You are on page 1of 21

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA CELEBRITY WORSHIP TERHADAP IDOLA K-POP


(KOREAN POP) DENGAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA

Mata Kuliah Metodologi Penelitian

Dosen Pengampu: Dr. Burhanuddin Tola, MA

Disusun Oleh :

Dwita Utami Damayanti

1801617072

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fenomena terbaru yang terjadi saat ini adalah fenomena hallyu atau Korean wave yang
terjadi di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali dengan Indonesia. Korean Wave atau Korean
Fever merujuk pada peningkatan secara signifikan popularitas budaya Korea Selatan di seluruh
dunia sejak abad 21. Hallyu atau Korean Wave pada hakikatnya merupakan fenomena demam
Korea yang disebarkan melalui Korean Pop Culture ke seluruh penjuru dunia lewat media
massa, dan yang terbesar lewat jaringan internet dan televisi (Sari, 2012).

Sumber informasi kini terbuka lebar dari puluhan media cetak dan televisi. Pada saat yang sama
di hampir semua kota di sebagian besar wilayah Indonesia mengkonsumsi informasi yang
sama. Dengan adanya media, baik cetak maupun elektronik mempengaruhi kehidupan kita,
memberikan informasi beragam mengenai kehidupan masyarakat dari mode pakaian, rambut,
musik sampai gaya penyanyi atau bintang film, dan pada saat yang sama bisa dinikmati oleh
kaum remaja. Tak terkecuali informasi mengenai kehidupan para artis idola baik pada saat
mereka di depan layar maupun dalam kehidupan sehari-hari, hal ini memfasilitasi
penggemarnya untuk mengetahui perkembangan berita tentang idola mereka dan tetap merasa
selalu berinteraksi dengan idolanya tersebut. Mereka akan merasa mempunyai penghargaan
diri yang lebih tinggi setelah meniru para artis atau public figure (Istikomah, 2012).

Peran media cukup besar dalam kaitannya menghubungkan antara penggemar dan selebriti
favoritnya. Hal tersebut menimbulkan hubungan parasosial dengan tokoh yang ditampilkan
media. Bentuk hubungan parasosial yang saat ini terjadi pada kalangan remaja adalah celebrity
worship (Maltby dkk, 2005). Celebrity worship adalah perilaku obsesi individu untuk terlalu
terlibat di setiap kehidupan selebriti sehingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari individu
tersebut (Maltby dkk , 2003). Salah satu contoh fenomena celebrity worship pada remaja adalah
keinginan remaja, khususnya remaja perempuan untuk mengidentikan dirinya dengan selebriti
yang memiliki tubuh yang bagus. Remaja tersebut melakukan berbagai cara agar memiliki
tubuh seperti idolanya tersebut, tak jarang yang hingga mengalami anorexia (Maltby dkk,
2005).
Remaja yang sering dikatakan dalam proses pencarian jati diri akan senantiasa mencari sebuah
contoh yang mereka anggap menarik dan dapat membuat mereka mendapat penghargaan diri
yang lebih tinggi. Salah satu obyek yang remaja anggap menarik dan dapat meningkatkan
penghargaan diri adalah para artis (Santrock, 2003). Dalam proses perkembangan identitas diri
remaja, sering dijumpai bahwa remaja mempunyai significant other yaitu seorang yang sangat
berarti, seperti sahabat, guru, kakak, bintang olah raga atau bintang film atau siapapun yang
dikagumi. Orang-orang tersebut menjadi tokoh ideal (idola) karena mempunyai nilai-nilai ideal
bagi remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan identitas diri.
Tokoh ideal tersebut dijadikan model atau contoh dalam proses identifikasi. Remaja cenderung
akan menganut dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ada pada idolanya tersebut kedalam
dirinya. Sehingga remaja sering berperilaku seperti tokoh idealnya dengan meniru sikap
maupun perilakunya dan bahkan merasa seolah-olah menjadi seperti mereka (Soetjiningsih,
2004).
Albert Bandura juga mengatakan bahwa manusia belajar melalui imitasi, mengambil
pola-pola perilaku yang mereka lihat disekitar mereka, dan melalui proses umum yang disebut
pembiasaan serta teori tersebut diperkuat oleh Gabriel Tarde yang mengatakan bahwa
masyarakat tiada lain dari pengelompokan manusia, individu satu sama lain mengimitasinya
(Angwar, Maiwan, dan Afrimetty, 2013). Selebriti merupakan subjek yang dapat dengan
mudah ditiru melalui adanya alat komunikasi seperti televisi, radio dan internet. Pesan yang
disampaikan oleh media massa tersebut menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengetahui
informasi terkini dan diinterpretasikan secara berbeda-beda menurut visi pemirsa (Kuswandi,
1996). Otmazgin dan Lyan (2013) mengemukakan bahwa selebriti menyebarkan informasi
mereka di kalangan kenalan atau relasi dengan memanfaatkan koneksi pribadi maupun media
internet dan sosial untuk bertukar informasi dan pandangan, dan untuk menciptakan citra di
masyarakat.
Ashe dan McCutcheon (Fitriani, 2009) juga mengemukakan bahwa pemujaan terhadap
selebriti lebih banyak terjadi pada remaja dan dewasa awal dibandingkan dengan usia yang
lebih tua. Individu menunjukan bahwa mereka yang memuja selebriti memiliki identitas difusi,
self esteem yang rendah dan performance yang rendah dibandingkan dengan remaja yang
menjadi pemuja selain selebriti memiliki studi performance yang lebih baik. Cuyler dan
Ackhart (Raharja, tanpa tahun) mengemukakan bahwa identitas yang digunakan seseorang
memiliki hubungan dengan motivasi tertentu.
Identitas diri merupakan komponen yang membentuk konsep tentang diri pada
seseorang, oleh karena itu, sebelum mendefinisikan identitas diri, maka saya akan
memaparkan terlebih dahulu mengenai pengertian konsep diri. Konsep diri didefinisikan
sebagai semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu
tentang dirinya dan memengaruhi hubungannya dengan orang lain. konsep diri tidak
terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam
dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan realitas dunia. Berdasarkan pengertian
diatas konsep diri seseorang akan terbentuk didasari penilaian seseorang terhadap
pengalaman dalam diri dan orang terdekat serta lingkungan tempat seseorang tinggal. Sebagai
makhluk sosial, manusia terpanggil untuk mengembangkan diri, mengadakan dialog terus
menerus dengan dirinya sendiri, dan saling berinteraksi dalam menggapai berbagai realitas.
Sebagai subjek, manusia berupaya mengukuhkan diri sebagai tahapan pengembangan diri
untuk menampilkan suatu bentuk kepribadian. Sebagai pribadi, manusia merupakan totalitas
yang mantap dan harmonis. Ciri kepribadian seseorang yang memiliki identitas diri, yaitu
orang yang mampu mengendalikan dorongan emosinya, pandai membaca perasaan orang
lain, dan bisa memelihara hubungan baik dengan lingkungannya melalui pengenalan diri
sendiri secara lebih mendalam. Sebagai makhluk sosial , akan lebih baik lagi bila seseorang
memiliki sejumlah kemampuan yang merupakan komponen dasar dari kecerdasan antar
pribadi.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka masalah dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
1. 2. 1 Remaja memiliki keinginan untuk mengikuti segala sesuatu seperti para idolanya.
1. 2. 2 Remaja akan merasa mempunyai penghargaan diri yang lebih tinggi setelah meniru
para idolanya
1. 2. 3 Remaja yang memuja selebriti memiliki identitas difusi, rendah dan performance
yang rendah.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menarik suatu rumusan masalah yaitu, apakah
terdapat hubungan antara celebrity worship terhadap idola K-pop (Korean pop) dengan
identitas diri pada remaja

