You are on page 1of 47

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA 22 TAHUN G1P0A0 HAMIL PRETERM DENGAN


PRE EKLAMSIA BERAT DAN PARTIAL HELLP SYNDROME, PRO
SCTP EMERGENSI PLAN REGIONAL ANESTESI SUBARACHNOID
BLOCK DENGAN STATUS FISIK ASA II E

DISUSUN OLEH:
Dinnar Pridea Rizky G99172062

PEMBIMBING :
dr. RTh. SUPRAPTOMO, Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang wanita 22 tahun G1P0A0 hamil preterm dengan Pre Eklamsia Berat
dan Partial HELLP Syndrome,
Pro SCTP emergensi plan regional anestesi subarachnoid block
dengan status fisik ASA II E

Hari, tanggal : 31 Mei 2019

Oleh:
Dinnar Pridea Rizky G99172062

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. RTh. Supraptomo, Sp.An.


NIP. 19570308 198603 1 006

2
Abstrak : Preeklampsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Preeklampsia terjadi pada
umur kehamilan di atas 20 minggu, paling banyak terlihat pada umur kehamilan
37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja. Sindrom Hemolysis Elevated
Liver Enzymes Low Platelet (HELLP) Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau
dua dari ketiga parameter sindrom HELLP yaitu: Hemolysis (H), Low Trombosit
counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated
liver enzymes (H+EL). Banyaknya komplikasi dari preeklampsia yang berdampak
buruk pada janin, salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah Sectio Cesarea.
Anestesia spinal adalah teknik anestesi yang sering digunakan dalam tindakan
sectio cesarea.
Kata kunci : preeklampsia, sectio cesarea, anestesia spinal

Abstrack : Preeclampsia is a syndrome specifically found in pregnancy in which


organ perfusion is reduced due to vasospasm and endothelial activation,
characterized by increased blood pressure and proteinuria. Preeclampsia occurs in
more than 20 weeks gestational age, most commonly at 37 weeks' gestation, but
can also emerge at any time. Parsial HELLP syndrome was found when one or
two from three parameter: Hemolysis (H), Low Trombosit counts (LP),
Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes
(H+EL). The many complications of preeclampsia that have a negative impact on
the fetus, one of the actions that can be taken is Sectio Cesarea. Spinal anesthesia
is an anesthetic technique that is often used in cesarean section. The many
complications of preeclampsia that have a negative impact on the fetus, one of the
actions that can be taken is Sectio Cesarea. Spinal anesthesia is an anesthetic
technique that is often used in cesarean section.
Key word: preeclampsia, cesarean section, spinal anesthesia

3
BAB I
PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan suatu sindroma komplikasi medis yang sering


terjadi pada wanita hamil. Preeklampsia didefinisikan sebagai sindroma yang
ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria yang mempengaruhi 5-7 %
kehamilan. Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
(kematian) ibu, janin, neonatal serta penyebab utama kelahiran prematur yang
terkait dengan morbiditas neonatal dan telah dikaitkan dengan penyakit
kardiovaskular dan penyakit metabolik pada bayi baru lahir (Lindheimer et al.,
2008; Rugolo et al., 2011).
Pada negara sedang berkembang frekuensi eklamsia dilaporkan berkisar
antara 0,3-0,7%, sedang di negara-negara maju angka eklampsia lebih kecil, yaitu
0,05-0,1%. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat
pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk
menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan anak. Pemeriksaan antenatal yang
teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha
pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap
faktor-faktor predisposisi yang lain. Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan
adalah gangguan penglihatan, sakit kepala, nyeri epigastrik, dan adanya edema
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
Preeklampsia adalah kelainan hipertensi yang paling sering terjadi, yang
secara umum dapat didefinisikan sebagai kejadian hipertensi baru yang bersamaan
dengam kejadian proteinuria baru, walaupun dapat terjadi dengan gejala
multisistemik lain yang tidak mengakibatkan proteinuria, seperti trombositopenia,
kelainan fungsi hepar, kelainan fungsi ginjal, edema pulmonal, dan kejadian baru
gangguan otak serta penglihatan. Prosedur melahirkan janin dan plasenta adalah
tatalaksana definitif untuk preeklampsia. Sementara PEB dengan impending
eklampsia yaitu PEB dengan gejala-gejala impending di antaranya nyeri kepala,
mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri abdomen kuadran
kanan atas. Sectio caesarea umumnya dilakukan bila ada indikasi medis tertentu,

4
sebagai tindakan mengakhiri kehamilan dengan komplikasi. Salah satu indikasi
dilakukan tindakan sectio caesarea adalah preeklampsia berat (Hikmah et al ,
2014)
Pilihan teknik anestesi dalam penanganan pasien dengan preeklampsia
yang menjalani sectio caesarea telah menjadi perdebatan bertahun-tahun. Baik
general anesthesia maupun regional anesthesia, keduanya sering menjadi pilihan
teknik anestesi dalam sectio caesarea dengan segala keuntungan dan kerugian
masing-masing teknik tersebut. Sampai saat ini, keamanan teknik regional
anesthesia telah dipercaya dan mampu memberikan hasil yang lebih baik jika
dijalankan dengan indikasi yang sesuai (Shresta dan Sharma, 2012)
Prosedur melahirkan di layanan kesehatan sudah banyak yang
menggunakan anestesi regional dalam pelaksanaannya, baik epidural maupun
spinal, karena selain ibu dapat mengalami secara sadar proses kelahiran, juga
memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan
anestesi umum (Butterworth et al , 2013) Hal ini diduga karena anestesi
neuraksial menurunkan kejadian aspirasi pulmonal dan kegagalan intubasi, yang
dapat terjadi pada anastesi umum (Savaj dan Vaziri, 2012).

