You are on page 1of 21

Referat

PIODERMA

Oleh:

Sy. Maryam Hanina, S.Ked

04054821820015

Pembimbing:

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

Pioderma

Oleh

Sy. Maryam Hanina, S.Ked

04054821820015

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi RSUP Dr. Mohammad
Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 15 April – 20 Mei 2019.

Palembang, April 2019

Pembimbing,

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV

2
PIODERMA

Sy. Maryam Hanina, S.Ked


Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2019

PENDAHULUAN
Pioderma merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus atau Streptococcus Grup A.1 Prevalensi pioderma di dunia menduduki tempat pertama
untuk penyakit kulit yaitu kisaran 0,2-35%.2 Prevalensi pioderma di Indonesia 1,4% pada dewasa,
dan 0,2% pada anak.2 Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, kejadian pioderma menduduki tempat ketiga dan berhubungan erat dengan
keadaan sosial ekonomi.1 Prevalensi pioderma di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun
2018 kisaran 4,6%.3 Pioderma dapat terjadi pada semua usia, ras dan jenis kelamin. Pioderma,
namun lebih banyak terjadi pada laki-laki.4,5
Bakteri penyebab pioderma adalah S. aureus dan Streptococcus group A. Patogenesis
kelainan kulit yang ditimbulkan dapat langsung akibat mikroorganisme patogen pada epidermis,
dermis, atau endotel kapiler dermis, dapat juga disebabkan respon imun antara organisme dan
antibodi atau faktor seluler pada kulit.4 Faktor predisposisi pioderma yaitu higienitas yang
kurang, menurunnya daya tahan tubuh, hunian yang padat, kelembaban yang tinggi, atau telah ada
penyakit lain dikulit seperti gigitan serangga, herpes simpleks,varisela, abrasi,dan luka bakar.1,4,5
Manifestasi klinis pioderma bervariasi, tergantung organisme penyebab dan lokasi infeksi.
Pioderma terdiri dari pioderma superfisial dan pioderma profunda. Yang termasuk pioderma
superfisial yaitu impetigo bulosa, impetigo nonbulosa, ektima, folikulitis, furunkel, dan karbunkel.
Yang termasuk pioderma profunda yaitu erisipelas, selulitis, flegmon, abses multipel kelenjar
keringat, dan hidradenitis.4,7
Pemeriksaan penunjang pioderma terdiri dari pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan
penunjang dermatologi dan pemeriksaan biakan bakteri.8,9 Tatalaksana pada pioderma berupa
edukasi, terapi topikal, terapi sistemik.
Pioderma merupakan salah satu kondisi klinis yang sering ditemui dalam penyakit kulit.
Untuk itu referat ini bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai pioderma diharapkan dokter
umum mampu mendiagnosis pioderma dan melakukan tatalaksana secara tuntas, sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia untuk pioderma, yaitu 4A. Referat ini membahas
etiopatogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan tatalaksana dari pioderma.

