You are on page 1of 26

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMAPTOE

OLEH

ANNISA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN

HEMAPTOE

1.Defenisi

Hemoptisi merupakan ekpetorasi dari darah yang berasal dari paru atau trunkus

bronkotrakeal sedangkan hemoptisis masif adalah batuk darah dengan volume 100-1000 mL

(jumlah yang digunakan masih beragam pada beberapa pusat pendidikan). Belum ada volume

spesifik yang dapat digunakan secara universal untuk definisi hemoptisis masif. Volume cairan

yang bisa ditampung di dalam saluran nafas sebesar 100-200 ml. Oleh karena itu, hemoptisis

dapat dikatakan non-masif bila perdarahan kurang dari 200 ml ( Andersen, 2004).

2.Etiologi

Penyebab dari hemoptisis ini bervariasi, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, dan penyakit vaskuler. Perdarahan dapat

berasal dari pembuluh darah besar maupun kecil. Perdarahan dari pemburuh darah kecil biasanya

bersifat fokal atau difus alveolar, paling sering disebabkan oleh penyakit imunologi, vaskulitis,

kardiovaskular, dan gangguan koagulasi. Penyebab perdarahan dari pembuluh darah besar

biasanya disebabkan oleh infeksi, kardiovaskular, kongenital, neoplasma, dan penyakit

vaskulitis. Namun penyebab tersering hemoptisis adalah bronkiektasis, tuberkulosis, kanker, dan

infeksi jamur. (Andersen, 2004). Perdarahan bisa berasal dari arteri pulmonal maupun arteri

bronkial. Sekitar 90% dari hemoptisis masif disebabkan oleh perdarahan dari arteri bronkial

karena memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan arteri pulmonal. Hemoptisis dari arteri
pulmonal dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan nekrosis, seperti tuberkulosis,

abses paru, aspergilosis, dan karsinoma( Andersen, 2004).

Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemoptisis, sekitar 60-70%. Dari infeksi

tersebut, 26% berasal dari bronkitis, 10% disebabkan pneumonia, dan 8% akibat tuberkulosis.

Infeksi dapat menyebabkan inflamasi mukosa dan edema yang menyebabkan ruptur kapiler

superfisial. Kanker primer paru sekitar 23%. Perdarahan pada kanker diakibatkan oleh invasi

atau erosi pembuluh darah oleh tumor. Nodul metastasis pada paru biasanya tidak menyebabkan

hemoptisis (Yoon W, 2002). Hipertensi arteri pulmonal juga dapat menyebabkan hemoptisis,

walaupun jarang. Namun pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonal dengan hemoptisis,

angka kesintasannya hanya sekitar 60%, dan pasien sering mengalami hemoptisis berulang

(75%) ( Larici AR, 2014). Di Indonesia itu sendiri, menurut penelitian di RS Persahabatan,

etiologi tersering dari hemoptisis adalah tuberkulosis (76,6%), infeksi jamur 10%, dan penyakit

lainnya 14% (Delcroix, 2010).

Penelitian Deepak dkk mendapatkan 377 pasien dengan hemoptisis, didapatkan

etiologinya adalah tuberkulosis sebesar 54,6%, pneumonia sebesar 20,4%, bronkiektasis sebesar

15,9%, dan jamur sebesar 14,6% dengan mortalitas 8,73%, 20,8%, 10%, dan 16,4% secara

berurutan, dengan mortalitas secara keseluruhan hemoptisis adalah 11%. Pada studi tersebut,

24,13% pasien merupakan hemoptysis masif. Di Indonesia itu sendiri, dikatakan mortalitas

hemoptisis masif mencapai 75% (Delcroix, 2010).