D. Tujuan Penelitian
Maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara celebrity worship
terhadap idola K-pop (Korean pop) dengan identitas diri pada remaja.

E. Manfaat Penelitian
1. 6. 1 Manfaat Teoritis
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi literatur terhadap kajian
selanjutnya khususnya di bidang ilmu Psikologi Sosial mengenai hubungan
celebrity worship terhadap idola K-pop (Korean pop) dengan identitas diri pada
remaja.
 Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan kepada para fans mengenai
informasi yang berkaitan dengan pemujaan terhadap idolanya.
1. 6. 2 Manfaat Praktis
 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, pengetahuan,
gambaran dan informasi akan pengaruh celebrity worship terhaap identitas diri
serta kepribadian diri remaja

BAB II
KAJIAN TEORITIK

A. Celebrity Worship
 Pengertian
Darfiyanti (2012:54) Semakin tinggi tingkat pemujaan seseorang, maka semakin tinggi
juga tingkat keterlibatan dengan sosok yang diidolakan. Pemujaan merupakan bentuk
kekaguman dengan (celebrity involvement) sehingga tingkatan ini intensitas yang tidak
biasa dan penghormatan sering juga disebut sebagai tingkatan pemujaan terhadap idola.
Keterlibatan dengan selebriti oleh keintiman (intimacy) yang diimajinasikan Maltby dkk.
(2005) dibagi menjadi tiga aspek yang terhadap sosok selebriti yang diidolakan (Maltby
bisa digambarkan sebagai suatu tingkatan. dkk., 2005; McCutcheon dkk., 2002).
Rahmawati (2013:367) Selebriti secara definisi adalah orang-orang yang dikenal secara
luas oleh masyarakat, baik itu bintang film,atlit, maupun model. Teori mengenai celebrity
worship dikemukakan oleh McCutcheon(2002) yang mengatakan bahwa celebrity worship
adalah hubungan parasosial antara fans dan idolanya. McCutcheon juga membuat skala
tingkatan celebrity worship yaitu entertainment social, intense personal, dan borderline
pathological. Entertainment social adalah motivasi yang mendasari pencarian aktif
informasi oleh fans terhadap selebriti. Intense personal merefleksikan perasaan intensif
dan kompulsif terhadap idola serta mulai mengembangkan hubungan parasosial dengan
idola tersebut. Borderline pathological dimanifestasikan dalam sikap kesediaan untuk
melakukan apapun terhadap selebriti idola meskipun melanggar aturan, tidak terkontrol
dan menjadi irrasional. McCutcheon, Lange, dan Houran (2002) mengemukakan bahwa
tidak ada alasan kuat jika tingkat celebrity worship yang tinggi selalu mengarah pada
pertanda patologi sehingga individu yang memiliki tingkat celebrity worship yang tinggi
tidak berarti bahwa individu tersebut tergolong kedalam ciri individu yang memiliki
pertanda patologi. Kaparang (2013) Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai
pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para
selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam
budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion".