3
ETIOPATOGENESIS
Bakteri penyebab pioderma adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Group A.
Patogenesis kelainan kulit yang ditimbulkan dapat langsung akibat mikroorganisme patogen pada
epidermis, dermis, atau endotel kapiler dermis, dapat juga disebabkan respon imun antara
organisme dan antibodi atau faktor seluler pada kulit. Tahap pertama pertahanan
adalahmekanisme anti-bakteri yang tidak tergantung pengenalan antigen. Kulit dan permukaan
epitel mempunyai sistem non-spesifik atau innate protective system yang membatasi
masuknya organisme invasif. Sistem imun pada kulit yaitu sel langerhans, sel endotel, keratinosit
dan sel lainnya ikut berpartisipasi dalam skin associated lymphoid tissue (SALT). Ketika
mikroorganisme menembus barier, kulit akan merangsang respons imun. 3,9,10
Bakteri mempunyai banyak antigen permukaan yang berbeda dan mengeluarkan bermacam-
macam faktor virulen (toksin) yang dapat merangsang respons imun. S. aureus merupakan kokus
Gram positif, fakultatif anaerob, merupakan patogen kulit yang paling prevalen.4,9,10
Pertahanan pertama terhadap S. aureus adalah leukosit PMN yang memfagositosis dan
membunuh bakteri. Staphylococcus aureus menghasilkan sejumlah faktor virulen termasuk toksin
yang menentukan patogenisitasnya. Staphylococcus aureus mengeluarkan exfoliative toxin yang
menyebabkan nekrolisis epidermis. Staphylococcus aureus juga memproduksi adhesin yang
memfasilitasi ikatan dengan permukaan epitel sel pejamu, sehingga dapat melawan sistem imun
innate pada kulit.4,10,11
Streptococcus group A merupakan kokus Gram positif, anaerob, menyebabkan infeksi
dengan mengeluarkan eksotoksin. Sub-tipe Streptococcus group A dibuat berdasarkan
antigenisitas protein M yaitu struktur fibriler dari permukaan sel. Serotipe protein M ini
menghambat fagositosis, mempermudah perlekatan ke sel pejamu, dan memungkinkan bakteri
tumbuh dalam darah manusia.4,10
Faktor predisposisi pioderma yaitu higienitas yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh,
hunian yang padat, kelembaban yang tinggi, atau telah ada penyakit lain dikulit seperti gigitan
serangga, herpes simpleks,varisela, abrasi,dan luka bakar.1,4,5

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pioderma bervariasi, antara lain pioderma superfisial dan pioderma
profunda. Yang temasuk pioderma superfisial adalah impetigo bulosa, impetigo nonbulosa, ektima,
folikulitis, furunkel, dan karbunkel.yang termasuk pioderma profunda: erisipelas, selulitis,
flegmon, abses multipel kelenjar keringat, dan hidradenitis.4,5,6

4
Pioderma Superfisial
- Impetigo
Impetigo adalah pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis). Impetigo terdiri dari dua
jenis yaitu, bulosa dan nonbulosa (krustosa)1,4,5,12

Tabel 1. Perbedaan impetigo non bulosa dan impetigo bulosa. 4,5


Impetigo Nonbulosa Impetigo Bulosa
70% semua kasus impetigo. Lebih sedikit dibandingkan
Banyak terjadi pada anak-anak. impetigo nonbulosa.
Paling sering terjadi pada
Epidemiologi neonatus, tetapi dapat
juga terjadi pada anak-anak dan
dewasa.
Awal: Makula eritema, satu buah Awal: vesikel kecil dengan luas
2-4mm yang dapat secara cepat 1-2cm pada bula superfisial.
menjadi vesikel atau pustul yang
akan berubah menjadi krusta. Lambat: Bula transparan, lunak,
Efloresensi dengan diameter 5cm disertai
Lambat: Erosi superfisial dengan skuama dan krusta yang
biasanya terdapat ‘honey colored’ tidak tebal, dan biasanya tidak
krusta kuning yang secara cepat ada eritem di sekitarnya.
menginfeksi di sekeliling kulit.
Wajah (sekitar hidung dan Wajah, batang tubuh, bokong,
Predileksi mulut) dan ekstremitas. perineum dan ekstremitas.
Mungkin terdapat limfadenopati Tidak disertai gejala sistemik
Gejala penyerta ringan, umumnya pembesaran tapi dapat disertai dengan
limfe regional. kelemahan.
Biasanya jinak, dan dapat Pasien yang tidak diobati dapat
sembuh dengan sendirinya. sembuh dalam 3-6 minggu.
Perjalanan Klinis Lesi yang tidak diobati
cenderung sembuh dalam dua
pekan tanpa adanya bekas luka

1.1 Impetigo Nonbulosa


Impetigo nonbulosa umumnya disebabkan oleh Streptococcus Group A. Infeksi dapat terjadi
pada trauma terbuka kulit seperti cacar, gigitan serangga, abrasi, laserasi, dan luka bakar.
Predileksi impetigo non bulosa adalah di wajah (sekitar hidung dan mulut) dan ekstremitas
(Gambar 1).1

5
Gambar 1. (A) Eritema dan krusta pada area hidung. (B) Eritema dan krusta pada area hidung
dan sekitar mulut. Dapat menyebar hingga regio centrofacial.5