3.Manifestasi Klinis

Gejala klinis harus dipastikan bahwa perdarahan dari nasofaring :

a. Batuk kronis
b. Perubahan pola napas

c. Pasien biasanya mengeluh nyeri dada

d. Dispnea

e. Demam

f. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan

g. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di

dalam saluran napas

h. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan

i. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa

hari kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman

j. pH alkalis

k. Bisa berlangsung beberapa hari

l. Penyebabnya : kelainan par

5.Pemeriksaan penunjang

1. Foto Toraks

Pemeriksaan ini cepat, tidak mahal, dan tersedia di banyak rumah sakit. Foto toraks

dapat membantu melihat adanya keterlibatan paru secara difus maupun fokal, dan dapat

mendeteksi kelainan pada parenkim paru dan pleura, seperti tumor, pneumonia, penyakit

paru kronik, atelektasis, kavitas, dan opasitas alveolar akibat perdarahan alveoli.

Sensitivitas foto toraks dalam mendiagnosis hemoptisis cukup beragam. Penelitian dari

Hirshberg melaporkan sensitivitas foto toraks sebesar 50% (Talwar, 2012), sementara

Revel dkk melaporkan foto toraks dapat menentukan lokasi perdarahan pada 46% pasien

dan menentukan penyebab hemoptisis pada 36% kasus ( Jean, 2005). Bisa juga
ditemukan foto toraks normal pada pasien dengan hemoptisis, seperti yang ditulis oleh

Herth dkk bahwa seperempat pasien dengan hemoptisis menunjukkan foto toraks

normal.Oleh karena itu, pada pasien dengan hemoptisis dan menunjukkan foto toraks

yang normal, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.

2. Bronkoskopi

Bronkoskopi merupakan metode diagnostik utama untuk hemoptisis. Bronkoskopi dapat

mengidentifikasi apakah perdarahan masih aktif dan melihat kondisi saluran pernafasan

pasien. Bronskoskopi yang digunakan adalah rigid ataupun flexible. Bronkoskopi tipe

rigid biasanya lebih stabil dan dapat mempertahankan patensi dari saluran nafas, namun

bronkoskopi tipe fleksibel dapat dilakukan secara bedside seperti pada pasien yang

dirawat di ICU. Keberhasilan bronkoskopi dalam menentukan lokasi perdarahan

bergantung kepada beratnya hemoptisis. Penelitian oleh Hirshberg menunjukkan bahwa

bronkoskopi lebih efektif dalam menentukan lokasi perdarahan pada pasien dengan

hemoptisis berat (67%) dibandingkan hemoptisis ringan (49%) (Talwar, 2012). Namun,

bronkoskopi dapat menyebabkan iritasi mukosa dan perdarahan rekuren. Dengan

bronkoskopi, pada pasien dengan lesi endobronkial, dapat dilakukan pengambilan

jaringan untuk pemeriksaan seperti kultur. Selain itu, dapat dilakukan beberapa modalitas

seperti inflasi balon atau koagulasi laser untuk menghentikan sumber perdarahan. Pada

pasien hemoptisis dengan foto toraks normal, biasanya kemungkinan untuk menemukan

adanya tumor pada bronkoskopi hanya sekitar 5%.


3. Multi Detector CT

Multi detector CT (MDCT) merupakan tindakan yang non-invasif dan mampu

memberikan gambaran parenkim paru, saluran nafas, dan pembuluh darah toraks

pasien dengan hemoptisis. Multi detector CT ini dapat mengidentifikasi sumber

perdarahan pada 63%-100% pasien dengan hemoptisis, dan mampu menentukan

etiologi dari perdarahan tersebut, seperti bronkiektasis, keganasan paru, dan

sebagainya. Dibandingkan bronkoskopi, MDCT memiliki sensitivitas yang lebih baik

untuk mendeteksi sumber perdarahan. Menurut penelitian oeh Rever dkk, sumber

perdarahan dapat diidentifikasi pada 8% kasus hemoptisis dengan bronkoskopi, dan

77% dengan MDCT.14 Perlu diperhatikan bahwa, bekuan darah dapat menyerupai

tumor pada paru. Oleh karena itu, kombinasi MDCT dan bronkoskopi merupakan

pilihan terbaik dalam evaluasi pasien dengan hemoptsis. Beberapa peneliti

menyarankan melakukan MDCT terlebih dahulu sebelum melakukan bronkoskopi.14

Multi detector CT angiografi dapat dilakukan untuk mengevaluasi pembuluh darah

paru dan menentukan pembuluh darah mana yang paling efektif untuk dilakukan

embolisasi.