5
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L
Tanggal lahir : 2 April 1997 (22 tahun)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Grobogan, Jawa Tengah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Berat Badan (BB) : 74 kg
Tinggi Badan(TB) : 152 cm
Nomor Rekam Medis : 01461xxxx

B. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G1P0A0, 22 tahun, UK 33+4 minggu datang dengan
rujukan dari RS Soedjati Grobogan dengan keterangan PEB hamil
33+4 minggu dengan HELLP Syndrome. Pasien merasa hamil 8
bulan, gerak janin masih dirasakan, kenceng- kenceng teratur belum
dirasakan, lendir darah (-), air ketuban rembes- rembes (-). Keluhan
nyeri kepala bagian depan (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-),
mual muntah(-), sesak (-).
Riwayat ANC teratur tiap bulan di bidan klinik Restu Ibu.
Pasien mengetahui tensi tinggi sejak usia kehamilan 7 bulan. Pasien
mondok di RSUD Grobogan dengan tensi tinggi 160/100 mmHg,
diberikan injeksi Dexametasone 10 mg/ 12 jam (2x), injeksi MgSO4,
Nifedipine 2x10 mg, tensi saat dirujuk 140/100.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

6
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat mondok sebelumnya : di RSUD Grobogan
17/5/2019 dengan tensi
tinggi 160/100
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
3. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Mengonsumsi alkohol : disangkal
Konsumsi obat : disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS
5. Riwayat Menstruasi
Hari Pertama Menstruasi Terakhir (HPMT) tanggal 22 September 2018
6. Riwayat Kehamilan
i. Hamil ini.
7. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah satu kali, sejak tahun 2018.
8. Riwayat Keluarga Berencana
Pasien tidak pernah menggunakan KB
9. Resume AMPLE

A : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan

M : Pasien tidak mengonsumsi obat rutin

7
P : Riwayat DM (-), hipertensi (+), HIV (-), asma (-), operasi sebelumnya (-)

L : Pasien terakhir makan 6 jam, minum 4 jam sebelum operasi

E : Tekanan darah pasien tinggi, pasien tidak merokok dan mengkonsumsi

alkohol

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : Sakit sedang
Derajat kesadaran : Compos mentis
2. Tanda Vital
BB : 74 kg
TB : 152 cm
SiO2 : 98%
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,5ºC
3. Perhitungan Status Gizi
a. Secara klinis
Gizi kesan obesitas.
b. Secara Antropometris
IMT = 74:(1.52)2 = 32.2 (Obesitas (WHO))
4. Primary Survey
i. Airway: bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka
mulut >3 jari, mallampati 2, leher pendek (+) gerak leher bebas.
ii. Breathing: thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara
dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas
20x/menit.

8
iii. Circulation : bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
160/100mmHg, nadi 92 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
iv. Disability : GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm
/3mm, reflek cahaya (+/+).
v. Exposure : suhu 36,50C
5. Secondary Survey
i. Kulit : kuning langsat, turgor menurun (-), ikterik (-)
ii. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
iii. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva
pucat (-/-),cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ +
3mm), lensa keruh (-/-)
iv. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
deviasi septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
v. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari
vi. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
vii. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
viii. Leher : trakeadi tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas, leher pendek (+)
ix. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-
/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat

9
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
x. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, punggung kanan, presentasi kepala, belum
masuk panggul, DJJ (+) 157 kali/menit, regular.
xi. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
xii. Genital : darah (-) discharge (-).

10
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (18 Mei 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 13.0 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 40 % 33-45
Leukosit 11.7 ribu/ul 4.5-11.0
Trombosit 238 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.38 juta/ul 4.10-5.10
HEMOSTASIS
PT 11.2 detik 10.0-15.0
APTT 24.4 detik 20.0-40.0
INR 0.820
KIMIA KLINIK
Glukosa darah sewaktu 128 mg/dl 60-140
SGOT 58 u/l <31
SGPT 30 u/l <34
Albumin 3.4 g/dl 3.5-5.2
Creatinine 1.2 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 39 mg/dl <50
LDH 788 u/l 140-300
ELEKTROLIT
Natrium darah 132 mmol/L 136-145
Kalium darah 5.1 mmol/L 3.3-5.1
Chloride darah 103 mmol/L 98-106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive
SEKRESI
Protein Kualitatif +++/ Positif mg/dl Negatif
3

11
2. USG
Tampak janin tunggal intrauterine, punggung kanan, presentasi kepala,
DJJ (+) 130x/menit
Fetal biometry : BPD 7.65 cm ~ 30+5 minggu
HC 28.53 cm ~ 31+2 minggu
AC 25.33 cm ~ 29+4 minggu
FL 5.96 cm ~ 31 minggu
EFW : 1537 gram
Tampak plasenta insersi di corpus grade I
Tampak air ketuban kesan cukup (SDP: 3.57 cm)
Tidak tampak jelas kelainan kongenital mayor.
Saat ini janin tampak dalam keadaan baik
Kesan : Janin hidup, tunggal, IU, preskep, kepala belum masuk panggul,
HIS (-), DJJ (+) 130x/menit
3. CTG : NST kategori I (baseline 130 bpm, variabilitas kurang dari 2-5,
akselerasi (-), kontraksi (-) fetal movement (+), deselerasi (-), kontraksi (-)

D. TATALAKSANA
1. Ekspektatif pertahankan kehamilan
2. Protap PEB
a. Oksigen 3 lpm
b. IVFD RL 12 tpm
c. Injeksi MgSO4 20% 4 gram dalam 15 menit (initial dose)
dilanjutkan 1 gram/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 3 x 10 mg
e. Awasi KUVS, BC, DJJ, dan tanda eklampsia
3. Methyldopa 3x250 mg
4. Inj. Dexametasone 5 mg/ 12 jam (2 hari)
5. Jika sewaktu-waktu terjadi kegawatan ibu dan janin dilakukan SCTP-EM
6. Konsultasi TS Interna
7. Konsultasi TS Anestesi

12
8. Konsultasi TS Jantung

13
DIAGNOSA ANESTESI

Wanita 22 tahun dengan Pre Eklampsia Berat dan HELLP Syndrome pro
SCTP em dengan status klinis ASA II E
E. PROBLEM
- Pre Eklampsia Berat
- Kehamilan
F. POTENSIAL PROBLEM
- Perdarahan
- Eklampsia
G. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 2019 di OK IGD
Primary Survey
1. Airway: bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-/-), buka
mulut >3 jari, mallampati 2, gerak leher bebas.
2. Breathing: thoraks bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-/-), otot bantu nafas (-/-), sonor/sonor, suara
dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-), frekuensi nafas
20x/menit.
3. Circulation: bunyi jantung I-II reguler, bising (-). Tekanan darah
160/100 mmHg, nadi 98 x/menit, irama teratur, isi cukup, CRT <2
detik, akral dingin (-/-).
4. Disability: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
reflek cahaya (+/+).
5. Exposure: suhu 370C
Secondary survey
1. Kulit : kuning langsat, turgor menurun (-), ikterik (-)
2. Kepala : mesosefal, rambut warna hitam
3. Mata : oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-/-), konjunctiva pucat
(-/-),cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm),
lensa keruh (-/-)