 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Celebrity Worship


Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi celebrity worship (McCutcheon dkk, 2002),
yaitu :

1) Usia. Celebrity worship mencapai puncaknya pada usia remaja, dan menurun perlahan
pada usia dewasa.

2) Keterampilan sosial. Individu dengan ketrampilan sosial yang buruk menganggap


celebrity worship sebagai kompensasi atas tidak terjadinya hubungan sosial yang nyata.

3) Jenis kelamin. Laki-laki lebih cenderung mengidolakan selebriti perempuan, sedangkan


perempuan cenderung memilih selebriti laki-laki sebagai idolanya, namun perempuan
tidak lebih mungkin untuk melakukan celebrity worship secara intens daripada laki-laki.
 Aspek-aspek Celebrity Worship

Terdapat tiga aspek dalam celebrity worship menurut McCutcheon (Maltby dkk, 2003),
yakni :

1) Aspek sosial dan hiburan (Entertainment-social)


Aspek ini terdiri dari sikap fans yang tertarik pada selebriti favorit mereka karena
kemampuan mereka dianggap menghibur dan menjadi fokus sosial.

2) Aspek intense personal feeling

Aspek ini mencerminkan perasaan intensif dan kompulsif tentang selebriti, mirip dengan
kecenderungan obsesif penggemar.

3) Aspek borderline pathological

Aspek ini ditandai oleh perilaku yang tidak terkendali dan fantasi tentang skenario yang
melibatkan selebriti mereka.

B. Korean Pop
K-pop adalah kepanjangan dari Korean Pop (Musik Pop Korea), yang berupa jenis
music populer yang berasal dari Korea Selatan. Generasi muda yang berbakat (pencipta
lagu, produser) telah banyak belajar tentang dunia musik global dengan membawa
perubahan, dan memasukkan unsur negara mereka dalam kreasinya. K-pop berpusat
pada grup idola (biasanya remaja) yang memiliki popularitas yang lebih besar
dibandingkan dengan penyanyi solo (Emilie, 2012).
Pengaruh Korean Pop culture dalam kehidupan masyarakat Indonesia disadari atau tidak
meliputi segala aspek dari musik dan drama hingga fashion style, hair style, bahkan
Korean way of life. Tak hanya itu, fenomena hallyu juga telah menyebabkan pecintanya
memburu segala hal yang berkaitan erat dengan Korea, hal ini tampak jelas dari semakin
meningkatnya masyarakat Indonesia yang mempelajari bahasa Korea dan budaya Korea.
Segala hal yang berhubungan dengan artis-artis Korea juga diburu oleh para pecintanya,
hal ini terlihat dari banyaknya kegiatan gathering sesama pecinta artis Korea, dan
maraknya lomba cover dance dan idol star (Sari, 2012).
C. Identitas Diri
1. Definisi Identitas Diri
Stuart dan Sundeen (Hasanah, 2013) mengemukakan bahwa identitas diri dalah sikap
individu terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi
dan perasaan tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh. Identitas
diri merupakan sesuatu yang dinamis sebab terus menerus berubah dengan persepsi dan
pengalaman baru, yang merupakan sasaran atau pelindung penting dari perasaan-
perasaan seseorang, kecemasan dan nilai-nilai.
Parfit (1971) mengemukakan identitas diri yang terdapat pada diri tiap individu
merupakan hal penting untuk digunakan pada proses pengembangan pola diri setiap
individu karena identitas diri juga dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang sangat
kompleks. Hal tersebut dimiliki oleh setiap individu dapat memberikan efek yang bersifat
positif ataupun negatif. Identitas diri dapat dilihat dari tingkah laku atau perilaku yang
dilakukan oleh individu dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang memiliki identitas
diri yang baik dapat berasal dari lingkungan internalnya yakni keluarga. Individu yang
tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarga cenderung akan mengharapkan kasih
sayang dari orang lain, sehingga identitas diri yang dimiliki akan berubah berdasarkan
model yang ada dikehidupannya. Perubahan identitas diri yang dimiliki oleh individu
yakni ketika individu memiliki idola yang diagung-agungkan, maka setiap individu yang
memiliki idola cenderung akan mengalami perubahan identitas diri yang mengikuti
idolanya.
Shoemaker (1999) mengemukakan identitas diri yang dimiliki oleh setiap individu
sangat berhubungan dengan teori etnis. Teori etnis merupakan teori yang membahas
mengenai peraturan-peraturan berlaku atau dapat dikategorikan sebagai bahasan
mengenai adat dan tradisi yang ada dalam satu masyarakat pada khususnya. Identitas diri
yang dimiliki oleh individu terbentuk dari etnis yang terdapat dalam masyarkat tempat
tinggalnya, sehingga peraturan-peraturan yang merupakan adat dan tradisi dalam
masyarakat digunakan sebagai dasar untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Identitas
diri yang dimiliki oleh individu juga masing-masing memiliki alasan “reason of person”.
Kalimat tersebut jika dihubungkan dengan teori Shoemakernyakni setiap idividu
memiliki identitas diri karena alasan hal-hal yang ada di lingkungan individu itu sendiri
termasuk dalam masyarakat (adat dan tradisi) yang telah mendarah dagings. Topik yang
diambil yakni celebrity workship berhubungan dengan penjelasan Shoemaker yakni
ketika individu memilih identitas dirinya yang baik, maka lingkungan tempat tempat
tinggal individu akan baik pula yang ditinjau dari peraturan-peraturan yang berlaku di
dalamnya.