6. Penatalaksanaan Medis

Sebelum melakukan tatalaksana hemoptisis, pertama-tama harus dievaluasi apakah hemoptisis

itu benar hemoptisis atau pseudohemoptisis (perdarahan dari saluran cerna). Perbedaan dan

pseudohemoptisis dapat dilihat pada Tabel 1.


Tujuan utama tatalaksana hemoptisis adalah menjaga keamanan dari saluran nafas.

Darah dalam jumlah banyak di bronkial dapat mengganggu fungsi paru dalam

pertukaran gas. Saturasi oksigen sebaiknya dipantau pada pasien dengan hemoptisis.

Pada pasien dengan hipoksemia segera dilakukan pemasangan intubasi. pemasangan

jalur intravena, dan pengambilan sampel darah untuk dilakukan pemeriksaan darah

perifer lengkap, analisa gas darah, koagulasi, D-dimer, dan permintaan untuk

transfusi darah. Pasien sebaiknya tidak diberikan obat supresi batuk karena dapat

menyebabkan retensi darah di paru. Kultur sputum sebaiknya dilakukan sesegera

mungkin untuk melihat adanya bakteri atau jamur, dengan melihat Gram, dan bakteri

tahan asam (Jean,2016).

Petugas medis yang menangani pasien dengan hemoptisis sebaiknya memakai alat

pelindung diri yang lengkap, untuk menghindari transimisi penyakit. Petugas medis

sebaiknya memakai pelindung tangan panjang, goggles, masker, dan sarung tangan.

Pasien juga sebaiknya ditaruh di ruang isolasi untuk mencegah transmisi penyakit

melalui udara, karena semua pasien dengan hemoptisis sebaiknya dicurigai sebagai

tuberkulosis. Jika sudah diketahui sumber perdarahan pasien (paru kiri/kanan), pasien
sebaiknya diposisikan dengan cara dimiringkan dengan paru yang mengalami

perdarahan berada di sisi bawah, agar paru yang sehat tidak terendam oleh darah.

• Double Lumen Endotracheal Intubation

Intubasi dengan double lumen endotracheal dapat dilakukan pada keadaan hemoptisis

masif dengan ancaman gagal nafas untuk mencegah aspirasi. Intubasi dilakukan

untuk ventilasi paru yang tidak tertutup oleh darah dan mencegah terjadinya aspirasi

darah ke paru tersebut. Setelah itu, dapat dilakukan suction pada paru dengan

perdarahan aktif. Setelah dilakukan intubasi, bronkoskopi masih dapat dilakukan

menggunakan bronkoskop flexible. Intubasi ini bersifat life saving yang segera

dilakukan di Instalasi Gawat Darurat dan bersifat sementara sambil menunggu

prosedur lain untuk menghentikan perdarahan.

• Asam Traneksamat.

Obat antifibrinolitik ini sering digunakan untuk pasien dengan perdarahan mukosa

atau pasien dengan gangguan pembekuan darah. Penelitian oleh Wong dkk

melaporkan bahwa asam traneksamat ini efektif pada pasien dengan hemoptisis akibat

cystic fibrosis yang gagal dengan embolisasi arteri bronkial.17 Graff melaporkan

sebuah kasus dimana seorang pasien dengan hemoptisis berulang akibat cystic

fibrosis yang sudah menjalani 12 kali embolisasi namun masih terus mengalami

hemoptisis. Pasien kemudian diberikan asam traneksamat oral selama 13 bulan dan

dilaporkan tidak mengalami hemoptisis berulang. Asam traneksamat selain diberikan

melalui intravena dan oral, dapat juga diberikan secara topikal, seperti pemberian

secara intra pleural pada pasien dengan mesotelioma maligna dengan hemotoraks.