14
4. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum (-/-), patensi jalan napas (+/+)
5. Mulut : bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan
hiperemis (-), buka mulut > 3 jari
6. Telinga : sekret (-/-), tragus pain (-/-)
7. Tenggorok : uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
8. Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar,
gerakan leher bebas.
9. Thoraks :
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
10. Abdomen :
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, punggung kiri, presentasi
kepala, DJJ (+) 130 kali/menit
11. Ekstremitas :
Akral dingin - - edema - -
- - - -

15
ADP kuat
CRT < 2 detik

12. Genital : darah (-), discharge (-)

Anestesi dimulai pukul 14.50 berlangsung 60 menit, sampai pukul


15.50. Dilakukan regional anestesi sub arachnoid block dengan spinal
paracetamol dan fentanyl secara intratekal. Setelah menunggu beberapa
saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan tindakan Sectio
Caesaria dengan posisi supine pada pasien. Durante operasi diberikan O2 3
lpm dengan nasal kanul dan infus Ringer laktat. Diberikan juga ranitidine
50mg, oksitosin 10 IU dan Paracetamol 1 gr per 8 jam.

Perhitungan cairan durante operasi adalah (BB = 74 kg)


EBV pasien = 90 cc/kgBB x 74 kg = 6660 cc
Kebutuhan cairan selama operasi:
Maintenance = 2 x 74 = 148 cc/jam
Stress operasi = 6 x 74 = 444 cc/jam
Pengganti puasa = 2 x 74 = 148 cc
Maka, kebutuhan cairan jam I = 740 cc/jam
Maintenence anestesi :
1. B1 (Breathing) : suara nafas vesikuler, nafas terkontrol
2. B2 (Bleeding) : perdarahan ± 250 cc
3. B3 (Brain) : pupil isokor
4. B4 (Bladder) : kateter terpasang, urin 100 cc
5. B5 (Bowel) : bising usus (-)
6. B6 (Bone) : intak
Proses sectio caesaria selesai pada pukul 15.50. Pada pemeriksaan 2
jam setelah operasi didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
130/80 mmHg, nadi 84 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, Sp02 99%
dengan nasal kanul 3 lpm. Bayi lahir dengan jenis kelamin perempuan

16
dengan berat badan lahir (BBL) 1200 gram dan skor APGAR 5-6-7
dengan diagnosis neonatus perempuan belum cukup bulan lahir SC ibu
PEB dan partial HELLP Syndrome.
Setelah operasi, pasien dirawat di HCU melati 1 untuk mendapat
perawatan lebih lanjut. Keadaan umum pasien baik, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi napas
20x/menit. Tatalaksana post operasi meliputi
1. Pengawasan KUVS dan tanda perdarahan
2. Puasa hingga bising usus (+)
3. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
4. Vit C 50mg/12 jam P.O
5. Protap PEB
a. Oksigen 3 lpm
b. IVFD RL 12 tpm
c. Injeksi MgSO4 20% 1 gram/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 3 x 10 mg jika tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
e. Metyldopa 3 x 500 mg

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Preeklampsia
a. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu yang dapat
disebabkan oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan vasospasme
pembuluh darah dengan keterlibatan multisistem yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dapat berlangsung hingga 4-6 minggu
post-partum. Penyakit ini ditentukan oleh kejadian hipertensi onset baru
ditambah onset baru proteinuria dengan atau tanpa edema patologis. Tanda
dan gejala lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan, sakit
kepala, nyeri epigastrik, dan adanya edema (American College of Obstetrics
and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
b. Faktor Risiko
1) Primigravida
2) Riwayat keluarga dengan preeklampsia
3) Riwayat preeklampsia pada kehamilan
Risiko preeklampsia meningkat tujuh kali lipat pada kehamilan
dengan riwayat preeklampsia sebelumnya.
4) Adanya hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
5) Usia Kehamilan
Preeklampsia pada kehamilan pertama dengan persalinan dengan
usia kehamilan 32 minggu sampai 36 minggu akan meningkatkan
risiko preeklampsia pada kehamilan kedua sebesar 25,3 %.
6) Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) < 20 kg/m2 memiliki
risiko sebesar 4,3% dan mereka dengan BMI > 35 kg/m2 memiliki
risiko sebesar 13,3%
7) Donor oosit atau inseminasi donor dan riwayat trombofilia
8) Infeksi saluran kemih, diabetes melitus, penyakit vaskular kolagen,
mola hidatidosa, dan penyakit periodontal

18
9) Usia Ibu
Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia.
10) Ras
Di Amerika Serikat, preeklampsia pada wanita berkulit putih 1.8 %
dan 3 % pada wanita berkulit hitam.
11) Faktor tambahan yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia
adalah kehamilan multipel, plasentasi yang buruk dan beberapa hal
lain yang meningkatkan massa plasenta dan perfusi plasenta yang
buruk (American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim
et al., 2014).
c. Diagnosis dan Klasifikasi Preeklampsia
1) Menurut Derajat
a) Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan
darah ≥ 140/90 mm Hg) tanpa bukti kerusakan organ. Pasien yang
sebelumnya sudah memiliki hipertensi esensial, preeklampsia
didiagnosis jika tekanan darah sistolik telah meningkat sebesar 30
mmHg atau jika tekanan darah diastolik telah meningkat sebesar 15
mmHg (Lim et al., 2014).
b) Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan
morbiditas perinatal yang tinggi dan didefinisikan sebagai tekanan
darah sistolik ibu ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg atau lebih tinggi dua kali lipat pada pemeriksaan setidaknya
6 jam terpisah; gangguan neurologis maternal seperti sakit kepala
terus-menerus, tinitus yang menyebar, refleks tendon polikinetik,
eklampsia, edema paru akut, proteinuria ≥ 5 g/hari atau lebih dari
3+ pada dua sampel urin yang dikumpulkan secara acak minimal 4
jam terpisah, oliguria < 500 cc/hari, kreatinin > 120 µmol/L,
sindrom HELLP, trombositopenia < 100.000/mm3, edema paru