1.2 Impetigo Bulosa


Impetigo bulosa lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan balita, ditandai oleh
perkembangan cepat dari vesikel ke bula kendur (Gambar 2A). Pada pemeriksaan didapatkan
Nikolsky sign negatif. Bula awalnya berisi cairan berwarna kuning jernih kemudian menjadi
kuning gelap dan keruh (Gambar 2B). Bula superfisial pecah dalam 1-2 hari, membentuk
krusta tipis berwarna coklat terang sampai keemasan. Bula hipopion khas pada impetigo
bulosa1,4,5

Gambar 2. (A) Lesi berupa vesikel dan bula kendur. (B)Vesikel multipel yang
jernih dan keruh yang secara cepat menyatu dari bula yang lunak5

Diagnosis banding impetigo non-bulosa dan bulosa sangat luas (Tabel 2), sehingga
penting untuk mengetahui riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
untuk menegakkan diagnosis.

6
Tabel 2. Diagnosis Banding Impetigo Non-Bulosa Dan Impetigo Bulosa.5

Impetigo Non Bulosa Impetigo Bulosa


Ektima Dermatitis kontak
Dermatitis atopik Staphylococcal scalded skin syndrome
Dermatitis seboroik Pemfigoid bulosa
Dermatitis kontak alergi Pemphigus vulgaris
Scabies Eritema multiform
Dermatitis herpetiform

- Ektima
Ektima adalah pioderma ditandai erosi atau ulkus berkrusta tebal, terjadi akibat impetigo
yang “terlantar” misalnya pada daerah yang tertutup pakaian atau alas kaki seperti yaitu pada
area tungkai bawah. (Gambar 3). Lesi diawali dengan vesikel atau vesikopustul yang membesar
dan pecah yang kemudian menjadi krusta tebal. Ketika krusta diangkat, terdapat ulkus berbentuk
seperti cekungan dengan dasar telah mencapai dermis dan tepi meninggi. Predileksi ektima
yaitu pada tungkai bawah, karena pada area tersebut sering terjadi trauma.4

Gambar 3. Lesi berupa krusta tebal berwarna


kekuningan pada area tungkai bawah.5

- Folikulitis
Folikulitis adalah pioderma yang dimulai dari folikel rambut, dan dibagi atas kedalaman
lesi (superfisialis dan profunda), dan etiologi mikrobial.4

1.1 Folikulitis superfisialis


Folikulitis superfisial atau biasa disebut impetigo folikuler atau Impetigo Bockhart
berbentuk pustul kecil, dan mudah pecah, berbentuk kubah biasanya terjadi pada infundibulum
dari folikel rambut, dan terjadi pada kulit kepala anak, daerah kumis, janggut (Gambar 4),
7
aksila, ekstremitas, dan bokong orang dewasa. Staphylococcal folikulitis umumnya di bokong
pada dewasa.1,2,4,6

Gambar 4. Multipel pustul pada area janggut5

1.2 Folikulitis Profunda


Sycosis barbae adalah folikulitis dengan peradangan perifolikuler dan biasa terjadi di
daerah jenggot dan atas bibir (Gambar 5). Lesi dapat menjadi dalam dan kronis jika tidak
diobati. 1,2

Gambar 5. Sycosis barbae. Folikulitis profunda pada regio oralis1

8
- Furunkel dan Karbunkel
1.1 Furunkel
Furunkel adalah infeksi folikel rambut dan sekitarnya, bentuk berupa nodul dalam.
Furunkel timbul dalam bagian rambut yang tertutup, perspirasi, seperti leher, wajah, aksila dan
bokong. Furunkel dapat merupakan komplikasi penyakit yang ada sebelumnya seperti dermatitis
atopik, ekskoriasi, abrasi, atau skabies. Berbagai faktor predisposisi furunkel yaitu obesitas,
defek fungsi neutrofil (defek pada kemotaksis terkait dengan eksim dan tinggi kadar IgE, dll),
pengobatan dengan glukokortikoid dan agen sitotoksik, dan defisiensi immunoglobulin. Lesi
berupa nodul folikulosentrik, eritem di bantalan rambut, disertai nyeri, dan berfluktuasi setelah
beberapa hari, yaitu mengalami pembentukan abses (Gambar 6). Kemudian pecah
mengeluarkan pus dan nekrotik. Rasa nyeri di sekitar lesi kemudian reda,
kemerahan, dan edema berkurang beberapa hari sampai beberapa pekan.1,2,12