Pemberian asam traneksamat topikal pada bronkus juga pernah dilaporkan oleh
Solomonov dkk. Pasien dengan hemoptisis sedang menjalani bronkoskopi untuk

dilakukan biopsi dan injeksi adrenalin pada perdarahan. Setelah gagal dengan lavage

saline dingin dan adrenalin, pasien diberikan asma traneksamat topikal (500-1000

mg). Perdarahan kemudian berhenti beberapa detik setelah pemberian asam

traneksamat. Pasien rawat jalan beberapa hari kemudian tanpa mengalami hemoptisis

berulang.

• Fibrinogen/Trombin

Pemberian cairan fibrinogen-trombin melalui bronkoskopi pernah diteliti oleh de

Gracia dkk. Mereka melaporkan 11 pasien dengan hemoptisis berat (> 150 ml/24

jam), di mana embolisasi arteri bronkial gagal, kontraindikasi, atau tidak tersedia.

Sebelum diberikan fibrinogen-trombin, pasien diberikan aplikasi dengan lavage

saline dingin atau epinefrin terlebih dahulu, setelah gagal baru dilakukan pemberian

fibrinogen-thrombin. Untuk stabiliasasi clot, cairan juga ditambahkan dengan faktor

XIII dan aprotinin. Dari ke 11 pasien, tiga pasien mengalami hemoptisis berulang

dalam waktu enam jam dan tiga hari setelah terapi sedangkan satu pasien mengalami

hemoptisis berulang dalam waktu 12 bulan setelah terapi.

Terapi ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat digunakan secara rutin pada

pasien hemoptisis.

3. Penatalaksanaan Keperawatan

Inhalasi Sederhana

Steam inhalation (menghirup uap panas) adalah suatu tindakan menghirup uap hangat

dari air mendidih yang digunakan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan

gangguan pernapasan (Akhavani, 2005). Pemberian steam inhalation dapat


menghilangkan gejala seperti flu, namun penggunaan steam inhalation ini juga

memiliki keterbatasan yaitu kemungkinan terjadinya luka bakar saat menghirup

udara panas tersebut (Singh, 2004).

Tindakan steam inhalation berguna untuk mengencerkan lendir disaluran hidung dan

sinus serta di bawah saluran pernapasan. Fungsi lain dari tindakan steam inhalation

yaitu sebagai ekspektoran alami dan penekan batuk (Nuraeni, 2012). Menurut Crinion

(2007) terapi uap juga dapat meingkatkan konsumsi oksigenasi tubuh, denyut jantung

meningkat dan dapat terjadi pengeluaran cairan yang tidak diperlukan tubuh seperti

mengencerkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan.

Latihan Batuk Efektif

Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak (Hudak &

Gallo, 2000). Teknik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk

membersihkan sekresi dari saluran pernapasan, tujuan napas dalam dan batuk adalah

untuk meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi, dan mencegah efek samping

dari retensi sekresi seperti pneumonia, atelektasis dan demam (Yana, 2008). Tindakan

batuk efektif terbukti efektif dan dapat memberikan perubahan pada pengeluaran

dahak seseorang, karena dengan batuk efektif bisa mengeluarkan dahak dengan

maksimal dan banyak serta dapat membersihkan saluran pernapsan yang sebelumnya

terhalang oleh dahak (Nugroho, 2011).

4. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu di tentukan oleh

tiga faktor: 1) Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam
saluran pernafasan, 2) Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis

dapat menimbulkan hipovolemik, 3) Aspirasi dimana masuknya bekuan darah

maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi (Mason

RJ, 2010). Penyulit hemoptisis yang biasanya di dapatkan ialah: 1) Terjadi

penyumbatan trakea dan saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. 2)

Penderita tidak tampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah

masif (600-1000 cc/24 jam). 3) Pneumonia aspirasi akibat darah yang terhisap ke

bagian paru yang sehat. 4) Tersumbatnya saluran nafas menyebabkan paru bagian

distal kolaps sehingga terjadi atelektasis. 5) Terjadinya hipovolemia akibat

perdarahan banyak dan anemia jika terjadi perdarahan dalam waktu lama (Mason RJ,

2010).
WOC HEMAPTOE

Basis tuberkolosis

Air bone infection

Implantasi kuman terjadi padarespiratori bronkial atau alveoli

Terjadi reaksi antigen-antibody

Muncul reaksi radang

Terjadi pengeluaran secret atau mukus

Respon batuk-batuk (batuk rejan)