19
atau sianosis, nyeri epigastrium dan atau gangguan fungsi hati, dan
kriteria pada janin terutama pertumbuhan janin terhambat (PJT),
oligohidramnion, kematian janin dalam rahim, atau abrupsio
plasenta (Sibai dan Barton, 2007; Lim et al., 2014).
Kriteria diagnosis preeklampsia berat menurut POGI tahun
2010 adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan
tanda dibawah berikut :
(1) Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat tekanan sistolik
≥ 160 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg
(2) Proteinuria, yaitu protein ≥ 5 gr/jumlah urin selama 24 jam
atau dipstick 4 +
(3) Oliguria, adalah produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
(4) Kenaikan kreatinin serum
(5) Edema paru dan sianosis
(6) Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen.
(7) Gangguan otak dan visus antara lain perubahan kesadaran,
nyeri kepala, skotomata, dan pandangan kabur.
(8) Gangguan fungsi hepar
(9) Hemolisis mikroangiopatik
(10) Trombositopenia; yaitu trombosit< 100.000 sel/ mm3
(11) Sindroma HELLP
POGI (2010) membagi preeklampsia berat dalam beberapa
kategori :
(1) Preeklampsia berat tanpa impending eklampsi
(2) Preeklampsia berat dengan impending eklampsi, dengan gejala
impending : nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri
epigastrium, dan nyeri kuadran kanan atas abdomen.
Penatalaksanaan preeklampsia berat bertujuan mengendalikan
tekanan darah dan mencegah terjadinya eklampsia, persalinan
pervaginam pada pasien dengan kehamilan cukup bulan dan
operasi caesar pada kasus mendesak atau ketika induksi persalinan

20
gagal, dengan pengaturan waktu yang seimbang antara keselamatan
ibu dengan risiko kelahiran janin yang berpotensi prematur.
Manajemen kehamilan hanya untuk beberapa pasien yang jauh dari
usia kehamilan cukup bulan tetapi stabil pada pemberian terapi
obat antihipertensi, dengan hasil pemeriksaan laboratorium stabil
dan profil biofisik janin yang meyakinkan (Turner, 2010).
Komplikasi preeklampsia berat pada ibu meliputi edema
pulmo, infark miokardial, acute respiratory distress syndrome,
koagulopati, gagal ginjal berat, dan retinal injury. Komplikasi pada
janin dan bayi baru lahir berasal dari insufisiensi uteroplasenta atau
kelahiran prematur, atau bisa dari keduanya (American College of
Obstetrics and Gynecology, 2013).
d. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.
Dengan adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan
kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-
gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif, antara lain: nyeri kepala frontal, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif, antara lain: hiperreflexia, eksitasi
motorik, dan sianosis (Artikasari, 2009).
Diagnosis banding untuk preeklampsia berat antara lain: hipertensi
menahun, penyakit ginjal, dan epilepsi.
e. Penanganan
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan
bayi sehat. Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan
pengelolaan dasar sebagai berikut :
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya

21
b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya :
yang tergantung pada umur kehamilan.
Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu :
1) Ekspektatif ; konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu,
artinya : kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil
memberikan terapi medikamentosa
2) Aktif, agresif ; bila umur kehamilan ≥ 37 minggu, artinya
kehamilan dikahiri setelah mendapat terapi medikamentosa
untuk stabilisasi ibu.
Pemberian terapi medikamentosa
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
3) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
4) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi
kejang. Pemberian MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : dosis awal
- Maintenance dose : dosis lanjutan
5) Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi ≥ 160/110
Jenis obat: Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam.
 Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah
(sub lingual) karena absorbsi yang terbaik adalah melalui
saluran pencernaan makanan.
Desakan darah diturunkan secara bertahap :
1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
2. Desakan darah diturunkan mencapai :
3. - < 160/105
- MAP < 125
 Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL
diberikan secara IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam

22
dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila masih
gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg
selama 5 menit.
6) Diuretikum
Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :
a. Edema paru
b. Payah jantung kongestif
c. Edema anasarka
7) Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori
yang berlebih, batasi cairan yang masuk ke dalam tubuh (POGI,
2010).

SINDROMA HELLP
1. Definisi
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis,
Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan
oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini
merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan
eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan
kadar enzim hepar dan trombositopeni (Haryono, 2004).
2. Insiden
Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit di duga,
gambaran klinisnya sangat bervariasi dan perbedaan dalam kriteria
diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar antara 2 – 12% dari pasien
dengan PEB, dan berkisar 0,2 – 0, 6% dari seluruh kehamilan (Haryono,
2004).
3. Patogenesis
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari
preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia.

23
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia
atau sindroma HELLP. Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan
normal dan preeklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II
(kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin
II, prostasiklin dan volume darah meningkat.
Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah pada trimester II
meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II dan prostasiklin
menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan fungsi endotel
atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan endotel.
4. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Martin
mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu :
a. Kelas I : jumlah platelet  50.000/mm3.
b. Kelas II : jumlah platelet 50.000 – 100.000/mm3.
c. Kelas III : jumlah platelet 100.000 – 150.000/mm3(7).
Menurut Audibert dkk. (1996), dikatakan sindroma HELLP
partial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter
sindroma HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan
low platelets (LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai
perubahan pada ketiga parameter tersebut.
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya
vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar.
Oleh karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan
fungsi hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang disertai
vomitus dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (M. Dikman Angsar,
1995).
Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah
diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua
ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya

24
dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim hepar
serta tekanan darah ibu.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat
diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,
walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai
batas untuk masing-masing parameter.
a. Hemolisis
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini
merupakan gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah
menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan
terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum
tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang
mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur.
b. Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase
(SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada
kerusakan sel hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat
1
/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada
sindroma HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama
pada fase akut dan progresivitas sindroma ini. Peningkatan SGOT dan
SGPT dapat juga merupakan tanda terjadinya ruptur hepar.
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang
bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.
LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan
SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.
c. Jumlah platelet yang rendah (Haryono, 2004).
7. Diagnosis

25
Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai
berikut (Cunningham, 1995) :
1. Hemolisis
 Schistiosit pada apusan darah
 Bilirubin  1,2 mg/dl
 Haptoglobin plasma tidak ada
2. Peningkatan enzim hepar
 SGOT  72 IU/L
 LDH  600 IU/L
3. Jumlah trombosit rendah
 Trombosit  100.000/mm3
8. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka
terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas utama
adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi gangguan pembekuan
darah. Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan janin, kemudian
keputusan segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau tidak.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif
sampai kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas
bayi yang dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk
melakukan terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi
diketahui. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan
segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko
maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun
semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi yang definitif (Haryono, 2004).
Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian
dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan (Haryono,
2004).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan
infus plasma albumin 5–25%. Tujuannya untuk menurunkan