Gambar 6. Furunkel dari bibir atas. lesi nodular, dan plug nekrotik ditutupi oleh krusta purulen.
Beberapa pustul kecil terlihat pada lateral lesi 5

1.2 Karbunkel
Karbunkel adalah gabungan furunkel. Nodul lebih luas, lebih dalam, saling berhubungan,
dan lesi infiltrasi, dapat berkembang ketika keluar nanah yang terjadi pada kulit inelastis.
Karbunkel memiliki lesi yang lebih besar dan serius, lesi inflamasi dengan basis lebih dalam,
biasa terjadi di leher, punggung, atau paha (Gambar 7).1,3,4,5

Gambar 7. Karbunkel
9
Lamanya lesi dari hari ke pekan ke bulan, dengan gejala pada kulit nyeri berdenyut dan
bengkak. Furunkel berawal dari nodul dengan konsistensi lunak, diameter 1-2 cm. Nodul
menjadi berfluktuasi, dengan pembentukan abses pada pustul. Nodul dengan sisa-sisa kavitasi
setelah drainase abses. Sebuah daerah variabel selulitis dapat mengelilingi furunkel tersebut.
Distribusinya yaitu setiap rambut-bantalan wilayah daerah janggut, posterior leher, dan oksipital
kulit kepala, aksila, bokong. Terdiri atas satu sampai beberapa buah. Karbunkel terdiri dari nodul
yang berdekatan, dan gabungan dari furunkel. Ditandai oleh beberapa dermal loculated dan
abses subkutan, pustul yang dangkal, area nekrotik, dan krusta.1,2,3
Diagnosis banding berupa ruptur epidermoid atau kista pilar, hidradenitis suppurativa
(aksila, paha, dan vulva), limfangitis nekrotik. Pemeriksaan penunjang gram didapatkan
Streptococcus gram positif dengan leukosit polimorfonuklear (PMN). Dermatopatologi Infeksi
piogenik pada folikel rambut sampai dermis dan jaringan subkutan (furunkel) dan abses yang
terlokalisir (karbunkel).1,2,3

Pioderma Profunda
- Eriseplas
Erisipelas merupakan penyakit infeksi bakteri pada dermis dan melibatkan sistem
limfatik.1,4,5 Penyebab umum dari erisipelas adalah Streptococccus Beta Hemolyticus.1,4 Setelah
masa inkubasi 2-5 hari, timbul gejala konstitusi berupa demam, menggigil, malaise, dan mual,
yang diikuti gejala utama berupa eritema berwarna merah cerah dan terbatas tegas serta disertai
panas, bengkak, pinggir meninggi, disertai tanda peradangan akut. Lokasi terjadi erisipelas di
kaki, tangan, dan wajah. Efloresensi dengan makula eritematosa numular hingga plakat, berbatas
tegas, edematosa, panas pada perabaan, dan nyeri tekan. Pada bagian tengah, ditemukan vesikel
miliar atau bula lentikular (Gambar 8).1,2,3,10

Gambar 8. Eritema berbetas tegas pada area wajah5

10
Gejala klinis berupa gejala konstitusi seperti demam, malaise. Lapisan kulit yang diserang
adalah epidermis dan dermis didahului dengan trauma, tempat predileksinya tungkai bawah.
Kelainan yang utama adalah eritema merah cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi
dengan tanda radang akut, dapat disertai edem, vesikel dan bula. Pemeriksaan lab terdapat
leukosistosis. Jika sering residif ditempat yang sama dapat terjadi elephantiasis.1
Diagnosis banding adalah selulitis, namun pada penyakit ini infiltratnya di subkutan.
Pemeriksaan penunjang penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium darah dan kultur
Streptococcus dari tenggorokan, hidung atau mata.2,3