2. Teori Identitas Diri


Santrock (2007) mengemukakan tahap-tahap perkembangan manusia menurut
Erikson, yaitu:
a. Kepercayaan versus ketidakpercayaan menuntut adanya perasaan nyaman secara fisik
dan ketidakpercayaan setidaknya perasaan takut dan ragu-ragu terhadap masa depan.
Masa bayi, kepercayaan akan menetukan tahap bagi harapan seumur hidup bahwa
dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.
b. Otonomi versus rasa malu dan keragu-raguan yaitu mulai menyatakan rasa
kemandirian atau otonominya. Jika bayi banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras,
mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.
c. Prakarsa versus rasa bersalah yaitu ketika anak-anak prasekolah mulai memasuki
dunia sosial yang luas, mereka dihadapkan pada tantangan-tantangan yang lebih besar
dibandingkan ketika mereka masih bayi.
d. Tekun versus rasa percaya diri tidak ada saat lain yang lebih bersemangat atau antusias
untuk belajar dibandingkan pada akhir periode pengembangan imajinasi pada masa
kanak-kanak awal. Bahayanya yang dihadapi di masa sekolah dasar adalah anak dapat
mengembangkan rasa rendah diri-tasa tidak kompeten dan tidak produktif.
e. Identitas versus kebingungan identitas adalah ketika individu dihadapkan pada
tantangan untuk menemukan siapakah mereka itu, bagaimana mereka nantinya, dan
arah mana yang mereka tempuh dalam hidupnya.
f. Keintiman versus keterkucilan yaitu individu menghadapi tugas perkembangan yang
berkaitan dengan pembentukan relasi intim dengan orang lain. Erikson
mendeskripsikan keintiman sebagai menemukan diri sendiri di sisi lainnya. Jika
seorang muda membentuk persahabatan yang sehat dan sebuah relasi yang intim
dengan orang lain, keintiman akan dicapai, jika tisak maka ia akan merasa terkucil.
g. Bangkit versus stagnasi yaitu membantu generasi muda mengembangkan dan
mengarahkan kehidupan yang berguna.
h. Interitas versus kekecewaan yaitu masa dimana individu mulai merefleksikan
kehidupan di masa lalu.
Erikson (Yuniardi, 2010) menyatakan empat status identitas, sebagai berikut.
a. Pengalihan identitas bagi individu yang berada dalam pengalihan status identitas dan
tidak pernah mengalami kritis identitas. Mereka telah membentuk suatu identitas
premature yang lebih berdasarkan pilihan orang tua daripada identitas mereka sendiri.
Mereka telah membuat komitmen pekerjaan dan ideology, tetapi apa yang dapat
dilakukan oleh orang tua. Ini merupakan “identitas semu”.
b. Kebingungan identitas yaitu individu yang tidak menemukan arah pekerjaan atau
komitmen ideology, dan mencapai kemajuan kecil kea rah tujuan-tujuan ini. Mereka
kemingkinan telah mengalami krisis identitas, dan apabila benar, mereka tidak dapat
mengatasinya.
c. Moratorium adalah tahap ketika individu yang telah mulai melakukan eksperimen
dengan pilihan-pilihan pekerjaan dan ideologi namun belum membuat komitmen yang
pasti terhadap salah satu pilihan. Remaja yang berada pada status moratorium
langsung berada di tengah-tengah suatu krisis identitas dan sedang mencari pilihan-
pilihan hidup.
d. Pencapaian identitas yaitu kondisi bagi individu ketika telah mengetahui tentang
dirinya, mampu membuat keputusan-keputusan tegas tentang pekerjaan dan ideology.
Mereka yakin bahwa keputusan-keputusan itu dibuat berdasarkan otonomi dan
kebebasan serta komitmen internal.
Karl dan Reed (2002) dalam identitas yang dimiliki oleh individu tidak terlepas
dengan identitas moral. Identitas moral merupakan perilaku yang melekat pada diri
individu yang menjadi khas dalam berperilaku pada dunia sosial. Jones dan McEwen
(2000) mengemukakan bahwa dalam pengembangan identitas dalam diri individu sangat
membutuhkan perhatian dari lingkungan termasuk lingkungan internal. Lingkungan
internal yang dimaksud yakni keluarga.
3. Aspek-aspek Identitas Diri
Dariyo (2004) mengemukakan ciri-ciri identitas diri, yaitu:
a. Konsep diri
Konsep diri berkaitan dengan aspek fisiologis dan psikologis. Dayakisini dan
Hudaniah (Mazaya & Supradewi, 2011) menyatakan bahwa kesadaran diri adalah hal
yang sangat penting untuk memahami konsep diri dan standar, nilai serta tujuan yang
dimiliki seseorang. Effendi (2004) menjelaskan bahwa konsep diri merupakan gambaran
dan penilaian terhadap diri sendiri mencakup seluruh aspek kepribadiannya. Juriana
(2000) mengemukakan bahwa adanya konsep diri dalam kenyataannya penting
diperlukan dalam memaknai kehidupan, memberikan pemahaman bahwa untuk
menghargai diri sendiri, hal yang paling utama yang harus dilakukan yaitu seseorang
harus dapat lebih mengenal dirinya, baik mengenai kekurangan dan kelebihan diri, serta
keunikan diri sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
b. Evaluasi diri
Penerimaan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri individu yang baik, berarti
ia akan memiliki kemampuan untuk menilai, menaksir, mengevaluasi potensi diri sendiri.
