, hlm 9.
16
Ibid, hlm 9, 16-17.
17
Ibid, hlm 4.
18
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 2006, hlm 21.
88 Reformasi Hukum

digunakan untuk melengkapi sub-sistem yang ditawarkan oleh Friedman,


terutama dalam kaitan dengan penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi
hukum, dan pendidikan hukum. Namun secara ringkas penulis mengambil
utuh ketiga pendekatan Friedman dan membatasi pendekatan Bagir Manan
hanya terhadap peran birokrasi serta pendidikan hukum. Pembatasan ini
akan dibahas pada bagian akhir tulisan ini yang menyinggung ke depan
reformasi hukum berdasarkan unsur-unsur peraturan perundang-undangan,
kelembagaan, budaya hukum dan pendidikan hukum.
PROSES REFORMASI
A. Mengapa reformasi hukum?
Perlunya reformasi hukum berangkat dari pemikiran bahwa hukum
mempunyai fungsi yang penting dalam masyarakat, terutama masyarakat
yang sedang berubah. Hukum dirasakan harus memainkan peran lebih
dalam kondisi dimana pergeseran nilai berubah dengan sangat cepat sebagai
akibat perubahan yang mengandung sifat revolusioner.
Sejumlah ahli hukum dalam dan luar negeri telah menulis dan
mengutarakan pikiran-pikirannya mengenai fungsi hukum dalam
masyarakat yang mencerminkan aliran hukum yang dianut. Mochtar
Kusumaatmadja, misalnya, berpendapat bahwa untuk mengetahui fungsi
hukum maka dapat dikembalikan pada pertanyaan dasar, yakni ‘apakah
tujuan hukum itu’.19 Menurutnya, tujuan pokok hukum adalah ketertiban
(order) karena ketertiban merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu
masyarakat yang teratur.20 Disamping ketertiban, hukum juga mempunyai
tujuan lain yaitu terwujudnya keadilan yang berbeda-beda menurut isi dan
ukurannya karena tergantung pada masyarakat dan zamannya.21
Oleh karena sangat menekankan pada fungsi pencapaian ketertiban,
‘sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif’.22 Namun, fungsi ini tidak
dapat dipertahankan sebagai satu-satunya fungsi utama karena hukum juga
harus berperan dalam masyarakat yang sedang membangun. Dalam kaitan
ini Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengadaptasi konsep fungsi hukum
Roscoe Pound mengenai ‘law as a tool of social engineering’,
memperkenalkan konsep hukum sebagai sarana pembangunan.
Menurutnya peranan hukum dalam pembangunan adalah ‘untuk menjamin
19
Otje Salman dan Eddy Damian (eds), Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan
Karya Tulis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM, 2002, hlm 3.
20
Ibid.
21
Ibid, hlm 3.
22
Ibid, hlm 13.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 89
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur’.23


Menanggapi pendapat Mochtar Kusumaatmadja mengenai peran
hukum dalam masyarakat, S. Tasrif menekankan perlunya pemahaman
bahwa seluruh produk hukum yang dihasilkan harus mampu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur secara materil dan spiritual.24
Memperhatikan pentingnya fungsi hukum untuk terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur, maka sudah sewajarnya seluruh produk hukum,
terutama peraturan perundang-undangan,25 ditinjau ulang dan apabila perlu
diubah agar sesuai dengan aspek-aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan
teknik perancangan.26
Dalam periode transisi yang dalam beberapa hal menunjukkan
perubahan yang penuh gejolak, antagonisme antara penolakan tatanan dan
nilai lama dengan keinginan menciptakan tatanan dan nilai baru, hukum
harus memainkan peran tambahan. Hal ini disebabkan ‘setiap gerakan
atau perubahan yang mengandung sifat revolusioner atau gerakan rakyat
praktis tidak dapat terhindar dari situasi “excessive”’.27 Menurut Bagir
Manan, peran-peran hukum dalam kondisi seperti ini dapat menjelma dalam
berbagai bentuk:
Pertama, mendorong dan memberikan arah perubahan yang
dikehendaki atau yang dicita-citakan.28 Kedua, menjamin fungsi kestabilan
masyarakat agar terhindar dari segala bentuk excessive yang timbul akibat
reformasi.29 Guna menjamin kestabilan ini, aparat penegak hukum tidak
boleh mempunyai keragu-raguan dalam upaya penindakan dan penegakan
hukum agar ketentraman dan ketertiban masyarakat tidak goyah.30
B. Mengapa reformasi hukum berjalan lambat?
Tidak mudah memberikan jawaban komprehensif terhadap pertanyaan
seputar lambatnya reformasi hukum di Indonesia. Jawaban umum yang
dapat dilontarkan adalah sebagai suatu proses, reformasi dapat berjalan
23
Ibid, hlm 19.
24
Ibid, hlm 44.
25
Tanpa mengurangi pentingnya sumber hukum lain, peraturan perundang-undangan masih
menjadi sumber hukum utama dalam sistem hukum Indonesia.
26
Pentingnya aspek-aspek ini, lihat Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indone-
sia, 1992, hlm 14-20.
27
Bagir Manan, ‘Peranan Hukum Dalam Pergeseran Nilai Sosial Budaya Masyarakat Memasuki
Era Reformasi’, Makalah disampaikan pada Seminar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Unpad, Bandung, Maret 1999, hlm 8.
28
Ibid, hlm 9.
29
Ibid.
30
Ibid.
90 Reformasi Hukum

lambat karena ia tidak didahului oleh persiapan yang berhati-hati dan


perencanaan yang sangat teliti; pelaksanaannya tidak efektif; kurangnya
koordinasi antar lembaga dan pejabat-pejabat; serta tidak ada atau lemahnya
‘agreement’ antara pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan
reformasi.31 Bahkan tidak jarang terjadi, proses reformasi hukum terganggu
karena munculnya kejadian-kejadian yang tidak terduga, misalnya bencana
alam, demonstrasi, konflik masyarakat di daerah yang berkepanjangan,
dan lain-lain.
Makna reformasi hukum yang tidak diartikan secara tepat oleh para
penentu kebijakan juga menyebabkan reformasi hukum menjadi sulit
dilakukan. Acapkali reformasi hukum hanya semata-mata diterjemahkan
sebagai pembentukan peraturan perundang-undangan saja. Padahal,
maknanya jauh lebih luas dari sekedar membuat peraturan perundang-
undangan.
Kelambatan lain juga dapat disebabkan karena ruang lingkup reformasi
hukum yang lebih luas. Beberapa dekade terdahulu, ruang lingkup reformasi
hukum lebih ditekankan pada kebijakan hukum di bidang ekonomi, terutama
penanaman modal asing. Hal ini sejalan dengan menguatnya tekanan agar
‘the Washington consensus’ disatukan kedalam kebijakan nasional negara.32
Saat ini, reformasi hukum juga menyentuh bidang-bidang lain, misalnya:
peradilan; hubungan pusat dan daerah; lingkungan; hak asasi manusia;
dan lain-lain. Berkenaan dengan hal ini, Faundez mengatakan:
An overcrowded reform agenda makes it difficult for officials in
charge of the reform process to spare the time to understand its wider
implications. An overcrowded agenda also reduces the time for
consultation and deliberation. Hence, apart from weakening the
institutional system, an overcrowded reform agenda may
unintentionally also undermine the democratic process.33
Tidak jarang terjadi kelambatan proses reformasi hukum juga
disebabkan oleh faktor luar. Misalnya, adanya pengaruh atau tekanan politik

31
J.Faundez, “Legal Reform in Developing and Transition Countries: Making Haste Slowly”,
h t t p : / / b i b l i o i b e r o . f l a s c o . e d u . m x / T E M P F T P / C AT E D R A 4 T R I M O S /
Legal%20reform%20in%20developing%20and%20transition%20countries.pdf, terakhir
dikunjungi 24 Mei 2007.
32
Lihat J. Faundez, “Legal Reform in Developing and Transition Countries: Making Haste
S l o w l y ” , h t t p : / / b i b l i o i b e r o . f l a s c o . e d u . m x / T E M P F T P / C AT E D R A 4 T R I M O S /
Legal%20reform%20in%20developing%20and%20transition%20countries.pdf, terakhir
dikunjungi 24 Mei 2007.
33
Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 91
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

dari negara asing, terutama jika program-program reformasi hukum


dianggap sebagai ’a set conditions for soft loans or a foreign aid
package’.34 Jika hal ini terjadi, tidak jarang ’penolakan’ terhadap program-
program reformasi dikaitkan dengan isu kedaulatan, yang pada gilirannya
akan lebih menyulitkan pelaksanaan reformasi itu sendiri. Apalagi jika
diiringi dengan isu ketakutan terjadinya ’legal imperialism’.35
Berdasarkan hal-hal di atas, menjadi penting bagi kita untuk melakukan
evaluasi pelaksanaan reformasi hukum yang selama ini dilaksanakan,
sekaligus menetapkan agenda-agenda ke depan. Bagian berikut dari tulisan
ini akan membahas agenda-agenda reformasi yang perlu dipertajam.
REFORMASI HUKUM: AGENDA KE DEPAN
A. Melanjutkan reformasi konstitusi dan peraturan perundang-
undangan
Perubahan-perubahan UUD 1945 yang dilakukan dari tahun 1999-
2002 masih menyisakan berbagai kekurangan, misalnya, kelemahan design
ketatanegaraan dan struktur atau sistematika UUD 1945. Hal ini
ditunjukkan, antara lain, pada tidak jelasnya peran DPD sebagai salah satu
lembaga perwakilan. Selain itu, diletakkannya ketentuan mengenai Komisi
Yudisial dalam Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman yang dapat
menimbulkan salah penafsiran karena dapat saja timbul pandangan bahwa
Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga yang berkaitan dengan
fungsi yudisial.36
Beberapa bulan terakhir gagasan mengenai perlunya dilakukan
perubahan kelima, gencar dilakukan. Hal ini terutama berkaitan dengan
keinginan para anggota DPD untuk memperkuat peran dan fungsi DPD
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan amandemen kelima
memang perlu didukung, namun yang harus diperhatikan adalah sikap
kehati-hatian dalam melaksanakan ketentuan perubahan. Sikap kehati-
hatian ini juga diingatkan oleh James L. Sundquist yang mengutip pendapat
Morris:
Nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we
did the best we could; leaving it with those who should come after us