26
hemokonsentrasi, peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa
gejala toksemia. Jika cervix memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip
pada usia kehamilan  32 minggu. Apabila keadaan cervix kurang memadai,
dilakukan elektif seksio Caesar. Apabila jumlah trombosit  50.000/mm3
dilakukan tranfusi trombosit.
9. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27%
untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan
mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada
kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi
tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma
HELLP mengalami perkembangan yang terhambat (IUGR) dan
sindroma kegagalan napas (Haryono, 2004).
B. Sectio Caesaria
Sectio caesaria atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan
anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus
abdomen seorang ibu (laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk
mengeluarkan satu bayi atau lebih (Dewi, 2007).
1. Indikasi
a. Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
1) Power
Daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit
menahun lain yang memengaruhi tenaga.
2) Passanger
Anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
primi gravida di atas 35 tahun denga n letak sungsang, anak tertekan
terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal
distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
3) Passage

27
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius
pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang
diduga bisa menular ke anak, seperti herpes kelamin (herpes
genitalis), condyloma ota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih),
condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa
mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan
hepatitis C (Dewi, 2007).
b. Indikasi Ibu
1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki risiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita
dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang
memiliki penyakit yang berisiko, misalnya tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia.
2) Tulang panggul
Cephalopelvic Diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat
menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Sangat
menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
3) Persalinan sebelumnya dengan sectio caesaria
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak memengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya
tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu
sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja
dilakukan.
4) Faktor hambatan jalan lahir.
5) Kelainan kontraksi rahim.
6) Ketuban pecah dini.
7) Rasa takut kesakitan (Kasdu, 2005).

28
c. Indikasi Janin
1) Ancaman gawat janin (fetal distress).
2) Detak jantung janin melambat.
3) Bayi besar (makrosemia).
4) Letak sungsang.
5) Faktor plasenta
a) Placenta previa.
b) Solutio placenta (plasenta lepas).
c) Placenta accreta .
6) Kelainan Tali Pusat
a) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung).
b) Terlilit tali pusat (Kasdu, 2005).

2. Tujuan Sectio Caesarea


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen
bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi
kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk
kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa
walaupun anak sudah mati.

3. Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis,
sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum
pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor
- faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama
khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya
infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat

29
dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih
berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Komplikasi - komplikasi lain seperti luka kandung kemih dan embolisme
paru - paru
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah
sectio caesarea klasik.

4. Prognosis
Dengan kemajuan teknik pembedahan, adanya antibiotika dan
persediaan darah yang cukup, pelaksanaan sectio ceesarea sekarang jauh
lebih aman dari pada dahulu.
Angka kematian di rumah sakit dengan fasilitas baik dan tenaga yang
kompeten < 2/1000. Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas
pembedahan adalah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi
pembedahan dan lamanya persalinan berlangsung.
Anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria nasibnya tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesarea. Menurut
statistik, di negara - negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal
yang baik, angka kematian perinatal sekitar 4 - 7%

5. Pemeriksaan Penunjang
- Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
- Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
- Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah

30
- Urinalisis / kultur urine
- Pemeriksaan elektrolit

6. Penatalaksanaan Medis Post SC


a. Pemberian cairan
b. Diet
c. Mobilisasi
d. Kateterisasi
e. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan

C. Anestesi pada Kasus Seksio Sesaria


1. Evaluasi dan Persiapan Pra Anestesi

Batasan:

31
Evaluasi pre anestesi adalah langkah awal tindakan anestesi
yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif.

Tujuan:

a. Mengetahui status fisik pasien pra operatif


b. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
c. Memilih jenis anestesi yang sesuai
d. Menentukan problem dan potensial problem yang mungkin akan
terjadi selama operasi atau pasca bedah
Seluruh pasien obstetrik membutuhkan tindakan anestesi baik
secara elektif maupun kasus emergency. Pasien yang membutuhkan
pelayanan anestesi untuk kelahiran normal maupun seksio sesar harus
menjalani evaluasi preoperasi sesegera mungkin. Evaluasi pre-anestesi
yang diperlukan meliputi:

a. riwayat kesehatan maternal


b. riwayat anestesi yang berhubungan dengan kehamilan
c. tekanan darah
d. tatalaksana jalan nafas dan
e. riwayat pemeriksaan untuk anestesi regional lain.
Tanpa mengetahui intake terakhir, pasien harus dianggap
memiliki lambung yang penuh dan beresiko untuk terjadi aspirasi.
Durasi kelahiran yang terkadang memanjang membuat protokol
mengizinkan pasien untuk mengonsumsi sejumlah kecil air putih pada
kelahiran tanpa komplikasi. Lama puasa yang diperlukan untuk
operasi biasanya bervariasi minimal sekitar 6 jam untuk makanan
ringan dan 8 jam untuk makanan berat.

Pemberian profilaksis berupa antasid (15-30 ml Natrium sitrat


0,3 M secara oral) tiap 30 menit diutamakan untuk mempertahankan
pH gaster serta menurunkan angka kejadian pneumonitis aspirasi.

32
Obat AH2 seperti ranitidine atau metoclopramide juga harus
dipertimbangkan pada pasien yang memiliki resiko tinggi dan akan
menerima general anestesi. Metoclopramid mempercepat
pengosongan lambung, menurunkan volume gaster dan meningkatkan
kontraktilitas sfingter bawah esophagus. Posisi supine harus dihindari
kecuali pasien telah mengunakan peralatan pengangkatan untuk uterus
kiri yang diletakkan dibawah pinggang. Posisi yang dianjurkan adalah
miring kekiri untuk menghindari “supine hypotensive syndrome”
(Butterworth et al , 2013)

Pasien juga harus menjalani beberapa pemeriksaan laboratorium


terkait pemilihan teknik anestesi yang akan digunakan. Pemeriksaan
tersebut antara lain:

a. Darah: Hb, hct, leukosit, trombosit, PTT dan APTT


b. Kimia darah: sesuai indikasi seperti pemeriksaan fungsi hati,
ginjal dan elektrolit
c. Urin: reduksi dan protein (Mangku dan Senapati, 2010)