c. Harga diri
Penghargaan diri yang wajar dan proporsional merupakan tindakan yang tepat bagi
seorang individu yang mempunyai identitas diri yang matang. Individu yang memiliki
harga diri yang positif memiliki kemampuan dalam berkata-kata, bersikap, berpikir,
maupun bertindak berdasarkan nilai-nilai norma, etika, kejujuran, kebenaran, maupun
keadilan.
d. Efikasi diri
Efikasi diri merupakan kemampuan menyadari, menerima, dan
mepertanggungjawabkan semua potensi, keterampilan, atau keahlian secara tepat. Efikasi
diri akan mendorong individu untuk menghargai dan menempatkan diri pada posisi yang
tepat.
e. Kepercayaan diri
Kepercayaan diri akan tumbuh dari kehidupan kelompok sosial atau keluarga yang
hangat, penuh kasih sayang, menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan, serta
saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya.
f. Tanggung jawab
Individu yang bertanggung jawab mampu melaksanakan kewajiban dan tugas-
tugasnya sampai tuntas, walau harus mengorbankan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
g. Komitmen
Individu yang memiliki komitmen biasanya perhatian, pemikiran, tenaganya tercurah
untuk mencapai tujuan akhir dari komitmennya. Individu yang memiliki komitmen akan
berusaha keras untuk mencapai keberhasilan, mampu mengatasi semua rintangan atau
hambatan yang menyebabkan kegagalan.
h. Ketekunan
Ketekunan tidak mengenal putus asa dan selalu berorientasi pada masa depan.
Individu yang tekun memiliki karakteristik kemandirian, rasa percaya diri, optimis, dan
pantang menyerah.
i. Kemandirian
Berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan segenap kemampuan, inisiatif, daya
kreasi, kecerdasan dengan sebaik-baiknya.
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Identitas Diri
Furham (Ristianti, 2009) mengemukakan beberapa faktor yang dapat memengaruhi
identitas diri, yaitu:
a. Hubungan orang tua-remaja
Hubungan orang tua-remaja yang harmonis, empati, penuh kasih sayang dapat
membantu berkembangnya identitas diri yang positif. Hubungan keluarga yang harmonis
akan memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengekspresikan ide-idenya dengan
orang tua sebagai pengawas bukan sebagai pengekang kebebasan. Collins (Neff dan
McGehe, 2010) mengemukakan bahwa aspek sadar diri atas kasih sayang yang diterima
oleh individu di lingkungan sekitar misalnya dari orang tua akan menghindari adanya
obsesif merenungkan pikiran pesimis, emosi dan dapat mengakibatkan pada disfungsi
psikologis. Diperkirakan bahwa remaja yang memiliki kasih sayang penuh dari individu-
individu yang ada di sekitanya yang berhubungan dengan sosial yang akan mengurangi
kecemasan depresi, sehingga individu tidak berharap kepada orang yang menurutnya bisa
memberikan kasih sayang seutuhnya lewat seorang yang diidolakan.
b. Model identifikasi
Model identifikasi biasanya adalah orang yang sukses dalam hidupnya. Individu
memiliki harapan bahwa dengan menjadi seperti model identifikasinya maka dirinya akan
meraih sukses yang sama sehingga memotivasi individu untuk melakukan hal-hal yang
dilakukan oleh model tersebut. Stets dan Burke (2000) mengemukakan bahwa diri
individu sangat berperan penting dalam mengklasifikasikan, mengelompokkan objek-
objek secara khusus yang ada di lingkungan individu yang memiliki relasi atau hubungan
dengan sosial kategori atau klasifikasi. Proses pengelompokkan atau pengklasifikasian
objek-objek yang ada biasa disebut dengan pengeompokkan diri.
c. Homogenitas lingkungan
Individu yang berada pada lingkungan yang homogen cenderung lebih mudah
membentuk identitas dirinya dibandingkan dengan yang berada pada lingkungan
heterogen. Individu yang berada pada lingkungan heterogen lebih lama menghadapi krisis
karena terlalu banyak alternatif yang ada di hadapannya. Faktor lingkungan pada waktu
tertentu sangat memengaruhi hasil perkembangan. Individu yang tidak memperoleh
kesempatan belajar dan tidak memperoleh bimbingan dalam mengembangkan bakat-
bakatnya, tidak akan mencapai hasil maksimal dari perkembangan rancangan dasarnya.
Hornsey (2007) mengemukakan bahwa identitas sosial yang dimiliki oleh individu yang
menjelaskan bahwa konteks sosial mempengaruhi hubungan antar kelompok dan dapat
menghubungkan ide-ide menjadi sebuah paradigma yang digunakan dalam konteks sosial
tampaknya paradoks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa identitas moral dan sosial memiliki
pengaruh yang kuat untuk menentukan nilai keberadaan individu di tengah-tengah
keluarga dan masyarakat sekitar, sehingga kasih sayang dapat dirasakan oleh individu
dan tidak menggantungkan harapan pada seorang atau idola secara berlebihan. Aquinoo
dan Reed (2002) mengemukakan bahwa identitas sosial dan identitas moral dapat
dijadikan sebagai bahan dasar untuk membangun identitas diri yang ada pada diri