Terjadi robekan ankurisma arteri pulmonalis pada dinding kavitas

Hemaptoe gangguan pertukaran gas

Akumulasi secret dan darah di jalan nafas sumber stress meningkat

Bersiha jalan nafas tidak efektif ketidak efektifan pola nafas Ketidak lengkapan pengetahua proses penyakit

Kurang pengetahuan
Asuhan keperawatan

Merupakan cara yang sistematis yang dilakukan oleh perawat bersama klien dan menentukan

kebutuhan. Asuhan keperawatan dengan melakukan pengkajian, menentukan diagnosa

merencanaka tindakan yang akan dilakukan, melaksanakan tindakan seta mengevaluasi hasil

asuhan yang akan diberikan.

1. Pengkajian

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,pendidikan, no registrasi, diagnose

medis dan tanggal masuk RS.

b. Keluhan utama

Biasanya keluhan utama klien dengan hemaptoe adalah sesak nafas, batuk berdarah,

dan berat badan menurun

c. Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya pasien hemaptoe demam lebih dari dua minggu sering batuk yang disertai

dengan darah, anorexia, lemah, dan berkeringat banyak pada malam hari.

d. Riwayat kesehatan dahulu

Klien memiliki riwayat penyakit jantung atau paru

e. Riwayat kesehatan keluarga

Biasanya keluarga memiliki riwayat penyakit kerturunan, menular dan tidak menular
f. Riwayat psikososial

Riwayat psikososial sangat erpengaruh dalam psikologis klien dengan timbul gejala-

gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penyakitnya, meliputi :

perumahan yag padat, lingkungan yang kumuh dan kotor, keluarga yang belum

mengerti tenang kesehatan.

2. Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi

Biasanya klien mempunyai kebiasaan merokok, penggunaan alcohol, dan kebiasaan

olah raga

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Meliputi pengkajian mengenai nafsu makan yang menurun, diit khusus suplemen,

fluktuasi mengenai peruubaha berat badan dan anorexia

c. Pola eliminasi

Biasanya klien tidak mengalami perubahan atau masalah eliminasi.pengkajian

meliputi masalah yang berkaitan dengan gangguan eliminasi urin atau buang air besar

d. Pola istirahat dan tidur akibat batuk

Pengkajian meliputi bagaimana akibat atau dampak dari penyakit yag dideritanya

terhadap istirahat dan tidur kluen. Biasanya klien mengeluh terganggunya

polaistirahat dan tidurnya, misalnya sering terbangun dimalam hari


e. Pola sensori dan kognitif

Pengkajian yang berkaitan dengan apakah klien mengalami masalah dengan indera.

Biasanya klien tidak memiliki gangguan pada indera

f. Pola hubungan peran

Pengkajian berkaitan dengan setelah klien terkena penyakit apakah berpengaruh

terhadap hubungan klien dengan lingkungan sekitar baik itu dengan keluarga maupun

orang lingkungan klien

g. Pola penanggulan stress

Meliputi penyebab stress, koping terhadap stress, dan pemecahan stress.

3. Pemeriksaan fisik

a. Keaadaaan umum

Keadaan umum klien, kesadaran dan tanda- tanda vital klien

b. Thorax

Bentuk thorak klien dengan hemaptoe biasanya tidak normal (barrel chest)

c. Paru

Bentu paru biasanya tidak simetris, pergerakan paru tertinggal, dan adanya bunyi

suara rongki atau wheezing

d. Jantung
Biasanya kadang didapatkan bunyi suara 1 atau 2 tambahan

e. Abdomen

Apakah ada pembesaran pada limpa dan hati dan apakah bising usus ada atau tidak

dan apakah normal atau tidak.