2. Anestesi Umum
Untuk anestesi umum perlu dicegah terjadinya refleks hipertensi
(terutama bila sistolik > 200 mmHg) selama induksi dengan light
anestesi. Obat hipotensif dapat digunakan sebelum induksi anestesi
adalah:
a. Hidralazin: dapat meningkatkan perfusi uterus, akan tetapi, karena
mula kerjanya yan lama menyebabkan obat ini tidak praktis dalam
situasi emergensi.
b. Nitrogliserin: kerjanya cepat. Nitropruside: onsetnya cepat, tapi
ingat kemungkinan intoksikasi sianide pada fetal.
c. Calcium channel blockers (nifedipine): mempunyai berbagai
keuntungan antara lain bekerja sebagai vasodilator, relaksasi otot
uterus, meningkatkan aliran darah renal. Pada pasien pre-eklampsi

33
berat, nimedipine menurunkan tekanan darah ibu dan
memperpanjang kehamilan dan memperbaiki fetal oksigenasi.
d. Narkotik intravena juga dapat dignakan preoperatif untuk
mencegah refleks hipertensi. Lawes dkk., menggunakan fentanyl
200 ug dan droperidol 5 mg intravena sebelum induksi anestesi
umum dan berhasil dengan baik.
Beberapa masalah bila menggunakan anestesi umum untuk
toksemia berat antara lain:
1. Edema jalan nafas berat, maka gunakan ETT ukuran kecil untuk
intubasi.
2. Respons hipertensif pada light anestesi selalu merupakan masalah
utama. Moore dkk, menyatakan terdapat kenaikan 50% dari MAP
selama laringoskopi pada pasien pre-eklampsi walaupun
sebelumnya diberikan nitropruside prainduksi.
3. Terjadi inbteraksi antara obat. Arfonad akan berinteraksi dengan
succinyilcholin dan magnesium sulfat dapat berinteraksi dengan
pelumpuhotot non depol dan depol.

Simpulan Anestesi Umum untuk SC pada pasien pre-eklampsi:


1. Monitor nadi dan tekanan darah, ECG, SpO2, PCO2, temperatur,
blok neuromuskuler, CVP dan arteri pulmonal bila indikasi.
2. Antasid non partikel dan metoklopramid
3. Bila diperlukan obat antihipertensi harus diberikan untuk
melawan hipertensi selama induksi dan ekstubasi.
4. Tiopental dan succinylcholine digunakan untuk induksi tanpa
menurunkan dosis succinylcholin dengan pengecualian bila
pasien menerima MgSO4. Dosis defasciculasi dan non depol
tidak digunakan.
5. Obat pemumpuh otot harus digunakan secara hati-hati bila
diberikan MgSO4.

3. Anestesi Spinal

34
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarknoid) ialah
pemberian obat anestetik lokal kedalam ruang subaraknoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 .
Teknik ini cukup sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.
Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi,
efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruangintratekal serta
komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan
terjadinya blok anestesi spinal.

Cairan anastesi spinal menghambat konduksi dari serabut akar


seiring mereka mengalir melalui ruang subaraknoid. Ruang
subaraknoid tulang belakang memanjang dari foramen magnum ke
vertebra S2 pada orang dewasa, dan S3 pada anak kecil. Injeksi
anastesi lokal dibawah L1 pada orang dewasa, dan L3 pada anak
membantu menghindari trauma langsung ke medula spinalis.
Anastesia spinal juga disebut sebagai blok subaraknoid.
Prosedur Anestesi Spinal

a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik


dan menjelaskan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi
obat anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil
lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah
untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi
penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka
kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.

35
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai
sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan
jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median
dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah
kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih.
Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen,
yang terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika
terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg,
infus 500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki
tekanan darah.
Faktor yang paling menentukan efek blokade spinal adalah
barisitas dari cairan anastesi, posisi pasien selama dan segera setelah
injeksi, dan dosis obat. Secara umum, semakin besar dosis atau
semakin cefalik letak injeksi, semakin tinggi tingkat anastersi yang
terjadi. Namun, migrasi anastesi lokal mengikuti cairan cerebrospinal
bergantung pada kepekatan relatif terhadap cairan cerebrospinal
(barisitas). Cairan serebrospinal memiliki barisitas 1.003-1.008 pada
suhu 37oC, cairan yang hiperbarik memiliki kepekatan yang lebih
tinggi atau lebih berat daripada cairan serebrospinal, sedang kan
cairan yang hipobarik lebih ringan daripada cairan serebrospinal.
Anastesi lokal dapat menjadi hiperbarik apabila ditambah dengan
glukosa dan menjadi hipobarik apabila di dilusi dengan air steril atau
fentanil. Jadi, ketika kepala pasien dibawah, cairan yang hipobarik
akan bergerak ke caudal, sedangkan hiperbarik akan ke arah sefalik,
sedangkan apabila kepala pasien berada di atas, cairan hiperbarik akan
berjalan lebih ke caudal dan hipobarik lebih ke sefalik, begitu juga
jika pasien berada pada posisi lateral, cairan hiperbarik akan

36
berpindah ke area yang lebih bawah. Cairan anestesi yang isobarik
akan cenderung menetap di sekitar area injeksi. Posisi lubang pada
jarum injeksi juga dapat mempengaruhi ketinggian efek blokade,
selain itu tinggi pasien dan letak injeksi juga mempengaruhi hal ini.

Pasien dengan kelainan sudut tulang belakang juga dapat menjadi


penyulit prosedur anastesi spinal, karena sulit untuk mencari titik
tengahnya karena rotasi dan angulasi dari vertebra serta
mempengaruhi ketinggian hasil blokade, karena itu, pencitraan
menggunakan foto polos disarankan pada pasien suspek skoliosis atau
kifosis yang berat. Penurunan cairan serebrospinal, terutama pada
lumbar juga mempengaruhi kerja dan tinggi blokade pada medulla
spinalis, seperti pada kondisi adanya tumor, asites, maupun kehamilan
dimana terjadi pelebaran vena epidural dan penurunan volume cairan
serebrospinal, dapat menyebabkan tinggi blokade spinal yang lebih
tinggi pada dosis yang sama dengan pasien tanpa kondisi tersebut.
Usia tua yang berkaitan dengan penurunan volume cairan
serebrospinal juga dapat menyebabkan peningkatan tinggi blokade
spinal, terutama pada injeksi dengan cairan hipobarik.

37
Bupivakain dan tetrakain yang bersifar hiperbarik adalah senyawa
yang paling sering digunakan dalam anastesi spinal. Keduanya
memiliki onset yang lambat (5-10 menit) dan durasi yang cukup
panjang (90-120 menit). Walaupun kedua senyawa memiliki efeks
ensori yang sama, tetrakain memiliki efek yang lebih konsisten
terhadap blokade motorik dibandingkan bupivakain dengan dosis
sama.