34
Ibid.
35
Ibid.
36
Lihat Bagir Manan, “Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah Konstitusi)
dengan Komisi Yudisial, (Suatu Pertanyaan)”, Makalah disampikan pada Diskusi yang
diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di MPR, 9 Maret 2006, hlm 12.
92 Reformasi Hukum

to take counsel from experience, and exercise prudently the power of


amendment, which we had provided.37 (garis tebal oleh penulis)
Perlu juga diperhatikan bahwa reformasi konstitusi jangan hanya
diartikan sebagai perubahan Undang-Undang Dasar, melainkan meliputi
juga pengembangan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Melalui
konvensi ketatanegaraan, kaidah-kaidah ketatanegaraan dapat berjalan
sesuai dengan pertumbuhan atau perkembangan pemikiran baru. Hal ini
sejalan dengan fungsi konvensi menurut Ivor Jennings, yakni:
(1)...enable a rigid legal framework and all laws tend to be rigid –
to be kept up with changing social needs and changing political
ideas;
(2) …enable the men who govern to work machines.38
Kebiasaan ketatanegaraan juga perlu dikembangkan karena ‘ia
merupakan sub sistem konstitusi yang selalu ada pada setiap negara, tanpa
melihat sistem konstitusi yang dianut’.39 Dalam konteks inilah, arti dinamik
UUD 1945 dapat ditemukan karena ‘konvensi dapat melengkapi,
mengoreksi, atau menyesuaikan dengan asas-asas umum penyelenggaraan
negara yang baik’.40
Reformasi peraturan perundang-undangan memegang peran yang tidak
kalah penting. UUD 1945 perubahan telah ‘mengalihkan’ kewenangan
utama pembentukan undang-undang kepada DPR. Praktek selama ini
memperlihatkan telah terjadi semacam ‘inflasi’ undang-undang yang
mengakibatkan kualitas undang-undang cenderung menurun. Pembatalan
undang-undang secara parsial atau seluruhnya yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi seakan menjawab keprihatinan ini.
Program legislasi nasional juga kurang menampakkan hasil yang
maksimal, bahkan terkesan tidak realistis dan ambisius.41 Banyak rancangan
undang-undang yang akan dibahas, tetapi tanpa betul-betul memerhatikan
berbagai faktor, misalnya: waktu; pelaksanaan tugas-tugas DPR lain; dan
lain sebagainya. Semua hal tersebut akhirnya berakibat kaburnya politik
perundang-undangan pasca reformasi.
Pembentukan seluruh aturan dibawah undang-undang juga perlu

37
James L. Sundquist, Constitutional Reform and Effective Government, 1992, hlm 1.
38
Dikutip dari Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, 2006, hlm 80.
39
Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, 2006, hlm 98.
40
Ibid.
41
Lihat, misalnya, Bivitri Susanti, “Menakar bobot legislasi 2006: Selintas Catatan Awal Tahun
PSHK”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 108.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 93
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

mendapat perhatian khusus. Hal ini disebabkan peraturan-peraturan di


bawah undang-undang ini seakan-akan ‘lebih mengikat’ administrasi
negara. Dalam praktek seringkali terjadi pejabat administrasi lebih tunduk
pada peraturan menteri daripada undang-undang. Selain itu, perlu disadari
bahwa pembentukan peraturan pemerintah, dan seterusnya, kurang
memberikan ruang yang memadai bagi peran serta masyarakat. Sehingga
seringkali timbul masalah-masalah begitu suatu aturan disahkan. Contoh
paling nyata adalah PP No. 37/2006.
Pembentuk undang-undang seringkali memberikan delegasi kepada
eksekutif untuk membuat peraturan pelaksanaan (implementing
legislation). Makin banyaknya pendelegasian terjadi karena beberapa
sebab: pertama, DPR mungkin kekurangan waktu untuk membahas dan
merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang-undang.42
Kedua, DPR kurang mempunyai anggota-anggota yang benar-benar
memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat meninjau
secara mendalam setiap aspek yang diatur dalam suatu undang-undang.43
Ketiga, delegasi dapat disebabkan karena pertimbangan kecepatan atau
urgensi,44 serta elastisitas.45
Berdasarkan hal-hal di atas, pemerintah harus menetapkan politik
perundang-undangan di masa depan. Hal ini untuk mencegah atau
memperkecil peluang terjadinya problem perundang-undangan.
B. Melanjutkan reformasi kelembagaan negara
Tanpa kelembagaan negara yang kokoh, reformasi hukum tidak akan
berjalan dengan baik. Faundez telah mengingatkan bahwa ‘weak
institutional frameworks have on the outcome of the reform process’.46
Lebih lanjut Faundez menjelaskan:
A state that has a strong institutional framework – a strong state-
is a state that can get things done in accordance with pre-established
procedures and with minimum use of coercion. A strong state is not
necessarily authoritarian or ruthless. It also not necessarily a large
state – indeed size is often the reason for its weakness. Strong state
can implement policies and laws, while weak status are generally
unable to ‘get things done’, to formulate and implement policy or to
42
Bagir Manan, Dasar-dasar ..., op. cit, hlm 42.
43
Ibid.
44
Ibid, hlm 43.
45
Ibid, hlm 45.
46
J. Faundez, op. cit.
94 Reformasi Hukum

secure compliance with the law by its citizens.47


Dalam tataran konstitusi, Amandemen UUD 1945 telah membawa
perubahan radikal dalam sistem kelembagaan negara. Perubahan tersebut
ditandai dengan perubahan pengertian; kedudukan; jenis; tugas dan
wewenang; serta hubungan antar lembaga negara.48 Dalam kaitan dengan
komisi-komisi negara, diawali dengan pendirian Komnas HAM di tahun
1990-an, fenomena pendirian lembaga-lembaga negara mencapai
puncaknya pada masa reformasi. Fenomena ini tidak dapat diklaim sebagai
khas Indonesia, karena di banyak negara yang menjalani periode transisi
fenomena semacam ini umum dijumpai, misalnya di Thailand dan Afrika
Selatan.49
Perubahan-perubahan ini tidak dengan serta merta menjamin
keberhasilan tercapainya tujuan reformasi. Bahkan Bagir Manan
menyatakan bahwa aneka ragam lembaga negara justru menimbulkan
berbagai kerancuan baru praktek ketatanegaraan. 50 Cornelius Lay
menyatakan ‘densitas kelembagaan di tingkat negara telah mencapai sebuah
titik yang sangat padat, untuk tidak mengatakan telah mencapai titik jenuh’.51
Masalah-masalah kelembagaan muncul disebabkan selain karena
kerancuan pengertian lembaga negara juga terjadi karena penyusun
perubahan UUD tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai materi
muatan UUD.52
Merespon berbagai anomali dalam aturan dan praktek ketatanegaraan,
perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengharmonisasi aturan-aturan
ketatanegaraan, baik pada tingkat UUD maupun peraturan perundang-
undangan lainnya.53 Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk menertibkan
berbagai kelembagaan untuk membedakan kelembagaan ketatanegaraan
dan yang bukan ketatanegaraan serta meninjau ulang mana yang menjadi
materi muatan UUD dan yang bukan materi muatan UUD.54
C. Mengintensifkan reformasi birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu aktor penting dalam reformasi hukum.
47
Ibid.
48
Lihat Bagir Manan, “Pembaharuan Lembaga-lembaga Negara Dalam UUD 1945 – Baru”,
Makalah disampaikan pada Ceramah dihadapan Civitas Academica Universitas Sam Ratulangi,
Manado, Januari 2007, hlm 3.
49
Cornelius Lay, “State Auxiliary Agencies”, Jentera, PSHK, 2006, hlm 7.
50
Bagir Manan, “Pembaharuan Lembaga-lembaga Negara …”, op. cit, hlm 6.
51
Cornelius Lay, loc. cit.
52
Bagir Manan, “Pembaharuan Lembaga-lembaga Negara …”, op. cit, hlm 12.
53
Ibid, hlm 22.
54
Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 95
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

Apalagi, para birokrat dipandang sebagai garis terdepan yang berhubungan


dengan masyarakat, dan di tangan mereka inilah warga melihat bagaimana
negara beroperasi.55 Terdapat empat faktor mengapa birokrasi memegang
peran sentral dalam negara. Pertama, birokrasi memiliki sumber daya
hukum (legal resources).56 Secara hukum birokrasi memiliki kedudukan
yang kuat karena ketentuan-ketentuan hukum menetapkan fungsi, tugas
dan wewenang birokrasi. Bahkan melalui aturan-aturan, putusan-putusan
administrasi negara dapat ditegakkan sehingga masyarakat melihat bahwa
birokrasi merupakan legal representatives negara. Kedua, sumber daya
material berupa uang dan sumber-sumber lain menyebabkan posisi birokrasi
sangat kuat.57 Ketiga, birokrasi memiliki sumber daya strategi organisasi.58
Dalam kaitan ini birokrasi memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
keahlian dan spesialisasi; kemampuan memengaruhi suatu putusan; dan
lain-lain. Keempat, birokrasi mempunyai sumber daya berupa tindakan-
tindakan politik dimana institusi-institusi birokrasi mampu menggabungkan
seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi.59
Agar reformasi hukum berjalan sesuai dengan arah yang dicita-citakan,
netralitas birokrasi merupakan suatu syarat yang tidak dapat dikompromikan
lagi. Ditinjau dari pendekatan hukum tertulis, terdapat dua opsi agar
netralitas administrasi negara dapat dicapai. Pertama, memasukkan
ketentuan-ketentuan yang menjamin kebebasan administrasi negara dalam
konstitusi.60 Hal ini dilakukan, antara lain, oleh Jerman61 dan Filipina.62
Kedua, independensi administrasi negara dilakukan dijamin melalui
peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Agung Hendarto
mengatakan perlunya langkah-langkah strategis guna mendorong reformasi
birokrasi melalui perundang-undangan, yakni: pertama, membangun dan
memperluas wacana independensi administrasi negara dari lingkaran dalam,
yaitu pemerintah. 63 Kedua, mengawal proses pembahasan dan
penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan administrasi
55
Goran Hayden, Julius Court dan Ken Mease, Making Sense of Governance: Empirical
Evidence from 16 Developing Countries, 2004, hlm 121.
56
Larry B. Hill, “Introduction: Public Bureaucracy and the American State” dalam Larry B.
Hill (ed), The State of Public Bureaucracy (1992), hlm 4-6.
57
Ibid.
58
Ibid.
59
Ibid.
60
Lihat, misalnya, Agung Hendarto, “Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan
Pemerintah dan Birokrasi”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 52.
61
Agung Hendrarto, “Netralitas Birokrasi: Menjernihkan Pola Hubungan Pemerintah dan
Birokrasi”, Jentera, PSHK, 2007, hlm 52-54.
62
Lihat Article XI, Section 1 Konstitusi Filipina 1987.
63
Agung Hendarto, op. cit, hlm 56.
96 Reformasi Hukum