- Selulitis
Selulitis adalah infeksi bakteri pada kulit (dermis dan lemak subkutan) dan jaringan lunak,
sering dengan keterlibatan dari struktur utama seperti fasia, otot, dan tendon.1,2
Penyebab paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptocoocus grup A.
Selulitis biasanya menyerang anak-anak dan orang tua. Selulitis mempunyai gejala yang sama
dengan erisipelas yaitu eritema dan sakit, tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak
tegas, terjadi di lapisan yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat dipalpasi.
Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga mengakibatkan penggelupasan
dan erosi lapisan epidermal yang luas (Gambar 9).1,3

Gambar 9. Lesi berupa eritema dengan batas yang tidak tegas dan
terdapat bula dan erosi pada lapisan epidemis5

Gambaran klinis yaitu tampak kemerahan, bengkak, dan lembut dengan batas yang tidak
jelas, pitting edema tampak jelas, kadang kulit dapat tampak pucat karena bengkak. Ketika mulai
terjadi nekrosis, jarang tampak di permukaan, yang menjadi tanda umum adalah abses dan ulkus
1,4,6
yang baru terbentuk.
Lokasi selulitis yaitu pada ekstremitas superior dan inferior serta wajah. Efloresensi berupa
makula eritematosa atau kehitaman menonjol di atas permukaan kulit, ukuran dapat mencapai plakat.
1,4,5
Di atasnya, terdapat fistel-fistel yang mengeluarkan sekret seripurulen.

11
- Flegmon

Flegmon adalah selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis hanya saja
ditambah dengan insisi. Flegmon terbentuk ketika terjadi infeksi akut yang tidak berada dalam
ruang terbatas (seperti abses) namun menyebar melalui jaringan ikat dan di antara otot-otot.
Flegmon biasanya disebabkan oleh Streptococcus Aureus.4,6

.
5
Gambar 10. Flegmon

Abses Multipel Kelenjar Keringat


Abses adalah merupakan infeksi yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus
pada kelenjar keringat, berupa abses multiple dan berbentuk kubah (Gambar 13). sehingga
memperparah jaringan kulit disekitarnya, hal ini membantu bakteri untuk berkembang biak.4 Pada
gambaran klinis didapatkan berupa nodus eritematosa, multiple, tak nyeri, berbentuk kubah, dan
lama memecah. Lokasinya terdapat di tempat yang menjadi sumber keringat.2,3 Penyebab abses
adalah Staphylococcus aureus.4
Bakteri Staphylococcus aureus menginfeksi kelenjar keringat ekrin akibat higienitas
seseorang yang buruk dan system imun yang kurang.1,3 Bakteri yang masuk direspon oleh tubuh
sebagai benda asing, sehingga terjadi peradangan pada daerah yang terinfeksi. Rasa gatal
menandakan adanya respon imun terhadap patogen.4

12
Gambar 11. Abses multipel berbentuk kubah dengan pustul ditengah4

Diagnosis banding yaitu furunkulosis, pada penyakit ini terasa nyeri dan berbentuk seperti
kerucut dengan pustul di tengah dan relative lebih cepat pecah.4

Hidraadenitis
Hidraadenitis merupakan infeksi kelenjar apokrin, yang biasanya disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus. Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi
hidraadenitis terjadi pada masa pubertas sampai dewasa muda.1
Infeksi terjadi pada kelenjar apokrin, terdapat pada usia remaja sampai dewasa muda.3 Sering
diketahui oleh trauma atau mikrotrauma, contohnya: banyak keringat, pemakaian deodorant, rambut
ketiak yang di cukur.1
Penyakit ini desertai gejala konstitusi, antara lain: demam, malaise. Ruam beruoa nodus dapat
melunak menjadi abses. Jika terjadi infeksi kronik dapat terbentuk abses, fistel dan sinus yang
multipel. Predileksi di daerah ketiak dan juga perineum, serta di tempat yang banyak kelenjar
apokrin.1 Diagnosis banding yaitu skrofuloderma. Pada hidraadenitis supurativa pada permulaan
desertai tanda-tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi. Sebaliknya pada skrofulderma tidak
didapatkan tanda-tanda radang akut dan tidak ada leukositosis.1