individu. Hal yang berhubungan dengan identitas moral yakni keyakinan, sikap, dan
perilaku. Aquinoo dan Reed juga mengemukakan bahwa identitas moral sangat penting
untuk membangun self-important pada diri tiap individu.
d. Perkembangan kognisi
Perkembangan kognisi masa remaja adalah ketika individu mampu berpikir secara
operasional formal dan lebih sistematis terhadap hal-hal yang abstrak. Dalam tahap ini,
pola berpikir menjadi lebih fleksibel dan mampu melihat persoalan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda, individu cenderung lebih mempunyai komitmen yang kuat dan
konsisten.
e. Sifat individu
Remaja memiliki sifat ingin tahu dan keinginan untuk eksplorasi yang besar dimana
hal ini dapat membantu pencapaian identitas.
f. Pengalaman masa kanak-kanan
Individu yang di masa kanak-kanan telah berhasil menyelesaikan konflik-konfliknya
cenderung lebih mudah menyelesaikan krisis dalam mencapai identitas diri.
g. Pengamalan kerja
Pengalaman kerja individu dapat menstimuli pengembangan identitas diri. Individu
menjadi lebih matang dengan menghadapi permasalahan yang ada di lingkungan kerjanya
sehingga individu mengetahui kelebihan atau kekurangan apa yang dimiliki untuk
menghadapi permasalahan tersebut.
h. Interaksi sosial
Dalam tahap perkembangan yang dijalani oleh remaja ditandai oleh cara hubungan
individu tersebut dengan orang lain dan kebalikannya. Hal yang sama terjadi pada masa
remaja, dimana jelas ada pengaruh hubungan timbal balik antara remaja dan orang lain
dalam perkembangan kepribadiannya.
i. Kelompok teman sebaya
Kelompok teman sebaya merupakan kelompok acuan bagi seorang anak untuk
mengidentifikasikan dirinya dan untuk mengikuti standar kelompok.
Rifany (2008) menambhakan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan
identitas diri remaja, yaitu:
a. Iklim keluarga. Interaksi sosio-emosional antara anggota keluarga, sikap, dan
perlakuan orang tua terhadap remaja.
b. Tokoh idola. Orang-orang yang dipersepsi oleh remaja sebagai figur yang memiliki
posisi di masyarakat.
c. Peluang perkembangan diri. Kesempatan yang dimiliki oleh remaja untuk melihat ke
depan dan menguji dirinya untuk dapat menjalani kehidupan yang beraneka ragam.
Purwadi (2004:45) Pembentukan identitas diri remaja juga dipengaruhi oleh gaya
pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua dan atau pihak yang mengasuh dan merawat
individu tersebut. Penelitian Purwadi (2000) menunjukkan bahwa pengasuhan orang tua
memiliki hubungan yang signifikan dengan pembentukan identitas diri remaja. Dalam hal
ini, bgaimana orang tua mendidik dan memperlakukan anak. Marcia (Dariyo, 2004)
menyatakan terdapat dua faktor yang menentukan status identitas remaja yaitu orang tua
dan kepribadian remaja. Faktor-faktor yang memengaruhi identitas diri remaja yaitu
hubungan orang-tua-remaja, model identifikasi, homogenitas lingkungan, perkembangan
kognisi, sifat individu, pengalaman masa kanak-kanan, pengalaman kerja, interaksi
sosial, dan teman sebaya.
5. Unsur-unsur identitas diri
Shwarts (2005) mengemukakan identitas sebagai hal yang sangat penting dikarenakan
identitas yang membantu tiap individu untuk memahami, menemukan tempat individu di
dunia yang tak terbatas dengan banyak kemungkinan nilai ang tak tebatas. Ego
merupakan proses yang terpenting dalam pembentukan identitas. Unsur -usur yang yang
terkandung dalam identitas, yaitu:
a. Jenis kelamin
Telah disebutkan di atas bahwa pembentukan identitas yang terjadi pada setiap
individu dipengaruhi oleh ego. Identitas terbetuk karena adanya kapasitas ego yang
dimiliki oleg setiap individu itu berbeda. Ego yang ada pada perempuan dan laki-laki
berbeda, sehingga pembentukan identitas dalam setiap individu khususnya perempuan
dan laki-laki berbeda pula.
b. Etnis
Etnis juga merupakan salah satu yang penting dalam pembentukan idenitas dari setiap
individu. Seperti yang dijelaskan dalam teori Shoemaker bahwa identitas diri yang
dimiliki oleh individu terbentuk dari etnis yang terdapat dalam masyarkat tempat
tinggalnya, sehingga peraturan-peraturan yang merupakan adat dan tradisi dalam
masyarakat digunakan sebagai dasar untuk melakukan sesuatu atau berperilaku.
c. Kewargaegaraan
Kewarganegaraan tidak jauh beda dengan etnis yang ada dalam masyarakat.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam sebuah Negara akan sangat berpengaruh untuk
berinteraksi dengan dunia sosial.
D. Remaja
Istilah remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa
anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-
emosional (Santrock, 2003). Steinberg (2002) membagi masa remaja ke dalam tiga
kategori, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Periode remaja awal
berkisar antara usia 11 hingga 14 tahun, remaja madya berlangsung pada usia kira-kira
15 hingga 18 tahun, dan remaja akhir yang terjadi pada usia 18 hingga 21 tahun.