negara.64
Namun, berhasil tidaknya reformasi birokrasi juga dipengaruhi oleh
reformasi di bidang lain, terutama politik. Pada negara yang menjalani
periode transisi, administrasi negara seringkali dipengaruhi secara dominan
oleh kepemimpinan politik tertentu. Oleh karena itu, proses demokratisasi
menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi karena netralitas birokrasi
akan ditentukan juga oleh derajat demokrasi. Sejalan dengan pemikiran ini,
Michiel S. de Vries mengatakan ‘bureaucray and democracy need one
another’. 65
D. Membangun budaya hukum
Budaya hukum berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat
tentang hukum.66 Dalam kalimat senada, Moh. Mahfud M.D menyatakan
bahwa budaya hukum diartikan sebagai:
sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang mencakup
kepercayaan, nilai, ide, dan harapan-harapan masyarakat terhadap
hukum.67
Menunjuk pada praktek selama ini, rendahnya budaya hukum
masyarakat Indonesia ditunjuk sebagai penyebab lemahnya penegakan
hukum di Indonesia. Disinyalir budaya yang berkembang di masyarakat
adalah budaya korupsi dan budaya paternalisme serta feodalisme.68 Budaya
korupsi, misalnya, seringkali diperlihatkan dalam praktek penegakan hukum
di pengadilan yang terkenal dengan istilah judicial corruption. Bahkan,
karena dipengaruhi paternalisme dan feodalisme, ‘ucapan’ seorang petinggi
seringkali diartikan sebagai hukum yang harus dilaksanakan.
Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa penegakan hukum pernah
berjalan dengan baik di negeri ini. Hal ini diperlihatkan dengan baik dalam
salah satu disertasi mengenai Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
ditulis oleh Sebastiaan Pompe dimana Pompe mengatakan:
After the 1970 law, the political debate on the place and role of
the judiciary in Indonesia effectively collapsed for many years. The
64
Ibid.
65
Michiel S. de Vries, “Democracy and the Neutrality of Public Bureaucracy” dalam Haile K.
Asmerom dan Elisa P. Reis (eds), Democratization and Bureaucracy Neutrality, 1996,
hlm 80.
66
Bagir Manan, “Reorientasi Politik Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Diskusi
IKAPTISI, Yogyakarta, 1999, hlm 16.
67
Moh. Mahfud M.D, op. cit, hlm 44.
68
Lihat antara lain, Ibid, dan Bagir Manan, “Reorientasi ...”, loc. cit.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 97
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

law showed that the New Order government was not prepared to
change fundamentally political relations in the country. Henceforth,
the issue confronting the judiciary, and the Supreme Court in
particular, was how best to survive in a political environment that
clearly aimed at restricting the role of the courts as much as posible,
if it was not outright hostile to its goal and interests.
This renewed political marginalization of the judiciary cut deeper
and would last longer than anything before. In the thirty years from
1970 until Reformasi, an entire generation of judges grew up and
made their careers in an environment that accorded neither respect
nor relevance to their function. It deeply demorilized the judiciary,
contributed to the dramatic weakening of its professional capabilities,
and boosted corruption in a service that until 1970 had still relatively
clean (underpaid though it was even then).69
Lebih menyedihkan lagi, dalam melakukan kerjasama dengan donor
asing dalam pembentukan berbagai pranata hukum melalui ‘legal
transplant’, para ahli asing yang terlibat seringkali ‘menganggap remeh’
perihal budaya hukum ini. Tim Lindsey menyebutkan dua alasan utama
mengapa para ahli hukum Barat acapkali gagal membuat design legal
transplant untuk Asia.70 Pertama, para ahli hukum Barat kurang memiliki
pengetahuan memadai dalam hal isi dan seluk beluk operasional legal sistem
Asia.71 Kedua, kesulitan memahami budaya hukum di Asia juga diakibatkan
dari kurang komprehensifnya pengertian budaya itu sendiri yang
mengakibatkan kurangnya perhatian oleh para donor asing terhadap masalah
budaya hukum.72
Agenda reformasi ke depan, mau tidak mau, harus lebih memberikan
penekanan pada isu budaya hukum. Masyarakat harus didorong untuk
memahami bahwa hukum mencakup hampir seluruh kehidupan manusia
dan bahwa sistem hukum itu penting.73
Oleh karena itu, membangun budaya hukum harus dilakukan secara
komprehensif. Pemerintah harus membuat design yang jelas yang tidak
hanya menggunakan pendekatan hukum saja. Pendidikan adalah salah satu
69
Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse,
2005, hlm 111.
70
Tim Lindsey, “History Always Repeats? Corruption, Culture, and ‘Asian Values’ dalam
Tim Lindsey dan Howard Dick (eds), Corruption in Asia: Rethinking the Governance
Paradigm (2002), hlm 3-4.
71
Ibid, hlm 3.
72
Ibid, hlm 4.
98 Reformasi Hukum

kata kunci untuk membangun kesadaran hukum sejak usia dini, yang
melibatkan baik pihak keluarga maupun sekolah. Kurikulum pendidikan
formal dan non-formal harus dibuat sedemikian rupa untuk mendorong
para siswa menghargai hukum dalam kehidupan seharí-hari.
Lebih lanjut, upaya membangun kesadaran hukum tidak terutama
dengan cara-cara menambah pengetahuan masyarakat tentang hukum.74
Malahan, usaha pertama adalah membangun masyarakat yang demokratis
sehingga membangun budaya hukum tidak dapat dilepaskan dari upaya
pembaharuan sosial.75
E. Mereformasi pendidikan tinggi hukum
Bagir Manan berpendapat bahwa reformasi pendidikan hukum
merupakan ‘garda depan reformasi hukum karena out put pendidikan
hukum merupakan sumber yang menentukan corak dan hasil sub sistem
lainnya’.76 Berangkat dari pemikiran tersebut, sudah saatnya ‘para pemain
reformasi hukum’ memberikan perhatian lebih pada bidang ini. Hal ini perlu
ditekankan karena selama hampir satu dekade terakhir ini pendidikan tinggi
hukum seakan-akan tersisih dari perhatian, dan ini terlihat pada minimnya
program-program yang diadakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
hukum di Indonesia pada masa reformasi.77 Padahal, sejak awal tahun
1970-an berbagai langkah pembaharuan pendidikan hukum di Indonesia
telah ditempuh, termasuk pengenalan pendidikan klinis hukum yang
dipelopori oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan tokoh
utama Mochtar Kusumaatmadja.78
Kritikan-kritikan acapkali dialamatkan kepada fakultas hukum karena
tidak menghasilkan lulusan yang siap pakai. Meskipun telah mencoba
merespon dengan cara memperkenalkan mata kuliah-mata kuliah kemahiran
dan penulisan akhir berupa memorandum hukum dan studi kasus, namun
tetap saja belum mampu memenuhi harapan pemakai. Hal ini terjadi karena
“kurangnya stakeholders yang memperhatikan perbedaan antara

73
Lihat, misalnya, Kathy Laster, Law as Culture, 2001, hlm 1.
74
Bagir Manan, “Reorientasi ...”, loc. cit.
75
Ibid.
76
Bagir Manan, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum …”, op. cit, hlm 9.
77
Berbagai program kerjasama di bidang pendidikan hukum justru terjadi pada masa sebelum
reformasi yang dibiayai oleh berbagai negara donor luar negeri, misalnya Belanda dan Amerika
Serikat. Kerjasama meliputi program penulisan dan penterjemahan buku; penataran dosen-
dosen; dan lain-lain. Lihat Mardjono Reksodipuro, “Peranan Pendidikan Tinggi Hukum dalam
Pembaharuan Hukum Indonesia”, Jentera, PSHK, Jakarta, 2003, hlm 21-27.
78
Lihat Ibid.
Satu Dasa Warsa Reformasi Hukum : 99
Indonesia Di Persimpangan Jalan ?

pendidikan hukum akademis dan pendidikan hukum profesi”.79


Reformasi pendidikan tinggi hukum dapat dimulai dengan melihat
alternatif-alternatif yang tersedia. Hikmahanto Juwana menawarkan tiga
alternatif bagi pembenahan sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia.80
Pertama, fakultas hukum tetap menjalankan pendidikan hukum akademis,
sedangkan pendidikan hukum profesi dilaksanakan oleh organisasi profesi
pasca kelulusan mahasiswa dari fakultas hukum.81 Kedua, fakultas hukum
diubah semata-mata menjadi institusi yang menyelenggarakan pendidikan
hukum profesi sebagaimana yang dilakukan oleh law school di Amerika
Serikat.82 Ketiga, fakultas hukum menyelenggarakan pendidikan hukum
akademis dan profesi.83
Ketiga alternatif tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi. Misalnya,
jika opsi ketiga yang dipilih, konsekuensinya jangka waktu pendidikan akan
lebih lama. Oleh karena itu menjadi penting disadari bahwa kebijaksanaan
pendidikan tinggi hukum harus diambil melalui keputusan bersama agar
komitmen untuk melakukan pembaharuan pendidikan hukum dapat terus
dijaga.
PENUTUP
Faundez mengingatkan bahwa reformasi hukum adalah suatu proses,
dan hal ini yang seringkali dilupakan dalam prakteknya.84 Pemerintah
seringkali melupakannya karena hampir seluruh politisi bekerja dalam jangka
waktu tertentu dan selama periode tersebut mereka ingin mendapatkan
credit untuk sebuah reformasi hukum besar-besaran. Negara donor juga
melupakannya karena mereka bekerja untuk jangka waktu dan jumlah dana
tertentu.
Di Indonesia dimana reformasi hukum berjalan selama kurang lebih
sembilan tahun, namun masih kurang menampakkan hasil sesuai dengan
yang diharapkan, banyak pihak mulai merasa pesimis jika sekarang
Indonesia berada pada jalur yang benar (on the right track). Penulis
menekankan bahwa kondisi akan berbahaya apabila mereka yang tidak
sabar dengan jalannya reformasi hukum akan berbalik arah untuk kembali
pada sistem otoriter karena alasan efisiensi dan kecepatan pelaksanaan
79
Hikmahanto Juwana, “Memikirkan Kembali Sistem Pendidikan Hukum di Indonesia”, Jentera,
PSHK, 2003, hlm 94.
80
Ibid, hlm 96-97.
81
Ibid, hlm 96.
82
Ibid.
83
Ibid, hlm 97.
84
J. Faundez, op. cit.
100 Reformasi Hukum