Gambar 14. Hidraadenitis9

13
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pioderma antara lain:6.7,8


1. Pemeriksaan Laboratorik
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan ditemukan leukositosis pada pioderma.
Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, kreatinin, dan C-reactive protein.
2. Pemeriksaan Penunjang Dermatologi
Pada pulasan Gram, dapat diambil spesimen eksudat,pus dan cairan vesikel atau bula.
Kemudian akan menunjukkan adanya bakteri. Cara melakukan pulasan Gram/ pewarnaan
Gram adalah dengan mengambil spesimen dari lesi (pus, eksudat, cairan vesikel atau bula)
dengan cara di-swab menggunakan cottonbud lalu diapuskan pada gelas objek, warnai
dengan gentian violet selama 1 menit, fiksasi dengan menggunakan iodin untuk
menstabilkan pewarnaan kristal violet, ekstraksi dengan alkohol sehingga bakteri gram
negatif akan kehilangan warnanya sedangkan gram positif tetap berwarna biru-keunguan,
counter staining dengan safranin sehingga Gram negatif akan berwarna merah dan Gram
positif berwarna biru-keunguan. Interpretasi hasil pemeriksaan, yaitu: Streptococcus group
A berupa Streptococcus Gram positif tampak seperti rantai, Staphylococcus aureus akan
tampak Staphylococcus Gram positif berkelompok seperti buah anggur.
3. Biakan bakteri
Biakan dari pus, abses serta infeksi kulit dan jaringan lunak purulen lainnya dianjurkan
pada pasien yang diobati dengan antibiotik, pasien dengan infeksi lokal yang berat atau
disertai tanda sistemik, pasien yang tidak membaik pada terapi awal. Pada infeksi
Staphylococcus dan Streptococcus dapat dilakukan biakan dengan media agar darah.

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pioderma berupa edukasi, terapi topikal, terapi
sistemik. Edukasi yang dapat diberikan pada pasien pioderma agar pasien menjaga kebersihan
agar terhindar dari infeksi kulit, mencuci luka akibat gigitan serangga untuk mencegah infeksi.
Bila diantara anggota keluarga pasien ada yang mengalami pioderma disarankan dapat
melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa mencuci bersih area lesi dengan sabun dan
air mengalir serta membalut lesi, mencuci pakaian, kain, atau handuk pasien setiap hari dan tidak
menggunakan handuk atau pakaian bersama-sama, menggunakan sarung tangan ketika mengolesi
obat topikal dan setelah itu mencuci tangan sampai bersih, memotong kuku untuk menghindari
menggaruk yang dapat memperberat lesi, dan menyarankan pasien untuk sering mencuci tangan.
14
Pada prinsipnya, pengobatan pioderma bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan perbaikan
pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan kekambuhan.4

Terapi topikal
Pasien diberikan antibiotik topikal bila lesi sedikit, terutama pada lesi di wajah dan pada
pasien dengan keadaan umum baik. Pemberian obat topikal dapat sebagai profilaksis
infeksi.1,5,13
Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000,
rivanol 1‰, larutan povidone iodine 1%; dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1 jam selama
keadaan akut.6
Bila tidak tertutup pus atau krusta: salap/krim mupirosin 2%, asam fusidat 2%.
Salap/krim dioleskan 2-3 kali sehari, selama 7-10 hari.6

- Mupirosin
Mupirosin merupakan antibiotik yang berasal dari Pseudomonas fluorescent. Mekanisme
kerja mupirosin yaitu menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-
tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Gram positif seperti Staphylococcus dan
sebagian besar Streptococcus. Salap mupirosin 2% diindikasikan untuk pengobatan
pioderma.6,13 Salapmupirosin 2% diindikasikan untuk pengobatan pioderma yang
digunakan tiap 12 jam.