Penambahan epinefrin pada bupivakain hanya meningkatkan


efeknya sedikit, namun pada tetrakain, durasi bertambah lebih dari
50%, Fenilefrin juga meningkatkan durasi anestesia tetrakain, namun
tidak meningkatkan penggunan bupivakain. Lidokain dan prokain
memiliki onset yang lebih cepat (3-5menit) dan durasi yang lebih
singkat (60-90 menit). Durasi keduanya juga hanya meningkat sedikit
pada penggunaan vasokontriktor. Walaupun anastesi spinal dengan
lidokain digunakan di seluruh dunia, beberapa ahli tidak
menggunakan obat ini karena dapat menyebabkan fenomena
gangguan neurologis singkat dan sindrom cauda equina. Penggunaan
dosis berulang lidokain karena blok gagal tercapai harus dihindari.

Di Amerika Utara, anestesi spinal hiperbarik lebih banyak


digunakan daripada yang bersifat hipobarik atau isobarik, tinggi
blokade tergantung pada posisi pasien saat dan segera setelah injeksi,
posisi duduk dapat membantu terjadinya saddle block bila pasien
duduk 3-5 menit setelah mendapat injeksi, sehingga hanya saraf di
ketinggian lumbal dan sakral yang terblokade, sedangkan pada pasien

38
yang segera berpindah dari posisi duduk ke posisi supine, obat akan
mengalir lebih ke arah sefalik dan ke arah area yang paling bawah
mengikuti kelengkungan torakolumbar. Anestesi hiperbarik
diinjeksikan pada pasien dengan posisi lateral decubitus lebih baik
pada prosedur berkenaan ekstremitas bawah yang unilateral, terutama
jika pasien berada di posisi ini kurang lebih hingga 5 menit setelah
injeksi, maka blokade akan bersifat lebih terkonsentrasi dan memiliki
tingkat blokade lebih tinggi pada sisi operatif yang lebih bawah. Pada
prosedur dengan fraktur pinggul dan ekstremitas bawah, anestesia
dengan obat hipobarik dan isobarik mungkin lebih menguntungkan
karena pasien tidak menekan sisi yang mengalami fraktur.

4) Teknik Anestesi

a. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi
lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah
punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal
dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau
27) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum
lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai
akhirnya menembus duramater- subarachnoid. Setelah stilet dicabut,
cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin prick test,
menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan
kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.

b. Pembagian tingkat anestesi spinal:


1) Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah
lumbal bawah dan segmen sakrum.

39
2) Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal
dan sakral.
3) Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini
termasuk thoraks bawah, lumbal dan sakral.
4) Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini
termasuk daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
5) Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang
lebih tinggi.
c. Indikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah
yang diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).

d. Kontraindikasi absolut anestesi spinal


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
5. Tekanan intrakranial meninggi
Kontraindikasi relatif anestesi spinal pada sectio caesaria
1. Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
2. Kelainan psikis
3. Bedah lama
4. Penyakit katup jantung
5. Hipovolemia ringan
6. Nyeri punggung kronis
Obat anestesi spinal pada sectio caesaria
Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain
0,25-0,75 %.
e. Mekanisme kerja
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan

40
ke dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial
dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut
preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik
terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai
untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi
sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar
dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan
yang sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah
anestesi sensorik. Anestesi spinal atau intratekal atau blok
subarakhnoid dilakukan dengan menyuntikkan secara langsung obat
anestesi ke dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang subarakhnoid.
Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan diatas
vertebra sakralis 1. Batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula
spinalis dan batas bawah ini dikarenakan penyatuan vertebra sakralis
yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Dosis yang diberikan
adalah bolus tunggal (Primatika et al., 2010)
f. Komplikasi anestesi spinal pada sectio caesaria:
1) Hipotensi
2) Brakikardi
3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
4) Menggigil
5) Mual-muntah
6) Total spinal
7) Sequelae neurologic
8) Penurunan tekanan intrakranial
9) Meningitis
10) Retensi urin
5) Evaluasi Post Anestesi
a) Pasien dirawat diruang pulih sesuai dengan tatalaksana pasien post
operasi

41
b) Perhatian ditujukan pada kemungkinan terjadinya muntah atau
regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi
c) Pasca anestesi subarachnoid perhatian ditujukan pada perangai
hemodinamik
d) Pasien boleh dikembalikan ke ruangan apabila sudah memenuhi
kriteria pemulihan
e) Pasien yang menderita “EPH gestosis” apalagi disertai kejang dan
gagal napas dirawat diruangan intensive untuk terapi lebih lanjut16.
6) Manajemen Komplikasi
a) Hipotensi terjadi apabila tekanan darah mengalami penurunan
lebih dari 20% nilai MAP atau systole turun menjadi kurang dari
100 mmHg. Hipotensi yang terjadi biasanya merupakan efek
samping neural dari anestesi. Hal ini berkaitan dengan penurunan
saraf simpatis, kompresi aorta dan posisi berdiri atau setengah
berdiri. Terapi yang harus diberikan antara lain yaitu efedrin
bolus atau phenileprin, suplementasi oksigen, dan bolus cairan
intravena. Meskipun cairan kristaloid yang menjadi cairan rutin
pasca kelahiran terbukti tidak efektif menangani hipotensi namun
menjaga status hidrasi pada pasien hamil merupakan hal yang
penting.
b) Injeksi intravascular pengenalan awal injeksi intravascular dengan
pemberian localanestesi sebelum bolus terbukti dapat
menurunkan toksisitas seperti kejang dan kolaps jantung.
Propofol dengan dosis 20-50 mg akan menangani kejang yang
terjadi pada kasus injeksi.
c) Postdural punctur headache Pusing terjadi akibat kompensasi
terjadinya vasodilatasi serebral yang mengakibatkan penurunan
tekanan intraserebral. Pada pusing yang ringan penanganan yang
dapat diberikan berupa pemberian cafein sodium benzoate,
bedrest, hidrasi dan analgesik oral. Pada pusing tingkat sedang
biasanya diberikan blood patch.