program.
Oleh karena itu perlu disadari bahwa tidak ada model sempurna bagi
reformasi hukum yang berlaku di semua negara. Atau dengan kata lain,
tidak ada blueprint yang berisi sebuah rencana detail mengenai bentuk
dan isi sebuah proses reformasi karena yang ada adalah ’a simplified
description of what the reform process should achieve and it is used
to assist those in charge of designing and implementing the reform
process’. 85
Beranjak dari pemikiran ini, para pembuat kebijaksanaan di negeri ini
harus melakukan upaya-upaya mengkaji ulang seluruh rencana dan
pelaksanaan reformasi hukum yang telah dilakukan. Dengan demikian dapat
diidentifikasi berbagai kendala yang terjadi, sekaligus dapat menemukan
kebijaksanaan yang tepat bagi pelaksanaan agenda selanjutnya.

85
Ibid.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 101
Amandemen UUD 1945

REFORMASI KELEMBAGAAN NEGARA


PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Lilis Mulyani

Abstrak

Proses reformasi yang salah satunya menghasilkan amandemen


UUD 1945, telah membawa konsekuensi berubahnya struktur
ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan ini tidak hanya dengan
diformulasikannya kembali hubungan-hubungan antar kekuasaan
yang ada (terutama eksekutif dan legislatif), namun juga dengan
dibentuknya beberapa lembaga negara baru.Akibatnya posisi,
struktur dan hubungan politik-hukum antarlembaga-lembaga negara
yang ada dan yang baru juga telah berubah secara signifikan.

A. Pendahuluan
Kompleksitas permasalahan kenegaraan dalam negara dan
masyarakat yang sedang berubah membawa implikasi terhadap struktur
kenegaraan Indonesia. Hal ini diiringi pula dengan bertambah banyaknya
ide-ide atau konsep-konsep baru dari dunia secara global yang sedikit
banyak memengaruhi situasi masyarakat dan negara di Indonesia. Konsep-
konsep tersebut telah membawa pembaruan teoritis dan pembaruan
kelembagaan serta fungsional dari institusi-institusi dalam struktur
kenegaraan yang telah ada. Yang pasti, negara-negara yang berada dalam
situasi transisi menuju demokrasi seperti Indonesia mulai menata kembali
struktur ketatanegaraannya sebagai pra-kondisi menuju terciptanya negara
yang memiliki sistem pemerintahan yang baik dan transparan melalui
pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil; dan
yang terutama adalah yang menghormati dan menegakkan hak asasi
manusia; yang semuanya membentuk suatu kesatuan sistem yang saling
berproses. Sejalan dengan hal ini, terdapat kebutuhan untuk merevisi
cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan teori klasik separation of
power sebagai suatu langkah untuk memahami institusi-institusi kenegaraan
102 Reformasi Hukum

sebagai mekanisme ketatanegaraan yang memadai, yang mampu membuat


dan melaksanakan hukum dan kebijakan yang relevan dalam masyarakat
yang sedang berubah.1
B. Lembaga Negara dalam Konteks Ketatanegaraan
Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim
disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna
melaksanakan fungsi-fungsi negara.2 Berdasarkan teori-teori klasik
mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi negara yang penting
seperti fungsi membuat peraturan atau kebijakan (fungsi legislatif), fungsi
melaksanakan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi
eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif).3 Kecenderungan praktek
ketatanegaraan terkini di Indonesia, oleh banyak ahli hukum tata negara
dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara ketiga
pelaksana fungsi negara ini. Hal ini merupakan sebuah perubahan yang
sangat penting karena sebelum Amandemen UUD 1945 Indonesia
menganut sistem pembagian kekuasaan. Maksudnya MPR sebagai
pemegang kedaulatan rakyat tertinggi (sekaligus sebagai lembaga negara
yang memiliki posisi tertinggi) ”membagi-bagikan” tiga fungsi negara ini
kepada lembaga negara lain khususnya kepada DPR dan Presiden.
Alat kelengkapan negara berdasarkan teori-teori klasik hukum negara
meliputi kekuasaan eksekutif dalam hal ini bisa presiden atau perdana
menteri atau raja; kekuasaan legislatif dalam hal ini bisa disebut parlemen
atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat, dan kekuasaan
yudikatif seperti Mahkamah Agung atau Supreme Court. Masing-masing
alat-alat kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk
membantu pelaksanaan fungsinya. Kekuasaan eksekutif misalnya, dibantu
oleh wakil dan menteri-menterinya yang biasanya memimpin satu
departemen tertentu.4 Meskipun demikian, dalam kenyataannya, tipe-tipe
lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dalam negara yang bersangkutan.

1
Bissera Zankova, 2002, The Independent Bodies and the State Administrative Structure:
The Case of Bulgaria, diambil dari <http://venus.ci.uw.edu.pl/~rubikon/forum/bissera.htm>
4 Oktober 2004 .
2
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Gaya Media
Pratama.
3
Untuk penjabaran mengenai teori fungsi-fungsi Negara ini bisa dilihat di Moh. Kusnardi dan
Bintan Saragih, ibid.
4
Ibid.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 103
Amandemen UUD 1945

Secara konseptual, tujuan dari diadakannya lembaga-lembaga negara


atau alat-alat kelengkapan negara selain untuk menjalankan fungsi negara
tetapi juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan
kata lain, lembaga-lembaga ini harus membentuk suatu kesatuan proses
yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan
fungsi negara atau istilah yang digunakan Prof. Sri Soemantri adalah actual
governmental process.5 Jadi, meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-
lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, namun secara
konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi
sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan
secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan
negara jangka panjang.
Proses reformasi yang salah satunya menghasilkan amandemen UUD
1945, telah membawa konsekuensi berubahnya struktur ketatanegaraan
di Indonesia. Perubahan ini tidak hanya dengan diformulasikannya kembali
hubungan-hubungan antar kekuasaan yang ada (terutama eksekutif dan
legislatif), namun juga dengan dibentuknya beberapa lembaga negara baru.
Akibatnya posisi, struktur dan hubungan politik-hukum antarlembaga-
lembaga negara yang ada dan yang baru juga telah berubah secara
signifikan. Perubahan yang paling utama adalah bahwa berdasarkan
Amandemen UUD 1945, kini tidak ada lagi dikotomi antara lembaga tertinggi
negara (yang dulu adalah MPR) dan lembaga tinggi negara. Amandemen
UUD 1945 telah ’mereduksi’ kekuasaan negara yang asalnya dimiliki oleh
MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan memisahkan kekuasaan negara
tersebut kepada lembaga-lembaga tinggi negara terutama kepada legislatif
(DPR) dan eksekutif (Presiden).
C. Lembaga-lembaga negara baru pasca Amandemen
Salah satu fenomena ketatanegaraan pasca dilakukannya Amandemen
UUD adalah dengan semakin maraknya pembentukan lembaga-lembaga
negara baru berbentuk komisi. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang
baru dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia merupakan suatu hal
yang menjadi kelaziman –jika tidak bisa dibilang sebagai suatu ’keharusan’-
berdasarkan semakin tingginya demand dari masyarakat sipil (baik nasional
maupun global) terhadap struktur ketatanegaraan yang ”diharuskan”
memperhatikan konsep-konsep atau ide-ide mengenai hak asasi manusia
dan demokrasi. Salah satu contoh yang paling signifikan dalam
5
Sri Soemantri, 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung:
Alumni.
104 Reformasi Hukum

perkembangan dan pembentukan institusi-institusi demokratis di Indonesia


adalah dibentuknya komisi-komisi yang disebut juga sebagai lembaga-
lembaga negara (independen).
Pembentukan lembaga-lembaga negara baru ini bisa disebabkan karena
tekanan internal dan eksternal. Tekanan internal diantaranya disebabkan
oleh gejolak dari dalam struktur politik dan sosial masyarakat negara yang
bersangkutan.Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya reformasi
politik, hukum dan sosial; yang secara politis dan hukum menyebabkan
terjadinya dekonsentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi
sistem ketatanegaraan. Adapun tekanan eksternal dalam hal ini adalah
arus global pasar bebas, demokratisasi dan gerakan hak asasi manusia
internasional. Ketiga arus global ini sangat penting pengaruhnya terhadap
proses reformasi yang membawa Indonesia ke dalam situasi transisi
demokrasi ini karena banyak institusi internasional yang secara langsung
maupun tidak langsung memiliki kepentingan di Indonesia meng-impose
pemerintah untuk menerapkan – dalam banyak hal- konsep-konsep
demokrasi dan hak asasi manusia yang disosialisasikan diantaranya melalui
lembaga-lembaga internasional dan regional seperti PBB dan Bank Dunia.
Dalam kasus Indonesia, ada beberapa hal yang bisa disebut sebagai
inti dari pembentukan lembaga-lembaga negara baru seperti Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Persaingan
Usaha, Komisi Perlindungan Anak, atau yang paling akhir Komisi
Rekonsiliasi dan Kebenaran, diantaranya yaitu:
1. Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat
asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik dan mengakar
dan sukar untuk diberantas;
2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena
satu atau lain halnya tunduk di bawah pengaruh satu kekuasaan
negara atau kekuasaan lain;
3. Inkapabilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk
melakukan tugas-tugas yang urgent dilakukan dalam masa transisi
demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN;
4. Pengaruh global, dimana pembentukan yang dinamakan auxiliary
state agency atau watchdog institutions6 di banyak negara yang
berada dalam situasi transisi menuju demokrasi telah menjadi suatu
kebutuhan –bahkan suatu keharusan- sebagai alternatif dari
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 105
Amandemen UUD 1945

lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari


sistem yang harus direformasi;
5. Tekanan lembaga-lembaga internasional; tidak hanya sebagai
prasyarat untuk memasuki pasar global tetapi juga untuk membuat
demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang
asalnya berada di bawah kekuasaan yang otoriter.
Pembentukan lembaga-lembaga baru di luar lembaga negara yang
telah ada pasca amandemen UUD 1945 merupakan suatu bukti keinginan
baik pemerintah maupun rakyat Indonesia untuk membentuk suatu lembaga
negara dengan fungsi yang lebih khusus yang sifatnya independen dan
terlepas dari sistem yang sudah ada dan terbentuk sejak lama. Alasan
kuat di balik ini selain untuk memeroleh ’kepercayaan dan ketenangan’
publik (nasional dan internasional); juga karena lembaga yang telah ada
banyak yang sudah turun kredibilitasnya, jika tidak bisa dikatakan tidak
memiliki kredibilitas sama sekali di mata masyarakat nasional maupun
internasional. Mengingat bahwa lembaga-lembaga negara yang telah ada
telah ”tercemar” oleh korupsi, kolusi dan nepotisme, membentuk lembaga-
lembaga negara baru yang independen dan lepas dari struktur kenegaraan
yang telah ada merupakan satu-satunya jawaban dan cara yang paling
mungkin dan paling cepat untuk dilakukan. Hal ini juga mengindikasikan
mulai munculnya ”kekuatan baru” dalam struktur ketatanegaraan yang
berasal dari konsep demokrasi dan hak asasi manusia yaitu kekuatan
masyarakat sipil. Menurut salah satu pakar HAM Indonesia, pembentukan
lembaga-lembaga baru yang independen ini seperti mencangkokkan suatu
lembaga baru berdasarkan konsep demokrasi dan penghormatan terhadap
HAM, dengan harapan lembaga ’cangkokan’ ini bisa memberi pengaruh
positif terhadap ”sistem induknya”. Namun patut pula diperhatikan bahwa,
jika sistem induknya sudah terlanjur ”rusak atau busuk” maka hasil
cangkokan pun bukannya memberi pengaruh positif pada sistem induk,
tapi alih-alih ia sendiri yang kemungkinan akan ikut menjadi rusak atau
busuk.7

6
Istilah yang digunakan di Australia, misalnya. Lihat juga Fink Haysom, 2001, dalam
Firmansyah Arifin, 2004, Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Apa Saja
Problemnya?, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, “Eksistensi Sistem
Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, Hotel Aryaduta, Jakarta 9 September
2004.
7
Abdul Hakim Garuda Nasution
106 Reformasi Hukum

D. Lembaga Negara menurut Mahkamah Konstitusi


Sebelum Amandemen UUD 1945, berdasarkan TAP MPR No. III/
MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga
Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, jelas
dikatakan bahwa lembaga tinggi negara hanya yang dimaksud dalam UUD
1945 saja yaitu: Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Mahkamah Agung. Dalam penafsiran Prof. Dr. Sri Soemantri, lembaga-
lembaga ini hanya merupakan political institutions saja.8 Secara teoritis,
lembaga-lembaga negara ini dibentuk sebagai pengejawantahan dari
distribution of power negara.9 Kekuasaan yang dimaksud berasal dari
rakyat yang menjelma dalam lembaga perwakilan rakyat tertinggi yaitu
MPR yang kemudian “membagi-bagikan” kekuasaan tersebut kepada
lembaga-lembaga tinggi negara yaitu: Presiden dan menteri-menterinyanya
(eksekutif); Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif); dan MA (yudikatif).
Dalam Konstitusi RIS tahun 1950, disebutkan dengan jelas
lembaga-lembaga yang termasuk sebagai alat-alat kelengkapan negara
yaitu dalam Bab III berjudul Perlengkapan Republik Indonesia Serikat yang
terdiri dari: Presiden, Menteri-menteri, Senat, Dewan Perwakilan rakyat,
Mahkamah Agung Indonesia dan Dewan Pengawas Keuangan. Sementara
dalam UUD Sementara tahun 1950, alat-alat kelangkapan negara juga
disebutkan secara jelas dalam Bab II berjudul Alat-alat Kelengkapan
Negara Pasal 44 yang terdiri dari: Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-
menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan
Pengawas Keuangan. Lain halnya dengan UUD 1945 pasca Amandemen
Keempat, di dalamnya tidak disebut secara jelas lembaga mana saja yang
termasuk “lembaga negara” atau alat kelengkapan negara dalam konsep
menjalankan atau menyelenggarakan fungsi negara.
Satu-satunya ‘petunjuk’ yang diberikan oleh UUD 1945 pasca
Amandemen adalah berdasarkan Pasal 24C ayat 2 yang menyebutkan
bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk
mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945.10 Berdasarkan Pasal ini terdapat dua jenis lembaga

8
Prof.Dr. Sri Soemantri, S.H., dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan
Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004.
9
Firmansyah Arifin, dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara
Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004.
10
Huruf miring dari penulis.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 107
Amandemen UUD 1945

negara yaitu:
1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
dan
2. Lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan peraturan
lain, dalam hal ini bisa berasal dari Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, atau bahkan Keputusan Presiden.
Pembedaan lembaga negara berdasarkan peraturan yang menjadi
dasar pembentukannya sebetulnya tidak bertentangan dengan definisi
konseptual dari keberadaan alat-alat kelengkapan negara, asalkan lembaga-
lembaga ini memang membentuk suatu kesatuan proses dalam menjalankan
fungsi pemerintahan negara. Yang menjadi permasalahan disini adalah bila
kemudian lembaga-lembaga yang kemudian meng’klaim’ diri sebagai
”lembaga negara” memiliki fungsi atau kewenangan yang saling tumpang
tindih atau bahkan berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, ketidakjelasan
yang dinamakan lembaga negara juga dapat menimbulkan konsekuensi
yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karena
lembaga-lembaga ini dibayai dari APBN.
Karena satu-satunya pasal yang menjelaskan tentang Lembaga
Negara adalah pasal yang notabene merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, seharusnya jawaban ada pada lembaga yang baru terbentuk
ini. Dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) yaitu Keputusan Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang
perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
terhadap UUD 1945, ada sedikit penjelasan mengenai ”status lembaga
negara”. Meskipun perlu diingat bahwa Keputusan MK sifatnya tidak harus
menjadi jurisprudensi dan otomatis berlaku untuk lembaga lainnya dengan
kata lain, keputusan MK sifatnya per kasus saja, namun penjelasan MK
tentang ”lembaga negara” dalam keputusan ini cukup relevan dan bahkan
penting untuk dibahas. Dalam kasus ini salah satu permohonan yang
diajukan Pemohon11 adalah:
(Point ) 2. Penjelasan tentang KPI sebagai Lembaga Negara.
Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002: KPI sebagai
lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai
penyiaran.
11
Terdiri dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Assosiasi Televisi
Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), dan Komunitas
Televisi Indonesia (KOMTEVE).
108 Reformasi Hukum

Ihwal “lembaga negara” ini membutuhkan suatu pengaturan


konstitusional satu dan lain hal untuk memberikan kejelasan karena sekarang
begitu banyak lembaga yang masuk dalam kategori auxiliaries state
agencies seperti Komnasham, KPK, KPKPN, Ombudsman, KHN, KPPU
dsb. Adalah tugas MK sebagai `the ultimate interpreter of Constitution’
(guardian of Constitution) untuk membuat klarifikasi konstitusional
mengenai apa yang disebut “lembaga negara” agar nantinya tidak ada
konflik interpretasi. Jadi Para Pemohon bukannya anti status lembaga
negara, tetapi dalam formatnya yang sekarangbisa saja “lembaga negara”
seperti KPI dikategorikan sebagai sesuatu yang inkonstitusional.12
Sehubungan dengan permohonan ini, hakim Mahkamah Konstitusi
menjelaskan dalam Pertimbangannya bahwa terdapat dua pembedaan
makna yang signifikan dari penyebutan lembaga negara dengan
menggunakan huruf kecil dan huruf kapital pada L dan N. Yang dimaksud
“Lembaga Negara” tidak sama dengan “lembaga negara”. Penyebutan
suatu lembaga sebagai “lembaga negara (dengan huruf kecil)” tidak berarti
memberikan status “Lembaga Negara” pada lembaga yang
bersangkutan.13 Hal ini dalam pertimbangan MK semata-mata karena
dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya KPI mendapatkan sumber
dana dari negara melalui mekanisme yang berlaku yaitu APBN.14
Dalam penjelasan selanjutnya MK menjelaskan tentang kelahiran
institusi-insitusi demokratis dan “lembaga-lembaga negara” dalam berbagai
bentuk diantaranya yang paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk
komisi-komisi. Dalam penjelasan MK disebutkan bahwa:
Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah
konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara
lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan
yang lebih besar.15
Adapun dalam amar putusan MK tentang kasus ini, MK menyatakan
bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah “lembaga negara”
tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan
dalam UUD 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi,
12
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara
permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945
halaman 3-4.
13
Ibid, hal. 21.
14
Ibid.
15
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara
permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945
halaman 21-22.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 109
Amandemen UUD 1945

tapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah
dari peraturan di bawah konstitusi, seperti UU dan bahkan Keppres.16
Satu point penting lainnya adalah bahwa dalam salahh satu amar putusannya
MK menyatakan bahwa lembaga negara seperti KPI tidak boleh secara
sekaligus memiliki dan melaksanakan kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yustisi, karenanya KPI yang tujuan awalnya merupakan sebuah lembaga
pengawas, tidak boleh memiliki wewenang membuat peraturan pemerintah
khusus di bidang penyiaran dan MK mengembalikan wewenang ini kepada
Presiden (eksekutif).17
Berdasarkan analisa dan pertimbangan yang diberikan oleh MK ini,
bisa diambil beberapa kesimpulan penafsiran yuridis atas istilah lembaga
negara:
1. “Lembaga Negara” (huruf kapital pada L dan N) harus dibedakan
dengan “lembaga negara” (huruf kecil pada l dan n) karena kedua
penyebutan itu memiliki status dan konsekuensi yang berbeda.
Sayangnya, MK tidak mengelaborasi lebih lanjut lembaga mana
saja yang dimaksud dengan “Lembaga Negara” dan apa
kriterianya;
2. Penyebutan “lembaga negara” (dengan huruf kecil) ditujukan untuk
lembaga-lembaga yang dibiayai oleh negara yaitu melalui APBN,
dimana lembaga ini merupakan lembaga yang independen dan
bebas dari kekuasaan manapun.
3. Komisi independen (merujuk pada KPI sebagai “lembaga negara”)
bertujuan untuk menjalakan prinsip check and balances untuk
kepentingan publik.
4. ‘lembaga negara” tidak boleh melaksanakan secara sekaligus
fungsi legislatif, eksekutif dan yustisi berdasarkan prinsip
pembatasan kekuasaan negara hukum.18
Secara eksplisit MK membedakan antara “status” Lembaga Negara
(huruf kapital) dengan lembaga negara (huruf kecil), meski tidak dijelaskan
apa perbedaan statusnya ini. Namun jika dihubungkan dengan Pasal 24C
ayat 2, status ini bisa berdasarkan kewenangan yang diberikan melalui
UUD atau bukan UUD, atau status sebagai Lembaga Negara yang sifatnya
politis (political institutions) atau bukan. Selain itu, pembatasan yang
berhubungan dengan “lembaga negara” adalah bahwa “lembaga negara”
16
Ibid, hal. 79.
17
Ibid, hal. 80.
19
Ibid, hal. 80.
110 Reformasi Hukum

tidak boleh secara sekaligus melaksanakan tiga fungsi negara yang paling
pokok yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yustisi. Pembatasan ini penting
sebagai sebuah pedoman dalam menentukan kewenangan “lembaga
negara”.
Dengan demikian, lembaga-lembaga yang disebut dalam UUD 1945
pasca Amandemen, diantaranya adalah DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, Menteri-Menteri, Pemerintah Daerah, BPK, MK, MA, Komisi
Yudisial, bank sentral, Kepolisian, dan TNI. Jika merujuk pada argumen
bahwa yang dimaksud Lembaga Negara adalah sebagai institusi politik,
dalam hal ini untuk menjalankan fungsi check and balances antar lembaga
pelaksana fungsi-fungsi negara, maka pilihannya menjadi hanya: DPR dan
DPD (sebagai pelaksana fungsi legislatif), Presiden dan Wakil Presiden
(dalam hal ini beserta Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden), serta
MA (sebagai pelaksana fungsi yudikatif).19 Hal ini berkaitan dengan asas
check and balances antar fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa diambil dua kategori besar
lembaga negara yaitu “Lembaga Negara” (dengan huruf kapital) yang
apabila kita kembali pada konsep negara, fungsi negara dan alat-alat
kelengkapan negara, maka pengertian ini harus dipersempit menjadi
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan, dalam hal ini
adalah eksekutif dan legislatif. Selain itu ada “lembaga negara” (huruf
kecil) yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan dan lembaga negara
yang berfungsi sebagai “pengawas” jalannya pemerintahan.
Sebagai kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan di atas,
ada dua macam lembaga negara, yaitu pertama, lembaga negara yang
kewenangannya diberikan berdasarkan UUD 1945. Untuk lembaga negara
yang diatur dalam UUD 1945 ini, bisa dibagi dua kembali yaitu Lembaga
Negara (dicetak dengan huruf kapital pada huruf L dan N) yang
berdasarkan Pasal 24C bisa menjadi pihak di MK; dan lembaga negara
(huruf kecil) yang tidak bisa menjadi pihak dalam sengketa antar lembaga
negara di MK. Lembaga negara yang kedua adalah lembaga-lembaga
negara yang dasar hukum pembentukannya selain dari UUD 1945 atau
dengan kata lain lembaga negara (huruf kecil) yang kewenangannya
diberikan oleh peraturan lain di luar UUD 1945. Lembaga ini selain
berfungsi sebagai watchdog institutions dari jalannya pemerintahan
negara, juga sebagai.
19
Lihat Bintan R. Saragih, 2004, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan Struktur
Pemerintahan Terkini, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, Hotel Menara
Peninsula, Jumat, …Oktober 2004.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 111
Amandemen UUD 1945

C. Lembaga-lembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan


Indonesia Terkini
Secara spesifik, tidak ada dua atau lebih lembaga yang memiliki fungsi
atau kewenangan yang sama. Hanya saja, dalam melaksanakan fungsi
dan kewenangannya, dalam hal ini karena adanya interaksi antar lembaga,
ada kemungkinan terjadinya tumpang tindih atau overlapping atau bahkan
konflik. Secara struktural juga masih terdapat hubungan-hubungan antar
negara yang belum tegas. Jika mengacu pada penjelasan sub-bab
sebelumnya, maka secara sederhana kedudukan lembaga-lembaga negara
yang ada bisa digambarkan sebagai berikut.
Bagan 1

Ada beberapa hubungan yang terbentuk dalam kelembagaan negara


pasca Amandemen UUD 1945, diantaranya adalah:
1. Hubungan fungsional
a. Hubungan antara DPR/DPD dengan Presiden dalam membuat undang-
112 Reformasi Hukum

undang dan anggaran belanja negara juga untuk menyampaikan usul,


pendapat serta imunitas;
b. Hubungan antara DPR dengan DPD dalam membuat peraturan atau
kebijakan yangg berhubungan dengan otonomi daerah;
c. Hubungan antara Komisi Yudisial dengan Presiden dalam pengangkatan
hakim (dalam konteks memberikan rekomendasi);
d. BPK dengan lembaga-lembaga negara lain (terutama Presiden dan
menteri-menteri) dalam penyelenggaraan keuangan lembaga-lembaga
tersebut;
e.Komisi Pemilihan Umum dengan pemerintah dalam menyelenggarakan
pemilihan umum;
f. Komisi Hukum Nasional dengan Presiden untuk memberikan pendapat
tentang kebijakan hukum dan masalah-masalah hukum serta membantu
Presiden sebagai panitia pengarah dalam mendesain pembaruan hukum;
g. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung
(Pemerintah) dalam melakukan penyelidikan atas dugaan kasus korupsi;
2. Hubungan pengawasan
a.Hubungan antara DPR dengan Presiden dalam melaksanakan
pemerintahan;
b. Hubungan antara DPD dengan pemerintah pusat dan daerah khususnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah;
c. MA dengan Presiden untuk menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang;
d.MK dengan pembentuk UU (dalam hal ini DPR/DPD dan Presiden)
untuk menguji konstitusionalitas UU;
e. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Pemerintah;
f.Komisi Ombudsman Nasional dengan Pemerintah dan aparatur
pemerintah, aparat lembaga negara, lembaga penegak hukum dan
peradilan dalam pelaksanaan pelayanan umum agar sesuai dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik (good governance).
3. Hubungan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
a. MK dengan lembaga-lembaga negara lain, untuk menyelesaikan
sengketa kewenangan antar lembaga negara;
b. MK dengan penyelenggara pemilu untuk menyelesaikan
4. Hubungan pelaporan atau pertanggungjawaban
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 113
Amandemen UUD 1945

a. DPR/DPD dalam MPR dengan Presiden;


b. DPR dengan Komisi-komisi negara seperti Komnas HAM, Komisi
Ombudsman Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan;
c. Presiden dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
Pada dasarnya, konsep kelembagaan negara selain harus memiliki
fungsi dan kewenangan yang jelas juga harus membentuk suatu kesatuan
yang berproses dalam melaksanakan fungsi-fungsi negara dalam sistem
pemerintahan secara aktual. Meski dalam konteks kelembagaan negara
sekarang ada banyak lembaga negara yangg sifatnya independen dan lepas
dari pengaruh kekuasaan inti negara (kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif), namun secara fungsional harus memiliki keterkaitan dengan
lembaga negara lain, terutama lembaga negara yang diawasinya dan juga
harus jelas kepada siapa lembaga-lembaga ini harus bertanggung jawab
(akuntabilitasnya). Dengan jelasnya fungsi dan akuntabilitas lembaga-
lembaga negara yang ada, lembaga-lembaga ini akan memiliki ”kekuatan
hukum” dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya.
Lembaga-lembaga negara yang berfungsi sebagai watchdog
institutions di Indonesia dalam dasar hukumnya memiliki kewajiban
memberikan laporan kepada DPR dan memberikan rekomendasi kepada
lembaga yang diawasinya. Namun jika melihat kepada kewajiban
memberikan laporan ini, terlihat ada ketidaktegasan akuntabilitas lembaga-
lembaga negara ini. Laporan dalam konsepnya tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, melaporkan tidak berarti harus mempertanggung
jawabkan kinerjanya kepada DPR.
Selain itu kewenangan memberikan rekomendasi kepada lembaga yang
diawasi juga tidak memberikan suatu ketegasan secara yuridis kepada
lembaga yang bersangkutan. Rekomendasi yang sifatnya tidak mengikat
ini pada akhirnya kembali pada lembaga negara yang diawasinya apakah
akan dilaksanakan atau tidak. Misalnya saja dalam kasus Komnas HAM,
meski setelah dilakukan penyelidikan mengenai pelanggaran HAM yang
terjadi, kemudian Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Jaksa
Agung, tapi dalam banyak kasus Jaksa Agung bisa saja ”mengabaikan”
rekomendasi Komnas HAM dan tidak menindak lanjuti rekomendasi yang
diberikan Komnas HAM. Demikian juga halnya dengan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi atau Komisi Ombudsman Nasional.
114 Reformasi Hukum