4. Pemeriksaan penunjang

a. X foto

- Didapatkan pembesaran kelenjar para trakeal denga atau tanpa infiltrate

- Gambaran milier atau bercak klasifikasi

b. Pemeriksaaan sputum

- Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB

c. Pemeriksaan mantoox test

- Sevagai standar diapakai PPO SIU atau OT 0,1 mg


1. Perumusan Diagnosa dan perencanaan Keperawatan
.
No Diagnosa Kriteria hasil (NOC) Intervensi (NIC)

1. Bersihan jalan Status respirasi : Managemen jalan napas


napas tidak kepatenan jalan nafas Aktifitas :
efektif Indikator: - Buka jalan nafas, gunakan teknik chin
berhubungan  rata- rata pernafasan lift atau jaw thrust bila perlu
dengan Adanya dalam rentang normal - Posisikan pasien untuk memaksimalkan
sekret di dalam  ritme pernafasan ventilasi
bronkus, Eksudat dalam rentang normal - Identifikasi pasien perlunya pemasangan
dalam alveoli  kemampuan alat jalan nafas buatan
membersihkan sekresi - Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
Definisi: Status respirasi : - Auskultasi suara nafas, catat adanya
Ketidakmampua ventilasi suara tambahan
n membersihkan Indikator : - Berikan bronkodilator bila perlu
sekresi atau  rata-rata pernafasan - Atur intake untuk cairan
sumbatan dari  ritme perafasan mengoptimalkan keseimbangan.
saluran - Monitor respirasi dan position O2
 kedalaman inspirasi
pernapasan
 suara perkusi
untuk
 volume tidal
mempertahanka Pemberian obat : inhalasi
 kapasitas vital
n kebersihan
- Tentukan pemberian 6 benar obat
jalan napas - Catat riwayat alergi
- Bantu pasien untuk menggunakan
inhaler sesuai order
- Bantu pasien untuk memposisikan
inhaler pada mulut dan hidung
- Miringkan kepala sedikit kebelakang
dan buang napas sepenuhnya
- Minta pasien secara pelan,
melakukan nafas dalam, tahan
sebentar dan pernafasan pasif saat
menggunakan nebulizer
- Minta pasien menahan nafas 10 detik
- Minta pasien nafas perlahan melalui
hidung atau bibir.
Penghisapan jalan napas

1. Tentukan kebutuhan untuk


penghisapan oral atau trakea
2. Auskultasi nafas sebelum dan sesudah
pengisapan.
3. Memberitahukan kepada pasien dan
keluarga tentang pengisapan.
4. Gunakan tindakan pencegahan
universal : sarung tangan, pelindung
mata, dan masker yang sesuai.
5. Masukkan nasal airway untuk
memudahkan penyerapan nasotrakea.
6. Ajarkan pasien untuk mengambil
nafas dalam sebelum pengisapan
nasotrakea dan menggunakan oksigen
sebagai pelengkap, yang sesuai.
7. Gunakan peralatan yang steril untuk
setiap prosedur suction trakea.
8. Ajarkan pasien secara pelan-pelan,
ambil nafas dalam selama
memasukkan kateter suction melalui
rute nasotrakea.
9. Catat jenis dan jumlah volume
sekresi.
10. Gunakan sekresi untuk kultur dan
sensitivitas tes
2. Pola nafas tidak Status respirasi : Manajemen jalan nafas
efektif Kepatenan jalan nafas:
Aktivitas :
berhubungan
Indikator :
dengan - Buka jalan nafas dengan teknik
Hiperventilasi - Frekuensi nafas mengangkat dagu atau dengan
dalam rentang mendorong rahang sesuai keadaan
Definisi :
normal - Beri aerosol, pelemb ab/oksigen,
inspirasi atau - Irama nafas dalam
ultrasonic humidifier jika
ekspirasi yang rentang normal
diperlukan
tidak - Tidak ada demam
- Tidak cemas - Posisikan pasien untuk
menyediakan
- Bebas dari suara mengurangi dispnu
ventilasi yang
nafas tambahan - Monitor pernafasan dan status
adekuat.
oksigen
Status respirasi : - Dorong nafas dalam, pelan dan
Ventilasi batuk