- Asam Fusidat
Asam fusidat adalah antibiotik yang berasal dari Fusidium coccineum. Mekanisme kerja
asam fusidat yaitu menghambat sintesis protein. Salap atau krim asam fusidat 2% efektif terhadap
Gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirosin topikal.1 Pada pioderma, penggunaan
asam fusidat dapat dilakukan tiap 12 jam.14

15
Terapi sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada pioderma diindikasikan bila terdapat lesi yang luas
atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik. Terapi sistemik awalnya dapat diberi terapi
empiris, namun apabila hasil kultur bakteri telah keluar, terapi sistemik dapat diberikan sesuai
hasil kultur. Terapi sistemik minimal diberikan selama 7 hari.14
1. Lini pertama
- Kloksasilin
Kloksasilin adalah derivat penisilin dan bersifat bakterisisdal. Obat ini mengganggu sintesis
dinding sel bakteri, sehingga mnyebabkan sel menjadi lisis. Diminum sebelum makan. Dosis
dewasa 4×250-500 mg/hari per oral. Dosis anak 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis,
selama 5-7 hari.6 Penggunaan klaksasilin dapat menyebabkan hipotensi,
demam, diare, urtikaria, gatal, dan yang paling berbahaya adalah reaksi anafilaktik.
Kontraindikasi kloksasilin adalah orang yang mengalami alergi penisilin.14
- Amoksisilin dan Asam Klavulanat
Amoksisilin dapat diproduksi dengan atau tanpa asam klavulanat, suatu agen yang dapat
mencegah pemecahan amoksisilin dengen menurunkan resistensi terhadap obat antibakterial.
Amoksisilin dan asam klavulanat dapat dapat memperluas spektum antibakteri termasuk
bakteri yang resisten amoksisilin, golongan penisilin lain, dan sefalosporin. Dosis dewasa
3×250-500 mg/hari. Dosis anak 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari.
Dosis anak 25mg/kgBB/hari terbagi dalam3 dosis,selama 5-7 hari. Pengonsumsian obat lebih
baik setelah makan karena meningkatkan absorbsi obat. Penggunaan Amoksisilin dan Asam
Klavulanat pada penderita gangguan hepar dan ginjal harus dengan hati-hati.4,14
- Sefaleksin
Sefalosporin pertama yang stabil dalam asam, diabsorbsi dengan cukup baik di dalam
saluran gastrointestinal. Berekasi terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Sekitar 10%
orang alergi terhadap penisilin juga alergi terhadap sefalosporin. Dosis dewasa 40-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7 hari.4

2. Lini kedua
- Azitromisin
Azitromisin adalah antibiotik makrolidum yang mempunyai spektrum luas, aktif terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif. Merupakan salah satu derifat eritromisin. Dosis 1×500
mg/hari (hari pertama), dilanjutkan 1×250 mg (hari kedua sampai kelima).4,14

16
- Klindamisin
Klindamisin menghambat sintesis protein bakteri. Mempunyai efek kerja bakteriostatik
dan bakteriosidal. Aktif melawan bakteri gram positif termasuk Staphylococus aureus. Dosis
15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis, selama 10 hari.4
- Eritromisin
Eritromisin menghambat sintesis protein bakteri. Mempunyai efek kerja bakteriostatik
dan bakteriosidal. Aktif melawan bakteri gram positif termasuk Staphylococus aureus. Dosis
dewasa 4×250-500 mg/hari. Dosis anak 20-50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari.4

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pioderma adalah Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS), osteomielitis, endokarditis akut, glomerulonefritis akut, pneumonia, dan
sepsis, namun komplikasi tersebut jarang terjadi.1,5