Hal yang juga penting berkaitan dengan masalah independensi lembaga-


lembaga negara adalah masalah sumber keuangan lembaga-lembaga
tersebut. Apabila kita hendak mengambil rujukan tentang ”lembaga negara”
sebagai lembaga-lembaga independen yang sumber dananya berasal dari
APBN, maka harus ada konsistensi bagi semua lembaga yang ada. Dalam
kenyataannya, ada suatu lembaga yang krusial melaksanakan fungsi
pengawasan atas pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan negara oleh
eksekutif, khususnya, yaitu Komisi Ombudsman Nasional yang sumber
dananya berasal dari Sekretariat Negara yang berkoordinasi dengan
Menteri Keuangan (lihat Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional jo. Keppres No. 66 Tahun 2002 tentang Honorarium
Bagi Ketua, Wakil Ketua, Anggota, Tenaga Tim Asistensi, Dan Staf
Administrasi Kesekretariatan Komisi Ombudsman Nasional). Dilihat dari
segi ini maka secara struktural ”agak janggal” jika menempatkan lembaga
ini sebagai lembaga yang independen, jika sumber dananya berasal dari
salah satu institusi pembantu Presiden, yaitu Sekretariat Negara.
Berkaitan dengan hal ini, penjelasan MK dalam Keputusannya tentang
KPI yang berhubungan dengan sumber dana lembaga negara dan
independensi lembaga yang bersangkutan mungkin bisa dijadikan suatu
bahan analisa, bahwa independensi suatu lembaga negara (dalam hal ini
KPI) tidak semata-mata diukur berdasarkan sumber dananya tapi pada
integritas dan profesionalisme anggota-anggotanya. Dan prinsip utama
yang harus dimiliki lembaga-lembaga negara yang ada ini adalah:
keterbukaan, transparan dan akuntabel.20
Hal yang paling penting mengenai keberadaan lembaga-lembaga negara
yang berfungsi sebagai watchdog institutions adalah sejauh mana lembaga
yang ada bisa melaksanakan kewenangannya jika berhubungan dengan
lembaga lain. Misalnya Komnas HAM jika telah memperoleh bukti
pelanggaran HAM berat dan mengajukan rekomendasi kasus ke Jaksa
Agung. Yang terpenting dari hal ini adalah sejauh mana lembaga lain
mengakui kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga yang ada.
Akhirnya, ada setidaknya tiga rekomendasi dalam hal reformasi
kelembagaan negara pasca Amandemen UUD 1945 ini diantaranya adalah
bahwa dasar hukum dari lembaga-lembaga negara (terutama yang dibentuk
bukan oleh UUD 1945) harus dikonsistenkan, dalam hal ini dalam bentuk
yang memiliki kekuatan hukum paling kuat seperti UU yang dibuat
20
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003 tentang perkara
permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945
halaman 15.
Reformasi Kelembangaan Negara Pasca 115
Amandemen UUD 1945

bersama-sama antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hal ini penting


selain untuk mengontrol fungsi lembaga negara yang ada melalui peraturan
perundang-undangan, juga untuk mempertegas kedudukan lembaga negara
yang bersangkutan sehingga fungsi dan kewenangannya diakui oleh
lembaga-lembaga lain, terutama lembaga yang berhubungan langsung
dengan pelaksanaan fungsi dan kewenangannya itu.
E. Potensi Konflik Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Negara
Konflik antar lembaga negara yang pernah terjadi di Indonesia pada
khususnya, kadang sukar dibedakan dengan yang dinamakan konflik elit
politik. Karena dalam banyak kasus konflik antarlembaga negara, yang
justru paling banyak bukanlah konflik antar lembaga yang berasal dari
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya atau konflik yang berasal
dari fungsi dan kewenangannya, namun lebih merupakan konflik yang
sifatnya politis dalam rangka melindungi kepentingan masing-masing elit
politik, baik kepentingan pribadi maupun kelompok politiknya (dalam hal ini
partainya). Konflik elit yang sifatnya politis ini biasanya akan diselesaikan
secara ”non-hukum” pula. Mekanisme penyelesaian konflik yang bersifat
”non-hukum”, misalnya melalui lobi politik atau melalui politik kekuasaan
dari salah satu lembaga negara. Dampak mekanisme ini secara juridis
dalam relasi antar lembaga-lembaga negara. Ketidaktransparanan
mekanisme non-hukum ini dapat mengakibatkan pihak tertentu yang
dirugikan atau bahkan dilanggar haknya. Selain itu, proses yang seperti ini
akan semakin menambah ketidak jelasan penegakan hukum –khususnya
hukum tata negara- di Indonesia dan hanya berdasarkan pada lobi-lobi
yang sifatnya politis semata. Lobi ini dikhawatirkan memiliki kepentingan
politis para elite politik saja tanpa memperhatikan kepentingan publik secara
keseluruhan. Namun, dalam banyak kasus di Indonesia, justru lobi politik
atau jalur penyelesaian konflik yang non-hukum ini yang bisaanya lebih
berperan dalam ”menyelesaikan” konflik. Maksud menyelesaikan di sini
tidak selalu berarti semua pihak menjadi puas atas hasilnya, ”menyelesaikan
disini bisa diartikan pula sebagai ”menghentikan konflik” dengan berbagai
macam jalan, meski akibatnya bisa merugikan hak-hak hukum atau hak
politik pihak tertentu.
Dalam jangka panjang, apabila demokrasi kita sudah mapan, konflik
elit diselesaikan melalui wadah dan mekanisme demokrasi, seperti pemilihan
umum dan parlemen. Dengan menggunakan argumen dan persuasi (di
parlemen dan media, misalnya), atau dengan berusaha meraih angka yang
lebih banyak (dalam pemilu, misalnya), elit berlomba merebut pengaruh
dan kekuasaan. Dalam situasi yang normal seperti itu, kekerasan tidak
116 Reformasi Hukum

mendapatkan tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan, kecuali


kekerasan yang menjadi kewenangan polisi dan tentara.
Dalam era transisi, penanganan dan penyelesaian konflik elit dapat
dilakukan melalui perundingan dan rembukan dalam rangka mencari
kompromi, menyelesaikan perbedaan pendapat, dan mengatur hubungan
di antara mereka. Elit kita sudah sering melakukannya – misalnya yang
diadakan di Kraton Ngayogyakarta beberapa bulan lalu, atau pertemuan
Ciganjur, dan beberapa pertemuan lain. Sekarang pun, beberapa tokoh
masyarakat dan pemerintahan kembali mengulangi perlunya elit nasional
duduk bersama menyelesaikan konflik mereka.
Referensi
Bintan R. Saragih, 2004, Komisi-komisi Negara dalam Sistem dan
Struktur Pemerintahan Terkini, Makalah, disampaikan dalam Diskusi
Terbatas KRHN, Hotel Menara Peninsula, Jumat, …Oktober 2004.
Bissera Zankova, 2002, The Independent Bodies and the State
Administrative Structure: The Case of Bulgaria, diambil dari <http://
venus.ci.uw.edu.pl/~rubikon/forum/bissera.htm> 4 Oktober 2004 .
Fink Haysom, 2001, dalam Firmansyah Arifin, 2004, Lembaga Negara
Pasca Amandemen UUD 1945, Apa Saja Problemnya?, Makalah,
disampaikan dalam Diskusi Terbatas KRHN, “Eksistensi Sistem
Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, Hotel Aryaduta,
Jakarta 9 September 2004.
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi,
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sri Soemantri, 1986, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut
UUD 1945, Bandung: Alumni.
Sri Soemantri, S.H., 2004, dalam Diskusi Terbatas tentang “Eksistensi
Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”,
diselenggarakan oleh KRHN, 9 September 2004.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 005/PUU-I/2003
tentang perkara permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran terhadap UUD 1945 halaman 3-4.
Dari Reformasi Hukum Sampai PILKADA 117

Resensi Buku

Judul : Berjalan-Jalan di Ranah Hukum


Pengarang : Prof.Dr.H.M.Laica Marzuki,S.H
Penerbit : Mahkamah Konstitusi
Tahun : 2006
Tebal : 296 hal

DARI REFORMASI HUKUM SAMPAI


PILKADA

“Hukum dan keadilan telah diperjualbelikan di pengadilan. Selama


ini – sejak beberapa tahun berselang- telah menurun kepercayaan
orang banyak terhadap dunia peradilan.Hukum di pengadilan telah
diperjualbelikan, bak bursa pasar yang acap kali dinamakan black
market justice “
(Laica Marzuki)

Buku ini memang berupa “bloemlezing” Laica Marzuki, guru besar


ilmu hukum Univresitas Hasanuddin Makassar, mantan Hakim Agung dan
sekarang sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Sebuah buku yang
memuat pikiran-pikiran lepas atau bunga rampai penulisnya, walaupun
demikian, penulis telah mengklasifikasinya dalam beberapa bagian. Pertama,
tulisan bertema Hukum Tata Negara . Kedua, tulisan yang bertema tentang
Mahkamah Konstitusi dan “Judicial Reveiew”. Ketiga, tulisan yang bertema
otonomi daerah. Keempat, tulisan mengenai pilkada dan terakhir mengenai
Penegakan Hukum. Laica juga menambahkan prolog dan satu tulisan di
bagian terakhir, diambil dari orasi penulis saat pengukuhannya menjadi
guru besar ilmu hukum pada Universitas Hasanuddin Makassar. Judul orasi
itu, “Perjanjian Pemerintahan (governmental contract) pada kerajaan-
kerajaan Bugis- Makassar”.
HUKUM BAGIAN DARI KEBUDAYAAN
Laica membuka bukunya dalam prolog dengan membahas hukum
sebagai bagian dari kebudayaan. Ia menulis bahwa reformasi yang telah
terjadi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto telah
melahirkan tuntutan reformasi di segala bidang kehidupan masyarakat.
Reformasi itu dipandang dapat merambah jalan menuju masyarakat
118 Reformasi Hukum