a. Tugas perkembangan remaja

Garrison (Al-Mighwar, 2006) membagi tugas perkembangan remaja menjadi


enam, yaitu :

1) Menerima kondisi jasmani, dimana remaja memelihara dan memanfaatkan tubuhnya


seoptimal mungkin sebagai bentuk penerimaan terhadap kondisi jasmaninya.

2) Mendapatkan hubungan baru dengan teman-teman sebaya yang berlainan jenis kelamin,
dimana remaja terdorong untuk menjalin hubungan sosial, terutama dengan lawan jenis
dan mendapat penerimaan dari kelompok teman sebayanya agar merasa dibutuhkan dan
dihargai.

3) Menerima kondisi dan pembelajaran hidup sesuai jenis kelaminnya, dimana remaja
harus menerima kondisinya dengan penuh tanggung jawab sesuai jenis kelaminnya.
Laki-laki harus bersifat maskulin dan perempuan harus bersifat feminin.

4) Mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, dimana
remaja harus bebas dari ketergantungan emosional pada orang dewasa, berani membuat
keputusan sendiri, dan bertanggung jawab atas pilihan yang ditempuhya.

5) Mendapatkan kesanggupan berdiri sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan


masalah ekonomi, dimana remaja harus memiliki kesanggupan berdiri sendiri dalam
masalah ekonomi karena mereka akan hidup sebagai orang dewasa nantinya. Tugas ini
mencakup mencari sumber keuangan dan pemasukan serta pengelolaan keuangan.

6) Memperoleh nilai-nilai dan filsafat hidup, dimana remaja harus memiliki tujuan hidup,
pola pikir, sikap dan perasaan, serta perilaku yang menuntunnya dalam berbagai aspek
kehidupan pada masa dewasa kelak.

E. Hasil Penelitian yang Relevan


Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nawang Nila Kusuma (2014) menyatakan bahwa
Tidak adanya hubungan antara celebrity worship terhadap idola K-pop dengan perilaku imitasi
pada remaja dapat disebabkan karena perilaku imitasi terjadi apabila model imitasi sesuai
dengan jenis kelamin pelaku imitasi, selain itu perilaku yang diimitasi adalah perilaku yang
relevan dengan situasi sosialnya.

F. Kerangka Berpikir
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, pola asuh orang tua adalah praktik dari
mendidik, melindungi, membimbing, menyayangi, dan sebagainya terhadap anak yang
memerlukan interaksi antara kedua belah pihak. Dimana hal ini disebutkan oleh Nursalim
(2017:60) bahwa keluarga yang kurang memberi pengarahan karena waktu berkumpul menjadi
salah satu faktor terjadinya krisis moral yang didalam keluarga terdapat orang tua yang
memiliki peran untuk membimbing dan mengarahkan anggota keluarga yang ada didalamnya
dalam berbagai aspek.

G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan penelitian lain yang telah terlaksana, penulis merumuskan dugaan
bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua terhadap fenomena krisis moral yang
terjadi di Indonesia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan Januari hingga Maret 2019 di Halimun
Jakarta Selatan, dimulai dari persiapan intrumen hingga menganalisis data dan membuat
laporan penelitian.

B. Pendekatan dan Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dimana penulis hanya
mencari hubungan antara kedua variabel tanpa meneliti lebih lanjut tentang sebab akibat
antarvariabel dan metode penelitian korelasional untuk mengonfirmasi fenomena yang ada
berdasarkan teori yang telah dipaparkan.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


Maka populasi dari penelitian ini adalah remaja yang memuja selebriti atau idol korea
pop (K-pop) tinggal di Halimun, Jakarta Selatan. Penentuan sampel pada penelitian ini
adalah dengan purposive sampling dimana penulis memilih sampel berdasarkan dengan
kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang
anggota komunitas pecinta K-pop (K-pop lover), yang terdiri dari 84 orang berjenis
kelamin perempuan dan 16 orang dengan jenis kelamin laki-laki. Pengambilan sampel
menggunakan teknik nonprobability sampling, sedangkan metodenya menggunakan
purposive sampling. Sampel penelitian dipilih dengan kriteria tertentu yakni menjadi
anggota komunitas pecinta K-pop (K-pop Lover) Malang, memiliki idola K-pop, dan
berusia 15-21 tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
penelitian yang bersifat korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk menyelidiki
sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih
variabel lain, berdasarka koefisien korelasi (Azwar, 2009).