Impetigo akibat infeksi Staphylococcus aureus yang tidak diobati akan menyebarmenjadi
selulitis, limfangitis, dan bakteremia dan berujung sebagai osteomyelitis, septik arthritis,
pneumonitis, dan septikemia. Produksi eksfoliatin dapat menyebabkan SSSS pada bayi dan
dewasa yang immunocompromised atau memiliki gangguan fungsi ginjal. Sementara itu,
impetigo akibat infeksi Streptococcus grup A yang tidak diobati akan menetap dan
menimbulkan lesi baru di kulit dalam beberapa minggu. Infeksi biasanya sembuh sendiri kecuali
terdapat penyakit kulit lain yang mendasari. Pada beberapa kasus, lesi dapat berkembang
menjadi kronik dan dalam dan membentuk ektima. Jarang terjadi komplikasi berupa erisipelas,
selulitis, atau bakteremia. Sekuele yang paling sering ditemukan adalah Glomerulonefritis Akut
Post Infeksi Streptokokus (GNAPS). 1,15
Prognosis pioderma pada umunya baik. Beberapa individu dapat sembuh secara spontan
dalam 2-3 pekan bila tidak ada penyakit lain sebelumnya. Namun, bila tidak diobati pioderma
dapat menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi.1,2,3

RINGKASAN

Pioderma ialah penyakit kulit disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus Group
A, atau keduanya. Pioderma terdiri dari piodoerma superfisial dan profunda. Faktor predisposisi
pioderma yaitu hunian padat, cuaca panas, higienitas kurang, kelembabant inggi, malnutrisi, dan
keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit. Penyakit ini berhubungan erat dengan
17
keadaan social ekonomi. Pioderma dapat menyerang semua jenis kelamin, usia dan
ras.Penatalaksanaan pada pioderma tergantung dari manifestasi klinis, jenis bakteri,dan kedalaman
dari lesi. Pioderma umumnya memiliki prognosis yang. Komplikasi pada pioderma jarang terjadi.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7.Jakarta: Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia; 2015. p. 71.
2. Dinas Kesehatan Kota Palembang. Laporan Bulanan Januari 2014.Palembang:Dinas
Kesehatan Kota Palembang; 2014. p. 11-14.
3. Departemen Dermatologi dan Venereologi RSMH Palembang. Laporan dan kunjungan
pasien Poliklinik Dermatologi Infeksi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Palembang: RS
Umum Pusat Dr.Mohammad Hoesin Palembang;2018.
4. Suriadiredja A, Toruan TL,Widaty S, Listyawan MY, Siswati AS, Danarti R,et al. Panduan
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta: Perdoski; 2017. p.
73-75.
5. RosenT.Superficial Cutaneous Infection and Pyodermas.In:Wolff K, Goldsmith, LA, Katz
SI, GilchrestBA, Patter AS, Lefel DJ, Editors.Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8thed. New York: Mc Graw Hill; 2012.p. 2129-33.
6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta:
KonsilKedokteran Indonesia; 2012. p. 54.
7. Hartman Holly, Banvard Christine. Impetigo: Diagnosis and Treatment. American Academy
of Family Physician. 2015. p.229-36.
8. Cherry, James D, Hall J Harrison.Treatment Considerations for Impetigo. Pediatric Infection
Disisease Journal. 2015 p: 374-8.
9. Asterholm, Mikael. Studies on Colonization and Infection with Staphylococcus Aureus and
Other Microbes in Skin Diseases. Institutte of Clinical Sciences Sahlgrenska Academy at the
University of Gothenburg. 2012. p.13-5.
10. Heyman WR, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.
Dermatology2nded. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2015. p.1075-77.
11. Tonga, Steven YC, et al. Staphylococcus Aureus Infections: Epidemiology, Clinical
Manifestations, and Management. American Society for Micrbiology. 2015. p. 603-61.
12. Garna H. Patofisiologi Infeksi Bakteri pada Kulit. Sari Pediatri. 2001;2(4):205-9.
13. James WD, Berger TG,Elston DM. Bacterial Infection .Andrew’s Disease of the SkinClinical
Dermatology. 11thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.p. 247-252.
14. Kim S., Michaels B.D., Kim G.K., Del Rosso J.Q. Systemic Antibacterial Agents.
Comprehensive Dermatology Drug Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2013.p.
61-96.
19
15. Motaparthi K.,HsuS. Topical Antibacterial Agent. Systemic Antibacterial Agents.
Comprehensive Dermatology Drug Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2013.p.
445-459.

20

You might also like