Indikator : - Identifikasi masukan jalan nafas


baik yang aktual ataupun potensial
- Pengembangan - Posisikan pasien untuk
dada simetris memaksimalkan ventilasi yang
- Kenyamanan
potensial
dalam bernafas
- Frekuensi nafas
dalam rentang
Monitor pernafasan
normal
Aktivitas :
- Suara nafas dalam
rentang normal - Monitor frekuensi, rata-rata,
- Tidak ada suara
irama, kedalaman dan usaha
nafas tambahan
bernafas
- Catat pergerakkan dada, lihat
Status tanda-tanda vital kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, dan supraklavikula
Indikator : dan retaksi otot intercostal
- Monitor bising pernafasan
- suhu badan dalam
seperti ribut atau dengkuran
rentang normal
- denyut nadi dalam - Monitor pola nafas seperti

rentang normal bradipnu, takipnu,


- pernapasan dalam hiperventilasi, pernafasan
rentang normal kussmaul, Ceyne stokes, apnu,
- tekanan darah
biot dan pola ataksi.
diastolic dalam
Terapi Oksigen
rentang normal
- tekanan darah Aktivitas:
sistolik dalam
1. Bersihkan sekresi mulut, hidung, dan
rentang normal
trakea
2. Jaga kepatenan jalan napas
3. Sediakan peralatan oksigen
4. Pantau aliran oksigen
5. Secara teratur, pantau jumlah oksigen
yang diberikan pasien sesuai dengan
indikasi
6. Pantau kerusakan kulit akibat
penekanan alat oksigen, bersihkan
oral, hidung, dan trakea dari sekret.
7. Cek oksigen secara teratur untuk
meyakinkan bahwa konsentrasi yang
dianjurkan sudah mengalir.
3 Status Pernapasan : Monitor Pernapasan
Gangguan
Pertukaran gas
Pertukaran  Monitor rata – rata, kedalaman,
Gas 1. Mudah bernafas irama dan usaha respirasi
2. Tidak ada dispnea saat
Definisi :  Catat pergerakan dada,amati
istirahat
Kelebihan atau kesimetrisan, penggunaan otot
3. Tidak ada kegelisahan
kekurangan dalam 4. Tidak ada sianosis tambahan, retraksi otot
oksigenasi dan / 5. PaO2 dalam batas supraclavicular dan intercostal
atau eliminasi normal  Monitor suara nafas, seperti
6. PaCO2 dalam batas
karbondioksida di dengkur
normal
membran kapiler  Monitor pola nafas
7. Keseimbangan perfusi
alveolar  Catat lokasi trakea
ventilasi
 Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan paradoksis)
keseimbangan Elektrolit
Faktor yang  Auskultasi suara nafas, catat area
dan asam / basa
berhubungan penurunan / tidak adanya ventilasi
1. Rata- rata dan suara tambahan
- alveolar -
pernafasan  Tentukan kebutuhan suction
perubahan 2. Serum ph
dengan mengauskultasi crakles
membran 3. Irama
dan ronkhi pada jalan napas utama
kapiler pernapasan
- Ventilasi- 4. Serum  auskultasi suara paru setelah

perfusi karbondioksida tindakan untuk mengetahui


5. Serum bikarbonat
ketidaksei hasilnya

mbangan Manajemen asam-basa

 Menjaga paten akses IV


 Menjaga jalan napas paten
 Memantau gas darah arteri
( GDA) dan kadar elektrolit serum
dan urin , yang sesuai
 Pantau status hemodinamik ,
termasuk CVP , MAP , PAP , dan
tingkat PCWP , jika tersedia
 Pantau hilangnya asam
( misalnya , muntah , keluaran
nasogastrik , diare , dan diuresis ) ,
yang sesuai
 Pantau kehilangan bikarbonat
( misalnya fistula drainase dan
diare ) , sesuai
 Posisi untuk memfasilitasi
ventilasi yang memadai
(meningkatkan kepala tempat
tidur )
 Pantau pola pernapasan

 Manajemen Asam-Basa:
Asidosis Pernapasan
- Pantau etiologi potensial sebelum
mencoba untuk mengobati
ketidakseimbangan asam-basa
- Pantau gejala kegagalan
pernapasan ( misalnya , PaO2
rendah , kadar PaCO2 tinggi ,
kelelahan pernapasan )
- Berikan oksigen aliran rendah dan
memantau CO2 dalam kasus
hiperkapnia kronis (misalnya ,
hemaptoe ).