D. Strategi dan Teknik Pengumpulan Data


E. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, maka ada dua skala psikologi yang
digunakan sebagai alat ukur, yaitu alat ukur celebrity worship dan alat ukur perilaku
imitasi. Skala psikologi yang digunakan untuk mengukur celebrity worship adalah
skala yang juga dibuat sendiri oleh peneliti dengan berdasar pada aspek Celebrity
Attitude Scale dari McCutcheon, yang terdiri dari dari aspek sosial dan hiburan, aspek
intense personal feeling, dan aspek borderline pathological yang telah dimodifikasi
sesuai kebutuhan penelitian. Sedangkan skala psikologi yang digunakan sebagai alat
ukur perilaku imitasi adalah skala yang juga dibuat sendiri oleh peneliti dengan
berdasar pada konsep perilaku imitasi dari Gerungan, yang terdiri dari aspek minat
perhatian yang cukup besar terhadap hal yang akan diimitasi, sikap menjunjung tinggi
atau mengagumi hal-hal yang diimitasi, dan memiliki penghargaan sosial yang tinggi,
yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian. Kedua skala psikologi ini berisi
item-item berupa pernyataan dengan empat alternatif respon pada setiap item dengan
sistem skor skala Likert.
F.
G. Contoh aitem pada skala celebrity worship adalah aitem 2 yang berisi pernyataan “Saya
percaya semua hal buruk yang dituduhkan kepada idola saya adalah tidak benar” dan
aitem 15 yang berisi pernyataan “Saya ikut sedih ketika melihat idola saya sedih”. Pada
skala perilaku imitasi, aitem 1 yang berisi “Saya membeli baju yang sama persis dengan
idola saya
H.
I. “ dan aitem 20 yang berisi pernyataan “Idola saya adalah contoh yang ideal untuk diri
saya”.
J.
K. Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk (construct
validity). Validitas konstruk adalah sejauh mana alat ukur bisa dikatakan mengukur sebuah
konstruk atau sifat teoritisnya (Sami’an, 2008). Validitas konstruk diuji dengan
menggunakan analisis item, yaitu dengan mengkorelasikan skor item dengan skor totalnya
menggunakan analisis skala Item-Total Correlation. Dari 50 item skala celebrity worship
terdapat 19 item yang gugur atau tidak valid, dan terdapat 31 item yang valid dan item
tersebut dapat digunakan dalam mengukur celebrity worship terhadap idola K-pop,
sedangkan dari 50 item skala perilaku imitasi terdapat 25 item yang gugur atau tidak valid,
dan terdapat 25 item yang valid dan item tersebut dapat digunakan dalam mengukur
perilaku imitasi.
L.
Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode internal
consistency, yaitu dengan memberikan satu bentuk tes yang hanya diberikan sekali kepada
sekelompok subjek (single trial administration). Untuk estimasi reliabilitas, dapat dilihat
melalui konsistensi antar item atau antar bagian tes itu sendiri yang sudah dibelah
sebelumnya, dengan menggunakan teknik komputasi tertentu (Widodo, 2006). Nilai
reliabilitas skala selebrity worship adalah sebesar 0,938, sedangkan nilai reliabilitas skala
perilaku imitasi adalah sebesar 0,928.
M.
Prosedur penelitian dilakukan melalui tiga tahap yakni persiapan, pelaksanaan, dan tahap
akhir. Pada tahap persiapan penelitian terdiri dari melakukan studi kepustakaan mengenai
variabel yang telah ditentukan, menentukan desain penelitian yang akan digunakan,
membuat alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian, melakukan uji coba alat ukur
yang dilakukan pada anggota komunitas pecinta K-pop (K-pop lover) yang tidak menjadi
sampel dalam penelitian ini, dan melakukan revisi alat ukur, yaitu dengan
mempertahankan item-item yang lulus uji validitas dan reliabilitas dan membuang item-
item yang tidak lulus, kemudian menyusunnya ke dalam alat ukur yang digunakan untuk
pengambilan data. Pada tahap pelaksanaan penelitian dilakukan dengan pengambilan data
pada subjek penelitian, yaitu 100 anggota komunitas pecinta K-pop (K-pop lover). Pada
tahap akhir atau tahap tindak lanjut pengolahan data.

N. Definisi Operasional dan Konseptual Variabel


3. 5. 1 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dari pola asuh pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
kuesioner yang sudah di uji validitas dan reliabilitasnya yaitu Parenting Pratices Questionnaire
dimana dari 62 soal terbagi kedalam 27 soal indikasi authoritative, 20 soal untuk authoritarian,
dan 15 soal untuk permissive yang mana kuesioner ini diisi oleh Ibu dari anak tersebut. Sedangkan
definisi operasional dari krisis moral ini sendiri dilihat dari isian informasi tambahan yang harus
diisi di lembar kuesioner dan mengunjungi penjara anak dengan sengaja untuk mendapatkan anak-
anak yang termasuk dalam kategori krisis moral menurut Nursalim (2017:61).
3. 5. 2 Definisi Konseptual Variabel
Definisi pola asuh dalam penelitian ini adalah praktik yang dilakukan oleh orang tua
dalam menghadapi anak pada aspek komunikasi, cara membimbing dan mengarahkan, dan sebagai
role model dari sudut pandang anak. Sedangkan definisi krisis moral dalam penelitian ini adalah
penurunan tingkat kritis dan keluasan berpikir anak yang mengakibatkan Ia bertindak diluar dari
nilai yang dianut oleh lingkungannya terutama keluarga.

O. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, data diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang
bersangkutan dengan praktik pola asuh yang digunakan oleh orang tua. Instrument yang digunakan
adalah Parenting Practices Questionnaire yang dikembangkan oleh Clyde C. Robinson, Barbara
Mandleco, Susanne Frost Olsen, dan Craig H. Hart (1995:819). Kuesioner ini dibentuk
berdasarkan teori Baumrind dan dari total jumlah 62 soal adalah hasil dari gabungan tiga jenis pola
asuh yang disampaikan oleh Baumrind.

P. Teknik Analisis Data


Berdasarkan data yang didapatkan dari penyebaran instrument, penulis akan melakukan
analisa data dengan teknik statistika inferensial uji pearson product moment dimana teknik ini
akan menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel yang diteliti.

Q. Hipotesa Statistika
Ho : ρ = 0

Ha : ρ ≠ 0

You might also like