42
d) Demam maternal biasanya diinterpretasikan sebagai
chorioamnionitis dan dapat menyebabkan evaluasi intensive pada
neonatus. Akan tetapi peningkatan suhu juga dapat terjadi secara
fisiologis yaitu yang lebih berkaitan dengan pemanjangan waktu
kelahiran, BMI tinggi serta nullipara (Butterworth et al, 2013)

43
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang G1P0A0, 22 tahun, UK 33+4 minggu datang dengan rujukan dari


RS Soedjati Grobogan dengan keterangan PEB hamil 33+4 minggu dengan
HELLP Syndrome. Pasien merasa hamil 8 bulan, gerak janin masih dirasakan,
kenceng- kenceng teratur belum dirasakan, lendir darah (-), air ketuban rembes-
rembes (-). Keluhan nyeri kepala bagian depan (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu
hati (-), mual muntah (-), sesak (-).
Riwayat ANC teratur tiap bulan di bidan klinik Restu Ibu. Pasien
mengetahui tensi tinggi sejak usia kehamilan 7 bulan. Pasien mondok di RSUD
Grobogan dengan tensi tinggi 160/100 mmHg, diberikan injeksi Dexametasone 10
mg/ 12 jam (2x), injeksi MgSO4, Nifedipine 2x10 mg, tensi saat dirujuk 140/100.
Gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan,
air ketuban belum keluar, lendir darah (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-),
pandangan kabur (-), sesak nafas (-), nyeri kepala bagian depan (-). Hari Pertama
Menstruasi Terakhir (HPMT) tanggal 20 September 2018. Riwayat DM
disangkal. Riwayat hipertensi sejak usia kehamilan 7 bulan.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, vital sign menunjukkan tekanan darah 160/100 mmHg, pemeriksaan mata
hidung, leher, dada, perut, dan ekstremitas dalam batas normal. Dari pemeriksaan
VT darah (-) dan discharge (-). Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium
darah didapatkan protein kualitatif positif (+++/ positif 3). Dari hasil pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan status fisik ASA-II E, karena pada
pasien terjadi gangguan sistemik ringan sampai sedang yaitu kehamilan preterm
dengan hipertensi, pre eclampsia berat dan HELLP syndrome. Diputuskan untuk
dilakukan anestesi spinal karena tindakan operasi pada tubuh bagian bawah dan
tidak ada kontraindikasi anestesi spinal.
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif yaitu
terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit dapat
dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Kemudian pada pasien

44
dilakukan sectio caesaria emergensi atas indikasi maternal. Indikasi maternal
adalah untuk mencegah timbulnya komplikasi eklampsia. Usia kehamilan pada
kasus ini adalah kehamilan preterm.
Pada tindakan-tindakan sectio sesaria umumnya dipilih anestesi regional sub
arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil,
blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya
sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah
melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga terdapat risiko, risiko yang dapat terjadi
seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi, disritmia
atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah paracetamol dan
fentanyl secara intratekal. Fentanyl merupakan turunan dari phenylpiperidine
adalah opioid poten anelgesik. Fentanyl bekerja dengan mengikat beberapa
reseptor opiod di sistem saraf pusat yang akan menurunkan kemampuan pasien
untuk merasakan sakit serta beraksi terhadap rasa sakit.
Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine). Anestesi spinal
mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk hingga
prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan
kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 4-5, lalu
ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat
tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau
sistol kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari
pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila
keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg
secara intravena, dan pemberian oksigen.

45
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1
ampul), diberikan per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum. Pemberian Methergin dilakukan pasca
plasenta lahir yang bertujuan untuk mencegah perdarahan akibat plasenta yang
terlepas. Efek uretotonik dan mengontrol perdarahan pada Methergin lebih baik
dibandingkan dengan Oksitosin. Bayi lahir dengan jenis kelamin perempuan
dengan berat 1200 gram dan skor APGAR 5-6-7. Total perdarahan durante
operasi sebanyak ± 250cc.
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke HCU Melati 1. Pasien berbaring
dengan posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan
efek obat anestesi masih ada. Observasi post sectio caesaria dilakukan selama 1
jam 15 menit, dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan banyaknya darah
yang keluar dari jalan lahir. Tatalaksana post operasi diberikan Injeksi Ketorolac
30 mg/8 jam, Vitamin C 5 gram selama 12 jam, dan protap PEB.

46
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologists (2013).Hypertension in


pregnancy. Report of the American College of Obstetricians and Gynecologists’
Task Force on Hypertension in Pregnancy.Obstet Gynecol. ;122(5):1122-31.

Angsar, MD 2009, ‘Hipertensi dalam kehamilan’, dalam Ilmu Kebidanan


Sarwono Prawirodrdjo, edk 4, eds. T Rachimhadhi & Wiknjosastro GH, Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.

Butterworth J, Mackey D, Wasnick J (2013) Morgan & Mikhail's Clinical


Anesthesiology, 5e. New York :McGraw-Hill Education.

Dewi Y (2007). Indikasi Sectio Caesaria. Tingkat Kecemasan suami menghadapi


section cesarean pada istri di RSU Sembiring Medan. Skripsi : Medan.

Heazell A, Baker PN. Hypertensive disorders of pregnancy (2007)Oakley C,


Warnes CA, eds. Heart disease in pregnancy. 2nd ed. Massachusetts: Blackwell
Publishing; pg:264-80.

Hikmah EV, Maryanto S, Ariesti ND.(2014)Hubungan Kejadian Preeklampsia


Dengan Tindakan Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Tahun 2014.Skripsi : STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

Lim KH (2014). Preeclampsia. Beth Israel Deaconess Medical Centre : Israel.

Mangku I , Senapati TGA (2010). Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:Indeks

Mitayani (2009). Asuhan keperawatan maternitas. Salemba medika : Jakarta.

Prawirohardjo, Sarwono., (2005). Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Primatika AD, Marwoto, Sutiyono D (2010). Teknik Anestesi Spinal dan Epiural
in Anestesiologi. IDSAI. 19 : 325-330.

Savaj S, Vaziri ND. (2012) An overview of recent advances in pathogenesis and


diagnosis of preeclampsia. Iran J Kidney Dis. 6(5):334-8.

Shrestha AB dan Sharma KR. (2012) Spinal Anesthesia for Cesarean section in
Preeclampsia. Postgraduate Medical Journal of NAMS. 12(2), pp: 30 – 35.

WHO, (2014). UNFPA, the World Bank, and the United Nations Population
Division. Trends in maternal mortality: 1990 to 2013. World Health
Organization, 201456.

47

You might also like