Indonesia baru yang lazim dirumuskan dengan penamaan “civil society”


atau masyarakat madani. Dan reformasi yang telak terjadi – harus-
membawa perubahan. Reformasi menuntut penggantian radikal, semua
sarana dan partikel bangunan masyarakat lama dalam makna “Unwertung
aller Werte”, terutama pegeseran nilai-nilai lama yang mengarah pada
terbentuknya masyarakat madani dan mau tidak mau juga adanya reformasi
hukum. Terakhir ini, diharapkan meluangkan jalan legalitas dan
pemberdyaan hukum ke arah perwujudan masyarakat baru. Hukum yang
menjadi bagian dari budaya itu sendiri.
Bagi penulis, hukum sebagai bagian dari kebudayaan dan merupakan
refleksi sistem nilai budaya masyarakat. Untuk mengukuhkan pengertian
ini, penulis memperjelas arti kebudayaan dan sistem sosial dengan mengutip
pandangan beberapa pakar kebudayaan seperti Koentjaraningrat, Mattulada,
yang menggunakan teori tindakan Talcott Persons.
Laica pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa dalam teori ilmu sosial
dikenal adanya “wujud kebudayaan dan isi kebudayaan”. Hukum sebagai
bagian kebudayaan juga adalah produk kebudayaan. Hukum merupakan
bagian nilai-nilai etika yang terdapat pada wujud sistem budaya (culture
system) yang antara lain berupa perasaan hukum, kesadaran hukum, asas-
asas hukum serta kaidah hukum. Hukum yang terdapat dalam wujud sistem
sosial contohnya : antara lain, aktivitas (kegiatan) para pembuat undang-
undang (legislators) aparat penegak hukum. Pada wujud kebudayaan phisik,
contoh : antara lain, perlatan phisik hukum, gedung perlemen, toga hakim
dll. Sementara hukum dalam dimensi isi kebudayaan, hukum merupakan
sub unsur dalam organisasi sosial. Apabila kedua dimensi dirangkaikan
maka akan tampak dalam diagram matriks seperti berikut : (Lihat Gambar)
REFORMASI HUKUM NASIONAL
Laica memperkuat pendapat bahwa reformasi hukum nasional
bermula dari reformasi konstitusi, seperti pendapat Harun Alrasid yang
dikutip dalam buku ini. Bahwa reformasi hukum yang tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, mengacu pada undang-undang
dasar. Untuk menghindar dari lingkaran yang tidak berujungpangkal, maka
seharusnyalah dimulai dengan penyusunan undang-undang baru.
Hal ini lebih beralasan, karena UUD l945 sejak disahkan memang
bersifat sementara, tidak dapat lagi mengakomodasi pemberdayaan
kedaulatan rakyat serta kehidupan demokrasi menuju “civil society”.
Adapun perubahan UUD l945 (1999,2000, 2001) yang sudah dilakukan
sejak lahirnya reformasi, diharapkan dapat merambah lahirnya suatu
Dari Reformasi Hukum Sampai PILKADA 119

undang-undang dasar
yang baru. Faktor lain,
karena karakteristik
dan asas hukum dalam
peraturan perundang-
undangan sudah
bercampuraduk,
Eropah continental,
Anglo Saxon dan
itulah yang membuat
wajah hukum di
negeri ini, bagaikan
kepingan bahan keras
berwarna, disusun
dan direkat seperti
mozaik. Menurut
Laica, unifikasi
hukum nasional yang
idiil adalah
mengakomodasi
perangkat kodifikasi-kodifikasi hukum, namun tetap memerhatikan pelbagai
nilai hukum yang masih hidup dalam masyarakat.
Pada dua bab berikutnya, Laica menuangkan enam tulisan yang
bertema hukum tata negara dan empat tulisan mengenai Mahkamah
Konstitusi dan “judicial review”.Empat tulisan lainnya mengenai otonomi
daerah serta dua tulisan mengenai pilkada.
Hampir rata-rata tulisan pada bab ini, hanya bernilai informatif, terutama
tulisan yang berjudul “Sudi Mampir di Mahkamah Konstitusi”, Laica
menghabiskan beberapa halaman memuat peraturan Mahkamah Konstitusi
tentang Pedoman Beracara dalam perkara Pengujian Undang-undang
Mahkamah Konstitusi Rep.Indonesia. Laica hanya menengahi, bahkan
seperti memberikan penjelasan saja dalam setiap akhir tulisan pada subjudul
“Post Scriptum”. Pada akhir setiap tulisan, Laica tidak membuat
kesimpulan.
Tulisan terakhir pada inti buku, berjudul : Membangun Sistem
Penegakan Hukum yang Akuntabel”. Pada tulisan ini, Laica berbicara
mengenai perlunya penegakan hukum (“Law enforcement”) dengan
mengutip Apeldoorn, pakar hukum Belanda yang bukunya jadi buku
120 Reformasi Hukum

“babon” dipakai mahasiswa hukum kita di Indonesia sejak tahun


limapuluhan.. Apeldoorn mengatakan bahwa bagi orang awam yang tidak
mengerti tentang hukum, persepsinya mengenai hukum hanyalah mengenai
sosok hakim, advokat, juru sita, polisi. Karena itu, orang awam hanya
melihat apa yang mereka temukan, mereka itu para aparat, juru sita, advokat
dan simbol-simbol hukum yang nyata lainnya. Maka hendaknya, menjadi
keharusan dalam negara adanya pemerintahan yang bersih (clean
government). Karena hanya dengan aparat hukum yang profesional dan
bersih, tidak korup dan akuntabel yang akan mendapat dukungan dan
kepercayaan dari rakyat banyak (“public trust”). Darimana memulai
terwujudnya penegakan hukum yang akuntabel ? Menurut Laica, dimulai
dengan pemberian jaminan kemandirian (selbstandig) bagi institusi
penegakan hukum oleh pemerintah, serta didukung oleh aparat yang
profesional, bersih, jujur, tidak korup.
Dengan contoh berbagai pernyataan lembaga internasioal pemantau
korupsi yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara peringkat
tertinggi dalam hal korupsi, Laica berpendapat bahwa korupsi di negeri ini
bukan hanya karena lemahnya upaya penegakan hukum, tetapi aparat
penegak hukum itu sendiri bagian dari kondisi kerawanan korupsi, termasuk
korupsi di pengadilan.
Selama ini menurut Laica – sejak beberapa tahun berselang”- telah
menurun kepercayaan orang banyak terhadap dunia peradilan. Hukum
dan keadilan telah diperjual belikan di pengadilan, bak bursa pasar yang
acap kali dinamakan “black market justice” . Karena itu Komisi Yudisial
menurut Laica harus segera didayagunakan, bukan saja merekrut calon
hakim agung yang bersih, tetapi dapat turut mengawasi “judge conducts”
yang merusak citra dunia peradilan kita.
Tidak lengkap rasanya jika tidak disinggung bagian akhir tulisan dalam
buku ini, yang juga mungkin sebagai “epilog”. Tulisan ini, diambil dari orasi
Laica Marzuki ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2005. Judul
tulisan terakhir; Perjanjian Pemerintahan (governmental contract) pada
kerajaan-kerajaan Bugis- Makassar. Orasi ini menarik, karena
menunjukkan bahwa dalam masa kejayaan kerajaan bagi orang Bugis-
Makassar, ada praktek kontradiktif yang menjadi kearifan lokal mereka.
Bahwa di dalam kehidupan kerajaan Bugis Makassar yang feodalistis,
ternyata dipraktekkan pula sifat-sifat demokratis dalam hubungan raja dan
kawula (rakyat). Bahwa dalam praktek pemerintahan, penguasa tidak
boleh zalim, semena-mena memerlakukan para kawula atau rakyatnya.
Dari Reformasi Hukum Sampai PILKADA 121

Laica memberikan bukti-bukti sejumlah raja atau “arung” dimakzulkan oleh


rakyatnya dengan paksa ataupun dengan damai. Karena dalam sistem
pemerintahan kerajaan di Bugis Makassar, raja sudah menandatangani
sebuah kontrak – perjanjian- dengan rakyatnya sebelum dinobatkan. Dalam
perjanjian tersebut, dinyatakan klasula-klasula yang mengikat bagi raja
dalam memerlakukan rakyatnya. Jika klasula tersebut diingkari, maka raja
bisa turun tahta atas kehendak rakyatnya. Inilah contoh sebuah praktek
demokrasi lokal yang bisa menjadi pelajaran untuk kita. Bandingkan misalnya
sistem kekuasaan di Jawa, dimana raja tidak bisa diturunkan atau diganti
oleh rakyat, karena kekuasaan raja bersumber dari “wahyu”, sesuatu
yang tidak nyata atau “intangible” (lihat : The Idea of Power in Javanese
Culture : Ben Anderson, Cornell,Ithaca).
Pada dasarnya buku Laica Marzuki Berjalan-jalan di Ranah Hukum,
menarik. Mungkin tepat dibaca oleh mahasiswa tahun awal, pejabat
pemerintahan dan pemerhati masalah hukum. Buku ini sangat informatif
dan tidak berpretesi ilmiah. (V.A.SAPADA)
122 Reformasi Hukum

Biodata Penulis
• Denny Indrayana adalah dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada. Ia lulus PhD dari University of Melbourne pada
tahun 2005; LL.M. dari University of Minnesota tahun 1997 dan Sarjana
Hukum dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1995. Saat ini Denny
juga aktif sebagai Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM
dan Direktur Indonesian Court Monitoring. Kegiatan intelektualnya semakin
lengkap dengan menulis ratusan kolom di berbagai media massa nasional.
• Prof. Dr. Satya Arinanto, adalah Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Pria kelahiran Surabaya 16 November 1965, meraih
gelar SH (1990), Magister Hukum (1997) dan Doktor (2003) semuanya
dari Universitas Indonesia. Selain menjadi pengajar Hukum Tata Negara,
juga menjabat Wakil Direktur II Bidang Penelitian dan Pengembangan
Pusat Studi Jepang UI.
• A. Ahsin Thohari, adalah Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas
Trisakti, Jakarta dan Staf Direktorat Tata Negara Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Mata kuliah yang diasuhnya
adalah Hukum Konstitusi dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Karya-
karyanya yang telah diterbitkan menjadi buku adalah Komisi Yudisial &
Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/
ELSAM, 2004) dan Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004).
• Topo Santoso adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak
1993. Ia juga pernah diangkat menjadi anggota Panwaslu (Pusat) tahun
2003-2004. Saat ini ia menjadi Kandidat Ph.D di Faculty of Law, University
of Malaya, Malaysia dan juga merangkap sebagai National Advisor untuk
Security and Justice Governance di Partnership for Governance in
Indonesia, sejak Oktober 2006. Jabatan lain yang diembannya adalah sebagai
Wakil Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM),
sejak 2004 - sekarang.
• Susi Dewi Harijanti, Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran dan Wakil Ketua Paguyuban Hak Asasi Manusia
(PAHAM) pada lembaga yang sama. Melbourne University, Kadindat
Doktor Melbourne.
• Lilis Mulyani, adalah staf peneliti bidang hukum di LIPI dan The Habibie
Center. Menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Padjadjaran
Bandung dan lulus tahun 1998, kemudian setelah menjadi pegawai LIPI
melanjutkan program Master bidang Public and International Law di
University of Melbourne, dan lulus tahun 2004. Saat ini ia aktif melakukan
kajian dalam bidang HAM dan konstitusi.

You might also like