2. Evaluasi
a. Diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang, pasien mengatakan lega setelah
dilakukan nebulizer karena pasien dapat mengeluarkan dahak, pasien mengatakan
batuk berkurang setelah minum obat.
O : Nebulizer ventolin 2,5 masuk via inhalasi, sekret keluar berwarna putih purulen,
suara nafas mengi dan ronkhi pada paru kanan masih ada, wheezing sudah
menghilang, pasien dapat mempraktekkan batuk efektif.
A : Diagnosa keparawatan bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi :
1) Auskultasi suara nafas tambahan
2) Berikan terapi nebulizer
3) Anjurkan untuk meningkatkan intake cairan dengan minum air matang hangat agar
sekret dapat keluar.

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Hiperventilasi


S : klien mengatakan sesak napas berkurang
O : frekuensi napas 22 x/ menit dan pergerakan dinding dada simetris, tidak ada ronki
A : masalah Pola nafas tidak efektif teratasi
P : Intervensi dihentikan
c. Gangguan Pertukaran Gas
S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang.
O : tidak terlihat otot bantu napas, frekuensi napas 24X/ menit dan PH serum 7,25 serta
PCO2 50 mmHg
A : Diagnosa keparawatan Gangguan Pertukaran gas belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi :
1). Monitor pernapasan
2) manajemen asam basa asidosis respiratorik

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, M gloria. Nursing Interventions Classification (NIC). six edition. Louis: elsevier
mosby

Herdman, T.H & Kamitsuru, S 2014. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification
(NANDA) 2015 – 2017. Tenth edition . Oxford : Willey Blackwell

Moorhead, sue. Nursing Outcomes Classification (NOC) fifth edition. Copyraight Mosby 2013.
Elsivier
Chun JY, Morgan R, Beli AM. Radiological Management of Hemoptysis: a comprehensive
review of diagnostic imaging and bronchial arterial embolization. Cardiovasc Intervent Radiol.
2010; 33:240-50.

Conlan AA, Hurwitz SS, Krige L. Massive hemoptysis. Review of 123 cases. J Thorac
Cardiovasc Surg. 1983;85: 120-4. 3. Seriosna RE, Swidarmoko B, Syahrudin E. Discharge
Criteria of Patients With Hemoptysis and Evaluation for One Month in Persahabatan Hospital. J
Respir Indo. 2010;30.

Andersen PE. Imaging and Interventional Radiological Treatment of Hemoptysis. Acta Radiol.
2006; 47:780-92. 5. Jean Baptiste E. Clinical Assessment and Management of Massive
Hemoptysis. Crit Care Med. 2000; 28: 1642-47. 6. Yoon W, Kim JK, Kim YH, Chung TW,

Kang HK. Bronchial and Non- bronchial systemic Artery Embolization for Life-threatening
hemoptysis: a Comprehensive Review. Radiographics. 2002; 22: 1395-1409.

Larici AR, Franchi P, Occhipinti, Andrea C, Ciello AD, Calandriello L, Storto ML, Marano R.
Diagnosis And Management of Hemoptysis. Diagn Interv Radiol. 2014; 20:299-309.

Delcroix M, Naeije R. Optimising the Management of Pulmonary Arterial Hypertension


Patients: Emergency Treatments. Eur Respir Rev. 2010: 117, 204-11.

Talwar D, Chudiwal J, Kumar S. Hemoptysis: Causes, Interventions, and Outcomes - Indian


Single Centre Experience. Eur Resp Soc. 2012.

Jean-Baptiste E. Management of Hemoptysis in the Emergency Department. Hospita; Physician.


2005.

Hirshberg B, Biran I, Glazer M, Kramer MR. Hemoptysis: etiology, evaluation, and outcome in a
tertiary referral hospital . Chest .1997; 112:440-44.

You might also like